Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

PERAN PERAWAT JIWA

DI SUSUN

OLEH KELOMPOK I

NO NAMA NPM
1 Antoneta Kora 12114201190023
2 Catrian Latumeten 12114201190037
3 Peggy Metiary 12114201190090
4 Febelensya Luhukay 12114201190071
5 Melvy Lessy 12114201190178
6 Sisca Patty 12114201190246
7 Poplius Dakdakur 12114201190309
8 Yuni Tanarubun 12114201190295

PRODI KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas keperawatan jiwa 1. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Peran Perawat
Jiwa bagi pembaca dan juga penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Pak Fandro Tasijawa, selaku


dosen Keperawatan Jiwa I yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………..

DAFTAR ISI……………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….

A. Latar Belakang………………………………………………………
1) Pentingnya Perawat Jiwa……………………………………..
2) Keadaan Perawat Jiwa Global dan Indonesia………………….
3) Pertumbuhan Perawat Jiwa di Indonesia…………………….
B. Tujuan Penulisan…………………………………………………….
C. Manfaat Penulisan……………………………………………………..

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………

A. Peran Perawat Secara Umum……………………………………..


B. Peran Perawat dari Berbagai Sumber………………………………….

BAB III REVIEW TERKAIT DENGAN PERAN PERAWAT JIWA……

1) Peran Perawat Jiwa di Komunitas………………………………..


2) Peran Perawat Jiwa di RS…………………………………………….

BAB IV PENUTUP…………………………………………………………..

1. Kesimpulan………………………………………………………..
2. Saran………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1) Pentingnya Perawat Jiwa

Untuk menjadi individu yang produktif dan mampu berinteraksi dengan


lingkungan sekitar, kita harus memiliki jiwa yang sehat. Individu dikatakan sehat
jiwa apabila berada dalam kondisi fisik, mental, dan sosial yang terbebas dari
gangguan (penyakit), tidak dalam kondisi tertekan sehingga dapat mengendalikan
stres yang timbul. Kondisi ini akan memungkinkan individu untuk hidup
produktif, dan mampu melakukan hubungan sosial yang memuaskan. Dalam
melakukan peran dan fungsinya seorang perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan harus memandang manusia sebagai mahluk biopsikososiospiritual
sehingga pemilihan model keperawatan dalam menerapkan asuhan keperawatan
sesuai dengan paradigma keperawatan jiwa.

Manusia sebagai mahluk biopsikososiospiritual mengandung pengertian


bahwa manusia merupakan makhluk yang utuh dimana didalamnya terdapat unsur
biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.Sebagai makluk biologi, manusia
tersusun dari berjuta-juta sel-sel hidup yang akan membentuk satu jaringan,
selanjutnya jaringan akan bersatu dan membentuk organ serta sistem organ.
Sebagai makhluk psikologi,setiap manusia memiliki kepribadian yang unik serta
memiliki struktur kepribadianyang terdiri dari id, ego, dan super ego dilengkapi
dengan daya pikir dan keceredasan, agar menjadi pribadi yang selalu berkembang.
Setiap manusia juga memiliki kebutuhan psikologis seperti terhindar dari
ketegangan psikologis, kebutuhan akan kemesraan dan cinta, kepuasan alturistik
(kepuasan untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan), kehormatan
serta kepuasan ego. Sedangkan sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup
sendiri, manusia selalu ingin hidup dengan orang lain dan membutuhkan orang
lain. Selain itu manusia juga harus menjalin kerja sama dengan manusia lain
untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup. Manusia juga dituntut untuk
mampu bertingkah laku sesuai dengan harapan dan norma yang berlaku
dilingkungan sosialnya. Sebagai makhluk spiritual manusia mempunyai
keyakinan dan mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, memiliki pandangan
hidup, doronngan hidup yang sejalan, dengan sifat religius yang dianutnya.

2) Keadaan Perawat Jiwa Global dan Indonesia

Menurut WHO (World Health Organization), masalah gangguan jiwa di


dunia ini sudah menjadi masalah yang semakin serius. Paling tidak, ada satu dari
empat orang di dunia ini mengalami gangguan jiwa. WHO memperkirakan
ada sekitar 450 juta orang di dunia ini ditemukan mengalami gangguan
jiwa. Berdasarkan data statistik, angka pasien gangguan jiwa memang
sangat mengkhawatirkan (Yosep, 2007).Menurut UU Kesehatan Jiwa No.3
Tahun 1966, Kesehatan Jiwa adalah suatu keadaan yang memungkinkan
perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang dan
perkembangan ini selaras dengan dengan orang lain. Sedangkan menurut
American Nurses Associations (ANA) keperawatan jiwa merupakan suatu
bidang khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu perilaku
manusia sebagai ilmu dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai
caranya untuk meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan jiwa.

Kesehatan jiwa bisa dikatakan sebagai suatu kondisi sehat baik


emosional, psikologis, dan juga sosial yang ditunjukkan dalam hubungan
interpersonal yang memuaskan antara individu dengan individu lainnya,
memiliki koping yang efektif, konsep diri positif dan emosi yang stabil
(Videbeck, 2010). Kesehatan jiwa seseorang dipengaruhi oleh keseimbangan
dan ketidakseimbangan antar sistem. Sistem tersebut berfungsi sebagai salah
satu kesatuan yang holistik dan bukan semata-mata merupakan penjumlahan
elemen-elemenya. Sehinggakesehatan jiwa merupakan kondisi seseorang yang
merasa sehat dan bahagia, mampu menerima orang lain sebagaimana adanya
dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
(Mangindaan, 2010).Tidak berkembangnya koping individu secara baik dapat
menyebabkan terjadinya gangguan jiwa pada seseorang. Menurut Purnama,
Yani, &Titin (2016) mengatakan gangguan jiwa adalah seseorang yang
terganggu dari segi mental dan tidak bisa menggunakan pikirannya secara normal.
Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku
akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam
bertingkah laku. Sedangkan menurut Nasir & Muhith (2011), mengatakan
bahwa gangguan jiwa adalah keadaan adanya gangguan pada fungsi kejiwaan,
fungsi kejiwaan meliputi proses berpikir, emosi, kemauan dan perilaku
psikotomotor, termasuk 2bicara. Seseorang mengalami gangguan jiwa
apabila ditemukan adanya gangguan pada fungsi mental yang meliputi:
emosi, pikiran, perilaku, perasaan, motivasi, kemauan, keinginan, daya tilik diri
dan persepsi sehingga mengganggu dalam proses hidup di masyarakat.

3) Pertumbuhan Perawat Jiwa di Indonesia

Perkembangan pelayanan kesehatan di Indonesia tidak terlepas dari


sejarah kehidupan bangsa setelah merdeka. Pelayanan kesehatan terhadap
masyarakat dikembangkan sejalan dengan tanggung jawab pemerintah
melindungi rakyat indonesia dari berbagai masalah kesehatan yang
berkembang. Kesehatan adalah hak asasi manusia yang tercantum juga dalam
Undang Undang Dasar 1945. Oleh karenanya pemerintah telah mengadakan
pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia.Pelayanan
kesehatan yang menjadi pintu pelayanan terdepan dalam hubungannya
dengan masyarakat adalah Rumah sakit. Sebagai pemberian layanan kesehatan
yang komplek, perawat senantiasa mengembangkan ilmu dan teknologi dibidang
keperawatan mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan serta trend dan issue
dalam pelayanan (Yosep, 2010).Dampak perkembangan zaman dan
pembangunan dewasa ini juga menjadi faktor peningkatan permasalahan
kesehatan yang ada, menjadikan banyaknya masalah kesehatan fisik juga
masalahkesehatan mental/spiritual. Dengan semakin berkembangnya kehidupan
dan modernisasi disemua bidang kehidupan manusia, terjadinya perang,
konflik dan lilitan krisis ekonomi berkepanjangan salah satu pemicu yang
memunculkan stres, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa (Yosep,
2010). Seseorang yang mengalami gangguan jiwa akan mengalami
ketidakmampuan berfungsi secara optimal dalam kehidupan sehari-hari. Salah
satu faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa adalah
adanya stressor psikososial (Hawari, 2009). Bagi mereka yang tidak
mampu mengendalikan stressor, baik dari stressor internal maupun eksternal
mereka akan kehilangan kontrol fikirannya, salah satu contohnya yaitu : perilaku
kekerasan. Bentuk kekerasan yang banyak terjadi di masyarakat adalah kekerasan
fisik, tetapi masyarakat sendiri tidak menyadari bahwa penghinaan, cemooh
dan kata-kata kasar merupakan bagian dari kekerasan verbal. Efek kekerasan
fisik dan verbal akan menyakitkan bagi individu yang mengalaminya, dan
dapat saja menimbulkan trauma. Trauma yang terjadi pada korban kekerasan
akan berbeda, begitu pula dengan aspek penanganannya yang berbeda, hal ini
terkait dengan aspek kepribadian dan kondisi psikologis seseorang. Strategi
penanganan pada setiap korban kekerasan akan berbeda berdasarkan tempat
terjadinya kekerasan tersebut, misalkan strategi penanganan kekerasan dalam
rumah tangga, akan berbeda dengan strategi penanganan terhadap
kekerasan di sekolah atau di lingkungan kerja. Masyarakat juga perlu mengetahui
adanya strategi penanganan secara psikologis untuk membantu korban kekerasan,
yang dikenal sebagai psikoterapi. Pendekatan psikoterapi ini secara
tidak langsung. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik diri sendiri
maupun orang lain (Yosep, 2010). Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi
mengakibatkan seseorang stress berat membuat orang marah bahkan
kehilangan control kesadaran diri, misalnya: memakimaki orang di sekitar,
membanting barang, mencederaiorang lain, resiko membahayakan diri
(keadaan ketika individu beresiko meninbulkan bahaya langsung pada dirinya
sendiri) (Carpenito,2006).
B. Tujuan Penulisan

Tujuan perawat dalam memberikan layanan kesehatan jiwa, yaitu

1. meningkatkan wawasan dan pemahaman pasien


2. meningkatkan kemandirian pasien
3. meningkatkann kerja sama dengan keluarga pasien
4. meningkatkan kerja sama lintas profesi, dan
5. ingin memperbaiki paktek pelayanan.

C. Manfaat Penulisan

Perawat kesehatan jiwa memiliki peran sebagai  Pemberi asuhan keperawatan


secara langsung. Peran  Yang pertama adalah memberikan tindakan  Keperawatan
pada keluarga dan penderita. Perawat Kesehatan jiwa menyatakan pernah
memberikan   Tindakan keperawatan kepada keluarga dan penderita. Namun,
tindakan ke- perawatan yang diberikan tidak  setiap hari atau bersifat situasional
tergantung pada  Keluhan pen- derita pada saat dikunjungi. Contoh Tindakan
keperawatan yang dilakukan perawat adalah Meng- ajak keluarga untuk
memandikan penderita, Meng- ajarkan penderita cara menangani halusinasi,
Mengarahkan keluarga agar tidak membiarkan pen-Derita sendirian, memberikan
penderita kesibukan  Serta memberikan arahan kepada keluarga untuk
Memberikan obat secara teratur kepada penderita.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Peran Perawat Secara Umum

1). Pemberian perawatan (Care Giver)

Peran utama perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan, sebagai


perawat, pemberian pelayanan keperawatan dapat dilakukan dengan memenuhi
kebutuhan asah, asih dan asuh. Contoh pemberian asuhan keperawatan meliputi
tindakan yang membantu klien secara fisik maupun psikologis sambil tetap
memelihara martabat klien. Tindakan keperawatan yang dibutuhkan dapat berupa
asuhan total, asuhan parsial bagi pasien dengan tingkat ketergantungan sebagian
dan perawatan suportif-edukatif untuk membantu klien mencapai kemungkinan
tingkat kesehatan dan kesejahteraan tertinggi (Berman, 2010). Perencanaan
keperawatan yang efektif pada pasien yang dirawat haruslah berdasarkan pada
identifikasi kebutuhan pasien dan keluarga.

2). Sebagai advocate keluarga

Selain melakukan tugas utama dalam merawat, perawat juga mampu


sebagai advocat keluarga sebagai pembela keluarga dalam beberapa hal seperti
dalam menentukan haknya sebagai klien. Dalam peran ini, perawat dapat
mewakili kebutuhan dan harapan klien kepada profesional kesehatan lain,
seperti menyampaikan keinginan klien mengenai informasi tentang
penyakitnya yang diketahu oleh dokter. Perawat juga membantu klien
mendapatkan hak-haknya dan membantu pasien menyampaikan keinginan
(Berman, 2010).

3). Pencegahan penyakit

Upaya pencegahan merupakan bagian dari bentuk pelayanan keperawatan


sehingga setiap dalam melakukan asuhan keperawatan harus selalu
mengutamakan tindakan pencegahan terhadap timbulnya masalah baru
sebagai dampak dari penyakit atau masalah yang diderita. Salah satu contoh
yang paling signifikan yaitu keamanan, karena setiap kelompok usia
beresiko mengalami tipe cedera tertentu, penyuluhan preventif dapat
membantu pencegahan banyak cedera, sehingga secara bermakna
menurunkan tingkat kecacatan permanen dan mortalitas akibat cidera pada
pasien (Wong, 2009).

4). Pendidik

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien, perawat harus


mampu berperan sebagai pendidik, sebab beberapa pesan dan cara mengubah
perilaku pada pasien atau keluarga harus selalu dilakukan dengan
pendidikan kesehatan khususnya dalam keperawatan. Melalui pendidikan
ini diupayakan pasien tidak lagi mengalami gangguan yang sama dan dapat
mengubah perilaku yang tidak sehat. Contoh dari peran perawat sebagai
pendidik yaitu keseluruhan tujuan penyuluhan pasien dan keluaraga adalah
untuk meminimalkan stres pasien dan keluarga, mengajarkan mereka
tentang terapi dan asuhan keperawatan di rumah sakit, dan memastikan
keluarga dapat memberikan asuhan yang sesuai di rumah saat pulang (Kyle
& Carman, 2015).

5). Konseling

Konseling merupakan upaya perawat dalam melaksanakan peranya


dengan memberikan waktu untuk berkonsultasi terhadap masalah yang
dialami oleh pasien maupun keluarga, berbagai masalah tersebut
diharapkan mampu diatasi dengan cepat dan diharapkan pula tidak terjadi
kesenjangan antara perawat, keluarga maupun pasien itu sendiri. Konseling
melibatkan pemberian dukungan emosi, intelektual dan psikologis. Dalam
hal ini perawat memberikan konsultasi terutama kepada individu sehat
dengan kesulitan penyesuaian diri yang normal dan fokus dalam membuat
individu tersebut untuk mengembangkan sikap, perasaan dan perilaku
baru dengan cara mendorong klien untuk mencari perilaku alternatif,
mengenai pilihan-pilihan yang tersedia dan mengembangkan rasa pengendalian
diri (Berman, 2010).

6). Kolaborasi

Kolaborasi merupakan tindakan kerja sama dalam menentukan


tindakan yang akan dilaksanakan oleh perawat dengan tim kesehatan lain.
Pelayanan keperawatan pasien tidak dilaksanakan secara mandiri oleh tim
perawat tetapi harus melibatkan tim kesehatan lain seperti dokter, ahli
gizi, psikolog dan lain-lain, mengingat pasien merupakan individu yang
kompleks/ yang membutuhkan perhatian dalam perkembangan (Hidayat, 2012).

7). Pengambilan keputusan etik

Dalam mengambil keputusan, perawat mempunyai peran yang sangat penting


sebab perawat selalu berhubungan dengan pasienkurang lebih 24 jam selalu
disamping pasien, maka peran perawatan sebagai pengambil keputusan etik
dapat dilakukan oleh perawat, seperti akan melakukan tindakan pelayanan
keperawatan (Wong, 2009).

8). Peneliti

Peran perawat ini sangat penting yang harus dimiliki oleh semua perawat
pasien. Sebagai peneliti perawat harus melakukan kajian-kajian keperawatan
pasien, yang dapat dikembangkan untuk perkembangan teknologi
keperawatan. Peran perawat sebagai peneliti dapat dilakukan dalam
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pasien (Hidayat, 2012). Menurut
Puspita (2014) peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
secarakomprehensif sebagai upaya memberikan kenyamanan dankepuasan
pada pasien, meliputi:

1) Caring, merupakan suatu sikap rasa peduli, hormat, menghargai orang


lain, artinya memberi perhatian dan mempelajari kesukaan-kesukaan
seseorang dan bagaimana seseorang berpikir dan bertindak.
2) Sharing artinya perawat senantiasa berbagi pengalaman dan ilmu atau
berdiskusi denganpasiennya.

3) Laughing, artinya senyum menjadi modal utama bagi seorang perawat


untuk meningkatkan rasa nyaman pasien.

4) Crying artinya perawat dapat menerima respon emosional baik dari pasien
maupun perawat lain sebagai suatu hal yang biasa disaat senang ataupun
duka.

5) Touching artinya sentuhan yang bersifat fisik maupun psikologis merupakan


komunikasi simpatis yang memiliki makna.

6) Helping artinya perawat siap membantu denganasuhan keperawatannya.

7) Believing in others artinya perawat meyakini bahwa orang lain memiliki


hasrat dan kemampuan untuk selalu meningkatkan derajat kesehatannya.

8) Learning artinya perawat selalu belajar dan mengembangkan diri dan


keterampilannya.

9) Respecting artinya memperlihatkan rasa hormat dan penghargaan terhadap


orang lain dengan menjaga kerahasiaan pasien kepada yang tidak
berhakmengetahuinya.

10) Listening artinya mau mendengar keluhan pasiennya.

11) Feeling artinya perawat dapat menerima, merasakan, dan memahami


perasaan duka , senang, frustasi dan rasa puas pasien.
B. Peran Perawat dari Berbagai Sumber

 ARTIKEL PENELITIAN

1. Judul Artikel: Peran Perawat Dalam Pelaksanaan Perawatan Kesehatan


Masyarakat (Perkesmas).

Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) merupakan upaya program


pengembangan Puskesmas yang kegiatan nya terintegrasi dalam upaya
kesehatan wajib maupun upaya kesehatan pengembangan lainnya.
Pelaksanaan Perkesmas tak lepas dari peran perawat di puskesmas, perawat
perkesmas di Puskesmas minimal mempunyai enam peran dan fungsi yaitu
sebagai pemberi Asuhan keperawatan, penemu kasus, Pendidik Kesehatan,
Koordinator dan Kolaborator, Konselor dan sebagai Panutan. Tujuan
Penelitian ini untuk mengetahui gambaran peran perawat dalam kegiatan
pelaksanaan perawatan kesehatan masyarakat (perkesmas) di Kabupaten
Bogor tahun 2016. Desain yang di gunakan adalah kuantitatif dengan
pendekatan deskriptif. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di
puskesmas Kabupaten Bogor (n=30) pengambilan sampel menggunakan
total populasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisi
univariat.Hasil pnelitian menunjukkan bahwa peran perawat sebagai pemberi
asuhan keperawatan dalam kategori optimal 60%, penemu kasus optimal
53,3%, Pendidik Kesehatan kurang optimal 56,7%, Koordinator dan
Kolaborator kurang optimal 53,3%, Konselor optimal 53,3%, dan panutan kurang
optimal 60%. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan
masukan yang berhubungan dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan
keperawatan di puskesmas.

2. Judul Artikel: PERAN PERAWAT SEBAGAI PERAWAT RUMAH


SAKITDALAM PENERAPAN K3
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23
dinyatakanbahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kena (K3) harus
diselenggarakan di semua tempatkerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai
risiko bahaya kesehatan. Potensi bahaya di RS,selain penyakit-penyakit infeksi
juga ada potensi bahaya-bahaya lain yang mempengaruhisituasi dan
kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan
yangberhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya),
para pasien maupunpara pengunjung yang ada di lingkungan RS. Seorang tenaga
kesehatan atau perawat harusmengetahui tiga komponen K3 yaitu kapasitas kerja,
beban kerja dan lingkungan kerja. Danseorang perawat juga harus mengetahui
Komitmen dan Kebijakan Komitmen diwujudkan dalambentuk kebijakan
(policy) tertulis, jelas dan mudah dimengerti serta diketahui oleh
seluruhkaryawan RS, agar tenaga kesehatan khususnya perawat terhindar dari
risiko bahaya kerja dirumah sakit.

3. Judul Artikel: HUBUNGAN PERAN PERAWAT SEBAGAI EDUKATOR


DENGAN KEPATUHAN PENATALAKSANAAN HIPERTENSI DI
PUSKESMAS TAHUNA TIMUR.

Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular yang dapat menyebabkan
kematian. Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan cara terapi
farmakologi dan non farmakologi. Kepatuhan menjalani penatalaksanaan
hipertensi penting untuk dilakukan seperti tidak merokok, minum alkohol,
aktivitas fisik, pengaturan makanan, perawatan penyakit serta pengobatan untuk
menyembuhkan hipertensi. Perawat memiliki peran sebagai edukator untuk
membantu klien dalam mengenal kesehatan. Tujuan penelitian mengetahui
hubungan peran perawat sebagai edukator dengan kepatuhan penatalaksanaan
hipertensi di Puskesmas Tahuna Timur. Desain penelitian adalah kuantitatif
analitik dengan rancangan metode cross sectional. Jumlah sampel sebanyak 103
respoden. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan uji Chi-square
dengan derajat kemaknaan (α)=0,05. Hasil didapatkan peran perawat sebagai
edukator dikategorikan baik sebanyak 77 responden (74,8%) dan kurang baik
sebanyak 26 responden (25,2%). Kepatuhan penatalaksanaan hipertensi
dikategorikan patuh sebanyak 97 responden (94,2%) dan tidak patuh sebanyak
6 responden (5,8%). Kesimpulan tidak ada hubungan peran perawat sebagai
edukator dengan kepatuhan penatalaksanaan hipertensi.
BAB III

REVIEW TERKAIT PERAN PERAWAT JIWA

1) Peran Perawat Jiwa di Komunitas

Perawat kesehatan jiwa komunitas adalah perawatyang ditempatkan di


Puskesmas dan ditunjuk untuk melakukan layanan kesehatan jiwa di wilayah
kerjapuskesmas, dengan peran sebagai pemberi asuhankeperawatan secara
langsung, sebagai pendidik dansebagai koordinator kegiatan dalam
pelaksanaanprogram bebas pasung. Layanan kesehatan ter-hadap penderita
pasung bukan hanya sekedar melepas tetapi harus dilanjutkan dengan asuhan
keperawatan dan pengobatan, setelah itu dilanjutkan dengan latihan self care,
sehingga dapat mandiri dan dapat bekerja dan produktif kembali. Program bebas
pasung akan terlaksana apabila perawat memiliki motivasi bekerjadalam
melaksanakan program bebas pasung. Peran perawat sebagai koordinator program
bebas pasung, membuat perawat dalam satu posisi penting.Berdasarkan hal
tersebut, peneliti tertarik untuk engetahui bagaimana gambaran peran dan
motivasiperawat kesehatan jiwa.

 Artikel Penelitian: Komunitas SEHATI (Sehat Jiwa dan Hati) Sebagai


Intervensi Kesehatan Mental Berbasis Masyarakat

NO KOMPONEN ANALISIS HASIL ANALISIS


ARTIKEL
1. Latar Belakang Tingginya kasus gangguan
kejiwaandi seluruh duniamenjadi
perhatiankhusus parapemangku
kepentinganyang terkait dengan
kebijakan kesehatan mental. Pada
tahun 2014, WHO menetapkan Living
with Schizophrenia sebagai tema hari
kesehatan mental sedunia yang
diperingati tiap tanggal 12 Oktober.
Tema ini dipilih karena
Skizofreniamerupakan gangguan
psikotik yang paling lazim terjadi
dan memiliki prevalensi global
cukup tinggi, yaitu 0.7-1% dari total
populasi seluruh dunia (World
Federation of Mental Health
(WFMH), 2014). Referensi lain
menyebutkan rentang 0.5-2% dari
total populasi global sebagai
prevalensi Skizofreniadi dunia
(Davey, 2008). WFMH sebagai bagian
dari WHO, menyatakan bahwa kasus
Skizofrenia tidak dapat lagi dilihat
secara individual, namun harus
diintervensi dalam skala
makro/sistem. Skizofrenia, gangguan
psikotik, dan gangguan neurotik
umumnya terjadi karena tekanan yang
berasal dari keluarga ataupun
masyarakat. Oleh karena itu,
pengetahuan praktis mengenai
gangguan jiwa berat tersebut
selayaknya juga dipahami oleh
masyarakat. Hasil Riset Kesehatan
Dasar(Riskesdas)(Balai Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan,
2013) menunjukkan angka prevalensi
gangguan jiwa berat di Indonesia
1.7 permil, artinya ada sekitar 1.7
kasus gangguan jiwa berat di antara
1000 orang penduduk Indonesia.
Gangguan jiwa berat adalah
gangguan jiwa yang ditandai
dengan terganggunya kemampuan
menilai realitas dan tilikan diri
(insight) yang buruk. Gejala yang
menyertai gangguan ini antara lain
berupa halusinasi, wahan, gangguan
proses pikir dan kemampuan berpikir,
dan tingkah laku aneh seperti
katatonik. Skizofreniadan gangguan
psikotik adalah contoh dari
gangguan jiwaberat yang lazim
terjadi di masyarakat. Orang yang
mengalami gejala psikotik disebut
dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ).Prevalensi gangguan jiwa
berat tertinggi terdapat di Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) dan
Aceh, dengan angka 2.7 kasus per
1000 penduduk. Angka ini bahkan
lebih tinggi 1 permil daripada
prevalensi kasus gangguan jiwa berat
nasional. Ada banyak faktor yang
menyebabkan tingginya kasus
gangguan jiwa berat di kedua
provinsi tersebut. Untuk Aceh,
kasus gangguan jiwa mayoritas
disebabkan oleh trauma pasca
bencana dan trauma pasca konflik
bersenjata. Sementara untuk DIY
mayoritas gangguan jiwa berat
disebabkan oleh faktor kesulitan
ekonomi (Balai Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2013).
Pada kategori gangguan mental
emosional penduduk berusia di atas
15 tahun, DIY berada pada peringkat
ketiga setelah Sulawesi Tengah
(11.6%) dan Sulawesi Selatan serta
Jawa Barat (9.3%), dengan
prevalensi kasus 8.1%. Gangguan
mental emosional adalah kondisi
yang mengindikasikan perubahan
psikologis pada seseorang.
Gangguan mental emosional dapat
dialami oleh semua orang pada
kondisi distres psikologis, namun
tetap dapat pulih seperti semula.
Individu yang mengalami masalah
mental emosional disebut Orang
Dengan Masalah Kejiwaan
(ODMK). Apabila tidak
mendapatkan intervensi dari
profesional kesehatan mental, orang
dengan gangguan mental emosional
dapat mengalami gangguan yang lebih
serius.
Hasil Hasil observasi yang dilakukan
Pedukuhan X pada kelompok
masyarakat Pedukuhan X
menunjukkan bahwa mayoritas
penduduk Pedukuhan X bekerja
sebagai buruh tani dan pedagang di
pasar. Dari sisi pendidikan, mayoritas
penduduk usia 40 tahun ke atas
berpendidikan SMP, sementara
penduduk usia 18-35 tahun sebagian
besar berpendidikan akhir SMA.
Beberapa warga juga ada yang
melanjutkan pendidikan hingga
jenjang pendidikan S1.Beberapa
kegiatan sosial yang rutin diadakan
di PedukuhanXadalah pos
pelayanan terpadu (Posyandu) balita
pada tanggal 25 tiap bulannya,
pendidikan anak usia dini yang
diadakan 2 kali dalam seminggu,
pertemuan rutin tokoh masyarakat
setiap satu bulan sekali, dan
pengajian ibu-ibu yang juga diadakan
sebulan sekali. Seluruh aktivitas
masyarakat dilakukan di masjid
pedukuhan atau pendopo rumah
kepala dukuh.Seluruh warga yang
namanya tercatat sebagai pasien
gangguan mental berasal dari
keluarga dengan status ekonomi
menengah ke bawah dan tidak
memiliki pekerjaan tetap. Selain itu,
beberapa pasien juga masih
berkerabat dekat, bahkan ada pasien
yang merupakan kakak beradik
kandung. Salah satu hambatan pasien
jiwa untuk mendapatkan pengobatan
adalah sikap keluarga yang cenderung
tertutup dan tidak ingin anggota
keluarga mereka dibawa ke Puskesmas
atau Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Hasil
wawancara terhadap Kepala Dukuh
X menunjukkan bahwa sejak dahulu
memang telah ada masyarakat yang
mengalami gangguan jiwa di
pedukuhan X. Penyebabnya
sebagian besar karena tekanan
ekonomi dan masalah keluarga. Gejala
yang umum ditunjukkan oleh
penderita gangguan jiwa tersebut
adalah berjalan tanpa tujuan, tidak
menggunakan pakaian, dan berbicara
sendiri. Meskipun tampak menerima,
keluarga dengan anggota yang
mengalami gangguan jiwa juga
menjadi bahan perbincangan bagi
penduduk warga lainnya. Hampir
semua keluarga yang memiliki
pasien jiwa bersikap tertutup dan
tidak banyak berbaur dalam kegiatan
masyarakat.
 Artikel Penelitian: MASALAH KESEHATAN MENTAL PADA PETANI
DAN PERAN CARING PERAWAT KESEHATAN AGRIKULTURAL
DI KOMUNITAS: REVIEW LITERATUR

NO KOMPONEN ANALISIS HASIL ANALISIS


ARTIKEL
1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang
banyak memiliki sektor agraris.
Banyak wilayah kabupaten di
Indonesia yang mengandalkan
pertanian, termasuk perkebunan
sebagai sumber penghasilan daerah
(Giri, 2016). Kesehatan kerja
berkaitan dengan jenis pekerjaan
yang dimiliki oleh individu. Hasil
penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa masalah kesehatan petani
berupa masalah gizi, anemia,
hipertensi, dan rasa sakit yang terkait
dengan lingkungan sosiodemografi
biologis, psikologis dan bekerja
(Susanto, Purwandari, &
Wuryaningsih, 2016). Stres
okupasional pada petani dapat berupa
lingkungan fisik, struktur keluarga,
ekonomi pertanian, birokrasi serta
masalah lainnya yang terkait dengan
pertanian yang semakin memburuk
seiring dengan perubahan struktur dan
ekonomi dalam bidang pertanian.
Masalah tersebut dapat berbahaya bagi
kesehatan jiwa individu. Data BPS
menyatakan bahwa penduduk
Indonesia yang bekerja di sektor
pertanian semakin berkurang, jika
pada tahun 2004 jumlah petani
Indonesia adalah 40.609.019 jiwa,
maka pada tahun 2013 jumlah petani
Indonesia menjadi 39.959.073 jiwa.
Akan tetapi sektor pertanian masih
menjadi sektor terbesar sebagai
penyerap tenaga kerja di Indonesia.
Ironisnya jumlah penduduk miskin di
Indonesia terutama di Pedesaan
didominasi oleh penduduk yang
berprofesi sebagai petani (Research
Center for Population, 2013).
Penggunaan mesin-mesin dan alat-alat
berat seperti traktor, mesin permanen,
alat tanam dan sebagainya di sektor
pertanian merupakan sumber bahaya
yang dapat mengakibatkan cedera
dan kecelakaan kerja yang fatal. Selain
itu, penggunaan pestisida dapat
menyebabkan keracunan atau penyakit
yang serius, serta debu binatang dan
tumbuhan yang mengakibatkan alergi
dan penyakit pernafasan.Faktor lain
yang memicu terjadinya kecelakaan
kerja di bidang pertanian adalah
terbatasnya waktu yang tersedia untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan yang
diakibatkan oleh batasan iklim
sehingga petani cenderung bekerja
terburu-buru tanpa memperhatikan
keselamatan dirinya (Haerani, 2010).
Hasil Petani yang hidup berpindah-pindah
memiliki gangguan kesehatan jiwa
yang lebih rendah dibanding petani
yang menetap (Brew et al., 2016).
Keuangan pribadi dan tekanan waktu
menjadi penyebab utama terjadinya
gangguan jiwa (Rudolphi et al., 2019)
Makan makanan yang sehat, persiapan
dalam mencegah masalah, memiliki
integrasi dalam komunitas, mendengar
suara mesin yang keras, serta
menggunakan APD (alat pelindung
diri) selama bekerja dengan bahan
kimia berhubungan dengan gejala
depresi pada petani pria. Sedangkan
memiliki kedekatan dengan
keluarga, diterima di lingkungan
komunitas, mendengar suara mesin
yang keras dan memiliki kesulitan
finansial terkait pekerjaan merupakan
prediktor terjadinya gejala depresi
pada petani wanita (Hanklang et al.,
2016). Faktor cuaca, harga pasar,
pajak, biaya kesehatan, perhatian akan
masa depan pertanian merupakan
faktor yang berkaitan dengan perilaku
petani terkait kesehatan dan perilaku
bunuh diri, ketidakpahaman orang luar
tentang pertanian, masalah dengan
mesin serta terbatasnya waktu yang
dihabiskan dengan keluarga untuk
rekreasi (Marcom et al., 2018).
Sedangkan stres akibat kekeringan
lebih banyak terjadi pada petani
dengan usia muda dan bekerja di
pertanian, dia area terpencil serta
mengalami masalah finansial (Austin
et al., 2018).

2) Peran Perawat Jiwa di RS

Setiap perawat rumah sakit jiwa dituntut mampu menguasai bidangnya


dengan menggunakan ilmu perilaku sebagai landasan berpikir dan
berupaya sedemikian rupa sehingga dirinya dapat menjadi alat yang efektif
dalam merawat pasien. ugas perawat yang bekerja di rumah sakit jiwa
secara umum sama dengan perawat pada umumnya. Menurut Undang-
Undang No. 38 tahun 2014 pasal 3, tentang keperawatan, dijelaskan bahwa
tugas utama seorang perawat yaitu meningkatkan mutu perawat,
meningkatkan mutu Pelayanan Keperawatan, memberikan pelindungan dan
kepastian hukum kepada Perawat dan Klien, dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.Pasal 29 (1) dalam menyelenggarakan Praktik
Keperawatan, perawat bertugas sebagai pemberi asuhan keperawatan,
penyuluh dan konselor bagi klien, pengelola pelayanan, peneliti keperawatan,
pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang, dan pelaksana tugas
dalam keadaan keterbatasan tertentu(Depkes RI, 1998).

Gangguan jiwa adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi
jiwa.Gangguan jiwa adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya
emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca
indera).Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita
dan keluarganya(Stuart & Sundeen, 1998).Gangguan jiwa ini perlu
mendapatkan perawatan yang intensif agar berkembang menjadi lebih baik.
Adapunsalah satu peran yang dapat membantu penderita gangguan jiwa
yaitu perawat yang memberikanpelayanan keperawatan profesionaldidasarkan
pada ilmu perilaku. Diberikannya pelayanan kesehatan melalui instalasi seperti
rumah sakit jiwa dapat membantu pasien jiwa sehingga dapat
berkembang.Salah satu instalasi yang menampung pasien dengan gangguan
jiwa.

 Artikel Penelitian: PERAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI


PERAWAT DENGAN PASIEN GANGGUAN JIWA DI RUMAH SAKIT
RATUMBUYSANG MANADO

NO KOMPONEN HASIL ANALISIS


ANALISIS ARTIKEL
1. Latar Belakang Rumah Sakit Ratumbuysang merupakan rumah
sakit satu-satunya yang menangani pasien yang
bergangguan jiwayang berada di Propinsi
Sulawesi Utara. Peneliti mendapati bahwa
perawat dalam menangani dan merawat pasien
gangguan jiwa memilki resiko yang sangat
besar. Salah satu resikonya yaitu komunikasi,
sehingga perawat harus memiliki kemampuan
untuk berkomunikasi dengan pasien gangguan.
Komunikasi yang tidak efektif akan
mengarahkan kepada proses perawatan atau
pemulihanyang tidak tepat dan pengembangan
rencanaasuhan tidak akan memenuhi pasien
gangguan jiwa. Pasien pun akan merasa tidak
nyaman bahkan terancam dengan sikap
perawat. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perankomunikasi antarpribadi
perawat dengan pasien gangguan jiwa di Rumah
Sakit Ratumbuysang. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah melalui metode
kualitatif. Metode kualitatif yang digunakan
peneliti untuk menggali secara mendalam
mengenai bagaimana komunikasi antarpribadi
perawat dengan pasien gangguan jiwa. Teori
yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan Teori Akomodasi Komunikasi.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
komunikasi merupakan hal yang paling penting
bagi perawat untuk menangani dan merawat
pasien gangguan jiwa dalam proses
penyembuhan. Komunikasi antarpribadi yang
dilakukan perawat dalam menangani dan
merawat pasien gangguan jiwa yaitu menggunakan
komunikasi terapeutik. Dengan menggunakan
komunikasi terapeutik dapat memudahkan
perawat dalam menangani, merawat, serta
membina pasien gangguan jiwa. Teknik
komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat
yaitu dengan menggunakan komunikasi yang
lembut, komunikasi yang terbuka, komunikasi
yang tegas kepada pasien yang tidak kooperatif,
serta komunikasi terapeutik yang perawat
lakukan supaya terjalin suatu hubungansaling
percaya atau disebut dengan BHSP (Bina
Hubungan Saling Percaya) antara perawat dengan
pasien gangguan jiwa.
Hasil Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L.
Ratumbuysang Provinsi Sulawesi Utara yang
beralamat lengkap di Jalan Bethesda No. 77
Kelurahan Kleak, Kecamatan Malalayang Kota
Manado. Rumah Sakit ini memiliki luas tanah
4,3 ha dan memiliki luas bangunan 8, 283 m².
Rumah Sakit Jiwa Ratumbuysang didirikan
sekitar tahun 1934 oleh Prof. Dr.V. L.
Ratumbuysang dengan nama Doorganghuis
Voor Krankzinnigen (Rumah Putih atau Witte
Huis) dengan kapasitas 100 TT. Kemudian pada
tahun 1951, berubah nama menjadi Rumah Sakit
Jiwa Manado dengan luas areal ± 3,4 Ha,
berlokasi di Jalan Bethesda No. 77
Manado.Rumah Sakit Jiwa Manado menjadi Rumah
Sakit Jiwa Pusat Manado kelas A, sebagai Unit
Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan RI, dengan
kapasitas 250 TT. Dan pada tahun 2000 Rumah
Sakit Jiwa Pusat Manado diserahkan kepada
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sebagai
tindak lanjut pemberlakuan otonomi daerah.Dalam
Perda Provinsi Sulawesi Utara No.15 tahun
2002 yang mengatur legalitas lembaga ini sebagai
Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD)
Provinsi Sulawesi Utara maka ditetapkan
nomenklatur Badan Pengelola Rumah Sakit
Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang. Tahun 2008
nama Rumah Sakit berubah kembali Perda No.
4 Tahun 2008 menjadi Rumah Sakit Khusus
Daerah Kelas A Provinsi Sulawesi Utara. Pada
tahun 2011 melalui Peraturan Daerah No. 6
Tahun 2011 berubah kembali menjadi Rumah
Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang
Provinsi Sulawesi Utara.
Komunikasi sangat berperan penting dalam
menciptakan suatu hubungan yang efektif.
Komunikasi antarpribadi perawat dengan pasien
gangguan jiwa berdasarkan hasil penelitian di
Rumah Sakit Ratumbuysang adalah komunikasi
terapeutik. Dengan diterapkan komunikasi
terapeutik perawat kepada pasien gangguan jiwa di
Rumah Sakit Ratumbuysang bisa mempermudah
perawat dalam merawat dan menangani pasien
gangguan jiwa. Relevansi komunikasi dan praktik
keperawatan jiwa yaitu pertama, komunikasi
merupakan alat untuk membina hubungan
terapeutik karena komunikasi mencakup
penyampaian informasi dan pertukaran pikiran
dan perasaan. Kedua,komunikasi adalah cara
untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Ketiga,
komunikasi adalah hubungan itu sendiri; tanpa
komunikasi, hubungan terapeutik perawat dengan
pasien gangguan jiwa tidak mungkin tercapai.
(Videbeck, 2008)Komunikasi terapeutik
sendirimerupakan bagian dari komunikasi
antarpribadi dalam dunia kesehatan khususnya
dibidang keperawatan yang membutuhkan rasa
kepercayaan, sikap suportif, dan sikap terbuka
dari perawat maupun pasien. Dalam
menyampaikan pesan komunikasi terapeutik
dibutuhkan kehati-hatian dari perawat, karena
menyentuh psikologis seorang pasien dan harus
memahami kondisi pasien

 Analisis Artikel: Komunikasi Terapeutik Perawat Terhadap Orang Dengan


GangguanJiwa (ODGJ)DiRuangTenang Rumah Sakit Jiwa Provinsi JawaBarat
Dan Klinik Utama Kesehatan Jiwa Hurip Waluya Suka jadi Bandung Jawa
Barat

NO KOMPONEN HASIL ANALISIS


ANALISIS ARTIKEL
1. Latar Belakang Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat adalah
Rumah Sakit rujukan Provinsi Jawa Barat yang
berada di Jl. Kolonel Masturi KM.7, Jambudipa,
Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa
Barat 40551. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa
Barat merupakan rumah sakit yang mempunyai
fasilitas yang cukup lengkap, diantaranya IGD 24
jam, ruang NAPZA, ruang keswara, penunjang
medik, rehabilitasi, ruang rawat jalan, ruang rawat
inap, serta fasilitas umum lainnya. Untuk ruang
rawat inap terdiri dari ruangan akut dan ruangan
tenang dimana diseluruh ruangan tersebut selalu
dilakukan komunikasi terapeutik antara perawat
terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Selaindi Rumah Sakit Jiwa, komunikasi terapeutik
juga di laksanakan di Klinik.Klinik Utama
Kesehatan Jiwa Hurip Waluya Suka jadi Bandung
Jawa Barat yang berlokasi di Jl. Karang Tineung
No.1A Bandung, Kota Bandung, JawaBarat.
Klinik Utama tersebut merupakan satu dari sekian
klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik
spesialistik atau pelayanan medik dasar dan
spesialistik yang berhubungan dengan kesehatan
jiwa serta mempunyai beberapa fasilitas
diantaranya ruang konsultasi serta ruang rawat inap
yang terdiri dari 14 kamar tipe I,16 kamartipe II,12
kamar VIP, dan 8 kamar VVIP. Diseluruh ruangan
tersebut selalu dilakukan komunikasi terapeutik
antara perawat terhadap ODGJ.
Hasil Penderita Orang Dengan GangguanJiwa (ODGJ)
diJawa Barat berjumlah 4,3 juta jiwa, di Kota
Bandung 25 ribu jiwa. Penerapan komunikasi
terapeutik di Rumah Sakit Jiwa atapun di Klinik
masih diperlukan dalam proses penyembuhan.
Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran
komunikasi terapeutik perawat terhadap ODGJ di
Ruang Tenang RumahS akit Jiwa Provinsi Jawa
Barat dan Klinik Utama Kesehatan Jiwa Hurip
Waluya Suka jadi Bandung Jawa Barat.
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi
yang dilakukan perawat, direncanakan dengan
teknik tertentu dan berfokus pada kesembuhan dan
memperbaiki emosi klien. Gangguan
jiwamerupakan kumpulan dari keadaan yang tidak
normal, baik yang berhubungan dengan fisik
ataupun mental. Desain penelitian adalah
deskriptif. Jumlah populasi sebanyak 30 responden,
teknik pengambilan total sampling. Hasil uji
validitas di peroleh hitung 0,628-0,961 dan
Cronbach’s Alpha 0,783. Hasil penelitian sebanyak
17 reponden (56,7%) termasuk kategori rendah.
Fase pra-interaksi termasuk kategori rendah yaitu
16 reponden (53,3%). Fase orientasi termasuk
kategori rendah yaitu 18 reponden (60%). Fasekerja
termasuk kategori tinggi yaitu 15 reponden
(50%) dan kategori rendah yaitu 15 reponden
(50%), dan pada fase terminasi termasuk kategori
tinggi yaitu 16 reponden (53,3%). Saran, RSJ dapat
mengadakan pelatihan komunikasi terapeutik
kembalidan Klinik diharapkan mengadakan
pelatihan komunikasi terapeutik terhadap perawat.

BAB IV

PENUTUP
1) Kesimpulan

Untuk mencapai pelayanan perawatan pasien sakit jiwa yang efektif maka
keluarga, perawat, dokter dan tim kesehatan lainnya harus berkolaborasi satu
dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan lebih  berkuasa
diatas yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi  profesional
yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim
kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan keperawatan jiwa yang
berkualitas.

2) Saran

Demikian isi makalah ini, kami sangat menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan baik dari segi bentuk
maupun materi yang kami uraikan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk perbaikan makalah
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Sharif. 2012. Konsep Dasar Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika

Ardita Pandu Widyana. 2016. Hubungan Kualitas Pelayanan Kesehatan,


Fakultas Ilmu Kesehatan UMP.

Tini Jumariahl, Budhi Mulyadi. (2017). Peran Perawat Dalam Pelaksanaan


Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas).
http://journals.stikim.ac.id/index.php/jiiki/article/view/233

Tika Harnita Harahap.(2017). PERAN PERAWAT SEBAGAI PERAWAT RUMAH


SAKIT DALAMPENERAPAN K3. https://osf.io/ky9ma/download/?format=pdf

Erick Johans Manoppo Gresty M. Masi Wico Silolonga. (2018). HUBUNGAN


PERAN PERAWAT SEBAGAI EDUKATOR DENGAN KEPATUHAN
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI DI PUSKESMAS TAHUNA TIMUR.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/download/19476/19027

Anda mungkin juga menyukai