Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN ELIMINASI

Disusun oleh :
Nama : Theresia Agustina Midop
Nim : 191210002

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2021
1. Pendahuluan
Lanjut usia merupakan fase akhir kehidupan ditandai dengan penuaan yang menjadi proses
normal kehidupan. Lansia memiliki usia harapan hidup yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat
dari usia harapan hidup (UHH) dunia tahun 2013 untuk populasi berusia 60 tahun rata-rata dapat
bertahan hidup selama 20 tahun. Indonesia mengalami peningkatan UHH secara nyata. Hasil
Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia memiliki UHH mencapai
70,7 tahun. Daerah Jawa Barat merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki UHH
paling tinggi peringkat ke-4 pada tahun 2018 yaitu sebesar 72.66.

Peningkatan UHH menyebabkan populasi lansia meningkat. Populasi di Indonesia tahun


2014 mencapai 20,24 juta jiwa atau setara dengan 8,03%. Salah satu kota yang mempunyai
populasi lansia ke-4 tertinggi di Indonesia adalah Jawa Barat dengan persentase jumlah lansia
sebesar 0.91%. Seiring dengan peningkatan UHH, lansia mengalami perubahan normal maupun
patologis yang berkaitan dengan proses penuaan dalam berbagai sistem. Proses perubahan
tersebut menyebabkan penurunan fungsi sistem muskuloskeletal yang menyebabkan lansia rentan
mengalami hambatan dalam mobilitas fisik.

Hambatan mobilitas yang diakibatkan oleh perubahan patologis pada sistem muskuloskeletal
memberikan dampak pada fisik maupun psikososial pada lansia. Dampak fisik dari gangguan
mobilitas paling jelas terlihat pada sistem muskuloskeletal berupa penurunan kekuatan dan
ketangkasan otot, kontraktur yang membatasi mobilitas sendi, kekakuan dan nyeri pada sendi.
Hambatan mobilitas fisik juga memberikan dampak buruk pada sistem kardiovaskuler,
pernapasan, metabolik, perkemihan, pencernaan dan integumen berupa penurunan kemampuan
atau fungsi dari jantung, pembuluh darah, paru-paru, terganggunya metabolisme tubuh, gangguan
fungsi ginjal, kerusakan kulit, serta gangguan pada proses pencernaan.

Masalah mobilitas yang terjadi pada lansia dapat diatasi dengan memberikan intervensi
berupa latihan range of motion, kontraksi otot isometrik dan isotonik, kekuatan/ketahanan,
aerobik, sikap, dan mengatur posisi tubuh. Latihan range of motion adalah latihan pergerakan
maksimal yang dilakukan oleh sendi. Latihan range of motion menjadi salah satu bentuk latihan
yang berfungsi dalam pemeliharaan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot pada lansia. (Hermina,
Desiane.,H., et al, 2016).

1. Pengertian

Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara


mudah, bebas dan teratur untuk mencapai suatu tujuan, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara mandiri maupun dengan bantuan orang lain dan hanya
dengan bantuan alat (Widuri, 2010).

Mobilitas adalah proses yang kompleks yang membutuhkan adanya koordinasi antara sistem
muskuloskeletal dan sistem saraf (P. Potter, 2010).

Jadi mobilitas atau mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah,
dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya
untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.

Gangguan Mobilitas atau Imobilitas merupakan keadaan di mana seseorang tidak dapat bergerak
secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas) (Widuri, 2010). Imobilitas atau
gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri
dan terarah (Nurarif .A.H. dan Kusuma. H, 2015).

Gangguan mobilitas fisik (immobilisasi) didefinisikan oleh North American Nursing Diagnosis
Association (NANDA) sebagai suatu kedaaan dimana individu yang mengalami atau beresiko
mengalami keterbatasan gerakan fisik. Individu yang mengalami atau beresiko mengalami
keterbatasan gerakan fisik antara lain : lansia, individu dengan penyakit yang mengalami penurunan
kesadaran lebih dari 3 hari atau lebih, individu yang kehilangan fungsi anatomic akibat perubahan
fisiologik (kehilangan fungsi motorik, klien dengan stroke, klien penggunaa kursi roda), penggunaan
alat eksternal (seperti gips atau traksi), dan pembatasan gerakan volunter, atau gangguan fungsi
motorik dan rangka (Kozier, Erb, & Snyder, 2010).

2. Anatomi Fisiologi

Imobilitas dalam tubuh dapat memengaruhi sistem tubuh, seperti perubahan pada metabolisme tubuh,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi, gangguan fungsi
gastrointestinal, perubahan sistem pernafasan, perubahan kardiovaskular, perubahan sistem
muskuloskeletal, perubahan kulit, perubahan eliminasi (buang air besar dan kecil), dan perubahan
perilaku (Widuri, 2010).
 Perubahan Metabolisme: Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme secara
normal, mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme dalam
tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada menurunnya basal metabolism rate (BMR) yang
menyebabkan berkurangnya energi untuk perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat
memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan metabolisme imobilitas dapat
mengakibatkan proses anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini dapat
berisiko meningkatkan gangguan metabolisme. Proses imobilitas dapat juga menyebabkan
penurunan ekskresi urine dan pengingkatan nitrogen. Hal tersebut dapat ditemukan pada
pasien yang mengalami imobilitas pada hari kelima dan keenam. Beberapa dampak
perubahan metabolisme, di antaranya adalah pengurangan jumlah metabolisme, atropi
kelenjar dan katabolisme protein, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, deminetralisasi
tulang.

 Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit: Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan


elektrolit sebagai dampak dari imobilitas akan mengakibatkan persediaan protein menurun
dan konsentrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan
tubuh. Di samping itu, berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskular ke interstisial
dapat menyebabkan edema sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Imobilitas juga dapat menyebabkan demineralisasi tulang akibat menurunnya aktivitas otot,
sedangkan meningkatnya demineralisasi tulang dapat mengakibatkan reabsorbsi kalium.

 Gangguan Pengubahan Zat Gizi: Terjadinya gangguan zat gizi disebabkan oleh
menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan zat-zat
makanan pada tingkat sel menurun, di mana sel tidak lagi menerima glukosa, asam amino,
lemak, dan oksigen dalam jumlah yang cukup untuk melaksanakan aktivitas metabolisme.

 Gangguan Fungsi Gastrointestinal: Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi


gastrointestinal. Hal ini disebabkan karena imobilitas dapat menurunkan hasil makanan
yang dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang cukup dapat menyebabkan
keluhan, seperti perut kembung, mual, dan nyeri lambung yang dapat menyebabkan
gangguan proses eliminasi.

 Perubahan Sistem Pernapasan: Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem


pernapasan. Akibat imobilitas, kadar haemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan
terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu. Terjadinya
penurunan kadar haemoglobin dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke
jaringan, sehingga mengakibatkan anemia. Penurunan ekspansi paru dapat terjadi karena
tekanan yang meningkat oleh permukaan paru.

 Perubahan Kardiovaskular: Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas antara lain


dapat berapa hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan
terjadinya pembentukan trombus. Terjadinya hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh
menurunnya kemampuan saraf otonom. Pada posisi yang tetap dan lama, refleks
neurovaskular akan menurun dan menyebabkan vasokontrriksi, kemudian darah terkumpul
pada vena bagian bawah sehingga aliran darah ke sistem sirkulasi pusat terhambat.
Meningkatnya kerja jantung dapat disebabkan karena imobilitas dengan posisi horizontal.
Dalam keadaan normal, darah yang terkumpul pada ekstermitas bawah bergerak dan
meningkatkan aliran vena kembali ke jantung dan akhirnya jantung akan meningkatkan
kerjanya. Terjadinya trombus juga disebabkan oleh vena statsi yang merupakan hasil
penurunan kontrasi muskular sehingga meningkatkan arus balik vena.

 Perubahan Sistem Muskuloskeletal: Menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas dapat
menyebabkan turunnya kekuatan otot secara langsung. Menurunnya fungsi kapasitas otot
ditandai dengan menurunnya stabilitas. Kondisi berkurangnya massa otot dapat
menyebabkan atropi pada otot. Sebagai contoh, otot betis seseorang yang telah dirawat lebih
dari enam minggu ukurannya akan lebih kecil selain menunjukkan tanda lemah atau lesu.

 Gangguan Skeletal: Adanya imobilitas juga dapat menyebabkan gangguan skletal, misalnya
akan mudah terjadinya kontraktur sendi dan osteoporosis. Kontraktur merupakan kondisi
yang abnormal dengan kriteria adanya fleksi dan fiksasi yang disebabkan atropi dan
memendeknya otot. Terjadinya kontraktur dapat menyebabkan sendi dalam kedudukan yang
tidak berfungsi.

1. Perubahan Sistem Integumen: Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan
elastisitas kulit karena menurunannya sirkulasi darah akibat imobilitas dan terjadinya iskemia
serta nekrosis jaringan superfisial dengan adanya luka dekubitus sebagai akibat tekanan kulit
yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan.

 Perubahan Eliminasi: Perubahan dalam eliminasi misalnya penurunan jumlah urine yang
mungkin disebabkan oleh kurangnya asupan dan penurunan curah jantung sehingga aliran
darah renal dan urine berkurang.

 Perubahan Perilaku: Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain lain
timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus
tidur dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku tersebut
merupakan dampk imobilitas karena selama proses imobilitas seseorang akan mengalami
perubahan peran, konsep diri, kecemasan, dan lain-lain (Widuri, 2010).

3. Etiologi

Faktor penyebab terjadinya gangguan mobilitas fisik menurut (Tim Pokja DPP PPNI, 2017) yaitu :
1. Penurunan kendali otot
2. Penurunan kekuatan otot
3. Kekakuan sendi
4. Kontraktur
5. Gangguan muskuloskletal
6. Gangguan neuromuskular
7. Keengganan melakukan pergerakan

5. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala gangguan mobilitas fisik menurut (Tim Pokja DPP PPNI, 2017) yaitu:

1. Gejala dan Tanda Mayor


Subjektif
Mengeluh sulit menggerakkan ektremitas

Objektif
Kekuatan otot menurun Rentang
gerak (ROM) menurun
2. Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
Enggan melakukan pergerakan
Merasa cemas saat bergerak

Objektif
Sendi kaku
Gerakan tidak terkoordinasi
Gerak terbatas
Fisik lemah

6. Patofisiologi

Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem otot, skeletal, sendi,
ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur gerakan tulang karena adanya
kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagai sistem pengungkit. Ada dua tipe
kontraksi otot: isotonik dan isometrik. Pada kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot
menyebabkan otot memendek. Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja
otot tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot.

Gerakan volunter adalah kombinasi dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi
isometrik tidak menyebabkan otot memendek, namun pemakaian energi meningkat. Perawat harus
mengenal adanya peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi irama jantung,
tekanan
darah) karena latihan isometrik. Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard
atau penyakit obstruksi paru kronik). Postur dan Gerakan Otot merefleksikan kepribadian dan suasana
hati seseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan
pengaturan dari kelompok otot tergantung dari tonus otot dan aktifitas dari otot yang berlawanan,
sinergis, dan otot yang melawan gravitasi. Tonus otot adalah suatu keadaan tegangan otot yang
seimbang.

Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan relaksasi yang bergantian melalui kerja
otot. Tonus otot mempertahankan posisi fungsional tubuh dan mendukung kembalinya aliran darah ke
jantung.

Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang. Skeletal adalah rangka
pendukung tubuh dan terdiri dari empat tipe tulang: panjang, pendek, pipih, dan ireguler (tidak
beraturan). Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ vital, membantu mengatur
keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah merah.

Tabel 1
Pathway gangguan mobilisasi

7. Pemeriksaan diagnostik
 Sinar –X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan hubungan
tulang.
 CT scan (Computed Tomography)
 MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus,
noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan computer
untuk memperlihatkan abnormalitas.
 Pemeriksaan Laboratorium: Hb ↓pada trauma, Ca↓ pada imobilisasi lama, Alkali Fospat ↑,
kreatinin dan SGOT ↑ pada kerusakan otot

BACA JUGA : Tips Menjalani Praktik Klinik Di Rumah Sakit Untuk Mahasiswa Keperawatan

8. Penatalaksanaan Mobilitas Fisik Dengan Latihan Range Of Motion (ROM)

Mobilitas Fisik Dengan Latihan Range Of Motion (ROM) merupakan latihan gerakan sendi yang
memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing
persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. Latihan range of motion
(ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat
kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk
meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2006).

Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di lakukan pasien dengan bantuan perawat pada
setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien tirah
baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total.

Latihan ROM aktif adalah Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam
melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal. Hal ini
untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara
aktif . Sendi yang digerakkan pada ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung
jari kaki oleh klien sendiri secara aktif (Suratun, 2008).

Gerakan Range of Motion (ROM) pada sendi di seluruh tubuh yaitu :

Tabel 2
Gerakan Range of Motion (ROM )

1 2 3

Leher
Gerakan Penjelasan Rentang

Fleksi Menggerakkan dagu Rentang


menempel ke dada. 45°

Ekstensi Mengembalikan kepala Rentang


keposisi tegak. 45°

Hyperekstensi Menekuk kepala kebelakang Rentang


sejauh mungkin. 40-45°

Fleksi lateral Memiringkan kepala sejauh Rentang


mungkin kearah setiap bahu. 40-45°

Memutar kepala sejauh Rentang


Rotasi mungkin dalam gerakan 45°
sirkuler.

Bahu

Ekstensi Mengembalikan lengan Rentang


keposisi di samping tubuh. 180°

Menggerakkan lengan Rentang


Hiperekstensi kebelakang tubuh, siku tetap 45-60°
lurus.

Menaikkan lengan posisi


Abduksi samping di atas kepala dengan Rentang
telapak tangan jauh dari 180°
kepala.

Menurunkan lengan Rentang


Adduksi kesamping dan menyilang 320°
tubuh sejauh mungkin

Dengan siku fleksi, memutar


bahu dengan menggerakkan Rentang
Rotasi dalam lengan sampai ibu jari
90°
menghadap ke dalam dan ke
belakang.
Menaikkan lengan dari posisi
Rentang
Fleksi di samping tubuh ke depan ke
180°
posisi di

1 2 3

atas kepala.

Dengan siku fleksi,


Rotasi luar menggerakkan lengan sampai Rentang
ibu jari ke atas dan samping 90°
kepala.

Sirkumduksi Menggerakkan lengan Rentang


dengan lingkaran penuh. 360°

Siku

Menggerakkan siku sehingga


Fleksi lengan bahu bergerak Rentang
kedepan sendi bahu dan 150°
tangan sejajar bahu.

Ekstensi Meluruskan siku menurunkan Rentang


tangan. 150°

Lengan Bawah

Memutar lengan bawah dan Rentang


Supinasi tangan sehingga telapak 70-90°
tangan menghadap keatas.

Memutar lengan bawah Rentang


Pronasi sehingga telapak tangan 70-90°
menghadap ke bawah.

Pergelangan Tangan

Menggerakkan telapak Rentang


Fleksi tangan kesisi bagian dalam 80-90°
lengan bawah.
Menggerakkan jari – jari
Ekstensi tangan sehingga jari – jari, Rentang
tangan, lengan bawah berada 80-90°
dalam arah yang sama.

Membawa permukaan tangan Rentang


Hiperkesktensi dorsal kebelakang sejauh 89-90°
mungkin.

Abduksi Menekuk pergelangan tangan Rentang


miring ke ibu jari. 30°

1 2 3

Jari – Jari Tangan

Fleksi Membuat genggaman. Rentang


90°

Ekstensi Meluruskan jari – jari tangan Rentang


kebelakang sejuh mungkin. 90°

Meregangkan jari – jari Rentang


Hiperekstensi tangan kebelakang sejauh 30-60°
mungkin.

Meregangkan jari – jari Rentang


Abduksi tangan yang satu dengan 30°
yang lain.

Adduksi Merapatkan kembali jari – Rentang


jari tangan 30°

Ibu Jari

Menggerakkan ibu Rentang


Fleksi jari menyilang 90°
permukaan telapak
tangan.

Ekstensi Menggerakkan ibu jari lurus Rentang


menjauh dari tangan. 90°
Menjauhkan ibu jari kedepan Rentang
Abduksi
tangan. 30°

Adduksi Menggerakkan ibu jari ke Rentang


depan tangan. 30°

Menyentuh ibu jari ke setiap


Oposisi jari – jari tangan pada tangan
yang sama.

Panggul

Ekstensi Menggerakkan kembali Rentang


kesamping tungkai yang lain. 90-120°

Hiperekstensi Menggerakkan tungkai Rentang


kebelakang tubuh. 30-50°

Abduksi Menggerakkan tungkai Rentang


kesamping tubuh. 30-50°

Menggerakkan tungkai Rentang


Adduksi kembali keposisi media dan 30-50°
melebihi jika mungkin.

1 2 3

Rotasi Memutar kaki dan tungkai Rentang


dalam kearah tungkai lain. 90°

Rotasi luar Memutar kaki dan tungkai Rentang


menjauhi tungkai lain. 90°

Sirkumduks Menggerakkan tungkai –


i melingkar.

Lutut

Fleksi Merakkan tumit kearah Rentang


belakang paha. 120-130°
Mengembalikan tungkai Rentang
Ekstensi
kelantai. 120-130°

Mata Kaki

Menggerakkan kaki sehingga Rentang


Dorsi fleksi jari – jari kaki menekuk 20-30°
keatas.

Plantar Menggerakkan kaki sehingga Rentang


fleksi jari – jari kaki menekuk ke 45-50°
bawah.

Inversi Memutar telapak kaki Rentang


kesamping dalam. 10°

Eversi Memutar telapak kaki Rentang


kesamping Luar 10°

Jari – Jari Kaki

Fleksi Menekukkan jari- jari Rentang


ke bawah. 30-60°

Ekstensi Meluruskan jari – jari kaki. Rentang


30-60°

Sumber : Potter & Perry, Fundamental Keperawatan, (2006) Jackson


L.,M., (2011)

Skala ADL (Acthyfiti Dayli Living)

1 : Pasien mampu berdiri


2 : Pasien memerlukan bantuan/ peralatan minimal
3 : Pasien memerlukan bantuan sedang/ dengan pengawasan 3 : Pasien
memerlukan bantuan khusus dan memerlukan alat 4: Tergantung secara total
pada pemberian asuhan

Kekuatan Otot/ Tonus Otot :

1 : Otot sama sekali tidak bekerja


2 (10%) : Tampak berkontraksi/ ada sakit gerakan tahanan sewaktu jatuh
3 (25%) : Mampu menahan tegak tapi dengan sentuhan agak jauh
4 (50%) : Dapat menggerakkan sendi dengan aktif untuk menahan berat
5 (75%) : Dapat menggerakkan sendi dengan aktif untuk menahan berat dan melawan
tekanan secara stimulan
6 (100%) : Pergerakan aktif melawan tahanan penuh tanpa adanya kelelahan otot

9. Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

Pengkajian adalah pengumpulan, pengaturan, validasi dan dokumentasi data (informasi) yang
sistematis dan bersinambungan (Kozier et al., 2010).

Pada tahap ini, perawat wajib melakukan pengkajian atas permasalahan yang ada. Yaitu tahapan di
mana seorang perawat harus menggali informasi secara terus menerus dari pasien maupun anggota
keluarga yang dibina (Murwani, Setyowati, & Riwidikdo, 2008). Menurut Bakri (2016) dalam proses
pengkajian dibutuhkan pendekatan agar pasien dan keluarga dapat secara terbuka memberikan data-
data yang dibutuhkan. Pendekatan yang digunakan dapat disesuikan dengan kondisi pasien dan sosial
budayanya. Selain itu, diperlukan metode yang tepat bagi perawat untuk mendapatkan data pengkajian
yang akurat dan sesuai dengan keadaan pasien.

Pengumpulan data

Pengumpulan data adalah proses pengumpulan informasi tentang status kesehatan klien.
Proses ini harus sistematis dan kontinu untuk mencegah kehilangan data yang signifikan dan
menggambarkan perubahan status kesehatan klien (Kozier et al., 2010).

Metode pengumpulan data yang utama adalah observasi, wawancara, dan pemeriksaan.

Observasi

Observasi adalah pengumpulan data dengan menggunakan indra. Observasi adalah keterampilan yang
disadari dan disengaja yang dikembangkan melalui upaya dan dengan pendekatan yang terorganisasi.
Walaupun perawat melakukan observasi, terutama melalui penglihatan, sebagian besar indra
dilibatkan selama observasi yang cermat.

Wawancara
Wawancara adalah komunikasi yang direncanakan perbincangan dengan suatu tujuan, misalnya,
mendapatkan atau memberikan informasi, mengidentifikasi masalah keprihatinan bersama,
mengevaluasi perubahan, mengajarkan, memberikan dukungan, atau memberikan konseling atau
terapi. Salah satu contoh wawancara, yaitu riwayat kesehatan keperawatan, yang merupakan bagian
pengkajian keperawatan saat masuk rumah sakit.

Setelah dilakukan pengumpulan data, maka akan mendapatkan data yang diinginkan. Terdapat dua tipe
data pada saat pengkajian yaitu data subjektif dan data objektif. Data subjektif adalah data yang
didapatkan dari pasien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Informasi tersebut
tidak dapat ditentukan oleh perawat secara independen, tetapi melalui suatu interaksi atau komunikasi.
Data subjektif sering didapatkan dari riwayat keperawatan termasuk persepsi pasien, perasaan, dan ide
tentang status kesehatannya.
Informasi yang diberikan sumber lainnya, misalnya dari keluarga, konsultan, dan tenaga kesehatan
lainnya juga dapat sebagai data subjektif jika didasarkan pada pendapat pasien (Arif Muttaqin, 2010).

Sedangkan data objektif adalah data yang diobservasi dan diukur. Informasi tersebut biasanya
diperoleh melalui “sense”: 2S (sight atau pengelihatan
dan smell atau penciuman) dan HT (hearing atau pendengaran
dan touch atau taste) selama pemeriksaan fisik (Arif Muttaqin, 2010). Pengumpulan

data menurut (Muttaqin, 2010) meliputi:

Anamnesis

Wawancara atau anamnesis dalam pengkajian keperawatan merupakan hal utama yang dilaksanakan
perawat karena 80% diagnosis masalah pasien dapat ditegakkan dari anamnesis. Pengkajian dengan
melakukan anamnesis atau wawancara untuk menggali masalah keperawatan lainnya yang
dilaksanakan perawat adalah mengkaji riwayat kesehatan pasien. Dalam wawancara awal, perawat
berusaha memperoleh gambaran umum status kesehatan pasien.
Perawat memperoleh data subjektif dari pasien mengenai awitan masalhnya dan bagimana penangan
yang sudah dilakukan. Persepsi dan harapan pasien sehubungan dengan masalah kesehatan dapat
memengaruhi perbaikan kesehatan (Arif Muttaqin, 2010).

 Informasi Biografi

Informasi biografi meliputi tanggal lahir, alamat, jenis kelamin, usia, status pekerjaan, status
perkawinan, nama anggota keluarga terdekat atau orang terdekat lainnya, agama, dan sumber asuransi
kesehatan. Usia pasien dapat
menunjukkan tahap perkembangan baik pasien secara fisik maupun psikologis. Jenis kelamin dan
pekerjaan perlu dikaji untuk mengetahui hubungan dan pengaruhnya terhadap terjadinya masalah atau
penyakit, dan tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan klien masalah atau
penyakitnya (Arief Muttaqin, 2014)

 Keluhan Utama

Pengkajian anamnesis keluhan utama didapat dengan menanyakan tentang gangguan terpenting yang
dirasakan pasien sampai perlu pertolongan (Arif Muttaqin, 2010).

Setiap keluhan utama harus ditanyakan sedetil-setilnya kepada pasien dan semuanya dituliskan pada
riwayat penyakit sekarang. Pada umunya, beberapa hal yang harus diungkapkan pada setiap gejala
adalah lama timbulnya (surasi), lokasi penjalarannya. Pasien diminta untuk menjelaskan keluhan-
keluhannya dari gejala awal sampai sekarang (Arif Muttaqin, 2010).

 Riwayat kesehatan dahulu

Perawat menanyakan tentang penyakit-penyakit yang pernah dialami sebelumnya. Menurut (Arif
Muttaqin, 2010) hal-hal yang perlu dikaji meliputi: Pengobatan yang lalu dan riwayat alergi.

Ada beberapa obat yang diminum oleh pasien pada masa lalu yang masih relevan, seperti pemakaian
obat kortikosteroid. Catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu. Selain itu juga harus
menanyakan alergi obat dan reaksi alergi seperti apa yang timbul.Riwayat keluarga

Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami oleh keluarga. Apabila ada anggota
keluarga yang meninggal, maka penyebab kematian juga ditanyakan. Hal ini ditanyakan karena
banyak penyakit menurun dalam keluarga.

 Riwayat pekerjaan dan kebiasaan

Perawat menanyakan situasi tempat bekerja dan lingkungannya. Seperti kebiasaan sosial,
kebiasaan merokok dan sebagainya yang memengaruhi kesehatan.

 Status perkawinan dan kondisi kehidupan.


Tanyakan mengenai status perkawinan pasien dan tanyakan dengan hati- hati menganai kepuasan dari
kehidupannya yang sekarang. Tanyakan mengenai kondisi kesehatan pasangannya dan setiap anak-
anaknya. Pertanyaan mengenai rencana kehidupan pasien adalah penting terutama untuk penyakit
kronis.

Pemeriksaan fisik

Menurut Muttaqin (2010) pemeriksaan fisik dengan pendekatan per sistem dimulai dari kepala ke
ujung kaki atau head to toe dapat lebih mudah dilakukan pada kondisi klinik. Pada pemeriksaan fisik
diperlukan empat modalitas dasar yang digunakan yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi.

Setelah pemeriksaan fisik terdapat pemeriksaan tambahan mengenai pengukuran tinggi badan dan
berat badan untuk mengkaji tingkat kesehatan umum seseorang dan pengukuran tanda-tanda vital
(tekanan darah, suhu, respirasi, nadi) (P. A. Potter, 1996).

Pola fungsi kesehatan

Yang perlu dikaji adalah aktivitas apa saja yang biasa dilakukan sehubungan dengan adanya nyeri
pada persendian, ketidakmampuan mobilisasi.

1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Menggambarkan persepsi,


pemeliharaan, dan penanganan kesehatan.
2. Pola nutrisi Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan, dan elektolit, nafsu makan,
pola makan, diet, kesulitan menelan, mual/muntah, dan makanan kesukaan.
3. Pola eliminasi Menjelaskan pola fungsi ekskresi, kandung kemih, defekasi, ada tidaknya
masalah defekasi, masalah nutrisi, dan penggunaan kateter.
4. Pola tidur dan istirahat Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi terhadap
energi, jumlah jam tidur pada siang dan malam, masalah tidur, dan insomnia.
5. Pola aktivitas dan istirahat Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi
pernafasan, dan sirkulasi, riwayat penyakit jantung, frekuensi, irama dan kedalaman
pernafasan. Pengkajian Indeks KATZ.
6. Pola hubungan dan peran Menggambarkan dan mengetahui hubungan dengan peran kelayan
terhadap anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal, pekerjaan, tidak punya rumah,
dan masalah keuanan.
7. Pola sensori dan kognitif Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori
meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran, perasaan, dan pembau. Pada klien katarak
dapat ditemukan gejala gangguan penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan
merasa diruang gelap. Sedangkan tandanya adalah tampak kecoklatan atau putih susu pada
pupil, peningkatan air mata.
8. Pola persepsi dan konsep diri Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi
terhadap kemampuan konsep diri. Konsep diri menggambarkan gambaran diri, harga diri,
peran, identitas diri. Manusia sebagai sistem terbuka dan makhluk bio-psiko-sosio-kultural-
spiritual, kecemasan, ketakutan, dan dampak terhadap sakit.
9. Pola seksual dan reproduksi Menggambarkan kepuasan/masalah terhadap seksualitas.
10. Pola mekanisme/penanggulangan stress dan koping Menggambarkan
kemampuan untuk menangani stress.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan Menggambarkan dan menjelaskan pola, nilai keyakinan
termasuk spiritual (Allen, 1998 dalam Aspiani, 2014). Data mengenai keyakinan spiritual
klien diperoleh dari riwayat umum klien (pilihan agama atau orientasi agama); pengkajian
riwayat keperawatan yang menyeluruh, dan observasi klinis perilaku klien, verbalisasi, alam
perasaan, dan sebagainya

b. Analisa Data

Tabel 3 Analisa
Data
Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons pasien terhadap masalah
kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial.
(Tim Pokja DPP PPNI, 2016).

Menurut SDKI, diagnosis gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu
atau lebih ektermitas secara mandiri. Penyebabnya yaitu
a) kerusakan integritas struktur tulang; b) perubahan metabolisme; c) ketidakbugaran fisik; d)
penurunan kendali otot; e) penurunan massa otot; f) penurunan kekuatan otot; g) keterlambatan
perkembangan; h) kekakuan sendi, kontraktur; i) malnutrisi; j) gangguan muskuluskletal; k) gangguan
neuromuskular; m) efek agen farmakologis; n) program pembatasan gerak; o) nyeri; p) kurang
terpapar informasi tentang aktivitas fisik; q) kecemasan; r) gangguan kognitif; s) keengganan
melakukan pergerakan; t) gangguan sensori persepsi.

Menurut NANDA (2015), diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik yaitu keterbatasan pada
pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstermitas secara mandiri dan terarah. Batasan
karakteristik yaitu penurunan waktu reaksi, kesulitan membolak-balik posisi, melakukan aktivitas lain
sebagai pengganti pergerakan, dispnea setelah beraktivitas, gerakan bergetar, keterbatasan
kemampuan melakukan motorik kasar dan halus, keterbatasan melakukan pergerakan sendi, tremor
akibat pergerakan, pergerakan lambat, pergerakan tidak terkoordinasi.

Menurut Doenges, (2010) diagnosa keperawatan kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
nyeri dan ketidaknyaman, gangguan muskuloskeletal, terapi bedah atau pembatasan.

Jadi dapat disimpulkan diagnosa keperawatan gangguan mobilitas fisik memiliki batasan karakteristik
kesulitan membolak-balikan posisi, keterbatasan kemampuan melakukan motorik kasar dan halus,
keterbatasan pergerakan sendi. Adapun faktor penyebabnya yaitu penurunan kekuatan otot, kekakuan
sendi, gangguan muskuloskeletal, gangguan neuromuskular, nyeri, hambatan fisik, penurunan
sirkulasi ke otak, terapi bedah.

Perencanaan dan Intervensi Keperawatan


Rencana keperawatan merupakan fase dari proses keperawatan yang penuh pertimbangan dan
sistematis serta mencakup pembuatan keputusan untuk menyelesaikan masalah (Kozier et al.,
2010).

Tabel 4
Intervensi Keperawatan
(SLKI, SDKI & Wilkinson, 2016)
e. Evaluasi

Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena kesimpulan yang ditarik dari evaluasi
menentukan menentukan apakah intervensi keperawatan harus diakhiri, dilanjutkan, atau diubah.
Evaluasi berjalan kontinu, evaluasi yang dilakukan ketika atau segera setelah mengimplementasikan
program keperawatan memungkinkan perawat segera memodifikasi intervensi. Evaluasi yang
dilakukan pada interval tertentu (misalnya, satu kali seminggu untuk klien perawatan dirumah)
menunjukan tingkat kemajuan untuk mencapai tujuan dan memungkinkan perawat untuk
memperbaiki kekurangan dan memodifikasi rencana asuhan sesuai kebutuhan (Kozier, 2010).

Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan :


1. Aktivitas dan mobilitas fisik terpenuhi

1. Melakukan ROM secara teratur


2. Menggunakan brace / korset saat aktivitas

2. Koping pasien positif

1. Mengekspresikan perasaan
2. Memilih alternatif pemecah masalah
3. Meningkatkan komunikasi
4. Mengalami ketidaknyamanan minimal selama aktivitas kehidupan sehari-hari

3. Tidak mengalami fraktur baru

1. Mempertahankan postur yang bagus


2. Mengkonsumsi diet seimbang tinggi kalsium dan vitamin D
3. Rajin menjalankan latihan pembedahan berat badan (berjalan-jalan setiap hari)
4. Berpartisipasi dalam aktivitas di luar rumah
5. Menciptakan lingkungan rumah yang aman
6. Menerima bantuan dan supervisi sesuai kebutuhan.

Anda mungkin juga menyukai