Anda di halaman 1dari 4

Menurut Umar, J.

(2015) kegiatan untuk menetapkan posisi atau lokasi dari suatu objek atau kasus
pada suatu skala dengan menentukan berapa unit jaraknya dari titik nol pada skala tersebut disebut
pengukuran. Sedangkan menurut Azwar, S. (2015) Ilmu pengukuran (measurement) adalah cabang
dari ilmu Statistika terapan yang bertujuan untuk membangun dasar-dasar teoretik dalam
pengembangan tes yang lebih baik sehingga dapat menghasilkan tes yang dapat berfungsi secara
optimal, valid, dan reliabel.

Dasar-dasar teoretik pengembangan tes itu dilakukan secara terencana lalu ditata dan dirumuskan
menjadi berbagai model matematik yang kelayakannya terus diuji secara berkelanjutan oleh ilmu
Pskometrika sehingga terbentuklah teori pengukuran yang kontribusinya sangat penting dalam
proses konstruksi tes, khususnya tes dalam bidang psikologi dan bidang pendidikan.

Devellis berpendapat bahwa kegiatan pengukuran merupakan kegiatan paling mendasar dalam
bidang keilmuan. Pengamatan menghasilkan pengetahuan tentang manusia, objek, kejadian, dan
proses. Penafsiran yang masuk akal terhadap semua hasil pengamatan tersebut seringkali harus
dilakukan melalui proses pengukuran, yaitu semua yang menarik minat keilmuan membutuhkan
pengukuran (Azwar, S., 2015).

Dalam bidang psikologi, variabel atau atribut selaku objek pengukuran merupakan atribut psikologis
baik berupa atribut kemampuan kognitif dan atribut bukan kemampuan. Atribut merupakan objek
pengukuran yang akan diukur. Pengukuran adalah cara atau prosedur penentuan angka terhadap
atribut atau variable di sepanjang suatu kontinum.

Pengkajian terkait sesuatu yang bervariasi menurut besaran (magnitude) disebut sebagai variabel
kontinum. Dinamakan seperti itu karena suatu besaran biasanya ditunjukkan dalam wujud kontinum
pada suatu garis lurus.

Dalam garis kontinum ini dapat dialokasikan titik nol dan dapat dipilih satuan ukuran (unit) guna
mengukur jarak suatu lokasi (pada garis) dari titik nol itu. Oleh karena itu, dalam konteks
pengumpulan data variabel kontinum, garis bilangan ini disebut skala pengukuran (Umar, J., 2015).

Berbagai kontinum, seperti kontinum kecepatan, kontinum berat, kontinum tinggi, kontinum waktu,
dan semacamnya yang menunjukkan posisi objek berdasarkan jumlah yang dihasilkan oleh
pengukuran dengan memakai berbagai macam skala fisik disebut kontinum fisik. Objek fsik juga bisa
diletakkan npada suatu kontinum fisik tanpa memakai alat ukur atau skala fisik.

Atribut-atribut psikologis seperti intelegensi, bakat verbal, prestasi belajar, potensi akademik, dan
semacamnya tidak bisa diukur secara langsung seperti atribut fisik tetapi hanya bisa diterangkan
melalui berbagai wujud perilaku yang menunjukkan adanya atribut tersebut dalam diri seseorang.

Bila dirumuskan dengan baik, indicator-indikator itu bisa dijadikan acuan dalam pengembangan
instrument sehingga keberadaan atribut psikologis bisa diukur dengan memakai skala ataupun tes
psikologi dan hasilnya bisa diutarakan ke dalam kontinum Psikologis.Hampir semua pengukuran di
bidang psikologi dilakukan tanpa skala dengan titik nol absolut.
Pengukuran adalah proses kuantifikasi atribut, yakni proses yang secara terancang mengkonversikan
konsep teoritik suatu atribut menjadi angka. Secara operasional, karakteristik pengukuran adalah:

a. Pembandingan antara atribut yang diukur dengan alat ukurnya.

b. Hasilnya bersifat kuantitatif (terukur).

c. Kesimpulannya dinyatakan secara deskriptif.

B. Validitas/Relibialitas

Para ahli psikometri telah menetapkan beberapa kriteria terhadap setiap alat ukur untuk dapat
diketahui bahwa sebarapa baik alat ukur tersebut memberikan infomasi yang dapat dipercaya.
Adapun kriteria yang dimaksud yaitu validitas dan reliabilitas. Validitas adalah suatu ciri utama yang
harus dimiliki oleh setiap skala/alat ukur yang berguna untuk menentukan tingkat validitasnya.
Menurut Suryabrata (2000), dalam bidang psikologi kata validitas dapat digunakan dalam tiga jenis
konteks, yaitu (1) validitas penelitian, (2) validitas soal, (3) validitas alat ukur. Suatu tes/instrumen
pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut mampu
menjalankan fungsi ukurnya, atau mampu memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud
pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan
pengukuran,maka tes tersebut memiliki validitas yang rendah ( Azwar, 2000).

Secara umum validitas tes dapat dibagi dalam tiga jenis yaitu validitas berdasar kriteria
(criterionrelated validity), validitas isi (content validity), dan validitas konstruk (construct validity)
(Thorndike, 1997; Azwar.2000; Suryabrata, 2000). Validitas isi menentukan sejauh mana tes yang
diberikan kepada seorang responden yang dapat mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur.
Validitas konstrak melihat sejauh mana skor-skor hasil pengukuran tersebut dengan instrumen yang
dipersoalkan itu merefleksikan konstruksi teoritis yang mendasari penyusunan alat ukur tersebut.

Suryabrata (2000) menyatakan bahwa reabilitas suatu alat ukur dapat menunjukkan seberapa besar
kekeliruan dalam pengukuran dengan alat tersebut yang dapat dipercaya. Dalam menguji suatu alat
ukur apakah sudah reabilitas atau belum ,maka digunakan beberapa pendekataan antara lain
pendekatan tes ulang,pendekatan dengan tes paralel, dan pendekatan pengukura tes satu kali atau
biasanya ditimbulkan oleh pendekatan tes ulang dan bentuk paralel.

C. Faktor‐Faktor yang Melemahkan Validitas Alat Ukur Psikologi

Terdapat beberapa faktor yang dapat mengancam validitas skala psikologi, antara lain:

1. Identifikasi kawasan ukur yang tidak cukup jelas

Ketika kita hendak mengukur “sesuatu” alangkah baiknya kita perlu mengetahui apa yang akan kita
identifikasi. Apabila ciri psikologi sebagai tujuan pengukuran tidak dikenali dengan benar maka akan
terjadi kekaburan.Apabila dalam mengidentifikasi kawasan ukur tidak tepat maka akan
menyebabkan skala menjadi tidak cukup komprehensif dalam mendeskripsikan hasil ukurnya
tersebut. .

2. Operasionalisasi konsep yang tidak tepat

Saat melakukan pengukuran atribut psikologi maka diperlukan operasional konsep yang tepat
melalui beberapa rumusan indicator. Rumusan indikator perilaku diambil dari keefektifan konsep
teoritik mengenai komponen‐komponen atau dimensi‐dimensi atribut yang bersangkutan menjadi
suatu rumusan yang terukur (measurable). Namun, jika suatu rumusan tersebut tidak efektif atau
masih ambigu, maka akan menimbulkan item‐item yang tidak valid, sehingga menghasilkan skala
yang tidak valid pula.

3. Penulisan item yang tidak mengikuti kaidah

Item‐item yang maknanya sulit dimengerti oleh responden karena terlalu panjang ataupun susunan
tata bahasa yang kurang tepat sehingga dapat mendorong responden untuk memilih jawaban
tertentu saja, yang memancing reaksi negatif dari responden, yang mengandung muatan social
desirability tinggi, dan yang memiliki cacat semacamnya. Item seperti itu tidak akan berfungsi
sebagaimana yang telah diharapkan.

4. Administrasi skala yang tidak berhati‐hati

Skala yang isinya sudah dirancang dengan baik dan item yang ditulis pun sudah sesuai dengan
kaidah, tapi responden mengelolanya dengan sembarangan maka hasil skala tersebut tidak akan
menghasilkan data yang valid mengenai keadaan responden.

D. Langkah‐Langkah Dasar Pengembangan Alat Ukur Skala Psikologi

Adapun langkah-langkah untuk mengembangkan alat ukur skala psikologi menurut Gable (1986)
yaitu antara lain sebagai berikut :

1) Mengembangkan pengertian dari konseptual;

2) mengembangkan pengertian dari operasional;

3) memilih teknik pemberian skala yang benar;

4) melakukan review justifikasi butir, yang berkaitan dengan teknik pemberian skala yang telah
ditetapkan di atas;

5) memilih format respons atau ukuran sampel;

6) penyusunan petunjuk untuk respons;

7) menyiapkan draft instrumen,

8) menyiapkan instrumen akhir;

9) pengumpulan data uji coba awal;

10) analisis data uji coba dengan menggunakan teknik analisis faktor, analisis butir dan
reliabilitas;

11) revisi instrumen;

12) melakukan uji coba final;

13) menghasilkan instrumen;

14) melakukan analisis validitas dan reliabilitas tambahan; dan

15) menyiapkan manual instrument.


E. Permasalahan dalam Penyusunan Alat Tes Psikologi

Dalam menyusun typical performance test, umumnya dan khususnya inventori kepribadian
kususnya, ada enam masalah yang perlu di perhatikan dan juga diatasi dalam menyusun alat tes,
agar tes yang disusun terjamin validitasanya (Kline, 1986) dalam A. Supratiknya (2014) , yaitu

a. Masalah yang bersumber pada response sets

Respon sets merupakan kecenderungan dalam menjawab tes inventory kepribadian dengan cara
tertentu dengan mengabaikan isi tes atau pertanyaannya. Terdapat empat jenis respon sets yang
perlu di waspadai dalam menyusun test inventori kepribadian :

1. Respon set of acquiescen yaitu kecenderungan subjek untuk menyatakan setuju dengan
setiap item tes dan mengabaikan isi tesnya, kecenderungan ini akan kuat apabila item tes bersifat
kabur atau ambigu. Saran untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan penerapan skala
berimbang yang mengusahakan agar terdapat jumlah item tes yang sama untuk dijawab berupa
(“Ya-Tidak”/Benar-Salah”) dan menuliskan item tes secara jelas, tidak ambigu dan meharah kepada
tingka laku spesifik.

2. Response set of social desirability yaitu kecenderungan mengisi jawaban mengikuti selera
masyarakat. Salah satu cara mengatasinya yaitu menggunakan forced-choice items of matched social
desieability, yaitu tes yang menggunakan format item tes berupa sepasang pernyataan yang sama-
sama mengandung isi yang sejalan dengan norma sosial yang ada, lalu subjek diminta memilih satu
di antara pilihan tersebut.

3. Response set of using uncertain or middle category yaitu kecenderungan memilih jawaban
tidak menentu atau memilih ditengah (netral). Menurut kline cara terbaik mengatasinya dengan cara
memberikan format item berupa (“Ya-Tidak”/Benar-Salah”)

4. Response set of using the extreme respon yaitu kecenderungan memilih jawaban ekstrim.
Cara yang di sarankan oleh Kline (1986), untuk mengatasinya adalah dengan tidak menerapkannya,
menggantinya dengan format item tes yang bersifat dikotomis, namun jika penyusun tetap ingin
menerapkannya cara lain untuk mengatasinya yaitu dengan melakukan analisis butir dan uji validisi
secara cermat guna mengeliminasi item-item tes yang paling rentan cenderung memberikan
jawaban yang ekstrim semacam itu.

Anda mungkin juga menyukai