Anda di halaman 1dari 11

IV.

LIKUIFIKASI TAPIOKA

Penggunaan tapioka sebagai substrat untuk produksi siklodekstrin

mengalami kendala, karena amilosa dan amilopektin dalam granula tersusun rapi

dan kompak. Disamping itu tapioka memiliki viskositas tinggi dengan proses

gelatinisasi pada konsentrasi lebih dari 5 % (b/v), sehingga sulit dilakukan

pengadukan (Jane dan Chen, l992). Masalah tersebut dapat diatasi dengan

menghidrolisis secara parsial (likuifikasi) tapioka sebelum digunakan sebagai

substrat untuk produksi siklodekstrin.

Hidrolisis pati umumnya dilakukan pada suhu 65 - 90 oC (Crueger dan

Crueger, l984) dan likuifikasi menggunakan α-amilase dari bakteri umumnya

dilakukan pada suhu 70 - 90 oC dengan pH netral untuk menghasilkan DE 2 - 15

(Lloyd dan Nelson, l984). Proses likuifikasi tapioka menyebabkan struktur granula

pati menjadi terbuka dan viskositas pasta menurun karena terjadinya hidrolisis

parsial pada molekul pati.

Tujuan penelitian ini adalah : (1) menentukan lama reaksi likuifikasi untuk

menghasilkan hidrolisat pada tingkat DH 5, 10, 15, 20 dan 25, dan (2) melihat

pengaruh suhu pemanasan awal substrat terhadap derajat hidrolisis tapioka.

1. Metode

Penelitian dimulai dengan membuat suspensi tapioka dalam air dengan

perbandingan 1 : 2 (Taji, l988). Kemasaman diatur pada pH 5-7 (5,5)

menggunakan NaOH 0,2 N serta penambahan ion kalsium sebanyak 12 ppm.

Ditambahkan α-amilase (Termamyl 120 L), sebanyak 0,05 - 0,2 % (0,1 % b/b) dari
35

bobot kering tapioka (Taji, l988).Inkubasidilakukan dengan dua cara yakni: (1)

Inkubasi pada suhu 70 oC dengan pengadukan 200 rpm, dan (2) Inkubasi pada

suhu 70 oC dengan pemanasan awal substrat sampai mencapai suhu 75 oC dan

pengadukan pada kecepatan 200 rpm. Percobaan dilakukan dengan ulangan dua

kali. Pengambilan sampel dilakukan setiap kenaikan suhu 10 oC. Setelah mencapai

suhu yang diinginkan (70 oC), pengambilan sampel dilakukan setiap selang waktu

10 menit.

Parameter yang diukur selama proses likuifikasi adalah (1) gula pereduksi

metode DNS, (2) perhitungan derajat hidrolisis (DH), (3) kadar pati sisa (metode

Iod), (4) perhitungan persentase pati dari berat kering awal dan (5) viskositas

hidrolisat. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.

2. Penentuan Lama Reaksi untuk Memperoleh Beberapa Taraf Derajat


Hidrolisis

Proses likuifikasi tapioka pada pemanasan awal substrat sampai suhu

60 oC menghasilkan derajat hidrolisis tapioka yang masih rendah (DH 1,5%)

(Lampiran 2.1a dan 2.2a). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa proses

hidrolisis oleh α-amilase belum efektif, karena granula pati mempunyai kerapatan

yang tinggi menyerupai suatu kemasan yang rapat dalam granular. Hal tersebut

menyebabkan adsorpsi α-amilase terhambat pada sisi-sisi aktif substrat. Akibatnya

proses hidrolisis pati belum berjalan secara efektif (Sarikaya et al., 2000).

Peningkatan derajat hidrolisis tapioka terjadi pada saat suhu pemanasan

mencapai 70 oC (DH 7,52 %) (Lampiran 2.1a dan 2.2a). Peningkatan derajat

hidrolisis pada suhu tersebut disebabkan karena granula pati telah mengalami
36

pembengkakan. Pembengkakan granula pati tapioka dimulai pada saat suhu

mencapai 66 oC (gelatinisasi awal). Terjadinya pembengkakan granula tersebut

adalah akibat dari proses hidrasi pada molekul amilosa maupun amilopektin.

Proses tersebut dapat meningkatkan adsorpsi α-amilase pada sisi-sisi aktif

substrat, sehingga aktivitas hidrolisis dapat berlangsung dengan baik (Sarikaya et

al., 2000).

Proses likuifikasi dengan pemanasan awal substrat sampai suhu 75 oC

lebih efektif daripada pemanasan sampai suhu 70 oC terhadap derajat hidrolisis

tapioka. Hal tersebut seperti yang terlihat pada Tabel 9 dan Gambar 9.

Tabel 9. Pengaruh Suhu Pemanasan Awal Substrat pada Proses Likuifikasi


terhadap Lama Reaksi dan Perolehan Derajat Hidrolisis (DH) Tapioka

Suhu Pemanasan Awal 70 oC Suhu Pemanasan Awal 75 oC


Lama Reaksi Derajat Hidrolisis Lama Reaksi Derajat Hidrolisis
(menit) (%) (menit) (%)

20 9,7 ± 0,08 10 9,85 ± 1,21


80 15,1 ± 0,01 40 15,47 ± 0,78
100 21,13 ± 0,22 70 20,42 ± 0,27
140 23,29 ± 1,26 130 25,28 ± 0,35

Fenomena tersebut disebabkan karena proses likuifikasi dengan

pemanasan awal sampai suhu 75 oC telah melewati suhu gelatinisasi maksimum

(73,5 oC) dari pati tapioka, sehingga granula pati pecah. Pecahnya granula pati

menyebabkan sebagian fraksi amilosa maupun amilopektin terpisah dan masuk ke


37

dalam medium, sehingga memudahkan reaksi hidrolisis oleh α-amilase terhadap

komponen pati tersebut (Ju et al., l995).

Peningkatan gula pereduksi terjadi karena peningkatan derajat hidrolisis

pati. Pada proses ini molekul pati baik komponen amilosa, maupun amilopektin

mengalami degradasi, sehingga membentuk rantai molekul yang lebih pendek.

Komponen hidrolisat yang semakin bertambah menyebabkan peningkatan gula

pereduksi (Endo, l988).

Gambar 9. Pola Perubahan Gula Pereduksi (GP) dan DH pada Proses Likuifikasi
Tapioka dengan Pemanasan Awal Sampai Suhu 70 oC (Simbol
Terbuka) dan 75 oC (Simbol Tertutup) dan Inkubasi Dilakukan pada
Suhu 70 oC

Menurut Endo (l988) reaksi pada tahap awal likuifikasi amilosa

menggunakan α-amilase yang berasal dari Bacillus licheniformis, menghasilkan

G5 sampai G9 dalam jumlah yang lebih besar dari pada G2 dan G3, sedangkan G1

dan G4 pada tahap ini jumlahnya kecil. Pada reaksi lebih lanjut G1 dan G5

meningkat, sedangkan G6 dan G9 cenderung menurun. Hal ini menunjukkan


38

bahwa komposisi oligosakarida pada setiap tingkat derajat hidrolisis akan berbeda-

beda.

Peningkatan derajat hidrolisis substrat menyebabkan peningkatan

perolehan gula sederhana. Hal tersebut terlihat dari proses likuifikasi secara

enzimatis pada tingkat DH 10, 15 dan 20 yang menghasilkan gula sederhana

(derajat polimerisasi 1-2) masing-masing sebesar 3,7, 6,2 dan 9,0 5 (b/b) (Lloyd

dan Nelson, l984).

3. Perubahan Kadar Pati Selama Proses Likuifikasi

Hasil pengukuran kadar pati sisa pada proses likuifikasi dengan suhu awal

70 oC disajikan pada Lampiran 2.1b, sedangkan proses likuifikasi dengan suhu

awal 75 oC disajikan pada Lampiran 2.2b. Hasil analisis kadar pati pada 10 menit

awal inkubasi mengalami penurunan yang besar. Perubahan kadar pati tersebut

terlihat pada Gambar 10.


39

Gambar 10. Pola Perubahan Kadar Pati Sisa pada Proses Likuifikasi Tapioka
dengan Pemanasan Awal Sampai Suhu 70 oC (Simbol Terbuka)
dan 75 oC (Simbol Tertutup), Inkubasi Dilakukan pada Suhu 70 oC
Hasil pengukuran kadar pati sisa dari kedua kondisi proses likuifikasi

tersebut, menunjukkan bahwa penurunan kadar pati yang lebih besar dan lebih

cepat, terjadi pada proses likuifikasi dengan suhu awal 75 oC. Perubahan tersebut

erat kaitannya dengan proses gelatinisasi sempurna yang dilakukan sebelumnya.

Proses tersebut menyebabkan pecahnya granula menjadi fragmen, mikrogel dan

molekul-molekul kimia seperti amilosa dan amilopektin, sehingga proses hidrolisis

oleh α-amilase menjadi lebih mudah (Ju et al., l995).

Efektivitas α-amilase menghidrolisis substrat yang kemudian menghasilkan

komponen amilosa maupun amilopektin dengan rantai yang lebih pendek,

disebabkan karena kristal pati yang terbuka. Terbukanya daerah kristal pati

tersebut menyebabkan komponen amilopektin dan amilosa mengalami hidrasi yang

cukup besar (Biliaderis, l992). Sifat kristalin pati disebabkan oleh molekul amilosa

berantai lurus yang tersusun secara radial dengan rantai lurus (percabangan

berukuran pendek yang tersusun dengan 14 - 20 unit glukosa) dari amilopektin

membentuk misel (Biliaderis, l992).

Proses likuifikasi tapioka dengan pemanasan awal sampai suhu 70 oC,

menunjukkan proses yang kurang efektif. Hal tersebut disebabkan karena

pemanasan awal yang dilakukan belum mencapai suhu gelatinisasi maksimum

(73,5 oC), sehingga hidrolisis oleh α-amilase tidak optimal. Sebaliknya pada proses
o
likuifikasi dengan pemanasan awal sampai suhu 75 C aktivitas α-amilase

berlangsung optimal. Hal tersebut terlihat dari perolehan kadar pati sisa yang lebih

kecil (Gambar 10).


40

Aktivitas hidrolisis α-amilase dimulai dari daerah amorf dan selanjutnya

pada daerah kristal. Pada proses likuifikasi dengan suhu awal 70 oC granula pati

pada umumnya belum pecah, karena granula pati pecah pada saat mencapai suhu

gelatinisasi maksimum (73,5 oC). Proses tersebut menyebabkan hidrolisis hanya

berlangsung optimal pada daerah amorf, sedangkan pada daerah kristal sulit

diaktivasi karena terjadi hambatan untuk proses hidrolisis (Sarikaya et al., 2000).

Proses hidrolisis juga dipengaruhi oleh ukuran granula pati. Menurut

Vasanthan dan Bhatty (l996) granula berukuran kecil lebih mudah dihidrolisis oleh

asam atau α-amilase dibandingkan dengan granula yang berukuran besar. Ukuran

granula pati tapioka, merupakan jenis granula pati terkecil yakni 4 - 35 μm dengan

diameter rata-rata 20 μm dibandingkan dengan granula pati umbi-umbian lainnya

(Swinkels, l985).

Sifat dasar yang dimiliki pati tapioka tersebut mempengaruhi proses

likuifikasi pada penggunaan α-amilase menjadi polimer dengan rantai molekul yang

lebih sederhana. Proses hidrolisis dengan menggunakan α-amilase menyebabkan

pemutusan ikatan α-1.4 secara acak pada bagian tengah, baik pada amilosa

maupun pada rantai lurus amilopektin, sehingga dihasilkan fragmen amilosa dan

amilopektin dari pati aslinya (Endo, l988).

Salah satu ciri terjadinya hidrolisis pati adalah penurunan kemampuan

mengikat iodium. Kemampuan pati mengikat iodium semakin besar apabila rantai

molekulnya semakin panjang, karena konformasi heliks yang terbentuk semakin

banyak. Larutan amilosa cenderung membentuk struktur heliks yang sangat

panjang serta fleksibel (Pomeranz, l985). Setiap putaran heliks yang terdiri dari 6

unit glukosa dapat mengikat satu molekul I2, dan berinteraksi pada pusatnya
41

sehingga membentuk senyawa kompleks yang berwarna biru (Pomeranz, l985).

Rantai lurus amilopektin juga dapat membentuk kompleks dengan I 2 dan

menghasilkan warna ungu merah (Pomeranz, l985). Panjang rantai molekul

dengan jumlah unit glukosa lebih kecil dari 12 (dua lingkaran heliks) tidak berwarna

jika terjadi kompleks dengan iod (Pomeranz, l985).

4. Perubahan Viskositas Hidrolisat Selama Proses Likuifikasi

Hasil pengukuran viskositas hidrolisat pada proses likuifikasi tapioka


o
dengan suhu awal 75 C menunjukkan viskositas yang rendah pada taraf

konsentrasi hidrolisat 10 % (b/v). Viskositas hidrolisat tersebut berkisar antara 3,80

- 6,60 cP. Viskositas tertinggi diperoleh pada saat inkubasi mencapai suhu 70 oC

(6,60 cP) kemudian pada suhu 75 oC (6,10 cP). Pada inkubasi lebih lanjut

viskositas cenderung menurun (Lampiran 2.2c). Hasil tersebut menunjukkan

terjadinya penurunan viskositas dari tapioka gelatinisasi (15360 cP).

Selama proses likuifikasi viskositas tertinggi diperoleh pada saat suhu

inkubasi mencapai 70 oC. Hal tersebut erat kaitannya dengan proses gelatinisasi.

Suhu gelatinisasi awal merupakan permulaan terjadinya pembengkakan granula

yang disertai peningkatan viskositas. Pada pemanasan selanjutnya

pembengkakan granula semakin besar dan disertai penyerapan air yang semakin

banyak. Akibatnya granula menjadi pecah (Waniska dan Gomez, l992). Pada saat

granula pecah, maka viskositas cenderung menurun. Kondisi tersebut terjadi pada

saat suhu mencapai 75 oC. Profil perubahan viskositas hidrolisat dapat dilihat pada

Gambar 11.
42

Viskositas pasta pada proses likuifikasi menunjukkan peningkatan pada

saat mencapai suhu gelatinisasi, namun peningkatannya lebih kecil dibandingkan

dengan proses gelatinisasi tapioka tanpa penambahan enzim (15360 cP).

Keadaan tersebut menunjukkan bahwa pada saat pembengkakan granula pati,

secara simultan α-amilase melakukan aktivitas hidrolisis secara acak. Akibatnya

polimer rantai panjang amilosa dan amilopektin menghasilkan polimer rantai

pendek. Fenomena tersebut menyebabkan penurunan viskositas, sebagai suatu

indikasi proses terjadinya hidrolisis pati (Lloyd dan Nelson, l984).

Gambar 11. Pola Perubahan Viskositas pada Proses Likuifikasi Tapioka


pada Suhu Inkubasi 70 oC dengan Pemanasan awal 75 oC

Fraksi polimer rantai pendek tidak mampu membentuk konformasi heliks

atau heliks ganda yang berkembang menjadi konformasi tiga dimensi. Viskositas

yang tinggi terjadi apabila rantai molekul relatif panjang, sehingga dapat menjerat

sejumlah air dan membentuk konformasi tiga dimensi (Waniska dan Gomez, l992).
43

Menurut Rapaille dan van Hemedrijeck (l992) panjang rantai polisakarida

dapat menentukan tingkat viskositas pasta yang dihasilkan. Polisakarida berantai

pendek akan membentuk pasta dengan viskositas lebih encer, dibandingkan

dengan pasta pati yang mempunyai rantai polisakarida lebih panjang. Gambaran

viskositas hidrolisat tapioka yang diperoleh, menunjukkan bahwa apabila hidrolisat

tersebut digunakan sebagai substrat untuk produksi siklodekstrin, maka viskositas

sebagai salah satu kendala dapat dihindari pada taraf konsentrasi substrat sekitar

10 % (b/v).

5. Kesimpulan

1) Proses likuifikasi tapioka dengan perlakuan pemanasan awal sampai


o
suhu 75 C, lebih efektif untuk menghasilkan derajat hidrolisis yang

diinginkan (DH 10, 15, 20 dan 25 %), daripada perlakuan pemanasan awal

sampai suhu 70 oC.

2) Pada proses likuifikasi dengan suhu awal 75 oC tingkat derajat hidrolisis

9,85 ± 1,21 % (DH-10), 15,47 ± 0,78 % (DH-15) dan 20,42 ± 0,27 % (DH-20)

dan 25,28 ± 0,35 % (DH-25) masing-masing dicapai pada lama reaksi 10,

40, 70 dan 130 menit. Derajat hidrolisis pada tingkat DH-5 dicapai pada

pemanasan awal saat mencapai suhu 66 oC.

3) Viskositas hidrolisat tertinggi yang diperoleh pada konsentrasi 10 % (b/v)

adalah sebesar 6,60 cP. Nilai tersebut mengalami penurunan bila

dibandingkan dengan viskositas tapioka tergelatinisasi (15360 cP), sehingga

hambatan viskositas pada substrat untuk produksi siklodekstrin dapat

diatasi.
44

4) Hasil terbaik yang diperoleh tersebut, yakni pemanasan awal substrat

sampai suhu 75 oC digunakan dalam tahap penelitian selanjutnya, untuk

persiapan substrat pada tingkat derajat hidrolisis 10-25.

Anda mungkin juga menyukai