Anda di halaman 1dari 158

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN RISIKO DAN


DENGAN GANGGUAN JIWA

KOORDINATOR : Ns. Vevi Suryenti Putri, M.Kep

PEMBIMBING : Ns. Rahmi Dwi Yanti, M.Kep

DISUSUN OLEH :
Fitri Saleha
202091075
Kelompok : Zeta

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAITURRAHIM
JAMBI
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN RISIKO GANGGUAN JIWA
“ANSIETAS”
A. Definisi

Kecemasan merupakan reaksi yang sering terjadi pada keadaan sakit,


pengobatan, dan sistem perawatan kesehatan itu sendiri, bagi sebagian klien
kecemasan merupakan saringan terhadap persepsi dan reaksi mereka, bagi
sebagian lainnya kecemasan dapat menjadi bagian dari sakit yang dideritanya.(
Lynn S. Bickley 2009)

Cemas (ansietas) adalah sebuah emosi dan penglaman subjektif dri


seseorang. Pengertian lain cemas adalah suatu keadaan yang membuat seseorng
tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa tingkatan. Jdi, cemas berkaitan
dengan persaan tiidak pasti dan tidak berdaya. (Kususmawati, 2010)

B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
menyebabkan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Ketegangan dalam
kehidupan tersebut dapat berupa :
- Peristiwa Traumatik, yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan
dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau
situasional.
- Konflik Emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan
baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan
dapat menimbulkan kecemasan pada individu.
- Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu
berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.
- Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil
keputusan yang berdampak terhadap ego.
- Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman
terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.
- Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress akan
mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik yang dialami
karena pola mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga.
- Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi
respons individu dalam berespons terhadap konflik dan mengatasi
kecemasannya.
- Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan
yang mengandung benzodiazepin, karena benzodiazepine dapat menekan
neurotransmiter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol
aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan
kecemasan.

2. Faktor presipitasi
Stresor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
mencetuskan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Stressor presipitasi
kecemasan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :
1) Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam integritas
fisik yang meliputi :
a) Sumber Internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem imun,
regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misalnya :hamil).
b) Sumber Eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri,
polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya
tempat tinggal.
2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal :
a) Sumber Internal : kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah
dan tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman
terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri
b) Sumber Eksternal : kehilangan orang yang dicintai, perceraian,
perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.
C. Klasifikasi

Rentang Respon Kecemasan (Stuart &Sundeen, 1990).


Kecemasan (ansietas) diklasifikasikan menjadi tiga tingkat, yaitu:
1. Kecemasan Ringan
Ansietas ringan adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan
membutuhkan perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat dan membantu
individu memfokuskan perhatian untuk belajar, bertindak, menyelesaikan
masalah, merasakan, dan melindungi dirinya sendiri. Ansietas ringan
berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada
tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada.
2. Kecemasan Sedang
Ansietas sedang merupakan perasaan yang mengganggu bahwa ada sesuatu
yang benar-benar berbeda, individu menjadi gugup atau agitasi. Misalnya,
seorang wanita mengunjungi ibunya untuk pertama kali dalam beberapa bulan
dan merasa bahwa ada sesuatu yang sangat berbeda. Ibunya mengatakan bahwa
berat badannya turun banyak tanpa ia berupaya menurunkannya. Pada tingkat
ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun, individu lebih memfokuskan
pada hal yang penting saat itu dan mengesampingkan hal yang lain.
3. Kecemasan Berat
Ansietas berat dialami ketika individu yakin bahwa ada sesuatu yang berbeda
dan ada ancaman; ia memperlihatkan respon takut dan distres. Ketika individu
mencapai tingkat tertinggi ansietas, panik berat, semua pemikiran rasional
berhenti dan individu tersebut mengalami respon fight, flight atau freeze, yakni
kebutuhan untuk pergi secepatnya, tetap ditempat dan berjuang, atau menjadi
beku atau tidak dapat melakukan sesuatu.
4. Panik
Individu kehilangan kendali dan detail perhatian hilang, karena kehilangan
kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah.
(Prabowo, 2014)
D. Rentang Respon
Menurut Videbeck (2008), respon dari setiap tingkat kecemasan adalah sebagai
berikut:

Tingkat Respon Fisik Respon Kognitif Respon Emosional


Kecemasan
Ringan a) Ketegangan otot ringan a) Lapang persepsi luas a) Perilaku otomatis
b) Sadar akan lingkungan b) Terlihat tenang, percaya diri b) Sedikit tidak sadar
c) Rileks atau sedikit gelisah c) Perasaan gagal sedikit c) Aktivitas mandiri
d) Penuh perhatian d) Waspada dan d) Terstimulasi
e) Rajin memperhatikan banyak hal e) Tenang
e) Mempertimbangkan
informasi
f) Tingkat pembelajaran
optimal
Sedang a) Ketegangan otot sedang a) Lapang persepsi menurun a) Tidak nyaman
b) Tanda-tanda vital meningkat b) Tidak perhatian secara b) Mudah tersinggung
c) Pupil dilatasi, mulai selektif c) Kepercayaan diri
berkeringat c) Fokusn terhadap stimulus goyah
d) Sering mondar-mandir, meningkat d) Tidak sabar
memukul tangan d) Rentang perhatian menurun e) Gembira
e) Suara berubah: bergetar, nada e) Penyelesaian masalah
suara tinggi menurun
f) Kewaspadaan dan ketegangan f) Pembelajaran terjadi dengan
g) Sering berkemih, sakit kepala, memfokuskan
pola tidur berubah, nyeri
punggung

Berat a) Ketegangan otot berat a) Lapang persepsi terbatas a) Sangat cemas


b) Hiperventilasi b) Proses berpikir terpecah- b) Agitasi
c) Kontak mata buruk pecah c) Takut
d) Pengeluaran keringat c) Sulit berpikir d) Bingung
meningkat d) Menyelesaikan masalah e) Merasa tidak
e) Bicara cepat, nada suara tinggi buruk adekuat
f) Tindakan tanpa tujuan dan e) Tidak mampu f) Menarik diri
serampangan mempertimbangkan g) Penyangkalan
g) Rahang menenggang, informasi h) Ingin beban
mengertakan gigi f) Hanya memperhatikan
h) Mondar-mandir berteriak ancaman
i) Meremas tangan, gemetar g) Preeokupasi dengan pikiran
sendiri
h) Egoisentris
Panik a) Fight, fight, atau freeze a) Persepsi sangat sempit a) Merasa terbebani
b) Ketegangan otot sangat berat b) Pikiran tidak logis, b) Merasa tidak
c) Agitasi motorik kasar terganggu mampu, tidak
d) Pupil dilatasi c) Kepribadian kacau berdaya
e) Tanda-tanda vital meningkat d) Tidak dapat menyelesaikan c) Lepas kendali
lalu menurun masalah d) Mengamuk, putus
f) Tidak dapat tidur e) Fokus pada pikiran sendiri asa
g) Hormon stres dan f) Tidak rasional e) Marah, sangat takut
neurotransmiter berkurang g) Sulit memahami stimulus f) Mengharapkan
h) Wajah menyeringai, mulut eksternal hasil yang buruk
ternganga h) Halusinasi, waham, ilusi g) Kaget, takut, lelah
mungkin terjadi
E. Proses Terjadinya Masalah
a. Faktor Predisposisi
Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
menyebabkan timbulnya kecemasan. Ketegangan dalam kehidupan tersebut
dapat berupa:
1. Peristiwa traumatik, yang daapt memicu terjadinya kecemasan berkitan
dengan krisis yang dilami individu baik krisis yang dialami individu baik
krisis perkembangan maupun situasional
2. Konflik emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan
baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan
dapat menimbulkan kecemasan pada individu.
3. Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu
berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.
4. Frusatasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil
keputusan yang berdampak terhadap ego.
5. Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman
terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.
6. Pola mekanisme koping keluarga atau ola keluarga menangani stress akan
mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konfllik yang dialami
karena pola mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga.
7. Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respon
individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.
8. Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang
mengandung benzodiazepin, karena benzodiazepin dapat menekan
neurotransmitter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol
aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.
b. Faktor Presipitasi
Stressor presipitas adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
mencetuskan timbulnya kecemasan. Stressor presipitasi dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Ancaman terhadap integritas fisik, meliputi:
a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem imun,
regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misalnya: hamil)
b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri,
polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya
tempat tinggal.
2. Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal
a) Sumber internal, kesulitan dalam hubungann interpersonal di rumah dan
tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman
terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri.
b) Sumber eksternal, kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan
status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.
F. Manifestasi Klinik
1. Respon Fisik
a. Kardiovaskular
Palpitasi, Jantung Bedebar, Tekanan Darah Meninggi, Denyut Nadi Cepat
b. Pernafasan
Napas Cepat, Napas Pendek, Tekanan Pada Dada , Napas Dangkal,
Pembengkakan Pada Tenggorokan, Terengah-Engah
c. Neuromuskular
Refleks Meningkat, Insomnia, Tremor, Gelisah, Wajah Tegang,
Kelemahan Umum, Kaki Goyah, Gerakan Yang Janggal
d. Gastrointestinal
Anoreksia, Diare/Konstipasi, Mual, Rasa Tidak Nyaman Pada Abdomen
e. Traktur Urinarius
Sering Berkemih Dan Tidak Dapat Menahan Kencing
f. Kulit
Wajah Kemerahan, Berkeringat, Gatal, Rasa Panas Pada Kulit.
2. Respons Kognitif
Lapang persepsi menyempit, tidak mampu menerima rangsang luar, berfokus
pada apa yang menjadi perhatiannya
3. Respons Perilaku
Gerakan tersentak-sentak, bicara berlebihan dan cepat, perasaan tidak aman
4. Respons Emosi
Menyesal, iritabel, kesedihan mendalam, takut, gugup, sukacita berlebihan,
ketidakberdayaan meningkat secara menetap, ketidakpastian, kekhawatiran
meningkat, fokus pada diri sendiri, perasaan tidak adekuat, ketakutan,
distressed, khawatir, prihatin.
G. Mekanisme Koping
Kemampuan individu menanggulangi kecemasan secara konstruksi
merupakan faktor utama yang membuat pasien berperilaku patologis atau
tidak. Mekanisme koping untuk mengatasi kecemasan sedang, berat, dan
panik membutuhkan banyak energi. Menurut Suliswati (2005), mekanisme
koping yang dapat dilakukan ada dua jenis, yaitu:

a. Task Oriented Reaction atau reaksi yang berorientasi pada tugas. Tujuan yang
ingin dicapai dengan melakukan koping ini dalah individu mencoba
menghadapi kenyataan tuntutan stress dengan menilai secara objektif
ditujukan untuk mengatasi masalah, memulihkan konflik dan memenuhi
kebutuhan.
1) Perilaku menyerang digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambatan
pemenuhan kebutuhan

2) Perilaku menarik diri digunakan baik secara fisik maupun psikologik untuk
memindahkan seseorang dari sumber stress
3) Perilaku kompromi digunakan untuk mengubah cara seseorang
mengoperasikan, mengganti tujuan, atau mengorbankan aspek kebutuhan
personal seseorang.
b. Ego Oriented Reaction atau reaksi berorientasi pada ego. Koping ini tidak
selalu sukses dalam mengatasi masalah. Mekanisme ini seringkali digunakan
untuk melindungi diri, sehingga disebut mekanisme pertahanan ego diri
biasanya mekanisme ini tidak membantu untuk mengatasi masalah secara
realita. Untuk menili penggunaan mekanisme pertahanan individu apakah
adaptif atau tidak adaptif, perlu dievalusi hal-hal berikut:
1) Perawat dapat mengenali secara akurat penggunaan mekanisme
pertahanan pasien
2) Tingkat penggunaan mekanisme pertahanan diri tersebut apa pengaruhnya
terhadap disorganisasi kepribadian.
3) Pengaruh penggunaan mekanisme pertahanan terhadap kemajuan
kesehatan pasien
4) Alasan pasien menggunakan mekanisme pertahanan.

H. Penatalaksanaan
Menurut Hawari (2008) penatalaksanaan ansietas pada tahap pencegahaan
dan terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu
mencangkup fisik (somatik), psikologik atau psikiatrik, psikososial dan
psikoreligius. Selengkpanya seperti pada uraian berikut :

1. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress, dengan cara :


 Makan makanan yang berigizi dan seimbang
 Tidur yang cukup
 Olahraga yang teratur
 Tidak merokok dan tidak minum minuman keras
2. Terapi psikofarmaka
Terapi psikofarmaka yang sering dipakai adalah obat anti cemas (anxiolytic),
yaitu seperti diazepam, clobazam, bromazepam, lorazepam, buspirone HCl,
meprobamate dan alprazolam.

3. Terapi Somatik
Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai gejala ikutan atau
akibat dari kecemasan yang bekerpanjangan. Untuk menghilangkan keluhan-
keluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan obat-obatan yang
ditujukan pada organ tubuh yang bersangkutan.

4. Psikoterapi

Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain

- Psikoterapi Suportif
- Psikoterapi Re-Edukatif
- Psikoterapi Re-Konstruktif
- Psikoterapi Kognitif Psikoterapi Psikodinamik
- Psikoterapi Keluarga
5. Terapi Psikoreligius
Untuk meningkatkan keimanan seseorang yang erat hubungannya dengan
kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan
yang merupakan stressor psikososial.
I. Pohon Masalah

Kerusakan Interaksi Sosial


Effect

Core Problem
Gangguan Suasana Perasaan : Cemas

Koping Individu Inefektif Causa


J. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan cemas
2. Gangguan alam perasaan: cemas berhubungan dengan koping individu
inefektif.
K. Rencana Asuhan Keperawatan
Tujuan Intervensi

Tujuan umum: Jadilah pendengar yang responsif


Beri waktu yang cukup pada pasien untuk
Cemas berkurang atau berespon
hilang Beri dukungan pada pasien untuk
mengekpresikan perasaannya
Tujuan Khusus Indetifikasi pola perilaku atau pendekatan yang
dapat menimbulkan perasaan negatif
Bersama pasien mengenal perilaku dan respon
TUK 1: Pasien dapat sehingga cepat belajar dan berkembang
menjalin dan membina
hubungan saling
percaya
TUK 2: Pasien dapat Bantu pasien untuk mengedintifikasi dan
mengenal ansietasnya menguraikan perasaan nya
Hubungkan perilaku dan perasaan nya
Validasi kesimpulan dan asumsi terhadap
pasien
Gunakan pertanyaan terbuka untuk
mengalihkan dari topik yang mengancam ke
hal yang berkaitan dengan konflik
Gunakan konsultasi untuk membantu pasien
mengunkapkan perasaan nya
TUK 3: Pasien dapat Bantu pasien menjelaskan situasi dan interaksi
memperluas kesadaran yang dapat segera menimbulkan ansietas
nya terhadap Bersama pasien meninjau kembali penilaian
perkembangan ansietas pasien terhadap stressor yang dirasakan
mengancam dan menimbulkan konflik
Kaitkan pengalaman yang baru terjadi dengan
pengalaman masa lalu yang relevan
TUK 4: Pasien dapat Gali cara pasien mengurangi ansietas di masa
menggunakan lalu
mekanisme koping Tunjukkan akibat mal adaptif dan desruktif dari
yang adaptif respon koping yang digunakan
Dorong pasien untuk menggunakan respon
koping adaptif yang dimilikinya
Bantu pasien untuk menyusus kembali tujuan
menggunakan sumber dan koping yang baru
Latih pasien dengan menggunakan ansietas
sedang
Beri aktivitas fisik untuk menyalurkan
energinya
Libatkan pihak yang berkepentingan sebagai
sumber dan dukungan sosial menggunakan
kopong adaptif yang baru
TUK 5: Pasien dapat Ajarkan pasein tehnik relaksasi untuk
menggunakan tehnik meningkatkan kontrol dan rasa percaya diri
relaksasi Dorong pasien untuk menggunakan relaksasi
dalam menurunkan tingkat kecemasan
TUK 6: Pasien dapat Ajarkan pasien tehnik distraksi untuk
menggunakan tehnik meningkatkan kontrol dan rasa percaya diri
distraksi Dorong pasien untuk menggunakan tehnik
distraksi dalam menurunkan tingkat
kecemasan.
TUK 7: Pasien dapat Ajarkan pasien teknik relaksasi hipnotis 5jari
menggunakan tehnik untuk menigkatkan kontrol dan rasa percaya
relaksasi hipnotis 5 jari diri
Dorong pasien untuk menggunakan relaksasi
hipnotis 5 jari dalam menurunkan tingkat
kecemasan
DAFTAR PUSTAKA
Kususmawati, F. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Prabowo, E. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta:
Nuha Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN RISIKO GANGGUAN JIWA
“GANGGUAN CITRA TUBUH”
1. Pengertian
Gambaran diri atau citra tubuh merupakan komponen konsep diri
yang paling utama dari komponen konsep diri lainnya, cita tubuh adalah
persepsi individu terhadap dirinya seara sadar ataupun tidak sadar terhadap
penilaian dirinya meliputi: persepsi atau perasaan tentang ukuran, fungsi,
penampilan dan potensi tubuh. Gambaran diri atau citra tubuh bersifat dinamis
karena merupakan perubahan yang terjadi secara konstan sebagai persepsi baru
dan pengalaman dalam kehidupan (Stuart&Laraia,2005)
Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara
internal maupun eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang
ditujukan pada tubuh. Citra tubuh dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang
karakteristik dan kemampuan fisik dan oleh persepsi dari pandangan orang lain
(Potter & Perry, 2005).
Citra tubuh merupakan sikap individu terhadap tubuhnya baik
disadari maupun tidak disadari meliputi persepsi masa lalu dan sekarang
megenai ukuran, bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh
(Sulisyiwati,2005).
Citra tubuh positif apabila seseorang memandang realistis,
menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman, terhindar dari
rasa cemas dan meningkatkan harga diri. Persepsi dan pengalaman individu
terhadap tubuhnya dapat merubah citra tubuh secara dinamis. Persepsi orang
lain di lingkungan seseorang terhadap dirinya turut mempengaruhi penerimaan
klien terhadap dirinya.
Individu yang stabil, realistis dan konsisten terhadap gambaran dirin
ya akan memperlihatkan kemampuan yang mantap terhadap realisasi yang akan
memacu sukses dalam kehidupan (Stuart&Laraia,2005).
Perubahan citra tubuh adalah suatu keadaan distress personal, yang
didefinisikan oleh individu, yang mengindikasikan bahwa tubuh mereka tidak
lagi mendukung harga diri dan yang disfungsional, membatasi interaksi social
mereka dengan orang lain (suliswati, 2005)
Komponen Citra Tubuh:
Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai komponen citra
tubuh. Salah satunya adalah Cash (2000) yang mengemukakan adanya lima
komponen citra tubuh, yaitu :
a. Appearance Evaluation (Evaluasi Penampilan), yaitu penilaian individu
mengenai keseluruhan tubuh dan penampilan dirinya, apakah menarik atau
tidak menarik, memuaskan atau tidak memuaskan.
b. Appearance Orientation (Orientasi Penampilan), perhatian individu
terhadap penampilan dirinya dan usaha yang dilakukan untuk memperbaiki
dan meningkatkan penampilan dirinya.
c. Body Areas Satisfaction (Kepuasan terhadap Bagian Tubuh), yaitu
kepuasan individu terhadap bagian tubuh secara spesifik, seperti wajah,
rambut, payudara, tubuh bagian bawah (pinggul, pantat, kaki), tubuh
bagian tengah (pinggang, perut), dan keseluruhan tubuh.
d. Overweight Preocupation (Kecemasan Menjadi Gemuk), yaitu kecemasan
menjadi gemuk, kewaspadaan individu terhadap berat badan, melakukan
diet ketat, dan membatasi pola makan.
e. Self-Clasified Weight (Persepsi terhadap Ukuran Tubuh), yaitu persepsi
dan penilaian individu terhadap berat badannya, mulai dari kekurangan
berat badan sampai kelebihan berat badan.

Komponen citra tubuh menurut Keaton, Cash, dan Brown (Tresnanari,


2001) mengatakan citra tubuh berkaitan dengan dua komponen yaitu:
a. Komponen persepsi, bagaimana individu menggambarkan kondisi fisiknya
yaitu mengukur tingkat keakuratan persepsi seseorang dalam mengestimasi
ukuran tubuh seperti tinggi atau pendek, cantik atau jelek, putih atau
hitam, kuat atau lemah.
b. Komponen sikap, yaitu berhubungan dengan kepuasan dan ketidakpuasan
individu terhadap bagian-bagian tubuh yang meliputi wajah, bibir, hidung,
mata, rambut dan keseluruhan tubuh yang meliputi proporsi tubuh, bentuk
tubuh, penampilan fisik
2. Penyebab Gangguan Citra Tubuh
Gangguan citra tubuh adalah perubahan persepsi seseorang tentang
tubuh yang diakibatkan oleh perubahan ukuran, bentuk, struktur, fungsi,
keterbatasan, makna dan objek yang sering kontak dengan tubuh. Gangguan
citra tubuh merupakan suatu keadaan ketika individu mengalami atau
beresiko untuk mengalami gangguan dalam penerapan citra diri seseorang
(Lynda Juall,2006).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi citra tubuh
a. Sosialkultural: budaya serta adat-istiadatberpengaruh terhadap citra tubuh
seseorang melihat di Indonesia terdapat beraneka ragam budaya dan adat
b. Jenis kelamin: laki-laki dan perempuan memiliki citra tubuh yang berbeda
tergantung dari tiap-tiap individu.
c. Status hubungan
d. Agama
4. Tanda dan Gejala Terjadinya Gangguan Citra Tubuh
a. Menolak untuk menyentuh dan melihat bagian yang berubah
b. Tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh
c. Mengurangi kontak social sehingga terjadi menarik diri
d. Perasaan atau pandangan negative terhadap tubuh
e. Mengungkapkan keputusasaan
f. Mengungkapkan ketakutan ditolak
g. Menolak penjelasan tentang oerubahan tubuh

Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Citra Tubuh

I. Kasus (masalah utama)

Ibu X usia 45 tahun seorang pembantu rumah tangga, mengalami cacat


pada wajah karena disiram air panas oleh majikannya. Sejak kejadian itu ia
tidak mau keluar kamar dan berinteraksi dengan orang lain. Hasil wawancara
dengan perawat diperoleh data bahwa klien merasa malu dengan kondisi
wajahnya dan takut akan dibicarakan orang. Selain itu, klien berkata kalau dia
menyesal tidak mendengar nasehat suaminya supaya berhenti dari
pekerjaannnya itu. Berdasarkan pengamatan, klien lebih banyak melamun,
diam dan tidak mau melihat wajahnya dicermin.
II. Proses terjadinyamasalah

Ibu X tersiram air panas

Cacat wajah

Malu dengan kondisinya, takut menjadi bahan pembicaraan

Tidak mau berinteraksi dengan orang lain, tidak mau melihat wajahnya dicermin

Lebihbanyakmelamundanmenyalahkandirisendiri

III. Pohonmasalah

Isolasisosial Hargadirirendah

Klien tidak mau berinteraksi Klien tidak mau


melihat
dengan orang lain wajahya
dicermin
Klien malu dengan kondisinya Klien kehilangan
kepercayaan diri

Gangguan citra tubuh

Perubahan bentuk tubuh: cacat wajah

Kekerasanfisik

IV. Analisa Data

Data Etiologi Masalah


keperawatan
DS : Kekerasanfisik Gangguan
Klien merasa malu dengan kondisi citra tubuh
wajahnya dan takut menjadi bahan Perubahan bentuk tubuh: cacat wajah
pembicaraan orang.
DO : Gangguancitratubuh
Klien tidak mau keluar kamar dan
berinteraksi dengan orang lain karena
cacat pada wajahnya, klien tidak mau
melihat wajahnya dicermin.
DS : Kekerasan fisik Harga diri
Klien merasa malu dengan kondisi rendah
wajahnya dan takut menjadi bahan Perubahan bentuk tubuh: cacat wajah
pembicaraan orang.
DO : Gangguan citra tubuh
Klien tidak mau keluar kamar dan
berinteraksi dengan orang lain karena Klien kehilangan kepercayaan diri
cacat pada wajahnya, klien tidak mau
melihat wajahnya dicermin. Klien tidak mau melihat wajahnya
dicermin

Hargadirirendah
DS : Kekerasan fisik Isolasi sosial
Klien merasa malu dengan kondisi
wajahnya dan takut menjadi bahan Perubahan bentuk tubuh: cacat wajah
pembicaraan orang.
DO : Gangguan citra tubuh
Klien tidak mau keluar kamar dan
berinteraksi dengan orang lain karena Klien malu dengan kondisinya
cacat pada wajahnya, klien tidak mau
melihat wajahnya dicermin. Klien tidak mau berinteraksi dengan
orang lain

Isolasi sosial
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan harga diri: harga diri rendah
2. Gangguan citra tubuh
3. Isolasi social:menarik diri

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


1. Diagnosa keperawatan: gangguan harga diri rendah berhubungan dengan
gangguan citra tubuh
Tujuan:
Setelah pemberian asuhan selama 3 x 24 jam klien menunjukkan peningkatan
harga diri.
Kriteria Hasil:
- Klien dapat menigkatkan keterbukaan dan hubungan saling percaya.
- Klien mengidentifikasi perubahan citra tubuh.
- Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimilki.
- Klien dapat menerima realita perubahan struktur, bebntuk atau fungsi
tubuh.
- Klien dapat menyusun cara-cara menyelasaikan masalah yang dihadpi.
- Klien dapat melakukan tindakn pengembalian intergritas tubuh.
Intervensi Rasional
1. Beri kesempatan klien mengungkapkan 1. Dengan mengungkapkan
perasaannya : perasaannya beban klien akan
a. Bimbing klien mengungkapkan berkurang
perasaannya
b. Gunakan pertanyaan terbuka
c. Dengarkan ungkapan klien dengan
aktif
2. Beri respon yang tidak menghakimi: 2. Respon menghakimi dapat merusak
a. Tidak menyalahkan pendapat klien hubungan saling percaya dan
b. Menerima pendapat klien menurunkan harga diri klien
3. Ciptakan lingkungan yang tenang 3. Lingkungan yang tenang mampu
dengan cara mengurangi stimulus membantu klien dalam memfokuskan
eksternal yang berlebihan dalam pikiran
interaksi
4. Diskusikan kemampuan dan aspek 4. Memotivasi klien memandang
positif yang dimiliki klien dirinya secara positif, Penilaian
negatif semakin menambah rasa
tidak percaya diri klien

2. Diagnosa keperawatan: Gangguan citra tubuh


Tujuan: setelah pemberian asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam gangguan
citra tubuh menurun
Kriteria hasil:
 Gambaran diri meningkat
 Gambaran diri sesuai
 Bisa menyesuikan diri dengan status kesehatannya

Intervensi Rasional
1. Binalahhubungan saling percaya antara 1. Dasar mengembangkan tindakan
klien dengan perawat keperawatan
2. Berikan kesempatan 2. Klien membutuhkan pengalaman
pengungkapanperasaan didengarkan dan dipahami
3. Bantu klien yang cemasmengembangkan 3. Menetralkan kecemasan yang tidak
kemampuanuntuk menilai diri dan perlu terjadi dan memulihkan realitas
mengenalimasalahnya situasi, ketakutan merusak adaptasi
4. Dukung upaya klien untukmemperbaiki klien
citra diri 4. Membantu meningkatkan penerimaan
5. Dorong klien agar bersosialisasidengan diri dan sosialisasi
orang lain 5. Membantu meningkatkan penerimaan
diri dan sosialisasi

3. Diagnosa keperawatan : isolasi sosial b.d perubahan fisik


Tujuan: setelah pemberian asuhan selama 4x4 jam klen dapat bersosialisasi
Kriteria hasil: - klien dapat melakukan cara berinteraksi dengan orang lain
- Klien mampu mengungkapkan pentingnya bersosialisasi
Intervensi Rasional
1. Bina hubungan saling percaya : 1. Hubungan saling percaya sebagai
 Sapa klien dengan ramah baik verbal dasar interaksi yang terapeutik
maupun non verbal. perawat-klien.
 Perkenalkan diri dengan sopan.
 Tanyakan nama lengkap dan nama
panggilan yang disukai klien.
 Jelaskan tujuan pertemuan / interaksi.
 Jujur dan menepati janji.
 Pertahankan kontak mata, tunjukkan
rasa empati dan dorong serta berikan
kesempatan klien untuk
mengungkapkan perasaannya.
2. Kaji pengetahuan klien tentang menarik
diri.
 Beri kesempatan pada klien untuk 2. Mengetahui sejauh mana
mengungkapkan perasaan penyebab pengetahuan klien yang menarik diri
menarik diri. sehingga perawat dapat
 Diskusikan dengan klien tentang merencanakan tindakan selanjutnya.
perilaku menarik dirinya.  Untuk mengetahui alasan klien
menarik diri.
 Beri pujian terhadap kemampuan
klien mengungkapkannya.  Meningkatkan pengetahuan klien
dan mencari pemecahan bersama
 Diskusikan tentang manfaat
tentang masalah klien.
berhubungan dengan orang lain.
 Meningkatkan harga diri klien
 Dorong klien untuk menyebutkan berani bergaul dengan lingkungan
kembali manfaat berhubungna orang
sosialnya.
lain.
 Meningkatkan pengetahuan klien
 Beri pujian terhadap kemampuan tentang perlunya berhubungan
klien dalam menyebutkan manfaat denga orang lain.
berhubungan dengan orang lain.
 Untuk mengetahui tingkat
 Dorong klien untuk menyebutkan permohonan klien terhadap
cara berhubungan dengan orang lain. informasi yang telah diberikan.
 Libatkan klien dalam kegiatan TAK  Reinforcement positif dapat
dan ADL ruangan. meningkatkan harga diri klien.
 Untuk mengetahui pemahaman
dengna informasi yang telah
diberikan.
3. Reinforcement positif atas keberhasilan  Membantu klien dalam
yang telah dicapai klien. mempertahankan hubungan
interpersonal.
3. Reinforcement positif dapat
meningkatkan harga diri klien.
EVALUASI
1. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan gangguan citra tubuh
- Klien dapat menerapkan perubahan
- Klien memiliki beberapa cara mengatsi perubahan yang terjadi.
- Klien beradaptasi dengan cara yang dipilh dan digunakan.
2. Gangguan citra tubuh
- Klien mengatakan dapat menerima keadaan tubuhnya
- Klien dapat mengaplikasikan strategi koping
3. Isolasi sosial b.d perubahan fisik
- klien dapat melakukan cara berinteraksi dengan orang lain
- Klien mampu mengungkapkan pentingnya bersosialisasi
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN RISIKO GANGGUAN JIWA
“HDRS”
A. MASALAH UTAMA
Harga Diri Rendah Situasional
B. PENGERTIAN
Harga diri (self esteem) merupakan salahsatu komponen dari konsep diri.
Harga diri merupakan penilaian pribadi berdasarkan seberapa baik prilaku
sesuai dengan ideal diri (stuart 2009). Harga diri rendah adalah keadaan
dimana individu mengalami/beresiko mengalami evaluasi diri negatif tentang
kemampuan diri (Carpemito, 2007). Gangguan harga diri dapat dijabarkan
sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri,
serta merasa gagal mencapai keinginan (Dalami dkk, 2009).
Harga diri rendah dapat terjadi secara situasional dan kronis. Harga diri
rendah stuasional pengembangan persepsi negatif tentang dirinya sendiri pada
suatu kejadian (NANDA 2005). Harga diri rendah situasional adalah perasaan
diri/ evaluasi diri negatif yang berkembang sebagai respon terhadap hilangnya
atau berubahnya perawatan diri seseorang yang sebelumnya mempunyai
evaluasi diri positif (Suliswati, 2005). Sedangkan harga diri rendah kronis
adalah evaluasi diri atau perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang
negatif dan di pertahankan dalam waktu yang lama (NANDA 2009).
Harga diri rendah situasional terjadi bila seseorang mengalami trauma
yang terjadi secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan, cerai, putus
sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu karena sesuatu terjadi, misalnya
korban pemerkosaan, dituduh KKN, dipenjara secara tiba-tiba (Dalami dkk,
2009). Bila harga diri rendah situasional tidak diatasi dapat menyebabkan
harga diri rendah kronis.

C. KOMPONEN KONSEP DIRI


Konsep diri didefinisikan sebagi semua pikiran,keyakinan dan
kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan
memmengaruhi hubungan dengan orang lain. konsep diri tidak terbentuk waktu
lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya
sendiri,dengan orang terdekat, dan dengan realitas dunia. Menurut Stuart
(2009) konsep diri terdiri atas komponen- komonen berikut ini.
a. Citra tubuh
Kumpulan sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap
tubuhnya.termasuk persepsi serta perasaan masa lalu dan sekarang tentang
ukuran,fungsi,penampilan,dan potensi. Citra tubuh di modifikasikan secara
berkesinambungan dengan persepsi dan pengalaman baru.
b. Ideal diri
individu tentang bagaimana dia seharusnya berprilaku terhadap standa,
aspirasi, tujuan atau nilai personal tertentu.
c. Harga diri
penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan
menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri. Harga diri
yang tinggi adalah perasaan yang berasal dari penerimaan diri sendiri tanpa
syarat,walaupun melakuakan kesalahan,kekalahan dan kegagalan , tetap
merasa sebagai seorang yang penting dan berharga.
d. performa peran
Serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan social
berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok social. Peran
yang ditetapkan adalah peran yang dijalani dan seseorang tidak mempunyai
pilihan. Peran yang di ambil adalah peran terpilih atau dipilih oleh individu.

e. Identitas pribadi
prinsip pengorganisasian kepribadian yang bertangguang jawab terhadap
kesatuan, kesinambungan,konsisten dan keunikan individu.prinsip tersebut
sama artinya dengan otonomi dan mencakup persepsi seksualitas seseorang.
Pembentukan identitas dimulai pada masa bayi dan terus berlanjut
sepanjang kehidupan,tetapi merupakan tugas utama pada masa remaja.
D. Rentang Respon Konsep Diri
Adapun rentang respon gangguan konsep diri: harga diri rendah adalah transisi
antara respons konsep diri adaptif dan maladaptif. Penjabarannya adalah
sebagai berikut.
a. Aktualisasi diri adalah pernyataan tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman yang sukses.
b. Konsep diri positif adalah individu mempunyai pengalaman yang positif
dalam perwujudan dirinya.
c. Harga diri rendah adalah keadaan dimana individu mengalami atau berisiko
mengalami evaluasi diri negatif tentang kemampuan diri.
d. Kekacauan identitas adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek-
aspek identitas masa anak-anak kedalam kematangan kepribadian pada
remaja yang harmonis.
e. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistik dan merasa asing
dengan diri sendiri, yang berhubungan dengan kecemasan, kesulitan
membedakan diri sendiri dari orang lain dan tubuhnya sendiri tidak nyata
dan asing baginya.

E. Faktor Penyebab
a. Faktor predisposisi
1) Faktor yang mempengaruhi harga diri, meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang, kurang
memiliki tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan
ideal diri yang tidak realistis.
2) Faktor yang memengaruhi performa peran adalah steriotif peran gender,
tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya. Nilai-nilai budaya yang
tidak dapat diikuti oleh individu.
3) Faktor yang memengaruhi identitas pribadi, meliputi ketidakpercayaan
orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial.

b. Stresor pencetus
Stresor pencetus dapat berasal dari sumber internal dan eksternal, yaitu sebagai
berikut:
1) Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan
peristiwa yang mengancam kehidupan.
2) Ketergantungan peran, berhubungand engan peran atau posisi yang
diharapkan dan individu mengalaminya seperti frustasi. Ada tiga jenis
transisi peran:
a. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang berkaitan
dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam
kehidupan individu atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-nilai, serta
tekanan untuk menyesuaikan diri.
b. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota
keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c. Transisi peran sehat-sakit, terjadi akibat pergeseran dari keadaan sehat ke
keadaan sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh: kehilangan bagian tubuh:
perubahan ukuran, bentuk, penampilan atau fungsi tubuh; perubahan fisik
yang berhubungan dengan tumbuh kembang normal, prosedur medis, dan
keperawatan
F. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari harga diri rendah pada seseorang berbeda-beda dan
bervariasi antara individu satu dengan lainnya, tetapi biasanya
dimanifestasikan sebagai berikut.
a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit/ tindakan, misalnya:
malu karena alopesia setelah dilakukan tindakan kemoterapi.
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri, menyalahkan, mengkritik, mengejek diri
sendiri.
c. Merendahkan martabat: saya tidak bisa, saya bodoh, saya tidak tahu apa-
apa, saya tidak mampu.
d. Gangguan hubungan sosial.
e. Percaya diri kurang, sukar mengambil keputusan.
f. Mencederai diri
g. Mudah marah, mudah tersinggung
h. Apatis, bosan, jenuh dan putus asa
i. Kegagalan menjalankan peran, proyeksi (menyalahkan orang lain).

Berdasarkan pengertian, rentang respon, penyebab, dan tanda gejala


harga diri rendah di atas, maka dapat disimpulkan proses terjadinya masalah
klien mengalami harga diri rendah situasional biasanya diakibatkan oleh
koping sesorang yang tidak efektif dalam menghadapai masalah gangguan citra
tubuh atau gangguan identitas personal. Bila masalah tersebut tidak diatasi
dengan baik oleh klien kemungkinan akan menyebabkan seseorang merasa
tidak berdaya dan timbul keputusasaan
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN RISIKO GANGGUAN JIWA
“KETIDAK BERDAYAAN”

A. Pengertian
Ketidakberdayaan adalah presepsi seseorang bahwa tindakannya tidak
akan mempengaruhi hasil secara bermakna; suatu keadaan di mana individu
kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru
dirasakan (NANDA,2014). Menurut Townsend (2009), ketidakberdayaan di
mana individu dengan kondisi depresi, apatis dan kehilangan kontrol yang
diekspresikan oleh individu baik verbal maupun non verbal. Kondisi depresi
merupakan salah satu masalah yang berakibat pada konsisi psikososial
dengan ketidakberdayaan. Kondisi ketidakberdayaan pada individu terjadi
bila individu tidak dapat mengatasi solusi dari masalahnya, sehingga individu
percaya hal tersebut diluar kendalinya untuk mencapai solusi tersebut.
Dianalisa dari proses terjadinya, ketidakberdayaan bersal dari
ketidakmampuan individu dalam mengatasi masalah sehingga menimbulkan
stres yang diawali dengan perubahan respon otak dalam menafsirkan
perubahan yang terjadi. Stres akan menyebabkan korteks serebri
mengirimkan sinyal menuju hipotalamus, kemudian ditangkap oleh sistem
limbik dimana salah satu bagian pentingnya adalah amigdala yang akan
bertanggung jawab terhadap status emosional individu terhadap akibat dari
pengaktifan sistem hipotalamus pitutary adrenal (HPA) dan menyebabkan
kerusakan pada hipotalamus membuat seseorang kehilangan mood dan
motivasi sehingga kurang aktivitas dan malas melakukan sesuatu, hambatan
emosi pada klien dengan ketidakberdayaan, kadang berubah menjadi sedih
atau murung, sehingga merasa tidak berguna atau merasa gagal terus
menerus. Dampak pada hormon glucocorticoid pada lapisan luar adrenal
sehingga berpengaruh pada metabolisme glukosa, selain gangguan pada
struktur otak, terdapat ketidakseimbangan neurotransmiter di otak.
Neurotransmiter merupakan zat kimiawi otak yang akan ditransmisikan oleh
satu neuron ke neuron lain dengan rangsang tersebut (Struart & Laraia,2005).
B. Tanda dan gejala
Data subyektif :
a) Mengungkapkan dengan kata-kata bahwa tidak mempunyai kemampuan
mengendalikan atau mempengaruhi situasi.
b) Mengungkapkan tidak dapat menghasilkan sesuatu.
c) Mengungkapkan ketidakpuasan dan frustasi terhadap ketidakmampuan
untuk melakukan tugas atau aktivitas sebelumnya.
d) Mengungkapkan keragu-raguan terhadap penampilan peran.
e) Mengatakan ketidakmampuan perawatan diri.
Data obyektif :
a) Ketidakmampuan untuk mencari informasi tentang perawatan.
b) Tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan saat diberikan
kesempatan.
c) Enggan mengungkapkan perasaan sebenarnya.
d) Ketergantungan terhadap orang lain yang dapat mengakibatkan
iritabilitas, ketidaksukaan, marah, dan rasa bersalah.
e) Gagal mempertahankan ide/pendapat yang berkaitan dengan orang lain
ketika mendapat perlawanan.
f) Apatis dan pasif.
g) Ekspresi muka murung.
h) Bicara dan gerakan lambat.
i) Tidak berlebihan.
j) Nafsu makan tidak ada atau berlebihan.
k) Menghindari orang lain.
a. Faktor predisposisi dan presipitasi
a) Biologis
1) Adanya perubahan status kesehatan yang mendadak atau kondisi fisik
yang menyebabkan ancaman terhadap integritas diri (misalnya:
ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan dasar).
2) Mengalami hospitalisasi.
3) Cidera fisik yang mengharuskan immobilisasi dan menyebabkan
intoleransi aktivitas sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari
(misalnya : tidak bisa berjalan pergi ke kampus untuk bimbingan
skripsi, tidak bisa mengetik dengan maksimal karena tangan kanannya
patah).

b) Psikologis
1) Pengalaman traumatis (khususnya dalam enam bulan terakhir) :
cidera fisik yang menyebabkan intoleransi aktivitas.
2) Gangguan konsep diri karena menganggap dirinya terancam oleh
kegagalan dalam mencapai tujuan sehingga menimbulkan perasaan
frustasi.
3) Adanya ancaman terhadap konsep diri (harga diri dan perubahan
peran).
4) Mengalami stres psikologis akibat tidak mampu mengontrol stimulus
yang ada.
5) Kemampuan melakukan komunikasi verbal, berinteraksi dengan
orang lain.
6) Kemampuan mengungkapkan masalah pada orang lain.
7) Tipe kepribadian yang dimiliki.
8) Adanya pengalaman tidak menyenangkan yang menyebabkan trauma
9) Motivasi: kurangnya dukungan dari orang lain.
10) Self kontrol rendah, ketidakmampuan melakukan kontrol diri ketika
mengalami kegagalan (terlalu sedih).
11) Kepribadian: menghindar, tergantung dan tertutup/menutup diri dan
mudah menyerah/pesimis.
12) Persepsi individu yang buruk tentang dirinya sendiri dan orang lain.
13) Riwayat kesulitan mengambil keputusan, tidak mampu
berkonsentrasi.

c) Sosial budaya
1) Usia: Pada usia tersebut individu memiliki tingkat produktifitas yang
tinggi, namu ketika tekanan dan fungsinya tidak terjalani maka akan
memberikan dampak yang besar pada keputusan yang diambilnya.
2) Pembatasan aktifitas oleh tim medis/keluarga akibat penyakit/trauma
yang diderita.
3) Kondisi pasien yang belum mampu menyelesaikan skripsinya.
4) Peran sosial: kurang mampu menjalankan perannya untuk
berpartisipasi lingkungan tempat tinggal dan kesulitan membina
hubungan interpersonal dengan orang lain,(mengungkapkan respon
ketidakberdayaan dengan kesulitan dalam hubungan interpersonal
yang berakar dari keterbatasan fisiknya).
5) Agama dan keyakinan: kurangnya rasa percaya atas hal positif dari
hikmah kejadian yang diberikan Tuhan.

A. Kognitif
1) Lapang pandang menjadi sempit.
2) Kurang mampu menerima rangsang dari luar.
3) Waspada dengan gejala fisiologis.
4) Bingung.
5) Takut akan konsekuensi yang abstrak.
6) Cenderung menyalahkan diri sendiri.
7) Berfokus pada diri sendiri.
8) Kurang konsentrasi.
9) Gangguan perhatian.
10) Mengungkapkan ketidakmampuan karena perubahan dalam fungsi tubuh
yang mengalami gangguan.
11) Mengungkapkan keluhan karena perubahan pada kejadian kehidupan.
12) Sulit mengambil keputusan.
13) Mengatakan takut kehilangan kontrol.
B. Afektif
1) Gelisah.
2) Sedih yang mendalam hingga mengalami frustasi.
3) Menangis.
4) Mengalami penyesalan.
5) Merasa tidak berdaya.
6) Berfokus pada diri sendiri.
7) Merasa bingung.
8) Ragu dan tidak percaya diri.
9) Merasa khawatir.
10) Cenderung menyalahkan diri sendiri.
11) Apatis.
12) Pesimis.
13) Mudah marah.

C. Fisiologis
1) Tanda-tanda vital : Tekanan Darah, Nadi, Respirasi, suhu badan.
2) Berat badan.
3) Wajah murung dan muka berkerut.
4) Suara bergetar dan kadang melemah / pelan.
5) Gangguan pola tidur (tidur berlebihan).
6) Nafsu makan menurun/ hilang sama sekali.
7) Simpatik:
a) Anoreksia.
b) Mulut kering.
c) Wajah pucat.
d) Nadi dan tekanan darah turun.
e) Pupil menyempit.
f) Lemah.
g) Nafas pelan sesekali nafas dalam.
8) Parasimpatik:
a) Nyeri kepala (pusing).
b) Penurunan tekanan darah dan frekuensi denyut nadi.
c) Letih.
d) Tidur berlebihan.
e) Lesu.
D. Perilaku
1) Gerakan pelan dan lemas.
2) Penurunan produktivitas.
3) Gelisah dan melihat hanya sepintas.
4) Kontak mata buruk.
5) Apatis.
6) Melamun.
7) Menunduk.
8) Memalingkan wajah.
E. Sosial
1) Bicara pelan dan lirih.
2) Menarik diri dari hubungan interpersonal.
3) Kurang inisiatif.
4) Menghindari kontak sosial dengan orang lain.
5) Menunjukkan sikap apatis.
F. Sumber Koping
a) Personal ability
1) Pengetahuan klien tentang masalah yang dirasakan (ketidakberdayaan).
2) Kemampuan klien mengatasi masalah yang dirasakan
(ketidakberdayaan).
3) Jenis upaya klien mengatasi masalah yang dirasakan (ketidakberdayaan).
4) Kemampuan dalam memecahkan masalah.
b) Sosial support
1) Caregiver utama dalam keluarga.
2) Kader kesehatan yang ada di lingkungan tempat tinggal.
3) Peer group yang ada turut serta dalam memberi dukungan.
c) Material asset
1) Keberadaan asset harta benda pendukung pengobatan yang dimiliki
(tanah, rumah, tabungan) serta fasilitas yang membantunya selama proses
gangguan fisiologis.
2) Mempunyai fasilitas Jamkesmas, SKTM, ASKES.
3) arak/ akses pelayanan kesehatan yang dikunjungi
d) Positive belief
1) Keyakinan dan nilai positif tentang ketidakberdayaan yang dirasakan:
tidak ada.
2) Keyakinan dan nilai positif tentang pelayanan kesehatan yang ada.

G. Mekanisme Koping
a. Konstruktif
1) Menilai pencapaian hidup yang realistis.
2) Kreatif dalam mencari informasi terkait perubahan status kesehatannya
sehingga dapat beradaptasi secara normal.
3) Mampu mengembangkan minat dan hobi baru sesuai dengan perubahan
status kesehatan dan peran yang telah dialami.
4) Peduli terhadap orang lain disekitarnya walaupun mengalami perubahan
kondisi kesehatan.
b. Destruktif
1) Mengungkapkan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah atau
meminta bantuan.
2) Menggunakan mekanisme pertahanan yang tidak sesuai.
3) Ketidakmampuan memenuhi peran yang diharapkan (mengalami
ketegangan peran, konflik peran).
4) Mengungkapkan kesulitan dalam berkeinginan mencapai tujuan.
5) Tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makan minum,
kebersihan diri, istirahat dan tidur dan berdandan
6) Perubahan dalam interaksi sosial (menarik diri, bergantung pada orang
lain).
7) Enggan mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.
1. Pohon Diagnosa

Koping individu tidak efektif

ketidakberdayaan

Kurang pengetahuan

Diagnosa Data yang telah ditemukan


Kurang pengetahuan Klien tidak menemukan cara alternatif untuk
menangani masalahnya, klien mengatakan
bingung.

ketidakberdayaan Klien mengatakan sepertinya tidak mampu


menyelesaikan skripsinya karena tidak bisa
pergi bimbingan skripsi.

Koping individu tidak efektif Klien menyalahkan dirinya sendiri dan enggan
bertemu dengan orang yang akan
menjenguknya (membatasi hubungan
interpersonal).

2. Tindakan keperawatan
Klien dengan ketidakberdayaan dilakukan tindakan sesuai asuhan
keperawatan sesuai dengan standar asuhan keperawatan psikososial yang
dikembangkan generalis keperawatan jiwa terdiri dari dua strategi
pelaksanaan:
a. Tindakan keperawatan untuk klien dengan ketidakberdayaan yaitu dengan
latihan berpikir positif
b. Evaluasi ketidakberdayaan, berusaha mengembangkan harapan positif dan
latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan.
Sesuai dengan standar asuhan keperawatan intervensi pertama pada
ketidakberdayaan adalah melakukan pendekatan untuk mengkaji masalah
ketidakberdayaan. Dalam melakukan pendekatan perawat menggunakan:
a. Lakukan pendekatan yang hangat, bersifat empati, tunjukkan respon
emosional dan menerima pasien apa adanya.
b. Mawas diri dan cepat mengendalikan perasaan dan reaksi diri perawat
sendiri (misalnya ; rasa marah, frustasi dan simpati).
c. Sediakan waktu untuk berdiskusi dan bina hubungan yang sifatnya
supportif, beri waktu klien untuk berespon.
d. Gunakan teknik komunikasi terapeutik terbuka, eksplorasi dan
klarifikasi.
e. Bantu klien untuk mengekspresikan perasaannya dan identifikasi area-
area situasi kehidupannya yang tidak berada dalam kemampuannya untuk
mengontrol.
f. Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
berpengaruh terhadap ketidakberdayaan.
g. Diskusi tentang masalah yang dihadapi klien tanpa memintanya untuk
menyimpulkan.
h. Identifikasi pemikiran yang negatif dan bantu untuk menurunkan melalui
interupsi atau substitusi.
i. Bantu pasien untuk meningkatkan pemikiran positif.
j. Evaluasi ketetapan presepsi, logika, dan kesimpulan yang dibuat klien.
k. Identifikasi presepsi klien yang tidak tepat, penyimpangan dan
pendapatnya yang tidak rasional.
l. Kurangi penilaian pasien yang negatif terhadap dirinya.
m. Bantu untuk menyadari nilai yang dimilikinya atau perilakunya dan
perubahannya yang terjadi.
n. Libatkan klien dalam menetapkan tujuan-tujuan perawatan yang ingin
dicapai. Motivasi klien untuk membuat jadwal aktivitas perawatan
dirinya.
o. Berikan klien privasi sesuai kebutuhan yang ditentukan.
p. Berikan reinforcement positif untuk keputusan yang dibuat dan jika klien
berhasil melakukan kegiatan atau penampilan yang bagus. Motivasi
untuk mempertahankan penampilan / kegiatan tersebut.
q. Diskusikan dengan klien pilihan yang realistis dalam perawatan, berikan
penjelasan untuk pilihan ini. Bantu klien untuk mendapatkan tujuan yang
realistis. Fokuskan kegiatan pada saat ini bukan pada kegiatan masa lalu.
r. Bantu klien mengidentifikasi area-area situasi kehidupan yang dapat
dikontrolnya. Dukung kekuatan-kekuatan diri yang dapat diidentifikasi
oleh klien.
s. Identifikasi cara-cara yang dapat dicapai oleh klien. Dorong untuk
berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas tersebut dan berikan penguatan
positif untk partisipasi dalam pencapaian.
t. Motivasi keluarga untuk berperan aktif dalam membantu klien
menurunkan perasaan ketidakberdayaan.
u. Dorong kemandirian, tetapi bantu klien jika tidak melakukan.
v. Libatkan klien dalam pembuatan keputusan tentang rutinitas
keperawatan. Jelaskan alasan setiap perubahan perencanaan perawatan
kepada klien.
w. Adakan suatu konferensi multidisiplin untuk mendiskusikan dan
mengembangkan perawatan rutin klien.
Tindakan keperawatan untuk keluarga yaitu penjelasan kondisi pasien dan
cara merawat serta evaluasi peran keluarga merawat pasien, dengan cara
latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan (FIK UI-RSMM, 2012).

Antara lain :

a. Membina hubungan saling percaya


b. Mengenali dan mengekspresikan emosinya
c. Memodivikasi pola kognitif yang negatif
d. Berpartisispasi dalam mengambil keputusan yang berkenan dengan
perawatannya sendiri
e. Termotivasi untuk aktif mencapai tujuan yang realistis
DAFTAR PUSTAKA
NANDA International. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Cetakan I. Jakarta: Penebit Buku Kedokteran EGC
Townsend, M.C (2010). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Psikiatri rencana
Asuhan & Medikasi Psikotropik. Edisi 5. Jakarta: Penebit Buku Kedokteran
EGC
Mamnu‟ah. 2017. Panduan Praktikum Keperawatan Jiwa II. Yogyakarta: UNISA
Carpenito, L.J. 2009. Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik Klinis. Ed.9.
Jakarta: EGC.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20390998-PR-Asep%20Hidayat.pdf
Asep Hidayat. 2014. Asuhan Keperawatan Psikososial Ketidakberdayaan
Pada Tn. H. Dengan Diagnosa Medis Diabetes Melitus Tipe 2 Di Ruang
Antasena Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. FK.UI.Jakarta. diakses 27
Maret 2017
Stuart & Laraia. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN RISIKO GANGGUAN JIWA
“KEPUTUSASAAN”
A. Pengertian
Keputusasaan merupakan keadaan subjektif seorang individu yang
melihat keterbatasan atau tidak ada alternatif atau pilhan pribadi yang tersedia
dan tidak dapat memobilisasi energy yang dimilikinya (NANDA, 2005).
Keputusasaan adalah keadaan emosional ketika individu merasa bahwa
kehidupannya terlalu berat untuk dijalani ( dengan kata lain mustahil ).
Seseorang yang tidak memiliki harapan tidak melihat adanya kemungkinan
untuk memperbaiki kehidupannya dan tidak menemukan solusi untuk
permasalahannya, dan ia percaya bahwa baik dirinya atau siapapun tidak akan
bisa membantunya.
Keputusasaan berkaitan dengan kehilangan harapan, ketidakmampuan ,
keraguan .duka cita , apati , kesedihan , depresi , dan bunuh diri. ( Cotton dan
Range, 1996 )
Menurut (Pharris, Resnick ,dan ABlum, 1997),mengemukakan bahwa
keputusasaan merupakan kondisi yang dapat menguras energi.
Keputusasaan merupakan status emosional yang berkepanjangan dan
bersifat subyektif yang muncul saat individu tidak melihat adanya alternatif
lain atau pilihan pribadi untuk mengatasi masalah yang muncul atau untuk
mencapai apa yang diiginkan serta tidak dapat mengerahkan energinya untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan .
B. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala menurut, Keliat (2005) adalah:
a. Ungkapan klien tentang situasi kehidupan tanpa harapan dan terasa hampa
(“saya tidak dapat melakukan”)
b. Sering mengeluh dan Nampak murung.
c. Nampak kurang bicara atau tidak mau berbicara sama sekali
d. Menunjukkan kesedihan, afek datar atau tumpul.
e. Menarik diri dari lingkungan.
f. Kontak mata kurang.
g. Mengangkat bahu tanda masa bodoh.
h. Nampak selalu murung atau blue mood.
i. Menunjukkan gejala fisik kecemasan (takikardia, takipneu)
j. Menurun atau tidak adanya selera makan
k. Peningkatan waktu tidur.
l. Penurunan keterlibatan dalam perawatan.
m. Bersikap pasif dalam menerima perawatan.
n. Penurunan keterlibatan atau perhatian pada orang lain yang bermakna.

Sedangkan menurut, Keliat, Dkk (2006) adalah:


a. Mayor ( harus ada)
Mengungkapkan atau mengekspresikan sikap apatis yang mendalam ,
berlebihan, dan berkepanjangan dalam merespon situasi yang dirasakan
sebagai hal yang mustahil isyarat verbal tentang kesedihan.
1) Fisiologis :
a) respon terhadap stimulus melambat
b) tidak ada energi
c) tidur bertambah
2) emosional :
a) individu yang putus asa sering sekali kesulitan mengungkapkan
perasaannya tapi dapat merasakan
b) tidak mampu memperoleh nasib baik, keberuntungan dan pertolongan
tuhan
c) tidak memiliki makna atau tujuan dalam hidup
d) hampa dan letih
e) perasaan kehilangan dan tidak memiliki apa-apa tidak berdaya,tidak
mampu dan terperangkap.
3) Individu memperlihatkan :
a) Sikap pasif dan kurangnya keterlibatan dalam perawatan
b) Penurunan verbalisasi
c) Penurunan afek
d) Kurangnya ambisi,inisiatif,serta minat.
e) Ketidakmampuan mencapai sesuatu
f) Hubungan interpersonal yang terganggu
g) Proses pikir yang lambat
h) Kurangnya tanggung jawab terhadap keputusan dan kehidupannya
sendiri.
4) Kognitif :
a) Penurunan kemampuan untuk memecahkan masalah dan kemampuan
membuat keputusan
b) Mengurusi masalah yang telah lalu dan yang akan datang bukan masalah
yang dihadapi saat ini.
c) Penurunan fleksibilitas dalam proses pikir
d) Kaku ( memikirkan semuanya atau tidak sama sekali )
e) Tidak punya kemampuan berimagenasi atau berharap
f) Tidak dapat mengidentifikasi atau mencapai target dan tujuan yang
ditetapkan
g) Tidak dapat membuat perencanaan, mengatur serta membuat keputusan
h) Tidak dapat mengenali sumber harapan
i) Adanya pikiran untuk membunuh diri.
b. Minor ( mungkin ada )
1. Fisiologis
a) Anoreksia
b) BB menurun
2. Emosional
a) Individu marasa putus asa terhadap diri sendiri dan orang lain
b) Merasa berada diujung tanduk
c) Tegang
d) Muak ( merasa ia tidak bisa)
e) Kehilangan kepuasan terhadap peran dan hubungan yang ia jalani
f) Rapuh
3. Individu memperlihatkan
a) Kontak mata yang kurang mengalihkan pandangan dari pembicara
b) Penurunan motivasi
c) Keluh kesah
d) Kemunduran
e) Sikap pasrah
f) Depresi
4. Kognitif
Penuruna kemampuan untuk menyatukan informasi yang diterima:
a) Hilangnya persepsi waktu tentang mas lalu , masa sekarang , masa datang
b) Bingung
c) Ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif
d) Distorsi proses pikir dan asosiasi
e) Penilaian yang tidak logis
C. Faktor penyebab
Beberapa faktor penyebab orang mengalami keputusasaan yaitu :
a. Faktor kehilangan
b. Kegagalan yang terus menerus
c. Faktor Lingkungan
d. Orang terdekat ( keluarga )
e. Status kesehatan ( penyakit yang diderita dan dapat mengancam jiwa)
f. Adanya tekanan hidup
g. Kurangnya iman
D. Pohon masalah
Ketidakberdayaan

Keputusasaan

Harga diri rendah


(Keliat, 2005)
E. Penatalaksaan medis
a. Psikofarmaka
Terapi dengan obat-obatan sehingga dapat meminimalkan gangguan
keputusasaan.
b. Psikoterapi
Terapi kejiwaan yang harus diberikan apabila penderita telah diberikan terapi
psikofarmaka dan telah mencapai tahapan di mana kemampuan menilai realitas
sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikoterapi ini
bermacam-macam bentuknya antara lain psikoterapi suportif dimaksudkan
untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar penderita tidak
merasa putus asa dan semangat juangnya.
c. Terapi Psikososial
Dengan terapi ini dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi
dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak
tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban keluarga. Penderita
selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi
obat psikofarmaka.
d. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan ternyata masih bermanfaat bagi penderita gangguan jiwa.
Dari penelitian didapatkan kenyataan secara umum komitmen agama
berhubungan dengan manfaatnya di bidang klinik. Terapi keagamaan ini
berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, mamanjatkan
puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan, kajian kitab suci dsb.
E. Rehabilitasi
Program rehabilitasi penting dilakukan sebagi persiapan penempatan kembali
kekeluarga dan masyarakat. Program ini biasanya dilakukan di lembaga
(institusi) rehabilitasi misalnya di suatu rumah sakit jiwa. Dalam program
rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain; terapi kelompok,
menjalankan ibadah keagamaan bersama, kegiatan kesenian, terapi fisik berupa
olah raga, keterampilan, berbagai macam kursus, bercocok tanam, rekreasi,
dsbnya. Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung antara 3-6 bulan.
Secara berkala dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali yaitu evaluasi
sebelum penderita mengikuti program rehabilitasi dan evaluasi pada saat si
penderita akan dikembalikan ke keluarga dan ke masyarakat.
F. Rencana tindakan keperawatan
a. Tujuan Umum
b. Tujuan Khusus : Klien mampu
1) Membina hubungan saling percaya
2) Mengenal masalah keputusasaannya
3) Berpartisipasi dalam aktivitas
4) Menggunakan keluarga sebagai system pendukung
c. Tindakan Keperawatan
1) Bina hubungan saling percaya
a) Ucapkan salam
b) Perkenalkan diri : sebutkan nama dan panggilan yang disukai
c) Jelaskan tujuan pertemuan
d) Dengarkan klien dengan penuh perhatian
e) Bantu klien penuhi kebutuhan dasarnya.
2) Klien mengenal masalah keputusasaannya
a) Beri kesempatan bagi klien mengungkapkan perasaan
sedih/kesendirian/keputusasaannya.
b) Tetapkan adanya perbedaan antara cara pandang klien terhadap
kondisinya dengan cara pandang perawat terhadap kondisi klien.
c) Bantu klien mengidentifikasi tingkah laku yang mendukung putus asa :
pembicaraan abnormal/negative, menghindari interaksi dengan
kurangnya partisipasi dalam aktivitas.
d) Diskusikan dengan klien cara yang biasa dilakukan untuk mengatasi
masalah, tanyakan manfaat dari cara yang digunakan.
e) Dukung klien untuk menggunakan koping efektif yang selama ini
digunakan oleh klien.
f) Beri alternative penyelesaian masalah atau solusi.
g) Bantu klien mengidentifikasi keuntungan dan kerugian dari tiap
alternative.
h) Identifikasi kemungkinan klien untuk bunuh diri (putus asa adalah
factor risiko terbesar dalam ide untuk bunuh diri) : tanyakan tentang
rencana, metode dan cara bunuh diri.

3) Klien berpartisipasi dalam aktivitas


a) Identifikasi aspek positif dari dunia klien (“keluarga anda menelepon RS
setiap hari untuk menanyakan keadaanmu ?”
b) Dorong klien untuk berpikir yang menyenangkan dan melawan rasa putus
asa.
c) Dukung klien untuk mengungkapkan pengalaman yang mendukung
pikiran dan perasaan yang positif.
d) Berikan penghargaan yang sungguh-sungguh terhadap usaha klien dalam
mencapai tujuan, memulai perawatan diri, dan berpartisipasi dalam
aktivitas.
4) Klien menggunakan keluarga sebagai system pendukung
a) Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
(1) Ucapkan salam.
(2) Perkenalkan diri : sebutkan nama dan panggilan yang disukai.
(3) Tanyakan nama keluarga, panggilan yang disukai, hubungan dengan
klien.
(4) Jelaskan tujuan pertemuan.
(5) Buat kontrak pertemuan.
b) Identifikasi masalah yang dialami keluarga terkait kondisi putus asa klien
c) Diskusikan upaya yang telah dilakukan keluarga untuk membantu klien
mengatasi masalah dan bagaimana hasilnya.
d) Tanyakan harapan keluarga untuk membantu klien mengatasi
masalahnya.
e) Diskusikan dengan keluarga tentang keputusasaan :
(1) Arti, penyebab, tanda-tanda, akibat lanjut bila tidak diatasi.
(2) Psikofarmaka yang diperoleh klien : manfaat, dosis, efek samping,
akibat bila tidak patuh minum obat.
(3) Cara keluarga merawat klien
(4) Akses bantuan bila keluarga tidak dapat mengatasi kondisi klien
(Puskesmas, RS).

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan


“Keputusasaan”
SP 1: Mendiskusikan kegiatan positif yang dulu pernah dilakukan, dan
menulis ulang
kegiatan positif yang sudah didiskusikan
Orientasi
Assalamualaikum wr.wb. Selamat pagi Bu/Pak?. Perkenalkan Saya perawat
Ajeng, senang
dipanggil Ajeng. Nama Ibu/Bapak siapa? Wow bapak (nama pasien). Senangnya
dipanggil
siapa?” Oooo bu/bapak (nama pasien). Nah, saya datang kesini untuk membantu
Ibu/Bapak
menyelesaikanmasalah Ibu/Bapak “.
“Bagaimana perasaan Bapak/Ibuhari ini? (pasien : sedih)
”Bagaimana Bu/Pak, kalau kita berbincang-bincang tentang perasaan sedih yang
Ibu /Bapak
rasakan saa tini ?”. Menurut Ibu/Bapak dimana baiknya kita berbincang-bincang?
Bagaimana
kalau ditempat ini saja”. “Bagaimana kalau kita berbincang-bincang selama 30
menit.
Apakah Bapak/Ibubersedia ?”.
Kerja
“Coba Ibu/Bapak ceritakan kepada saya tentang perasaan sedihyang Ibu/Bapak
rasakan saat
ini”. “ (Pasien : saya sedih sekali.... sejak jari tangan kanan saya diamputasi,
rasanya saya
tidak bisa berbuat apa-apa lagi. ... apalagi menghidupi keluarga,untuk minum saja
saya masih
butuh bantuan orang lain. .. ).
Ya.... saya mengertiperasaan Ibu/Bapak. Sudah berapa lama perasaan itu
Ibu/Bapak rasakan?
“Kalau saya boleh simpulkan, Bapak/Ibu saat ini mengalami hal yang disebut
dengan
keputusasaan. Keputusasaan adalah suatu keadaan dimana seseorang itu merasa
tidak ada
pilihan lain lagi untuk menyelesaikan masalahnya walaupun sebenarnya masih
memiliki
potensi/kemampuan untuk menyelesaikan masalah. “Pak/Bu, bagaimana kalau
saya
memberitahukan tentang cara yang baik untuk menyelesaikan masalah?” “Ada
beberapa hal
yang Bapak/Ibu bisa lakukan, misalnya, menceritakan masalah Bapak/Ibu kepada
orang lain
yang Bapak/Ibu percaya. Dengan demikian beban yang Bapak/Ibu rasakan
setidaknya bisa
berkurang. Selain itu, Bapak/Ibu juga bisa mengingat atau menuliskan
kemampuan atau
aspek positif yang dulu pernah Ibu/Bapak lakukan. Coba ingat kembali apa saja
hal baik yang
dulu pernah bapak/ibu lakukan. Wah....dulu ternyata bapak/ibu bisa membuat es
krim yang
lezat ya. Nah buat daftar sebanyak-banyaknya kemampuan lainnya. Kegiatan
seperti ini
berguna untuk membantu membangkitkan semangat dan harapan Ibu/Bapak
kembali dalam
menjalani kehidupan”. Meskipun tidak dapat membuatnya sendiri tapi ibu/bapak
masih bisa
mengajarkannya ke orang lain. Tulis dan buat daftar tersebut, ini akan
membuktikan bahwa
ibu/bapak masih punya banyak kemampuan yang bermanfaat bagi diri sendiri
maupun orang
lain. Hebat..
Terminasi
Nah... Pak/Bu, bagaimana rasanya setelah kita berbincang-bincang tentang
masalah
Ibu/Bapak tadi?”.
“ Coba Ibu/Bapak menyebutkan apa sebenarnya yang Bapak/Ibu alami saat ini ? ”.
“ CobaIbu/bapak ulangi, hal baik apa saja yang bisa dilakukan untuk
menyelesaikan masalah ?”.
“Bagus sekali Pak/Ibu”.
“Baiklah Ibu/Bapak,sesuai dengan janji kita telah berbincang-bincang selama 30
menit. Dan
tadi Bapak/Ibu Kelah mengetahui cara untuk menyelesaikan masalah, setelah ini
Bapak/Ibu
bisa mencoba untuk mulai menerapkannya. Bagaimana, apa Bapak/Ibu bersedia
melakukannya?”.” Bagus sekali Pak/Bu”. Ibu/Bapak, bagaimana kalau besok kita
berlatih
kegiatan membuat atau menuangkan air minum dari teko air, disini jam 9 pagi?
Baiklah bu....
Saya permisi dulu. Assalamualaiku. Selamat Pagi.
DAFTAR PUSTAKA

Azis, R. (2003). Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino
Gondoutomo.
Keliat, B.A. (2005). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: EGC
Keliat, B.A., Akemat, Helena, N., Susanti, H., Panjaitan, R.V., Wardani, I, Y.,
dkk. (2006). Modul praktek keperawatan profesional jiwa (MPKP Jiwa).
Jakarta: FIK UI dan WHO
Stuart, G.W. (2007). Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 6. Jakarta: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN RISIKO GANGGUAN JIWA
“KOPING TIDAK EFEKTIF”
A. Definisi

Koping (coping) dilakukan individu untuk menangani masalah dan


menyeimbangkan emosi dalam situasi yang penuh tekanan. Penanganan
masalah tersebut mencakup semua hal yang dipikirkan atau dilakukan
seseorang dalam usaha menyesuaikan diri dengan stres, dengan memilih
strategi yang paling sesuai serta menuntut evaluasi yang berkesinambungan
(Papalia, et al., 2008). Mekanisme koping adalah cara yang digunakan individu
dalam menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi, dan situasi
yang mengancam, baik secara kognitif maupun perilaku (Siswanto, 2007).
Nanda 2018-2020 mendefinisikan, ketidakmampuan membuat penilaian yang
tepat terhadap stressor, ketidakadekuatan pilihan respon yang dilakukan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan sumberyang tersedia.
B. Batasan karakteristik:

1. Subyektif: perubahan komunikasi yang biasanya, kelelahan, dan


mengungkapkan ketidakmampuan untuk mengatasi atau memintabantuan secara
verbal.
2. Obyektif:
a. Penyalagunaan zat-zat kimia
b. Penurunan panggunaan dukungan sosial
c. Perilaku merusak diri dan orang lain
d. Tingginya angka kesakitan
e. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
f. Ketidakmampuan untuk memenuhi harapan peran
g. Ketidakedekuatan menyelesaikan masalah
h. Kurangnya perilaku yang mengarah pada tujuan dan penyelesaian, termasuk
ketidakmampuan untuk mengikuti dan mengalami kesulitan dalam
mengorganisasikan informasi.
i. Konsentrasi buruk
j. Berani mengambil resiko
k. Gangguan tidur
l. Menggunakan bentuk koping yang menghambat perilakuadaptif
C. Proses terjadinya masalah:

Dalam kehidupan sehari-harinya, individu menghadapi pengalaman yang


mengganggu ekuilibrium kognitif dan efektifnya. Individu dapat mengalami
perubahan hubungan dengan orang laindalam harapannya terhadap diri sendiri
dengan cara negatif. Munculnya ketegangan dalam kehidupan mengakibatkan
perilaku pemecahan masalah (mekanisme koping) yang bertujuan untuk
meredakan ketegangan tersebut. Klien gangguan konsep diri menggunakan
mekanisme koping yang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kopingjangka
pendek dan koping jangka panjang.
Karakteristik koping jangka pendek :

1. Aktivitas yang dapat memberikan kesempatan lari sementara dari krisis.


Misalnya, menonton televisi, kerja keras, olahraga berat.
2. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara. Misalnya ikut
kegiatan sosial politik, kegiatan agama.
3. Aktivitas yang memberikan kekuatan atau dukungan sementara terhadap
konsep diri. Misalnya, aktivitas yang berkompetisi yaitu pencapaian akademik
atau olahraga.
4. Aktivitas yang mewakili jarak pendek untuk membuat masalah identitas
menjadi kurang berarti dalam kehidupan, misalnya penyalahgunaan zat.
Pohon masalah

Penyalahgunaan Napza Efe


k

Sindrom Koping Individu


pasca
Core Problem
Tidak Efektif
trauma

Pergaulan Bebas Berduka/stress Etiologi

Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

1) Masalah keperawatan:
a) Ansietas
b) Penyangkalan, tidak efektif
c) Ketakutan
d) Berduka, terganggu
e) Perilaku sehat, berisiko
f) Sindrom pasca trauma
g) Perilaku kekerasan : terhadap diri sendiri atau orang lain, resiko.

2) Data yang perlu dikaji :


a) Kaji konsep diri dan harga diri pasien.
b) Identifikasi penyebab koping tidak efektif (mis : kurangnya dukungan, krisis
kehidupan, keterampilan menyelesaikan masalahyang tidak efektif).
c) Pantau perilaku agresif.
d) Identifikasi pandangan pasien terhadap kondisinya dan
kesesuaiannya dengan pandangan penyedia layanan kesehatan.
e) Kenali dampak situasi kehidupan pasien terhadap peran danhubungan.
f) Evaluasi kemampuan pasien dalam membuat keputusan.

Diagnosis keperawatan
a. Koping individu tidak efektif
Rencana tindakan keperawatan
a. Ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan
penyalahgunaan NAPZA.
Tujuan :
1) Mengidentifikasi perilaku koping efektif dankonsekuensinya
2) Menyatakan kesadaran kemamapuan koping/kekuatanpribadi
3) Mengidentifikasi potensial situasi stress dan mengambil langkah untuk
menghindari/merubahnya.
4) Mendemonstrasikan penggunaan keterampilan/metodekoping efektif.
5) Klien mengatakan ingin merubah kebiasaannya menjadilebih baik dan bersedia
mengikuti program rehabilitasi

Intervensi :

1) Diskusikan bersama klien tentang dampak penggunaan zat terlarang


2) Diskusikan tentang kehidupan klien sebelum menggunakan zat, kemudian
harapan klien untuk kehidupan sekarang dan masa yang akan datang setelah
tahu dampaknya
3) Diskusikan cara meningkatkan motivasi untuk berhenti menggunakan NAPZ
(hal-hal positif yang masih dimiliki)

4) Diskusikan tentang terapi obat-obatan yang diberi dokter

5) Fasilitasi klien dalam group therapy dan life skill

6) Motivasi untuk melanjutkan ke program rehabilitasi


7) Bantu klien dalam mengembangkan, mekanisme koping yangefektif dan sehat
8) Bantu klien untuk menyelesaikan masalah dengan cara yangkonstruktif
9) Eksplorasi bersama klien mengenai metode sebelumnya padasaat menghadapi
masalah
10) Konfrontasi terhadap perasaan ambivalen klien (kemarahanatau ditekan)
11) Tumbuhkan cara penyaluran kemarahan dan permusuhanyang konstruktif
12) Bantu klien untuk mengidentifikasi sistem dukungan yang tersedia
DAFTAR PUSTAKA
Ahern, N. R. & Wilkinson, J.M. (2011). Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan
Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC, ed. 9. Jakarta: EGC.
Keliat, B. A. (2002). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Keliat, B. A. & Akemat. (2010). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC.
NANDA. (2019-2020). Diagnosa Keperawatan, Defenisi dan Klasifikasi, Alih
Bahasa: Made Sumarwati, dkk. Jakarta: EGC.
Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN GANGGUAN JIWA
“RESIKO PERIAKU KEKERASAN (RPK)”
1. Konsep Dasar
A. Definisi
Resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain adalah rentan
melakukan perilaku yang menunjukkan dapat membahayakan orang lain
secara fisik dan emosional (NANDA-1,2018). Perilaku kekerasan dapat berupa
verbal, fisik dan lingkungan.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik,baik kepada diri
sendiri maupun orang lain.Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk dimana
seseorang marah berespon terhadap suatu stresor dengan gerakan motorik yang
tidak terkontrol.(Yosep,2007)
B. Tanda dan Gejala
Menurut Keliat (2019) tanda gejala perilaku kekerasan dibagi menjadi:
1. Mayor
Subjektif :
a) Mengatakan benci/kesal
b) Mengatakan ingin memukul orang
c) Mengatakan tidak mampu mengontrol emosi
d) Mengatakan keinginan untuk menyakiti diri sendiri, orang lain dan
merusak lingkungan.
Objektif :
a) Melotot, pandangan tajam
b) Tangan mengepal, rahang mengatup
c) Gelisah dan mondar-mandir
d) Tekanan darah meningkat
e) Pernafasan meningkat
f) Mudah tersinggung
g) Nada suara tinggi dan bicara kasar
h) Mendominasi pembicaraan,
i) Sarkasme
j) Merusak lingkungan
k) Memukul orang lain.
2 Minor
Subjektif :
a) Mengatakan tidak senang
b) Menyalahkan orang lain
c) Mengatakan diri berkuasa
d) Merasa gagal mencapai tujuan
e) Mengungkapkan keinginan yang tidak realistis dan minta dipenuhi
f) Suka mengejek dan mengkritik
Objektif :
a) Disorientasi
b) Wajah merah
c) Postur tubuh kaku
d) Sinis
e) Bermusuhan
f) Menarik diri
C. Rentang Respon
Rentang respon marah
Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Perilaku Adaptif
1. Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan ketenangan.
2. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternative
Perilaku Maladaptif
1. Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaan nya.
2. Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi
masih terkontrol.
3. Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilang nya kontrol (Direja,
2011).

D. Penyebab Perilaku Kekerasan


Menurut Direja (2011) Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perilaku
Kekerasan pada Pasien Gangguan Jiwa ada dua yaitu faktor prsedisposisi dan
faktor presipitasi.
1. Faktor Predisposisi
a) Faktor psikologis
Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi
prilaku kekerasan.
b) Faktor sosial budaya
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima prilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat
merupakan faktor predisposisi terjadinya prilaku kekerasan.
c) Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, danya pemberian stimulus
elektris ringan pada hipotalamus (sistem limbik) ternyata menimbulkan
prilaku kekerasan. Diman jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk
emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional) dan lobus
temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan memori) akan
menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak
menyerang objek yang ada di sekitarnya.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan pada
setiap individu bersifat unik, berbeda satu orang dengan orang yang lain.
Stressor tersebut dapat merupakan penyebab yang bersifat faktor eksternal
maupun internal dari individu.
Faktor internal meliputi keinginan yang tidak terpenuhi, perasaan
kehilangan dan kegagalan dalam kehidupan (pekerjaan, pendidikan, dan
kehilangan orang yang dicintai), kekhawatiran terhadap penyakit fisik.
Faktor eksternal meliputi kegiatan atau kejadian social yang berubah
seperti serangan fisik atau tindakan kekerasan, kritikan yang menghina,
lingkungan yang terlalu ribut, atau putusnya hubungan social/kerja/sekolah.
E. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga
dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang
konstruktif dalam mengekspresikan kemarahannya.
Menurut Direja (2011) mekanisme koping yang berkaitan dengan
perilaku kekerasan antara lain :
1. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya
secara normal.
2. Proyeksi : Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya
yang tidak baik.
3. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
kealam sadar
4. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan.
Dengan melebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan
nya sebagai rintangan.
5. Deplacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan.
Pada objek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya
membangkitkan emosi.
Pohon masalah resiko perilaku kekerasan dapat dilihat pada bagan berikut
ini :
Perilaku Kekerasan
Resiko Tinggi Mencederai Diri, Orang Lain, dan Lingkungan
Halusinasi
Perilaku
Regimen Kekerasan
Terapeutik Isolasi
Harga Diri
Inefektif Rendah Kronis Sosial:

Menarik Diri
Koping Keluarga Berduka
Tidak Efektif Disfungsional
Sumber : Direja (2011)

2. Masalah Keperawatan Fokus Data Pengkajian


a. Masalah Keperawatan
1) harga diri rendah
2) Perilaku kekerasan
3) Koping individu tidak efek
4) Perubahan sensori persepsi; Halusinasi
5) Resiko mencederai diri sendiri lingkungan & orang lain
b. Data Fokus Pengkajian
1) Faktor Predisposisi
2) Faktor Presipitasi
3) Mekanisme koping yang digunakan
4) Perilaku yang muncul (misal ; menyerang,memberontak)
3. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
b. Perilaku kekerasan
4. Rencana Tindakan
a. Tindakan keperawatan untuk klien
Tujuan tindakan keperawatan untuk klien perilaku kekerasan adalah sebagai
berikut:
1) Klien mengetahui rasa marah dan kesal yang dialami
2) Klien dapat mengontrol perasaan marah dan emosi
3) Klien mengikuti program pengobatan secara optimal

Tindakan keperawatan untuk klien perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :


1) Strategi Pelaksanaan 1 (SP 1) : Membantu klien mengidentifikasi
penyebab marah, serta mengajarkan cara mengontrol marah secara
fisik, yakni menarik nafas dalam dan memukul kasur/bantal.
Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu klien
mengenali perilaku marah. Perawat dapat berdiskusi dengan klien terkait
hal-hal yang membuat klien menjadi marah, latar belakang social dan
lingkungan.
a) Membina hubungan saling percaya
b) Mengidentifikasi perilaku kekerasan dan mengajarkan cara mengontrol
marah dengan cara latihan fisik 1 & 2 yakni menarik nafas dalam
(relaksasi) dan memukul bantal atau kasur.
c) Menjelaskan dan melatih klien mengontrol marah dengan cara latihan
fisik 1 dan 2
d) Tanyakan bagaimana perasaan klien setelah melakukan cara
mengontrol marah dengan latihan fisik 1 dan 2.
e) Memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian klien tenang mengontrol
marah secara fisik 1 dan 2.
2) Strategi Pelaksanaan (SP 2): Melatih mengontrol marah dengan
farmakoterapi.
Perawat dapat melatih klien tentang obat-obatan, meliputi nama obat yang
biasa diminum, jenis, manfaat obat, dan dampak jika tidak minum obat
secara teratur.
a) Mengevaluasi pelaksanaan SP 1
b) Melatih klien untuk dapat mengontrol perilaku kekerasan dengan cara
minum obat (6 benar)
c) Menanyakan bagaimana perasaan klien setelah melakukan kegiatan
d) Memasukkan ke dalam jadwal tentang cara mengontrol perilaku marah
dengan minum obat
3) Strategi Pelaksanaan (SP 3): Melatih mengontrol marah dengan verbal.
Perawat dapat melatih klien untuk dapat menerapkan strategi pelaksanaan
secara verbal, yakni melatih klien untuk dapat meminta dan menolak dengan
baik.
a) Mengevaluasi pelaksanaan SP 1 dan 2.
b) Mengenalkan dan mendemonstrasikan cara mengontrol marah secara
verbal. Yakni mengungkapkan, cara meminta dan menolak sesuatu
dengan benar.
c) Memberikan pujian setelah klien melakukan kegiatan.
d) Menanyakan bagaimana perasaan klien setelah melakukan kegiatan.
e) Memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian cara mengontrol perilaku
marah secara verbal.
4) Strategi Pelaksanaan (SP 4) : Melatih mengontrol marah dengan cara
spiritual
Perawat dapat mengajarkan klien cara mengontrol marah secara spiritual
yakni misalnya dengan mengucapkan istirfargh, mengambil wudhu dan
berdzikir, dan secara farmakoterapi.
a) Mengevaluasi pelaksanaan SP 1, SP 2 dan SP 3.
b) Mengenalkan dan mendemonstrasikan cara mengontrol marah dengan
aspek spiritual, mendekatkan diri kepadaTuhan sesuai dengan agama
dan kepercayaan yang dianut
c) Memberikan pujian setelah klien selesai melakukan kegiatan.
d) Menanyakan bagaimana perasaan klien setelah melakukan kegiatan.
e) Memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian klien.

b. Tindakan keperawatan untuk keluarga


1) Tujuan tindakan keperawatan untuk keluarga klien perilaku kekerasan
adalah keluarga dapat merawat klien di rumah dan menjadi sistem
pendukung yang efektif untuk klien.
2) Tindakan keperawatan untuk keluarga klien perilaku kekerasan.
a) Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
b) Menjelaskan pengertian penyebabab, tanda dan gejala serta proses
terjadinya resiko perilaku kekerasan yang dialami pasien
c) Mendiskusikan cara merawat resiko perilako kekerasan dan
memutuskan cara merawat yang sesuai dengan kondisi pasien
d) Melatih keluarga cara merawat resiko perilaku kekerasan klien:
(1) Menghindari penyebab terjadinya resiko perilaku kekerasan
(2) Membimbing klien melakukan latihan cara mengendalikan perilaku
kekerasan sesuai dengan yang dilatih perawat ke klien.
(3) Melibatkan seluruh anggota keluarga untuk menciptakan suasana
keluarga yang nyaman; mengurangi stres di dalam keluarga dan
memberi motivasi pada klien
(4) Menjelaskan tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan yang
memerlukan rujukan segera serta melakukan follow up ke
pelayanan kesehatan secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA
Direja Ade H.S. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : Medikal Book
Keliat, Budi Anna, dkk. 2013. Model Praktek Keperawatan Profesional. Jakarta :
FKUI
Keliat, Budi Anna, dkk. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa Jakarta : ECG
Yosef. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN GANGGUAN JIWA
“HALUSINASI”

A.PENGERTIAN
Halusinasi adalahsuatu keadaan yang merupakan gangguan persepsi panca indra
tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem pengindraan pada
seseorang dalam keadaan sadar penuh(baik).individu yang mengalami halusinasi
seringkali beranggapan sumber atau penyebab halusinasi itu berasal dari
lingkungannya, padahal rangsangan primer dari halusinasi adalah kebutuhan
perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian traumatik sehubungan
dengan rasa bersalah,rasa sepi,marah,rasa takut di tinggalkan oleh orang yang di
cintai,tidak dapat mengendalikan dorongan ego,pikiran dan perasaannya sendiri
(Budi Anna Keliat).
Halusinasi adalah gejala gangguan jiwa berupa respon panca indra yaitu
penglihatan,pendengaran,penciuman ,perabaan dan pengecapan terhadap sumber
yang tidak nyata (keliat dan Akemat,2007;Stuart,Keliat dan Pasaraibu 2017).

B.PENYEBAB
1. Kurang tidur
2. Isolasi sosial
3. Mengurung diri
4. Kurang kegiatan sosial

C. TANDA dan GEJALA


Mayor
Subyektif :
1. Mendengar suara orang bicara tanpa ada orangnya.
2. Melihat benda,orang atau sinar tanpa ada objeknya
3. Menghidu bau-bauan yang tidak sedap,seperti bau badan padahal tidak.
4.Merasakan pengecapan yang tidak enak.
5.Merasakan rabaanatau gerakan badan.
Objektif :
1.Bicara sendiri
2.Tertawa sendiri.
3.Melihat kesatu arah.
4.Mengarahkan telinga ke arah tertentu.
6.Diam sambil menikmati halusinasinya.

D.KONDISI KLINIS TERKAIT


1. Psikotik Akut.
2. Skizofrenia.
3. Gangguan Bipolar.
4. Parkinson.
5. Delirium.
6.Dimensia.

E. TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN


1. Kognitif, Klien mampu:
a.Menyebutkan penyebab halusinasi.
b.Menyebutkan karakteristik halusinasi yang dirasakan
jenis,isi,frekwensi,durasi,waktu situasi yang menyebabkan dan respons.
c.Menyebutkan akibat yang di timbulkan dari halusinasi.
d.Menyebutkan cara mengendalikan halusinasi yang tepat.
2. Psikomotor, Klien mamapu :
a.Melawan halusinasi dengan menghardik
b.Mengabaikan halusinasi dengan bersikap cuek.
c. Minum obat dengan prinsip 8 benar.
3.Afektif
a.Merasakan manfaat cara-cara mengatasi halusinasi.
b.Membedakan perasaansebelum dan sesudah latihan.

F.TINDAKAN KEPERAWATAN
Tindakan pada klien;
1.Tindakan Keperwatan Ners.
a. Pengkajian: Kaji tanda dan gejala halusinasi, penyebab,dan kemampuan klien
mengatasinya.jika ada halusinasi katakan anda percaya, tetapi anda sendiri tidak
mendengar/melihat/menghidu/merasakan.
b. Diagnosis;Jelaskan proses terjadinya halusinasi.
c.Tindakan keperawatan:
1) Tidak mendukung dan membantah halusinasi klien.
2) Latih klien melawan halusinasi dengan menghardik.
3) Latih klien mengabaikan halusinasi dengan bersikap cuek.
4) Latih klien mengalihkan halusinasi dengan bercakap-cakap dan melakukan
kegiatan
Secara teratur.
5) Latih klien minum obat dengan prinsip 8 benar yaitu benar klen,benar nama
obat,benar. Manfaat obat,benar dosis obat,benar frekwensi,benar cara,benar
tanggal kadaluarsa,dan Benar dokumentasi.
6) Diskusikan manfaat yang didapatkan setelah mempraktekkan latihan
mengendalikan Halusinasi.
7) Berikan pujian pada klien saat mampu mempratekkan latihan mengendalikan
halusinasi.
2. Tindakan Keperawatan Spesialis;
a. Terapi kognitif prilaku
1) sesi 1 ; Mengidentifikasi pengalaman yang tidak menyenangkan dan
menimbulkan Pikiran otomatis negatif dan prilaku negatif
2) Sesi 2 ; Melawan pikiran otomatis negatif.
3) Sesi 3 ; Mengubah prilaku negatif menjadi positif.
4) Sesi 4 ;Memanfaatkan sistem pendukung.
5) Sesi 5 ; Mengevaluasi manfaat melawan pikiran negatif dan mengubah prilaku
negatif.
b. Terapi penerimaan komitmen ( accaptance commitment therapy )
1) Sesi 1; Mengidentifikasi pengalaman/kejadian yang tidak menyenangkan.
2) Sesi 2; Mengenali kejadian saat ini dan menemukan nilai-nilai terkait
pengalaman Yang tidak menyenangkan.
3) Sesi 3; Berlatih menerima pengalaman / kejadian tidak menyenangkan
menggunakan nilai-nilai yang di pilih klien.
4) Sesi 4; Berkomitmen menggunakan nilai-nilai yang dipilih klien untuk
mencegah kekambuhan.

Tindakan Pada Keluarga


1.Tindakan keperawatan Ners;
a. Kaji masalah klien yang di rasakan keluarga dalam merawat klien.
b. Jelaskan pengertian,tanda dan gejala serta proses terjadinya halusinasi yang di
alami klien.
c. Diskusikan cara merawat halusinasi dan memutuskan cara merawat yang sesuai
dengan kondisi klien.
d.Melatih keluarga cara merawat halusinasi;
1) Menghindari situasi yang menyebabkan halusinasi
2) Membimbing klien melakukan latihan cara mengendalikan halusinasi sesuai
dengan Yang dilatih perawat kepada klien.
3) Memberi pujian atas keberhasilan klien.
e.Melibatkan seluruh anggota keluarga untuk bercakap-cakap secara bergantian
,memotivasi, klien melakukan latihan dan memberi pujian atas
keberhasilannya.
f.Menjelasakn tanda dan gejala halusinasi yang memerlukan rujukan segera yaitu
isi halusinasi yang memerintahkan kekerasan serta melakukan follow up ke
pelayanan kesehatan secara teratur.

2.Tindakan keperawatan spesialis; psikoedukasi keluarga


a.Sesi 1: Mengidentifikasi masalah kesehatan yang dialami klien dan masalah
kesehatan keluarga (care giver) dalam merawat klien.
b.Sesi 2: Merawat masalah kesehatan klien.
c.Sesi 3: Manajemen stres untuk keluarga.
d.Sesi 4; Manajemen beban untuk keluarga.
e.Sesi 5: Memanfaatkan sistem pendukung.
f.Sesi 6: Mengevaluasi manfaat psikoedukasi keluarga.

G.TINDAKAN PADA KELOMPOK KLIEN


1.Tindakan keperawatan ners; TAK stimulasi persepsi untuk halusinasi
a.Sesi 1: Mengenal halusinasi ( jenis,isi,frekwensi,waktu,situasi,respons)
b.Sesi 2: Melawan halusinasi dengan menghardik.
c.Sesi 3: Melawan halusinasi dengan melakukan kegiatan terjadwal
d.Sesi 4: Melawan halusinasi dengan bercakap-cakap
e. Sesi 5: Patuh dan benar minum obat
2.Tindakan keperwatan spesialis; terapi suportif
a.Sesi 1: Identifikasi masalah dan sumber pendukung didalam dan di luar keluarga.
b.Sesi 2: Latihan menggunakan sistem pendukung dalam keluarga.
c.Sesi 3: Latihan menggunakan sistem pendukung luar keluarga.
d.Sesi 4: Evaluasi hasil dan hambatan penggunaansumber pendukung.
H.TINDAKAN KOLABORASI
1.Melakukan kolaborasi dengan dokter menggunakan ISBAR dan TBaK.
2.Memberikan program terapi dokter(obat): edukasi 8 benar pemberian obat dengan
menggunakan konsep safety pemberian obat.
3.Mengobservasi manfaat dan efek samping obat.

I.DISCHARGE PLANNING
1.Menjelaskan rencana persiapan pasca-rawat di rumah untuk memandirikan klien.
2.Menjelaskan rencana tindak lanjut perawatan dan pengobatan.
3.Melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan.

J.EVALUASI
1. Penurunan tanda dan gejala halusinasi
2. Peningkatan kemampuan klien mengendalikan halusinasi.
3.Peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat klien.

K.RENCANA TINDAK LANJUT


1. Rujuk klien dan keluarga ke fasilitas praktik mandiri perawat spesialis keperawatan
jiwa.
2. Rujuk kliken dan keluarga ke case manager di fasilitas pelayanan kesehatan primer
di puskesmas, pelayanan kesehatan sekunder dan tersier dirumah sakit.
3. Rujuk klien dan keluarga ke kelompok pendukung, kader kesehatan jiwa, kelompok
swabantu dan fasilitas rehabilitasi psikososial yang tersedia di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Direja Ade H.S. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : Medikal Book
Keliat, Budi Anna, dkk. 2013. Model Praktek Keperawatan Profesional. Jakarta :
FKUI
Keliat, Budi Anna, dkk. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa Jakarta : ECG
Yosef. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN GANGGUAN JIWA
“WAHAM”
A. Pengertian Waham
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat/
terus menerus namun tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2011).
Waham adalah keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita normal.
(Stuart dan Sunden, 1998).
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan yang
tetap dipertahankan dan tidak dapat dirubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan
ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol
Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan
fakta dan keyakinan tersebut mungkin aneh (misal mata saya adalah komputer yang
dapat mengontrol dunia )atau bisa pula tidak aneh hanya sangat tidak mungkin
(misal FBI mengikuti saya) dan tetap dipertahankan bukti-bukti yang jelas untuk
mengoreksinya .Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa
bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada skizophrenia.Semakin akut
psikosis semakin sering ditemui waham disorganisasi dan waham tidak sistematis .
Waham (dellusi) adalah keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau
dibuktikan dengan realitas. Haber (1982) keyakinan individu tersebut tidak sesuai
dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya. Rawlin (1993) dan tidak
dapat digoyahkan atau diubah dengan alasan yang logis (Cook and Fontain
1987)serta keyakinan tersebut diucapkan berulang -ulang.
B. Jenis-jenis Waham
Jenis-jenis waham dapat dibagi sebagai berikut ini :
1. Waham Kebesaran
Yaitu menyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, diucapkan
berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contohnya “Saya ini adalah salah satu
keturunan dari ratu Elizabeth di Inggris lho. “ atau.”saya pernah menjabat sebagai
presiden Amerika Serikat sebelum Barak Obama”
2. Waham curiga
Yaitu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai
kenyataan. Contohnya “Saya tau anda ingin membunuh saya karena iri dengan
keberhasilan saya.”
3. Waham agama
Yaitu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Contohnya “ Kalau saya mau masuk
surga saya harus menggunakan pakaian serba putih setiap hari.”
4. Waham somatik
Yaitu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang penyakit,
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Contohnya “ Saya terkena
penyakit Kanker.” Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata tidak ditemukan tanda-
tanda kanker namun pasien tetap mengatakan ia terserang kanker.
5. Waham nihilistik
Yaitu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, diucapkan
berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh “ Ini kan alam kubur ya, semua
yang ada disini adalah roh-roh.”
C. Penyebap Waham
Salah satu penyebab dari perubahan proses pikir : waham yaitu Gangguan
konsep diri : harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang
pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal
diri. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri
sendiri, hilang kepercayaan diri, dan merasa gagal mencapai keinginan.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya waham adalah :
1. Gagal melalui tahapan perkembangan dengan sehat
2. Disingkirkan oleh orang lain dan merasa kesepian
3. Hubungan yang tidak harmonis dengan orang lain
4. Perpisahan dengan orang yang dicintainya
5. Kegagalan yang sering dialami
6. Keturunan, paling sering pada kembar satu telur
7. Sering menggunakan penyelesaian masalah yang tidak sehat,
misalnya menyalahkan orang lain
Waham adalah anggapan tentang orang yang hypersensitif, dan mekanisme
ego spesifik, reaksi formasi dan penyangkalan. Klien dengan waham menggunakan
mekanisme pertahanan reaksi formasi, penyangkalan dan proyeksi. Pada reaksi
formasi, digunakan sebagai pertahanan melawan agresi, kebutuhan, ketergantungan
dan perasaan cinta. Kebutuhan akan ketergantungan ditransformasikan mejadi
kemandirian yang kokoh.
Penyangkalan, digunakan untuk menghindari kesadaran akan kenyataan yang
menyakitkan. Proyeksi digunakan untuk melindungi diri dari mengenal impuls
yang tidak dapat di terima dari dirinya sendiri. Hypersensitifitas dan perasaan
inferioritas telah dihipotesiskan telah menyebabkan reaksi formasi dan proyeksi
waham dan suporioritas.
Waham juga dapat muncul dari hasil pengembangan pikiran rahasia yang
menggunakan fantasi sebagai cara untuk meningkatkan harga diri mereka yang
terluka. (kalpan dan Sadock 1997)

D. Tanda dan gejala Waham


1. Kognitif
a. Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata
b. Individu sangat percaya pada keyakinannya
c. Sulit berfikir realita
d. Tidak mampu mengambil keputusan
2. Afektif
a. Situasi tidak sesuai dengan kenyataan
b. Afek tumpul
3. Prilaku dan Hubungan Sosial
a. Hipersensitif
b. Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
c. Depresi
d. Ragu-ragu
e. Mengancam secara verbal
f. Aktifitas tidak tepat
g. Streotif
h. Impulsive
i. Curiga
4. Fisik
a. Higiene kurang
b. Muka pucat
c. Sering menguap
d. BB menurun

E. Proses terjadinya Waham


1. Fase lack of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan – kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang –
orang dengan status social dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat
miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang
secara social dan ekonomi tetapi kesenjangan antara reality dengan self ideal sangat
tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang
yang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dan diperhitungkan dalam
kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis
di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh
kembang (life span history).
2. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara
self ideal dan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan
yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan
teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan
yang luas, seseorang tetap memasang self ideal yang melebihi lingkungan tersebut.
Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi,
pengalaman, pengaruh, support system semuanya sangat rendah
3. Fase control internal – eksternal
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa – apa yang
ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan
diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut
belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dinyatakan klien itu tidak benar, tetapi hal
ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga
perasaan, lingkungan hanya menjadi pendengar fasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu
yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang – ulang.
Dari siniah mulai terjadilah kerusakan control diri dan tidak berfungsinya norma
(super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan memercayai dan mendukungnya.
Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari
lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri dan menghindari
interaksi social (isolasi social).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya – upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering
berkaitan dengan traumatic masa lalu atau kebutuhan – kebuthan yang tidak
terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi.
Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk
mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta memperkaya
keyakinan religiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar
serta ada konsekuensi social.
Proses terjadinya waham menurut Ns. Ali Mustofa dijelaskan dalam pohon masalah
sebagai berikut :
Kerusakan komunikasi verbal risiko tinggi mencederai
diri sendiri, orang lan, lingkungan

GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN WAHAM
A. Pengkajian
Selama pengkajian saudara harus mendengarkan dan memperhatikan semua
informasi yang diberikan oleh pasien tengang wahamnya. Untuk mempertahankan
hubungan saling percaya yang telah terbina jangan menyangkal, menolak atau
menerima keyakinan pasien.
Berikut ini beberapa contoh pertanyaan yang dapat digunakan sebagai panduan
untuk mengkaji pasien dengan waham :
1. Apakah pasien memiliki pikiran atau isi pikiran yang berulang-ulang
diungkapkan dan menetap
2. Pasien takut terhadap objek atau situasi tertentu, atau apakah pasien cemas
secara berlebihan tentang tubuh atau kesehatannya
3. Apakah pasien pernah merasakan bahwa benda-benda disekitarnya aneh dan
tidak nyata
4. Apakah pasien pernah merasakan bahwa ia berada diluar tubuhnya
5. Apakah pasien pernah merasa di awasi atau dibicarakan oleh orang lain
6. Apakah pasien berpikir bahwa pikiran atau tindakannya dikontrol oleh orag
lain atau ketakutan dari luar
7. Apakah pasien menyatakan bahwa ia memiliki kekuatan fisik atau kekuatan
lainnya atau yakin bahwa orang lain membaca pikirannya
B. Diagnosa keperawatan Jiwa
Berdasarkan data yang diperoleh ditetapkan diagnosa keperawatan yaitu :
1. Gangguan proses pikir : Waham
Sedangkan masalah keperawatan yang juga perlu dikaji antara lain :
1. Risiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2. Kerusakan komunikasi verbal
3. Gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah
C. Rencana tindakan
PERENCANAAN
N
DIAGNOSA KRITERIA
O TUJUAN INTERVENSI
EVALUASI
Gangguan proses TUM : 1.1 Setelah ... X 1.1 Bina hubungan saling
pikir : waham Klien dapat interaksi klien : percaya dengan klien
mengontrol a. Mau menerima a. Beri salam
wahamnya kehadiran b. Perkenalkan diri, Tanyakan
TUK : perawat nama, serta nama panggilan
1. Klien dapat disampingnya yang disukai
membina b. Mengatakan c. Jelaskan tujuan interaksi
hubungan saling mau menerima d. Yakinkan klien dalam
percaya dengan bantuan perawat keadaan aman dan perawat
perawat c. Tidak siap menolong dan
menunjukkan mendampinginya
tanda-tanda e. Yakinkan bahwa
curiga kerahasiaan klien akan
d. Mengijinkan tetap terjaga
duduk f. Tunjukkan sikap terbuka
disamping dan jujur
g. Perhatikan kebutuhan dasar
dan bantu pasien
memenuhinya
TUK : 1.2 Setelah ... X 1.2 Bantu klien untuk
Klien dapat interaksi Klien : mengungkapkan perasaan
mengidentifikas a. Klien dan pikirannya
i perasaan yang menceritakan a. Diskusikan dengan klien
muncul secara ide-ide dan pengalaman yang dialami
berulang dalam perasaan yang selama ini termasuk
pikiran klien muncul secara hubungan dengan orang
berulang dalam yang berarti, lingkungan
pikirannya kerja, sekolah, dsb
b. Dengarkan pernyataan
klien dengan empati tanpa
mendukung atau
menentang pernyataan
wahamnya
c. Katakan perawat dapat
memahami apa yang
diceritakan klien
TUK : 1.3 Setelah ... X 1.3 Bantu klien
Klien dapat interaksi klien : mengidentifikasi kebutuhan
mengidentifikas a. Dapat yang tidak terpenuhi serta
i stresor atau menyebutkan kejadian yang menjadi
pencetus kejadian sesuai faktor pencetus wahamnya
wahamnya dengan urutan a. Diskusikan dengan klien
waktu serta tentang kejadian-kejadian
harapan atau traumatik yang
kebutuhan dasar menimbulkan rasa takut,
yang tidak ansietas maupun perasaan
terpenuhi seperti tidak dihargai
harga diri, rasa b. Diskusikan kebutuhan atau
aman, dsb harapan yang belum
b. Dapat terpenuhi
menyebutkan c. Diskusikan cara-cara
hubungan antara mengatasi kebutuhan yang
kejadian tidak terpenuhi dan
traumatik kejadian traumatik
kebutuhan tidak d. Diskusikan dengan klien
terpenuhi antara kejadian-kejadian
dengan tersebut dengan wahamnya
wahamnya
TUK 1.4 Setelah ... X 1.4 Bantu klien
Klien dapat interaksi klien mengidentifikasi keyakinan
mengidentifikas menyebutkan yang salam tentan situasi
i wahamnya perbedaan yang nyata (bila klien
pengalaman sudah siap)
nyata dengan a. Diskusikan dengan klien
pengalaman pengalaman wahamnya
wahamnya tanpa berargumentasi
b. Katakan kepada klien akan
keraguan perawat tehadap
pernyataan klien
c. Diskusikan dengan klien
respon perasaan terhadap
wahamnya
d. Diskusikan frekuensi,
intensitas dan durasi
terjadinya waham
e. Bantu klien membedakan
situasi nyata dengan situasi
yang dipersepsikan salah
oleh klien
TUK 1.5 Setelah ... X 1.5 Diskusikan tentang
Klien dapat interaksi klien pengalaman-pengalaman
mengidentifikas menjelaskan yang tidak menguntungkan
i konsekuensi gangguan fungsi sebagai akibat dari
dari wahamnya hidup sehari- wahamnya
hari yang seperti :Hambatan dalam
diakibatkan ide- berinteraksi dengan
ide atau keluarga, Hambatan dalam
pikirannya yang interaksi dengan orang lain
tidak sesuai dalam melakukan aktivitas
dengan sehari-hari
kenyataan 1.6 Ajak klien melihat bahwa
seperti : waham tersebut adalah
a. Hubungan masalah yang
dengan keluarga membutuhkan bantuan dari
b. Hubungan orang lain
dengan orang 1.7 Diskusikan dengan klien
lain tentang orang atau tempat
c. Aktivitas sehari- ia dapat meminta bantuan
hari apabila wahamnya timbul
d. Pekerjaan atau sulit di kendalikan
e. Sekolah
f. Prestasi, dsb
TUK 1.6 Setelah ...X 1.8 Diskusikan hobi atau
Klien dapat interaksi klien aktivitas yang disukainya
melakukan melakukan 1.9 Anjurkan klien memilih
teknik distraksi aktivitas yang dan melakukan aktivitas
sebagai cara konstruktif yang membutuhkan
menghentikan sesuai dengan perhatian dan keterampilan
pikiran yang minatnya yang 1.10 Ikut sertakan klien
terpusat pada dapat dalam aktivitas fisik yang
wahamnya menglihkan membutuhkan perhatian
fokus klien dari sebagai pengisi waktu
wahamnya luang
1.11 Libatkan klien pada
topik-topik yang nyata
1.12 Anjurkan klien untuk
bertanggung jawab secara
personal dalam
mempertahankan atau
meningkatkan kesehatan
dan pemulihannya
1.13 Beri penghargaan bagi
setiap upaya klien yang
positif
TUK 1.7 Setelah ... X 1.14 Diskusikan
Klien mendapat interaksi pentingnya peran keluarga
dukungan keluarga dapat sebagai pendukung untuk
keluarga menjelaskan mengatasi waham
tentang cara 1.15 Diskusikan potensi
mempraktekkan keluarga untuk membantu
cara merawat klien mengatasi waham
klien waham 1.16 Jelaskan pada
keluarga tentang
a. Pengertian waham
b. Tanda gejala waham
c. Penyebap dan akibat
waham
d. Cara merawat klien waham
1.17 Latih keluarga cara
merawat waham
1.18 Tanyakan perasaan
keluarga setelah mencoba
cara yang dilatih
1.19 Beri pujian pada
keluarga atas
keterlibatannya merawat
klien di rumah
TUK 1.8 Setelah ... X 1.20 Diskusikan dengan
Klien dapat interaksi dengan klien tentang manfaat dan
memanfaatkan klien, dapat kerugian tidak minum obat
obat dengan mendemonstrasi 1.21 Pantau klien saat
baik kan penggunaan penggunaan obat, beri
obat dengan pujian jika klien
baik menggunakan obat dengan
1.9 Setelah ... X benar
interaksi klien 1.22 Diskusikan akibat
menyebutkan klien berhenti minum obat
akibat berhenti tanpa konsultasi dengan
minum obat dokter
tanpa konsultasi 1.23 Anjurakan klien untuk
dengan dokter konsultasi kepada perawat
atau dokter jika terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan.

STRATEGI PELAKSANAAN
STRATEGI PELAKSANAAN (SP) PASIEN WAHAM
SP 1 PASIEN
1. Identifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi
2. Bicarakan konteks realita
3. Latih pasien untuk memenuhi kebutuhannya
4. Masukkan ke dalam jadwal kegiatan pasien
SP 2 PASIEN
1. Evaluasi kegiatan yang lalu (Sp 1)
2. Identifikasi potensi/kemampuan yang dimiliki
3. Pilih dan latih potensi/kemampuan yang dimiliki
4. Masukkan ke dalam jadual kegiatan pasien

SP 3 PASIEN
1. Evaluasi kegiatan yang lalu (Sp1 & Sp2)
2. Pilih kemampuan lain yang dapat dilakukan
3. Pilih dan latih potensi kemampuan lain yang dimiliki
4. Masukkan ke dalam jadual kegiatan pasien

STRATEGI PELAKSANAAN (SP) KELUARGA

SP 1 KELUARGA
1. Identifikasi masalah keluarga dalam merawat pasien
2. Jelaskan proses terjadinya waham
3. Jelaskan tentang cara merawat pasien waham
4. Latih (simulasi) cara merawat
5. RTL keluarga/jadual untuk merawat pasien
SP 2 KELUARGA
1. Evaluasi kemampuan Sp 1
2. Latih keluarga cara merawat (langsung ke pasien)
3. Susun RTL keluarga
SP 3 KELUARGA
1. Evaluasi kemampuan keluarga
2. Evaluasi kemampuan pasien
3. RTL keluarga : follow up dan rujukan

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan disesuaikan dengan rencana
keperawatan dan strategi pelaksanaan yang telah disusun.
E. Evaluasi
Lakukan evaluasi setelah dilakukannya implementasi. Contoh lembar evaluasi
sebagai berikut :
PENILAIAN KEMAMPUAN PASIEN DAN
KELUARGA DENGAN MASALAH WAHAM
NAMA PASIEN :
RUANGAN :
NAMA PERAWAT :
NO KEMAMPUAN TANGGAL
A Pasien
Berkomunikasi sesuai dengan
1
kemampuan
Menyebutkan cara memenuhi
2
kebutuhan yang tidak terpenuhi
Mempraktikkan cara memenuhi
3
kebutuhan yang tidak terpenuhi
Menyebutkan kemampuan positif yang
4
dimilik
Mempraktikkan kemampuan positif
5
yang dimiliki
Menyebutkan jenis jadwal dan waktu
6
minum obat
Melakukan jadwal aktivitas dan minum
7
obat sehari-hari
B Keluarga
Menyebutkan pengertian waham dan
1
proses terjadinya waham
Menyebutkan cara merawat pasien
2
waham
Mempraktikkan cara merawat pasien
3
waham
Membuat jadwal aktivitas dan minum
4
obat untuk klien
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Basic
Course). Jakarta : EGC
Ns. Mustofa, Ali. 2013. Buku Saku Keperawatan Jiwa Untuk Praktisi dan Mahasiswa
Keperawatan.
http://ppnikesdambrw.wordpress.com/askep-jiwa-waham/ (diakses pada tanggal 28
Mei 2020 pukul 22 : 27 wib)
http://yoedhasflyingdutchman.blogspot.com/2010/04/asuhan-keperawatan-pasien-
dengan-waham.html (diakses pada tanggal 28 Mei 2020 pukul 23 : 00 wib)
http://ahmadfirmanismail.blogspot.com/2012/06/askep-waham.html (diakses pada
tanggal 28 Mei 2020 pukul 23 : 15 wib)
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN GANGGUAN JIWA
“HDRK”
A. Pengertian
Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri
termasuk kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak
berdaya, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa. (Departemen Kesehatan RI,
2000)
Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Pencapaian
ideal diri atau cita-cita atau harapan langsung menghasilkan perasaan
bahagia.(Keliat, Budi, 2006)
B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Yang mempengaruhi harga diri : penolakan orang tua, harapan orang tua
yang tidak realistis, kegagalan berulang
b. Yang mempengaruhi performa peran : sterotip peran gender, tuntutan peran
kerja dan harapan peran budaya
2. Faktor Presipitasi
a. Trauma : misal penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan yang
mengancam kehidupan
b. Ketegangan peran : hubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan
individu mengalaminya sebagai frustasi : Ada 3 transisi peran yaitu transisi
perkembangan seperti perubahan normatif yang berkaitan dengan
pertumbuhan. Transisi peran situasi, terjadi dengan bertambahnya atau
berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran dan kematian. Transisi
peran sehat sakit, terjadi akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan
sakit (Stuart GW, Sundeen S.J.2005).
C. Manifestasi Klinis
1. Data subjektif:
a. Perasaan tidak mampu
b. Rasa bersalah
c. Mengkritik diri sendiri atau orang lain
d. Sikap negative pada diri sendiri
e. Sikap pesimis pada kehidupan
f. Keluhan sakit fisik
g. Pandangan hidup yang terpolarisasi
h. Menolak kemampuan diri sendiri
i. Mengungkapkan kegagalan diri sendiri
j. Ketidakmampuan menetukan tujuan
2. Data objektif:
a. Produktivitas menurun
b. Mengukur diri sendiri dan orang lain
c. Destruktif pada orang lain
d. Destruktif terhadap diri sendiri
e. Menolak diri secara sosial
f. Penyalahgunaan obat
g. Menarik diri dan realistis
h. Khawatir
i. Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah
j. Menunujukkan tanda depresi (susah tidur dan tidak nafsu makan)
D. Pathopsikologi
Proses terjadinya harga diri rendah dimulai dari akibat faktor predisposisi
yang diantaranya pengalaman kanak-kanak yang merupakan faktor kontribusi
pada gangguan konsep diri, arah yang tidak menerima kasih sayang, individu yang
kurang mengerti akan arti dan tujuan kehidupan akan gagal menerima tanggung
jawab untuk diri sendiri, penolakan orang tua, harapan realistis. Selain faktor
predisposisi, faktor presipitasi juga salah satu penyebab terjadinya harga diri
rendah yang diantaranya pola asuhan anak yang tidak cepat atau dituruti,
kesalahan dan kegagalan berulang kali, cita-cita yang tidak dapat dicapai gagal,
bertanggung jawab tehadap diri sendiri (Keliat, Budi Anna, 2006).
E. Pohon Masalah
Isolasi Sosial : Menarik Diri

Gangguan Konsep diri : Harga Diri Rendah

Koping individu
F. Penatalaksanaan
1. Psikofarmako
a. Cloppromazine (CPZ)
Indikasi untuk sindrom psikologis yaitu berat dalam kemampuan menilai
realistis, kesadaran diri terganggu, waham, halusinasi, gangguan perasaan
dan perilaku aneh
Efek samping sedasi, gangguan otonomik dan endokrin
b. Haloperidol (HPL)
Indikasi : berdaya berat dalam kemampuan menilai realistis dalam fungsi
netral serta fungsi kehidupan sehari-hari
Efek samping : sedasi, gangguan otonomik dan endokrin.
c. Trihexypheridyl (THP)
Indikasi : Segala jenis penyakit parkinson, termasuk pascaenchepalitis dan
idiopatik
Efek samping : hpersensitive terhadap trihexyphenidyl, psinosis berat,
psikoneurosis, dan obstruksi saluran cerna
2. Psikoterapi
a. Terapi okupasi/ rehabilitasi
Terapi terarah bagi pasien, fisik maupun mental dengan menggunakan
aktivitas terpilih sebagai media. Aktivitas tersebut berupa kegiatan yang
direncanakan sesuai tujuan.
b. Terapi psikososial
Rencana pengobatan skizofrenia harus ditujukan pada kemampuan dan
kekurangan pasien. Selain itu sebagai strategi penurunan stress dan
mengenal masalah dan perlibatan kembali pasien ke dalam aktivitas.
c. Psikoterapi
Psikoterapi dapat membantu penderita adalah psikoterapi suportif dan
individual atau kelompok serta bimbingan yang praktis dengan maksud
untuk
3. Manipulasi lingkungan
a. Bersikap menerima psien dan negatifismenya
b. Melibatkan pasien dalam aktivitas kelompok dan aktivitas di ruangan
c. Memberi kesempatan pada pasien untuk mengerjakan tugas dan
tanggungjawabnya sendiri. Misalnya, menata tempat tidur, membersihkan
alat makan, dan minum obat.
d. Memberikan umpan balik positif untuk tugas-tugas yang dilakukan secara
mandiri
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Fokus Pengkajian
1. Data Subyektif : Klien mengatakan tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa,
bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaaan malu terhadap orang
lain dari diri-sendiri
2. Data Obyektif : Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ ingin mengakhiri hidup.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
2. Isolasi sosial
C. Intervensi
1. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
Tujuan Umum : Klienmemiliki konsep diri yang positif
Tujuan Khusus :
a) Klien dapat membina hubngan saling percaya
Intervensi :
a. Sapa klien dengan ramah dan nama panggilan yang disukai klien
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Beri perhatian kepada klien dan perjhatikan kebutuhan dasar klien
b) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
klien
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
b. Hindarkan pemberi penilaian negatif setiap bertemu klien
c. Untuk memberi pujian yang realistic
c) Klien dapat menilai kemampuan yang dimiliki untuk dilaksanakan
a. Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan
b. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan pelaksanaannya
d) Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki
a. Rencanakan bersama aktivitas klien yang dapat dilakukan setiap hari
b. Tingkatkan kegiatna sesuai kondisi klien
c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat klien lakukan
e) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai rencana yang dibuat
a. Anjurkan klien untuk melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan
b. Pantau kegiatan yang dilaksanakan klien
c. Beri pujian atas usaha yang dilakukan klien
d. Diskusikan kemungkinan pelaksaan kegiatan setelah pulang
f) Klien dapat memanfaatkan system pendukung yang ada
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
dengan harga diri rendah
b. Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirumah
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan rumah
2. Isolasi Sosial
Tujuan Umum: Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
Tujuan Khusus:
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi:
a. Beri salam setiap interaksi
b. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat
berkenalan
c. Tanyakan dan panggil nama kesukaan klien
d. Tunjukkan sikap jujur dan menepati janjji setiap kali berinteraksi
e. Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien
f. Buat kontrak interaksi yang jelas
g. Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien
b) Klien mampu menyebutkan penyebab menarik diri
a. Tanyakan pada klien tentang:
- Orang yang tinggal serumah atau teman sekamar klien
- Orang yang paling dekat dengan klien di rumah atau di ruang perawatan
- Apa yang membuat klien dekat dengan orang tersebut
- Orang yang tidak dekat dengan klien di rumah atau di ruang perawatan
- Apa yang membuat klien tidak dekat dengan orang tersebut
- Upaya yang sudah dilakukan agar dekat dengan orang lain
b. Diskusikan dengan klien penyebab menarik diri atau tidak mau bergaul
dengan orang lain
c. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan
c) Klien mampu menyebutkan keuntungan berhubungan social dan
kerugianmenarik diri
a. Tanyakan pada klien tentang manfaat hubungan social dan kerugian
menarik diri
b. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan social dan
kerugian menarik diri
c. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
d) Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap
a. Observasi perilaku klien saat berhubungan social
b. Beri motivasi dan bantu klien untuk berkenalan atau berkomunikasi
dengan perawat lain, klien lain dan kelompok.
c. Libatkan klien dalam terapi aktivitas kelompok sosialisasi
d. Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan klien bersosialisasi
e. Beti motivasi klien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan jadwal yang
telah dibuat
f. Beri pujian terhadap kemampuan klien memperluas pergaulannya melalui
aktivitas yang dilaksanakan
e) Klien mampu menjelaskan perasaannya setelah berhubungan social
a. Diskusikan dengan klien tentang perasaannya setelah berhubungan sosial
dengan orang lain dan kelompok
b. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
f) Klien mendapat dukungan keluarga dalam memperluas hubungan sosial
a. Diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung untuk
mengatasi perilaku menarik diri
b. Diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi perilaku
menarik diri
c. Jelaskan pada keluarga tentang:
- Pengertian menarik diri
- Tanda dan gejala menarik diri
- Penyebab dan akibat menarik diri
- Cara merawat kllien menarik diri
d. Latih keluarga cara merawat klien menarik diri
e. Tanyakan perasaan keluarga setalah mencoba cara yang dilatihkan
f. Beri motivasi keluarga agar membantu klien untuk bersosialisasi
g. Beri pujian kepada keluarga atas keterlibatannya merawat klien di rumah
sakit
g) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
a. Diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat,
nama, warna, dosisi, cara, efek terapi dan efek samping penggunaan obat
b. Pantau klien saat penggunaan obat
c. Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar
d. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultsi dengan dokter
e. Anjurkan klien untuk konsultasi kepada dokter atau perawat jika terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan
DAFTAR PUSTAKA
Aziz R.dkk.2004. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang. RSJD Dr. Amino
Gonohutomo
Carpenito. L.J.2003. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 1,
Jakarta : EGC
Keliat, B.A. 2006.Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Maramis, W,F.2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.Edisi 9. Surabaya : Airlangga
univertsity. Press
Rasmun.2004. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatrik. Terintegrasi Dengan
Keluarga Edisi 1. Jakarta : CV.Sagung Seto
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN GANGGUAN JIWA
“ISOLASI SOSIAL”
A. Definisi
Isolasi social merupakan upaya klien untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain maupun kumunikasi dengan orang
lain (Trimelia:2011).
B. Penyebab
Gangguan presepsi sensori:
1). Halusinasi pendengaran
2). Halusinasi penglihatan
3). Halusinasi penciuman
4). Halusinasi perabaan
5). Halusinasi pengecapan
C. Jenis
1. HDR (harga diri rendah)
2. PK (perilaku kekerasan)
3. Ilusi
4. Halusinasi
D. Rentang Respon
Hubungan dengan orang lain dengan lingkungan sosialnya akan
mennimbulkan respon-respon social pada individu. Menurut stuart dan sundeen
(1995) respons social individu berada dalam rentang adaptif sampai maladaptive
(Trimelia: Asuhan Keperawatan klien isolasi social : 2011).
Rentang Respon
Respon adaptif Respon
Maladaptif

Solitut Kesepian Manipulasi


Otonomi Menarik Diri Impulsif
Kebersamaan Ketergantungan Narkisme

Saling ketergantungan, (Eko Prabowo: asuhan keperawatan jiwa: 2014).

a). Respon Adaptif respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapinya.
1). Solitude : Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang telah
dilakukan dilingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengawasi diri dan
menentukan langkah berikutnya.
2). Otonomi : Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide-ide pikiran.
3). Kebersamaan : Suatu keadaaan dalam hubungan interpersonal dimana
individu tersebut mampu untuk memberi dan menerima.
4). Saling ketergantungan
Saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam hubungan
interpersonal.
b). Respon Maladaptif
Respon maladaptive adalah respon yang diberikan individu ketika dan tidak
mampi lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi.
1). Menarik Diri
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak
berhubungan dengan orang lain untuk mencari ketenangan sementara waktu.
2). Manipulasi
Adalah hubungan social yang terdapat pada individu yang menganggap orang
lain sebagai objek dan merorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan
berorientasi pada orang lain. Individu tidak dapat membina hubungan social
secara mendalam.
3). Ketergantungan
Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan yang
dimiliki.
4). Impulsive
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan
cenderung memaksakan kehendak.
5). Narkisisme
Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan
penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah
jika orang lain tidak mendukung. (Eko prabowo: asuhan keperawatan jiwa
:2014).
Proses Terjadinya Masalah
a. Faktor Predisposisi
1). Faktor Perkemba
Pada dasarnya kemampuan seseorang untuk berhubungan social berkembang
sesuai dengan proses tumbuh kembang mulai dari usia bayi sampai dewasa
lanjut untuk dapat mengembangkan hubungan social yang positif, diharapkan
setiap tahap perkembangan dilalui dengan sukses. System keluarga yang
terganggu dapat menunjang perkembangan respon social maladaptive.
2). Faktor Biologis
Factor genetic dapat berperan dalam respon social maladaptive.
3). Faktor sosiokultural
Isolasi social merupan factor utama dalam gangguan berhubungan. Hal ini
diakibatkan oleh norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang
lain, tidak mempunyai anggota masyarakat yang kurang produktif secara
lanjut usia, orang cacat dan penderita penyakit kronis. Isolasi dapat terjadi
karena mengadopsi norma, perilaku dan system nilai yang berbeda dari yang
dimiliki budaya mayoritas.
4). Faktor dalam Keluarga
Pada komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam gangguan
berhubungan, bila keluatga hanya menginformasikan hal-hal yang negative
dan mendorong anak mengembangkan harga diri rendah. Adanya dua pesan
yang bertentangan disampaikan pada ssat yang bersamaan, mengakibatkan
anak menjadi enggan berkomunikasi dengan orang lain. (Prabowo: asuhan
keperawatan jiwa : 2014).
b. Faktor Presipitasi
1). Stress Sosiokultural
Stress dapat ditimbulkan oleh karena menurunnya stabilitas unit keluarga dan
berpisah dari orang yang berarti, misalnya pernah dirawat dirumah sakit.
2). Stress Psikologi
Ansietas berat yang berkepanjang terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisan dengan orang dekat
atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan dapat
menimbulkan ansietas tingkat tinggi.(prabowo: asuhan keperawatan jiwa
:2014).

E. Tanda dan Gejala


Menurut farida dan hartono 2010 tanda dan gejala menarik diri adalah:
1). Menyendiri diruangan
2). Tidak berkomunikasi, menarik diri, tidak melakukan kontak mata.
3). Sedih, efek datar
4). Perhatian dan tindakan yang tidak sesuai dengan perkembangan usianya.
5). Berpikir menyryt pikirannya sendiri, tindakan berulang dan tidak bermakna.
6). Mengekspresikan penolakan atau kesepian pada oaring lain itu.
7). Tidak ada asosiasi antara ide satu dengan lainnya.
8). Menggunakan kata-kata simbolik
9). Menggunakan kata yang tidak berarti
10). Kontak mata kurang/ tidak mau menatap lawan bicara
11). Pasien cenderung menarik diri dari lingkungan pergaulan, suka melamun,
berdiam diri, (Prabowo: asuhan keperawatan jiwa :2014).

F. Akibat
Salah satu gangguan berhubungan social diantanranya perilaku menarik diri
atau isolasi social yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bias dialami
pasien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan,
kekecewaan dan kecemasan.
Perasaan tidak berharga menyebabkan pasien makin sulit dalam
mengembangkan berhubungan dengan orang lain. Akibatnya pasien menjadi
regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas dan kurangnya
perhatian dan kebersihan diri. Pasien semakin tenggelam dalam perjalinan
terhadap penampilan dan tingkah laki masa lalu serta tingkah laku yang tidak
sesuai dalam kenyataan, sehingga berakibat lanjut halusinasi (Eko prabowo:
asuhan keperawatan jiwa :2014).
G. Mekanisme Koping
a. Perilaku curiga : regresi, proyeksi, represi.
b. Perilaku Dependen : regresi
c. Perilaku Manipulatif : regresi, represi
d. Isolasi atau menarik diri : regresi, repsesi. Isolasi (Prabowo, 2014).
H. Penatalaksanaan
Menurut dalami, dkk 2009 isolasi social termasuk dalam kelompok penyakit
skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis yang bias
dilakukan adalah:
a. Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah suatu jenis pengobatan dimana
arus listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2 elektrode yang
ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan kanan). Arus tersebut
menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung 25-30 detik dengan tujuan
terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak menyebabkan terjadinya
perubahan faal dan biokimia dalam otak.
b. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relatif cukup lama dan merupakan bagian penting
dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi : memberikan
rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat
empati, menerima pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat
mengungkapkan perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan dan jujur
kepada pasien.
c. Terapi okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri seseorang.
(Prabowo: Asuhan keperawatan jiwa, 2014).
I. Pohon Masalah

Perubahan Sensori Perserpsi : Halusinasi


Effect

Isolasi Sosial : Menarik Diri


Cor
Proble
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
m
Causa

(Prabowo : asuhan keperawatan jiwa, 2014).

J. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan sensori persepsi halusinasi b/d menarik diri
b. Isolasi social menarik diri b/d Harga diri rendah (Prabowo: asuhan keperawatn
jiwa, 2014).
K. Rencana Asuhan keperawatan
Tgl Diagnosa Perencanaan Intervensi Rasional
Keperawatan
Tujuan Kriteria Evaluasi

Resiko TUM: Setelah 2x pertemuan klien 1.1 Bina hubungan saling percaya dengan Hubungan
perubahan Klien dapat
dapat menerima kehadiran menggunakan prinsip komunikasi saling percaya
sensori berinteraksi perawat. terapeutik. merupakan langkah
presepsi: dengan orang lain1. Klien dapat a. Sapa klien dengan ramah, baik awal untuk menentukan
halusinasi sehingga tidak mengungkapkan perasaan verbal maupun nonverbal. keberhasilan rencana
pendengara terjadi halusinasi dan keberadaannya secara b. Perkenalkan diri dengan selanjutnya.
n b/d verbal. sopan.
menarik TUK 1: - Klien mau c. Tanyakan nama lengkap dan nama
diri. Klien dapat menjawab salam. panggilan yang disukai klien.
membina - Klien mau berjabat
hubungan saling d. Jelaskan tujuan pertemuan.
tangan.
percaya e. Jujur dan tepat janji.
- Mau menjawab
f. Tunjukkan sikap empati dan
pertanyaan.
menerima klien apa adanya.
- Ada kontak mata. g. Beri perhatian pada klien
- Klien mau duduk dan perhatikan kebutuhan klien.
berdampingan dengan
perawat.
TUK 2: Klien dapat 1.1 kaji pengetahuan klien tentang perilaku Dengan mengetahui
Klien dapat enyebutkan penyebab menarik diri dan tandatandanya. tanda-tanda dan gejala
menyebutkan menarik diri yang berasal 1.2 Berikan kesempatan pada klien untuk menarik diri akan me-
penyebab menarik dari: mengungkapkan perasaan penyebab nentukan langkah
diri. a. Diri sendiri menarik diri atau tidak mau bergaul. intervensi selanjutnya.
b. Orang lain 1.3 Diskusikan bersama klien tentang
perilaku menarik diri, tanda dan gejala.
c. Lingkungan 1.4 Berikan pujian terhadap kemampuan
klien mengungkapkan perasaannya.

TUK 3: Klien dapat 1.1 kaji pengetahuan tentang Reinforcement dapat


Klien dapat menyebutkan keuntungan keuntungan dan manfaat meningkatkan harga diri.
menyebutkan berhubungan dengan orang bergaul dengan orang lain.
keuntungan lain, missal banyak 1.2 Beri kesempatan pada klien untuk
berhubungan teman, tidak sendiri, bias mengungkapkan perasaannya
dengan orang lain diskusi, dll. tentang keuntungan
dan kerugian berhubungan dengan orang lain.
tidak 1.3 Diskusikan bersama klien
berhubungan tentang manfaat berhubungan
dengan orang dengan orang lain.
lain. 1.4 Kaji pengetahuan klien tentang
kerugiann bila tidak
berhubungan dengan orang
lain.
1.5 Beri kesempatan pada klien untuk
mengungkapkan perasaan tentang
kerugian bila tidak berhubungan
dengan orang lain.
1.6 Diskusikan bersama klien
tentang kerugian tidak
berhubungan dengan orang
lain.
1.7 Beri reinforcement positif
terhadap kemampuan
mengungkapkan perasaan twntang
kerugian tidak
berhubungan dengan orang
lain

TUK 4: Klien dapat 1.1 kaji kemampuan klien membina Mengetahui sejauh mana
Klien dapat menyebutkan kerugian hubungan dengan orang lain. pengetahuan klien
melaksanakan tidak berhubungan 1.2 Dorong dan bantu klien untuk tentang berhubungan
hubungan social dengan orang lain missal: berhubungan dengan orang lain dengan orang lain.
secara bertahap. sendiri tidak punya teman, melalui:
sepi. • Klien-perawat
Dll. • Klien-perawat-perawat lain
• Klien-perawat-perawat lainkilen
lain
• Klien-kelompok kecil
• Klienkeluarga/kelompok/masyaraka
t
1.3 Beri reinforcement terhadap
keberhasilan yang telah dicapai di
rumah nanti.
Bantu klien mengevaluasi
manfaat berhubungan dengan orang
lain.
1.5 Diskusikan jadwal harian yang dapat
dilakukan bersama klien dalam
mengisi waktu.
1.6 Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan
terapi Aktivitas
Kelompok sosialisasi.
1.4 1.7 Beri reninforcement atas kegiatan
klien dalam kegiatan ruangan.
TUK 5: Klien dapat 1.1 dorong klien untuk Agar klien lebih percaya
Klien dapat mendemonstrasikan mengungkapkan diri untuk berhubungan
mengungkapkan hubungan social secara perasaannya bila berhubungan dengan orang lain.
perasaannya bertahap: Klien-perawat dengan orang lain. Mengetahui sejauh mana
setelah • Klien-perawat- perawat lain 1.2 Diskusikan dengan klien pengetahuan klien
berhubungan • Klien-perawat- manfaat berhubungan tentang kerugian bila
dengan orang perawat lainklien dengan orang lain. tidak berhubungan
lain. lain. 1.3 Beri reinforcement positif atas dengan orang.
kemampuan klien
• Klien-kelompok kecil. mengungkapkan perasaan
• Klienkeluarga/kelompo manfaat berhubungan
k/masyarakat. dengan orang lain.
TUK 6: Klien dapat 1.1 BHSP dengan Keluarga. Agar klien lebih
Klien dapat mengungkapkan perasaan • Salam, perkenalkan diri. percaya diri dan tahu
memberdayakan setelah berhubungan dengan • Sampaikan tujuan. akibat tidak
system pendukung orang lain untuk: berhubungan dengan
atau keluarga Diri sendiri
• Membuat kontrak. orang lain.
mampu Orang lain. • Explorasiperasaan keluarga.
mengembangkan Keluarga dapat: Mengetahui sejauh mana
1.2 diskusikan dengan anggota keluarga
kemampuan • Menjelaskan perasannya tantang:
pengetahuan klien
klien berhubungan • Menjelaskan cara merawat tentang membina
dengan lain. klien menarik diri.
• perilaku menerik diri. hubungan dengan orang
• Mendemonstrasikan cara • Penyebab perilaku menarik lain.
diri.
perawatan klien menarik
diri. • Cara keluarga menghadapi
klien yang sedang menarik diri.
• Berpartisipasi dalam
Perawatan klien menarik 1.3 dorong anggota keluarga untuk Klien mungkin dapat
diri. emmberikan dukungan kepada klien mengobati perasaan
berkomunikasi dengan orang lain. tidak nyaman, bimbang
karena memulai
hubungan dengan orang
1.4 Anjurkan anggota keluarga untuk lain.
Motivasi dapat me-
secara rutin dan bergantian dorong klien untuk lebih
mengunjungi klien minimal 1x semangat dan percaya
seminggu. diri. Agar klien tahu,
mengerti lebih terbuka
tantang manfaat
berhubungan dengan
orang lain.

1.5 Beri reinforcement atas hal-hal yang Reinforcement dapat


telah dicapai oleh keluarga. meningkatkan
kepercayaan diri klien.
Dengan dukungan
keluarga klien akan
merasa diperhatikan.

(Lilik Ma‟rifatul A: keperawatan jiwa : 2011)


DAFTAR PUSTAKA

Eko Prabowo (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Medical Book.
Lilik Ma‟rifatul A (2011). Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik Klinik. Graha Ilmu.
Trimelia (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. CV. Trans Info Media.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN GANGGUAN JIWA
“DEFISIT PERAWATAN DIRI (DPD)”
A. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan
kesejahteraan guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan
sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan
dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri (Dermawan, 2013).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting). Personal hygiene
adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesejahteraan seseorang
untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Kurang perawatan diri adalah kondisi dimana
seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya (Direja,
2011).
Dampak dari defisit perawatan diri secara fisik yaitu: gangguan integritas
kulit, gangguan membrane mukosa mulut, serta gangguan fisik pada kuku, juga
berdampak pada masalah psikososial seperti gangguan kebutuhan rasa nyaman,
kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri, dan
gangguan interaksi sosial. Lebih jauh lagi masalah tersebut bisa menularkan
berbagai macam penyakit kepada penghuni lain dan juga tenaga kesehatan
(Direja, 2011).
B. Etiologi
Menurut Tarwoto dan Wartonah, (2003) dalam buku Dermawan (2013),
penyebab kurang perawatan diri adalah sebagai berikut :
a. Kelelahan fisik
b. Penurunan kesadaran
Menurut Depkes (2000) dalam buku Dermawan (2013), penyebab kurang
perawatan diri adalah sebagai berikut :

a. Faktor prediposisi
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah :
1) Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan
diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampoo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang
untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan.
5) Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
7) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu atau sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
C. Tanda Dan Gejala
Menurut Direja (2011), tanda dan gejala dari defisit perawatan diri
meliputi :
a. Mandi atau Hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,
memperoleh, atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu, atau
aliran mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh,
serta masuk dan keluar kamar mandi.
b. Berpakaian atau berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil
potongan pakaian, meninggalkan pakaian, serta memperoleh atau
menukar pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk
mengenakan pakaian dalam, memilih pakian, menggunakan alat
tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian,
mengambil pakaian dan mengenakkan sepatu.
c. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
membuka makanan, mangambil makanan dari wadah lalu
memasukkannya kedalam mulut, mencerna makanan menurut cara,
mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna makanan dengan aman.
d. BAB atau BAK
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam
mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari
jamban, membersihkan diri setelah buang air besar atau buang air
kecil denan tepat, dan menyiram toilet atau kamar madi.
Keterbatasan perawatan diri diatas biasanya disebabkan karena
stressor yng cukup berat dan sulit ditangani oleh kliem (klien bisa
mengalami harga diri rendah), sehingga dirinya tidak mau mengurus
atau merawat dirinya sendiri baik dalam hal mandi, berpakaian,
berhias, makan, maupun buang air kecil dan buang air besar. Bila
tidak dilakukan intervensi oleh perawat, maka kemungkinan klien bisa
mengalami masalah resiko tinggi isolasi sosial.
Menurut Dermawan (2013), tanda dan gejala klien dengan defisit
perawatan diri adalah :
a. Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor
2) Rambut dan kulit kotor
3) Kuku Panjang dan kotor
4) Gigi kotor disertai mulut bau
5) Penampilan tidak rapi
b. Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif
2) Menarik diri, isoloasi diri
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina
c. Sosial
1) Interaksi kurang
2) Kegiatan kurang
3) Tidak mampu berperilaku sesuai normal
4) Cara makan tidak teratur BAK dan BAB disembarang tempat,
gosok gigi dan mampi tidak mampu mandiri.
Data yang bisa ditemukan dalam defisist perawatan diri adalah :
a. Data Subyektif
1) Pasien merasa lemah
2) Malas untuk beraktivitas
3) Merasa tidak berdaya
b. Data obyektif
1) Rambut kotor, acak-acakan
2) Badan dan pakaian kotor dan bau
3) Mulut dan gigi bau
4) Kulit kusam dan kotor
5) Kuku panjang dan tidak terawat
D. Pohon Masalah
Menurut Direja (2011), pohon masalah pada defisit perawatan diri dapat
digambarkan sebagai berikut.

Effect Resiko tinggi perilaku


kekerasan


Core Problem Defisit Perawatan Diri


Causa Harga diri rendah kronis


Koping individu tidak
epektif

E. Masalah Keperawatan Yang Mungkin Muncul


1. Defisit perawatan diri
2. Harga diri rendah
3. Risiko tinggi isolasi sosial
(Direja, 2011)
F. Rentang Respon Kognitif
Menurut Dermawan (2013), asuhan bagi klien yang tidak dapat merawat diri
sendiri adalah :
a. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
1) Bina hubungan saling percaya
2) Bicarakan tentang pentingnya kebersihan
3) Kuatkan kemampuan klien merawat diri
b. Membimbing dan menolong klien merawat diri
1) Bantu klien merawat diri
2) Ajarkan ketrampilan secara bertahap
3) Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
c. Ciptakan lingkungan yang mendukung
1) Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi
2) Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien
3) Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien

ASUHAN KEPERAWATAN

DEFISIT PERAWATAN DIRI

1. Pengkajian
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi
akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun. Defisit perawatan diri tampak dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias diri
secara mandiri, dan eleminasi atau toileting (buang air besar atau buang air
kecil) secara mandiri (Keliat, 2019).
Untuk mengetahui apakah pasien mengalami masalah perawatan diri maka
tanda dan gejala dapat diperoleh melalui observasi pada pasien, yaitu :
1) Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, klit
berdaki dan bau, kuku Panjang dan kotor.
2) Ketidakmampuan berhias atau berdandan, ditandai dengan rambut acak-
acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien
laki-laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
3) Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan secara mandiri, makan berceceran,
dan makan tidak pada tempatnya.
4) Ketidakmampuan BAB atau BAK secara mandiri, ditandai dengan
BAB atau BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan
baik setalah BAB atau BAK (Dermawan, 2013).
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data yang didapat ditetapkan diagnosis keperawatan defisit
perawatan diri: (kebersihan diri, makan, berdandan, defekasi atau berkemih)
(Keliat, 2019).
3. Tindakan Keperawatan
Menurut Keliat (2019), Tindakan keperawatan untuk pasien:
a) Tujuan :
1. Kognitif, klien mampu:
a. Menjelaskan perawatan diri
b. Mengidentifikasi masalah perawatan diri yang dialami
c. Mengetahui cara perawatan diri: kebersihan diri, berpakaian,
makan dan minum, eliminasi, dan lingkungan
2. Psikomotor, klien mampu:
a. Melakukan kebersihan diri: mandi, keramas, sikat gigi,
berpakaian, berdandan
b. Memenuhi kebutuhan makan dan minum
c. Melakukan eliminasi BAB dan BAK
d. Menciptakan lingkungan yang bersih dan aman
3. Afektif, klien mampu:
a. Merasa nyaman dengan perawatan diri
b. Merasakan mafaat perawatan diri
c. Mempertahankan perawatan diri
b) Tindakan Keperawatan
1. Melatih kebersihan diri: madi, keramas, sikat gigi, berpakaian,
berhias dan bergunting kuku
1) Mandi
a. Diskusikan gunanya mandi
b. Diskusikan alat-alat yang diperlukan
c. Diskusikan jadwal mandi
d. Diskusikan langkah-langkah mandi
e. Latih mandi sesuai dengan langkah-langkah yang telah
dijelaskan. Bantu jika klien belum dapat melakukan
f. Jadwalkan mandi dengan teratur
g. Berikan pujian
2) Berpakaian
a. Diskusikan gunanya pakaian yang bersih dan rapi
b. Diskusikan variasi pakaian: pakaian tidur, pakaian di
rumah dan pakaiaan berpergian
c. Latih memilih pakaian
d. Latih berpakaian
e. Jadwalkan ganti pakaian secara teratur
f. Berikan pujian
3) Keramas
a. Diskusikan gunanya keramas
b. Diskusikan alat-alat untuk keramas
c. Latih klien keramas
d. Jadwalkan keramas dua hari sekali
e. Berikan pujian
4) Sikat gigi
a. Diskusikan gunanya sikat gigi
b. Diskusikan alat-alat untuk sikat gigi
c. Latih klien sikat gigi. Bantu klien jika belum dapat
melakukannya
d. Jadwalkan sikat gigi 2 kali perhari
e. Berikan pujian
5) Berdandan
Berdandan perempuan
a. Diskusikan gunanya berdandan
b. Diskusikan alat-alat berdandan
c. Latih menyisisr rambut dengan rapi
d. Latih pakai bedak dengan rapi
e. Jadwalkan berdandan setiap selesai mandi
f. Beri pujian

Berdandan laki-laki
a. Diskusikan gunanya berdandan
b. Diskusikan alat dandan
c. Latih menyisir rambut
d. Latih cukur rambut
e. Jadwalkan cukur 1 kali per minggu
f. Beri pujian
6) Gunting kuku
a. Diskusikan gunanya gunting kuku
b. Diskusikan alat untuk gunting kuku
c. Latih menggunting kuku
d. Jadwalkan gunting kuku 1 kali per minggu
e. Beri pujian
2. Melatih makan dan minum
1) Diskusikan gunanya makan dan minum yang baik dan teratur
2) Diskusikan alat, tempat makan dan minum
3) Diskusikan kebutuhan makan dan minum setiap hari
4) Latih cara makan dan minum yang baik: cuci tangan, berdo‟a,
makan di meja makan
3. Melatih BAB dan BAK
1) Diskusikan gunanya BAB dan BAK yang baik
2) Diskusikan tempat, cara menggunakan, cara membersihkan
tempat dan cara membersihkan diri
3) Latih BAB dan BAK yang baik:
a. BAB dan BAK di WC
b. Menggunakan WC dengan tepat
c. Membersihkan diri setelah BAB dan BAK
d. Membersihkan tempat BAB dan BAK
e. Cuci tangan yang benar (6 langkah cuci tangan pakai
sabun)
f. Berikan pujian
4. Melatih kebersihan dan kerapihan lingkungan rumah : klien dilatih
membersihkan dan merapikan lingkungan rumah, yaitu kamar tidur,
ruang makan, dapur, kamar mandi.
1) Melatih kebersihan dan merapikan kamar tidur
a. Diskusikan gunanya kebersihan dan kerapian kamar tidur
b. Diskusikan kegiatan membersihkan dan merapikan kamar
tidur: tempat tidur.
c. Diskusikan alat-alat yang diperlukan untuk tiap kegiatan
d. Latih membersihkan dan merapikan tempat tidur:
merapikan tempat tidur, mengganti seprai dan sarung
bantal, menjemur Kasur.
e. Latihan menyapu dan mengepel lantai kamar tidur
f. Jadwalkan dan beri pujian
2) Melatih dan membersihkan dan merapikan ruang makan
a. Diskusikan gunanya kebersihan dan kerapian ruang makan
b. Diskusikan kegiatan membersihkan dan merapikan ruang
makan: menata meja makan, menyajikan makanan, makan
dengan biak, mencuci alat-alat makan, merapikan meja
makan, menyapu dan mengepel ruang makan.
c. Diskusikan alat-alat yang diperlukan untuk setiap kegiatan
d. Diskusikan alat-alat yang diperlukan untuk setiap kegiatan
e. Latihan membersihkan dan menata meja makan:
membersihkan meja makan, menata laat makan,
menyajikan makanan dan minuman.
f. Latihan makan yang baik: cuci tangan, berdo‟a, makan
dengan rapi, membawa alat makan dan minum ke tempat
cuci piring, merapikan meja makan kembali.
g. Latihan mencuci piring, membuang sisa makanan ke
tempat yang tersedia, mencuci alat-alat-alat makan dan
minum, menyimpan pada tempat dengan rapi
h. Latihan menyapu dan mengepel ruang makan: siapkan
laat-alat kebersiha, sapu lantai dengan baik, buang sampah
dan kotoran ditempat yang tersedia, mengepel lantai
dengan baik
i. Jadwalkan dan beri pujian
3) Melatih kebersihan dan merapikan dapur
a. Diskusikan gunanya kebersihan dan kerapian dapur
b. Diskusikan
c. Kegiatan kebersihan dan kerapian dapur
d. Latih membersihkan meja
e. Latih membuang sampah
4) Melatih kebersihan dan kerapian kamar mandi dan WC
a. Diskusikan gunanya kebersihan dan kerapian halaman
b. Diskusikan kegiatan kebersihan dan kerapian kamar mandi
dan WC: tempat air (jika ada), lantai dan dinding,
perlengkapan mandi dan buang air
c. Latih cara membersihkan tempat air, WC, lantai dan
dinding
d. Latih cara membersihkan dan merapikan perlengkapan
mandi dan buang air: tempat sabun, odol, sikat gigi dan
lain-lain.

Menurut Keliat (2014), tindakan keperawatan dengan


menggunakan pendekatan strategi pelaksana pada pasien defisit
perawatan diri, meliputi :
a) SP 1 Pasien : Mendiskusikan pentingnya kebersihan diri, cara-
cara merawat diri, dan melatih pasien tentang cara-cara
perawatan kebersihan diri.
1. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri
2. Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri
3. Membantu pasien mempraktikkan cara menjaga kebersihan
diri
4. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
b) SP 2 Pasien : Melatih pasien berhias (Laki-laki: berpakaian,
menyisir rambut dan bercukur. Perempuan: berpakaian,
menyisir rambut, dan berhias)
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Membantu pasien mempraktikkan cara berdandan
4. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
c) SP 3 : Melatih pasien makan secara mandiri (menjelaskan cara
mempersiapkan makanan, menjelaskan cara makan yang tertib,
menjelaskan cara merapikan peralatan makan setelah makan,
praktik amkan sesuai dengan tahapan makan yang baik)
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Menjelaskan cara makan yang baik
3. Membantu pasien mempraktikkan cara makan yang baik
4. Memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
d) SP 4 pasien : Mengajarkan paien melakukan BAB atau BAK
secara mandiri (menjelaskan tempat BAB atau BAK yang
sesuai, menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB atau
BAK, menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan
BAK).
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik
3. Membantu pasien mempraktikkan cara eliminasi yang baik
dan memasukkan dalam jadwal harian

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DEFISIT


PERAWATAN DIRI : KEBERSIHAN DIRI
Tgl No. Dx. Perencanaan
Dx Keperawatan Tujuan Kriteria hasil Intervensi
I Defisit TUM : Setelah …x Bina hubungan saling
Perawatan Diri : Klien dapat interaksi klien percaya dengan :
Merawat melakukan menunjukkan tanda Beri salam setiap
Kebersihan Diri perawatan diri – tanda percaya berinteraksi
secara mandiri pada perawat : Perkenalkan nama,
Wajah cerah, nama panggilan
TUK 1 : tersenyum perawat, dan tujuan
Klien dapat Mau berkenalan perawat berinteraksi.
membina Ada kontak mata Tanyakan dan
hubungan saling Bersedia panggil nama kesukaan
percaya menceritakan klien
perasaan Tunjukkan sikap
Bersedia empati, jujur dan
mengungkapkan menepati janji setiap
masalahnya kali berinteraksi.
Tanyakan perasaan
klien dan masalah yang
dihadapi klien
Buat kontrak
interaksi yang jelas
Dengarkan dengan
empati
Penuhi kebutuhan
dasar klien
TUK 2 : Dalam…x 2. diskusikan dengan
Klien interaksi klien klien :
mengetahui menyebutkan : Penyebab klien tidak
pentingnya Penyebab tidak merawat diri
perawatan diri merawat diri Manfaat menjaga
Manfaat perawatan diri untuk
menjaga perawatan keadaan fisik, mental
diri dan sosial
Tanda-tanda Tanda-tanda
bersih dan rapi perawatan diri yang
Gangguan yang baik
dialami jika Penyakit atau
perawatan diri tidak gangguan kesehatan
diperhatikan yang bisa dialami oleh
klien bila perawatan
diri tidak adekuat
TUK 3 : Dalam …x interaksi diskusika frekuensi
Klien klien menyebutkan menjaga perawatan diri
mengetahui frekuensi menjaga selama ini
cara-cara perawatan diri : Mandi
melakukan Frekuensi mandi Gosok gigi
perawatan diri Frekuensi gosok Keramas
gigi Berpakain
Frekuensi Berhias
keramas Gunting kuku
Frekuensi ganti diskusikan cara praktek
pakaian perawatan diri yang
Frekuensi baik dan benar
berhias Mandi
Frekuensi Gosok gigi
gunting kuku Keramas
Dalam …x interaksi Berpakain
klien menjelaskan Berhias
cara menjaga Gunting kuku
perawatan diri : berikan pujian untuk
Cara mandi setiap respon kliken
Cara gosok gigi yang positif
Cara keramas
Cara berpakaian
Cara berhias
Cara gunting
kuku
TUK 4 : Dalam …x interaksi 4.1 Bantu klien saat
Klien dapat klien perawatan diri :
melaksanakan mempraktekan Mandi
perawatan diri perawatan diri Gosok gigi
dengan bantuan dengan dibantu oleh Keramas
perawat perawat : Berpakain
Mandi Berhias
Gosok gigi Gunting kuku
Keramas Beri pujian setelah klien
Berpakain selesai melaksanakan
Berhias perawatan diri
Gunting kuku
TUK 5 : Dalam …x interaksi 5.1 Pantau klien dalam
Klien dapat klien melaksanakan melaksanakan
melaksanakan praktek perawatan perawatan diri :
perawatan diri secara mandiri : Mandi
secara mandiri Mandi 2x sehari Gosok gigi
Gosok gigi Keramas
sehabis makan Berpakain
Keramas 2x Berhias
seminggu Gunting kuku
Ganti pakaian 1x 5.2 Beri pujian saat
sehari klien melaksanakan
Berhias sehabis perawatan diri secara
mandi mandiri
Gunting kuku
setelah mulai
panjang
TUK 6 : Dalam …x interaksi 6.1 Diskusikan dengan
Klien keluarga keluarga :
mendapatkan menjelaskan cara- Penyebab klien tidak
dukungan cara membantu melaksanakan
keluarga untuk klien dalam perawatan diri
meningkatkan memenuhi Tindakan yang telah
perawatan diri kebutuhan dilakukan klien selama
perawatan dirinya di Rumah Sakit dalam
Dalam …x interaksi menjaga perawatan diri
keluarga dan kemajuan yang
menyiapakan telah dialami oleh klien
sarana perawatan Dukungan yang bisa
diri klien : sabun diberika oleh keluarga
mandi, pasta gigi, untuk meningkatkan
sikat gigi, sampo, kemempuan klien
handuk, pakaian dalam perawatan diri
bersih, sandal dan 6.2 Diskusikan denagn
alat berhias keluarga tentang :
Keluarga Sarana yang
mempraktekan diperlukan untuk
perawatan diri menjaga perawatan diri
kepada klien klien
Anjurkan kepada
keluarga menyiapkan
sarana tersebut
6.3 Diskusikan dengan
keluarga hal-hal yang
perlu dilakukan
keluarga dalam
perawatan diri :
Anjurkan keluarga
untuk mempraktekan
perawatan diri (mandi,
gosok gigi, keramas,
ganti baju, berhias dan
gunting kuku)
Ingatkan klien
waktu mandi, gosok
gigi, keramas, ganti
baju, berhias dan
gunting kuku
Bantu jika klien
mengalami hambatan
dalam perawatan diri
Berikan pujian atas
keberhasilan klien
STRATEGI PELAKSANAAN (SP) 1 PASIEN
DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI : KEBERSIHAN DIRI
(Pengkajian dan melatih cara menjaga kebersihan diri : Mandi, gosok gigi, cuci
rambut)
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Data Subjektif :
Pasien merasa lemah,malas untuk beraktivitas,dan merasa tidak
berdaya
Data Objektif :
Rambut kotor dan acak-acakan, badan dan pakaian kotor serta bau,
mulut dan gigi bau,kulit kusam dan kotor,
2. Diagnosa Keperawatan
Defisit Keperawatan Diri : Mandi, Gosok gigi, cuci rambut
3. Tujuan Tindakan keperawatan
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
b. Klien dapat menjelaskan, pentingnya kebersihan diri.
c. Klien dapat menjelaskan cara menjaga kebersihan diri.
d. Klien dapat melaksanakan perawatan diri dengan bantuan perawat.
e. Klien dapat melaksanakan perawatan diri secara mandiri.
4. Tindakan Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Jelaskan pentingnya perawatan diri yang baik..
c. Ajarkan klien mempraktekan cara perawatan diri : mandi, gosok
gigi dan cuci rambut
d. Bantu klien mempraktekan cara perawatan diri.
e. Anjurkan klien memasukan kegiatan perawatan diri secara
mandiri di dalan jadwal kegiatan harian.
B. Strategi Komunikasi.
1. Fase Orientasi
a. Salam Teurapeutik
“Assalamualaikum..!! Selamat Pagi Bu, Perkenalkan nama saya Suster
bekti, Saya Mahasiswa Praktik dari Stikes Pertamedika, saya akan dinas
diruangan Ini selama 3 minggu. Hari ini saya dinas pagi, dari jam 07 pagi
sampai jam 2 siang. Saya akan merawat ibu selama di RS ini, nama ibu
siapa? Senang nya dipanggil apa.”
b. Evaluasi / Validasi
“Bagaimana perasaan ibu hari ini..? Apakah ibu sudah mandi & gosok
gigi..?
c. Kontrak
 Topik :
“Baiklah bu.. Bagaimana kalau kita diskusi tentang kebersihan
diri..?”
 Waktu :
“ Berapa lama ibu mau mengobrolnya..?, Bagaimana kalau 15
menit..?”
 Tempat :
“ Ibu maunya kita ngobrol dimana..?, Bagaimana kalau di ruang
tamu..?”
2. Fase Kerja

“Berapa kali ibu mandi dalam sehari..?, Menurut ibu, apa sih kegunaan
mandi..?, Apa alasan ibu sehingga tidak mau mandi..?, Menurut ibu, apa
manfaatnya kalau kita menjaga kebersihan dir kiti,,? Kira – kira tanda
tanda orang yang merawat diri dengan baik, seperti apa yaa..? Kalau kita
tidak teratur menjaga kebersihan diri, masalah apa menurut ibu yang bias
timbul..? Sekarang coba ibu sebutkan alat apa saja yang digunakan untuk
menjaga kebersihan diri, seperti kalau kita mandi, cuci rambut, gosok
gigi… apa saja yang disiapkan..? Benar sekali..!! Ibu perlu menyiapkan
pakaian ganti, handuk, sabun, sikat gigi, sampo dan odol serta sisir.
Wahhhh… Bagus sekali..!! Ibu bias menyebutkan dengan benar..”.

3. Fase Terminasi
a. Evaluasi Subjektif dan Objektif :
“..Bagaimana perasaan ibu setelah, kita membicarakan tentang cara
merawat kebersihan diri? Baguss sekali Bu..! Nah, sekarang, coba ibu
sebutkan, cara perawatan diri yang telah kita pelajari dan latih tadi..?
Bagus sekali..!!
b. RTL
“ Baiklah bu, tadi ibu sudah menyebutkan manfaat bagi kita jika kita
menjaga kebersihan diri, dan kita juga sudah melakukan latihan, cara
Merawat diri, masukan kedalam jadwal yaa..! Selanjutnya jangan lupa
untuk melakukan sesuai jadwal ya bu..! mandi 2 X Sehari, gosok gigi 2
X sehari juga, keramas 2 X Seminggu. Bagaimana bu..? Bisa
dilakukan..? Baguss sekali, ibu mau mencoba melakukannya..!”
c. Kontrak yang akan datang
 Topik :
“..Baiklah ibu, cukup untuk hari ini, besok kita akan bertemu lagi,
dan membicarakan tentang kebutuhan dan latihan cara makan dan
minum yang baik dan benar, apakah ibu bersedia..?..”
 Waktu :
“.. Ibu mau jam berapa dan berapa lama..? bagaimana kalau jam
11,,? Baik bu kita akan berbincang selama 15 menit”
 Tempat :
“..Ibu maunya kita berbincang dimana..? bagaimana kalau di ruang
makan..? baiklah bu, besok saya akan kesini jam 11 ya..! Sampai
Jumpa besok ya bu.. Saya permisi. Assalamualaikum..Wr. Wb..”.
STRATEGI PELAKSANAAN (SP) 2 PASIEN
DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI : BERHIAS
(Pengkajian dan melatih cara berhias : Berpakaian dan Berdandan)
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Data Subjektif :
Pasien merasa lemas dan tidak berdaya.
Data Objektif :
Baju kotor dan berantakan, rambut acak2an, muka kusam.
2. Diagnosa Keperawatan
Defisit Keperawatan Diri : Berhias (berpakaian dan berdandan)
3. Tujuan Tindakan keperawatan
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
b. Klien dapat menjelaskan cara berhias dengan benar.
c. Klien dapat melakukan pemenuhan kebutuhan berhias dengan
benar dengan bantuan perawat.
d. Klien dapat melakukan pemenuhan berhias secara mandiri.
e. Klien dapat memasukan kegiatan berhias dengan benar ke dalam
jadwal harian.
4. Tindakan Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Jelaskan caraberhias (berpakaian dan berdandan) dengan benar.
c. Bantu Klien dalam melakukan pemenuhan kebutuhan berdandan
dengan benar.
d. Anjurkan klien melakukan pemenuhan berdandan secara mandiri.
e. Anjurkan klien untuk memasukan kegiatan berdandan dengan benar
ke dalam jadwal harian
B. Strategi Komunikasi.
1. Fase Orientasi
a. Salam Teurapeutik
“Assalamualaikum..!! Selamat Pagi Bu , apa kabar pagi ini??
b. Evaluasi / Validasi
“Apakah ibu sudah mandi & gosok gigi sendiri? Bagaiman
perasaan ibu setelah mandi dan menggosok gigi? Sudah makan pagi
ini..? sudah BAB / BAK pagi ini? Dimana ibu BAB dan BAK pagi
ini? Apa yang ibu lakukan setelah BAB / BAK..?”
a. Kontrak
 Topik :
“Baiklah bu.. sesuai janji kita kemarin, hari ini jam 11 kita berjumpa
lagi dan akan membicarakan tentang berhias (berpakaian dan
berdandan)..?
 Waktu :
“ Sesuai janji kita kemarin , kita akan berbincang bincang selama
15 menit ya bu, bagaimana ibu setuju?”
 Tempat :
“ Bagaimana kalau kita berbincang di ruang makan ini saja?”
B. Fase Kerja
“..Menurut ibu apa itu berhias..? Apa manfaat berpakaian dan berdandan
untuk ibu..? Bagus sekali ibu bisa menyebutkan manfaat berhias dan
berpakaian..! Sekarang coba ibu tunjukan cara berpakaian dan
berdandan yang baik..? Bagus sekali ibu sudah dapat menunjukan cara
berhias dan berpakaian yang baik! Mulai besok coba ibu masukan
Berhias dan Berpakaian kedalam kegiatan harian..!”
C. Fase Terminasi
a. Evaluasi Subjektif dan Objektif :
“..Bagaimana perasaan ibu setelah kita membicarakan tentang
manfaat dan tata cara berhias dan berpakaian yang baik..? BAgus
sekali bu, ibu sudah bisa menyebutkan dengan baik tentang manfaat
dan cara berhias dan berpakaian yang baik, “
b. RTL
“ Baiklah bu, tadi ibu sudah menyebutkan manfaat bagi ibu tentang
cara berhias dan berpakaian yang baik dan benar, mulai besok coba
ibu masukan ke jadwal kegiatan harian ibu”
c. Kontrak yang akan datang.
 Topik :
“..Baiklah ibu, cukup untuk hari ini, besok kita akan bertemu lagi,
dan mengevaluasi tentang kebutuhan dan latihan cara berhias diri
(berpakaian dan berdandan)..!”
 Waktu :
“.. Ibu mau jam berapa..? bagaimana kalau jam 11,,?..”
 Tempat :
“..Ibu maunya kita berbincang dimana..? bagaimana kalau di ruang
makan..? baiklah bu, besok saya akan kesini jam 11 ya..! Sampai
Jumpa besok ya bu.. Saya permisi. Assalamualaikum..Wr. Wb..”.
STRATEGI PELAKSANAAN (SP) 3 PASIEN
DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI : MAKAN DAN MINUM
(Pengkajian dan melatih cara makan dan minum)
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Data Subjektif :
Pasien merasa lemas dan tidak berdaya.
Data Objektif :
Badan kurus, kulit bersih dan mulut bersih tapi klien masih terlihat
lemah, klien terlihat mengacuhkan makanan nya.
2. Diagnosa Keperawatan
Defisit Keperawatan Diri : Makan dan minum
3. Tujuan Tindakan keperawatan
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
b. Klien dapat menjelaskan, pentingnya manfaat makan dan minum.
c. Klien dapat menjelaskan cara makan dan minum yang baik.
d. Klien dapat melakukan pemenuhan makan dan minum dengan
bantuan perawat.
e. Klien dapat melakukan pemenuhan makan dan minum dengan
bantuan perawat.
C. Tindakan Keperawatan
a. Evaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b. Evaluasi pengetahuan klien tentang manfaat makan dan minum
c.Ajarkan klien mempraktekan tata cara makan dan minum yang baik
d.Bantu klien mempraktekan tata cara makan dan minum yang baik
e.Anjurkan klien memasukan kegiatan makan dan minum secara mandiri
di dalan jadwal kegiatan harian.
B. Strategi Komunikasi.
1. Fase Orientasi
a) Salam Teurapeutik
“Assalamualaikum..!! Selamat Pagi Bu , apa kabar pagi ini??
b) Evaluasi / Validasi
“Apakah ibu sudah mandi & gosok gigi sendiri?bagaimana
perasaan ibu setelah mandi dan menggosok gigi?
c) Kontrak
 Topik :
“Baiklah bu.. sesuai janji kita kemarin, hari ini jam 11 kita berjumpa
lagi dan akan membicarakan tentang manfaat dan tata cara makan
dan minum yang baik”
 Waktu :
“ sesuai janji kita kemarin , kita akan mengobsrol selama 15 menit
ya bu, bagaimana ibu setuju?”
 Tempat :
“ Bagaimana kalau kita berbincang di ruang makan ini saja?”
2. Fase Kerja
“..Berapa kali ibu makan sehari..? Iya baguss..!! Ibu makan 3 X Sehari..!
Kalau minum, sehari berapa gelas bu..?? Betul, Minum 10 Gelas
sehari..? Apa saja yang disiapkan untuk makan,,? Dimana ibu makan..?
Bagaimana cara makan yanag baik menurut ibu..? Apa yang dilakukan
sebelum makan..? Apa pula yang dilakukan setelah makan..?..”
3. Fase Terminasi
a. Evaluasi Subjektif dan Objektif :
“..Bagaimana perasaan ibu setelah, kita membicarakan tentang cara
Makan dan minum yang baik? Baik sekali bu, ibu sudah bisa
menyebutkan manfaat makan dan minum dengan baik”
b. RTL
“ Baiklah bu, tadi ibu sudah menyebutkan manfaat bagi kita jika
kita menjaga kebersihan diri, dan kita juga sudah melakukan
latihan, Selanjutnya jangan lupa untuk melakukan sesuai jadwal ya
bu..! makan 3 X sehari, dan minum 8 – 10 gelas sehari..”
c. Kontrak yang akan datang.
 Topik :
“..Baiklah ibu, cukup untuk hari ini, besok kita akan bertemu lagi,
dan membicarakan tentang kebutuhan dan latihan cara Toileting
yang baik dan benar (BAB dan BAK) besok..”
 Waktu :
“.. Ibu mau jam berapa..? bagaimana kalau jam 11,,?..”
 Tempat :
“..Ibu maunya kita berbincang dimana..? bagaimana kalau di ruang
makan..? baiklah bu, besok saya akan kesini jam 11 ya..! Sampai
Jumpa besok ya bu.. Saya permisi. Assalamualaikum..Wr. Wb..”.
STRATEGI PELAKSANAAN (SP) 4 PASIEN
DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI : TOILETING
(Pengkajian dan melatih cara BAB dan BAK)
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Data Subjektif :
Pasien merasa lemas dan tidak berdaya.
Data Objektif :
Kulit kotor, baju bau pesing, sekitar kamar klien bau pesing
2. Diagnosa Keperawatan
Defisit Keperawatan Diri : Toileting (BAB dan BAK)
3. Tujuan Tindakan keperawatan
b. Klien dapat membina hubungan saling percaya..
c. Klien dapat menjelaskan cara BAK dan BAB dengan benar.
d. Klien dapat melakukan pemenuhan kebutuhan BAK dan BAB
dengan benar dengan bantuan perawat
e. Klien dapat melakukan pemenuhan makan dan minum secara
mandiri
f. Klien dapat memasukan kegiatan BAK dan BAB dengan benar ke
dalam jadwal harian
4. Tindakan Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya..
b. Jelaskan cara BAK dan BAB dengan benar.
c. Bantu Klien dalam melakukan pemenuhan kebutuhan BAK dan BAB
dengan benar
d. Anjurkan klien melakukan pemenuhan makan dan minum secara
mandiri
e. Anjurkan klien untuk memasukan kegiatan BAK dan BAB dengan
benar ke dalam jadwal harian
B. Strategi Komunikasi.
1. Fase Orientasi
a. Salam Teurapeutik
“Assalamualaikum..!! Selamat Pagi Bu , apa kabar pagi ini??
b. Evaluasi / Validasi
“Apakah ibu sudah mandi & gosok gigi sendiri? Bagaiman
perasaan ibu setelah mandi dan menggosok gigi? Sudah makan pagi
ini..?”
c. Kontrak
 Topik :
“Baiklah bu.. sesuai janji kita kemarin, hari ini jam 11 kita berjumpa
lagi dan akan membicarakan tentang tata cara BAK dan BAB yang
baik”
 Waktu :
“ sesuai janji kita kemarin , kita akan mengobsrol selama 15 menit
ya bu, bagaimana ibu setuju?”
 Tempat :
“ Bagaimana kalau kita berbincang di ruang makan ini saja?”
2. Fase Kerja
“..Berapa kali ibu BAB sehari..? Kalau BAK berapa kali sehari..?, kalau
ibu BAB dan BAK di mana biasanya..? Setelah BAK dan BAB biasanya
apa yang ibu lakukan..? Menurut ibu apa manfaatnya jika menjaga
kebersihan setelah BAB dan BAK..?”
3. Fase Terminasi
a. Evaluasi Subjektif dan Objektif :
“..Bagaimana perasaan ibu setelah kita membicarakan tentang cara
BAB dan BAK yang baik..? Bagaimana perasaan ibu setelah
membersihkan diri setelah BAB dan BAK..? BAgus sekali bu, ibu
sudah bisa menyebutkan dengan baik cara BAK dan BAB yang
benar..!”
b. RTL
“ Baiklah bu, tadi ibu sudah menyebutkan manfaat bagi kita jika
kita menjaga kebersihan diri setelah BAB dan BAK. Sekarang, coba
ibu masukan kedalam Jadwal Kegiatan Harian ibu, sesuai ceklis,
BAB 1x di toilet, BAK 1x di toilet/dikamar?”
c. Kontrak yang akan datang.
 Topik :
“..Baiklah ibu, cukup untuk hari ini, besok kita akan bertemu lagi,
dan membicarakan tentang kebutuhan dan latihan cara berhias diri
(berpakaian dan berdandan)..!”
 Waktu :
“.. Ibu mau jam berapa..? bagaimana kalau jam 11,,?..”
 Tempat :
“..Ibu maunya kita berbincang dimana..? bagaimana kalau di ruang
makan..? baiklah bu, besok saya akan kesini jam 11 ya..! Sampai
Jumpa besok ya bu.. Saya permisi. Assalamualaikum..Wr. Wb..”.

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tgl Dx. Kep Implementasi
Sp. 1 Pasien Defisit Perawatan a. membina hubungan saling percaya degan
Diri : Mandi klien
b. Menjelaskan pentingnya perawatan diri yang
baik..
c. Mengajarkan klien mempraktekan cara
perawatan diri : mandi, gosok gigi dan cuci
rambut
d. Membantu klien mempraktekan cara perawatan
diri.
e. Menganjurkan klien memasukan kegiatan
perawatan diri secara mandiri di dalan jadwal
kegiatan harian.

Tgl Dx. Kep Implementasi


Sp. 1 Pasien Defisit Perawatan a. Membina hubungan saling percaya.
Diri : Berhias (berpakaian dan b. Menjelaskan caraberhias (berpakaian dan
berdandan) berdandan) dengan benar.
c. Membantu Klien dalam melakukan
pemenuhan kebutuhan berdandan dengan
benar.
d. Menganjurkan klien melakukan pemenuhan
berdandan secara mandiri.
e. Menganjurkan klien untuk memasukan
kegiatan berdandan dengan benar ke dalam
jadwal harian

Tgl Dx. Kep Implementasi


Sp. 1 Pasien Defisit Perawatan a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
Diri : Makan dan Minum b. Mengevaluasi pengetahuan klien tentang
manfaat makan dan minum
c. Mengajarkan klien mempraktekan tata cara
makan dan minum yang baik.
d. Membantu klien mempraktekan tata cara
makan dan minum yang baik.
e. Menganjurkan klien memasukan kegiatan
makan dan minum secara mandiri di dalan
jadwal kegiatan harian.

Tgl Dx. Kep Implementasi


Sp. 1 Pasien Defisit Perawatan a. Membina hubungan saling percaya.
Diri : Toileting (BAB dan BAK) b. Menjelaskan cara BAK dan BAB dengan
benar.
c. Membantu Klien dalam melakukan
pemenuhan kebutuhan BAK dan BAB dengan
benar.
d. Menganjurkan klien melakukan pemenuhan
makan dan minum secara mandiri.
e. Menganjurkan klien untuk memasukan
kegiatan BAK dan BAB dengan benar ke
dalam jadwal harian.
EVALUASI KEPERAWATAN

Tgl Dx. Kep Evaluasi


Sp. 1 Pasien Defisit S:
Perawatan Diri : Mandi  Klien mau menjawab salam dan mengatakan selamat
pagi, dan nama lengkap, senang di panggil Ny. I
 Klien mengatakan lebih segar setelah mandi
O:
 Klien mau berjabat tangan dengan perawat
 Klien terlihat bersih dan kulit bersih
A : SP 1 Pasien deficit perawatan diri : Mandi
tercapai
P : Lanjutkan SP 1 Pasien deficit perawatan diri :
Makan dan Minum
Tgl Dx. Kep Evaluasi
SP 2 Pasien deficit S:
perawatan diri : Berhias  Klien dapat menyebutkan manfaat berpakaian dan
(berpakaian dan berdandan) berdandan
O:
 Klien terlihat memakai pakaian nya sendiri
 Klien terlihat memakai bedak dan lipstik
A : SP 1 Pasien deficit perawatan diri : Berhias teratasi
P : Lanjutkan SP 2 Pasien Defisit Perawatan Diri :
Mandi
Tgl Dx. Kep Evaluasi
Sp. 3 Pasien Defisit S:
Perawatan Diri : Makan dan  Klien mau menyebutkan manfaat makan dan minum
Minum O:
 Klien mau bertatap mata dengan perawat
 Klien terlihat makan dengan piring di meja makan
dan minum dengan gelas.
A : SP 1 Pasien deficit perawatan diri : Makan dan
Minun tercapai
P : Lanjutkan SP 1 Pasien deficit perawatan diri :
Toileting (BAB dan BAK).
Tgl Dx. Kep Evaluasi
Sp. 4 Pasien Defisit S:
Perawatan Diri : Toileting  Klien dapat menyebutkan manfaat BAB dan BAK di
(BAB dan BAK) toilet
 Klien menyebutkan tata cara BAB dan BAK yang
baik dan benar.
O:
 Klien terlihat BAB dan BAK di toilet
 Klien membersihkan diri setelah BAK / BAB
A : SP 1 Pasien deficit perawatan diri : Toileting
teratasi
P : Lanjutkan SP 1 Pasien deficit perawatan diri :
Berhias (berpakaian dan berdandan)
DAFTAR PUSTAKA
Direja. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika.
Dermawan, Deden. 2013. Keperawatan Jiwa Konsep Dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Herdman Ade. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Nuha Medika.
Iqbal Wahit, dkk. (2015). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Salemba
Medika.
Keliat, Budi Anna. 2014. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta :
EGC.
Keliat, dkk. 2019. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (Basic
Course). Jakarta : EGC.
Keliat, dkk. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Mukhripah & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika
Aditama.
Nurjannah. (2004). Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa. Yogyakarta:
Momedia.
Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan
Edisi Keempat. Jakarta: Salemba Medika.
Yusuf, Rizky, & Hanik. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASKEP JIWA DENGAN GANGGUAN JIWA
“RESIKO BUNUH DIRI (RBD)”

A. Pengertian
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang
dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri
karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh
diri disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu
gagal dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi
masalah. Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan
untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan
terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal
melakukan hubungan yang berarti, perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri
dapat merupakan hukuman pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri
keputusasaan (Stuart, 2006).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Menciderai diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir
dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir
dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi. (Budi Anna
Kelihat, 2000). Bunuh diri menurut Gail W. Stuart dalam buku “Keperawatan
Jiwa” dinyatakan sebagai suatu aktivitas yang jika tidak dicegah, dimana
aktivitas ini dapat mengarah pada kematian (2007).
Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri
memiliki 4 pengertian, antara lain:
a. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
b. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
c. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
d. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung
(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan
kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.
Menurut Shives (2008) mengemukakan rentang harapan putus harapan
merupakan rentang adaptif maladaptif. Respon adaptif merupakan respon
yang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara
umum berlaku, sedangkan respon maladaptif merupakan respon yang
dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima
oleh norma-norma sosial dan budaya setempat. Respon maladaptif antara lain:
1. Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.
Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan
masalah, karena merasa tidak mampu mengembangkan koping yang
bermanfaat sudah tidak berguna lagi, tidak mampu mengembangkan
koping yang baru serta yakin tidak ada yang membantu.
2. Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan
merasa gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya :
Kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan individu
akan merasa gagal dan kecewa, rendah diri yang semuanya dapat berakhir
dengan bunuh diri.
a) Depresi
Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai
dengan kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada
saat individu ke luar dari keadaan depresi berat
b) Bunuh diri
Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Laraia, 2005).

Respon Adaptif Respon


Mal-
adaptif

Self Growth Indirect Self Suicide


Enchanceme Promoting Self Injur
nt Risk Destructiv y
Taking e Behavior
B. Klasifikasi
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
 Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa
seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang
ingin bunuh diri mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak
akan berada di sekitar kita lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara
non verbal.
 Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang
dilakukan oleh individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak
dicegah.
 Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan
atau diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh
diri akan terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh
diri, meliputi:
 Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh
faktor lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong
seseorang untuk bunuh diri.
 Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
 Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor
dalam diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala menurut Fitria (2009):
 Mempunyai ide untuk bunuh diri
 Mengungkapkan keinginan untuk mati
 Impulsif
 Menunjukan perilaku yang mencurigakan
 Mendekati orang lain dengan ancaman
 Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
 Latar belakang keluarga
D. Faktor yang mempengaruhi
1. Faktor Mood dan Biokimiawi otak
Ghansyam pandey menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam manusia
bisa mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa
sendiri. Pandey mengetahui faktor tersebut setelah melakukan
eksperimen terhadap otak 34 remaja yang 17 diantaranya meninggal
akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa tingkat aktivitas protein kinase C
(PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah dibanding mereka yang
meninggal bukan karena bunuh diri.
Hj. Rooswita mengatakan, “depresi berat menjadi penyebab utama.
Depresi timbul karena pelaku tidak kuat menanggung beban
permasalahan yang menimpa. Karena terus menerus mendapat tekanan,
permasalahan kian menumpuk dan pada puncaknya memicu keinginan
bunuh diri.”
2. Faktor riwayat gangguan mental
Dalam otak kita gterdapat berbagai jaringan, termasuk pembuluh darah.
Di dalamnya juga terdapat serotonin, adrenalin, dan dopamin. Ketiga
cairan dalam otak itu bisa menjadi petunjuk dalam
neurotransmiter(gelombang/gerakan dalam otak) kejiwaan manusia.
Karena itu, kita harus waspadai bila terjadi peningkatan kadar ketiga
cairan itu di dalam otak. Biasanya, bila kita lihat dari hasil otopsi para
korban kasus bunuh diri, cairan otak ini tinggi, terutama serotonin.
Apa penyebab umum yang meningkatkan kadar cairan otak itu? Sebagai
contoh adanya masalah yang membebani seseorang sehingga terjadi stress
atau depresi. Itulah yang sering membuat kadar cairan otak meningkat.
3. Faktor meniru, imitasi, dan pembelajaran
Dalam kasus bunuh diri, dikatakan ada Proses Pembelajaran. Para korban
memiliki pengalaman dari salah satu keluarganya yang pernah melakukan
percobaan bunuh diri atau meninggal karena bunuh diri. Tidak hanya itu,
bisa juga terjadi pembelajaran dari pengetahuan lainnya. Proses
pembelajran di sini merupakan asupan yang masuk ke dalam memori
seseorang. Memori itu bisa menyebabkan perubahan kimia lewat
pembentukan protein-protein yang erat kaitannya dengan memori. Sering
kali banyak yang idak menyadari Proses Pembelajaran ini sebagai
keadaan yang perlu diwaspadai. Bahkan, kita baru paham kalau pasien
sudah diperiksa psikiater/dokter. Kita perlu memperhatikan bahwa orang
yang pernah mencoba bunuh diri denngan cra yang halus, seperti minum
racun bisa melakukan cara lain yang lebih keras dari yang pertama bila
yang sebelumnya tidak berhasil.
4. Faktor isolasi sosial dan Human Relations
Secara umum, stress muncul karena kegagalan beradaptasi. Ini dapat
terjadi di lingkungan pekerjaan, keluarga, sekolah, pergaulan dalam
masyarakat, dan sebagainya. Demikian pula bila seseorang merasa
terisolasi, kehilangan hubungan atau terputusnya hubungan dengan orang
lain yang disayangi. Padahal hubungan interpersonal merupakan sifat
alami manusia. Bahkan keputusan bunuh diri juga bisa dilakukan karena
perasaan bersalah. Suami membunuh istri, kemudian dilanjutkan
membunuh dirinya sendiri, bisa dijadikan contoh kasus.
5. Faktor hilangnya perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar
Penyebab bunuh diri yang lain adalah rasa tidak aman. Rasa tidak aman
merupakan penyebab terjadinyabanyak kasus bunuh diri di Jakarta dan
sekitarnya akhir-akhir ini. tidak adanya rasa aman untuk menjalankan
usaha bagi warga serta ancaman terhadap tempat tinggal mereka
berpotensi kuat memunculkan gangguan kejiwaan seseorang hingga tahap
bunuh diri.

Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang


perilaku resiko bunuh diri meliputi:
 Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri
yaitu gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
 Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko
bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
 Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan
yang dini, dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting
yang berhubungan dengan bunuh diri.
 Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
resiko untuk perilaku resiko bunuh diri
 Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat
menimbulkan perilaku resiko bunuh diri.
E. Stressor pencetus
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang
memalukan, seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum,
kehilangan pekerjaan, atau ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui
seseorang yang mencoba atau melakukan bunuh diri atau terpengaruh media
untuk bunuh diri, juga membuat individu semakin rentan untuk melakukan
perilaku bunuh diri.
F. Penilaian stressor
Upaya bunuh diri tidak mungkin diprediksikan pada setiap tindakan. Oleh
karena itu, perawat harus mengkaji faktor resiko bunuh diri pada pasien.
G. Sumber koping
Pasien dengan penyakit kronis, nyeri, atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku destruktif-diri. Sering kali pasien secara
sadar memilih untuk bunuh diri.
H. Mekanisme koping
Stuart (2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang
berhubungan dengan perilaku destruktif-diri tidak langsung adalah
penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.
I. Gambaran klinis dan diagnosis
Dalam mengenali pasien yang cenderung bunuh diri merupakan satu
tugas yang penting namun sulit dilaksanakan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa resiko bunuh diri yang berhasil akan meningkat pada
jenis pria, berkulit putih, umur lanjut, dan isolasi sosial. Pasien dengan
riwayat keluarga percobaan bunuh diri atau bunuh diri yang berhasil membuat
resiko makin tinggi juga, demikian pula pasien dengan nyeri kronik,
pembedahan yang baru terjadi, atau mengidap penyakit fisik kronik. Demikian
pula pasien yang tidak mempunyai pekerjaan, tinggal sendiri, yang mengatur
masalah– masalahnya secara teratur, dan hari ulang tahun dari kematian
anggota keluarga.
Delapan puluh persen pasien yang melaksanakan bunuh diri dan
berhasil, biasanya mengidap gangguan afetif dan 25% biasanya bergantung
pada alkohol. Bunuh diri merupakan 15% sebab kematian pada kedua
kelompok orang diatas. Sedangkan resiko tinggi untuk peminum alkohol
dalam kurun waktu 6 bulan setelah suatu kehilangan anggota keluarga.
Skizofrenia merupakan gangguan yang jarang, oleh sebab itu menjadi faktor
pengurangan angka bunuh diri pada kasus ini, namun 10% dari para pasien
skizofrenik meninggal akibat bunuh diri.
Harapan yang terbaik bagi upaya pencegahan bunuh diri terletak pada
penemuan dan terapi sedini mungkin dari gangguan psikiatri yang
menyebabkannya.
Peran dari upaya bunuh diri yang terdahulu dalam menilai resiko
bunuh diri saat mendatang amat kompleks, kebanyakan dari para korban
bunuh diri yang berhasil tidak pernah mencoba pada masa sebelumnya,
biasanya mereka akan berhasil pada percobaan pertama. Walaupun para
pelaku yang mencoba bunuh diri masa lampau menunjukkan perilaku yang
mampu merusak diri, hanya 10% para pelaku percobaan bunuh diri yang
berhasil dalam 10 tahun.
Sejumlah cukup besar orang yang secara sengaja melakukan tindak
merusak diri seperti memotong nadi atau membakar diri dengan cara yang
jelas tidak mematikan tanpa keinginan sungguh untuk membunuh diri.
Berbagai motif mungkin berada dibelakang ini, termasuk manipulasi secara
sengaja dan amarah yang tak sadar terhadap orang lain yang berarti dalam
hidupnya. Secara diagnostik, pasien dapat memenuhi kriteria untuk gangguan
anti sosial atau ambang, atau perilaku itu dapat berada bersama dengan
gagasan aneh yang lain dan perilaku skizofrenik.
Yang paling merisaukan dan menantang secara medikolegal ialah
peristiwa parasuisida (usaha percobaan bunuh diri) berulang, dan biasanya
berperilaku bunuh diri yang mendekati letal sedangkaan ia menyangkal
adanya gagasan bunuh diri itu. Varian yang paling sering dijumpai ialah
pasien yang minum obat overdosis secara berulang dan tidak bertujuan.
Pasien macam ini biasanya mempunyai gangguan kepribadian tanpa gejala
psikiatrik gawat. Mereka sering meminta dipulangkan dari rumah sakit
secepatnya setelah pulih dari intosikasi akutnya, kadang lebih cepat lebih
senang, dan ternyata sulit untuk menentukan perawatan dengan agak paksa.
Namun demikian, lebih bijaksana untuk menahan orang semacam ini secara
paksa atau involunter bila frekuensi perilaku parasuisidanya meningkat.
J. Pedoman wawancara dan psikoterapi
Awali pembicaraan dengan bertanya pada pasien apakah ia pernah merasa
ingin menyerah saja terhadapa hidup ini? atau mereka merasa lebih baik mati.
Pendekatan seperti ini membewa stigma kecil saja dan dapa diterima oleh
kebanyakan orang. Lalu bicaralah soal tepatnya apa yang dipikirkan oleh
pasien? Dan catatlah semua pikiran itu. Begitu masalahnya telah mulai
diperbincangkan, gunakan kata seperti “bunuh diri” dan mati daripada
“cidera” atau “melukai” karena beberapa pasien bingung dengan kata-kata itu
dan kebanyakan mereka tidak mau mencederai dirinya, walaupun bila mereka
ingin membunuh dirinya.
Ajukan pertanyaan seperti : berapa sering pikiran bunuh diri anda? Apakah
pikiran bunuh diri anda makin meningkat? Apakah anda hanya punya pikiran
yang kurang baik saja atau pernahkah anda merencanakan cara bunuh dirinya?
Apakah pikiran bunuh diri anda hanya sepintas saja atau benar-benar serius?
Pertimbangkan umur pasien dan kecanggihan serta keinginan dan cara bunuh
dirinya. Cocokkan ucapan dan rencana dari cara yang akan dilakukan itu.
K. Pohon Masalah

Resiko perilaku kekerasan Akibat

Resiko Bunuh Diri Core Problem

Isolasi Sosial
Penyebab

Harga Diri Rendah Penyebab

L. Peran Perawat dalam Perilaku Mencederai Diri


Pengkajian
1. Lingkungan dan upaya bunuh diri : perawat perlu mengkaji peristiwa
yang menghina atau menyakitkan, upaya persiapan, ungkapan verbal,
catatan, lukisan, memberikan benda yang berharga, obat, penggunaan
kekerasan, racun.
2. Gejala : perawat mencatat adanya keputusasaan, celaan terhadap diri
sendiri, perasaan gagal dan tidak berharga, alam perasaan depresi, agitasi
gelisah, insomnia menetap, berat badan menurun, bicara lamban,
keletihan, withdrawl.
3. Penyakit psikiatrik : uoaya bunuh diri sebelumnya, kelainan, afektif, zat
adiktif, depresi remaja, gangguan mental lansia
4. Riwayat psikososial: bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan,
stress multiple (pindah, kehilangan,putus hubungan, masalah sekolah,
krisis disiplin), penyakit kronik.
5. Faktor kepribadian: impulsive, agresif, bermusuhan, kognisi negative dan
kaku, putus asa, harga diri rendah, antisocial
6. Riwayat keluarga : riwayat bunuh diri, gangguan afektif, alkoholisme.
Diagnosa Keperawatan
Resiko tinggi mutilasi diri/kekerasan pada diri sendiri sehubungan dengan
takut terhadap penolakan, alam perasaan yang tertekan, reaksi kemarahan,
ketidakmampuan mengungkapkan perasaan secara verbal, ancaman harga diri
karena malu, kehilangan pekerjaan dan sebagainya.
- Sasaran jangka pendek : klien akan mencari bantuan staf bila ada
perasaan ingin mencederai diri.
- Saran jangka panjang : klien tidak akan mencederai diri
Intervensi dan Rasional
- Observasi perilaku kliem lebih sering melalui aktivitas dan interaksi rutin,
hindari kesan pengamatan dan kecurigaan pada klien (observasi ketat
dibutuhkan supaya intervensi dapat terjadi jika dibutuhkan untuk
memastikan keamanan klien).
- Tetapkan kontrak verbal dengan klien bahwa ia akan meminta bantuan
jika keinginan untuk bunuh diri dirasakan (mendiskusikan perasaan ingin
bunuh diri dengan orang yang dipercaya memberikan derajat keringanan
untuk klien, sikap penerimaan klien sebagai individu dapat dirasakan)
- Jika mutilasi diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak mengusik
penyebabnya jangan berikan reinforcement positif untuk perilaku tersebut
(kurangnya perhatian untuk perilaku maladaptive dalat menurunkan
pengulangan mutilasi).
- Dorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilikinya sebelum
perilaku ini terjadi (agar memecahkan masalah dan memahami faktor
pencetus).
- Bertindak sebagai model dalam mengekspresikan kemarahan yang tepat
(perilaku bunuh diri dipandang sebagai marah yang diarahkan pada diri
sendiri)
- Singkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien
(keamanan klien merupakan prioritas keperawatan)
- Arahkan kembali perilakku mutilasi dengan penyaluran fisik (latihan fisik
merupakan cara yang aman untuk menyalurkan ketegangan yang
terpendam)
- Komitmen semua staf untuk memberikan spirit kepada klien(bukti control
terhadap situasi dan memberikan kemanan fisik serta semangat hidup)
- Berikan obat-obatan sesuai hasil kolaborasi, pantau keefektifan, dan efek
samping (obat penenang seperti ansiolotik/ antipsikotik dapat
memberikan efek menenangkan pada klien dan mencegah perilaku
agresif)
- Gunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesuai prosedur tetap
(bila klien menolak obat-obatan dan situasi darurat, restrain diperlukan
pada jam-jam tertentu)
- Observasi klien dalam restrain tiap 15 menit/ sesuai prosedur tetap
dengan mempertimbangan keamanan, sirkulasi darah, kebutuhan dasar
(keamanan klien merupakan prioritas keperawatan)
Intervensi Klien Bunuh Diri
1. Listening, Kontrak, Kolaborasi dengan Keluarga
Klien bisa ditolong dengan terapi dan bisa hidup lebih baik, jika ia mau
berbicara dan mendengar dalam upaya memecahkan persoalan, serta tidak
ada alasan melalui kesulitan sendirian tanpa bantuan orang lain. Selain
itu, bila mendapati ada orang yang hendak melakukan bunuh diri,
sebaiknya dengarkan apa yang dia keluhkan. Berikan dukungan agar dia
tabah dan tetap berpandangan bahwa hidup ini bermanfaat, buat
lingkungan tempat dia tinggal aman dengan cara menjauhkan alat-alat
yang bisa digunakan untuk bunuh diri. “Kalau perlu buatlah semacam
„kontrak‟ pada dia untuk tidak melakukan bunuh diri, meski tingkat
keberhasilan ini sangat kecil. “Kesulitan utama yang dihadapi apabila
orang yang akan melakukan bunuh diri itu tidak menunjukkan gejala-
gejala tersebut. Pada tingkat permukaan dia tampak mengerti dan
memahami arti hidup, serta terkesan tidak akan melakukan bunuh diri,
tetapi tiba-tiba dia sudah mati bunuh diri. Lingkungan sosial, termasuk
keluarga, juga menjadi sarana yang baik untuk membantu mengurangi
atau menghilangkan keinginan orang untuk bunuh diri.
2. Pahami Persoalan dari “Kacamata” Mereka
Menghadapi orang yang berniat bunuh diri atau gagal melakukan bunuh
diri, perlu sikap menerima, sabar dan empati. Perawat berupaya agar tidak
bersikap memvonis, memojokkan, apalagi menghakimi mereka yang
punya niat bunuh diri atau gagal melakukan bunuh diri. “Kalau mereka
merasa dipojokkan kemungkinan bunuh diri akan semakin cepat”. Yang
paling penting disini adalah mencoba menampung segala keluhannya dan
menjadi pendengar yang baik. Hindari argumentasi dan nasihat-nasihat.
Jangan harap kata-kata anda bisa menjadi senjata ajaib untuk
menyadarkannya. Pada dasarnya dalam diri orang yang ingin bunuh diri
tersimpan sikap mendua atau ambivalen. Sebagian dari dirinya ingin tetap
hidup, tapi sebagian lagi ingin segera mati untuk mengakhiri
penderitaannya. Karena sedang menderita itulah, sebenarnya ia sangat
membutuhkan orang lain. Ia butuh ventilasi untuk mengalirkan masalah
dan perasaannya. Namun, orang yang berniat bunuh diri biasanya takut
untuk mencoba mencari pertolongan. Ia takut usaha itu justru akan
menambah beban penderitaannya karena bisa saja ia akan dibilang bodoh,
sinting, berdosa, atau diberi cap negatif lainnya.
3. Pentingnya Partisipasi Masyarakat
Gangguan kejiwaan sebenarnya bisa sembuh hanya perlu terus dievaluasi
karena bisa sewaktu-waktu kambuh. Masih banyak stigma atau penilaian
negatif di masyarakat kepada klien gangguan kejiwaan. Namun, bila
dibandingkan dulu, stigma sekarang sudah menurun. Bahkan stigma
membuat pihak keluarga klien juga tidak memahami karakter anggota
keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Keluarga jadi bersikap apatis
dan sering mengelak bila diajak konsultasi ke psikiater.Padahal,
dukungan keluarga sangat penting untuk upaya penyembuhan klien
gangguan kejiwaan. Keluarga perlu didukung masyarakat sekitarnya agar
klien gangguan jiwa dianggap sama dengan penyakit-penyakit fisik lain
seperti Decomp, DM,hepatitis, dan sebagainya. Yang membutuhkan
perawatan dan tenaga ahli serta dianggap sebagai cobaan yang bisa
menimpa siapa saja.
4. Express Feeling
Perlu ada dukungan dari lingkungan. Istilah ngetopnya sharing atau
curhat, sehingga membantu meringankan beban yang menerpa. Salah satu
solusi yang ditawarkan selain mengontrol emosi, lebih mendekatkan diri
kepada Yang Maha Kuasa. Express feeling sangat penting agar masalah
yang menekan semakin ringan.
5. Lakukan Implementasi khusus
- Semua ancaman bunuh diri secara verbal dan non verbal harus
ditanggap serius oleh perawat, Laporkan sesegera mungkin dan
lakukan tindakan pengamatan
- Jauhkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien.
- Jika klien beresiko tinggi untuk bunuh diri, observasi secara ketat
meskipun di tempat tidur/kamar mandi.
- Observasi dengan cermat saat klien makan obat, periksa mulut,
pastikan bahwa obat telah ditelan, berikan obat dalam bentuk cair bila
memungkinkan.
- Jelaskan semua tindakan pengamanan kepada klien, komunikasikan
perhatian dan kepedulian perawat
- Waspadai bila klien terlihat tenang sebab mungkin saja ia telah selesai
merencanakan bunuh diri.
M. Evaluasi dan Pengelolaan
1. Bila mengevaluasi pasien yang cenderung bunuh diri, jangan tinggalkan
mereka sendiri, singkirkan semua benda yang potensial berbahaya.
2. Bila megevaluasi pasien yang baru saja mencoba bunuh diri, nilailah
apakah usaha itu telah direncanakan atau impulsif saja sambil
menentukan derajat letalitasnya, kemungkinan pasien pulih kembali.
3. Pengelolaan bergantung sebagian besar pada diagnosis. Pasien dengan
depresi berat dapat diobati sebagai pasien berobat jalan bila keluarganya
dapat mengawasi mereka dengan seksama dan terapi dapat dimulai
dengan segera. Bila tidak, perawatan inap di rumah sakit diperlukan.
4. Gagasan bunuh diri dari pasien alkoholik biasanya akan membaik dalam
beberapa hari dengan abstinensi. Kebanyakan tidak ada terapi spesifik
yang perlu diberikan. Bila depresi tetap bertahan setelah gejala abstinensi
mereda, dugaan besar adalah gangguan depresi berat. Semua pasien yang
cenderung bunuh diri yang mengalami intoksikasi alkohol atau obat
harus dinilai ulang saat mereka lepas pengaruh alkoholnya.
5. Gagasan bunuh diri pada pasien skizofrenik harus diperhatikan secara
serius karena mereka cenderung mempergunakan cara yang keras dan
aneh dengan derajat letalitas tinggi.
6. Pasien dengan gangguan kepribadian akan mengambil manfaat dari
bantuan dan konfrotasi empatik, dan perlu dilanjutkan pendekatan secara
rasional, bertanggung jawab pada masalah yang mencetuskan dan
menyebabkan krisis tersebut. Keikutsertaan keluarga atau teman dan
manipulasi lingkungan dapat membantu untuk menyelesaikan krisis yang
membawa pasien untuk bunuh diri.
7. Perawatan inap di rumah sakit jangka panjang dianjurkan bagi kasus
dengan kecenderungan mutilasi diri, namun perawatan inap jangka
pendek tidak akan mempengaruhi perilaku yang berulang ini. Parasuisida
juga mungkin akan mendapatkan manfaat yang baik dari rehabilitasi
jangka panjang, dan stabilisasi jangka pendek juga diperlukan dari waktu
ke waktu, tetapi terapi jangka pendek tidak akan dapat mempengaruhi
secara berarti perjalanan gangguan ini.
N. Terapi obat
Pasien dalam krisis karena kematian orang terdekat atau peristiwa lain
dengan perjalanan waktu yang terbatas akan berfungsi lebih baik setelah
menerima sedasi ringan seperlunya, terutama bila sebelum itu tidurnya
terganggu. Benzodiazepin merupakan obat terpilih dan ramuan yang khas
ialah Lorazepam (Ativan) 1 mg 1-3x sehari untuk 2 minggu. Iritabilitas pasien
mungkin meningkat dengan penggunaan teratur Benzodiazepin dan iritabilitas
ini merupakan satu resiko untuk bunuh diri, maka Benzodiazepin harus
digunakan secara hati-hati pada pasien yang bersikap keras dan bermusuhan.
Hanya sejumlah kecil dari medikasi itu harus disediakan, dan pasien harus
diikuti dalam beberapa hari.
Antidepresiva merupakan terapi yang pasti bagi semua pasien yang
menampilkan diri dengan gagasan bunuh diri, tetapi tidak biasanya untuk
mulai memberikan antidepresiva di UGD. Bila diberi resep, harus diadakan
perjanjian untuk pemeriksaan lanjutan, sebaiknya keesokan harinya.
Rujukan-Silang :
Putus alkohol, depresi, hospitalisasi, mutilasi-diri
STRATEGI PELAKSANAAN RESIKO BUNUH DIRI

A. Kondisi Klien
B. Diagnosa Keperawatan
Resiko Bunuh Diri
C. Tujuan
Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya
D. Tindakan Keperawatan
Tindakan yang dilakukan perawat saat melindungi pasien dengan risiko bunuh diri
meliputi :
1. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2. Perkenalkan diri dengan sopan
3. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
4. Jelaskan tujuan pertemuan
5. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
6. Perawat harus menemani pasien terus-menerus sampai pasien dapat
dipindahkan ke tempat yang lebih aman.
7. Perawat menjauhkan semua benda berbahaya (misalnya gnting, garpu, pisau,
silet, tali pinggang, dan gelas)
8. Perawat memastikan pasien telah meminum obatnya.
9. Perawat menjelaskan pada pasien bahwa saudara akan melindungi pasien
sampai tidak ada keinginan untuk bunuh diri.
E. Strategi Pelaksanaan
SP 1: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan bunuh diri
Melindungi pasien dari percobaan bunuh diri.
 ORIENTASI:
”Selamat pagi mbak, ini dengan mbak siapa?
“Senang dipanggil apa mbak?”
“Perkenalkan saya Annisa Dian, biasa di panggil Nisa, saya mahasiswa
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta yang mendapat tugas untuk
praktek di ruang ini, saya dinas pagi dari jam 08.00 – 14.00 .”
“Bagaimana kalau hari ini kita berbincang-bincang mengenai apa yang Dea
rasakan selama ini, saya siap mendengarkan sesuatu yang ingin Dea
sampaikan dan saya akan menjaga kerahasiaannya. Bagaimana kalau kita
lakukan disini saja Dea? Jam berapa kita dapat berbincang – bincang?
 KERJA
“Bagaimana perasaan Dea hari ini?
”Apa yang Dea rasakan setelah ini terjadi?
“Apakah dengan masalah ini Dea paling merasa menderita di dunia ini?
“Apakah Dea pernah kehilangan kepercayaan diri untuk mengahadapi hidup
ini?
“Apakah Dea merasa tidak berharga atau bahkan lebih rendah dari pada orang
lain?
“Apakah Dea merasa bersalah atau pernah mempersalahkan diri sendiri?
“Apakah Dea sering mengalami kesulitan berkonsentrasi?
“Apakah Dea berniat untuk menyakiti diri sendiri? Ingin bunuh diri atau
berharap bahwa Dea mati saja? Apakah Dea pernah mencoba bunuh diri?
Apa sebabnya, bagaimana caranya? Apa yang Dea rasakan setelah mencoba
melakukannya?”
“(Baiklah, tampaknya Dea membutuhkan pertolongan segera karena ada
keinginan untuk mengakhiri hidup. Saya perlu memeriksa seluruh isi kamar
Dea ini untuk memastikan tidak ada benda – benda yang membahayakan
Dea)”
”Karena Dea tampaknya masih memiliki keinginan yang kuat untuk
mengakhiri hidup maka saya tidak akan membiarkan Dea sendiri”
”Apa yang Dea lakukan jika keinginan bunuh diri muncul?”
”Ya, saya setuju dengan Dea, kalau keinginan itu muncul maka Dea harus
langsung minta bantuan kepada perawat di ruangan ini dan juga keluarga
atau teman yang sedang membesuk. Jadi Dea jangan sendirian ya, katakan
kepada teman, perawat, atau keluarga jika ada dorongan untuk mengakhiri
hidup.”
”Saya percaya Dea dapat mengatasi masalah ini.”
 TERMINASI :
“Bagaimana perasaan Dea setelah kita bincang – bincang ?
“Tadi kita sudah berdiskusi tentang cara mengatasi perasaan ingin bunuh diri,
coba sekarang Dea sebutkan cara tersebut ?
“Ya benar sekali Dea. Untuk pertemuan selanjutnya kita akan membicarakan
tentang meningkatkan harga diri ya Dea. Jam berapa Dea bersedia
berbincang-bincang seperti ini lagi? Mau dimana tempatnya Dea?”
“Baik kalau begitu saya permisi dulu ya Dea, Selamat pagi Dea.”
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Strategi Pelaksanaan Resiko Bunuh Diri. Diunduh pada tanggal 18
Maret 2015 dari alamat web:
http://ahlinyajiwa.blogspot.com/2013/02/strategi-pelaksanaan-resiko-bunuh-
diri.html
Captain, C. (2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly
easy, Volume 6(3).
Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC.
Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC Yosep, I. 2010.
Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai