LANDASAN TEORI
5
6
b. Jalan Kolektor
Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan
masuk dibatasi.
c. Jalan Lokal
Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak
dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d. Jalan Lingkungan
Jalan angkutan lingkungan (jarak pendek, kecepatan rendah)
b. Penampang Melintang
1. Jalur lalu lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalulintas
kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan. Batas lajur lalu lintas
dapat berupa:
9
a) Median
b) Bahu
c) Trotoar
d) Pulau jalan, dan
e) Separator.
2. Jalur lalu lintas dapat terdiri dari beberapa jalur :
a) Jalur lalu lintas dapat terdiri dari beberapa tipe 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2
TB)
b) 1 lajur-2 lajur-1 arah (2/1 TB)
c) 2 lajur-4 lajur-2 arah (4/2 B)
d) 2 lajur-n lajur-2 arah (n12 B), dimana n =j umlah lajur.
Keterangan: TB = tidak terbagi
B = terbagi
3. Lebar lajur
Lebar lajur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur peruntukannya.
Lebar lajur minimum adalah 4,5 meter, memungkinkan 2 kendaraan kecil saling
berpapasan. Papasan dua kendaraan besar yang terjadi sewaktu-waktu dapat
menggunakan bahu jalan.
Tabel 2.4 Perencanaan lebar lajur dan bahu jalan
d. Lajur
Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka,
lajur jalan memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor
sesuai kendaraan rencana. Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan
10
rencana, yang dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan seperti
ditetapkan dalam tabel
Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan tingkat
kinerja yang direncanakan, dimana untuk satu ruas jalan dinyatakan oleh nilai
rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilai nya tidak lebih dari 0.80.
e. Bahu Jalan
Bahu jalan adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas
yang berfunsi sebagai:
1. Ruangan untuk tempat berhenti sementara kendaraan yang mogok atau yang
sekedar berhenti karena mengemudi ingin berorientasi mengenai jurusan yang
akan ditempuh, atau untuk beristirahat.
2. Ruangan untuk menghindarkan diri dari saat-saat darurat, sehingga dapat
mencegah terjadinya kecelakaan.
3. Remberikan kelegaan pada pengemudi, dengan demikian dapat meningkatkan
kapasitas jalan yang bersangkutan.
4. Ruangan pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan perbaikan atau
pemeliharaan jalan (untuk tempat penempatan alat-alat dan penimbunan
bahan material)
5. Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah samping.
6. Ruangan untuk lintasan kendaraan-kendaraan patroli, ambulans, yang sangat
dibutuhkan pada keadaan darurat seperti terjadinya kecelakaan.
11
f. Median
Median jalan adalah suatu pemisah fisik jalur lalu lintas yang berfungsi
untuk menghilangkan konflik lalu lintas dari arah yang berlawanan, sehingga pada
gilirannya akan meningkatkan keselamatan lalu lintas.
Fungsi median adalah untuk :
1. Menyediakan daerah netral yang cukup lebar dimana pengemudi masih
dapat mengontrol kendaraannya pada saat-saat darurat.
2. Menyediakan jarak yang cukup untuk membatasi / mengurangi kesilauan
terhadap lampu besar dari kendaraan yang berlawanan arah.
3. Menambah rasa kelegahan, kenyamanan dan keindahan bagi setiap
pengemudi.
4. mengamankan kebebasan samping dari masing-masing arah arus lalu-lintas.
(a)
(Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
(b)
Gambar 2.4 (a) Dimensi Kendaraan Sedang (b) Dimensi Kendaraan Besar
(Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
Gambar 2.5 sampai dengan 2.7 menunjukkan radius putar dengan batas
maksimal dan minimum jarak putar dari berbagai sudut untuk setiap ukuran
kendaraan.
14
Kecepatan rencana (VR) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih
sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-
kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah,
lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.Untuk
kondisi medan yang sulit, kecepatan rencana suatu segmen jalan dapat diturunkan
dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam. Kecepatan
rencana untuk masing-masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Kecepatan Rencana ( Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Kelas Jalan
Kecepatan Rencana ( Km/jam
Fungsi Jalan
Datar Bukit Gunung
Arteri 70 – 100 60 – 80 40 - 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30
(Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
emp
Tipe Arus total
MC
Alinyemen (kend/jam) MHV LB LT
<6 m 6–8m >8 m
0 1,2 1,2 1,8 0,8 0,6 0,4
800 1,8 1,8 2,7 1,2 0,9 0,6
Datar 1350 1,5 1,6 2,5 0,9 0,7 0,5
≥1900 1,3 1,5 2,5 0,6 0,5 0,4
0 1,8 1,6 5,2 0,7 0,5 0,3
650 2,4 2,5 5,0 1,0 0,8 0,5
Bukit
1100 2,0 2,0 4,0 0,8 0,6 0,4
≥1600 1,7 1,7 3,2 0,5 0,4 0,3
0 3,5 2,5 6,0 0,6 0,4 0,2
450 3,0 3,2 5,5 0,9 0,7 0,4
Gunung
900 2,5 2,5 5,0 0,7 0,5 0,3
≥1350 1,9 2,2 4,0 0,5 0,4 0,3
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997
Keterangan :
titik pengamatan dalam satuan waktu (hari,jam,menit). Volume lalu lintas dalam
SMP ini menunjukkan besarnya jumlah Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) yang
melintasi jalan tersebut. Dari Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) yang didapatkan
kita dapat mengklasifikasi jalan tersebut seperti terlihat pada tabel dibawah ini:
c. hasil nilai CBR di setiap titik lokasi. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk
menilai besarnya CBR atau kekuatan daya dukung tanah lapisan tanah dasar.
d. Cara pemeriksaan dengan alat DCP ini dilaksanakan dengan mencatat jumlah
pukulan (blow) dan penetrasi dari kerucut logam yang tertanam pada tanah
dasar karena pengaruh jatuhan pemberat. Pemeriksaan akan memberikan
catatan yang menerus dari kekuatan daya dukung tanah sampai kedalaman 90
cm dibawah permukaan tanah dasar (Subgrade) yang ada. Kemudian dengan
menggunakan tabel korelasi, pembacaan penetrometer diubah menjadi
pembacaan yang setara dengan CBR.
Penentuan nilai CBR dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu cara analitis dan
cara grafis.
a. Cara Analitis
Adapun rumus yang digunakan pada CBR analitis adalah:
Nilai R tergantung dari jumlah data yang terdapat dalam satu segmen.
b. Cara Grafis
Nilai dengan menggunakan metode grafis merupakan nilai
persentil ke 90 dari data CBR yang ada dalam satu segmen.
adalah nilai CBR dimana 90% dari data yang ada dalam segmen memiliki
nilai CBR lebih besar dari nilai .
Langkah-langkah menentukan menggunakan metode grafis:
1. Tentukan nilai CBR terkecil.
2. Susunlah nilai CBR dari yang terkecil ke yang terbesar, dan tentukan
jumlah data dengan nilai CBR yang sama atau lebih besar dari setiap nilai
CBR. Pekerjaan ini disusun secara tabelaris.
3. Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan persentase
dari 100 %.
4. Gambarkan hubungan antara nilai CBR danpersentase dari butit 3.
5. Nilai adalah nilai pada angka 90% sama atau lebih besar dari
nilai CBR yang tertera.
Jarak Pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi
pada saat mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu
halangan yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk
menghidari bahaya tersebut dengan aman. Dibedakan dua Jarak Pandang, yaitu
Jarak Pandang Henti (Jh) dan Jarak Pandang Mendahului (Jd).
a. Jarak pandang henti (Jh)
Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap
pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat
adanya halangan di depan. Setiap titik di sepanjang jalan harus memenuhi
ketentuan jarak pandang henti.
Jarak pandang henti diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi
adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm diukur dari permukaan jalan. Jarak
pandang henti terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu:
22
1) jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti
sampai saat pengemudi menginjak rem; dan
2) jarak pengereman (Jh,) adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti.
Jarak pandang henti dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus:
Jh = Jht + Jhr ....................................................................................... (2.2)
Jh = T+ ....................................................................................(2.3)
Jh = 0,278 x Vr x T + ................................................................(2.4)
Jh = 0,278 x Vr x T + ...........................................................(2.5)
di mana :
Vr = kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/
f = koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan
0,35-0,55
L = landai jalan dalam (%) dibagi 100
dimana :
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m),
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur
semula (m),
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang
dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m),
24
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan,
yang besarnya diambil sama dengan 213 d2 (m).
Full Circle adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu
lingkaran saja. Tikungan Full Circle hanya digunakan untuk R (jari-jari
tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka
diperlukan superelevasi yang besar. Jari-jari tikungan untuk tikungan jenis
Full Circle ditunjukkan pada tabel 2.13.
25
Dimana:
= Sudut tangen ( ).
Tc = Panjang tangen jarak dari TC ke P1 ke CT (m).
Rc = Jari-jari lingkaran (m).
Ec = Panjang luar P1 ke busur lingkaran (m).
Lc = Panjang busur lingkaran (m).
26
Ketentuan dan rumus yang digunakan untuk jenis tikungan ini adalah sebagai
berikut:
Ts = (R+P) tan ½ + K ................................................................(2.10)
Es = - R ..............................................................................(2.11)
Lc = 2 R ...............................................................................(2.12)
L = Lc + 2 Ls ..............................................................................(2.13)
Dimana:
Xs = absis titik SC pada garis tangen, jarak titik TS ke SC (m).
Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus pada garis tangen (m).
Ls = Panjang lengkung peralihan (m).
L = Panjang busur lingkaran (dari titik SC ke CS) (m).
Ts = Panjang tangen (titik P1 ke TS atau ke ST) (m).
TS = Titik dari tangen ke spiral (m).
SC = Titik dari spiral ke lingkaran (m).
Es = Jarak dari PI ke lingkaran (m).
R = Jari-jari lingkaran (m).
P = Pergeseran tangen terhadap spiral (m).
K = Absis dari p pada garis tangen spiral (m).
S = Sudut lengkung spiral (˚).
Bentuk tikungan ini digunakan pada keadaan yang sangat tajam. Lengkung
horizotal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran,
sehinnga SC berimpit dengan titik CS.
28
.. Ls = x R.......................................................................................(2.14)
P = p* x Ls ............................................................................... (2.15)
K = k* x Ls ............................................................................... (2.16)
TS = (R+P) x tg ½ + K .......................................................... (2.17)
Es = - 50 ......................................................................... (2.18)
L = 2 x Ls ................................................................................. (2.19)
Dimana:
Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran.
Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST (m).
TS = Titik dari tangen ke spiral (m).
SC = Titik dari spiral ke lingkaran (m).
Rc = Jari-jari lingkaran (m).
29
d. Superelevasi
Rc = R – ¼ Bn + ½ b ........................................................................... (2.20)
B =√ √ - (√ ....... (2.21)
Z = ......................................................................................... (2.22)
√
Bt = n (B + c) + Z ................................................................................. (2.23)
Dimana:
B = Lebar perkerasan pada tikungan (m).
Bn = Lebar total perkerasan pada bagian lurus (m).
b = Lebar kendaraan rencana (m).
Rc = Radius lengkung untuk lintasan luar roda depan (m).
Z = Lebar tambahan akibat kesukaran dalam mengemudi (m).
R = Radius lengkung (m).
n = Jumlah lajur.
C = Kebebasan samping (0,8 m)
= ....................................................................................(2.24)
= R (1 – cos ) .........................................................................(2.25)
= .....................................................................................(2.26)
Dimana:
E = Jarak dari penghalang ke sumbu lajur sebelah dalam (m).
R = Radius sumbu lajur sebelah dalam (m)
Jh = Jarak pandanng henti (m).
Jd = Jarak pandang menyiap (m).
L = Panjang tikungan (m).
g. Penentuan Stationing
b. Keadaan medan
c. Fungsi jalan
d. Muka air banjir
e. Muka air tanah
f. Kelandaian yang masih memungkinkan
Selain hal tersebut diata dalam perencanaan alinyemen vertikal akan ditemui
kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan), sehingga terdapat
suatu kombinasi yang berupa lengkung cembung dan lengkung cekung serta akan
ditemui pula kelandaian = 0, yang bearti datar.
Gambar rencana suatu profil memanjang jalan dibaca dari kiri ke kanan,
sehingga landai jalan diberi tanda positif untuk pendakian dari kiri ke kanan, dan
landai negatif untuk penurunan dari kiri ke kanan.
a. Landai minimum
Untuk tanah timbunan yang tidak menggunakan kerb, maka lereng melintang
jalan dianggap sudah cukup untuk dapat mengalirkan air diatas badan jalan
yang selanjutnya dibuang ke lereng jalan.
Untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan dengan medan datar dan
menggunakan kerb, kelandaian yang dianjurkan adalah sebesar 0,15%, yang
dapat membantu mengalirkan air dari atas badan jalan dan membuangnya ke
saluran tepi atau saluran pembuangan.
Sedangkan untuk jalan-jalan di daerah galian atau jalan yang memakai kerb,
kelandaian jalan minimum yang dianjurkan adalah 0,30 – 0,50 %. Lereng
melintang jalan hanya cukup untuk mengalirkan air hujan yang jatuh diatas
badan jalan, sedangkan landai jalan dibutuhkan untuk membuat kemiringan
dasar saluran samping, untuk membuang air permukaan sepanjang jalan.
b. Landai maksimum
Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk menjaga agar kendaraan dapat
bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang bearti. Kelandaian
meksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh dan
35
Landai maksimum saja tidak cukup merupakan faktor penentu dalam suatu
perencanaan alinyemen vertikal, karena jarak yang pendek memberikan
faktor pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan jarak yang panjang pada
kelandaian yang sama. Kelandaian yang besar akan mengakibatkan
penurunan kecepatan pada kendaraan truk yang cukup bearti, jika kelandaian
tersebut dibuat panjang pada jalan yang cukup panjang, tetapi sebaliknya
akan kurang bearti jika panjang jalan dengan kelandaian tersebut hanya
pendek saja.
Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan agar
kendaraan dapat mempertahankan kecepatan sedemikian rupa, sehingga
penurunan kecepatan yang terjadi tidak lebih dari separuh kecepatan rencana
(Vr). Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari satu menit
d. Lajur pendakian
Pada lajur jalan dengan rencana volume lalu lintas tinggi, maka kendaraan
berat akan berjalan pada lajur pendakian dengan kecepatan dibawah
kecepatan rencana (Vr), sedangkan kendaraan lainnya masih dapat bergerak
dengan kecepatan rencana. Dalam hal ini sebaliknya dipertimbangkan untuk
membuat lajur tambahan di sebelah kiri lajur jalan.
e. Lengkung vertikal
Dimana:
g1 = Kelandaian tangen dari titik P (%)
g2 = Kelandaian tangen dari titik Q (%)
bawah (subbase course), lapis pondasi atas (base course), dan lapis permukaan
(surface course)
3. Perkerasan Komposit
ini maka perlu ada persyaratan ketebalan perkerasan aspal agar mempunyai
kekuatan yang cukup serta mencegah retak refleksi dari perkerasan beton di
bawahnya
Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus elastisitas yang tinggi,
mendistribusikan beban dari atas menuju ke bidang tanah dasar yang cukup luas
sehingga bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh dari plat
beton sendiri. Hal ini berbeda dengan perkerasan lentur dimana kekuatan
perkerasan diperoleh dari tebal lapis pondasi bawah, lapis pondasi dan lapis
permukaan.
Karena yang paling penting adalah mengetahui kapasitas struktur yang
menanggung beban, maka faktor yang paling diperhatikan dalam perencanaan
tebal perkerasan beton semen adalah kekuatan beton itu sendiri. Adanya beragam
kekuatan dari tanah dasar dan atau pondasi hanya berpengaruh kecil terhadap
kapasitas struktural perkerasannya.
Lapis pondasi bawah jika digunakan di bawah plat beton karena beberapa
pertimbangan, yaitu antara lain untuk menghindari terjadinya pumping, kendali
terhadap sistem drainasi, kendali terhadap kembang-susut yang terjadi pada tanah
dasar dan untuk menyediakan lantai kerja (working platform) untuk pekerjaan
konstruksi.
1. Secara lebih spesifik, fungsi dari lapis pondasi bawah adalah :
Menyediakan lapisan yang seragam, stabil dan permanen.
2. Menaikkan harga modulus reaksi tanah dasar (modulus of sub-grade reaction =
k), menjadi modulus reaksi gabungan (modulus of composite reaction).
3. Mengurangi kemungkinan terjadinya retak-retak pada plat beton.
4. Menyediakan lantai kerja bagi alat-alat berat selama masa konstruksi.
5. Menghindari terjadinya pumping, yaitu keluarnya butir-butiran halus tanah
bersama air pada daerah sambungan, retakan atau pada bagian pinggir
perkerasan, akibat lendutan atau gerakan vertikal plat beton karena beban lalu
lintas, setelah adanya air bebas terakumulasi di bawah pelat.
1. Tanah dasar
Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai
dengan SNI 03-1731-1989 atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI 03-1744-
42
Nilai R tergantung dari jumlah data yang terdapat dalam satu segmen. Nilai
R untuk perhitungan CBR segmen diberikan pada tabel 2.16 diatas.
2. Pondasi bawah
Lapis pondasi bawah berfungsi untuk menambah daya dukung tanah dasar,
menyediakan lantai kerja yang stabil dan mendapatkan permukaan dengan
daya dukung yang seragam. Lapis pondasi bawah juga dapat mengurangi
lendutan pada sambungan-sambungan sehingga menjamin penyaluran beban
melalui sambungan muai dalam waktu lama, menjaga perubahan volume
lapisan tanah dasar akibat pemuaian dan penyusutan serta mencegah
keluarnya air atau pumping pada sambungan pada tepi- tepi pelat beton.
Bahan pondasi bawah dapat berupa :
1) Bahan berbutir
Persyaratan dan gradasi pondasi bawah harus sesuai dengan kelas B.
Sebelum pekerjaan dimulai, bahan pondasi bawah harus diuji gradasinya
dan harus memenuhi spesifikasi bahan untuk pondasi bawah, dengan
penyimpangan ijin 3% - 5%.
2) Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled
Concrete)
- Stabilisasi material berbutir dengan kadar bahan pengikat yang sesuai
dengan hasil perencanaan, untuk menjamin kekuatan campuran dan
ketahanan terhadap erosi Jenis bahan pengikat dapat meliputi semen,
kapur, serta abu terbang dan/atau slag yang dihaluskan.
- Campuran beraspal bergradasi rapat (dense-graded asphalt).
- Campuran beton kurus giling padat yang harus mempunyai kuat tekan
karakteristik pada umur 28 hari minimum 5,5 MPa (55 kg/cm2 ).
3) Campuran beton kurus (Lean Mix Concrete)
Campuran Beton Kurus (CBK) harus mempunyai kuat tekan beton
karakteristik pada umur 28 hari minimum 5 MPa (50 kg/cm2) tanpa
kenggunakan abu terbang, atau 7 MPa (70 kg/cm2) bila menggunakan abu
terbang, dengan tebal minimum 10 cm.
44
Gambar 2.21 CBR Tanah Dasar Efektif dan Tebal Pondasi Bawah
45
3. Beton semen
Kekuatan beton harus dinyatakan dalam nilai kuat tarik lentur (flexural
strength) umur 28hari, yang didapat dari hasil pengujian balok dengan
pembebanan tiga titik (ASTM C-78)yang besarnya secara tipikal sekitar 3–5
MPa (30-50 kg/cm2). Kuat tarik lentur beton yang diperkuat dengan bahan
serat penguat seperti serat baja, aramit atau serat karbon, harus mencapai kuat
tarik lentur 5–5,5 MPa (50-55 kg/cm2). Kekuatan rencana harus dinyatakan
dengan kuat tarik lentur karakteristik yang dibulatkan hingga 0,25 MPa (2,5
kg/cm2) terdekat. Hubungan antara kuat tekan karakteristik dengan kuat tarik-
lentur beton dapat didekati dengan rumus berikut:
Fcf = K (f c )0.50 dalam Mpa atau .......................................................... (2.29)
Fcf = 3,13 K (f c )0.50 dalam Mpa atau ................................................. (2.30)
Dimana:
fc = kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2)
fcf = kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)
K = konstanta 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 untuk agregat basah
4. Lalu – lintas
Penentuan beban lalu-lintas rencana untuk perkerasan beton semen,
dinyatakan dalam jumlah sumbu kendaraan niaga (commercial vehicle),
sesuai dengan konfigurasi sumbu pada lajur rencana selama umur rencana.
Lalu-lintas harus dianalisis berdasarkan hasil perhitungan volume lalu-lintas
dan konfigurasi sumbu, menggunakan data terakhir atau data 2 tahun
terakhir. Kendaraan yang ditinjau untuk perencanaan perkerasan beton
semen adalah yang mempunyai berat total minimum 5 ton. Konfigurasi
sumbu untuk perencanaan terdiri atas 4 jenis kelompok sumbu sebagai
berikut :
Sumbu tunggal roda tunggal (STRT)
Sumbu tunggal roda ganda (STRG)
Sumbu tandem roda ganda (SGRG)
46
Tabel 2.17 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan dan Koef. Distribusi
f. Umur rencana
Umur rencana perkerasan jalan ditentukan atas pertimbangan klasifikasi
fungsional jalan, pola lalu-lintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan,
yang dapat ditentukan antara lain dengan metode Benefit Cost Ratio, Internal
Rate of Return, kombinasi dari metode tersebut atau cara lain yang tidak
terlepas dari pola pengembangan wilayah. Umumnya perkerasan beton semen
dapat direncanakan dengan umur rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun.
..................................................................................(2.31)
47
Dimana :
R = faktor pertumbuhan lalu lintas
i = laju pertumbuhan lalu lintas pertahun dalam %
UR = umur rencana (tahun)
Bahu dapat terbuat dari bahan lapisan pondasi bawah dengan atau
tanpa lapisan penutup beraspal atau lapisan beton semen. Perbedaan kekuatan
antara bahu dengan jalur lalu-lintas akan memberikan pengaruh pada kinerja
perkerasan. Hal tersebut dapat diatasi dengan bahu beton semen, sehingga
akan meningkatkan kinerja perkerasan dan mengurangi tebal pelat. Yang
dimaksud dengan bahu beton semen dalam pedoman ini adalah bahu yang
dikunci dan diikatkan dengan lajur lalu-lintas dengan lebar minimum 1,50 m,
49
atau bahu yang menyatu dengan lajur lalu-lintas selebar 0,60 m, yang juga
dapat mencakup saluran dan kereb.
2.7.6 Sambungan
Sambungan pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :
Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh
penyusutan, pengaruh lenting serta beban lalu-lintas.
Memudahkan pelaksanaan.
Mengakomodasi gerakan pelat.
Pada perkerasan beton semen terdapat beberapa jenis sambungan antara
lain :
a. Sambungan Memanjang dengan Batang Pengikat (tie bars)
Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk mengendalikan
terjadinya retak memanjang. Jarak antar sambungan memanjang sekitar 3 -
4 m. Sambungan memanjang harus dilengkapi dengan batang ulir dengan
mutu minimum BJTU-24 dan berdiameter 16 mm. Ukuran batang pengikat
dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
At = 204 x b x h ……………............…............................................. (2.33)
l = (38,3 x φ) + 75 …………….......................................................... (2.34)
Dimana :
At = Luas penampang tulangan per meter panjang sambungan (mm2).
b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan dengan
tepi perkerasan (m).
h = Tebal pelat (m).
l = Panjang batang pengikat (mm).
= Diameter batang pengikat yang dipilih (mm).
g. Sambungan isolasi
Sambungan isolasi memisahkan perkerasan dengan bangunan yang lain,
misalnya manhole, jembatan, tiang listrik, jalan lama, persimpangan dan lain
sebagainya. Sambungan isolasi harus dilengkapi dengan bahan penutup (joint
sealer) setebal 5–7 mm dan sisanya diisi dengan bahan pengisi (joint filler)
sebagai mana diperlihatkan pada gambar 2.28.
(a) (b)
(c)
Gambar 2.28. Sambungan Isolasi dengan ruji (a), Sambungan isolasi dengan
penebalan tepi (b), sambungan isolasi tanpa ruji (c).
54
h. Penutup Sambungan
Penutup sambungan dimaksudkan untuk mencegah masuknya air dan atau
benda lain ke dalam sambungan perkerasan. Benda – benda lain yang
masuk ke dalam sambungan dapat menyebabkan kerusakan berupa gompal
dan atau pelat beton yang saling menekan ke atas (low up)
Keterangan :
A = Sambungan Isolasi
B = Sambungan Pelaksanaan Memanjang
C = Sambungan Susut Memanjang
D = Sambungan Susut Melintang
E = Sambungan Susut Melintang yang direncanakan
F = Sambungan Pelaksanaan Melintang yang tidak direncanakan
55
Dimana :
Adapun nilai koefisien gesek antara pelat beton (slab) dengan lapisan
pondasi dibawahnya dapat dilihat pada tabel 2.21 dibawah ini :
Tabel 2.21 Koefisien Gesekan Pelat Beton dengan Lapisan Pondasi Bawah
Koefisien
No Lapis pemecah ikatan Gesekan
(µ)
1 Lapis resap ikat aspal diatas permukaan pondasi
bawah 1,0
2 Laburan parafin tipis pemecah ikat 1,5
3 Karet kompon (A chlorinated rubber curing
2,0
compound)
(Sumber : Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen, 2003)
57
175 – 225 10
235 – 285 8
290 - ke atas 6
(Sumber : Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen, 2003)
Dimana :
Lcr = jarak teoritis antara retakan (cm)
p = perbandingan luas tulangan memanjang dengan luas penampang
beton
u = perbandingan keliling terhadap luas tulangan = 4/d
fb = tegangan lekat antara tulangan dengan beton = (1,97√f c)/d.
(kg/cm2)
S = koefisien susut beton = (400.10-6)
fct = kuat tarik langsung beton = (0,4 – 0,5 fcf) (kg/cm2)
n = angka ekivalensi antara baja dan beton = (Es/Ec)
Ec = modulus Elastisitas beton =14850√ f c (kg/cm2)
Es = modulus Elastisitas baja = 2,1x106 (kg/cm2)
3. Retak yang terjadi bisa lebih kecil, karena ada tekanan dari baja yang
ditegangkan.
4. Pelaksanaan di lapangan akan lebih cepat, dan pembukaan untuk lalu
lintas pun akan lebih cepat pula.
5. Gangguan terhadap lalu lintas, selama pelaksanaan di lapangan bisa
diminimalkan karena pembangunan bisa lebih cepat.
6. Kenyamanan pengguna jalan akan meningkat, karena sambungan antar
pelat lebih panjang.
RT = X + K Sx ………..(2.40) K= ……………(2.41)
62
Dimana :
a,b = Konstanta yang di sesuaikan dengan lokasi, tak berdemensi
t = Durasi hujan (menit)
I = Intensitas Hujan (mm/jam)
Menurut JICA, Jika t < 10 menit = dianggap 10 menit, jika t > 120 menit maka
rumus ini akurasinya berkurang.
Jika data curah hujan harian yang diperlukan tidak tersedia, maka R24 dari table
digunakan dengan bantuan cara Weduwen, yaitu mengacu pada curah hujan.
c. Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi di bagi dua, yaitu (t1) waktu untuk mencapai awal saluran
(inlet time) dan (t2) waktu pengaliran. Untuk drainase permukaan jalan
menurut JICA dipakai (t1) sedangkan untuk saluran atau Culvert dipakai (t2 +
t1).
Inlet Time
63
{ …………………...........…………………(2.43)
√
Dimana :
t1 = Inlet Time (menit)
Lt = panjang dari titik terjauh sampai sarana drainase (m)
k = kelandaian permukaan
nd = Koefisien hambatan
Keterangan :
Panjang :
L1,L3,L2 sesuai ketentuan klasifikasi jalan
Kelandaian :
Untuk L1,k1 = 2 – 3%
Untuk L2, k2 = 3 – 5 %
Untuk kelandaian ini juga di sesuaikan dengan klasifikasi dan konstruksi
jalan, untuk L3, k3 = sesuai dengan kondisi di lapangan
Lebar :
Lebar dengan pengaliran yang di perhitungkan = panjang saluran yang di
hitung ( L = panjang saluran yang di hitung)
Waktu pengaliran
Dapat diperoleh sebagai pendekatan dengan membagi panjang aliran
maksimum dari saluran samping dengan kecepatan rata-rata aliran pada
saluran tersebut.
Kecepatan rata-rata aliran diperoleh dari rumus manning:
V = x J 2/3 x S ½ …………………………………...........…..…...(2.44)
Dimana :
V = kecepatan rata-rata aliran (m/det)
J = F/O jari-jari Hydraulis (m),
F = luas penampang basah (m²),
O = keliling basah (m)
65
Dimana :
L = panjang saluran (m)
t2 = waktu pengaliran (menit)
jika waktu konsentrasi (Tc) = (t1 + t2 ) yaitu rumus (2.48) + rumus (2.49)
sedangkan V pada rumus (2.49) diperoleh dari rumus (2.48) dimana V
dapat ditentukan jika dimensi saluran telah ditetapkan.
e. Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran atau koefisien lipasan (C) adalah angka reduksi dari
intensitas hujan, yang besarnya disesuaikan dengan kondisi permukaan,
kemiringan atau kelandaian, jenis tanah dan durasi hujan, koefisien ini tidak
berdimensi.
Menurut The Asphalt Institute untuk menentukan Cw dengan berbagai kondisi
permukaan, dapat dihitung atau ditentukan dengan cara sebagai berikut :
66
Cw = ………………………............……………(2.48)
Dimana :
C1,C2 …. = Koefisien pengaliran sesuai dengan jenis permukaan
A1,A2 …. = Luas daerah pengaliran (km²)
Cw = C rata-rata pada daerah pengaliran yang dihitung.
Cw = ………………………….........……………...(2.49)
Dimana :
Q : Debit aliran air (m3/detik)
C : Koefisien pengairan rata-rata dari C1, C2, C3
I : Intensitas curah hujan (mm/jam)
A : Koefisien pengairan rata-rata dari A1, A2, A3
67
g. Penampang Saluran
Tabel 2.25 Unsur-Unsur Geometris Penampang Saluran
2.9.2 Gorong-gorong
yang wajar, dan tidak terlalu jauh berbeda dengan harga yang dihitung
secara teliti.
Sedangkan penyusunan anggaran biaya yang dihitung dengan teliti,
didasarkan atau didukung oleh :
a) Bestek
Gunanya untuk menentukan spesifikasi bahan dan syarat-syarat
b) Gambar Bestek
Gunanya untuk menentukan/menghitung/besarnya amasing – masing
volume pekerjaan.
c) Harga Satuan Pekerjaan
Didapat dari harga satuan bahan dan harga satuan upah berdasarkan
perhitungan analisa BOW.
\
72
2.10.7 Kurva S
Kurva S adalah sebuah jadwal perencanaan yang disajikan dalam bentuk
tabel dan bagan menyerupai huruf S. Kurva S dibuat berdasarkan bobot setiap
pekerjaan dan lama waktu yang diperlukan untuk setiap pekerjaan dari tahap
pertama sampai berakhirnya pekerjaan tersebut. Bobot pekerjaan merupakan
persentase yang didapat dari perbandingan antara harga pekerjaan dengan harga
total keseluruhan dari jumlah harga penawaran. Kurva S yang baik adalah pelan
disaat awal pekerjaan kemudian cepat ditengah dan santai lagi diakhir jadwal.