Disusun Oleh :
15010111130095
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
A. Teori Tes Klasik
1. Pengertian Teori Tes Klasik
Teori Tes klasik berkembang sedikit demi sedikit melalui unsur-unsur yang
kemudian secara akumulatif merupakan bangunan teori yang utuh. Inti Teori Tes
Klasik adalah asumsi-asumsi yang dirumuskan secara sistematis serta dalam jangka
waktu yang lama. Skor tampak disimbolkan dengan huruf X merupakan nilai
performansi individu pada alat tes yang dinyatakan dalam bentuk angka, skor murni
yang dilambangkan dengan huruf T merupakan performansi individu sesungguhnya
yang tidak pernah dapat kita ketahui besarnya karena tidak dapat diungkap secara
lansung oleh alat tes, dan eror pengukuran yang diberi simbol huruf E (Azwar, 2005).
2. Asumsi-Asumsi dalam Teori Tes Klasik
Allen & Yen (dalam Azwar, 2005) menguraikan asumsi-asumsi teori klasik
sebagai berikut:
a. Asumsi 1
X=T+E
(1) Asumsi ini menjelaskan bahwa sifat aditif berlaku pada hubungan antara skor
tampak, skor muni, dan eror. Skor tampak (X) merupakan jumlah skor murni
(T) dan eror (E), jadi besar skor tampak akan tergantung oleh besarnya eror
pengukuran, sedangkan besarnya skor murni individu pada setiap pengukuran
yang sama diasumsikan selalu tetap.
b. Asumsi 2
ε(X) = T
(2) Asumsi ini menyatakan bahwa skor murni merupakan nilai harapan dari skor
tampaknya, jadi T merupakan harga rata-rata distribusi teoretik skor tampak
apabila orang yang sama dikenai tes yang sama berulang kali dengan asumsi
pengulangan tes itu dilakukan tidak terbatas banyaknya dan setiap
pengulangan tes adalah tidak bergantung satu sama lain.
c. Asumsi 3
=0
(3) Asumsi ini menyatakan bahwa bagi populasi subjek yang dikenai tes,
distribusi eror pengukuran dan distribusi skor murni tidak berkorelasi.
Implikasinya, skor murni yang tinggi tidak selalu berarti mengandung eror
yang selalu positif ataupun selalu negatif.
d. Asumsi 4
=0
(4) Bila E1 melambangkan eror pada pengukuran atau tes pertama dan E2
melambangkan eror pada tes yang kedua maka asumsi ini menyatakan bahwa
eror pengukuran pada dua tes yang berbeda, yaitu E1 dan E2 tidak berkorelasi
satu sama lain.
e. Asumsi 5
=0
(5) Asumsi ini menyatakan bahwa eror pada suatu tes (E1) tidak berkorelasi
dengan skor murni pada tes lain (T2). Asumsi ini tidak dapat bertahan apabila
tes yang kedua mengukur aspek yang mempengaruhi eror pada pengukuran
yang pertama. Selain dua asumsi yang telah disebutkan, dalam buku
Suryabrata (2005) menuliskan dua asumsi sebagai berikut:
f. Asumsi 6
(6) Asumsi ini menyatakan jika ada dua tes yang dimaksudkan untuk mengukur
atribut yang sama mempunyai skor tampak X dan X’ yang memenuhi asumsi
1 sampai 5, dan jika untuk setiap populasi subjek T = T’ serta varians eror
kedua tes tersebut sama, kedua tes tersebut disebut sebagai tes yang paralel.
g. Asumsi 7
(7) Asumsi ini menyatakan jika ada dua tes yang dimaksudkan untuk mengukur
atribut yang sama mempunyai skor tampak X dan X’ yang memenuhi asumsi
1 sampai 5, dan jika untuk setiap populasi subjek T1 = T2 + C, dengan C
sebagai suatu bilangan konstan, maka kedua tes tersebut dapat disebut sebagai
tes yang setara (equivalent test).