Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Insulin

Insulin merupakan salah satu obat untuk terapi kronis diabetes

mellitus tipe 1 dan 2 umumnya diberikan melalui injeksi subkutan. Upaya

yang besar telah dilakukan untuk meniru sekresi insulin fisiologis agar

dapat mengontrol glikemia dan akhirnya dapat meminimalkan resiko

komplikasi diabetes. Tetapi, sifat-sifat farmakokinetika (misalnya proses

absorbsi dan daerah pemberian) dari berbagai preparat insulin yang

diberikan melalui injeksi subkutan bolus menjadi mustahil untuk mencapai

pola normal insulin terkait sekresi insulin basal (Sintov, Amnon C., 2010).

1. Sifat fisiko kimia insulin

Insulin adalah suatu hormon yang merupakan golongan protein yang

dihasilkan oleh pankreas. Pembuatan insulin adalah dengan cara teknologi

rekombinan terhadap asam deoksi ribonukleat (DNA) atau modifikasi enzimatis

dalam mikroorganisme, dilanjutkan dengan pemurnian yang sesuai. Insulin yang

dibuat melalui teknologi rekombinan DNA, didasarkan pada pemanfaatan sistem

vektor inang yang sesuai (Istiyani, K., 2008).

Rumus molekul insulin manusia adalah C257 H383 N65 O77 S6. Pemerian

serbuk insulin adalah putih atau hampir putih. Serbuk insulin kurang larut dalam
2

air, dan praktis tidak larut etanol, kloroform dan eter, larut dalam larutan encer

asam-asam mineral, dan dalam larutan alkali hidroksida yang diikuti dengan

peruraian. Serapan cahaya larutan 0,05% dalam asam klorida 0,01 N maksimal

pada 276 nm dan serapan 0,48 sampai 0,56. Insulin disimpan dalam wadah kedap

udara, terlindung dari cahaya (Istiyani, K., 2008). Sedangkan insulin Lispro

(Humalog®) yang digunakan dalan penelitian ini merupakan larutan insulin

dengan pemerian tidak berwarna, jernih, dan steril. Insulin Humalog ® merupakan

insulin terlarut dalam pembawa air dengan penambahan beberapa bahan penstabil.

Berat molekul insulin sekitar 6000. Hormon ini memiliki dua rantai.

Rantai A yang terdiri dari 21 asam amino dan rantai B yang terdiri dari 30 asam

amino. Pada rantai A dan B terdapat dua jembatan disulfida yaitu antara asam

amino ke 7 pada rantai A dengan asam amino ke 7 pada rantai B dan asam amino

ke 20 pada rantai A dengan asam amino ke 19 pada rantai B (Istiyani, K., 2008).

2. Stabilitas insulin

Proses yang dapat menghilangkan aktivitas insulin diantaranya adalah

oksidasi atau reduksi, esterifikasi gugus karboksil, perusakan oleh enzim

proteolitik. Enzim yang dapat mendegradasi insulin yaitu glutation insulin

transhidrogenase yang menggunakan glutation tereduksi untuk memecah jembatan

disulfida, modifikasi pada gugus amino bebas atau gugus hidroksil alifatik.

Modifikasi struktur juga dapat menghilangkan aktifitas biologik. Struktur insulin

dalam hal susunan aminonya berbeda pada berbagai spesies. Perbedaan tersebut
3

tidak menyebabkan perbedaan aktivitas biologik tetapi menyebabkan perbedaan

imunologik (Istiyani, K., 2008).

B. Sistem Penghantaran Intranasal

Menurut sejarah, bidang farmasetika mendasari sistem

penghantaran obat. Seiring dengan berkembang dan banyak diketahuinya

patologi molekular berdasarkan ilmu dasar seperti misalnya biologi

molekular, komunikasi antar sel, dan signal transduksi target penyakit,

sehingga sistem penghantaran obat ini tidak sekedar penggunaan

aerosol, sediaan uap/gas saja, namun sekarang pendayagunaanya

meliputi penghantaran obat ke target secara spesifik. Sebagai contoh

adalah sistem penghantaran obat intranasal yang merupakan suatu

teknologi penyampaian obat alternative, diciptakan agar obat dapat

mencapai tempat kerja yang optimal. Obat diberikan secara intranasal

untuk efek lokal seperti obat tetes hidung atau spray, rongga hidung

digunakan untuk pelepasan obat sistemik. Beberapa perusahaan farmasi

bahkan mengembangkan pemberian insulin melalui hidung. Selain itu

pemberian obat secara intranasal dikembangkan juga untuk vaksin,

contohnya vaksin antraks yang menggunakan teknologi nano dapat

diberikan melalui nasal, pemberian ini menguntungkan pasien yang takut

terhadap jarum suntik, yang mana umumnya vaksin diberikan dalam

bentuk injeksi. Pada pemberian obat intranasal dibandingkan obat

sistemik atau oral, yang perlu diperhatikan adalah ukuran partikel yang
4

didistribusikan dengan alat semprot atau spraynya. Ukuran yang paling

umum adalah 20 – 50 µm, ukuran lebih kecil akan membawa obat

sampaitrachea, sedangkan ukuran yang lebih besar dapat digunakan bila

obat ingin disimpan dalam saluran hidung, tetapi bisa jadi malah keluar

dari lubang hidung atau bahkan tertelan (Turker, dkk. 2004).

C. Anatomi dan Fisiologi Hidung

Anatomi dan fisiologis normal hidung (nasal) harus diketahui dan

diingat kembali sebelum terjadi  perubahan anatomi dan fisiologi yang

dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. Selain dari itu, hal

yang terpenting yang harus diketahui adalah fungsi dari hidung itu sendiri,

dimana hidung merupakan tempat untuk menghangatkan, membersihkan,

dan melembabkan udara yang anda napas serta membantu anda untuk

membau dan mencicipi. Seorang yang normal akan menghasilkan kira-

kira dua quarts (1 quart = 0,9 liter) cairan setiap hari (lendir), yang

membantu dalam mempertahankan saluran pernapasan bersih dan

lembab. Rambut-rambut mikroskopik yang kecil (cilia) melapisi

permukaan-permukaan dari rongga hidung, membantu menghapus

partikel-partikel. Akhirnya lapisan lendir digerakan ke belakang

tenggorokan dimana ia secara tidak sadar ditelan. Seluruh proses ini

diatur secara ketat oleh beberapa sistem-sistem tubuh (Soetjipto D. dan

Wardani RS. 2007). 

Secara garis besar, anatomi dan fisiologi hidung meliputi:


5

1. Embriologi hidung 

Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari

pembentukan anatomis intranasal dapat dibagi menjadi dua proses.

Pertama, embrional bagian kepala  berkembang membentuk dua bagian

rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral hidung

yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal

dengan konka (turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut

sebagai sinus (Walsh WE, 2002).

2. Anatomi hidung luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung

bagian luar menonjol padagaris tengah di antara pipi dan bibir atas;

struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian yaitu yang paling atas :

kubah tulang yang tak dapat digerakkan ; di bawahnya terdapat kubah

kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah

lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti

piramid dengan  bagian-bagiannya dari atas ke bawah (Bittera Christoph,

2011):

a. pangkal hidung (bridge),  

b. batang hidung (dorsum nasi),

c. puncak hidung

3. Anatomi hidung dalam


6

Hidung terdiri dari tiga bagian utama yaitu Vestibula nasal, Daerah

Olfaktori, Daerah Respiratori, sebagaimana terlihat pada gambar.

Gambar 1. Anatomi Hidung (Appasaheb S., dkk. 2013).

a. Vestibula nasal

Bagian hidung ini merupakan bagian anterior dengan luas

permukaan sekitar 0,6 cm2. Daerah ini sempit dibandingkan dengan bagian

rongga hidung lainnya. Vestibula nasal memiliki rambut hidung yang dapat

menyaring partikel dengan ukuran >10 µm yang ikut terhirup bersama

udara. Bagian hidung ini dilapisi oleh sel epitel skuamosa dan keratin

bertingkat dengan kelenjar sebaceous (Appasaheb S., dkk. 2013).

b. Daerah olfaktori

Bagian hidung memiliki luas permukaan sekitar 8% dari total luas

permukaan epitel hidung. Membran epitel yang menyusun daerah olfaktori

adalah epitel semu kolumnar yang non-silia. Daerah ini pada dasarnya
7

berfungsi dalam proses penciuman karena banyak terdapat jaringan saraf.

Selain itu bagian ini juga terhubung langsung ke cairan serebrospinal

(CSF), sehingga berpotensi untuk meghantarkan obat tertarget ke bagian

otak. (Appasaheb S., dkk. 2013).

c. Daerah respiratori

Area terluas dalam rongga hidung adalah bagian respiratori

(Respiratory Region) yang dibagi menjadi 3, yaitu bagian superior, middle

dan inferior. Secara struktural, membran mukosanya terdiri dari epithelium

yang bersilia dan non-silia, sel goblet dan sel basal. Permukaan membran

yang ditutupi dengan mikrovili non-motil bertanggung jawab untuk

meningkatkan luas permukaan dan banyaknya pembuluh darah di area ini

menjadi faktor yang mendukung optimalnya absorbsi obat. Terdapat pula

permukaan membran yang ditutupi dengan mikrovili motil yang berperan

dalam sistem mucociliary clearance yaitu suatu mekanisme pembersihan

rongga hidung dari partikel yang masuk dengan bantuan mukus yang

menjerap partikel pada permukaan membran, selanjutnya gerakan silia

akan membawa partikel yang terperangkap tersebut keluar dari rongga

hidung (Appasaheb S., dkk. 2013).

Gambar 2. Tipe sel epitel nasal (Appasaheb S., dkk. 2013)


8

D. Keuntungan dan Kerugian Rute Intranasal

1. Keuntungan (Upadhyay S.,dkk. 2011)

a. Menghindari jalur metabolisme lintas pertama di hati

b. Absorbsi obat cepat sehingga dapat dicapai aksi obat yang cepat

c. Bioavalilabilitas melalui rute nasal lebih baik terutama untuk obat

molekul kecil

d. Bioavailabilitas obat molekul besar dapat ditingkatkan dengan

berbagai bahan peningkat penetrasi.

e. Merupakan rute penghantaran alternative selain parenteral,

khususnya penghantaran protein dan peptida.

f. Dapat menghantarkan obat-obat yang tidak stabil terhadap

cairan di gastrointestinal.

g. Obat-obat absorbsinya sangat lemah di gastrointestinal dapat

dihantarkan melalui rute nasal.

2. Kerugian (Upadhyay S.,dkk. 2011)

a. Adanya mekanisme pembersihan oleh mucociliary menurunkan

waktu tinggal obat

b. Luas permukaan area absorbsi lebih kecil dibandingkan luas

permukaan di gastrointestinal
9

c. Beberapa obat atau penambahan enhancer dan surfaktan dapat

menyebabkan iritasi pada hidung

d. Beberapa obat dapat mengalami degradasi metabolik di rongga

hidung

e. Pemberian yang tidak tepat memungkinkan terjadi kehilangan

dosis atau akan masuk sampai ke paru-paru.

E. Mekanisme Absorbsi Obat Rute Nasal

Beberapa mekanisme telah diusulkan, tetapi ada 2 mekanisme

penyerapan obat yang digunakan (Appasaheb S., dkk. 2013):

1. Mekanisme pertama

Melibatkan rute berair transportasi, yang juga dikenal sebagai rute

paracellular. Rute ini lambat dan pasif. Ada korelasi log-log terbalik antara

intranasal penyerapan dan berat molekul senyawa larut dalam air. Kurang

bioavailabilitas diamati untuk obat dengan  berat molekul lebih besar dari

1000 Dalton.

2. Mekanisme kedua

Transportasi melalui rute ini juga dikenal sebagai proses transelular

dan  bertanggung jawab untuk pengangkutan obat lipofilik yang

bergantung pada sifat lipofilisitas senyawa. Obat juga dapat melewati


10

membran sel dengan rute transpor aktif melalui bantuan carrier yang

dimediasi atau transportasi melalui pembukaan  tight junction.

F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bioavabilitas dan Absorpsi

Obat Rute Nasal

1. Faktor yang mempengaruhi bioavabilitas obat (Appasaheb S.,dkk.

2013)

a. Luas permukaan untuk absorpsi

b. Aliran darah

c. Waktu kontak

d. Penyakit

e. Aktivitas enzim

f. Mukus

2. Faktor yang mempengaruhi absorpsi obat rute nasal

a. Faktor fisiologis (Appasaheb S.,dkk. 2013)

1) Regulasi suplai darah dan sistem saraf

Peningkatan suplai darah ke daerah nasal akibat stimulasi saraf

parasimpatis menyebabkan kongesti sedangkan suplai darah yang rendah

dipengaruhi oleh saraf simpatis dapat menyebabkan relaksasi. Jumlah

absorpsi obat dipengaruhi tinggi rendahnya suplai darah di daerah nasal.

2) Viskositas sekresi nasal (mucus)

Permeasi obat dapat dipengaruhi oleh gangguan mucociliary

clearance melalui perubahan waktu kontak obat dengan mukosa. Mukus


11

yang kental dipermukaan membran dapat mengganggu fungsi mucociliary

clearance karena menghambat gerakan silia.

3) Kelarutan obat dalam mukus

Kelarutan obat sangat berperan untuk permeasi, oleh karena itu

karakteristik fisikokimia obat harus tepat agar dapat larut dalam cairan

mukus sehingga memperbaiki permeasinya di membran epitel.

4) pH rongga hidung

Permeasi obat lebih besar jika pH hidung lebih rendah dari pKa

obat. pH nasal pada orang dewasa antara 5,5-6,5. pH formulasi harus

antara 4,5-6,5 untuk penyerapan yang lebih baik.

5) Mucociliary clearance dan pergerakan silia

Secara fisiologis senyawa yang melalui nasal akan dibersihkan oleh

mukosiliari sebagai mekanisme pertahanan untuk membersihkan partikel

yang masuk ke hidung dan dibersihkan menuju gastrointestinal. Namun

meningkatnya aktivitas mukosiliari dapat mempengaruhi waktu kontak

obat sehingga permeabilitas obat juga terganggu.

6) Kondisi lingkungan nasal

Peningkatan suhu dapat mempengaruhi kecepatan gerakan silia,

sehingga meningkatkan aktivitas mucociliary clearance. Kondisi ini

mempengaruhi waktu kontak obat dengan membrane dan permeasi obat.


12

Dalam hal ini, retensi obat dapat terganggu dan mempengaruhi absorbs

obat.

b. Faktor biologis

Rongga hidung memiliki aktivitas degradasi metabolik karena

terdapat beberapa enzim antara lain enzim oksidatif dan konjugatif,

peptidase serta protease, yang dapat mendegradasi obat-obat tertentu.

Reaksi enzimatik ini disebut juga sebagai pseudo-first pass effect.

Degradasi obat oleh enzim-enzim tersebut dapat dihindari dengan

penambahan senyawa inhibitor enzim protease dan peptidase ke dalam

formulasi (Appasaheb S.,dkk. 2013).

c. Faktor fisikokimia obat (Appasaheb S.,dkk. 2013, Upadhyay

Shivam, dkk., 2011)

1) Berat molekul

Sifat fisikokimia obat tidak berpengaruh signifikan terhadap obat

yang memiliki berat molekul <300 Da. Kecepatan permeasi sangat sensitif

terhadap senyawa yang memiliki berat molekul ≥ 300 Da.

2) Kelarutan

Sekresi nasal lebih banyak mengandung air, sehingga kelarutan

obat dalam air dapat meningkatkan disolusi. Obat lipofilik kurang larut

dalam sekresi nasal. Obat yang bersifat hidrofilik berpenterasi melalui

difusi pasif dan obat lipofilik berpenetrasi melalui transpor aktif.

3) Lipofilisitas
13

Permeasi obat di membran mukosa meningkat seiring

meningkatnya sifat lipofilisitas obat. Membran mukosa hidung secara

karakteristik bersifat hidrofilik karena adanya mukus di permukaan

membrane, tetapi penyusun membran lebih bersifat lipofilik sehingga obat

yang lipofilik berpenterasi lebih cepat.

4) pKa dan koefisien partisi

Permeasi obat akan meningkat jika pH nasal lebih rendah dari

koefisien partisi obat, karena kondisi ini menyebabkan obat tidak

terionisasi. Obat yang terionisasi lebih cepat berpenetrasi dibanding obat

yang mengalami ionisasi oleh pH nasal. Obat-obat yang meningkat sifat

lipofilitasnya, maka meningkatkan koefisien partisi obat di jaringan tubuh.

5) Ukuran partikel dan morfologi obat

Faktor ini penting dipertimbangkan karena ukuran partikel <5

mikron dapat langsung masuk ke dalam paru-paru. Umumnya, partikel

dengan ukuran 5-10 mikron yang dapat tinggal di rongga hidung.

d. Faktor fisikokimia formulasi obat (Appasaheb S.,dkk. 2013,


Upadhyay Shivam, dkk., 2011)

1) Bentuk fisik formulasi obat

Formulasi obat nasal (insulin) yang berbentuk larutan kurang efektif

dibandingkan yang berbentuk serbuk pada penelitian yang menggunakan

hewan uji kelinci. Penghantaran obat melalui hidung untuk tujuan sistemik

kurang efisien diamati dengan formulasi yang lebih kental.

2) Viskositas
14

Waktu kontak antara obat dan mukosa hidung meningkat dengan

viskositas lebih tinggi dari formulasi sehingga meningkatkan waktu untuk

permeasi.

3) pH

Formulasi hidung harus disesuaikan dengan pH yang sesuai untuk

menghindari iritasi dan diperoleh penyerapan yang efisien serta

mencegah pertumbuhan bakteri patogen. pH formulasi yang ideal harus

disesuaikan antara 4,5 dan 6,5.

G. Mikroemulsi

1. Sejarah pengembangan mikroemulsi

Desain dan pengembangan sistem pengiriman obat baru dengan

tujuan meningkatkan kemanjuran pada obat adalah proses dalam

penelitian farmasi lanjutan. Karena ada banyak jenis sistem penghantaran

obat yang telah dikembangkan, salah satunya sistem pengiriman obat

koloid memiliki potensi besar untuk mencapai target pengobatan. Konsep

mikroemulsi diperkenalkan awal tahun 1940-an oleh Hoar dan Schulman

yang menghasilkan fase tunggal dengan titrasi emulsi susu dengan

heksanol. Mereka menyiapkan mikroemulsi pertama dengan

mendispersikan minyak dalam air , solution sebagai surfaktan dan

menambahkan alkohol sebagai kosurfaktan, yang menyebabkan formulasi

stabil transparan. Schulman (1959) kemudian menciptakan mikroemulsi

dan sejak saat itu telah diteliti ulang lebih mendalam. Adapun mikroemulsi
15

menurut Danielsson dan Lindman pada tahun 1981 akan digunakan

sebagai titik acuan. Mikroemulsi didefinisikan sebagai sistem air, minyak

dan ampifil yang merupakan isotropik optik tunggal dan larutan cair

termodinamika stabil. Perbedaan utama antara emulsi dan mikroemulsi

adalah bahwa mereka mungkin menunjukkan stabilitas kinetik yang

sangat baik, secara fundamental termodinamika tidak stabil dan akan

terpisah 2 fase. Hal lain yang penting mengenai perbedaan meliputi

tampilan, emulsi yang agak keruh sementara mikroemulsi yang jernih.

Selain itu, ada perbedaan yang jelas dalam metode persiapan, karena

emulsi membutuhkan masukan besar energi sementara mikroemulsi tidak.

Itu Poin terakhir memiliki implikasi yang jelas ketika mempertimbangkan

relative biaya produksi komersial dari dua jenis sistem.

Mikroemulsi bentuk spontan dengan tetesan rata-rata diameter 10-

140 nm. Mikroemulsi mengandung batas antara fase minyak dan air di

mana surfaktan berada. Molekul surfaktan konvensional terdiri dari polar

dan non polar. Mikroemulsi mungkin asimetris pada bentuk, sering

mengadopsi bentuk ellipsoid yang tersebar luas. Mikroemulsi dapat

diterapkan sebagai pembawa membran cair untuk mengangkut zat lipofilik

melalui media air atau untuk membawa zat hidrofilik di media lipoidal.

Ukuran partikel jauh lebih kecil dari panjang gelombang cahaya tampak,

mikroemulsi yang transparan dan struktur tidak dapat diamati melalui

mikroskop optik.
16

Formulasi berdasarkan mikroemulsi memiliki beberapa karakteristik

yaitu, obat ditingkatkan solubilisasi, stabilitas termodinamika yang baik

dan kemudahan manufaktur. Mikroemulsi adalah sistem serbaguna dan

dapat digunakan untuk memberikan obat melalui beberapa rute. Sistem ini

diteliti secara luas untuk pemberian topikal. sebagai pembawa obat

topikal, mikroemulsi dapat meningkatkan pengiriman lokal atau sistemik

obat dengan mekanisme yang berbeda. Keberadaan mikro domain dari

polaritas yang berbeda dalam solusi fase tunggal yang sama

memungkinkan kedua larut dalam air dan minyak bahan larut menjadi

terlarut. Penghalang difusi kulit dapat dimodifikasi tergantung pada

komposisi mikroemulsi. Meningkatnya termodinamika obat dapat

mendukung partisi pada kulit (Faizi Muzaffar, dkk., 2013).

Faktor-faktor yang membatasi penggunaan mikroemulsi di farmasi.

a. Konsentrasi surfaktan dan kosurfaktan yang digunakan harus

b. tetap rendah untuk alasan toksikologi.

c. Mikroemulsi juga memungkinkan keterbatasan pemisahan fase.

d. Untuk penggunaan intravena, pengujian toksisitas formulasi

tersebut jarang dan sangat sedikit telah dilaporkan sejauh ini.

e. Penggunaan surfaktan yang termasuk dalam "umumnya

dianggap sebagai aman " kategori (GRAS) dapat mengurangi

toksisitas.

Mikroemulsi atau emulsi Micellar adalah sistem yang dinamis di

mana tegangan antarmuka yang terus menerus dan secara spontan


17

berfluktuasi. Secara struktural, terbagi dalam minyak dalam air, air dalam

minyak, dan mikroemulsi berkesinambungan. Dalam mikroemulsi

air/minyak, tetesan air tersebar di fase minyak sedangkan mikroemulsi

minyak/air terbentuk ketika tetesan minyak tersebar di fasa air terus

menerus. Dalam sistem di mana jumlah air dan minyak sama banya, akan

mengakibatkan terbentuknya mikroemulsi berkesinambungan. Campuran

air dan minyak dan surfaktan mampu membentuk berbagai fase yang luas

tergantung pada proporsi masing masing fase (Faizi Muzaffar, dkk., 2013).

Menurut Winsor, ada empat jenis fase mikroemulsi. Fase ini disebut

sebagai fase Winsor, yaitu (Faizi Muzaffar, dkk., 2013):

Winsor I: Dengan dua fase (minyak/air), fase mikroemulsi dalam

kesetimbangan dengan kadar minyak yang lebih rendah.

Winsor II: Dengan dua fase, fase mikroemulsi (air/minyak) dalam

kesetimbangan dengan kadar air yang lebih rendah.

Winsor III: Dengan tiga fase, fase mikroemulsi tengah (minyak/air

ditambah air/minyak, disebut berkesinambungan) dalam kesetimbangan

dengan minyak lebih banyak daripada air.

Winsor IV: Pada fase tunggal, dengan minyak, air dan surfaktan memiliki

campuran homogen.

2. Keuntungan dan kerugian sediaan mikroemulsi


18

a. Keuntungan sediaan mikroemulsi

Keuntungan dari mikroemulsi dari emulsi kasar termasuk

kemudahan persiapan karena pembentukan spontan, termodinamika

stabilitas, penampilan transparan dan elegan, dan penetrasi ditingkatkan

melalui biologi membran, meningkatkan bioavailabilitas dan Intraindividual

variabilitas dalam farmakokinetik obat. Baru saja, mikroemulsi ditinjau

untuk beberapa aplikasi, seperti penggunaan topikal, penggunaan oral,

penggunaan parenteral dan kosmetik. Begitulah pula untuk penghantaran

obat dermal sebagai rute yang efisien. Namun beberapa agen pembentuk

gel telah digunakan untuk meningkatkan viskositas mikroemulsi dan

bentuk berbasis mikroemulsi gel. Yang lebih cocok untuk aplikasi topikal

bila dibandingkan dengan mikroemulsi sebagai penghantar untuk

pengiriman obat.

Kegiatan termodinamika dapat dinyatakan kira-kira dalam hal

kelarutan (rasio konsentrasi saat obat untuk konsentrasi dalam kendaraan

jenuh). UM menawarkan keunggulan dibandingkan krim tradisional dan

lotion sebagai topical pengantar obat. Mereka digunakan untuk

melarutkan obat dan untuk meningkatkan ketersediaan obat topikal.

Mereka mampu meningkatkan tingkat dan kedalaman agen pelembab ke

kulit. Telah menyarankan bahwa UM dapat membubarkan struktur

memerintahkan stratum korneum lipid, yang menyebabkan hilangnya sifat

penghalang kulit (Faizi Muzaffar, dkk., 2013).


19

Mikroemulsi menunjukkan beberapa keuntungan sebagai sistem

pemberian obat (Faizi Muzaffar, dkk., 2013):

1) Mikroemulsi adalah sistem termodinamika stabil dan

memungkinkan

2) Self-emulsifikasi sistem.

3) Mikroemulsi bertindak sebagai supersolvents untuk obat, dapat

melarutkan baik

4) Obat hidrofilik dan lipofilik termasuk obat yang relative larut

dalam kedua pelarut air dan hidrofobik.

5) Fase terdispersi, lipofilik atau hidrofilik (mikroemulsi minyak

dalam air, atau air dalam minyak) dapat bertindak sebagai

potensi reservoir obat lipofilik atau hidrofilik. Obat dengan

kinetika orde nol dapat diperoleh, tergantung pada volume fasa

terdispersi, partisi obat dan tingkat transportasi obat.

6) Diameter rata-rata tetesan di mikroemulsi bawah 0,22 mm.

karena area antar muka yang besar, penyerapan obat terjadi

cepat ke fase eksternal ketika penyerapan (in vitro atau in vivo)

berlangsung, menjaga konsentrasi di fase eksternal tidak begitu

jauh dengan dengan tingkat awal.

7) Memiliki kemampuan untuk membawa obat-obatan baik lipofilik

dan hidrofilik.
20

8) Mikroemulsi mudah untuk dipersiapkan dan tidak memerlukan

kontribusi energi yang signifikan selama persiapan ini karena

akan lebih stabil secarantermodinamika.

9) Mikroemulsi memiliki viskositas rendah dibandingkan dengan

emulsi primer dan beberapa emulsi yang lain.

10) Penggunaan mikroemulsi sebagai sistem pengiriman dapat

meningkatkan khasiat obat, sehingga dosis total dikurangi dan

dengan demikian meminimalkan efek samping.

11) Pembentukan mikroemulsi adalah reversibel. Memungkinkan

akan stabil pada suhu rendah atau tinggi tetapi ketika suhu

kembali ke kisaran stabil, mikroemulsi akan bereformasi kembali.

b. Kerugian sediaan mikroemulsi

Kekurangan system basis mikroemulsi (Faizi Muzaffar, dkk., 2013):

1) Membutuhkan jumlah besar surfaktan/kosurfaktan untuk

menstabilkan tetesan.

2) kapasitas pelarut yang digunakan dalam cairan terbatas

3) surfaktan harus tidak beracun untuk digunakan dalam aplikasi

farmasi.

4) Stabilitas Mikroemulsi dipengaruhi oleh lingkungan parameter

seperti suhu dan pH. parameter ini berubah saat mikroemulsi

diserahkan kepada pasien.


21

3. Komponen sistem mikroemulsi

Ketersediaan minyak dan surfaktan melimpah tetapi

penggunaannya dibatasi karena pertimbangan toksisitas, potensi iritasi

dan ketidak jelasan mekanisme aksi. Minyak dan surfaktan yang akan

digunakan untuk formulasi mikroemulsi harus biokompatibel, tidak

beracun, dan dapat diterima secara klinis. Berikut ini beberapa komponen

mikroemulsi (Faizi Muzaffar, dkk., 2013):

a. Fase minyak

Minyak menjadi salah satu eksipien yang paling penting dalam

formulasi tidak hanya karena dapat melarutkan dosis yang dibutuhkan

obat lipofilik, dapat meningkatkan fraksi obat lipofilik melalui sistem limfatik

usus, sehingga meningkatkan penyerapan dari saluran GI tergantung

pada sifat molekul trigliserida. Berikut ini adalah minyak yang berbeda

yang digunakan untuk formulasi mikroemulsi:

1) asam jenuh asam laurat lemak, asam miristat, asam kaprat

2) asam asam-oleat lemak tak jenuh, asam linoleat, asam linolenat

3) asam lemak ester-etil atau metil ester dari laurat, miristat dan

asam oleat.

Minyak dipilih sesuai dengan kelarutan obat. Ini akan

meminimalkan volume formulasi untuk memberikan dosis terapi dari obat

dalam bentuk tidak terkapsul.


22

b. Fase air

Fase air dapat mengandung bahan aktif hidrofilik dan pengawet.

larutan buffer digunakan sebagai fasa air oleh beberapa peneliti.

c. Surfaktan

Penggunaan utama surfaktan adalah untuk menurunkan tegangan

antar muka kenilai yang sangat kecil yang akan memfasilitasi proses

dispersi selama persiapan mikroemulsi dan memberikan sebuah film yang

fleksibel yang mudah merusak sekitar tetesan dan menjadi yang sesuai

karakter lipofilik untuk memberikan kelengkungan yang benar diwilayah

antarmuka. Surfaktan digunakan untuk menstabilkan sistem mikroemulsi

harus :

1) non-ionik,

2) zwiterionik,

3) kationik,

4) surfaktan anionik.

d. Kosurfaktan

Telah ditemukan bahwa rantai tunggal surfaktan sendiri tidak dapat

mengurangi tegangan antar muka cukup untuk mengaktifkan mikroemulsi.

Kehadiran kosurfaktan memungkinkan antarmuka Film memiliki

fleksibilitas yang cukup untuk mengambil lekukan yang berbeda dan

diperlukan untuk membentuk mikroemulsi atas berbagai komposisi. Jika

film surfaktan tunggal diinginkan, rantai lipofilik dari surfaktan harus cukup

singkat, atau mengandung kelompok pencairan (obligasi tak jenuhalkohol


23

rantai pendek (C3-C8) biasanya ditambahkan sebagai kosurfaktan yang

selanjutnya mengurangi tegangan antar muka dan meningkatkan fluiditas

antarmuka. Khas kosurfaktan yang rantai pendek alkohol (etanol untuk

butanol), glikol seperti propilen glikol, alkohol rantai menengah, amina

atau asam. Penggunaan kosurfaktan adalah untuk menghancurkan kristal

cair atau gel struktur yang terbentuk di tempat fase mikroemulsi dan

kosurfaktan di sebagian besar sistem tidak dapat dibuat kecuali pada suhu

tinggi.

Peran kosurfaktan adalah sebagai berikut

1) meningkatkan fluiditas antarmuka.

2) mengHancurkan cairan kristal atau gel struktur yang akan

mencegah pembentukan mikroemulsi.

3) mengatur nilai HLB dan kelengkungan spontan antarmuka

dengan mengubah karakteristik partisi surfaktan tetesan dan

menjadi yang sesuai dengan karakter lipofilik untuk memberikan

kelengkungan yang benar di wilayah antarmuka.

e. Kosolven

Produksi mikroemulsi yang stabil membutuhkankonsentrasi yang

relatif tinggi (umumnya lebih dari 30% b / b) surfaktan. pelarut organik

seperti, etanol, propilen glikol (PG), dan polietilen glikol (PEG) cocok untuk

tambahan pelarut, dan memungkinkan pembubaran jumlah besar baik

hidrofilik surfaktan atau obat dalam basis lipid. pelarut ini bahkan dapat

bertindak sebagai kosurfaktan dalam sistem mikroemulsi.


24

H. Evaluasi Sediaan Mikroemulsi

Berikut ini beberapa bentuk evaluasi sediaan mikroemulsi

(Priani S. Ega, 2014):

1. Pengamatan organoleptis

Pengamatan terhadap warna, bau, dan pertumbuhan jamur untuk

sediaan mikroemulsi. Dilakukan pula pengamatan terhadap kejernihan

sediaan.

2. Uji Sentrifugasi

Sediaan disentrifugasi dengan kecepatan 3750 rpm selama lima

kali 60 menit. Pengamatan pemisahan fase dilakukan setiap 60 menit.

3. Uji Freeze Thaw

Metode freeze thaw dilakukan dengan menyimpan sediaan pada

suhu 4oC selama 48 jam kemudian dipindahkan ke suhu 40 oC selama 48

jam (1 siklus). Setelah itu dilanjutkan sampai lima siklus. Setiap satu siklus

dilakukan pengamatan pemisahan fase pada sediaan.

4. Uji pH dan viskositas

Pengukuran dilakukan dengan alat pH meter dan Viskosimeter

Brookfield DV I pada hari ke 1, 30, 60, 90, dan 120 pada sediaan pada

suhu kamar.

5. Penentuan ukuran globul


25

Sediaan dicampurkan dengan aquades 1:1 dan diaduk sampai

homogen. Ukuran globul diukur menggunakan particle size analyzer.

I. Studi Bioavailabilitas

Bioavailabilitas (BA) merupakan presentase obat yang diabsorbsi

tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia, untuk melakukan efek

terapeutisnya. Di beberapa Negara (AS, Jerman), BA mencakup pula

kecepatan obat muncul di sirkulasi darah. Biasanya, efek obat baru mulai

nampak sesudah obat melalui sistem pembuluh porta dan kemudian tiba

di peredaran darah besar yang mendistribusikannya ke seluruh jaringan.

BA dapat diukur in vivo (pada kedaan sesungguhnya pasien)

dengan menentukan kadar plasma obat sesudah tercapai steady state.

Pada keadaan ini terjadi keseimbangan antara kadar obat di semua

jaringan tubuh dan kadar darah yang praktis konstan, karena jumlah zat

yang diserap dan yang dieliminasi adalah sama. Antara kadar plasma dan

efek terapeutis pada umumnya terdapat suatu korelasi yang baik.

Pengecualian adalah pada misalnya obat hipertensi yang masih berefek

walaupun kadarnya dalam plasma sudah tidak data diukur lagi.

Bioavailabilitas adalah suatu istilah yang menyatakan

jumlah/proporsi (extent) obat yang diabsorbsi dan kecepatan (rate) yang

diabsorbsi itu terjadi. Extent biasanya dinyatakan dalam F, biasanya diukur

dari peningkatan kadar obat (zat aktif) atau metabolit aktifnya dalam darah

dan eksresinya dalam urin terhadap waktu.

Anda mungkin juga menyukai