Anda di halaman 1dari 1

1.

Pada pertengahan abad ke 19 di Hindia Belanda terjadi suatu fenomena penyakit jiwa
yang cukup menjadi perhatian. Saat itu, sebagian besar orang-orang yang dianggap
mengalami gangguan mental jika memiliki kebiasaan sering menenggak arak. Alasan
lainnya adalah maniak dan depresi berat. Bahkan orang yang cenderung menunjukkan
sifat agresif dan sering menyakiti diri sendiri juga dikategorikan sebagai orang yang
memiliki gangguan mental. Jumlah pasien gangguan mental yang semakin bertambah
ini membuat pihak militer ikut mengambilalih penanganannya. Keadaan tersebut
berlangsung hingga pertengahan abad ke-19.
2. Kemudian berdasarkan Besluit No. 100 tanggal 20 Desember 1865, Belanda
menyetujui untuk mendirikan dua rumah sakit jiwa di Indonesia dengan syarat rumah
sakit yang kedua baru dapat didirikan setelah pembangunan rumah sakit yang pertama
selesai. Untuk keperluan tersebut, ditunjuklah dua orang dokter Belanda yaitu dr. F.
H. Bauer, seorang  psikiater dan dr. W. M. Smit seorang dokter Angkatan Laut
Belanda untuk meneliti beberapa kemungkinan lokasi untuk pendirian dua rumah
sakit jiwa tersebut.
3. Terdapat dua alasan penting mengapa pemerintah Hindia Belanda ingin mendirikan
rumah sakit jiwa, yaitu: Pertama, hasil sensus yang dilakukan pada tahun 1862 telah
memperlihatkan kesimpulan tentang banyaknya pasien gangguan jiwa yang
berkeliaran bebas di masyarakat. Sensus ini dilakukan oleh dr. G. Wassink, seorang
kepala medis pemerintah Hindia Belanda. Hasil sensus tersebut menyatakan bahwa
586 penduduk di Pulau Jawa termasuk ke dalam kategori “gila dan berbahaya”
dengan 252 orang di antaranya ditampung di berbagai panti yang tersebar di kota-kota
besar. Sementara itu alasan yang kedua adalah keyakinan bahwa penyakit jiwa dapat
disembuhkan jika diberi perhatian dan perawatan yang layak.
4. Pada 1 Juli 1882 kemudian rumah sakit jiwa ini diresmikan dengan nama
asli Krankzinnigengestich te Buitenzorg dan diresmikan oleh Direktur Department
Onderwijs  Van Eeredienst En Nijverheid. Saat itu jumlah pekerjanya 35 orang Eropa
dan 95 pegawai pribumi dan keturunan Cina. Rumah sakit ini berkapasitas 400 tempat
tidur. Tidak seperti kebanyakan rumah sakit Belanda saat itu, rumah sakit jiwa ini
tidak tidak membedakan latar belakang pasiennya. Terapi yang dilakukan terhadap
tiap-tiap pasien sama.

5. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit jiwa pertama yang didirikan oleh pemerintah
Hindia Belanda dan merupakan rumah sakit jiwa terbesar kedua setelah Rumah Sakit
Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, Jawa Timur. Pada masa pendudukan
Jepang Rumah Sakit Jiwa Bogor digunakan sebagai penampungan tentara Jepang dan
sebagian lain untuk tempat karantina penyakit menular.
6. Kini, bangunan rumah sakit jiwa pertama di Hindia Belanda tersebut masih kokoh
berdiri. Fungsinya masih sama seperti waktu pertama kali didirikan. Hanya saja, saat
ini rumah sakit ini tidak hanya melayani pasien dengan penyakit jiwa saja, namun
pasien umum pun bisa berobat disini. Rumah sakit tersebut saat ini bernama Rumah
Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi, dimana Marzoeki Mahdi sendiri merupakan nama
dokter yang pernah menjadi direktur rumah sakit ini.

Anda mungkin juga menyukai