sesuatu di sekeliling kita hanyalah semata-mata bayang-bayang alam ide (shadows of ideas).
Yang lain umpamanya Uskup Bakley (1684-1753) dan David Hume (1711-1776). Keduanya
menyatakan bahwa wujud ini semata-mata adalah pancaran keluar (externalization) dari
pada kesadaran (consciousness) manusia, dan yang hakiki hanyalah kesadaran manusia
tersebut. Sesuatu baru di sebut wujud bila manusia langsung melakukan persepsi, dengan
penglihatan, pendengaran atau perasaan. Jika manusia tidak mengadakan persepsi, praktis
segala-galanya menjadi tidak ada. Islam jelas-jelas menolak pandangan idealistis ini.
Islam lebih menentang lagi terhadap pandangan dunia materialistis. Pandangan
dunia ini beranggapan bahwa alam semesta berdasar dan berakar semata pada benda dan
materi. Bahwa apa yang disebut kesadaran adalah suatu kejadian dalam proses evolusi yang
terjadi pada sistem urat syaraf yang berkembang tinggi dalam dunia binatang yang maju
(manusia). Maka jika idealisme mengatakan bahwa jiwa adalah riil dan materi hanyalah
bayangan keluar, materialisme beranggapan materi adalah riil dan jiwa adalah suatu
kejadian atau penyertaan saja. Materi adalah penyebab pertama dan akhir dari semua
wujud, sebab materi itu belum pernah sama sekali tidak ada, jadi tidak mungkin diciptakan
dari ketiadaan dan akan terus ada atau abadi. Karenanya, paham materialisme mengingkari
adanya Pencipta atau atheis.
Islam menegaskan, bahwa dunia ini ada dengan sebenarnya (haq). Bahkan Al-
Qur’an mengkafirkan faham yang menganggap dunia ini hanya sekedar impian sebagaimana
difahamkan oleh falsafah idealisme. Allah telah menegaskan dengan kalimat yang
muhkamaat (sangat jelas) bagaimana sebenarnya seorang muslim mesti memandang dunia
ini serta bagaimana harus bersikap terhadapnya.
Dari kedua ayat tersebut di atas jelaslah, bahwa setiap muslim wajib
memandang dunia ini dengan sikap yang sangat positif. Maka penilaian Allah atas setiap
manusia pun berdasarkan kepada bagaimana dan sikap dan perilaku manusia yang
bersangkutan terhadap dunia ini. Jika manusia pandai bersyukur dengan beramal shalih,
maka ia akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika manusia berlaku kufur (tidak
bersyukur) dengan beramal tidak sesuai dengan sunnah Allah, maka ia akan merasakan
akibat kekufuran dan kesalahannya itu. Terhadap bagaimana pilihan manusia dalam
berinteraksi dengan dunia inilah, setiap manusia akan dinilai oleh Allah akhirnya nanti jika
mereka telah kembali kepada-Nya.
أ َ ْم نَجْ َع ُل،ار
ِ َّظ ُّن الَّذِينَ َكفَ ُروا فَ َو ْي ٌل ِللَّذِينَ َكفَ ُروا ِمنَ الن َ َاط اًل ذَلِكِ َض َو َما بَ ْينَ ُه َما ب َ س َما َء َو ْاْل َ ْر
َّ َو َما َخلَ ْقنَا ال
ِ ض أ َ ْم نَجْ عَ ُل ْال ُمتَّقِينَ َك ْالفُ َّج
ار ِ ت َك ْال ُم ْف ِسدِينَ فِي ْاْل َ ْر َّ ع ِملُوا ال
ِ صا ِل َحا َ الَّذِينَ َءا َمنُوا َو
Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa
hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-
orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang
berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang
bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma`siat? (QS. Shaad : 27-28)
Pendidikan Agama Islam |4
Maka untuk tegaknya keadilan, harus ada kehidupan baru di mana semua pihak akan
memperoleh secara adil dan sempurna hasil-hasil perbuatan yang didasarkan atas pilihannya
masing-masing. Itulah kehidudapan akhirat, puncak penetrapan keadilan Allah SWT.
عةَ َءاتِيَةٌ أ َ َكادُ أ ُ ْخ ِفي َها ِلتُجْ زَ ى ُك ُّل نَ ْف ٍس بِ َما ت َ ْسعَى َّ إِ َّن ال
َ سا
Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-
tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. (QS. Thaha : 15)
Al-Qur’an dalam menggambarkan kepastian hari akhir sungguh sangat logis,
setidaknya ini bisa kita temui pada firman-Nya.
filsafatnya, ia menyatakan bahwa jiwa adalah substansi murni, sederhana dan tidak terbagi-
bagi atau terpisah-pisah. Jiwa itulah yang menjadi tumpuan hidup manusia. Sesuatu yang
hidup tidak mungkin kembali kepada keadaan “tiada hidup”, sebagaimana yang “tiada
hidup” tidak mungkin menghidupkan yang mati. Tetapi jiwa dalam tahap peningkatan dan
pensuciannya bercampur dengan benda (materi), dan ia akan melepaskan diri dari materi –
setelah melalui tahap demi tahap untuk kembali kepada unsurnya semula, yaitu kebebasan
dan kejernihan.
Selain Plato, di anatara filosof zaman modern yang paling terkenal adalah Emanuel
Kant, ia berpendapat bahwa kekekalan jiwa berkaitan dengan “hukum etik” yang diyakini
kebenarannya oleh fitrah manusia. Yakni hukum yang menunjukkan adanya kehendak
Tuhan di atas kehendak manusia. Manusia difitrahkan untuk dapat memahami kewajiban,
dan untuk dapat memahami bahwa kewajiban itu adalah perbuatan baik untuk dijadikan
teladan, serta dapat dijadikan kaidah umum yang dituntut realisasinya. Kewajiban itu akan
dipertanyakan kelak pada kehidupan yang lain, sebab balasan yang adil masih belum
diterima dalam kehidupan sekarang ini.
Lantas hikmah apa yang akan diperoleh dari pembuktian kepastian hari akhir ini?
pertama, bahwa orang yang memahaminya kemudian meyakini akan ada
pertanggunganjawaban atas segala perbuatan di dunia, berikut balasan baik yang dijanjikan
bagi tiap amal kebajikan dan balasan buruk terhadap semua amalan maksiat, mendorong
orang tersebut untuk memperbanyak amal kebaikan dan menjauhkan perbuatan buruk.
Kedua, berkaitan dengan psikologi manusia yang cenderung materialis, sombong dengan
kehidupan dunia dan senang mengumpulkan harta, atau berpandangan bahwa kebahagiaan
hanya didapat melalui materi, akan memperioritaskan usahanya pada amal-amal utama
yang berpengaruh pada kebahagiaannya diakhirat kelak.
dikotomis. Lantas bagaimana dengan pernyataan bahwa syariat Islam mengikat keduanya,
mewujudkan kesempurnaan bagi keduanya?
Pembedaan ini tidak berarti masing-masing berdiri sendiri atau tak ada kaitannya
sedikitpun. Hal ini bersesuaian dengan tujuan kehadiran manusia di bumi, yang mengemban
tugas-tugas kekhalifahan sekaligus tugas-tugas hamba. Kedua tugas ini secara logis
menuntut dua amal yang berbeda pula. Yang pertama bersangkut paut dengan manajerial
dunia dan yang kedua berkaitan dengan praktek-praktek ibadah. Pada konteks ini, tidak
semua manusia bisa melaksanakan kedua tugas itu secara baik, bahkan di antara manusia
malah terjerumus mengasiki tugas keduniawiaanya dan melupakan tugasnya sebagai hamba
atau malah sebaliknya. Jadi penggambaran dikotomis tersebut bersesuaian dengan kondisi
riil manusia. Syariat Islam pada tingkat lebih tinggi tetap menyatukan keterpisahan ini,
khusunya konsep ibadah yang tidak saja berupa ibadah mahdhah, tapi mencakup
mu’amalah atau disebut ibadah umum.
Bila kita amati kecenderungan hidup manusia, terdapat dua arah yang saling
berlawanan. Di satu pihak ada sekelompok orang yang hanya mengejar kenikmatan dunia
dengan tolok ukur pangan, sandang, papan dan kenikmatan seksual. Seluruh usahanya
diarahkan untuk mendapatkan keempat kenikmatan tersebut. Kita amati, betapa getolnya
orang untuk berusaha memperoleh harta sebesar-besarnya hanya untuk mengejar
kenikmatan duniawi tanpa tujuan suci dan cara yang halal. Korupsi dan manipulasi sebagai
bentuk pencaharian modern merupakan fenomena umum terjadi di mana-mana.
Di sisi lain, ada sekelomok orang yang berusaha menjauhi dunia. Seluruh hidupnya
diarahkan untuk mengejar kenikmatan akhirat. Mereka menahan lapar, hidup membujang,
mengenakan pakaian compang-camping dan tinggal di gubuk-gubuk reot. Mereka tinggalkan
keramaian, kemudian pergi menyepi ke gua-gua sempit. Mereka tinggalkan aktivitas
kemasyarakatan, kemudian bertapa menyembah Tuhan dengan meninggalkan manusia.
Syariat Islam dalam Al-Qur’an ditegakkan untuk mengikat dunia dan akhirat,
mewujudkan kesempurnaan bagi keduanya, menjadikan dunia sebagai ladang akhirat,
membahagiakan manusia dalam dua kehidupan sekaligus. Syariat tidak anti dunia, demikian
juga tidak anti kependetaan (asketisme). Islam memberikan bimbingan agar ummatnya
mengejar kenikmatan dunia juga akahirat. Ayat Al-Qur’an berikut memberikan bimbingan
yang jelas kepada dua arah tersebut.
dunia akhirat itu harus diperoleh dengan cara-cara yang suci. Selanjutnya, lebih jelas lagi
bisa dilihat dari hadis Nabi SAW.
manusia ini tidak terlepas dari konteks sosial, atau dengan kata lain kekhalifahan manusia
pada dasarnya diterapkan pada konteks individu dan sosial yang berporos pada Allah.
Seperti dalam firman-Nya :
علَ ْي ِه ُم ْ َض ِرب
َ ت َّ َب ِمن
ُ َّللاِ َو ٍ ضَ َاس َوبَا ُءوا ِبغ َّ َعلَ ْي ِه ُم الذِلَّةُ أَيْنَ َما ث ُ ِقفُوا ِإ ََّل ِب َح ْب ٍل ِمن
ِ ََّّللاِ َو َح ْب ٍل ِمنَ الن َ ت ْ َض ِرب
ُ
َص ْوا َو َكانُوا َي ْعتَدُونَ ع َ
ٍ َّللاِ َو َي ْقتُلُونَ ْاْل ْن ِبيَا َء ِبغَي ِْر َح
َ ق ذَلِكَ ِب َما َّ ت ِ ْال َم ْس َكنَة ذَلِكَ ِبأنَّ ُه ْم َكانُوا َي ْكفُ ُرونَ ِبآيَا
َ ُ
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali
mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena
mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar.
Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS. Ali Imran : 112)
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa kualitas kemanusiaan amat bergantung pada
kualitas dan intensifitas komunikasi dengan Allah SWT, melalui ibadah sekaligus kualitas
interaksi sosial melalaui mu’amalah yang dilakukan. Bila dua parameter kualifikasi (tugas
hamba dan khalifah) ini telah dicapai, maka akan terwujud manusia-manusia sebagaimana
dicita-citakan, yakni insan kamil (manusia sempurna).