Anda di halaman 1dari 9

Pendidikan Agama Islam |1

MANUSIA DAN KEHIDUPAN

A. KEHIDUPAN DUNIA-AKHIRAT PERSPEKTIF ISLAM


1. Kehidupan Dunia ; Pandangan Dunia Islam (World View)
Sebagian orang mungkin meragukan bahwa pertanyaan-pertanyaan asasi manusia
tentang diri, hidup dan dunia yang melingkupinya penting diungkapkan, atau berasumsi
bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan
problematika praktis hidup keseharian. Cobalah kita bayangkan seseorang meragukan
adanya Sang Pencipta, atau bahwa alam semesta ini –termasuk manusia- terjadi secara
kebetulan (by chance). “Kebetulan” berarti semua peristiwa alam tidak mempunyai sebab
yang dapat dimengerti dan tidak ada rencana tertentu yang melatari. Maka konsekwensi
logisnya, semua peristiwa penciptaan ini terjadi sama sekali tidak mempunyai tujuan
apapun, bahkan alam ini adalah alam yang buta dan tak berhukum (a blind anda lawless
world). Jika begitu, semua rumusan manusia itu, baik hukum keilmuan, hukum etik maupun
hukum politis ataupun hukum ekonomis, adalah merupakan pelanggaran atas hakikat
manusia dan hakikat alam semesta yang tanpa hukum. Karenanya, untuk hidup dengan baik,
manusia haruslah bisa melepaskan asumsi dan hipotesa tentang alam semesta yang
atheistis tersebut. Jika tidak, manusia tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari
kegelisahan eksistensialnya, demikian hukum-hukum yang mereka tetapkan buat kehidupan
mereka sendiri, akan berbentuk hukum rimba, hukum yang a moral. Semakin jelaslah bahwa
alam semesta ini beserta kehidupan di dalamnya diciptakan dan tentu dengan rencana-
rencana dan tujuan tertentu.
Kemudian, bagaimanakah kita umat Islam seyogianya memandang dunia ini?
Pengertian kita terhadap arti dunia sangat menentukan pandangan serta sikap kita terhadap
dunia ini. Ada yang mengatakan, bahwa dunia ini adalah ‘ibarat suatu jembatan yang mesti
kita lalui dalam perjalanan hidup kita menuju akhirat, karena mereka menganggap hakikat
hidup ini tiada lain melainkan suatu fase di dalam perjalanan menuju Tuhan. Kita berasal
dari-Nya dan kita sedang menuju kembali kepada-Nya. Lantas bagaimana sikap yang paling
tepat bagi kita dalam berinteraksi dengan dunia yang sedang kita lalui ini?
Orang yang jalan pikiran dan falsafah hidupnya hanyalah mementingkan “kekinian
dan kesinian”, dikatakan “orang yang mementingkan duniawi”, atau dalam bahasa Barat
biasanya dikatakan “secularist”, dan faham yang demikian dinamakan “sekularisme”, karena
“dunia” dalam bahasa Latin ialah “seculum”. “Sekularisme “ diartikan di dalam masyarakat
Barat sebagai faham yang menghendaki agar moralitas atau nilai budi pekerti tidak boleh
dilandasi nilai-nilai agama. Hal ini berasal dari kebencian para cendekiawan barat yang
sudah bosan dengan perkembangan agama Kristen (Katolik) di sana di masa lalu yang telah
menimbulkan permusuhan antara golongan gereja dan politisi yang keduanya telah sama-
sama curang, sehingga banyak meminta korban darah dan nyawa. Akhirnya mereka
menuntut agar dipisahkan antara masalah agama dan politik, maka lahirlah slogan
perjuangan: “Pemisahan gereja dari negara”, dan sebagai konsekuensi logis dari paham ini
ialah “Pemisahan masalah politik dari agama.”
Sebagian lain memandang alam semesta dan segala ujud ini merupakan sesuatu
yang maya, semu, tidak riil dan diragukan kebenarannya. Cara pandang ini dipelopori oleh
Plato, yang menyatakan bahwa wujud hakiki itu adalah wujud alam ide, sedang segala
Pendidikan Agama Islam |2

sesuatu di sekeliling kita hanyalah semata-mata bayang-bayang alam ide (shadows of ideas).
Yang lain umpamanya Uskup Bakley (1684-1753) dan David Hume (1711-1776). Keduanya
menyatakan bahwa wujud ini semata-mata adalah pancaran keluar (externalization) dari
pada kesadaran (consciousness) manusia, dan yang hakiki hanyalah kesadaran manusia
tersebut. Sesuatu baru di sebut wujud bila manusia langsung melakukan persepsi, dengan
penglihatan, pendengaran atau perasaan. Jika manusia tidak mengadakan persepsi, praktis
segala-galanya menjadi tidak ada. Islam jelas-jelas menolak pandangan idealistis ini.
Islam lebih menentang lagi terhadap pandangan dunia materialistis. Pandangan
dunia ini beranggapan bahwa alam semesta berdasar dan berakar semata pada benda dan
materi. Bahwa apa yang disebut kesadaran adalah suatu kejadian dalam proses evolusi yang
terjadi pada sistem urat syaraf yang berkembang tinggi dalam dunia binatang yang maju
(manusia). Maka jika idealisme mengatakan bahwa jiwa adalah riil dan materi hanyalah
bayangan keluar, materialisme beranggapan materi adalah riil dan jiwa adalah suatu
kejadian atau penyertaan saja. Materi adalah penyebab pertama dan akhir dari semua
wujud, sebab materi itu belum pernah sama sekali tidak ada, jadi tidak mungkin diciptakan
dari ketiadaan dan akan terus ada atau abadi. Karenanya, paham materialisme mengingkari
adanya Pencipta atau atheis.
Islam menegaskan, bahwa dunia ini ada dengan sebenarnya (haq). Bahkan Al-
Qur’an mengkafirkan faham yang menganggap dunia ini hanya sekedar impian sebagaimana
difahamkan oleh falsafah idealisme. Allah telah menegaskan dengan kalimat yang
muhkamaat (sangat jelas) bagaimana sebenarnya seorang muslim mesti memandang dunia
ini serta bagaimana harus bersikap terhadapnya.

‫ظ ُّن الَّذِينَ َكفَ ُروا فَ َو ْي ٌل ِللَّذِينَ َكفَ ُروا ِمنَ النَّار‬


َ َ‫اط اًل ذَلِك‬ َ ‫س َما َء َو ْاْل َ ْر‬
ِ َ‫ض َو َما بَ ْينَ ُه َما ب‬ َّ ‫َو َما َخلَ ْقنَا ال‬
“Tidak Kami jadikan langit dan bumi beserta segala sesuatu yang terletak diantara
keduanya berpura-pura (bathil), yang demikian itu hanyalah sangkaan orang-orang kafir,
maka celakalah orang-orang kafir itu kelak di dalam neraka.” (QS. Shaad : 27)
Manusia diciptakan Allah justru untuk memakmurkan dunia ini demi kepentingan
manusia sendiri.

ِ ‫ ُه َو أ َ ْنشَأ َ ُك ْم ِمنَ ْاْل َ ْر‬...


... ٌ‫ض َوا ْست َ ْع َم َر ُك ْم فِي َها فَا ْست َ ْغ ِف ُروهُ ث ُ َّم تُوبُوا ِإلَ ْي ِه إِ َّن َر ِبي قَ ِريبٌ ُم ِجيب‬
…”Dia telah menjadikan kamu dari pada bumi agar kamu memakmurkannya”…. (QS. Hud :
61)
Ayat ini tegas menyatakan, bahwa tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini
ialah agar manusia memakmurkan kehidupan ini. Kemakmuran ini tiada lain demi
kepentingan manusia sendiri. Sedang ayat berikut ini menegaskan lagi, bahwa Allah
menciptakan segala sesuatu di alam ini untuk melayani kepentingan manusia, karena kata
“sakhara” itu berarti “melayani atau memudahkan atau untuk diperalat/diperhambakan”.
Manusia diharamkan Allah merendahkan diri terhadap alam raya ini, sebab dengan
merendahkan diri itu manusia telah melecehkan rencana dan ketentuan Allah yang telah
memuliakan dan melebihkan manusia terhadap semua makhluq-Nya yang lain.

َ‫ت ِلقَ ْو ٍم يَتَفَ َّك ُرون‬ ِ ‫ت َو َما فِي ْاْل َ ْر‬


ٍ ‫ض َج ِميعاا ِم ْنهُ إِ َّن فِي ذَلِكَ ََل َيا‬ َّ ‫س َّخ َر لَ ُك ْم َما فِي ال‬
ِ ‫س َم َوا‬ َ ‫َو‬
“Dan Dia telah menyediakan untuk melayani kamu segala sesuatu yang ada di langit dan
yang ada di bumi seluruhnya dari-Nya, sesungguhnya dalam hal ini terdapat beberapa
tanda bagi kaum yang mau berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah : 13)
Pendidikan Agama Islam |3

Dari kedua ayat tersebut di atas jelaslah, bahwa setiap muslim wajib
memandang dunia ini dengan sikap yang sangat positif. Maka penilaian Allah atas setiap
manusia pun berdasarkan kepada bagaimana dan sikap dan perilaku manusia yang
bersangkutan terhadap dunia ini. Jika manusia pandai bersyukur dengan beramal shalih,
maka ia akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika manusia berlaku kufur (tidak
bersyukur) dengan beramal tidak sesuai dengan sunnah Allah, maka ia akan merasakan
akibat kekufuran dan kesalahannya itu. Terhadap bagaimana pilihan manusia dalam
berinteraksi dengan dunia inilah, setiap manusia akan dinilai oleh Allah akhirnya nanti jika
mereka telah kembali kepada-Nya.

َ َ ‫صا ِل احا فَ ِلنَ ْف ِس ِه َو َم ْن أ‬


َ‫سا َء فَ َعلَ ْي َها ث ُ َّم ِإلَى َر ِب ُك ْم ت ُ ْر َجعُون‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫ع ِم َل‬
“Barang siapa melakukan karya yang shalih, maka hasilnya untuk mereka sendiri, dan
barang siapa yang berlaku salah akan dirasakan mereka sendiri akibatnya, akhirnya mereka
akan kembali kepada Tuhan mereka” (QS. Al-Jatsiyah : 15).
2. Kehidupan Akhirat
Dunia merupakan suatu jembatan yang mesti kita lalui dalam perjalanan hidup kita
menuju akhirat, karena hakikat hidup ini tiada lain melainkan suatu fase di dalam perjalanan
menuju Tuhan. Kita berasal dari-Nya dan kita sedang menuju kembali kepada-Nya. Demikian
sebagian orang memandang kehidupan dunia. Bagi Islam, memang kehidupan tidak berakhir
di dunia, tapi masih ada kehidupan lain yang bahkan digambarkan sebagai kehidupan abadi,
ialah kehidupan akhirat.
Akhirat adalah kemestian yang akan dialami manusia. Hal ini bisa dibuktikan secara
akal sekaligus naql (tekstual). Bukankah makhluk termulia adalah makhluk yang berjiwa?
Bukankah yang termulia dari mereka adalah yang memiliki kehendak dan kebebasan
memilih? Kemudian, bukankah yang termulia dari kelompok ini adalah yang mampu melihat
jauh ke depan, serta mempertimbangkan dampak kehendak dan pilihan-pilihannya.
Sudahkah semua manusia melihat dan merasakan akibat perbuatan-perbuatannya yang
didasarkan pada kehendak dan pilihannya itu? Sudahkah yang berbuat jahat menerima nista
kejahatannya? Jelas tidak, atau belum, bahkan alangkah banyaknya manusia-manusia baik
dihukum-dinistakan didunia, dan alangkah banyak pula orang-orang jahat yang senantiasa
merasakan kenikmatan. Allah maha adil dan bijaksana, tidak akan menganiaya ataupun
merugikan seseorang, tidak akan meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Allah tidak
akan menyamakan kedudukan orang yang berbakti dan taat dengan orang kafir dan
durhaka, antar orang mukmin dan orang musyrik.

‫ أ َ ْم نَجْ َع ُل‬،‫ار‬
ِ َّ‫ظ ُّن الَّذِينَ َكفَ ُروا فَ َو ْي ٌل ِللَّذِينَ َكفَ ُروا ِمنَ الن‬ َ َ‫اط اًل ذَلِك‬ِ َ‫ض َو َما بَ ْينَ ُه َما ب‬ َ ‫س َما َء َو ْاْل َ ْر‬
َّ ‫َو َما َخلَ ْقنَا ال‬
ِ ‫ض أ َ ْم نَجْ عَ ُل ْال ُمتَّقِينَ َك ْالفُ َّج‬
‫ار‬ ِ ‫ت َك ْال ُم ْف ِسدِينَ فِي ْاْل َ ْر‬ َّ ‫ع ِملُوا ال‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫الَّذِينَ َءا َمنُوا َو‬
Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa
hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-
orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang
berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang
bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma`siat? (QS. Shaad : 27-28)
Pendidikan Agama Islam |4

Maka untuk tegaknya keadilan, harus ada kehidupan baru di mana semua pihak akan
memperoleh secara adil dan sempurna hasil-hasil perbuatan yang didasarkan atas pilihannya
masing-masing. Itulah kehidudapan akhirat, puncak penetrapan keadilan Allah SWT.

‫عةَ َءاتِيَةٌ أ َ َكادُ أ ُ ْخ ِفي َها ِلتُجْ زَ ى ُك ُّل نَ ْف ٍس بِ َما ت َ ْسعَى‬ َّ ‫إِ َّن ال‬
َ ‫سا‬
Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-
tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. (QS. Thaha : 15)
Al-Qur’an dalam menggambarkan kepastian hari akhir sungguh sangat logis,
setidaknya ini bisa kita temui pada firman-Nya.

‫ أ َ ْو خ َْلقاا ِم َّما يَ ْكب ُُر ِفي‬،‫ارة ا أ َ ْو َحدِيداا‬


َ ‫ قُ ْل ُكونُوا ِح َج‬،‫ظا اما َو ُرفَاتاا أَئِنَّا لَ َم ْبعُوثُونَ خ َْلقاا َجدِيداا‬ َ ‫َوقَالُوا أَئِذَا ُكنَّا ِع‬
‫س ُه ْم َو َيقُولُونَ َمت َى ُه َو قُ ْل‬ َ َ‫ط َر ُك ْم أ َ َّو َل َم َّر ٍة ف‬
َ ‫سيُ ْن ِغضُونَ ِإلَيْكَ ُر ُءو‬ َ َ‫س َيقُولُونَ َم ْن يُ ِعيدُنَا قُ ِل الَّذِي ف‬َ َ‫ُور ُك ْم ف‬
ِ ‫صد‬
ُ
َ
‫سى أ ْن يَ ُكونَ قَ ِريباا‬ َ ‫ع‬َ
Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda
yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang
baru?" Katakanlah: "Jadilah kamu sekalian batu atau besi, atau suatu makhluk dari makhluk
yang tidak mungkin (hidup) menurut pikiranmu". Maka mereka akan bertanya: "Siapa yang
akan menghidupkan kami kembali?" Katakanlah: "Yang telah menciptakan kamu pada kali
yang pertama". Lalu mereka akan menggeleng-gelengkan kepala mereka kepadamu dan
berkata, "Kapan itu (akan terjadi)?" Katakanlah: "Mudah-mudahan waktu berbangkit itu
dekat" (QS. Al-Israa : 49-51)
Pada ayat ini, Al-Qur’an mengajak para pengingkar kemestian hari akhir berdialog
melibatkan diri dalam menemukan keyakinan adanya hari akhir. Menanggapi pertanyaan
mereka, Al-Qur’an tidak menjawab “ya” atau “tidak”. Tetapi diajukan kepadanya problem
baru yang belum pernah ia pikirkan, yaitu pernyataan yang diperintahkan kepada Nabi SAW
untuk disampaikan seperti disebutkan di atas. Seakan-akan penggalan ayat di atas berkata :
“Bagaimana seandainya setelah kematian nanti kalian bukan menjadi tulang belulang yang
pernah mengalami hidup, tetapi batu-batu atau besi-besi atau makhluk apa saja yang sama
sekali belum pernah mengalami hidup dan seperti kata kalian lebih mustahil untuk
dihidupkan?” pada saat itu Al-Qur’an mengajak akal mereka mengajukan pertanyaan yang
mereka ajukan semula, “Siapakah yang menghidupkan itu semua kembali?” Jawabannya
adalah, “Dia yang pertama kali mewujudkannya sebelum tadinya ia tiada.” Bukankah
mewujudkan sesuatu yang pernah mengalami hidup lebih mudah dari pada mewujudkan
sesuatu yang belum pernah berwujud sama sekali.
Jika kita baca seluruh ayat Al-Qur’an, akan banyak sekali kita temui penegasan dan
pembuktian logis tentang kepastian hari akhir senada ayat di atas, terutama mengenai
pembalasan amal di dunia, baik maupun buruknya. Hal ini menunjukkan kesungguhan
pernyataan Al-Qur’an bahwa hari akhir itu nyata, senyata dunia yang kita hidup di
dalamnya, bahwa kebangkitan itu nyata, pembalasan itu nyata, surga dan nereka itu nyata.
Cara pandang Islam terhadap dunia dan kehidupan sebagai sesuatu yang riil, tidak maya
ataupun semu, menuntut adanya alam lain yang tidak bisa tidak juga –minimal- harus
senyata dunia untuk bisa mengadakan pembalasan amal manusia. Maka akhirat pastilah
terjadi dan manusia pasti mengalaminya.
Para pembela akal dari kalangan filosof pun tidak mengingkari kepastian hari akhir
ini. Di antara para filosof terdahulu mempercayai kehidupan lain adalah Plato. Dalam
Pendidikan Agama Islam |5

filsafatnya, ia menyatakan bahwa jiwa adalah substansi murni, sederhana dan tidak terbagi-
bagi atau terpisah-pisah. Jiwa itulah yang menjadi tumpuan hidup manusia. Sesuatu yang
hidup tidak mungkin kembali kepada keadaan “tiada hidup”, sebagaimana yang “tiada
hidup” tidak mungkin menghidupkan yang mati. Tetapi jiwa dalam tahap peningkatan dan
pensuciannya bercampur dengan benda (materi), dan ia akan melepaskan diri dari materi –
setelah melalui tahap demi tahap untuk kembali kepada unsurnya semula, yaitu kebebasan
dan kejernihan.
Selain Plato, di anatara filosof zaman modern yang paling terkenal adalah Emanuel
Kant, ia berpendapat bahwa kekekalan jiwa berkaitan dengan “hukum etik” yang diyakini
kebenarannya oleh fitrah manusia. Yakni hukum yang menunjukkan adanya kehendak
Tuhan di atas kehendak manusia. Manusia difitrahkan untuk dapat memahami kewajiban,
dan untuk dapat memahami bahwa kewajiban itu adalah perbuatan baik untuk dijadikan
teladan, serta dapat dijadikan kaidah umum yang dituntut realisasinya. Kewajiban itu akan
dipertanyakan kelak pada kehidupan yang lain, sebab balasan yang adil masih belum
diterima dalam kehidupan sekarang ini.
Lantas hikmah apa yang akan diperoleh dari pembuktian kepastian hari akhir ini?
pertama, bahwa orang yang memahaminya kemudian meyakini akan ada
pertanggunganjawaban atas segala perbuatan di dunia, berikut balasan baik yang dijanjikan
bagi tiap amal kebajikan dan balasan buruk terhadap semua amalan maksiat, mendorong
orang tersebut untuk memperbanyak amal kebaikan dan menjauhkan perbuatan buruk.
Kedua, berkaitan dengan psikologi manusia yang cenderung materialis, sombong dengan
kehidupan dunia dan senang mengumpulkan harta, atau berpandangan bahwa kebahagiaan
hanya didapat melalui materi, akan memperioritaskan usahanya pada amal-amal utama
yang berpengaruh pada kebahagiaannya diakhirat kelak.

ِ ‫ َك ًَّل لَ ْو ت َ ْعلَ ُمونَ ِع ْل َم ْال َي ِق‬، َ‫ف ت َ ْعلَ ُمون‬


،‫ين‬ َ ‫ ث ُ َّم َك ًَّل‬،‫ف ت َ ْعلَ ُمون‬
َ ‫س ْو‬ َ ‫س ْو‬َ ‫ َك ًَّل‬،‫ َحتَّى ُز ْرت ُ ُم ْال َمقَا ِب َر‬،‫أ َ ْل َها ُك ُم الت َّ َكاث ُ ُر‬
ِ ‫عيْنَ ْاليَ ِق‬
َ ‫ ث ُ َّم لَتُسْأَلُ َّن يَ ْو َمئِ ٍذ‬،‫ين‬
‫ع ِن النَّ ِع ِيم‬ َ ‫لَت ََر ُو َّن ْال َج ِح‬
َ ‫ ث ُ َّم لَت ََر ُونَّ َها‬،‫يم‬
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah
begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan
pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan
sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin, kemudian kamu
pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di
dunia itu). (QS. At-Takatsur : 1-8)
Ketiga, bahwa kehidupan dunia haruslah seimbang dengan kehidupan akhirat, amal
yang dilakukan untuk dunia berkaitan dengan tugas-tugas kekhalifahan haruslah berbanding
lurus dengan amal yang berkaitan dengan tugas sebagai hamba.
3. Keseimbangan Hidup Dunia-Akhirat
Dalam penggambaran banyak ayat ataupun hadis tentang kehidupan dunia dan
akhirat, mengesankan seakan keduanya berdiri terpisah. Setidaknya ini bisa kita lihat pada
ayat 77 surat Al-Qashash, yang menyeru manusia menggapai keseimbangan dunia akhirat,
demikian pada hadis Nabi SAW yang mengajak beramal untuk dunia seakan hidup
selamanya, untuk akhirat seakan mati besok. Pada ayat atau hadis tersebut, secara tersirat
antara amal yang harus dilakukan untuk dunia dan amal untuk akhirat dibedakan secara
Pendidikan Agama Islam |6

dikotomis. Lantas bagaimana dengan pernyataan bahwa syariat Islam mengikat keduanya,
mewujudkan kesempurnaan bagi keduanya?
Pembedaan ini tidak berarti masing-masing berdiri sendiri atau tak ada kaitannya
sedikitpun. Hal ini bersesuaian dengan tujuan kehadiran manusia di bumi, yang mengemban
tugas-tugas kekhalifahan sekaligus tugas-tugas hamba. Kedua tugas ini secara logis
menuntut dua amal yang berbeda pula. Yang pertama bersangkut paut dengan manajerial
dunia dan yang kedua berkaitan dengan praktek-praktek ibadah. Pada konteks ini, tidak
semua manusia bisa melaksanakan kedua tugas itu secara baik, bahkan di antara manusia
malah terjerumus mengasiki tugas keduniawiaanya dan melupakan tugasnya sebagai hamba
atau malah sebaliknya. Jadi penggambaran dikotomis tersebut bersesuaian dengan kondisi
riil manusia. Syariat Islam pada tingkat lebih tinggi tetap menyatukan keterpisahan ini,
khusunya konsep ibadah yang tidak saja berupa ibadah mahdhah, tapi mencakup
mu’amalah atau disebut ibadah umum.
Bila kita amati kecenderungan hidup manusia, terdapat dua arah yang saling
berlawanan. Di satu pihak ada sekelompok orang yang hanya mengejar kenikmatan dunia
dengan tolok ukur pangan, sandang, papan dan kenikmatan seksual. Seluruh usahanya
diarahkan untuk mendapatkan keempat kenikmatan tersebut. Kita amati, betapa getolnya
orang untuk berusaha memperoleh harta sebesar-besarnya hanya untuk mengejar
kenikmatan duniawi tanpa tujuan suci dan cara yang halal. Korupsi dan manipulasi sebagai
bentuk pencaharian modern merupakan fenomena umum terjadi di mana-mana.
Di sisi lain, ada sekelomok orang yang berusaha menjauhi dunia. Seluruh hidupnya
diarahkan untuk mengejar kenikmatan akhirat. Mereka menahan lapar, hidup membujang,
mengenakan pakaian compang-camping dan tinggal di gubuk-gubuk reot. Mereka tinggalkan
keramaian, kemudian pergi menyepi ke gua-gua sempit. Mereka tinggalkan aktivitas
kemasyarakatan, kemudian bertapa menyembah Tuhan dengan meninggalkan manusia.
Syariat Islam dalam Al-Qur’an ditegakkan untuk mengikat dunia dan akhirat,
mewujudkan kesempurnaan bagi keduanya, menjadikan dunia sebagai ladang akhirat,
membahagiakan manusia dalam dua kehidupan sekaligus. Syariat tidak anti dunia, demikian
juga tidak anti kependetaan (asketisme). Islam memberikan bimbingan agar ummatnya
mengejar kenikmatan dunia juga akahirat. Ayat Al-Qur’an berikut memberikan bimbingan
yang jelas kepada dua arah tersebut.

َ َ‫َّللاُ ِإلَيْكَ َو ََل تَبْغِ ْالف‬


‫سادَ ِفي‬ َ ْ‫َصي َبكَ ِمنَ الدُّ ْن َيا َوأَحْ س ِْن َك َما أَح‬
َّ َ‫سن‬ َ ‫َّار ْاَل ِخ َرة َ َو ََل ت َ ْن‬
ِ ‫سن‬ َّ َ‫َوا ْبت َغِ ِفي َما َءاتَاك‬
َ ‫َّللاُ الد‬
َ‫َّللاَ ََل ي ُِحبُّ ْال ُم ْف ِسدِين‬
َّ ‫ض ِإ َّن‬ِ ‫ْاْل َ ْر‬
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashshash : 77)
Ayat ini menjelaskan bahwa ajaran islam mengajurkan manusia mengejar
kenikmatan dunia sekaligus kenikmatan akhirat. Keterpautan dunia-akhirat terungkap dari
firman-Nya “... berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi”Artinya, bahwa kenikmatan
Pendidikan Agama Islam |7

dunia akhirat itu harus diperoleh dengan cara-cara yang suci. Selanjutnya, lebih jelas lagi
bisa dilihat dari hadis Nabi SAW.

َ ُ‫ْش اَبَداا َوا ْع َم ْل َِل ِخ َرتِكَ َكأَنَّكَ ت َ ُم ْوت‬


‫غداا‬ ُ ‫إِ ْع َم ْل ِلدُ ْنيَاكَ َكأَنَّكَ ت َ ِعي‬
Bekerjalah untuk urusan duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah
untuk urusan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok.
Orang mukmin adalah mereka yang menyembah Tuhannya, bermunajat kepada
penciptanya di manapun, baik dilokasi kerja, perdagangan, pabrik, ladang, di tengah-tengah
kehidupan masyarakat, senantiasa mendekat kepada Allah dalam pergaulannya, akhlaknya
terhindar dari rakus dan tamak dan tetap menjaga kesalehan amal. Amal shaleh tidak
terbatas pada ibadat, seperti shalat, puasa, dzikir merenungkan alam semesta, tetapi
mencakup semua kebaikan di dunia dan semua yang baik bagi diri, keluarga dan
masyarakat. Namun demikian, Al-Qur’an tetap mengingatkan agar tidak menempatkan
dunia sebagai orientasi utama.
Beramal untuk dunia dan akhirat dalam terma syariat Islam, juga ada timbal balik
secara bersamaan. Balasan perbuatan terjadi di dunia juga di akhirat. Balasan itu adalah :
pahala dan siksa, kebahagiaan dan kesengsaraan, ketenangan dan kekisruhan. Demikianlah,
bahwa syariat Islam menghendaki kompromi antara kehidupan dunia dan akhirat, antara
amal untuk dunia dan amal untuk akhirat, itu semua demi kebahagiaan manusai, di dunia
maupun di akhirat kelak.

B. MISI, FUNGSI DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA


Manusia dalam kaitan tugas dan peranan hidupnya di dunia disebutkan Al-Qur’an
dengan istilah tugas kekahalifahan. Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang
kekuasaan. Manusia menjadi khalifah di bumi yang memegang mandat Tuhan untuk
mewujudkan kemakmuran. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif yang
memungkinkan manusia mengolah serta mendayagunakan segala yang ada untuk
kepentingannya. Sebagai wakil Tuhan, maka Tuhan mengajarkan kepada manusia
kebenaran-kebenaran dalam segala ciptaan-Nya, dan melalui pemahaman serta penguasaan
terhadap hukum-hukum kebenaran yang terkandung dalam ciptaan-Nya, maka manusia
dapat menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa-rekayasa membentuk wujud
baru dalam alam kebudayaan.
Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi aturan-aturan dan ketentuan-
ketantuan yang telah digariskan dari yang diwakilinya, yaitu hukum-hukum Tuhan, baik yang
tertulis dalam kitab suci maupun tersirat dalam kandungan alam semesta. Seorang wakil
yang melanggar batas ketentuan yang diwakilinya adalah wakil yang mengingkari
kedudukan dan peranannya serta menghianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena
itu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenanngannya itu di
hadapan yang diwakilinya. Firman Allah SWT:
‫ض فَ َم ْن َكفَ َر فَ َعلَ ْي ِه ُك ْف ُرهُ َو ََل َي ِزيدُ ْال َكافِ ِرينَ ُك ْف ُر ُه ْم ِع ْندَ َر ِب ِه ْم ِإ ََّل َم ْقتاا َو ََل‬
ِ ‫ف فِي ْاْل َ ْر‬ َ ِ‫ُه َو الَّذِي َج َعلَ ُك ْم خ ًََلئ‬
‫ارا‬‫س ا‬ َ ‫َي ِزيدُ ْال َكافِ ِرينَ ُك ْف ُر ُه ْم ِإ ََّل َخ‬
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir,
maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir
itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran
orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.
(QS. Fathir : 39)
Pendidikan Agama Islam |8

َ ‫س َوا اء َمحْ يَا ُه ْم َو َم َمات ُ ُه ْم‬


‫سا َء َما‬ َ ‫ت‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫ت أ َ ْن نَجْ عَلَ ُه ْم َكالَّذِينَ َءا َمنُوا َو‬
َّ ‫ع ِملُوا ال‬ َّ ‫ِب الَّذِينَ اجْ ت ََر ُحوا ال‬
ِ ‫سيِئ َا‬ َ ‫َحس‬
َ ْ َ
َ‫ت َو ُه ْم َل يُظل ُمون‬ ْ َ‫سب‬ ْ ُ ُ
َ ‫ق َو ِلتجْ زَ ى ك ُّل نَف ٍس بِ َما َك‬ ْ
ِ ‫ض بِال َح‬ َ ْ
َ ‫ت َواْل ْر‬ ِ ‫س َم َوا‬َّ ‫َّللاُ ال‬ َ
َّ َ‫ َو َخلق‬، َ‫يَحْ ُك ُمون‬
Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh,
yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka
sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar
dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.
(QS. Al-Jatsiyah : 21-22)
Disamping peran dan fungsi manusia sebagai khlaifah Allah, ia juga adalah hamba
Allah. Seorang hamba berarti orang yang taat dan patuh kepada perintah tuannya Allah
SWT. Esensi dari ’Abd adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan. Ketaantan, ketundukan
dan kepatuhan manusia itu hanya layak diberikan kepada Allah yang dicerminkan dalam
ketaatan, kepatuhan dan ketundukan kepada kebenaran dan keadilan.
Dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia menempati posisi sebagai
ciptaan, dan Tuhan sebagai pencipta. Posisi ini memiliki konsekwensi adanya keharusan
manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan
diri kepada Allah akan mengakibatkan ia menghamba kepada dirinya ; menghamba kepada
hawa nafsunya. Kesediaan manusia untuik menghamba hanya kepada Allah dengan
sepenuh hati akan mencegah penghambaan manusia terhadap manusia, baik dirinya
maupun sesamanya.
Mencapai tingkat ‘abd merupakan upaya perjuangan yang terus menerus, karena
manusia sendiri memiliki sifat-sifat yang di samping secara fitrah telah dibekali dengan
potensi cenderung ke arah kebaikan (perasaan agama), tetapi di pihak lain, karena dorongan
nafsu, potensi kejahatan (fujur) yang dimilikinya dapat berkembang dan menghambat
perjalanan kehanifannya. Hambatan itu timbul karena adanya ketidakseimbangan dalam
penggunaan potensi yang dimilikinya yang berkembang merugikan dirinya. Karena sifat-sifat
itulah derajat manusia meluncur jatuh ketingkat yang paling rendah, bahkan lebih rendah
dari binatang seperti firman-Nya :
َ ‫ ث ُ َّم َردَ ْدنَاهُ أ َ ْسفَ َل‬،‫س ِن ت َ ْق ِو ٍيم‬
َ‫سا ِفلِين‬ َ ْ‫سانَ ِفي أَح‬ ِ ْ ‫لَقَ ْد َخلَ ْقنَا‬
َ ‫اْل ْن‬
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), (QS. At-Tiin :
4-5)
Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai hamba Allah,
bukanlah dua hal yang bertentangan tetapi merupakan suatu kesatuan yang padu dan tak
terpisahkan. Kekhalifahan adalah realisasi dari pengabdiannya kepada Allah yang
menciptakannya. Dengan uraian ini, menjadi jelaslah bahwa manusia sebagai makhluk yang
memiliki fitrah kemudian berproses dengan menggunakan kapasitas dan kemampuan
akalnya, dapat menunjukkan derajat kemanusiannya yang sejati sebagai khalifah Allah di
muka bumi.
Manusia dapat memikirkan dan mencermati hukum-hukum alam ciptaan Allah yang
akan melahirkan ilmu pengetahuan untuk dipergunakan dalam rangka mengelola dan
memakmurkan alam secara kreatif, didasari dengan nilai-nilai ilahiyah. Sebagai basyar, ia
adalah hamba yang tunduk dan taat kepada kekuasaan dan kekuatan Allah. Dengan
demikian, manusia sebagai khalifah dan hamba Allah merupakan kesatuan yang
menyempurnakan nilai kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang memiliki kebebasan
berkreasi dan sekaligus menghadapkannya kepada tuntunan kodrat yang menempatkan
posisinya kepada keterbatasan.
Konsep basyar dan insan yang telah dijelaskan panjang lebar ini, merupakan konsep
Islam tentang manusia sebagai individu. Sedangkan dalam hubungan sosial, Al-Qur’an
memberi istilah an-nas, bentuk jamak dari katan insan. Perwujudan kualitas keinsanan
Pendidikan Agama Islam |9

manusia ini tidak terlepas dari konteks sosial, atau dengan kata lain kekhalifahan manusia
pada dasarnya diterapkan pada konteks individu dan sosial yang berporos pada Allah.
Seperti dalam firman-Nya :
‫علَ ْي ِه ُم‬ ْ َ‫ض ِرب‬
َ ‫ت‬ َّ َ‫ب ِمن‬
ُ ‫َّللاِ َو‬ ٍ ‫ض‬َ َ‫اس َوبَا ُءوا ِبغ‬ َّ َ‫علَ ْي ِه ُم الذِلَّةُ أَيْنَ َما ث ُ ِقفُوا ِإ ََّل ِب َح ْب ٍل ِمن‬
ِ َّ‫َّللاِ َو َح ْب ٍل ِمنَ الن‬ َ ‫ت‬ ْ َ‫ض ِرب‬
ُ
َ‫ص ْوا َو َكانُوا َي ْعتَدُون‬َ ‫ع‬ َ
ٍ ‫َّللاِ َو َي ْقتُلُونَ ْاْل ْن ِبيَا َء ِبغَي ِْر َح‬
َ ‫ق ذَلِكَ ِب َما‬ َّ ‫ت‬ ِ ‫ْال َم ْس َكنَة ذَلِكَ ِبأنَّ ُه ْم َكانُوا َي ْكفُ ُرونَ ِبآيَا‬
َ ُ
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali
mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena
mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar.
Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS. Ali Imran : 112)
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa kualitas kemanusiaan amat bergantung pada
kualitas dan intensifitas komunikasi dengan Allah SWT, melalui ibadah sekaligus kualitas
interaksi sosial melalaui mu’amalah yang dilakukan. Bila dua parameter kualifikasi (tugas
hamba dan khalifah) ini telah dicapai, maka akan terwujud manusia-manusia sebagaimana
dicita-citakan, yakni insan kamil (manusia sempurna).

Anda mungkin juga menyukai