Anda di halaman 1dari 6

Pengertian suap

Seseorang dikatakan menerima suap jika ia menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia
mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan
supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan
dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum (Pasal 3 UU
No. 3 Tahun 1980).
Misalnya jika seseorang menerima sesuatu atau dijanjikan untuk menerima sesuatu supaya
mendapat kemudahan ijin atau investasi, maka ini merupakan suap. Misalnya lagi, jika
seseorang menerima suatu atau dijanjikan untuk menerima sesuatu supaya pihak-pihak
tertentu dilarang perijinannya atau investasinya, maka ini pun merupakan kasus suap.
ADVERTISEMENT
Suap diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad
1915 No 73), UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, UU No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU
Pemberantasan Tipikor).
Ancaman terhadap tindak pidana suap tidak main-main. Pelaku bisa dijerat dengan Pasal 11
UU Tipikor dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 250 juta.
Perlu ada kehati-hatian bagi para pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji. Mengapa? Karena patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa itu gratifikasi?
Gratifikasi selama ini sering dianggap hanya berupa oleh-oleh, cinderamata, atau uang terima
kasih dalam nilai kecil. Pemahaman tersebut nampaknya kurang tepat.
Gratifikasi sejatinya adalah segala bentuk pemberian, baik bernilai besar maupun bernilai
kecil. Gratifikasi memiliki karakterisktik tidak transaksional, sehingga pemberi seolah-olah
tidak menginginkan imbal balik apapun dari penerima, padahal pemberian tersebut diberikan
karena melihat posisi ataupun jabatan penerima.
Sebagian ahli menyebut gratifikasi sebagai “investasi”, upaya mencari perhatian, bahkan
“suap yang tertunda” kepada pejabat dengan tujuan dapat mempengaruhi kebijakan dalam
jangka panjang.
Dalam keseharian bermasyarakat, terdapat beberapa situasi dimana lazim terjadi kegiatan
saling memberi dan menerima hadiah. Misalnya pada saat perayaan hari raya, pernikahan,
serta momen agama dan budaya lainnya.
Para penyelenggara negara dan pegawai negeri diharapkan dapat memahami pemberian yang
merupakan gratifikasi dan pemberian yang merupakan bagian dari aktivitas bermasyarakat.
Salah satu indikator utamanya adalah adakah keterkaitan antara pemberian dengan jabatan
penerima. Sebab jika tidak berhati-hati, penerimaan gratifikasi dapat dijerat pasal 12B UU
Tipikor, yakni pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun serta denda
sebesar Rp. 200 juta hingga Rp. 1 miliar.
Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan birokrat dilarang keras dan kepada
pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan mempengaruhi pejabat birokrat dalam
menjalankan tugas dan pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan
dalam pelayanan publik. Bahkan di kalangan privat pun larangan juga diberikan, contoh
pimpinan stasiun televisi swasta melarang dengan tegas reporter atau wartawannya menerima
uang atau barang dalam bentuk apa pun dari siapapun dalam menjalankan tugas pemberitaan.
Pemidanaan gratifikasi pernah terjadi pada Gayus H Tambunan, seorang pegawai di Dirjen
Pajak Kementerian Keuangan. Pidana gratifikasi digunakan untuk memproses kekayaan yang
tidak dapat dijelaskan asal-usulnya secara wajar bila dibandingkan dengan penghasilan yang
sah.
Pegawai negeri sebaiknya menolak pemberian gratifikasi pada kali pertama dengan
menjelaskan kepada pemberi bahwa dirinya tidak diperkenankan menerima hal tersebut.
Namun jika dalam keadaan tidak dapat menolak, penerimaan tersebut wajib dilaporkan
kepada KPK dalam jangka waktu maksimal 30 hari kerja.
Dengan demikian pidana penjara dan denda tidak lagi dapat menjerat penerima gratifikasi,
karena dengan melaporkannya kepada KPK telah menggugurkan ancaman pidana tersebut.
Selanjutnya KPK yang akan menentukan status gratifikasi tersebut menjadi milik negara atau
milik penerima.
Masih bingung tentang "hadiah" apa saja yang tergolong gratifikasi?
KPK pernah menerbitkan Buku Saku Memahami Gratifikasi yang menjelaskan secara cukup
rinci mengenai hal ini. Contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi antara
lain:
1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan
atau bawahannya;
2. Pemberian hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan
kantor pejabat tersebut;
3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara
cuma-cuma;
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan;
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat;
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan;
7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja;
8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu;
9. Pembiayaan kunjungan kerja bagi lembaga legislatif;
10. Pemberian cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/kelulusan;
11. Pemberian sejumlah uang atau fee 10-20 persen dari nilai proyek kepada pejabat;
12. Pemberian parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat;
13. Pembiayaan perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan;
14. Pemberian uang tambahan untuk pengurusan KTP/SIM/Paspor supaya bisa “dipercepat”;
15. Pembiayaan konferensi internasional bagi para pejabat yang terkadang jumlahnya tidak
masuk akal;
16. Pembiayaan pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanya sudah
tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran tersebut harus
dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat menggunakan
kotak amal);
17. Penerimaan uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh
Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah;
18. Penerimaan pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan
sumbangan tidak jelas. Oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (Polisi Lalu
Lintas), retribusi (Dinas Pendapatan Daerah), LLAJR (Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya),
dan masyarakat (preman).
tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan penyusunan kompendium bidang pidana suap dimaksudkan untuk
memberikan pemikiran dan pendapat/doktrin mengenai tindak pidana suap. Hasil kegiatan ini
dapat digunakan menjadi masukan bagi para pihak yang memerlukan terutama yang bertugas
dan berfungsi menegakkan hukum yang berhubungan dengan tindak pidana suap/korupsi.
Sehingga diperoleh bahan-bahan hukum yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak, untuk
pembuatan Undang-undang atau perbaikan peraturan perundang-undangan dalam memenuhi
kebutuhan penegakan hukum C. Metode KerjaKegiatant

Usaha KPK Memberantas Gratifikasi


Sejak tahun 2015, KPK telah melakukan kajian urgensi penyusunan peraturan pemerintah
untuk mengurai gratifikasi dari beragam aspek yakni hukum pidana, budaya, keagamaan dan
adat-istiadat masyarakat Indonesia. Kajian ini juga bertujuan meletakkan ketentuan tentang
pengendalian gratifikasi secara terintegrasi dengan ketentuan disiplin pegawai seperti reward
and punishment, sebagai salah satu perangkat dalam menjalankan reformasi birokrasi. Kajian
ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif melalui studi pustaka, wawancara ahli yang
memiliki kualifikasi di beberapa bidang.
Pertemuan dengan para pakar sebagai narasumber juga telah digelar, antara lain dengan pakar
hukum pidana, hukum tata negara, ilmu perundang-undangan, hukum administrasi negara,
filsafat hukum, antropologi hukum, budayawan dan pihak lain yang terkait. Dengan adanya
peraturan pemerintah tentang gratifikasi ini, nantinya diharapkan agar pegawai negeri,
penyelenggara negara, masyarakat, dan pelaku usaha dapat memahami dan menerapkan
pengendalian gratifikasi di institusi masing-masing.
Kegiatan pengendalian gratifikasi tidak hanya dilakukan bagi para penyelenggara negara dan
pegawai negeri, melainkan juga melibatkan pihak korporasi/swasta. Sebab, keterlibatan
sektor swasta pada sejumlah kasus korupsi, seolah menggambarkan fenomena supply dan
demand. Dua pihak yang melakukan korupsi tersebut berasal dari sektor publik dan sektor
swasta. Faktanya, 24 persen pelaku korupsi yang ditindak oleh KPK pada 2015 berasal dari
sektor swasta.
Statistik tersebut diamini Global Corruption Barometer Survey tahun 2013 dan juga Global
Corruption Barometer Research tahun 2016 yang menyebutkan bahwa dalam 4 tahun
terakhir, 30-39.9 persen responden di Indonesia menyatakan pernah membayar suap terkait
dengan pelayanan publik. Karenanya, pihak swasta juga harus dilibatkan dalam memberantas
praktik gratifikasi.
Pada tahun 2017 ini, upaya untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga publik harus
ditingkatkan melalui berbagai sosialisasi terhadap masyarakat mengenai gratifikasi.
Pemerintah melalui KPK dapat melakukan riset lebih lanjut untuk mengkaji model seperti
apa, strategi seperti apa, struktur seperti apa, dan sistem seperti apa yang diperlukan oleh
KPK untuk dapat secara efektif memberikan informasi yang jelas dan kredibel tentang
gratifikasi pada masyarakat, termasuk tata cara penyerahannya. Dengan sosialisasi
diharapkan berbagai pihak yang terkait dapat memberikan kontribusi secara positif dalam
menciptakan transparansi sistem pemerintahan serta pelayanan publik yang lebih baik.
Transparansi dan akuntabilitas kelembagaan inilah yang merupakan prasyarat utama untuk
mewujudkan good corporate governance.
Akhirnya, pada KPK kita berharap dan melakukan apa yang kami bisa untuk bersama-sama
melawan korupsi.

Mengapa gratifikasi dilarang?


Dikutip dari situs resmi Komisi Pemberantasan Korupsi, gratifikasi disebut juga suap yang
tertunda atau suap terselubung. Gratifikasi sering dianggap sebagai akar korupsi.
Dikhawatirkan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbiasa menerima gratifikasi
lama kelamaan terjerumus melakukan korupsi bentuk lain seperti suap, pemerasan dan
lainnya. Gratifikasi dilarang karena mendorong pegawai negeri atau penyelenggara negara
bersikap tidak obyektif, tidak adil dan tidak profesional. Akibatnya, pegawai negeri atau
penyelenggara negara tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Undang-undang
menggunakan istilah "gratifikasi yang dianggap pemberian suap" untuk menunjukkan bahwa
penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya.

Kriteria gratifikasi
Gratifikasi adalah pemberian yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Maka gratifikasi bersifat netral sehingga tidak semua gratifikasi dilarang atau salah. Berikut
ini perbedaan antara gratifikasi yang dilarang dan yang boleh diterima:
Gratifikasi yang dilarang

Gratifikasi yang dilarang adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: Gratifikasi yang
diterima berhubungan dengan jabatan. Penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang
berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan
penerimaan yang tidak patut atau tidak wajar

Gratifikasi yang boleh diterima

Gratifikasi yang boleh diterima memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Berlaku umum yaitu kondisi pemberian yang diberlakukan sama dalam hal jenis,
bentuk, persyaratan atau nilai untuk semua peserta dan memenuhi prinsip kewajaran
atau kepatutan.
2. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-udnangan yang berlaku.
3. Dipandang sebagai wujud ekspresi, keramah-tamahan, penghormatan dalam
hubungan sosial antar sesama dalam batasan nilai yang wajar.
4. Merupakan bentuk pemberian yang berada dalam ranah adat istiadat kebiasaan dan
norma yang hidup di masyarakat dalam batasan nilai yang wajar.

Sanksi gratifikasi
Gratifikasi merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi baru yang diatur dalam Pasal 12
B dan 12 C UU Tipikor sejak 2001. Namun, bila penerima gratifikasi melaporkan pada KPK
paling lambat 30 hari kerja maka dibebaskan dari ancaman pidana gratifikasi.
Ketentuan mengenai gratifikasi menurut UU tersebut adalah
. Bila nilai gratifikasi Rp 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
. Bila nilai kurang dari Rp 10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan
oleh penuntut umum.
. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun
dengan denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Anda mungkin juga menyukai