Anda di halaman 1dari 11

Seminar Nasional

Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019


“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

PENGEMBANGAN KUALITAS SDM UNTUK MEMPERKUAT


KEWASPADAAN NASIONAL

DEVELOPING HUMAN RESOURCE QUALITY TO STRENGTHEN


NATIONAL VIGILANCE

Arundati Shinta1) dan Dadan Umar Daihani2)


1)
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
2)
Universitas Trisakti Jakarta
arundatishinta@yahoo.com
 0812 – 2380 - 6190

ABSTRAK

Penelitian literatur ini membahas tentang pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang
tangguh dalam rangka memperkuat kewaspadaan nasional pada era Revolusi Industri 4.0. Hal ini penting karena
Indonesia sebagai negara yang memiliki posisi strategis di antara dua benua dan dua samudra akan menghadapi
banyak ancaman. Jenis dan bentuk ancaman dari jaman ke jaman terus berubah. Pada era Revolusi Industri 4.0
ancaman yang muncul ke permukaan adalah budaya digital yang mana hal itu bisa berpengaruh positif namun
juga negatif. Bila NKRI ingin dibangun menjadi Indonesia Incoporated yang tangguh, maka situasi sekarang
yang sebenarnya sudah dalam kondisi baik-baik saja (good), pada masa depan sudah tidak cukup lagi. Indonesia
Incorporated harus berada dalam situasi yang luar biasa hebat (excellence). Untuk mencapai hal itu salah satu
langkah strategisnya adalah membangun kualitas Sumber Daya Manusianya. Sesuai dengan tantangan masa
depan yaitu memasuki era dunia maya, maka pembangunan manusia harus diarahkan untuk memiliki digital
literasi yang tinggi. Pada masa depan Indonesia tidak akan terlepas dari terbentuknya masyarakat dunia maya
global (global cyber communities). Untuk itulah penguasaan digital literasi menjadi penting untuk dibahas.
Kata-kata kunci: Kewaspadaan nasional, SDM, literasi digital.

ABSTRACT

This literature research explains on how developing Indonesian human resource quality in order to strengthen
our national vigilance in industial revolution 4.0 era. This is important since Indonesia lies between two
continents and two oceans and therefore the national vigilance is threatened. Types and formats of threat are
various. In the 4.0 era, the most terrible threat is the digital threat, such as hoax. When discussing about strong
industry, our country can be perceived as the Indonesian incorporated. Currently, the human resouce quality
within the Indonesian incorporated is on the good standard. However, in the future, the human resource quality
should be on the excellent standard. The best strategy to build excellent human resource quality is through
digital literacy. People with high digital literacy are strong enough to prevent any digital threats and they are
able to diferentiate fake news from the truth.
Key words: National vigilance, human resource, digital literacy.

PENDAHULUAN

Kewaspadaan nasional ialah kesadaran yang berhubungan dengan kepentingan nasional untuk
menghadapi ancaman yang akan merusak kelangsungan hidup berbangsa. Kepentingan nasional itu
adalah tetap tegaknya NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sehingga pembangunan nasional
dapat berjalan dengan lancar. Ancaman tersebut dapat berasal dari dalam maupun luar Indonesia (Tim
Pokja Kewaspadaan Nasional, 2018). Ancaman nasional adalah tindakan yang dinilai atau sudah
terbukti membahayakan keselamatan dan kepentingan NKRI. Ada empat ancaman yang perlu
diwaspadai yaitu; (1) Ancaman fisik atau militer. Contohnya adalah agresi senjata, pelanggaran
wilayah dengan kapal atau pesawat terbang, spionase, sabotase dan teror internasional. (2) Ancaman
ideologi, non fisik atau non militer. Ancaman ini berupa suatu paham yang tidak sesuai dengan
budaya Indonesia dan datangnya dari luar Indonesia. Sebagai contoh berbagai upaya dan pengaruh
dari luar untuk mengganti ideologi Pancasaila dengan ideologi liberal atau ideologi lainnya. (3)
Ancaman hibrida, yang berupa perpaduan antara perang konvensional, perang yang tidak teratur dan

388
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

ancaman cyber warfare. Contohnya adalah serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak
improvisasi dan perang informasi, serta penetrasi budaya sosial media yang tidak berakar pada nilai-
nilai kebangsaan Indonesia. (4) Ancaman tidak nyata atau konflik berupa interaksi sosial antar
individu atau kelompok untuk memperebutkan suatu hal (Tim Pokja Kewaspadaan Nasional, 2018).

Indonesia adalah negara besar dengan jumlah penduduk urutan terbesar ke empat di dunia dan
memiliki posisi geografi yang strategis, akan selalu mendapat ancaman kedaulatan. Oleh karena itu,
masyarakat Indonesia harus selalu waspada terhadap potensi ancaman luar biasa dari empat jenis
ancaman tersebut. Permasalahannya adalah masyarakat Indonesia sering tidak menyadari bahwa
keberadaan NKRI sangat rawan dari ancaman. Pada masa lampau, ancaman itu sangat jelas yaitu
adanya penjajahan. Pada era revolusi industri 4.0 (era disrupsi 4.0) sekarang ini, ancaman yang
dihadapi sangat tidak jelas, sehingga bisa saja secara mendadak bangsa Indonesia kehilangan
kedaulatan dan wilayahnya. Ancaman cyber sangat kuat dan tidak terduga. Situasi seperti ini sangat
mengkhawatirkan karena dalam kondisi sperti itu kita tidak bisa membedakan antara musuh dan
kawan. Strategi yang paling jitu untuk menghadapi ancaman itu adalah peningkatan kualitas SDM.
Dalam kondisi seperti itu pertanyaan menarik untuk dijawab adalah Kualitas SDM seperti apa yang
paling sesuai untuk meningkatkan Kewaspadaan Nasional masyarakat Indonesia di era
Revolusi Industri 4.0?

Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai hubungan antara kualitas SDM yang dikaitkan dengan
keutuhan NKRI serta tantangannya dalam menghadapi era Revolusi Industri 4.0. Hubungan tersebut
menjadi dasar bagi Kewaspadaan Nasional. Melalui tulisan ini diharapkan dapat dirumuskan berbagai
masukan untuk pihak-pihak terkait terutama institusi pendidikan tentang urgensinya mendidik serta
mempersiapkan manusia-manusia Indonesia yang berkualitas tinggi dan cinta NKRI.

METODE

Tulisan ini didasarkan atas kajian literatur dan berbagai hasil diskusi di Lemhannas. Pendekatan
dalam melakukan analisis adalah metode kualitatif yang terdiri dari lima langkah. Langkah pertama
adalah menggambarkan fenomena yang terjadi (analisis deskriptif), dan sumber data dari berbagai
dokumen. Langkah ke-2, analisis diagnostik yakni analisis penyebab fenomena. Pada tahap ini,
berbagai kemungkinan penyebab fenomena akan terlihat. Langkah ketiga yakni analisis prediktif
yang mencoba melihat ke depan, apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan untuk
menjawab tantangan masa depan. Langkah ke-4 dan ke-5 adalah preskriptif dan pre-emtof yakni
memberikan rekomendasi strategis yang perlu dirumuskan berkaitan dengan Kewaspadaan Nasional
yang perlu dibangun.

PEMBAHASAN
Pentingnya pemahaman tentang sendi-sendi NKRI

Mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat unik yaitu suatu negara kepulauan yang terdiri
atas 17.504 pulau. Dari jumlah tersebut, 91,7% sudah disahkan oleh PBB, sedangkan sisanya masih
dalam proses pengesahan (Martha, 2018). Kondisi geografis sebagai salah satu negara kepulauan
terbesar di dunia dapat dipandang sebagai anugerah sekaligus tantangan. Dipandang sebagai anugrah
karena Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam. Sebaliknya, Indonesia juga dipandang sebagai
tantangan karena untuk mengelola negara seperti ini membutuhkan sistim manajemen yang unik.
Indonesia, selain terdiri atas pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatera, yang padat penduduknya, juga
mempunyai 111 pulau-pulau terluar (UU No. 6 / 2017), yang mungkin saja tidak berpenghuni.
Kondisi geografis ini rentan untuk diklaim negara tetangga dan memudahkan orang-orang asing
menyelundup ke Indonesia. Situasi geografis seperti ini membuat bangsa Indonesia rentan terhadap
empat ancaman tersebut di atas. Jadi kewaspadaan masyarakat di sekitar pulau-pulau tersebut dan
juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan perlu ditingkatkan. Pengalaman bersengketa dengan

389
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

Malaysia memperebutkan Pulau Simpadan dan Ligitan pada 17 Desember 2002, tentu tidak perlu
terulang. Oleh karena itu kajian tentang Kewaspadaan Nasional sangatlah penting untuk terus
dilakukan.

Kewaspadaan Nasional juga penting untuk dibahas dikaitkan dengan kepedulian seluruh anak bangsa
dalam memperthankan kedaulatan NKRI. Saat ini dirasakan ada kehawatirkan bahwa tingkat
kesadaran masyarakat terhadap Kewaspadaan Nasional semakin menipis. Hal itu tercermin dari
survei Saiful Mujani pada Mei 2017 yang melibatkan 1.350 responden (usia 17+). Pertanyaan survei
adalah “Ada yang berpendapat bahwa NKRI yang bersandar pada Pancasila dan UUD 1945 sekarang
melemah, dan karena itu NKRI terancaman bubar”. Hasil survei memperlihatkan bahwa jawaban
tidak khawatir (61,8% responden), NKRI dalam bahaya (14,5%), dan tidak tahu/tidak menjawab
(23,7%). Responden yang khawatir meyakini bahwa Indonesia berpotensi mengalami perang saudara
seperti di Suriah, Irak dan Yugoslavia (Kumparan.com, 2017). Responden yang tidak khawatir
(61,8%) tersebut berarti tidak cemas mengenai keamanan NKRI. Rasa tidak cemas biasanya
menyebabkan seseorang tidak peduli dengan perilaku antisipasi. Situasi inilah yang dihawatirkan
terjadi pada para pemimpin dan masyarakat di daerah yaitu tidak peduli dengan dasar negara
Pancasila, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Padahal bangsa
yang kuat akan selalu menjunjung tinggi rasa nasionalismenya.

Rendahnya rasa nasionalisme juga ditengarai melanda daerah terpencil. Mayoritas siswa kelas 4-6 SD
di Kabupaten Labuhan Bajo, misalnya, tidak hafal lagu kebangsaan Indonesia Raya, tidak mengetahui
bendera Republik Indonesia. Hanya satu siswa saja yang hafal Pancasila, dan mayoritas siswa hanya
hafal sila pertama Pancasila (Loedji, 2017). Hasil serupa juga terlihat pada survei yang dilakukan oleh
koran Kompas pada 1 Juni 2008 (Buchory, Rahmawati & Wardani, 2017). Hasil survei
menggambarkan bahwa, 48,4% responden (usia 17-29) tidak mampu menyebutkan lima sila
Pancasila dengan lengkap, 42,7% responden (usia 30-45) dan 60,6% responden (usia 46+) salah
menyebutkan lima sila dari Pancasila. Rendahnya rasa nasionalisme mencerminkan pengabaian
terhadap sendi-sendi negara. Masyarakat tidak peduli dengan intervensi pihak asing. Apalagi
sekarang ini, media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dan interaksi di dalamnya
tidak memiliki sekat-sekat suatu negara. Interaksi antar negara dapat dilakukan dengan mudah, cepat,
gratis, bahkan dengan menggunakan identitas palsu.

Bila masyarakat Indonesia tidak peduli dengan sendi-sendi NKRI, lalu siapa yang harus menjaga
kedaulatan NKRI? Kedaulatan bangsa bergantung pada pemerintah, rakyat, dan adanya wilayah. Bila
rakyat mengabaikan unsur wilayah, maka kedaulatan negara akan terancam. Untuk menyadarkan
rakyat bahwa wilayah Indonesia sangat luas, maka rakyat Indonesia harus digugah kewaspadaannya.
Penjaga kedaulatan NKRI tidak hanya berada di pundak prajurit TNI dan Polri saja, namun juga
terletak dipundak segenap masyarakat Indonesia.

Kewaspadaan pada era disrupsi 4.0 ini jauh lebih menakutkan daripada era penjajahan pada masa
lampau, karena dua alasan. Pertama, ancaman melalui media sosial yang dapat mempengaruhi kognisi
masyarakat pengguna internet secara intangible (tidak teraba) sehingga masyarakat merasa tidak perlu
waspada. Kedua, masyarakat mengetahui namun tidak bisa merasakan luasnya wilayah Indonesia,
termasuk konsekuensinya. Hal ini terlihat dari survei UGM pada 672 tenaga kerja yang menolak
ditempatkan di luar Jawa. Hasil survei memperlihatkan bahwa alasan penolakan karena minimnya
fasilitas dan jauh (43,9% responden), tidak diijinkan orangtua (27,1%), perbedaan budaya (16,5%),
jauh dari teman dekat (4,2%), dan sisanya menjawab lain-lain (Amelia, 2014). Hal ini berarti bahwa
daerah di luar Jawa dipersepsikan bukan termasuk wilayah Indonesia, sehingga tidak menarik bagi
generasi muda untuk menjadi pekerja di lokasi lain selain tempat tinggalnya sekarang. Jadi
berdasarkan hasil survei di atas maka kewaspadaan tentang sendi-sendi NKRI adalah sangat urgen.
Generasi muda sebagai masa depan Indonesia harus terus digugah kewaspadaannya terutama terhadap
ancaman dari dunia maya.

390
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

Peranan Media Sosial

Generasi muda adalah pengguna media sosial yang sangat intensif. Penduduk Indonesia menjadi
pengguna media sosial yaitu yang paling intensif di dunia (79,72%), dibandingkan Singapura (63%),
Australia (48,8%), dan Jepang (30.1%) (Morissan, 2014). Hasil tersebut sejalan dengan hasil survei
yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) sebagaimana dapat
dilihat pada Gambar 1 dan 2 di bawah ini. Adapun media sosial favorit adalah Facebook dan
Instagram.

Gambar 2 . Prosentasi Pengguna Internet Indonesia


Sumber : Hasil Survei APJII tahun 2017

Gambar 2 . Prosentasi Pengguna Internet Indonesia


Sumber : Hasil Survei APJII tahun 2017

Media sosial berdampak positif dan negatif, media sosial berdampak positif bila digunakan untuk
menyebarkan berita yang inspiratif, bermanfaat dan berisi konten yang benar. Dampak negatif akan
terjadi bila media sosial digunakan untuk mengacaukan kognisi masyarakat yakni dengan
menyebarkan berita palsu/ hoax. Permasalahan tentang hoax adalah orang-orang berhasrat menjadi
penguasa namun kebingungan memperoleh dukungan. Cara mendapatkan dukungan yaitu dengan
membuat dan menyebarkan hoax tentang saingannya, bukan prestasinya sendiri. Begitu masifnya
serangan hoax, sehingga masyarakat percaya dengan hoax. Dampaknya, bangsa Indonesia akan

391
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

mengalami kehilangan besar yaitu kemunduran pikiran (Latif, 2019). Contoh hoax yaitu: tentara
China akan menyerang Indonesia (Ningtyas, 2018). Berita palsu tersebut menumbuhkan persepsi
masyarakat bahwa wilayah NKRI mudah disusupi pihak asing dan ini membahayakan kedaulatan
NKRI.

Mengapa orang-orang yang ingin menjadi penguasa itu memproduksi dan menyebarkan hoax? Ada
tiga elemen penentunya, dan elemen tersebut terangkum dalam segitiga ‘beracun’ yang terdiri dari
pemimpin, pengikut, dan lingkungan yang mendukung (lihat Gambar 3) (Padilla, Hogan & Kaiser,
2007). Istilah beracun menunjukkan bahwa elemen-elemennya merusak persatuan bangsa.

Pemimpin yang
merusak

Lingkungan yang kondusif


Karakter pengikut
untuk munculnya
pemimpin buruk
Conformers &
Colluders

Gambar 3. Segitiga ‘beracun’ pendukung pemimpin yang buruk (Padilla et al., 2007).
Gambar 3 menunjukkan bahwa pemimpin yang buruk / merusak (destructive leaders) mempunyai
karakteristik: berkharisma kuat, narsistik, sangat berambisi untuk berkuasa (need for power),
kekuasaan yang diperoleh digunakan untuk kepentingan sendiri bukan melayani masyarakat, punya
masa lampau yang kelam dan punya ideologi kebencian. Tidak semua pemimpin yang berkharisma
kuat merupakan pemimpin buruk, namun pemimpin buruk cenderung berkarisma kuat. Contohnya,
Hitler, Stalin, dan Jim Jones. Pemimpin buruk piawai dalam memaparkan visinya yang penuh dengan
ancaman yang menakutkan. Visi itu menekankan bahwa masyarakat akan terselamatkan bila
pemimpin buruk itu berkuasa dan pemimpin rivalnya kalah. Ideologi kebencian yang dianutnya
merupakan proyeksi kehidupan masa lampaunya yang pahit.

Selanjutnya, elemen kedua pada Gambar 3 tersebut memperlihatkan bahwa karaketristik pengikut
ikut menyumbang berkuasanya pemimpin buruk. Karakteristik pengikut ada dua yaitu conformers
dan colluders. Pengikut conformers adalah orang yang patuh pada pemimpin dan berharap hidupnya
terselamatkan oleh pemimpin. Mereka adalah orang-orang yang belum terpenuhi kebutuhan dasarnya,
mempunyai evaluasi diri negatif, dan secara psikhis belum matang. Pengikut colluders adalah orang
yang berharap mendapatkan keuntungan bila mendukung penguasa yang buruk. Mereka adalah orang
yang ambisius, egois dan setuju dengan visi serta ideologi kebencian dari pemimpin buruk tersebut.
Biasanya mereka mempunyai posisi yang dekat dengan pemimpin buruk tersebut.

Elemen ketiga pada Gambar 3 adalah lingkungan buruk yang mendukung munculnya pemimpin
buruk. Lingkungan yang buruk terdiri dari situasi pemerintahan yang tidak stabil, munculnya persepsi
bahwa kedaulatan negara terancam dan ketiadaannya lembaga yang berwibawa untuk memverivikasi
berita-berita yang menyesatkan. Dalam situasi yang tidak stabil, pemimpin buruk akan leluasa
memunculkan gerakan-gerakan radikal untuk meruntuhkan pemerintahan resmi. Persepsi terhadap
ancaman kedaulatan suatu negara jauh lebih berpengaruh terhadap munculnya rasa takut masyarakat
daripada fakta tentang ancaman. Pemimpin buruk juga piawai memunculkan persepsi menakutkan
dengan cara membuat propaganda hoax. Persepsi yang menakutkan pada masyarakat ini melegitimasi
pemimpin untuk melakukan penyerangan.

392
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

Contoh lingkungan buruk karena hoax yaitu rezim Hitler. Ia mengumumkan melalui radio nasional
tahun 1939 bahwa tentara Jerman diserang oleh tentara Polandia pada pukul 05.45 waktu setempat.
Hitler berjanji akan membalasnya. Akhirnya terungkap bahwa itu adalah hoax dan sengaja diciptakan
sebagai dalih ambisi Hitler untuk menyerang Polandia (Hidayat, 2019). Oleh karena pencipta hoax
adalah Paul Joseph Goebbels, Menteri Penerangan rezim Hitler (Subhan, 2019), maka tentu saja tidak
ada lembaga yang memverifikasi berita. Semua berita – termasuk hoax - yang dibuat demi kemajuan
partai adalah kebenaran mutlak dan masyarakat wajib mempercayainya. Hal ini juga didukung oleh
budaya masyarakat yang kolektif, tidak suka dengan hal-hal yang tidak pasti, dan ketergantungan
yang tinggi pada pemimpin.

Situasi pada Gambar 3 tersebut dikhawatirkan terjadi di Indonesia. Hal ini karena masyarakat
Indonesia mempunyai budaya kolektif. Ciri khas budaya kolektif yakni ketergantungan yang tinggi
pada pemimpin dan kelompok, tidak ada yang mempermasalahkan ketika sikap dan perilaku
pemimpin tidak sejalan, enggan bertanggung jawab pada perilakunya karena ia memandang bahwa
yang salah adalah kelompok bukan individu (konformitas tinggi) (Triandis, 2002). Dalam budaya
kolektif, sulit menemukan pemimpin yang melayani kebutuhan masyarakat. Pemimpin yang ada
cenderung mengayomi kelompok mayoritas sedangkan kelompok minoritas diabaikan, perilakunya
tidak bisa menjadi suri tauladan, menjadi pemimpin bukan karena kemampuan tetapi karena relasi
(pemimpin feodal), percaya takhyul sehingga usaha untuk mencari solusi menjadi tidak optimal dan
karakternya lemah serta tidak suka membaca sehingga wawasannya terbatas (Lubis, 2016).

Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, ketika pemimpinnya kurang matang emosinya dan
masyarakatnya sangat bergantung kepada kelompok, maka hoax cenderung jauh lebih merusak
daripada di negara-negara maju (Lee, 2019). Di negara-negara maju, hoax kurang berpengaruh
terhadap pola pikir masyarakatnya karena masyarakatnya relatif lebih kuat kemampuan literasinya
sehingga lebih kebal terhadap hoax. Meskipun demikian masyarakat Amerika Serikat pernah
terperosok oleh berita bohong pada pemilihan presiden tahun 2016. Dampaknya, Donald Trump
terpilih menjadi presiden (Sudibyo, 2018). Mereka yang terprovokasi berita hoax adalah yang
berkarakter konservatif dalam hal keragaman dan masih memendam stereotip kaku tentang SARA.

Situasi di Amerika Serikat tersebut telah memperingatkan masyarakat global akan bahaya hoax dan
pengaruhnya terhadap pola pikir masyarakat. Di negara maju, masyarakatnya lebih waspada sehingga
kepercayaan terhadap media sosial menurun. Penelitian Syno International Omnibus Research pada
2018 menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat Korea Selatan terhadap media sosial dengan
nilai minus 30. Di Indonesia, media sosial menjadi petunjuk perilaku, yang ditunjukkan dengan nilai
plus 40 (Kompas, 2019a).

Untuk mendapatkan pemimpin bangsa yang sudah selesai dengan dirinya, maka kuncinya adalah
memperbaiki kualitas pengikut / masyarakat. Pengikut yang berkarakter bagus akan berusaha
mendapatkan pemimpin yang juga bagus, serta berusaha mengelola situasi agar pemimpin yang bagus
bisa lahir. Hal ini sesuai dengan nasehat dari Johnson (2011), bahwa kunci kesuksesan organisasi
adalah anak buah yang efektif. Mungkin saja dalam organisasi tersebut pemimpinnya buruk. Anak
buah yang efektif akan terus berusaha untuk ‘memimpin’ (melakukan coach upwards) pemimpin
buruk itu sehingga ia menjadi pemimpin yang diidamkan oleh anak buahnya. Pertanyaannya, seperti
apa kualitas anak buah yang efektif itu?

Kualitas SDM yang good to excellence

Dalam era disrupsi 4.0 sekarang ini, sangat sulit menjadi anggota masyarakat yang efektif (mencintai
NKRI dan melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari). Semua orang bebas menghujat
siapa saja, bahkan termasuk presiden. Semua orang bebas membuat dan menyebarkan hoax di media
sosial tanpa takut dipenjara, sehingga masyarakat tidak mampu membedakan antara berita positif dan

393
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

negatif. Hal ini karena masyarakat tidak siap dengan banjir informasi sebagai akibat dari rendahnya
kemampuan literasi serta kemampuan berpikir kritis (Juliswara, 2017).

Rendahnya kemampuan literasi dan berpikir kritis diatasi dengan banyak membaca, terutama dari
media arus utama dan terpercaya. Orang yang banyak membaca berarti wawasannya luas dan kebal
pada hoax. Persoalannya adalah masyarakat malas membaca. Psikologi malas menjelaskan bahwa
alasan kemalasan antara lain adanya keinginan hasil yang segera nampak, merasa tidak perlu untuk
antisipasi sehingga tidak perlu melakukan sesuatu, tidak percaya diri, dan putus asa (Burton, 2014).
Di lingkungan sekolah, siswa pemalas adalah yang mendapatkan rekomendasi dari guru untuk
berusaha lebih keras lagi. Mereka malas karena tidak bermotivasi tinggi, kurang mampu mengelola
emosi, hiperaktif di kelas, kecerdasannya di bawah rata-rata, dan mempunyai kecemasan klinis
(Gilmore & Boulton-Lewis, 2009). Jadi masyarakat kini malas membaca karena merasa tidak ada
manfaatnya secara langsung dan hasilnya sering tidak nyata dan lambat, serta ada gangguan
psikologis.

Kemampuan literasi yang tinggi akan memperluas wawasan berpikir sehingga rasa ingin tahu tergali.
Rasa ingin tahu ini adalah dasar dari kreativitas dan inovasi. Semakin tinggi rasa ingin tahu, maka
semakin tinggi kreativitas seseorang. Bila negara Indonesia itu diibaratkan sebagai Indonesia
Incorporated, maka kreativitas dan inovasi harus menduduki peringkat pertama agar keberlangsungan
perusahaan itu terjaga. Hal ini karena tujuan dari kreativitas adalah untuk mendapatkan alternatif
jawaban yang mana alternatif tersebut sering berada di luar jangkauan nalar, bahkan tidak rasional /
berdasarkan imajinasi (Sefertzi, 2000). Cara berpikir kreatif tersebut sangat penting untuk
mempertahankan suatu perusahaan dan negara, termasuk untuk mensejahterakan rakyat
(Wijiwardena, 2015). Alasannya, ancaman yang akan mengganggu keberadaaan Indonesia semakin
lama semakin canggih karena perkembangan teknologi. Jadi semakin banyak orang yang kreatif maka
Indonesia Incorporated akan semakin kuat. Kreativitas itu harus diarahkan pada generasi muda,
karena mereka adalah SDM bagi masa depan Indonesia. Jadi, kualitas SDM seperti apa yang paling
sesuai untuk membuat Indonesia Incorporated menjadi semakin kuat?

Tulisan ini menawarkan kualitas SDM/ masyarakat yang efektif untuk mempertahankan dan
mengembangkan Indonesia Incorporated menjadi jaya dan hebat (excellence), tidak hanya sekedar
jadi negara yang baik-baik saja (good). Ada 4 kualitas SDM (Colllins, 2001; Collins & Hansen,
2011):

1. Fanatic discipline atau perilaku disiplin yang kontinyu, konsisten, fokus dan keras hati dalam
menjalani kebiasaan-kebiasaan yang baik untuk mencapai tujuannya. Kebiasaan-kebiasaan baik
itu perlu dilandasi dengan kemampuan literasi yang baik, sehingga orang-orang unggul ini
menjadi yakin bahwa kebiasaannya memang benar-benar baik. Ini penting untuk memastikan
bahwa kebiasaan baik yang dilakukannya tidak hanya berlaku untuk kelompoknya saja, tetapi
juga baik bagi kelompok lain. Jadi masyarakat perlu informasi yang luas dan berimbang
tentang kebiasaan baik tersebut.
2. Empirical creativity. Bila hadapi kesulitan, maka orang-orang unggul ini harus memastikan
bahwa solusi yang diperoleh berdasarkan data akurat dan pengalaman / keterlibatan langsung,
bukan hanya berdasarkan nasehat orang lain. Ini untuk memastikan solusinya bukan hoax.
3. Productive paranoia. Orang-orang unggul ini sangat waspada terhadap semua perubahan di
lingkungannya, meskipun situasi baik-baik saja. Mereka secara obsesif selalu berasumsi bahwa
kondisi terburuk akan menghantamnya, sehingga mereka harus mengubah kecemasan menjadi
tindakan nyata. Mereka mampu mempersiapkan rencana-rencana, membangun benteng
penahan, dan mempertahankan batas yang sangat luas untuk alasan keamanan (Subramanian,
2017). Kewaspadaan ini tidak berkonotasi pesimis, namun lebih kepada entrepreneurial
alertness (kewaspadaan yang menuntun munculnya sikap kewirausahaan) (Yu, 2001). Orang
yang selalu waspada ini akan lebih mudah dalam melihat dan menciptakan kesempatan demi

394
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

kejayaan (greatness) organisasinya meskipun organisasinya sekarang ini masih menghasilkan


untung (good). Orang-orang unggul tersebut mempunyai karakter berani menantang diri sendiri
serta sengaja menciptakan situasi yang justru mencemaskan bagi keberlangsungan
organisasinya. Mereka terpacu untuk berinovasi demi menyelamatkan organisasinya.

Bagaimana penerapan tiga kualitas SDM Indonesia yang unggul tersebut dalam kehidupan
berbangsa? Situasi keamanan Indonesia sekarang adalah baik-baik saja. Artinya, tidak ada penjajahan
secara fisik di Indonesia seperti pada masa lampau. Meskipun demikian, ‘penjajahan modern’ kini
mengancam kedaulatan Indonesia. Berkaca pada pengalaman Zimbabwe di Afrika, mata uangnya
yang semula adalah dollar Zimbabwe harus diganti menjadi Yuan atau mata uang China. Alasannya,
Zimbabwe gagal membayar hutang yang telah digunakan untuk membangun infrastruktur (Julianto,
2018). Pergantian mata uang itu menunjukkan kedaulatan ekonomi Zimbabwe telah tergadaikan pada
China. Strategi ini telah digunakan China pada 49 negara di Afrika dan Asia (Sinaga, 2017). Situasi
di Zimbabwe itu tidak terjadi dengan tiba-tiba. Tingkat literasi masyarakat Zimbabwe sangat rendah,
dengan HDI (Human Development Index) 0,535 (peringkat 156 dari 189 negara). Sementara itu HDI
Indonesia 0,694 (peringkat 116) (UNDP, 2018). Bila mereka mempunyai karakter fanatic discipline,
empirical creativity dan productive paranoia maka tingkat literasinya akan tinggi sehingga mereka
menjadi waspada bahwa bekerjasama dengan China tidak berarti harus menggadaikan kedaulatannya.

Persoalannya, bagaimana cara mendidik SDM Indonesia agar mempunyai kualitas good to
excellence? Mereka adalah orang yang mempunyai motivasi internal sangat tinggi, yang artinya tidak
mudah goyah oleh keberadaan imbalan/faktor eksternal (Baer, Oldham & Cummins, 2003). Tidak
mudah mendidik SDM dengan kualitas seperti itu. Cara yang diusulkan ada tujuh yakni: Pertama,
orangtua membacakan cerita-cerita tentang nasionalisme Indonesia pada anak-anaknya semenjak usia
dini. Cerita tentang nasionalisme itu tidak boleh merugikan agama, suku dan kelompok tertentu.

Cara kedua yakni guru secara kreatif memberikan pendidikan karakter yang dikaitkan dengan
pendidikan kewarganegaraan di sela-sela pelajaran. Tiga elemen dari pendidikan kewarganegaraan
yaitu pendidikan tanggung jawab pribadi, aktif berpartispasi dan berorientasi keadilan (Poerwandari,
2019; Westheimer & Kahne, 2004). Elemen tanggung jawab pribadi mendorong anak untuk
berperilaku bertanggung jawab. Contohnya, tidak membuang sampah sembarangan dan bersedia
menjadi relawan dalam kegiatan sosial. Elemen aktif berpartisipasi mendorong anak untuk aktif
berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat dari tingkat lokal sampai nasional. Contoh kegiatan adalah
memimpin pertemuan. Elemen berorientasi keadilan mendorong anak untuk melakukan perubahan
sosial menuju masyarakat yang lebih baik. Anak diberi kemampuan mengenali berbagai problem
sosial dan ketidakadilan serta melakukan analisis kritis.

Cara ketiga yakni sekolah dan perpustakaan daerah bekerjasama mengadakan kegiatan wisata
mengunjungi perpustakaan, sehingga membaca buku merupakan kegiatan yang menyenangkan.
Contohnya, TK ABA Sentolo Kulon Progo Yogyakarta berwisata pustaka dengan Perpustakaan
Daerah. Fungsi Perpustakaan Keliling juga dioptimalkan dengan pameran buku (KR, 2019).
Cara keempat yakni Pemerintah Indonesia memberi penghargaan yang bergengsi pada tokoh-tokoh
inovatif. Contohnya, Presiden Joko Widodo memberi penghargaan Kusrin yang mendaurulang
sampah elektronika menjadi televisi. Sebelum pertemuan, karyanya justru dimusnahkan Kejaksaan
Negeri Karanganyar Jawa Tengah karena dianggap tidak berijin (Suhendra, 2016).

Cara kelima yakni Pemerintah sering mengadakan ajang untuk memperluas kemampuan literasi
masyarakat. Contohnya, Pemda Kabupaten Banyumas Jawa Tengah dan PT Gramedia mengadakan
Festival Literasi Gramedia di Banyumas (Kompas, 2019b). Sejumlah penulis tenar menjadi
pembicara untuk mendorong kemampuan literasi masyarakat yakni: baca-tulis, numerik atau angka,
keuangan, digital, kebudayaan dan kewargaan. Juga diselenggarakan lomba menggambar dan

395
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

mendongeng. Output kegiatan yakni masyarakat mampu membaca sebelum berbicara, dan tidak
menyebar hoax.

Cara keenam yakni kementerian berdialog dengan generasi milineal, agar mereka mengetahui capaian
Pemerintah. Contohnya, pertemuan antara generasi milineal dengan Kementerian Luar Negeri. Hasil
pertemuan, mereka menjadi paham tentang rencana Pemerintah untuk mencapai SDGs, capaian
diplomasi, peran Indonesia di dunia internasional, dan dorongan bagi generasi milineal untuk
menghargai keragaman (Kompas, 2018). Juga Kementerian Keuangan memberi kuliah umum
‘Menjaga momentum untuk mencapai kesejahteraan’ di Universitas Andalas Padang. Menteri
Keuangan mengajak generasi milineal menjadi solusi bagi lingkungannya dan bangsa, bukan menjadi
bagian dari permasalahan (DJKN, 2018).

Cara ketujuh yakni setiap BUMN berkontribusi nyata untuk membangun kemampuan literasi
masyarakat melalui program ‘BUMN hadir untuk negeri’. Pada program itu, setiap tanggal 17 BUMN
dan pegiat literasi mengirimkan buku ke seluruh Indonesia secara gratis (Pos Indonesia, 2017).
Keberadaan buku gratis ini di seluruh Indonesia diharapkan akan meningkatkan minat baca anak.

DISKUSI

Berdasarkan pada uraian sebagai dikemukakan di atas, ada beberapa simpulan yang menarik untuk di
kemukakan. Pertama, tantangan di era disrupsi 4.0 akan semakin meningkat manakala sumber daya
manusia yang yang ada tidak memiliki literasi digital yang baik dan benar. Oleh karenanya,
kewaspadaan terhadap hal-hal yang mengancam keberadaan Indonesia, selayaknya tidak boleh hanya
berada pada level baik-baik saja (good) tetapi harus pada level luar biasa (excellence). Simpulan
kedua, uniknya kondisi geografis serta strategisnya posisi Indonesia dalam geopolitik Indonesia
bagaikan dua sisi mata uang yaitu sebagai anugerah namun pada sisi lain sebagai tantangan. Oleh
karenanya untuk menjaga kedaulatan NKRI, maka kualitas SDM (anggota masyarakat) yang
dibutuhkan adalah orang yang mempunyai kapasitas: fanatic discipline untuk kebiasaan-kebiasaan
baik dan kemampuan literasi, empirical creativity, serta productive paranoia. Hal itu diperoleh dari
pendidikan sejak dini di keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka saran agar agar generasi muda mempunyai kualitas SDM
yang good to excellence, maka Pemerintah Indonesia hendaknya sering mengkomunikasikan nilai-
nilai kebangsaan, sejarah perjuangan bangsa serta capaian pembangunan yang dihasilkan bangsa
Indonesia sampai sekarang ini. Metode komunikasi digunakan hendaknya disesuaikan dengan bahasa
dan gestur yang akrab dengan kebisaan dan kultur generasi milineal, karena mereka adalah masa
depan Indonesia. Komunikasi ini penting untuk mencegah terjadinya kemunduran pikiran pada
masyarakat. Selanjutnya pendidikan karakter yang kini sedang digencarkan hendaknya bertumpu
pada pendidikan kewarganegaraan.

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, R. (2014). Merantau ke luar Jawa = sukses. Benarkah?. Retrieved on May 6 from:
https://careernews.id/issues/view/2499-Merantau-ke-Luar-Jawa-Sukses-Benarkah
APJII. (2017). Laporan hasil survei pengguna internet Indonesia tahun 2017.
Baer, M., Oldham, G.R. & Cummings, A. (2003). Rewarding creativity: When does it relay matter?
The Leadership Quarterly. 14, 569-586.
Buchory, M.S., Rahmawati, S. & Wardani, S. (2017). The development of a learning media for
visualizing the Pancasila values based on information and communication technology.
Cakrawala Pendidikan. 36(3), 502-521.

396
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

Burton, N. (2014). The psychology of laziness. Psychology Today. Oct., 25. Retrieved on February
11, 2019 from:
https://www.psychologytoday.com/us/blog/hide-and-seek/201410/the-psychology-laziness
Collins, J.C. (2001). Good to great: Why some companies make the leap and others don’t. New York:
Random House.
Collins, J.C. & Hansen, M. T. (2011). Great by choice: Uncertainty, chaos, and luck – Why some
survive despite them all. New York: Harper Business.
DJKN (2018). Beri kuliah umum di Universitas Andalas, Sri Mulyani: Jadilah Solusi Bangsa ini.
Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan. 9 Feb. Retrieved on Jan. 13, 2019, from:
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/14530/Beri-Kuliah-Umum-di-Universitas-
Andalas-Sri-Mulyani-Jadilah-Solusi-Bangsa-Ini.html
Gilmore, L. & Boulton-Lewiss, G.M. (2009). Just try harder and you will shine: A study of 20 lazy
children. Australian Journal of Guidance and Counseling. 19(2), 95-103.
Hidayat, K. (2019). Hoaks dan agama. Kompas. 8 Jan., hal. 6.
Johnson, B. (2011). Good followership. September. Retrieved on Feb. 6, 2019 from:
www.trainingjournal.com.
Julianto, P.A. (2018). Cerita Zimbabwe gagal bayar utang ke Cina, hingga izinkan mata uang jadi
Yuan. Ekonomi.kompas.com. 22 Maret. Retrieved on June 18, 2018, from:
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/22/083000526/cerita-zimbabwe-gagal-bayar-utang-
ke-Cina-hingga-izinkan-mata-uang-jadi
Juliswara, V. (2017). Mengembangkan model literasi media yang berkebhinnekaan dalam
menganalisis informasi berita palsu (hoax) di media sosial. Jurnal Pemikiran Sosiologi. 4(2),
Ag., 142-164.
Kompas (2018). Diplomasi: Kekuatan milineal mengubah dunia. 11 Jan., hal. 19
Kompas (2019a). Tajuk rencana: Awasi kampanye di media sosial. 1 Feb., hal. 6.
Kompas (2019b). Festival literasi untuk dorong minat baca buku. 11 Feb., hal. 9.
KR (2019). Kegiatan wisata pustaka TK-SD: Tumbuhkan minat baca buku kalangan anak.
Kedaulatan Rakyat. 11 Feb., hal. 5.
Kumparan.com (2017). Survei SMRC: 1,5 persen warga merasa NKRI dalam bahaya.
Kumparan.com, 4 Juni. Retrieved on Dec. 14, 2018
fromhttps://kumparan.com/@kumparannews/survei-smrc-14-5-persen-warga-merasa-nkri-
dalam-bahaya
Latif, Y. (2019). Analisis politik: Politik cerdas pikir. Kompas. 14 Feb., hal 1-11.
Lee, A. (2019). Hoaks lebih merusak negara berkembang. Kompas. 5 Jan., hal. 4.
Loedji, H. (2017). Indonesia alami krisis kebangsaan. Independensi.com. 29 Ag. Retrieved on Dec.
27, 2018 from: https://independensi.com/2017/08/29/indonesia-alami-krisis-kebangsaan/
Lubis, M. (2016). Manusia Indonesia: Sebuah pertanggungjawaban. Cetakan ke-5. Jakarta: Yayasan
Pusat Obor Indonesia.
Martha, S. (2018). Geografi Indonesia untuk Ketahanan Nasional. Presentasi di Program Pendidikan
Reguler Angkatan LVIII, pada 5 Juli 2018. Lubis, M. (2016). Manusia Indonesia: Sebuah
pertanggungjawaban. Cetakan ke-5. Jakarta: Yayasan Pusat Obor Indonesia.

397
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

Morissan (2014). Media sosial dan partisipasi sosial di kalangan generasi muda. Jurnal Visi
Komunikasi. 13(1), Mei, 50-68.
Ningtyas, I. (2018). [Fakta atau hoax] Benarkah 500 ribu tentara China akan menghanguskan
Indonesia? Tempo.co. 28 Desember. Retrieved on Jan. 17, 2019 from:
https://cekfakta.tempo.co/fakta/91/fakta-atau-hoax-benarkah-500-ribu-tentara-china-akan-
menghanguskan-indonesia
Padilla, A., Hogan, R. & Kaiser, R.B. (2007). The toxic triangle: Destructive leaders, susceptible
followers, and conducive environments. The Leadership Quarterly. 18, 176-194.
Poerwandari, K. (2019). Pendidikan kewarganegaraan. Kompas. 2 Feb. hal. 19.
Pos Indonesia (2017). Kirim buku bebas biaya: Pengiriman melalui Kantor Pos. May 19. Retrieved
on Feb. 11, 209 from: http://www.posindonesia.co.id/index.php/kirim-buku-bebas-biaya-
pengiriman-melalui-kantorpos/
Sefertzi, E. (2000). Creativity. Report produced for the EC funded project. January. Retrieved on Feb.
14, 2019 from: http://www.urenio.org/tools/en/creativity.pdf
Sinaga (2017). Kepentingan Tiongkok terhadap Afrika melalui Forum On China-Africa Cooperation
(FOCAC). JOM FISIP. 4(2), Okt., 1-9.
Subhan SD., M. (2019). Kolom politik: Budak-budak politik. Kompas. 12 Jan., hal. 2.
Subramanian, K.R. (2017). Organizational paranoia and the consequent dysfunction. International
Journal of Combined Research & Development (IJCRD). 6(12), Dec., 7121-7134.
Sudibyo, A. (2018). Propaganda politik di medsos. Kompas. 31 Des., hal. 6.
Suhendra, Z. (2016). Kisah Kusrin: TV rakitan dibakar kejaksaan, tapi dikagumi Jokowi. Liputan6.
26 Januari. Retrieved on May 31, 2018 from:
https://m.liputan6.com/bisnis/read/2421323/kisah-kusrin-tv-rakitan-dibakar-kejaksaan-tapi-
dikagumi-jokowi
Tim Pokja Kewaspadaan Nasional (2018). Kewaspadaan Nasional. Jakarta: Lembaga Ketahanan
Nasional Republik Indonesia.
Triandis, H. C. (2002) Motivation to work in cross-cultural perspective. In Brett, J. M. & Drascow, F.
(Eds.) The psychology of work: Theoretically based on empirical research. London: Lawrence
Erlbaum Associates, Publishers. pp. 101-118.
Undang-undang No. 6 tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-pulau Terkecil Terluar.
UNDP (2018). Human development reports: Latest human Development Index (HDI) ranking. United
Nations Development Programmes. Retrieved on Feb. 13, 2019 from
http://hdr.undp.org/en/2018-update
Westheimer, J. & Kahne, J. (2004). What kind of citizen? The politics of educating for democracy.
American Educational Research Journal. Summer. 41(2), pp. 237-269.
Wijiwardena, W.A. (2015). Innovation and creativity: A must not only for survival but also for
prosperity. 27th Anniversary Convention. Pp. 51-62. Received on May 29, 2018 from:
http://www.apbsrilanka.org/articales/27_ann_2015/3_27th_W.A.Wijewardena.pdf
Yu, T.F. (2001). Entrepreneurial alertness and discovery. The Review of Austrian Economics. 14(1),
47-63.

398

Anda mungkin juga menyukai