Anda di halaman 1dari 12

VII.

PENGARUH ASEPTOR MINIMAL DAN DERAJAT


HIDROLISIS SUBSTRAT TERHADAP PEROLEHAN
SIKLODEKSTRIN

Pembentukan siklodekstrin oleh CGTase dari suatu substrat, sangat

dipengaruhi oleh kondisi substrat yang digunakan. Aktivitas katalisis CGTase

mengalami hambatan pada granula pati karena komponen amilosa dan amilopektin

tersusun dalam bentuk kristal. Menurut Park et al. (1998) struktur granula pati

mentah yang tersusun rapi dan berbentuk kristal menyebabkan hasil dan laju reaksi

transglikosilasi menjadi rendah.

Aktivitas katalisis CGTase dengan reaksi siklisasi dan non-siklisasi dalam

substrat dapat terjadi secara simultan. Menurut Tankova (l998) CGTase dapat

mengkatalisis reaksi transglikosilasi intramolekuler (siklisasi) dan intermolekuler

(coupling dan disproporsionasi) serta hidrolisis pati dan siklodekstrin. Kandungan

aseptor dalam substrat akan memacu reaksi intermolekuler (non-siklisasi) sehingga

reaksi siklisasi menjadi terhambat. Untuk mengoptimalkan reaksi pembentukan

siklodekstrin maka kandungan aseptor dalam substrat dan pembentukan aseptor

selama reaksi berlangsung perlu diminimalkan.

Tujuan penelitian adalah melihat: (1) pengaruh aseptor minimal dalam

substrat terhadap perolehan siklodekstrin dan (2) pengaruh derajat hidrolisis

substrat terhadap perolehan siklodekstrin.

1. Metode

Substrat yang digunakan untuk produksi siklodekstrin adalah substrat

dengan beberapa taraf derajat hidrolisis (DH) yang telah diminimalkan kandungan
71

aseptornya menggunakan air dan etanol (Bab V). Pada tahap produksi

siklodekstrin, substrat sebanyak 5 % (b/v) disuspensikan ke dalam bufer fosfat pH

6,0 (0,2 M) (Tomita et al., l993; Lee dan Kim l991). Substrat lalu dipanaskan

sampai mencapai suhu 80 oC. Setelah dingin ditambahkan etanol hingga mencapai

konsentrasi 10 % (v/v) dalam medium (Lee dan Kim, l991). Kemudian diinkubasi

dalam inkubator goyang pada suhu 60 oC (Tomita et al., l993; Mattsson et al., l991)

dengan kecepatan 200 rpm (Park et al., 1998) selama 260 menit.

Parameter yang diukur meliputi: (a) nilai DE produk dan (b) perolehan

siklodekstrin (metode Kitahata, l988). Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

pola faktorial. Faktor A (derajat hidrolisis) terdiri atas 5 taraf perlakuan dan faktor B

(metode minimalisasi aseptor) terdiri atas 3 taraf perlakuan. Percobaan dilakukan

dengan tiga kali ulangan.

2. Pengaruh Aseptor Minimal terhadap Nilai DE Produk

Nilai DE produk pada proses minimalisasi aseptor menggunakan etanol

dari semua perlakuan berkisar antara 20,78 - 33,69 % (Lampiran 4.6). Perlakuan

minimalisasi aseptor menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan satu

dengan perlakuan lainnya terhadap DE produk (Lampiran 4.6b). DE produk

tertinggi diperoleh pada kontrol (29,10 %), kemudian pada perlakuan pemisahan

fraksi (27,30 %) dan terendah pada perlakuan tanpa pemisahan fraksi (25,47 %).

Nilai DE produk pada proses minimalisasi aseptor menggunakan air dari

semua perlakuan berkisar antara 17,40 - 29,73 % (Lampiran 5.6). DE produk

terendah diperoleh pada penggunaan substrat dengan perlakuan pemisahan fraksi


72

pada tingkat DH-5, sedangkan DE produk tertinggi diperoleh pada penggunaan

substrat hidrolisat dengan tingkat DH-25.

Proses minimalisasi aseptor, menunjukkan pengaruh yang nyata antara

perlakuan satu dengan lainnya terhadap DE produk (Lampiran 5.6b). DE produk

terendah (24,12 %) diperoleh pada metode pemisahan fraksi, sedangkan DE

produk tertinggi (29,10 %) diperoleh pada penggunaan substrat tanpa minimalisasi

aseptor (kontrol).

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa penggunaan hidrolisat dengan

kandungan aseptor yang minimal dapat menghambat pembentukan gula pereduksi

selama reaksi. Penggunaan substrat dengan nilai DE yang kecil, juga akan

menghasilkan DE produk yang kecil (Gambar 18).

Penggunaan hidrolisat tanpa minimalisasi aseptor sebagai substrat,

menyebabkan pembentukan DE produk lebih besar, dibandingkan penggunaan

substrat dengan perlakuan minimalisasi aseptor. Hal tersebut disebabkan karena

aktivitas reaksi transglikosilasi intermolekuler lebih dominan. Akibat kandungan

gula pereduksi substrat yang cukup tinggi (7,83 g/l). Menurut Tankova (l998)

apabila dalam campuran reaksi terdapat maltooligosakarida dengan derajat

polimerisasi lebih rendah dari delapan unit glukosa, maka reaksi awal yang terjadi

adalah transglikosilasi intermolekuler dan hidrolisis rantai lurus maltooligosakarida.

Pada penggunaan hidrolisat sebagai substrat yang mengandung gula

sederhana seperti glukosa dan maltosa, menyebabkan reaksi disproporsionasi

berlangsung optimal. Hal tersebut disebabkan karena glukosa dan maltosa

merupakan aseptor yang kuat, sehingga memacu katalisis reaksi non-siklisasi.


73

Menurut Okada et al. (l994) dan Park et al. (l998) glukosa dan maltosa merupakan

aseptor yang kuat pada reaksi transglikosilasi CGTase.

Penggunaan substrat dengan kandungan aseptor yang minimal, selama

reaksi berlangsung masih memungkinkan terjadinya peningkatan gula pereduksi.

Fenomena tersebut terjadi melalui dua tahap reaksi, yakni reaksi transglikosilasi

intramolekuler dan intermolekuler. Gula pereduksi yang terbentuk merupakan hasil

samping dari reaksi siklisasi (intramolekuler). Pada reaksi siklisasi rantai lurus

menjadi siklodekstrin akan tersisa fragmen rantai lurus yang tidak dapat dibentuk

menjadi siklodekstrin. Maltooligosakarida dengan derajat polimerisasi lebih kecil

dari delapan unit glukosa tidak dapat tersiklisasi menjadi siklodekstrin (Tankova,

l998). Fragmentasi rantai lurus tersebut selain meningkatkan gula pereduksi dan

DE, juga memacu reaksi transglikosilasi intermolekuler.

Pengaruh perlakuan derajat hidrolisis terhadap DE produk pada proses

minimalisasi aseptor menggunakan etanol, menunjukkan perbedaan yang nyata

antara taraf DH-5 dengan lainnya, kecuali DH-15 dan DH-10 tidak berbeda nyata

(Lampiran 4.6c). Pada penggunaan air pengaruh derajat hidrolisis terhadap DE

produk, menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali pada perlakuan DH-10

dengan DH-15, DH-15 dengan DH-20, dan DH-20 dengan DH-25 tidak berbeda

nyata (Lampiran 5.6c). Derajat hidrolisis substrat yang semakin tinggi

menghasilkan DE produk yang semakin besar, fenomena tersebut dapat dilihat

pada Gambar 18.

Nilai DE produk yang cenderung meningkat pada penggunaan substrat

dengan taraf derajat hidrolisis lebih tinggi, selain karena rata-rata rantai molekul

hasil hidrolisis lebih pendek, juga karena gula pereduksi awal yang tersedia lebih
74

besar. Panjang rata-rata rantai molekul dalam substrat yang lebih pendek,

menyebabkan jumlah satuan molekul per satuan bobot dalam substrat lebih besar.

Akibatnya jumlah ujung rantai molekul dalam substrat semakin banyak. Kondisi

tersebut pada tahap awal reaksi menyebabkan aktivitas reaksi siklisasi berlangsung

secara optimal.

Gambar 18. Pengaruh DH (Derajat Hidrolisis) Substrat dan Minimalisasi


Aseptor terhadap DE Produk dengan Menggunakan Etanol (Simbol
Tertutup) dan Air (Simbol Terbuka)

Aktivitas siklisasi CGTase pada setiap molekul menjadi siklodekstrin, akan

menyisakan molekul rantai pendek yang tidak dapat tersiklisasi menjadi

siklodekstrin. Jumlah molekul rantai pendek yang terbentuk sebanding dengan

jumlah satuan molekul yang terdapat dalam substrat. Bila molekul rantai pendek
75

semakin banyak dalam substrat maka aktivitas reaksi disproporsionasi CGTase

menjadi terpacu, sehingga produk reaksi dalam bentuk gula pereduksi semakin

banyak. Menurut Kitahata (l988) jika di dalam medium reaksi terdapat G2 (maltosa)

dan G3 (maltotriosa), maka prioritas katalisis reaksi adalah transglikosilasi

intermolekuler. Tersedianya maltoologisakarida (derajat polimerisasi 1 - 4) dalam

substrat dapat meningkatkan reaksi coupling, apabila dibandingkan dengan

substrat yang tidak mengandung komponen tersebut (Okada et al., l984).

3. Pengaruh Aseptor Minimal terhadap Perolehan Siklodekstrin

Perolehan siklodekstrin pada proses minimalisasi aseptor menggunakan

etanol dari semua perlakuan berkisar antara 22,99 - 32,75 g/l (Lampiran 4.7). Pada

proses minimalisasi aseptor menggunakan air perolehan siklodekstrin berkisar

antara 26,22 - 34,40 g/l (Lampiran 5.7). Siklodekstrin terendah (17,26 g/l)

diperoleh pada penggunaan substrat hidrolisat tanpa minimalisasi aseptor pada

taraf DH-25. Proses minimalisasi aseptor menggunakan etanol dengan metode

pemisahan fraksi pada tingkat DH-5 menghasilkan siklodekstrin tertinggi yakni

sebesar 32,75 g/l. Pada proses minimalisasi aseptor menggunakan air dengan

penggunaan substrat taraf DH-5 tanpa pemisahan fraksi menghasilkan siklodekstrin

tertinggi yakni sebesar 34, 40 g/l.

Minimalisasi aseptor menggunakan etanol dan air dengan pengaruh

perlakuan pemisahan fraksi dan tanpa pemisahan fraksi tidak berbeda nyata

terhadap perolehan siklodekstrin. Perolehan siklodekstrin dari kedua metode

tersebut, menunjukkan perbedan yang nyata terhadap metode tanpa minimalisasi


76

aseptor (Lampiran 4.7b dan 5.7b ). Minimalisasi aseptor menggunakan etanol,

menunjukkan peningkatan perolehan siklodekstrin rata-rata sebesar 34,36 %

(27,49 g/l) dari penggunaan hidrolisat tanpa minimalisasi aseptor (20,46 g/l).

Peningkatan perolehan siklodekstrin tersebut disebabkan karena reaksi

non-siklisasi terhambat. Hal tersebut disebabkan karena kandungan gula

sederhana dalam substrat yang rendah. Menurut Kitahata (l988) apabila di dalam

medium reaksi hanya terdapat amilosa atau amilopektin, maka CGTase hanya

semata-mata mengkatalisis reaksi transglikosilasi intramolekuler untuk

pembentukan siklodekstrin.

Pengaruh minimalisasi aseptor (menggunakan air) terhadap perolehan

siklodekstrin, tidak berbeda nyata antara metode pemisahan fraksi (30,08 g/l)

dengan tanpa pemisahan fraksi (30,02 g/l). Hal ini menyebabkan metode

pemisahan fraksi sebagai pilihan yang lebih baik, karena dengan metode tersebut

penggunaan pelarut lebih efisien dan wadah pemisahan yang digunakan lebih

kecil.

Minimalisasi aseptor menggunakan air dapat meningkatkan perolehan

siklodekstrin sebesar 46,87 %, yakni dari 20,46 g/l (tanpa minimalisasi aseptor)

menjadi 30,05 g/l. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan meminimalkan

kandungan gula sederhana dalam substrat, maka aktivitas pembentukan

siklodekstrin berlangsung optimal.

Terdapatnya sejumlah gula sederhana dalam substrat hidrolisat

menyebabkan aktivitas CGTase tidak optimal mengkonversi substrat menjadi

siklodekstrin. Fenomena tersebut juga akan memacu reaksi disproporsionasi dan

coupling. Blackwood dan Bucke (2000) melaporkan bahwa penambahan maltosa


77

sebanyak 0,25 % dengan lama inkubasi 4 jam, menyebabkan hidrolisis

α-siklodekstrin dan β-siklodekstrin, masing-masing sebesar 37 dan 27 %.

Selanjutnya menurut Tomita et al. (l993) penambahan aseptor glukosa 1 % dan

maltosa 1 % ke dalam campuran reaksi menyebabkan hidrolisis β-siklodekstrin

masing-masing sebesar 46 dan 85 %.

Perlakuan pemisahan fraksi dan tanpa pemisahan fraksi pada proses

minimalisasi aseptor menggunakan etanol, menunjukkan perolehan siklodekstrin

antara kedua perlakuan tersebut tidak berbeda nyata. Perolehan siklodekstrin

tersebut masing-masing sebesar 27,97 g/l dan 27,01 g/l.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa penggunaan substrat dengan

kandungan maltooligosakarida yang tinggi, tidak dapat dikonversi secara optimal

menjadi siklodekstrin. Hal ini terkait dengan aktivitas siklisasi pada awal reaksi

yang berlangsung efektif, tetapi adanya sejumlah fragmen molekul rantai pendek

yang terbentuk akan mengganggu aktivitas katalisis transglikosilasi intramolekuler.

Perolehan siklodekstrin yang tidak signifikan antara perlakuan tanpa

pemisahan fraksi dengan perlakuan pemisahan fraksi, menyebabkan perlakuan

pemisahan fraksi sebagai perlakuan terbaik untuk dilanjutkan. Pada perlakuan

pemisahan fraksi encer dengan fraksi endapan diperoleh fraksi encer antara 60 -

70 % dan fraksi endapan sebanyak 30 - 40 %. Endapan yang diperoleh

selanjutnya disuspensikan ke dalam etanol 65 % (v/v) dengan perbandingan 1 : 2.

Dengan demikian proses tersebut dapat menghemat penggunaan etanol 60 - 70 %.

Pengaruh tingkat derajat hidrolisis terhadap perolehan siklodekstrin

(minimalisasi aseptor menggunakan etanol), menunjukkan pengaruh yang nyata,

kecuali pada DH-15 dengan DH-20, dan DH-20 dengan DH-25 tidak berpengaruh
78

nyata (Lampiran 4.7c). Derajat hidrolisis substrat yang semakin tinggi

menghasilkan siklodekstrin yang cenderung menurun (Gambar 19). Fenomena

tersebut menunjukkan bahwa komponen maltooligosakarida tidak dapat dikonversi

secara optimal menjadi siklodekstrin. Hal ini disebabkan karena ketersediaan

substrat yang umumnya berantai pendek, mempunyai peranan yang besar untuk

menghasilkan komponen yang bersifat sebagai aseptor.

Gambar 19. Pengaruh DH (Derajat Hidrolisis) Substrat dan Minimalisasi


Aseptor terhadap Perolehan Siklodekstrin dengan Menggunakan
Etanol (Simbol Tertutup) dan Air (Simbol Terbuka).

Variasi derajat hidrolisis terhadap perolehan siklodekstrin dengan aseptor

minimal menggunakan air, menunjukkan pengaruh yang nyata kecuali pada

perlakuan DH-10 dengan DH-15, dan DH-15 dengan DH-20 (Lampiran 5.7c).
79

Perolehan siklodekstrin cenderung menurun pada peningkatan derajat hidrolisis

(Gambar 19). Siklodekstrin tertinggi (34,40 g/l dengan nilai konversi 68,80 %)

diperoleh pada perlakuan minimalisasi aseptor tanpa pemisahan fraksi dengan

tingkat DH-5. Perolehan siklodekstrin tersebut tidak berbeda nyata dengan

perolehan siklodekstrin (33,93 g/l) pada perlakuan pemisahan fraksi pada tingkat

DH-5.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa efektivitas pembentukan

siklodekstrin terjadi pada penggunaan substrat dengan rantai molekul yang

panjang (derajat hidrolisis rendah) dengan kandungan aseptor minimal. Nilai

konversi tertinggi yang diperoleh melampaui nilai konversi tertinggi (66 %) yang

diperoleh Blackwood dan Bucke (2000) pada produksi siklodekstrin dari substrat

pati kentang 5 % (b/v) dan penambahan etanol 10 % (v/v) dengan lama inkubasi 24

jam.

Penggunaan substrat pada tingkat derajat hidrolisis yang tinggi

menyebabkan proses pembentukan siklodekstrin tidak optimal, karena selain

komponen substrat memiliki rantai molekul rata-rata lebih pendek, juga

ketersediaan gula sederhana yang bersifat aseptor jumlahnya cenderung

meningkat. Akibat kondisi tersebut aktivitas reaksi transglikosilasi intermolekuler

dapat berlangsung secara simultan dengan reaksi transglikosilasi intramolekuler

(siklisasi), sehingga pembentukan siklodekstrin mengalami hambatan dengan

terjadinya akumulasi gula sederhana. Menurut Tankova (1998) tersedianya

aseptor dalam substrat akan mengaktifkan katalisis transglikosilasi intermolekuler,

yakni terjadinya hidrolisis siklodekstrin dan pembentukan maltooligosakarida.


80

4. Kesimpulan

1) Minimalisasi aseptor menggunakan etanol dapat meningkatkan perolehan

siklodekstrin rata-rata sebesar 34,36 %, sedangkan penggunaan air sebesar

46,87 % dari 20,46 g/l (tanpa minimalisasi aseptor).

2) Peningkatan derajat hidrolisis substrat antara DH-5 sampai dengan DH-25

menyebabkan perolehan siklodekstrin cenderung menurun. Pada

penggunaan etanol perolehan siklodekstrin sebesar 31,78 ± 1,76 g/l (DH-5)

dan 24,97 ± 0,95 g/l (DH-25), sedangkan pada penggunaan air sebesar

34,14 ± 0,74 g/l (DH-5) dan 27,72 ± 2,19 g/l (DH-25).

3) Minimalisasi aseptor dengan etanol siklodekstrin tertinggi 32,75 ± 1,43 g/l

dengan konversi 65,50 %) diperoleh pada perlakuan pemisahan fraksi

pada tingkat DH-5.

4) Minimalisasi aseptor dengan air siklodekstrin tertinggi (34,40 ± 0,88 g/l

dengan konversi 68,80 %) diperoleh pada perlakuan tanpa pemisahan fraksi

pada taraf DH-5. Perolehan siklodekstrin tersebut tidak berbeda nyata

dengan perolehan siklodekstrin (33,93 ± 0,60 g/l; konversi 67,86 %) pada

perlakuan pemisahan fraksi pada taraf DH-5.

5) Substrat pada tingkat DH-5 dan pemisahan fraksi encer sebelum penam-

bahan pelarut untuk minimalisasi aseptor, merupakan perlakuan terbaik dan

yang diperoleh untuk menghasilkan siklodekstrin maksimal, baik pada

penggunaan pelarut etanol maupun pada penggunaan air. Dengan


81

demikian perlakuan tersebut digunakan pada penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai