Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, diantaranya
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovis,
Mycobacterium Leprae dan sebagainya. Dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa
menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other
Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan
TBC.

Penyebab tuberkulosis adalah bakteri yang menyebar di udara melalui semburan air liur
dari batuk atau bersin pengidap tuberculosis. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi melalui
orang yang telah mengidap tuberculosis kemudian batuk atau bersin menyemburkan air liur
yang telah terkontaminasi dan terhirup oleh orang sehat yang kekebalan tubuhnya lemah
terhadap penyakit tuberkulosis.

Bakteri Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Di


negara maju terdapat 10 sampai 20 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di benua Afrika
diperkirakan ada 165 kasus baru per 100.000 penduduk dan di Asia ada 110 per
100.000 penduduk (Setiarni, Sutumo & Hariyono, 2009). Tuberculosis merupakan salah satu
penyakit pembunuh massal di dunia. Badan kesehatan dunia (WHO) menyebutkan setidaknya
dua juta manusia meninggal tiap tahunnya karena tuberculosis paru, ada sekitar 95%
penderita tuberculosis paru berada di negara-negara berkembang (Widiyanto, 2009).

Badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2006 menyebutkan Indonesia menempati urutan
ketiga setelah Cina dan India sebagai penyumbang kasus TB dengan jumlah kasus baru
sekitar 539.000 dan kematian sekitar 101.000 pertahun (Depkes RI, 2007 dalam Media,
2011). Tahun 2009 WHO melaporkan Indonesia menempati urutan ke 5 dengan jumlah
penderita sebanyak 429 ribu orang (PPTI, 2013).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit tuberculosis, antara lain
kondisi sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, satus gizi dan kebiasaan merokok. Tidak semua
orang yang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis akan mengalami penyakit
tuberkulosis (TB). Salah satu faktor yang mempermudah infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis berkembang menjadi penyakit tuberculosis adalah kebiasaan merokok.

Kejadian kasus tuberculosis paru baru (Case Notifcation Rate/ CNR) tahun 2015 di
propinsi Aceh mencapai 4.023 kasus dan jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di
Kota Lhokseumawe dan Kab. Pidie. Angka notifikasi kasus BTA (+) tahun 2015 di propinsi
Aceh sebesar 80 per 100.000 penduduk sedangakn angka notifikasi dari seluruh kasus
tuberculosis paru mencapai 119 per 100.000 penduduk. Data Riskesdas tahun 2013
menunjukkan prevalensi penyakit TB paru di Provinsi Aceh ( berdasarkan diagnosis oleh
tenaga kesehatan) ratarata 1,6 %, prevalensi kejadian TB paru di Kab. Pidie termasuk lima
tertinggi yang diperkirakan 2,1%.

Di Aceh tercatat kasus Penderita penyakit Tuberculosis (TBC)  terhitung dari bulan


Januari hingga pertengahan Maret 2021, sebanyak 54 kasus, secara umum penderitanya
adalah laki-laki akibat merokok. Kepala Dinas Kesehatan Aceh, Amir Syarifuddin melalui
Kepala Bidang Pengendalian Dan Pencegahan Penyakit (P2p) Dokter Feriyanto
menyebutkan, terhitung Januari-maret 2021 terdapat 54 kasus. Sedangkan tahun 2019 
mencapai 901 kasus dan tahun 2020 mencapai  986 kasus, artinya mengalami peningkatan
sekitar 9,1%.

Kebiasaan merokok dapat mengganggu kesehatan, tidak dapat dipungkiri lagi banyak
penyakit yang terjadi akibat dari kebiasaan merokok. Menurut Aditama (2003, dalam
Purnamasari, 2010) kebiasaan merokok dapat menyebabkan rusaknya pertahanan paru serta
merusak mekanisme mucuciliary clearence, selain itu asap rokok juga akan meningkatkan
resistensi jalan nafas serta permeabilitas epitel paru dan merusak gerak sillia, makrofag
meningkatkan sintesis elastase dan menurunkan produksi antiprotease.

Asap rokok memicu stres oksidatif. Stres oksidatif meningkat pada perokok dan
antioksidan pada makrofag alveolar menurun. Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan
menyebabkan kerusakan jaringan paru perokok. Kerusakan jaringan dipicu oleh stres
oksidatif dan peningkatan ROS. Reactiv oxygen intermediet (ROI) perokok lebih tinggi
dibanding bukan perokok.
Menurut Girsang (2009 dalam Putra 2012) daya tahan tubuh yang lemah, virulensi dan
jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi
tuberculosis paru. Kebiasaan merokok terdiri dari jumlah rokok yang dihisap, lama merokok
dan jenis rokok yang dihisap (Firdaus, 2010).

Rokok pertama kalinya dikenal dunia sekitar abad ke-15 seiring perjalanan Colombus ke
benua Amerika. Merokok merupakan hal yang lazim dilakukan penduduk asli benua tersebut
yakni suku Indian (Husaini, 2006). Sebagian orang menganggap rokok merupakan makan
nasi ataupun minum kopi, hal ini dikarenakan merokok dapat mengenyangkan dan memenuhi
kebutuhan utama.

Secara umum rokok terbagi atas komponen gas atau asap dan komponen padat atau
partikel. Komponen gas yaitu karbonmonoksida (CO), asetaldehid, aseton, metanol, nitric-
oxide (NO), hidrogen sianida, akrolen, amoniak, benzen, formaldehid, nitrosamin,
vinilklorida, dan oksidan. Komponen padat atau partikel terdiri atas nikotin dan tar.
Komponen asap rokok seperti akrolein, asetaldehid, formaldehid, produk radikal bebas, dan
NO menyebabkan perubahan struktur saluran napas berupa inflamasi peribronkial, fibrosis
saluran napas, peningkatan permeabilitas mukosa, gangguan pengeluaran mukus, dan
gangguan pada epitel saluran napas. Pasien tuberkulosis mempunyai kapasitas antioksidan
yang rendah dan stres oksidatif yang tinggi.

Dari sebatang rokok terdapat 4000 jenis senyawa kimia yang umumnya bersifat
farmakologis, aktif, toksik, mutagenik dan karsinogenik. Departemen Kesehatan RI (2009),
menyatakan konsumsi rokok di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Tingginya
populasi dan konsumsi rokok menempatkan Indonesia berada di urutan ke-5 sebagai negara
dengan konsumsi tembakau tertinggi didunia setelah China, Amerika Serikat, Rusia dan
Jepang dengan perkiraan konsumsi 220 milyar batang pada tahun 2005 (Barus, 2012).

Menghisap rokok dalam jumlah yang banyak dapat memperparah penyakit tuberkulosis,
serta meningkatkan resiko kekambuhan dan kegagalan dalam pengobatan tuberkulosis
(Nawi, 2006 dalam Purnamasari 2010). Penelitian yang dilakukan Lin dan timnya dari
Harvard School of Public Health (2009), membuktikan ada hubungan antara kebiasaan
merokok, perokok pasif dan polusi udara dalam ruangan dari kayu bakar dan batu bara
terhadap risiko infeksi, penyakit, dan kematian akibat TB paru, dari 100 orang yang diteliti
33 orang diantaranya menderita TB paru akibat merokok tembakau.
Penelitian yang dilakukan Aditama (2009, dalam Zainul, 2009) juga menunjukkan
hubungan antara kebiasaan merokok dengan aktif tidaknya penyakit tuberculosis, serta faktor
resiko terjadinya tuberkulosis paru pada dewasa muda dan terdapat dose-response
relationship dengan jumlah rokok yang dihisap perharinya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiarni, Sutumo dan Hariyono (2009) juga didapat
ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru
pada orang dewasa dengan nilai (p=0,011). Hasil statistik juga didapat nilai RR=2,407 yang
berarti orang yang mempunyai kebiasaan merokok meningkatkan resiko terkena tuberkulosis
sebanyak 2,407 kali dibandingkan orang yang tidak merokok.

Penelitian yang dilakukan Wuaten (2010) juga membuktikan ada hubungan yang
bermakna antara jumlah rokok yang dihisap perhari dengan kejadian tuberkulosis paru. Jenis
rokok juga berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru. Rokok filter menyaring
sebagian tar tembakau dan mengurangi kandungan nikotin sebesar 25- 50%. Nikotin yang
terdapat pada rokok filter 8- 12 mg per batang sedangkan rokok non filter kandungan
nikotinnya 14-28 mg per batang. Dengan kandungan nikotin yang lebih besar serta tidak ada
penyaring maka risiko masuknya nikotin kedalam paru-paru pada rokok non filter lebih besar
(Caldwell, 2009 dalam Wuaten, 2010).

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai penyebeb infeksi
tuberculosis (TB paru) akibat faktor kebiasaan merokok di Puskesmas Kota Lhokseumawe
dan Kab. Pidie Provinsi Aceh.
1.2 Rumusan Masalah

Beberapa penelitian menemukan bahwa rokok berisiko menyebabkan penyakit


tuberculosis. Namun sampai saat ini belum ada penelitian terkait penyebab infeksi
tuberculosis yang disebabkan karena kebiasaan merokok di wilayah Puskesmas Kota
Lhokseumawe dan Kab. Pidie Provinsi Aceh. Sehingga, perlu dilakukan penelitian secara
khusus terkait rokok berisiko menyebebkan penyakit tuberculosis di Puskesmas Kota
Lhokseumawe dan Kab. Pidie Provinsi Aceh.

1.3 Tujuan Penlitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab infeksi tuberculosis ( TB paru)
akibat faktor kebiasaan merokok di Puskesmas Kota Lhokseumawe dan Kab. Pidie Provinsi
Aceh.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a.Mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan terkait penyebab infeksi tuberculosis

2. Manfaat Praktis

a.Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Kota Lhokseumawe dan Kab. Pidie
Provinsi Aceh dalam program pencegahan dan pengendalian Tuberculosis
b.Sebagai informasi bagi masyarakat untuk mengetahui dini penyebab kebiasaan
merokok beresiko terhadap terjadinya infeksi tuberculosis (TB paru) sehingga
dapat melaksanakan tindakan pencegahan dan pengendalian.
DAFTAR PUSTAKA

Girsang, 2009 dan Putra 2012. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB Paru
Wuaten , 2010. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB Paru dan

Jenis Rokok yang dihisap


Caldwell, 2009 dalam Wuaten, 2010. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB
Paru

Setiarni, Sutumo & Hariyono, 2009. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB
Paru

http://rspkuboyolali.co.id/2019/03/22/3058/

https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-tuberkulosis-
2018.pdf

https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28918/1/LAILA%20ROMLAH-
FKIK.pdf

Anda mungkin juga menyukai