Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keadaan gizi dan kesehatan masyarakat tergantung pada tingkat
konsumsi, Dewasa ini negara-negara berkembang menghadapi masalah
gizi ganda, yakni masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi
kurang umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan
pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan, dan
adanya daerah miskin gizi (iodium). Sebaliknya masalah gizi lebih
disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu yang
disertai dengan minimnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan
kesehatan. Dengan demikian, sebaiknya masyarakat meningkatkan
perhatian terhadap kesehatan guna mencegah terjadinya gizi salah
(malnutrisi) dan risiko untuk menjadi kurang gizi.
Program intervensi gizi mikro merupakan program-program yang
dilaksanakan untuk menanggulangi permasalahan gizi yang diakibatkan
karena kekurangan zat gizi mikro (kelompok vitamin dan mineral).
Sampai saat ini gizi mikro yang masih menjadi perhatian pemerintah
adalah anemia defesiensi besi, defesiensi Vitamin A dan gangguan akibat
kekurangan yodium/defisiensi yodium.

B. Rumusan Masalah
BAB I
PENDAHULUAN

A. Penanggulangan Anemia Defesiensi Besi


Anemia adalah suatu kondisi yang disebabkan karena jumlah dan
ukuran sel darah merah, atau konsentrasi hemoglobin (Hb), turun dibawah
nilai ambang batas yang ditetapkan, akibatnya mengganggu kapasitas
darah untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Anemia karena
kekurangan zat besi dapat mengurangi kesehatan dan kesejahteraan
individu, karena menyebabkan kelelahan dan kelesuhan, serta
mengganggu kapasitas fisik dan produktivitas kerja.
Kegagalan untuk menurunkan prevalensi anemia di seluruh dunia
menyebabkan jutaan wanita mengalami gangguan kesehatan dan kualitas
hidup, menyebabkan gangguan perkembangan dan prestasi belajar pada
anak sebagai generasi penerus, dan masyarakat serta negara-negara
mengalami gangguan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Anemia
pada ibu berhubungan dengan kematian dan kesakitan pada ibu dan bayi,
termasuk resiko keguguran, kelahiran mati, prematur dan berat badan lahir
rendah.
Baik secara global maupun nasional, penanggulangan anemia pada
wanita usia reproduksi merupakan program yang sangat penting
mengingat wanita/Ibu merupakan pusat siklus kehidupan. Sepanjang
kehamilan, anemia defisiensi besi berdampak buruk pada kesehatan ibu
dan janin, dan dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan kematian
janin. Ibu hamil yang terkena dampak anemia sering mengalami kesulitan
bernafas, pingsan, kelelahan, jantung berdebar dan sulit tidur. Ibu hamil
juga memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi perinatal preeklamsia dan
perdarahan. Ibu hamil juga memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi
perinatal, pre-eklampsia dan perdarahan.
Penurunan cadangan zat besi pada anak yang baru lahir, dapat
bertahan hingga 1 tahun dan mengakibatkan anemia defisiensi besi.
Keadaan demikian harus diindentifikasi dan ditangani segera, karena
kemungkinan adanya konsekuensi buruk dalam jangka panjang. Anemia
defisiensi besi menghasilkan perubahan metabolisme energi didalam otak
dengan defek fungsi neutro transmitter dan mielinisasi. Oleh karena itu,
bayi dan anak-anak dengan anemia defisiensi besi, berisiko mengalami
kesulitan perkembangan yang melibatkan fungsi kognitif, sosial-emosional
dan kemampuan adaptif. Pemberian ASI merupakan cara yang dapat
mencegah anemia pada bayi, tetapi menjadi kurang optimal jika Ibu juga
mengalami kekurangan zat besi. Telah diketahui bersama bahwa kadar zat
besi dalam ASI berkurang saat laktasi yang berlangsung dari waktu ke
waktu. Dengan demikian diperlukan pemantauan yang cermat dan
suplementasi yang memadai untuk bayi yang berisiko mengalami
defisiensi zat besi (Abu-Ouf & Jan, 2015).
Penanggulangan anemia merupakan salah satu program dari
Nutrition Global Target 2025 yang dicanangkan oleh WHO melalui
kegiatan World Health Assembly (WHA) tahun 2012, yakni menurunkan
50% anemia pada wanita usia reproduktif (WHO, 2014). Beberapa upaya
yang dapat dilakukan dalam program penanggulangan anemia adalah:
a. Meningkatkan identifikasi, pengukuran, dan pemahaman
anemia di kalangan wanita usia reproduksi dan meningkatkan
cakupan kegiatan pencegahan, pengendalian dan pengobatan.\
b. Menciptakan kemitraan antara pemerintah dan non-pemerintah
untuk komitmen keuangan dan lingkungan yang mendukung
untuk penerapan program gizi, serta kebijakan komprehensif
untuk pelaksanaan program gizi dengan memfasilitasi
pencegahan dan pengendalian anemia pada wanita usia
reproduksi.
c. Memastikan kebijakan dan program pembangunan di luar
sektor kesehatan mencakup perbaikan gizi serta penyebab
utama anemia lainnya yang relevan dengan konteks program
pemerintah, khususnya sektor pertanian dan pendidikan.
d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program dan
pengendalian anemia.
B. Penanggulangan Defisiensi Vitamin A
Kekurangan vitamin A adalah penyebab utama kebutaan pada anak
yang sebenarnya dapat dicegah. Selain itu, defisiensi vitamin A dapat
meningkatkan risiko kematian akibat penyakit infeksi yang menyerang
anak-anak, seperti diare. Suplementasi vitamin A dosis tinggi secara
berkala merupakan intervensi berbiaya rendah yang telah terbukti
mengurangi mortalitas sebesar 12-24%. Dengan demikian suplementasi
vitamin A merupakan program penting dalam mendukung upaya untuk
mengurangi angka kematian anak. WHO telah mengklasifikasikan
kekurangan vitamin A sebagai masalah kesehatan masyarakat, yang
berdampak pada sekitar sepertiga anak usia 6-59 bulan pada tahun 2013,
dengan tingkat tertinggi di Afrika sub-Sahara (48%) dan Asia Selatan
(44%). Karena suplementasi adalah intervensi kunci terhadap
kelangsungan hidup anak, maka terus dilakukan pembahasan berkaitan
dengan kemajuan pelaksanaan program khususnya berfokus pada
peningkatan cakupan intervensi. Terlepas dari potensi manfaatnya, hanya
62% dari anak-anak di seluruh belahan dunia yang ditargetkan tercapai
pada program suplementasi vitamin A tahun 2017 (UNICEF,2019)
Cakupan suplementasi vitamin A di Indonesia masuk kategori
cukup baik, dengan pencapaian 60-79%. Pelaksanaan program
suplementasi vitamin A di Indonesia saat ini, dilakukan pemerintah
melalui koordinasi Kemenkes RI, menggunakan pendekatan integratif,
yakni program yang melakukan pemberian kapsul vitamin A pada bayi
dan anak balita pada bulan Februari dan Agustus dan diintegrasikan
dengan pemberian obat cacing (Albendazole) dan crash program campak.
Yang dimaksud dengan crash program campak adalah upaya pemberian
imunisasi campak tambahan tanpa memandang status imunisasi
sebelumnya (Kemenkes RI, 2016).
C. Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
a. Spektrum dan eliminasi GAKY (IDD)
Istilah IDD di Indonesia lebih dikenal dengan gangguan akibat
kekurangan yodium (GAKY). Prevalensi GAKY lebih besar pada
populasi di daerah yang tanahnya miskin yodium, seperti di wilayah
lembah dan pegunungan. Lebih parah lagi, bila dalam makanannya
juga kurang yodium atau tidak ada penganekaragaman makanan yang
mengandung yodium (Lamfon, 2008). Kekurangan yodium yang
terjadi secara kronis akan sangat nyata mengubah metabolisme tiroid
dan berdampak pada seluruh organ tubuh, termasuk memicu goiter
(Zimmerann & Delange, 2004). Istilah IDD dipilih dengan beberapa
alasan, diantaranya adalah luasnya dampak yang ditimbulkan oleh
defisiensi yodium, terhadap populasi sebagai impact on humanity,
yang menimpa semua kelompok umur tanpa kecuali. Selain itu, IDD
dapat mengancam dan membahayakan manusia, dalam jumlah yang
lebih besar dibandingkan dengan bencana alam yang berdampak dan
sangat pasif.
Lebih lanjut, secara lebih spesifik dampak yang ditimbulkan oleh
IDD sangat luas mencakup semua golongan umur, yaitu:
1. Janin: abortus, lahir mati, cacat bawaan, kematian perinatal,
kematian bayi, kretin neurogical, dan atau myxoedematus.
2. Neonatal: goiter, hipotiroidisme, penurunan IQ, rentan terhadap
radiasi.
3. Anak dan remaja: goiter, hipotiroidisme, gangguan fungsi
mental, pertumbuhan terhambat, rentan terhadap radiasi.
4. Dewasa: goiter dengan berbagai komplikasi, hipotiroidisme,
gangguan fungsi mental, IIH dan rentan terhadap radiasi
(Verma & Raghuvanshi, 2001; Hetzel, 2005; Zimmermann,
2009).
b. Metabolisme yodium
Yodium memasuki tubuh melalui makanan atau air dalam bentuk
ion iodida atau yodat. Di dalam lambung, ion iodat diubah menjadi
iodida. Penyerapan iodida dalam lambung dan usus berlangsung cepat
dan sempurna, dan pada orang dewasa yang sehat, penyerapan iodida
ini mencapai 90% (Zimmermann, 2009). Setelah yodida diserap,
kelenjar tiroid berfungsi untuk memekatkan, menangkap iodida dan
mensintesis serta menyimpan hormon tiroid dalam tiroglobulin.
Asupan yodium yang dianjurkan per hari adalah 150 µg. Apabila
asupan dibawah 50 µg/hari, maka kelenjar ini tidak mampu
mempertahankan sekresi hormon yang adekuat, sehingga timbul
hipertrofi tiroid (goiter) dan hipotiroid. Sumber-sumber yodium
diantaranya bahan makanan yang berasal dari laut, garam beryodium
dan preparat vitamin. Sumber yodium yang berasal dari luar makanan,
misalnya obat yang mengandung yodium, dan media kontras
beriodium. Yodium, seperti klorida, diabsorbsi dengan cepat dari
saluran gastrointestinal dan didistribusikan dalam cairan ekstraseluler
demikian juga dalam sekresi kelenjar liur, lambung, dan ASI
(Zimmerman, 2009).
c. Pengukuran defisiensi yodium
Indikator terbaik atau accurate marker, yang telah baku sebagai
gold standard dari defisiensi atau akses yodium, adalah dengan
pemeriksaan kadar yodium dalam urin (Zimmermann, 2009; Ara et al.,
2010). Hal tersebut didasarkan pada berbagai alasan, bahwa karena
sebagian yodium yang tertelan diekskresikan dalam urin, sehingga
pengukuran ekskresi yodium urin memberikan perkiraan yang akurat
dari asupan yodium yang berasal dari makanan. Meskipun hanya bisa
memberikan sedikit informasi yang berguna tentang status yodium
dalam jangka panjang, pada tingkat individu, berbagai studi kohor
menyimpulkan bahwa penggunaan EYU, memberikan indeks yang
berguna, untuk menentukan endemisitas defisiensi yodium di suatu
wilayah.
Metode yang digunakan untuk mengukur EYU, secara umum
didasarkan pada adanya konversi dari beberapa komponen yodium
organik menjadi yodium anorganik dan menyingkirkan substansi
perancu seperti tiosianat, yang dapat mengganggu pengukuran
kolorimetri dari yodium anorganik. Selain EYU, pengukuran lainnya
sebagai tambahan melakukan justifikasi defisiensi yodium jangka
panjang adalah melalui palpasi goiter, dengan tujuan mengetahui
adanya pembesaran kelenjar tiroid (Zimmermann, 2009).
Pembesaran kelenjar tiroid atau goiter merupakan manifestasi
klinis, yang diakibatkan baik oleh kondisi defisiensi yodium maupun
akses yodium, karena berdasarkan beberapa hasil penelitian, goiter
ditemukan berhubungan erat pada kondisi defisiensi dan akses yodium
(Ara et al., 2010). Ada dua metode yang dapat digunakan untuk
mengetahui pembesaran kelenjar tiroid, yakni dengan palpasi dan
dengan ultrasonografi (USG).

Anda mungkin juga menyukai