Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

TEORI TES KLASIK DAN TEORI TES MODERN


Makalah ini diajukan untuk Memenuhi Tugas pada
Mata Kuliah Pengukuran Psikologi

Oleh
Rizki Hakiki NIM 1602902

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar belakang
Dewasa ini ada dua macam teori tentang pengukuran, yakni Teori Tes Klasik dan
Teori Tes Modern (Suryabrata, 2005), Teori Tes Klasik disebut juga dengan Classical
True-Score Theory, dinamakan Teori Tes Klasik karena unsur-unsur teori ini sudah
dikembangkan dan diaplikasikan sejak lama, namun tetap bertahan hingga sekarang.
Teori Tes Modern disebut juga dengan Latent-Trait Theory karena teori ini berasumsi
bahwa performansi subjek dalam mengerjakan suatu tes dapat diprediksi dari
kemampuannya yang bersifat laten atau menetap. Teori Tes Modern juga sering
disebut dengan Item Response Theory, artinya respon subjek terhadap suatu aitem
menunjukkan kemampuan kognitifnya.
Teori Tes Modern muncul untuk menjawab keterbatasan dari Teori Tes Klasik yakni,
parameter dalam Teori Tes Klasik merupakan karakteristik aitem yang tergantung
pada kelompok sampel yang digunakan untuk menghitungnya, selain itu Teori Tes
Klasik juga memerlukan kesetaraan eror pengukuran bagi semua subjek yang dikenai
tes, definisi paralel dalam Teori Tes Klasik juga sangat sulit untuk dipenuhi dalam
prakteknya, dengan hadirnya Teori Tes Modern dapat menjawab semua keterbatasan
ini, namun perlu diingat bahwa Teori Tes Modern ini tidak praktis, dari semua
keterbatasan Teori Tes Klasik tersebut perlu dilihat juga kelebihan dari Teori Tes
Klasik yakni, Teori Tes Klasik telah dikembangkan sejak dulu sehingga telah berhasil
dalam meletakkan konsep-konsep dasar pengukuran, selain itu Teori Tes Klasik juga
memiliki nilai praktis yang tinggi.
Teori tes klasik (TTK) atau classical test theory (CTT) telah berkembang secara luas
dan menjadi aliran utama di kalangan ahli psikologi dan pendidikan, serta bidang
kajian perilaku (behavioral) yang lain, selama 20 dekade (Embretson & Reise, 2000) .
TTK memiliki kelemahan karena bersifat examinee sample dependent dan item
sampledependent (Fan, 1998; Hambleton & Swaminathan, 1985; Hambleton,
Swaminathan, & Rogers, 1991; Hambleton, Robin, & Xing, 2000; Lord, 1980) .
Kelemahan tersebut memicu teori baru yang lebih memadai, yaitu teori tes modern,
yang dikenal juga sebagai teori respon aitem (TRA) atau item response theory (IRT)
dan dikenal pula dengan nama latent traits theory (LTT).
BAB II
Pembahasan
Dalam pembahasan ini akan dibahas satu persatu tentang bahan atau materi –
materi yang berhubungan dengan apa yang telah ditetapkan dalam rumusan masalah,
adapun materinya adalah Teori Tes Klasik, Teori Tes Modern, Perbedaan sekor
Klasik dan sekor Modern, Teori respon butir yang mencakup Tujuan,
Persyaratan Unidimensi, Independensi Lokal dan Invariansi parameter serta Model
respon butir sebagai berikut :

A.Teori Tes Klasik


Salah satu teori pengukuran yang tertua didunia
pengukuran behavioraladalah classical true-score theory. Teori ini sering disebut
dengan teori tes klasik. Teori tes klasik merupakan sebuah teori yang mudah dalam
penerapannya serta model yang cukup berguna dalam mendeskripsikan bagaimana
kesalahan dalam pengukuran dapat mempengaruhi skor amatan. Inti teori klasik
adalah asumsi-asumsi yang dirumuskan secara sistematis serta dalam jangka waktu
yang lama. Dari asumsi-asumsi tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa
kesimpulan.
Ada tujuh macam asumsi yang ada dalam teori tes klasik ini. Allen & Yen
menguraikan asumsi-asumsi teori klasik sebagai berikut:
1. Asumsi pertama teori tes klasik adalah bahwa terdapat hubungan antara skor
tampak (observed score) yang dilambangkan dengan huruf X, skor murni (true
score) yang dilambangkan dengan T dan skor kasalahan (error) yang
dilambangkan dengan E. Menurut Saifuddin Azwar (2001:30) yang dimaksud
kesalahan pada pengukuran dalam teori klasik adalah penyimpangan tampak dari
skor harapan teoritik yang terjadi secara random. Hubungan itu adalah bahwa
besarnya skor tampak ditentukan oleh skor murni dan kesalahan pengukuran.
Dalam bahasa matematika dapat dilambangkan dengan X = T + E.
2. Asumsi kedua adalah bahwa skor murni (T) merupakan nilai harapan є (X).
Dengan demikian skor murni adalah nilai rata-rata skor perolehan teoretis
sekiranya dilakukan pengukuran berulang-ulang (sampai tak terhingga) terhadap
seseorang dengan menggunakan alat ukur.
3. Asumsi ketiga teori tes klasik menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi antara
skor murni dan skor pengukuran pada suatu tes yang dilaksanakan (ρet = 0).
Implikasi dari asumsi adalah bahwa skor murni yang tinggi tidak akan
mempunyai error yang selalu positif ataupun selalu negatif.
4. Asumsi keempat meyatakan bahwa korelasi antara kesalahan pada pengukuran
pertama dan nol (ρe1e2 = 0). Artinya bahwa skor-skor kesalahan pada dua tes
untuk mengukur hal yang sama tidak memiliki korelasi (hubungan). Dengan
kesalahan pada pengukuran kedua adalah nol (demikian besarnya kesalahan pada
suatu tes tidak bergantung kesalahan pada tes lain.
5. Asumsi kelima menyatakan bahwa jika terdapat dua tes untuk mengukur atribut
yang sama maka skor kesalahan pada tes pertama tidak berkorelasi dengan skor
murni pada tes kedua (ρelt2). Asumsi ini akan gugur jika salah satu tes tersebut
ternyata mengukur aspek yang berpengaruh terhadap teradinya kesalahan pada
pengukuran yang lain.
6. Asumsi keenam teori tes klasik adalah menyajikan tentang pengertian tes yang
pararel. Dua perangkat tes dapat dikatakan sebagai tes-tes yang pararel jika skor-
skor populasi yang menempuh kedua tes tersebut mendapat skor murni yang sama
(T = T’ ) dan varian skor-skor kesalahannya sama (se 2=se’2). Dalam prakteknya,
asumsi keenam teori ini sulit terpenuhi.
7. Asumsi terakhir dari teori tes klasik menyatakan tentang definisi tes yang setara
(essentially t equivalent). Jika dua perangkat tes mempunyai skor-skor perolehan
dan Xt1 dan Xt2 yang memenuhi asumsi 1 sampai 5dan apabila untuk setiap
populasi subyek X1 =X2+ C12, dimana C12 adalah bilangan konstanta, maka kedua
tes disebut tes yang pararel.
Asumsi-asumsi teori klasik di atas memungkinkan untuk dikembangkan dalam rangka
pengembangan berbagai formula yang berguna dalam melakukan pengukuran
psikologis. Daya beda, indeks kesukaran, efektifitas distraktor, reliabilitas dan
validitas adalah formula penting yang disarikan dari teori tes klasik.
B.Teori Tes Modern
Teori tes modern sering juga disebut Latent Trait Theory yaitu performance subjek
dalam suatu tes yang dapat diprediksi dari kemampuannya yang bersifat laten. Atau
lebih dikenal dengan Item Response Theory (IRT) yaitu respon subjek terhadap item
yang menunjukkan kognitifnya. Kelebihan kinerja subjek dapat dilihat dengan Item
Characteristic Curve (ICC). Artinya semakin baik performance subjek akan semakin
banyak respon (jawaban pada aitem tes) yang benar.
Unsur teori dalam tes modern meliputi:
– Butir (item tes)
– Subjek (responnya)
– Isi respon subjek
Asumsi-asumsi dalam tes modern:
1. Parameter butir soal dan kemampuan adalah (Invariant). Artinya soal yang dibuat
memiliki korelasi positif dengan kemampuan yang diukur.
2. Unidimensionality, artinya 1 item mengukur satu kemampuan. Asumsi ini kurang
terbukti karena pada dasarnya antara item 1 dengan lainnya saling melengkapi.
3. Local independence, artinya respon terhadap suatu item tidak akan berpengaruh
terhadap item lainnya.
Parameter butir soal pada IRT:
Ukuran atau aturan-aturan yang digunakan untuk mengetahui mana soal yang valid
(bisa dipakai) dan mana soal yang tidak valid (tidak bisa dipakai). Aturannya ada 3:
1. Daya pembeda soal, Artinya item soal bisa dianggap baik kalau item soal tersebut
dapat digunakan untuk membedakan antara subjek yang berkemampuan tinggi dari
subjek yang berkemampuan rendah.
2. Taraf kesukaran soal, Artinya item soal bisa dianggap baik kalau item soal tersebut
tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah.
3. Kebetulan menjawab benar. Artinya item soal bisa mendeteksi subjek yang
menjawab asal-asalan dan kebetulan benar.
Penggunaan parameter tersebut tergantung pada penyusun alat tes, boleh
menggunakan ketiganya atau hanya menggunakan dua saja. Ada tiga pilihan yang
bisa digunakan:
 Logistik 1 Parameter. Jika menggunakan logistik 1 parameter, item-item yang akan
digunakan hanya diuji taraf kesukaran soalnya saja. Contoh saya membuat 50 item
soal, setelah saya uji cobakan kepada N=100. Langkah selanjutnya saya hanya
harus menyeleksi mana item-item yang memiliki taraf kesukaran sedang (item
yang sedang ialah item yang bisa dijawab oleh 60% subjek). Langkah terakhir
item-item yang diketahui taraf kesukarannya sedang langsung bisa digunakan
untuk tes.
 Logistik 2 Parameter. Jika menggunakan logistik 2 parameter, item-item yang akan
digunakan harus diuji taraf kesukaran soalnya dan juga daya beda soalnya.
Jelasnya item-item yang tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah serta bisa
membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang
berkemampuan rendah, itu yang bisa dipakai sebagai item soal tes.
 Logistik 3 Parameter. Jika menggunakan logistik 3 parameter, item-item yang akan
digunakan harus diuji taraf kesukaran soalnya, diuji daya beda soalnya, dan diuji
kemungkinan kebetulan menjawab benar
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pada hakekatnya proses pengukuran semuanya baik. Hanya kekonsistenan
pelaksana dan penilai hasil pengukuran di samping kejujuran memberi penilaian
adalah yang utama. Kecanggihan alat ukur modern belum tentu bermanfaat bagi
peserta didik, selama hal itu dilakukan setengah hati. Dalam hal ini walaupun soal-
soal tersebut dikerjakan oleh siswa yang pandai atau siswa yang kurang pandai,
indikasi tingkat kesukaran suatu soal tetap tidak berubah.
Untuk mengukur kemampuan peserta tes yang sangat beragam di Indoensia,
seperti Ujian Nasional, seharusnya digunakan juga ujian atau tes yang berbeda tingkat
kesukaran soalnya, supaya adil dan juga akurat hasilnya. Kekhawatiran dengan
ketidaklulusan perlu disikapi secara wajar oleh semua pihak, khususnya sekolah
dengan memperbaiki proses pembelajaran. Apabila upaya perbaikan proses
pembelajaran telah dilakukan, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang perlu
dikhawatirkan, karena seluruh bahan ujian sudah mengacu pada kurikulum yang
berlaku.
Daftar Pustaka

Asmin. 2004. Implementasi Teori Responsi Butir dan Fungsi Informasi Butir Tes
dalam Pengujian Hasil Belajar Akhir di Sekolah. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, X (48): 234-245.
Aiken, Lewis R. 1994. Psychological Testing and Assessment. Boston: Allyn and
Bacon, Inc.
Crocker, Linda, & Algina, James. 1986. Introduction to classical and modern test
theory. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Cronbach, Lee J. 1990. Essentials of Psychological Testing. New York: Harper
Collins Publishers.
Gronlund, Norman. E. 1985. Measurement and Evaluation in Teaching. New York:
Macmillan Publishing Company.
Hambleton, Ronald K; Swaminathan, H; dan Jane Rogers, H. 1991. Fundamentals of
Item Response Theory. London: SagePublications.
Jihad, Asep, Abdul Haris. 2011. Evaluasi Pembelajaran. Multi Pressindo:
Yogyakarta.
Kumaidi. 2000. Standardisasi Butir Soal. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. V(5):
132-143.
Nitko, Anthony. J. 1992. Criterion Reference Testing Workshop: Handouts and
Reading Material Tidak dipublikasikan). Cipayung, Bogor: Examination
Development Unit (Puslitbang Sisjian).

Anda mungkin juga menyukai