Anda di halaman 1dari 33

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pengukuran

Menurut Allen & Yen (1972), pengukuran adalah penetapan angka untuk

individu secara sistematis sebagai sarana yang mewakili sifat individu. Kerlinger

(1986) menjelaskan bahwa pengukuran adalah pemberian angka pada objek-objek

atau kejadian-kejadian sesuai aturannya. Selain itu, Mann et al. (1988)

berpendapat bahwa pengukuran adalah seperangkat operasi eksperimental yang

tujuannya untuk menetapkan besarnya ukuran untuk fisik, atau untuk

mengukurnya, dalam hal jumlah dan unit. Secara umum, pengukuran adalah

kegiatan untuk menentukan kuantitas atau mendeskripsikan suatu tingkatan dari

objek yang akan diukur menurut kriteria tertentu.

Kesalahan dalam hasil pengukuran haruslah sekecil mungkin. Hal ini

berkaitan dengan kehandalan alat ukur yang digunakan. Alat ukur yang baik dan

handal memberi hasil yang konstan bila digunakan berulang, asalkan kemampuan

yang diukur tidak berubah (Mardapi, 2008). Jadi dalam melakukan suatu

pengukuran harus meminimalkan tingkat kesalahan sekecil mungkin agar

pengukuran yang dilakukan dapat memberikan hasil yang baik.

Instrumen adalah sesuatu yang penting dalam kegiatan pengukuran.

Instrumen adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur suatu objek atau

untuk mengumpulkan data mengenai suatu variabel. Dalam bidang pendidikan,

instrumen dibagi menjadi dua macam, yaitu instrumen tes dan instrumen non tes.

10
a. Instrumen Tes

1) Pengertian tes

Tes adalah salah satu bentuk instrumen yang biasa digunakan untuk

melakukan suatu pengukuran. Allen dan Yen (1979: 1) menjelaskan bahwa tes

adalah alat untuk memperoleh data perilaku individu. Mardapi (2012) juga

menjabarkan tes sebagai instrumen yang terdiri dari sejumlah pertanyaan yang

diajukan untuk mengetahui pencapaian belajar atau kompetensi yang telah dicapai

peserta didik untuk bidang tertentu. Jadi, tes dapat diartikan sebagai suatu alat

ukur untuk memperoleh informasi atau gambaran kemampuan individu.

Tes diharapkan menghasilkan data pengukuran yang akurat. Tes yang baik

harus dapat mengukur objek yang diukur, dengan hasil pengukuran yang

konsisten. Oleh karena itu, agar diperoleh data yang akurat dibutuhkan tes yang

sahih (valid) dan andal (reliabel) (Mardapi, 2012).

Validitas mengacu pada keakuratan interpretasi skor tes, sedangkan

reliabilitas mengacu pada kestabilan dan konsistensi skor (Reynolds et al, 2009).

American Educational Research Association (AERA), American Psychological

Association (APA), & NCME, dalam Lissistz & Samuelsen (2007: 440)

menyatakan bahwa validitas mengacu pada sejauh mana bukti dan teori

mendukung interpretasi uji skor oleh pengguna tes yang diusulkan. Sedangkan

validitas dalam model Rasch adalah sesuai atau fit dengan model (Hambleton &

Swaminathan, 1985: 73). Berdasarkan beberapa definisi validitas tersebut, dapat

dipahami bahwa validitas adalah ketepatan dalam mengukur apa yang seharusnya

diukur.

11
Validitas adalah pertimbangan yang paling utama dalam mengevaluasi

kualitas tes sebagai instrumen ukur (Azwar, 2015: 10). Sudijono (2011: 53)

mengemukakan bahwa ada dua cara pengujian validitas, yaitu analisis dengan

menggunakan logika (logical analysis) dan analisis yang dilakukan dengan

mendasarkan pada kenyataan empiris (empirical analysis).

Syarat tes yang baik berikutnya adalah reliabel. Allen & Yen (1979)

mengemukakan bahwa tes dikatakan reliabel apabila skor amatan memiliki

korelasi yang tinggi dengan skor yang sebenarnya. Lebih jauh Mardapi (2012)

menjelaskan bahwa reliabilitas merupakan koefisien yang menunjukkan tingkat

konsistensi hasil pengukuran suatu tes. Dengan kata lain, reliabilitas menunjukkan

sejauh mana instrumen suatu pengukuran dapat dipercaya.

Berdasarkan pendekatannya, reliabilitas tes dapat dikategorikan menjadi 3

kategori, yaitu (1) pendekatan tes ulang, mengenakan suatu instrumen pengukuran

dua kali dengan tenggang waktu yang berbeda terhadap suatu kelompok subjek

yang sama, (2) pendekatan tes sejajar, menggunakan dua bentuk instrumen

pengukuran yang dapat dianggap memenuhi asumsi pararel, (3) pendekatan

konsistensi internal, estimasi berdasarkan pada data dari sekali pengenaan suatu

bentuk alat ukur subjek. Teknik komputasi reliabilitas konsistensi internal yang

biasa dipakai diantaranya formula Spearman-Brown; Rulon; Alpha; dan Kuder-

Richardson (Wright. 2008: 123).

Analisis butir tes memiliki dua teori, yaitu teori tes klasik dan teori tes

modern atau dikenal dengan teori respon butir (item response theory). Metode

estimasi pada kedua teori tersebut menggunakan teknik statistika, diantaranya

12
adalah untuk mengetahui besarnya kemampuan seseorang, validitas (kesahihan)

dan keandalan (reliabilitas) hasil pengukuran dan penyamaan skor (Mardapi,

2012).

a) Teori Tes Klasik

Mardapi (2012: 78) mengungkapkan bahwa teori tes klasik menggunakan

model matematika yang sangat sederhana untuk menunjukkan hubungan antara

skor amatan, skor sebenarnya, dan skor kesalahan. Teori tes klasik ini didasarkan

pada suatu model aditif, yakni skor amatan yang merupakan penjumlahan dari

skor sebenarnya dan skor kesalahan pengukuran (Retnawati, 2016). Secara

matematis dapat ditulis sebagai berikut:

X=T+E

Keterangan : X = skor amatan

T = skor sebenarnya

E = skor kesalahan

Teori tes klasik mempunyai beberapa kelemahan, yaitu: 1) estimasi skor

kesalahan berlaku untuk semua peserta tes, 2) tidak menggunakan informasi

respon setiap peserta tes pada butir tes, dan 3) asumsi tes pararel sulit terpenuhi

(Allen & Yen, 1979). Selain itu pada teori tes klasik kesalahan pengukuran yang

dapat dicari adalah untuk kelompok, bukan individu (Mardapi, 2012: 78).

b) Teori Respon Butir (Item Response Theory)

Teori respon butir atau juga dikenal sebagai Item Response Theory (IRT)

merupakan perkembangan dari teori tes klasik. Hambleton et al (1991)

mengemukakan bahwa teori respon butir bertujuan membentuk:

13
(1) Statistik butir yang tidak bergantung pada kelompok subjek,

(2) Skor tes yang dapat menggambarkan profisiensi subjek dan tidak bergantung

pada taraf kesulitan tes,

(3) Model tes yang dapat memberikan dasar pencocokan antara butir tes dan

level kemampuan,

(4) Model tes yang asumsi-asumsinya mempunyai dukungan kuat,

(5) Model tes yang tidak memerlukan asumsi pararel dalam pengujian

reliabilitasnya.

Mardapi (2012) mengungkapkan dua asumsi pada teori respon butir, yaitu

independensi lokal, artinya peluang menjawab benar butir satu dengan yang

lainnya adalah independen, dan unidimensi, substansi yang diukur adalah satu

dimensi.

Parameter pada teori respon butir adalah tingkat kesulitan soal, daya beda,

dan dugaan semu. Model pada teori respon butir berdasarkan jumlah

parameternya ada tiga, yaitu 1-PL, 2-PL, dan 3-PL. Secara natematis, model

logistic 1-PL (satu parameter) ditentukan oleh indeks tingkat kesukaran butir, 2-

PL (dua parameter) ditentukan oleh indeks tingkat kesukaran butir dan indeks

daya beda butir, 3-PL (tiga parameter) ditentukan oleh indeks tingkat kesukaran

butir, indeks daya beda butir, dan tebakan semu (Hambleton & Swaminathan,

1985).

2) Bentuk tes

Tes berdasarkan jenisnya dapat dibagi menjadi dua kategori (Reynolds et

al, 2009), yaitu: respon yang dipilih (selected-respon items) yang terdiri dari soal

14
pilihan ganda (multiple choice items), soal benar-salah (true-false items) dan soal

menjodohkan (matching items) serta respon yang dibangun (constructed-respon

items) yang terdiri dari soal uraian (essay items), dan soal jawaban singkat (short-

answer items).

Mardapi (2008) membagi tes menjadi 2 kategori berdasarkan

penskorannya, yaitu tes objektif dan tes subjektif. Tes objektif akan menghasilkan

skor yang sama walaupun yang memeriksa lembar jawabannya berbeda. Bentuk

tes objektif yang sering digunakan adalah bentuk pilihan ganda, benar salah,

menjodohkan, dan uraian objektif.

3) Tes uraian

Tes uraian mengharuskan peserta didik memberikan tanggapan tertulis

untuk menunjukkan pencapaian tujuan instruksional di tingkat yang lebih tinggi

dari domain kognitif (Miller, 2008). Tes uraian dapat dibedakan menjadi tes

uraian objektif dan tes uraian non objektif. Tes uraian objektif sering digunakan

pada bidang Sains dan teknologi atau bidang sosial yang jawaban soalnya sudah

pasti. Tes uraian nonobjektif sering digunakan pada bidang ilmu-ilmu sosial yang

jawabannya luas dan tidak hanya satu jawaban yang benar, tergantung

argumentasi peserta tes (Mardapi, 2012: 109).

Tes uraian objektif sistem penskorannya harus objektif. Oleh karena itu,

tes uraian objektif terdiri dari butir pertanyaan yang disertai dengan rubrik dan

atau pedoman penskoran (Subali, 2016). Rubrik dan pedoman penskoran

berfungsi agar pemberian skor yang dihasilkan sama, meskipun yang memeriksa

15
lembar jawaban peserta didik berbeda, sehingga mengatasi masuknya

subjektivitas pemberi skor (Mardapi, 2012).

Pemberian skor untuk butir tes uraian dapat mengikuti penskalaan

dikotomus atau politimus. Jika pemberian skor mengikuti penskalaan dikotomus,

hanya terdiri dari dua kategori, yaitu skor 0 untuk jawaban salah dan skor 1 untuk

jawaban benar. Pemberian skor untuk skala politimus, dapat dibuat lebih dari dua

kategori, tergantung tingkat jawabannya (Subali, 2016: 69).

Miller (2008) mengungkapkan beberapa keunggulan dan kelemahan tes

bentuk uraian. Keunggulan tes uraian antara lain:

a) Memungkinkan peserta didik untuk mengekspresikan ide-ide dalam kata-kata

mereka sendiri.

b) Memungkinkan peserta didik untuk berpikir kreatif dan mandiri dalam

memberi jawaban.

c) Menilai tingkat kognitif domain yang lebih tinggi.

d) Menantang peserta didik untuk berpikir.

e) Membatasi kesempatan peserta didik untuk menebak.

f) Menyediakan jawaban yang lebih mendalam.

Sedangkan kelemahan dalam tes uraian adalah:

a) Soal uraian lebih sulit dibuat dibandingkan dengan soal tes objektif.

b) Membutuhkan banyak waktu untuk penilaian.

c) Hanya menguji materi dalam jumlah terbatas (sampel kecil).

d) Kemungkinan skor bersifat subyektif besar.

16
e) Perasaan pemberi skor dapat mempengaruhi penilaian.

f) Keterampilan menulis, mengeja, tata bahasa, dan tulisan tangan dapat

mempengaruhi penilaian

Butir soal uraian yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan. Subali

(2016: 34-36) mengemukakan persyaratan butir bentuk soal uraian terdiri dari

aspek materi/substansi, konstruksi, dan bahasa. Persyaratan pada asspek

materi/substansi antara lain:

a) Butir sesuai indikator.

b) Pertanyaan dan rubrik dan/atau pedoman penskoran terumuskan dengan benar.

c) Materi/substansi sesuai dengan tujuan pengukuran.

d) Materi/substansi yang ditanyakan sesuai dengan jenjang, jenis sekolah, dan

tingkat kelas.

Persyaratan pada aspek konstruksi antara lain:

a) Rumusan kalimat dalam bentuk kalimat Tanya atau perintah yang menuntut

jawaban terurai.

b) Ada petunjuk yang jelas cara mengerjakan/menyelesaikan soal.

c) Rubrik dan/atau pedoman penskorannya jelas/operasional.

d) Tabel, grafik, diagram, kasus, atau yang sejenisnya bermakna (jelas

keterangannya atau ada hubungannya dengan masalah yang ditanyakan).

e) Antar butir satu dan butir lainnya tidak bergantung satu sama lain.

Selanjutnya, persyaratan pada aspek bahasa yaitu:

a) Rumusan kalimat soal komunikatif.

17
b) Kalimat menggunakan bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan jenis

bahasanya.

c) Rumusan kalimat tidak menimbulkan penafsiran ganda atau salah pengertian.

d) Menggunakan bahasa/kata yang umum (bukan bahasa lokal atau bahasa

serapan baru yang belum dikenal seluruh testi).

e) Rumusan soal tidak mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan

testi.

b. Instrumen Non Tes

Instrumen non tes dalam bidang pendidikan biasanya digunakan untuk

mengukur ranah afektif. Instrumen ini terdiri dari instrumen sikap, minat, konsep

diri dan nilai (Rasyid & Mansur. 2008: 59).

Sikap merupakan satu aspek dari personalitas seseorang. Sikap dapat

didefinisikan secara umum sebagai gabungan dari kecenderungan, prasangka,

bias, gagasan, dan keyakinan seseorang terhadap suatu hal atau topic tertentu.

Sikap sebagian besar terdiri dari perasaan seseorang tentang perilaku atau

pengalaman yang pernah dialaminya. Sebagian lainnya terbentuk dari

pengetahuan yang dimilikinya. Sikap dapat diukur dengan mengobservasi

menggunakan rating scales. Tehnik pengukuran sikap yang sering digunakan

adalah hasil pengembangan oleh Thurstone dan Likert. Teknik Thurstone

menggunakan pernyataan berskala. Sedangkan Teknik Likert menggunakan

respon berskala (Ebel. 1979: 366).

Skala sikap berupa kumpulan pernyataan-pernyataan sikap yang ditulis,

disusun, dan dianalisis sedemikian rupa sehingga respon seseorang terhadap

18
pernyataan tersebut dapat diberi angka (skor) kemudian dapat diinterpretasikan.

Keberfungsian skala sikap tergantung pada kelayakan pernyataan-pernyataan

dalam skala itu sendiri. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yag

mengatakan sesuatu tentang objek sikap yang hendak diungkap.

Pernyataan sikap dapat berupa pernyataan positif atau pernyataan negatif.

Variasi pernyataan yang positif dan negatif akan membuat responden lebih hati-

hati dalam memberikan jawaban sehingga kecenderungan responden dalam

menjawab tidak sesuai dapat dihindari (Kusaeri & Suprananto, 2012: 193-194).

Popham dalam Basuki & Hariyanto (2014: 188) menyatakan ranah afektif

menentukan keberhasilan belajar seseorang. Salah satu ranah afektif yang

berpengaruh adalah minat. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran

tertentu sulit mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Peserta didik yang

memiliki minat belajar dan sejumlah sikap positif akan merasa senang bahkan

tertantang untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga dapat mencapai

keberhasilan pembelajaran yang optimal.

Krathwohl dalam Subali (2016) menyatakan bahwa hampir semua tujuan

kognitif mempunyai komponen afektif. Dalam pembelajaran Sains, khususnya,

terdapat komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif yang

tercipta dari kognitif (pengetahuan) peserta didik terhadap Sains. Peringkat ranah

afektif menurut taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson dan Krathwohl ada

lima, yaitu: kemampuan menerima (receiving), kemampuan merespon

(responding), kemampuan menilai atau memaknai (valuing), kemampuan

19
mengorganisasi (organizing), dan kemampuan yang dikarakterisasi oleh suatu

nilai atau gabungan nilai yang membentuk suatu karakter (characterization).

2. Literasi Sains

a. Pengertian Literasi Sains

Miller (2010:254) menjelaskan literasi sebagai tingkat minimal

kemampuan membaca dan menulis yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam

lingkungan sehari-hari. Holbrook dan Rannikmae (2009) menyatakan literasi

Sains berarti penghargaan pada ilmu pengetahuan dengan cara meningkatkan

komponen-komponen belajar dalam diri agar dapat memberi kontribusi pada

lingkungan sosial. Berdasarkan pernyataan di atas literasi Sains memiliki arti luas,

setiap kalangan dapat memberikan kontribusi dalam mengartikan literasi Sains.

Menurut National Academy of Sciences (1996), literasi Sains adalah

pengetahuan dan pemahaman konsep Sains dan proses yang diperlukan seeorang

dalam pengambilan keputusan, partisipasi masyarakat dan budaya, serta

produktivitas ekonomi. Literasi Sains menyatakan bahwa seseorang dapat

mengidentifikasi isu nasional maupun keputusan secara lokal. Masyarakat yang

berliterasi Sains akan mampu mengevaluasi kualitas informasi Sains dengan dasar

sumber dan metode yang digunakan untuk itu. Literasi Sains juga dapat

menyatakan kapasitas dalam mengevaluasi argumen berdasarkan bukti dan

menyimpulkannya.

PISA (The Programmed or International Student Assessment)

mendefinisikan literasi Sains sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan

Sains untuk mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan

20
bukti-bukti dalam rangka memahami serta membuat keputusan tentang alam dan

perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. DeBoer

(2000) menyebutkan bahwa literasi Sains membantu masyarakat untuk hidup

lebih efektif dalam perkembangan yang terjadi di dunia dari waktu ke waktu.

Hazen dan Trefil (1991) mendefinisikan literasi Sains sebagai pengetahuan Sains

yang harus dipahami oleh masyarakat terkait dari sebuah isu atau masalah yang

sedang terjadi.

Shwartz et al. (2005) mendeskripsikan beberapa bagian yang berhubungan

dengan literasi Sains, antara lain:

1) memahami sifat, norma, dan metode dari Sains selayaknya pemahaman

tentang pengetahuan Sains;

2) memahami konsep inti, aturan, dan teori Sains (pengetahuan konten Sains);

3) memahami bagaimana Sains dan teknologi adalah hal yang saling berkaitan;

4) menghargai dan memahami pengaruh Sains dan teknologi dalam kehidupan;

5) kompetensi komunikasi dalam konteks Sains (kemampuan untuk membaca,

menulis, dan memahami sistem pengetahuan);

6) menerapkan beberapa pengetahuan Sains dan kemampuan berpendapat dalam

kehidupan sehari-hari.

Dengan keluasan konsep dari literasi Sains itu sendiri, pembelajaran

berbagai subjek dalam pendidikan Sains juga harus memasukkan tujuan untuk

menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan literasi Sains. Demikian

juga dalam pembelajaran kimia, salah satu tujuan yang harus dicapai adalah

menghasilkan peserta didik dengan kemampuan literasi kimia yang baik pula.

21
Pemahaman yang baik dalam pembelajaran kimia sangat dibutuhkan, karena

kimia sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Pemahaman

tentang kimia dan kemampuan untuk mengaplikasikan pemahaman tersebut

dalam kehidupan sehari-hari disebut dengan literasi kimia (Tsaparlis, 2000).

b. Aspek Literasi Sains

PISA membagi kemampuan literasi Sains menjadi 4 domain, yaitu

pengetahuan, kompetensi, konteks, dan sikap. Gambar 1 berikut ini menjelaskan

kerangka kerja keempat domain literasi Sains berdasarkan kerangka kerja PISA

2015 (OECD: 2013).

Pengetahuan :
konten
prosedural
epistemik Kompetensi :
Menjelaskan Konteks :
fenomena secara Personal
ilmiah Lokal/Nasional
Menyusun inkuiri Global
Sikap: ilmiah
Ketertarikan Menafsirkan data dan
terhadap Sains fakta secara ilmiah
Nilai ilmiah
Kesadaran
lingkungan

Gambar 1. Domain-domain dalam Literasi Sains pada PISA 2015

1) Konteks

Konteks literasi, dalam PISA lebih pada kehidupan sehari-hari daripada

kelas atau laboratorium. Pada kerangka kerja PISA 2015, konteks Sains

berhubungan juga dengan situasi individu, keluarga, dan kelompok (personal),

22
komunitas (lokal dan nasional), dan kehidupan di dunia (global). Berikut

merupakan contoh konteks yang diangkat PISA 2015 dalam penilaian literasi

Sains yang dijelaskan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Konteks Literasi Sains berdasarkan Kerangka Kerja PISA 2015

Konteks Personal Lokal/nasional Global


Kesehatan dan Pemeliharaan Gaya hidup sehat, Penyebaran
penyakit kesehatan, mengontrol wabah penyakit
nutrisi, dll penyakit, dll dan virus
Sumber daya Konsumsi materiKualitas air, Pertumbuhan
alam dan energi distribusi populasi
makanan,
cadangan makanan
Bahaya/ bencana Akibat pilihan Gempa bumi, Perubahan iklim
gaya hidup perubahan cuaca,
erosi

2) Kompetensi

Kompetensi dalam PISA 2015 terdiri dari tiga hal berikut:

a) Menjelaskan fenomena secara ilmiah

Kemampuan menjelaskan fenomena secara ilmiah menyangkut beberapa

hal, yaitu:

(1) Mengingat dan mengaplikasikan pengetahuan ilmiah secara tepat

(2) Mengidentifikasi, menggunakan dan menghasilkan berbagai model penjelasan

dan representasi Sains

(3) Membuat dan menyuguhkan prediksi yang tepat

(4) Mengajukan hipotesis

(5) Menjelaskan implikasi yang memungkinkan dari pengetahuan Sains di dalam

masyarakat

23
b) Mengevaluasi dan menyusun inkuiri ilmiah

Kompetensi mengevaluasi dan merancang inkuiri ilmiah diperlukan untuk

mengevaluasi hasil temuan ilmiah secara kritis. Hal ini bergantung pada

kemampuan untuk membedakan pertanyaan ilmiah dari bentuk penyelidikan

lainnya atau mengenali pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah, misalnya

hal-hal apa saja yang harus diukur, variabel apa yang harus diubah atau

dikendalikan, atau tindakan apa yang harus dilakukan agar data yang

dikumpulkan tepat dan akurat. Hal ini memerlukan kemampuan untuk

mengevaluasi kualitas data dan menyadari bahwa data tidak selalu akurat

sepenuhnya. Selain itu diperlukan juga kompetensi untuk mengidentifikasi apakah

penyelidikan telah didukung oleh teori yang sesuai dengan yang semestinya.

c) Menafsirkan data dan fakta secara ilmiah

Seseorang yang memiliki literasi Sains harus dapat menafsirkan dan

memahami dasar dari data dan fakta ilmiah yang digunakan untuk menyatakan

suatu hal atau menyimpulkan sesuatu. Beberapa kemampuannya dijabarkan

sebagai berikut:

Mengubah data dari representasi satu ke representasi lainnya

Menganalisis dan menafsirkan data dan menggambarkan kesimpulan yang

tepat

Membedakan antara argumen yang berdasarkan fakta dan teori Sains dari

argument yang berdasarkan pertimbangan lainnya

Mengevaluasi argumen dan fakta ilmiah dari berbagai sumber (Koran,

majalah, dan internet)

24
3) Pengetahuan Sains

a) Pengetahuan konten

Pengetahuan konten yang dinilai harus memiliki keterkaitan dengan

kehidupan sehari hari, merepresentasikan konsep Sains yang penting dan sesuai

dengan kemampuan anak pada umur 15 tahun.

b) Pengetahuan prosedural

Pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan tentang langkah-langkah

kegiatan ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel.

Pengetahuan tersebut diperlukan untuk melakukan suatu penyelidikan ilmiah yang

dapat menghasilkan suatu bukti ilmiah. Bukti ilmiah tersebut dapat digunakan

untuk mendukung suatu pernyataan tertentu. Diharapkan peserta didik akan tahu

bahwa terdapat perbedaan dari suatu hasil pengukuran dan dapat menjelaskan

mengapa hal itu terjadi dari pengetahuan ini. Pengetahuan prosedural mencakup

beberapa hal, yaitu:

Konsep mengenai variabel; meliputi variabel terikat, variable bebas, dan

variabel kontrol

Konsep pengukuran secara kuantitatif, observasi (kualitatif), penggunaan

skala, dan pengelompokan variabel

Cara untuk menilai (mengukur) dan mengurangi ketidakpastian, seperti

pengurangan dan perata rataan data.

Mekanisme untuk memastikan replikabilitas (kedekataan antara besaran yang

sama yang diukur berulang), dan akurasi (kedekatan antara nilai yang diukur

dan nilai sebenarnya)

25
Cara untuk mengabstrakkan dan menampilkan data menggunakan tabel,

grafik, dan diagram dengan tepat.

Strategi mengontrol variabel dan peran variabel tersebut pada rancangan

penelitian atau menggunakan uji coba yang acak untuk menghindari

penemuan yang salah dan mengidentifikasi mekanisme sebab-akibat yang

mungkin.

Menentukan rancangan penelitian yang sesuai dengan pertanyaan ilmiah yang

diberikan misalnya secara eksperimental, atau hanya berdasarkan melihat

pola.

c) Pengetahuan epistemik

Pengetahuan epistemik adalah pengetahuan tentang konstruksi dan

mendefinisikan aspek penting dalam pembangunan pengetahuan Sains dan

perannya dalam membenarkan pengetahuan yang dihasilkan oleh ilmu

pengetahuan (menjustifikasi pengetahuan ilmiah), misalnya, hipotesis teori atau

observasi dan perannya dalam memberikan kontribusi terhadap bagaimana kita

mengetahui apa yang kita tahu. Kontruksi dan mendefinisikan aspek ilmiah yaitu:

Sifat pengamatan ilmiah, fakta, hipotesis dan teori-teori

Maksud dan tujuan dari Sains (untuk mengahsilkan penjelasan tentang alam)

dan yang membedakannya dari teknologi (untuk menghasilkan solusi optimal

dari kebutuhan manusia, serta apa yang mendasari pernyataan ilmiah atau

teknologi menggunakan data yang sesuai

Nilai-nilai ilmiah, seperti komitmen untuk mempublikasikan hasil temuan,

dan objektivitas serta menghilangkan praduga awal

26
Sifat-sifat mengajukan alasan ilmiah, seperti deduktif, induktif, abduktif

(menyimpulkan dari penjelasan yang telah ada), analogis, dan pemodelan.

Peran pembangunan dan pendefinisian aspek ilmiah dalam menjustifikasi

pengetahuan yang dihasilkan secara ilmiah, yaitu:

Bagaimana pengajuan (klaim) ilmiah didukung oleh data dan alasan yang

tepat

Fungsi dari bentuk penelitian ilmiah yang berbeda dalam menghasilkan

pengetahuan, tujuannya (untuk menguji penjelasan, hipotesis, dan

menginterpretasikan pola) dan rancangannya (observasi, eksperimen control,

kajian tentang hubungan)

Bagaimana kesalahan pengukuan mempengaruhi tingkat kepercayaan pada

pengetahuan ilmiah

Penggunaan dan peranan fisik, sistem dan model abstrak, serta batasannya

Peran kolaborasi, kritis, dan bagaimana peninjauan dapat menghasilkan

kepercayaan pada pengajuan (klaim) ilmiah

Peranan pengetahuan ilmiah bersama dengan bentuk pengetahuan lain, dalam

menangani isu-isu dimasyarakat dan isu teknologi

4) Afektif

PISA 2015 mengevaluasi sikap peserta didik terhadap Sains pada tiga

aspek yang dianggap dasar dari literasi Sains, yaitu: ketertarikan terhadap Sains

dan teknologi, kesadaran lingkungan, dan nilai Sains. Ketertarikan pada Sains

diindikasikan berupa rasa ingin tahu terhadap Sains dan isu-siu yang terkait pada

27
Sains, keinginan untuk memahami Sains dengan berbagai cara dan sumber,

tertarik untuk melanjutkan jenjang karir yang berkaitan dengan Sains.

Sikap peduli terhadap lingkungan mengindikasikan pada perhatian pada

lingkungan dan kelangsungan kehidupan serta menerapkan dan mempromosikan

perilaku ramah lingkungan dalam kehidupan. Terakhir, sikap nilai Sains

ditunjukkan pada komitmen terhadap fakta ilmiah sebagai dasar keyakinan,

komitmen pada pendekatan ilmiah dalam menyelidiki sesuatu, dan penilaian kritis

sebagai pembuktian keabsahan suatu gagasan.

3. Literasi Kimia

Literasi kimia merupakan bagian dari literasi Sains dan tidak dapat

dibedakan secara harfiah. Ilmu kimia merupakan bagian dari Sains, sehingga

literasi kimia juga merupakan bagian dari literasi Sains. Literasi kimia merupakan

salah satu elemen penting yang harus dikembangkan dalam pendidikan. Gilbert &

Treagust (2009) mengklaim bahwa banyak aspek literasi kimia yang memiliki

aplikasi langsung dalam kehidupan sehari-hari. Shwartz et al. (2005) mengatakan

bahwa literasi kimia melibatkan beberapa komponen, yaitu:

a. memahami sifat kimia, norma-norma dan metode, artinya bagaimana ahli

kimia bekerja dan bagaimana produk-produk yang dihasilkan diterima sebagai

pengetahuan ilmiah;

b. memahami teori, konsep dan model kimia. Subjek terletak pada teori yang

memiliki aplikasi luas;

c. memahami bagaimana ilmu kimia dan teknologi berbasis kimia berhubungan

satu sama lain. Ilmu kimia berusaha menghasilkan penjelasan tentang alam,

28
sedangkan teknologi kimia berusaha untuk mengubah dunia itu sendiri.

Konsep dan model yang dihasilkan oleh kedua bidang memiliki keterkaitan

kuat, sehingga satu sama lain saling berpengaruh;

d. menghargai dampak ilmu kimia dan teknologi kimia yang terkait dengan

masyarakat. Memahami sifat dari fenomena kimia yang berlaku.

Menghasilkan perubahan atau variasi pada fenomena yang lebih baik dengan

cara mengubah dunia yang kita lihat.

Berdasarkan dari keempat komponen tersebut, Schawrtz (2006) kembali

mendeskripsikan literasi kimia dengan membandingkannya dengan kerangka dari

Bybee (1997), yaitu :

a. Pengetahuan konten kimia (content knowledge)

Seseorang yang memiliki literasi kimia memahami ide pokok kimia

sebagai ilmu yang berdasarkan eksperimen. Kimiawan harus terlibat dalam

penyelidikan Sains, penemuan umum dan membangun teori untuk

menjelaskannya serta menyajikan pengetahuan pada bidang lain untuk

menjelaskan fenomena yang terjadi. Selain itu, orang tersebut juga harus

memahami karakteristik (inti sari) kimia (Chemistry in context) yang meliputi

kompetensi:

1) menjelaskan tingkat makroskopik yang melibatkan struktur molekul dan

sebagainya;

2) mencari keseimbangan dari proses dan reaksi;

3) menyelidiki perubahan energi berdasarkan reaksi yang terjadi;

29
4) dapat memahami dan menjelaskan proses kimia dan struktur dari sistem

kehidupan;

5) menghargai kontribusi Sains.

b. Konteks kimia

Peserta didik yang berliterasi kimia dikatakan menguasai konteks kimia

jika dapat:

1) memahami pengetahuan tentang kimia dan penjelasannya dalam kehidupan

sehari-hari;

2) memahami kimia dalam kehidupan sehari-hari seperti menjadi konsumen dari

produk/teknologi, menyertakan kimia dalam pengambilan keputusan dan

melibatkannya dalam berpendapat di masyarakat terkait dengan isu yang

berhubungan dengan kimia;

3) melihat hubungan inovasi kimia dan sosiologinya.

c. Kemampuan belajar tingkat tinggi (high order learning skills)

Peserta didik yang berliterasi kimia mengajukan pertanyaan, menyelidiki

informasi yang relevan, dan dapat mengevaluasi pro dan kontra dari debat sosial.

d. Aspek afektif

Peserta didik yang berliterasi memiliki keadilan dan perspektif yang

rasional terhadap kimia dan aplikasinya. Lebih jauh lagi, peserta didik berliterasi

menunjukan ketertarikan pada isu tentang kimia, khususnya dalam lingkungan

informal seperti media massa.

30
Berdasarkan komponen-komponen literasi kimia yang telah diungkapkan

oleh Schwartz (2006) dan Bybee (1997) diatas, terdapat kesamaan aspek antara

literasi kimia dan literasi Sains yang dikemukakan oleh PISA (OECD, 2013).

Berikut adalah perbandingan kerangka kerja literasi Sains PISA 2015, Literasi

kimia oleh Schwartz dan pengembangan instrumen kemampuan literasi kimia

pada penelitian ini yang dijabarkan pada Tabel 6:

Celik (2014) membagi tingkat literasi kimia peserta didik menjadi empat

bagian, yaitu :

a. Literasi nominal

Literasi nominal peserta didik berkaitan dengan bagaimana mereka

mengenali berbagai konsep kimia. Kategori ini melibatkan konsep seperti

hipotesis, fakta, dan teori. Jika peserta didik familiar dengan berbagai konsep

kimia tersebut, maka mereka telah memiliki literasi nominal.

b. Literasi fungsional

Literasi fungsional adalah pemahaman peserta didik terhadap konsep-

konsep kimia. Jika dalam literasi nominal, peserta didik hanya dituntut untuk

mengenali berbagai konsep kimia, namun dalam literasi fungsional, peserta didik

diharapkan dapat menjelaskan berbagai konsep-konsep penting dalam kimia.

Celik (2014) membagi pemahaman konsep pada literasi fungsional ini menjadi

dua bagian, yaitu pemahaman makroskopik dan pemahaman mikroskopik.

31
Tabel 4. Perbandingan Aspek dan Komponen Literasi Sains dan Literasi Kimia

Aspek Literasi Sains Literasi Kimia Schwartz Kemampuan Literasi


PISA 2015 (2006) Kimia
Pengetahuan Sains: Pengetahuan konten: Pengetahuan kimia:
- Pengetahuan konten - Pengetahuan dasar kimia - Pengetahuan konten
- Pengetahuan prosedural - Karakteristik ilmu kimia kimia
- Pengetahuan epistemic - Pengetahuan
prosedural kimia
- Pengetahuan epistemik
kimia
Konteks: Konteks kimia: Konteks kimia:
- Personal - Menjelaskan kehidupan - Personal
- Lokal/nasional sehari-hari - Lokal
- Global - Menggunakan - Global
pengetahuan kimia
dalam debat sosial dan
penggunaan produk
dala kehidupan
- Memahami keterkaitan
antara inovasi dalam
kimia dan proses sosial
Kompetensi: Keterampilan belajar tingkat Kompetensi kimia:
- Menjelaskan fenomena tinggi: - menjelaskan fenomena
secara ilmiah - Membuat keputusan kimia secara ilmiah
- Mengevaluasi dan - kemampuan - mengevaluasi inkuiri
menyusun inkuiri mengemukakan alasan ilmiah
ilmiah - menyusun inkuiri
- Menafsirkan data dan ilmiah
fakta secara ilmiah - menafsirkan data dan
fakta kimia secara
ilmiah
Sikap: Aspek afektif: Aspek afektif:
- Minat terhadap Sains - ketertarikan terhadap - ketertarikan pada isu-
- Kesadaran lingkungan kimia isu kimia
- Nilai Sains - kesadaran lingkungan
dan kesehatan
- nilai dalam kimia

32
PISA (OECD, 2006) mengembangkan penilaian yang dapat

memperlihatkan literasi Sains peserta didik. Soal yang digunakan berkaitan

dengan konteks kehidupan sehari-hari, termasuk Sains dan teknologi, kemudian

juga membuat lingkungan belajar yang membuat peserta didik mampu untuk

membuat keputusan. Pada proses ini, peserta didik mampu mengididentifikasi isu

Sains, memahami yang mendasari Sains, dan menggunakan fakta-fakta atau teori-

teori secara kompeten.

Kemampuan dan sikap Sains peserta didik berpengaruh terhadap

kemampuan mereka (OECD, 2006). Sikap merupakan hal yang penting dalam

literasi Sains, karena respon peserta didik terhadap isu Sains menunjukkan

ketertarikan mereka terhadap isu tersebut, bagaimana dukungan mereka terhadap

pendekatan Sains, dan rasa tanggung jawab mereka terhadap situasi tersebut.

sebagai tambahan, PISA juga mengatakan bahwa isu Sains dapat dijadikan materi

belajar dan kurikulum untuk mendukung literasi Sains dalam pembelajaran.

Kimia, sebagai cabang dari ilmu Sains juga berperan dalam meningkatkan

literasi Sains dan kimia peserta didik. Shwartz (2005) berpendapat bahwa

pembelajaran yang melibatkan Sains, teknologi dan lingkungan akan membantu

dalam meningkatkan literasi Sains pserta didik dengan mengharapkan kontribusi

mereka pada aspek sosial, teknis, dan personal. Pada sisi lain, Cavagnetto (2010)

menekankan pentingnya meningkatkan pembelajaran yang berbasis argumen atau

melatih kemampuan peserta didik untuk mengemukakan pendapat untuk

membantu perkembangan literasi Sains yang juga dapat membantu

mengembangkan kemampuan berkomunikasi, kesadaran metakognitif, dan

33
kemampuan berpikir kritis. Dengan begitu, pembelajaran kimia melibatkan

kegiatan diskusi yang menekankan interaksi sosial dan kemampuan mengevaluasi

peserta didik. Kemampuan tersebut penting untuk menggambarkan pengaruh dari

Sains dan teknologi dengan masyarakat, ekologi, ekonomi, dan keinginan serta

ketertarikan peserta didik (Bybee, 1997; Frensham, 2002; Marks & Eliks, 2009).

Interaksi ini juga menjadi kunci untuk pengembangan literasi Sains

multidimensional (Bybee, 1997) dan literasi kimia (Shwartz et al., 2005).

Berhubungan dengan penilaian terhadap literasi kimia, Witte & Beers

(2003) menjelaskan bahwa dalam kimia, penilaian literasi kimia dilakukan dengan

melihat kemampuan peserta didik dalam menggunakan dan memahami informasi

yang diberikan dalam masalah kimia untuk membandingkan informasi tersebut

dengan kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang dimaksud diantaranya

memahami informasi yang diberikan, kapasitas untuk memilih informasi yang

dibutuhkan dari tulisan, kapasitas untuk mengolah informasi tersebut, dan

kapasitas untuk menilai apakah informasi yang mereka terima itu benar atau tidak.

Sebagai tambahan, kemampuan untuk mengemukakan pendapat dengan

melibatkan pro dan kontra dalam berargumen juga merupakan kemampuan dalam

literasi kimia. Berdasarkan dari deskripsi tersebut, jika peserta didik dapat

menggunakan informasi yang diberikan dan memberikan argumen yang valid

berdasarkan pro dan kontra, maka berarti peserta didik memiliki tingkat literasi

kimia yang tinggi.

Berdasarkan Jimenez-Aleixandre & Erduran (2008), kegiatan diskusi

peserta didik yang didukung dan dibangun berdasarkan teori dapat disebut

34
“argumen” dalam konteks pembelajaran Sains. Simon et al. (2006) menyatakan

bahwa diskusi tersebut dapat mendukung peserta didik untuk menggunakan teori

Sains, data dan fakta-fakta untuk membuktikan sesuatu. Aydeniz & Dogan (2016)

menekankan bahwa dalam argumen tidak hanya proses yang melibatkan

pernyataan, fakta dan alasan, tetapi juga proses bagaimana peserta didik

membuktikan bahwa argumen yang dinyatakannya adalah benar dan sesuai.

Beberapa hasil penelitian menyatakan pengaruh kegiatan argumentasi yang dapat

meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap konsep Sains (Driver et al.,

2000; Kaya, 2013), untuk meluruskan miskonsepsi (Taasoobshirazi et al., 2008),

untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (Eskin dan Bekiroglu, 2009),

dan meningkatkan literasi Sains peserta didik (Driver et al., 2000; Duschl &

Osborne, 2002; Cavagnetto, 2010).

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Chang & Chiu (2005) melakukan penelitian pengembangan penilaian

otentik untuk mengetahui literasi Sains peserta didik kelas 9 pada kasus kognisi

Sains yang berkaitan dengan konsep kimia dan fisika. Penelitian yang berjalan

selama dua tahun tersebut bertujuan untuk menghasilkan penilaian otentik untuk

melihat tingkat literasi Sains peserta didik, termasuk kognisi Sains, keterampilan

proses, penerapan Sains, kebiasaan berpikir, sifat Sains, dan sikap terhadap Sains.

Instrumen penilaian yang dikembangkan terbagi menjadi tiga format, yaitu tes

pilihan ganda, pertanyaan terbuka-tertutup, dan hands-on test. Validasi tes yang

dibandingkan dengan Taiwan’s Academic Attainment Testing (STAAT) memiliki

nilai koefisien korelasi Pearson yang signifikan, diantara 0,205 hingga 0,660 (p <

35
0,01). Instrumen penilaian otentik yang dikembangkan lebih baik dalam

mengevaluasi kemampuan peserta didik dalam Sains daripada tes STAAT. Ketiga

fomat tes dapat digunakan untuk mengevaluasi kognisi Sains pada peserta didik.

Wenning (2007) juga mengembangkan tes yang disebut sebagai Scientific

Inquiry Literacy Test (ScInqLiT) untuk menilai kemampuan inkuiri sebagai

komponen dari literasi Sains. Metode yang digunakan untuk mengembangkan tes

ini menggunakan prosedur dasar oleh DeVellis. 40 butir soal tes pilihan ganda

yang diuji cobakan diperoleh 35 butir soal yang valid. ScInqLiT digunakan untuk

mengidentifikasi kelemahan pemahaman peserta didik, meningkatkan proses

pembelajaran agar lebih baik lagi, dan menentukan program yang lebih efektif

untuk mengajarkan kemampuan literasi Sains.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Gormally, Brickman & Lutz (2012)

yang mengembangkan tes kemampuan literasi Sains (TOLS) untuk mengukur

evaluasi informasi dan Sains dan argumen peserta didik biologi. TOLS dapat

digunakan untuk mengidentifikasi celah antara tujuan pengajaran literasi Sains

dan kemampuan peserta didik, mengungkapkan minat peserta didik dan konsep

alternatif dalam menggunakan kemampuan literasi Sains, dan sebagai alat untuk

mengukur perkembangan literasi Sains peserta didik selama satu semester.

Dengan menggunakan TOLS sebagai instrumen untuk mengukur literasi Sains

peserta didik, maka guru dapat mengevaluasi metode pembelajaran di kelas yang

sesuai bagi perkembangan literasi Sains peserta didik.

Sementara itu, Ariyanti (2016) mengembangkan asesmen modifikasi

Nature of Science Literacy Test (NOSLiT) untuk mengukur literasi Sains peserta

36
didik SMA. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan asesmen yang

dimodifikasi dari instrumen PISA agar sesuai dengan karakteristik peserta didik di

Indonesia. Metode yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan model

Borg & Gall (1983). Modifikasi asesmen yang dikembangkan mempunyai

karakteristik yang terdiri dari : 1) scientific nomenclature; 2) intellectual process

skills; 3) rules of scientific evidence; 4) postulate of science; 5) scientific

disposition; 6) major misconception about science. Kelayakan produk dijamin

melalui validitas isi dengan kategori “baik”; validitas konstruk dengan kategori

“baik”; validitas butir soal “rendah”, proporsi tingkat kesukaran 34,29% mudah;

40,00% sedang; dan 25,71% sulit, daya beda soal dengan interpretasi “kurang”

hingga “baik”. Validitas eksternal asesmen modifikasi NOSLiT diperoleh indeks

uji korelasi (r) sebesar 0,164 menunjukkan tidak adanya hubungan yang

signifikan antara peserta didik mengerjakan asesmen modifikasi NOSLiT dengan

PISA.

Sementara itu, beberapa penelitian lain lebih fokus untuk mengetahui

literasi kimia secara lebih spesifik. Sujana (2014) melakukan penelitian yang

bertujuan untuk mengetahui literasi kimia guru SD dan mahasiswa PGSD pada

tema udara. Instrumen yang digunakan adalah soal tes literasi kimia berjumlah 40

soal pilihan ganda beralasan, angket, serta wawancara. Teknik pengolahan data

yang dilakukan meliputi penentuan batas ketercapaian literasi kimia, pemberian

skor setiap soal, pengubahan skor menjadi nilai, pengelompokkan subjek

penelitian berdasarkan nilai yang diperoleh, serta analisis dan kesimpulan. Hasil

penelitian diperoleh data bahwa hanya 26 orang (63,41%) mahasiswa PGSD yang

37
telah mencapai literasi kimia, sedangkan guru SD hanya 10 orang (50%) yang

sudah mencapai literasi kimia.

Celik (2014) juga melakukan penelitian untuk mengetahui tingkat literasi

kimia mahasiswa calon guru Sains di Turki. Literasi kimia yang diukur terbagi

menjadi empat bagian, yaitu literasi nominal, literasi fungsional, literasi

konseptual, dan literasi multidimensional. Instrumen pengumpulan data berupa

angket yang dikembangkan oleh Schwartz (2006). Angket yang digunakan dibagi

menjadi tiga format berbeda. Angket pertama berbentuk skala likert (1-3) yang

bertujuan untuk mengukur nominal dan fungsional literasi, dalam angket ini juga

terdapat pertanyaan terbuka-tertutup yang menanyakan peserta didik untuk

menjelaskan beberapa konsep kimia. Angket pertama ini memiliki reliabilitas

Cronbarch alpha sebesar 0,97. Angket kedua bertujuan untuk mengukur literasi

konseptual peserta didik. Angket ini berisi pertanyaan yang disertai deskripsi dari

berbagai fenomena tentang kimia, peserta didik diharapkan dapat menjelaskan

dan menghubungkan fenomena tersebut pada konsep-konsep kimia. Instrumen

terakhir digunakan untuk mengukur tingkat literasi multidimensi peserta didik.

Angket ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam membaca

dan mengambil informasi yang berkaitan dengan kimia yang terdapat pada artikel.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa literasi nominal dan konseptual peserta didik

sudah berada pada tingkat memuaskan dan sesuai dengan tujuan kurikulumnya,

namun tingkat literasi fungsional dan multidimensional masih berada pada

kategori kurang.

38
Thummathong & Tathong (2016) juga melakukan penelitian untuk

menyusun instrumen penilaian untuk menilai literasi kimia mahasiswa teknik di

Universitas di Thailand. Alat penilaian yang dikembangkan bernama Chemical

Literacy Test (CLT) yang terdiri dari dua format, yaitu pilihan ganda dan esai.

Hasil tes menunjukan bahwa reliabilitas butir pilihan ganda adalah 0,720.

Sedangkan reliabilitas cornbarch alpha butir tes esai untuk pengetahuan dan

pemahaman dari hubungan antara kimia, teknologi, dan masyarakat, aplikasi

berpikir analitis, aplikasi beralasan, dan moral serta rasa tanggung jawab adalah

0,61, 0,61, 0,82, dan 0,77. Hasil ini menunjukkan bahwa CLT sebagai alat

penilaian literasi kimia memiliki kualitas yang baik.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, sebagian

mengembangkan instrumen tes untuk mengukur literasi Sains. Sementara

beberapa penelitian lainnya telah melakukan pengembangan instrumen tes untuk

mengukur literasi kimia, namun subjek penelitiannya adalah mahasiswa

Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud lebih spesifik dalam

mengembangkan instrumen mengukur literasi kimia peserta didik di SMA. Aspek

yang akan diukur berdasarkan kerangka kerja PISA 2015, yaitu aspek konteks

kimia, pengetahuan kimia, kompetensi kimia, dan afektif. Jika dalam penelitian

sebelumnya, literasi kimia yang diukur masih dalam ruang lingkup secara umum,

maka penelitian ini lebih memfokuskan literasi kimia pada konsep asam dan basa.

Bermacam-macam bentuk tes untuk mengukur literasi Sains maupun

literasi kimia telah dikembangkan, seperti pilihan ganda, pertanyaan terbuka-

tertutup, dan angket. Namun penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan

39
instrumen tes dalam bentuk soal uraian terbuka, dimana kelebihannya dapat

mengukur kemampuan literasi kimia peserta didik yang sifatnya lebih kompleks.

Selain itu peserta didik dapat lebih bebas mengorganisasikan jawaban dengan

pendapatnya sendiri. Oleh karena dalam PISA terdapat aspek afektif, maka

penelitian ini juga bermaksud untuk mengembangkan instrumen berupa angket

yang dapat mengukur aspek afektif pada literasi kimia.

C. Kerangka Pikir

Pengukuran dan penilaian memiliki fungsi yang sangat penting dalam

pendidikan, karena dapat menjadi bahan refleksi untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran dan pendidikan. Selain itu, setiap pendidik wajib menilai hasil

belajar peserta didik untuk melihat kesesuaian hasil belajar peserta didik dengan

tujuan pembelajaran yang diharapkan. Beberapa waktu terakhir ini, literasi Sains

dan literasi kimia menjadi salah satu tujuan utama dalam pembelajaran Sains dan

kimia. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan instrumen yang dapat

mengukur kemampuan literasi kimia peserta didik untuk melihat sejauh mana

kemampuan literasi kimia peserta didik tersebut.

Instrumen untuk mengukur literasi kimia harus memenuhi kriteria yang

baik agar dapat digunakan. Instrumen harus divalidasi isi dan empiris terlebih

dahulu agar mencapai kriteria yang baik,. Validasi isi dilakukan oleh ahli (expert

judgment), sedangkan validasi empiris dilakukan dengan melakukan uji coba

instrumen kepada peserta didik.

Instrumen literasi kimia yang valid dan reliabel memenuhi syarat

digunakan untuk mengukur kemampuan literasi kimia peserta didik. Instrumen

40
literasi kimia yang telah divalidasi dan diujicoba dapat dipergunakan untuk

mengukur literasi kimia peserta didik. Hasil pengukuran dengan menggunakan

instrumen literasi kimia pada konsep asam dan basa akan menggambarkan

kategori kemampuan literasi kimia peserta didik pada konsep asam dan basa.

Kerangka berpikir tersebut secara ringkas dapat dijelaskan melalui Gambar 2.

Pembelajaran

Penilaian

Tes Instrumen Angket

Validasi Isi

Validasi Empiris

Pengukuran

Kemampuan literasi kimia


peserta didik

Gambar 2. Kerangka Pikir

41
D. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat

ditentukan langkah-langkah penelitian dengan mengajukan beberapa pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana validitas instrumen untuk mengukur kemampuan literasi kimia

peserta didik pada konsep asam basa berdasarkan indeks Aiken?

2. Bagaimana karakteristik instrumen tes untuk mengukur kemampuan literasi

kimia peserta didik pada konsep asam basa berdasarkan:

a. Kecocokan butir soal (item fit);

b. Reliabilitas butir soal;

c. Tingkat kesukaran butir soal.

3. Bagaimana karakteristik instrumen angket untuk mengukur kemampuan

literasi kimia peserta didik pada konsep asam basa berdasarkan analisis

faktor?

4. Termasuk kategori apakah kemampuan literasi kimia peserta didik di SMA

Negeri di Yogyakarta pada konsep asam basa dengan menggunakan instrumen

pengukuran kemampuan literasi kimia?

42

Anda mungkin juga menyukai