Anda di halaman 1dari 19

Pemanfaatan Teknologi Nanopartikel Berbasis Senyawa Galactomannans dari (Trigonella

foenum-graceum) yang Terenkapsulasi Nanokitosan-PEG Sebagai Solusi Terapi Diabetes


Mellitus Tipe 2
Rahmatiya Imran Tululi1), Rezkiyah Anatasya Dwi Murni
Hulungo2), Safitri Eka Putri Bahtiar3)
Jurusan Farmasi Universitas Negeri Gorontalo
mail: rahmatiyatululi@gmail.com

Abstrak
Pemanfaatan Teknologi Nanopartikel Berbasis Senyawa Galactomannans dari (Trigonella
foenum-graceum) yang Terenkapsulasi Nanokitosan-PEG Sebagai Solusi Terapi Diabetes
Mellitus Tipe 2. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa nanopartikel
kitosan menjadi salah satu sistem penghantaran obat yang bisa digunakan untuk terapi
dibetes melitus tipe 2. Metode yang digunakan untuk membuat nanopartikel adalah gelasi
ionik yang merupakan metode yang banyak menarik perhatian peneliti dikarenakan
prosesnya yang sederhana, serta dapat dikontrol dengan mudah. Prinsip
pembentukan nanopartikel pada metode ini adalah terjadinya interaksi
elektrostatik antara gugus amina pada kitosan yang bermuatan positif dengan
polianion NaTPP yang bermuatan negatif membentuk struktur intramolekul tiga
dimensi. Berdasarkan hasil yang didapat, biji klabet mengandung senyawa galactomannan
yang dapat berinteraksi kuat dengan protein alpha-glukosidase.
Tambahkan nilai RS galactomannans
Kata kunci: nanokitosan, diabetes melitus, galactomannans

Pendahuluan
Penyakit Diabetes Melitus (DM) dikenal sebagai penyakit kencing manis atau penyakit gula
darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah
melebihi 150 mg/dl, dimana batas normal gula darah adalah 70-150 mg/dl, sebagai akibat adanya
gangguan sistem metabolisme dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi
hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh (Ernawati, 2013).
Menurut Leonita (2015), Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara
genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat,
jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia
puasa dan postprandial, aterosklerosis dan penyakit vaskular mikroangiopati.
Word Organization Health (WHO) menyatakan prevalensi DM meningkat dengan cepat
pada dekade terakhir, sampai lebih dari 40%. peningkatan prevalensi obesitas lebih 60% dalam
periode yang sama, berhubungan erat dengan perkembangan DM tipe 2. Menurut Sari (2013),
Indonesia merupakan negara yang menduduki rangking keempat dari jumlah penyandang diabetes
terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India. Selain itu, penderita diabetes melitus di
Indonesia diperkirakan akan meningkat pesat hingga 2-3 kali lipat pada tahun 2030 dibandingkan
tahun 2000. Oleh karena itu pengobatan diabetes melitus di Indonesia harus ditingkatkan.
Pengobatan penderita diabetes melitus yang dilakukan dalam jangka waktu panjang dan
secara terus menerus akan berdampak pada finansial pasien diabetes mellitus, karena
pengobatannya membutuhkan biaya yang sangat besar dan memiliki efek samping terhadap pasien.
Oleh karena itu, perlu dicari cara alternatif lain, salah satunya dengan obat dari bahan bahan alam
yang semakin diminati masyarakat karena dipercaya lebih aman untuk dikonsumsi, harganya
terjangkau, serta efek samping lebih rendah dan efektiv dalam terapi adalah poin utama dalam
mencapai terapi obat.
Teknologi formulasi sediaan farmasi dan sistem penghantaran obat memegang peranan
penting dalam proses penemuan terapi farmasetis baru pada publik. Pertimbangan fisikokimia dan
molekuler meliputi kesetimbangan ion-molekul, kesetimbangan hidrofilik-lipofilik, proses
biofarmasetika, metabolisme dan biodegradasi, afinitas obat-reseptor, pertimbangan fisiologis, serta
biokompatibilitas dari sistem menjadi faktor utama yang umum diperhatikan dalam melakukan
penelitian pada bidang ini. Pada beberapa kasus, misalnya pada tahap awal, sebuah molekul obat
yang poten tidak dapat menembus sistem pertahanan tubuh dengan baik sehingga ketersediaan
hayati senyawa dalam sirkulasi sistemik maupun jaringan yang sakit menjadi sangat rendah.
Berbagai penelitian dikembangkan untuk meningkatkan kadar senyawa tersebut di dalam darah,
baik dengan meningkatkan efektivitas dan kecepatan absorpsi, menghindari biodegradasi oleh
enzim, maupun modifikasi molekuler untuk meningkatkan absorpsi seluler. Berbagai macam
permasalahan yang timbul tersebut mengubah cara pandang para peneliti farmasi dalam khususnya
terkait pada Pengembangan teknologi formulasi yaitu untuk lebih fokus pada peningkatan
efektivitas penghantaran obat pada jumlah yang tepat. Fakta ini membawa berbagai penelitian pada
kecenderungan untuk melakukan berbagai modifikasi pada sistem terbaik yang ada.
Menurut Srinivasan (2006), Salah satu tanaman yang berkhasiat sebagai antidiabetes adalah
Tanaman klabet atau fenugreek dengan nama latin Trigonella foenumgraecum L. Tanaman ini
merupakan salah satu tanaman obat tertua yang telah dibudidayakan dan tertulis dalam sejarah
telah
banyak dilakukan penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat banyak manfaat dalam bagian
tumbuhannya, terutama bagian biji. Kemudian menurut Rathore, et al., (2013) Terdapat sejumlah
penelitian yang dilakukan untuk menunjukkan aktivitas antidiabetes pada biji klabet. Salah satu
senyawa utama yang bertanggung jawab terhadap aktivitas tersebut adalah serat terlarut yang
terdapat pada biji klabet, yaitu galaktomannan (polisakarida). Galaktomannan mewakili polisakarida
utama yang ditemukan dalam biji klabat dan menyumbang sekitar 17-50% dari berat biji kering.
Senyawa galaktomannan dapat mengurangi penyerapan glukosa di usus, sehingga dapat mengontrol
kadar glukosa darah.
Senyawa lain yang dilaporkan turut bertanggung jawab adalah senyawa polifenol, yaitu
kuersetin (flavonoid), trigonillin (alkaloid), diosgenin (saponin), dan 4-dihidroksiisoleusin (asam
amino). Hasil uji klinis yang sama juga ditunjukkan pada pasien diabetes tipe 2 bahwa pada dosis
10 mg/40 ml larutan ekstrak biji klabet menghasilkan efek yang signifikan dan paling efektif
terhadap penurunan kadar gula darah (Nursetiani A. & Herdiana Y., 2018).
Permasalahan yang terjadi dalam pemanfatan biji klabet yaitu zat aktifnya sebagai
antioksidan alami cenderung kurang praktis, memiliki kestabilan terhadap warna, kelarutan yang
rendah, mengalami penurunan sifat fungsional selama pengolahan maupun penyimpanan, serta
bagaimana melindungi zat aktif biji kelabet agar optimum sifat fungsionalnya ketika diaplikasikan
dalam produk pangan (Ningsih N. dkk., 2017).
Saat ini teknologi nano banyak dikembangkan dan menjadi trend dalam pengembangan dan
peningkatan kualitas produk pangan fungsional. Nanoteknologi sangat berkembang karena
memiliki banyak keunggulan seperti ukuran partikel yang lebih kecil, memiliki sifat yang khas
dibandingkan dengan ukuran partikel yang lebih keras dan fleksibel dikombinasikan dengan
teknologi lain sehingga dapat dikembangkan untuk berbagai keperluan. Selain itu, nanoteknologi
banyak dikembangkan sebagai penghantar zat aktif dalam suatu produk pangan maupun obat untuk
mengatur laju pelepasan senyawa zat aktif, meningkatkan kelarutan, dan meningkatkan penyerapan
dalam tubuh (Ningsih N. dkk., 2017).
Studi Pustaka
A. Diabetes Melitus (DM) tipe 2
Dibetes Melitus (DM) tipe 2 atau Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
merupakan 90% dari total kasus DM. Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin
bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel β. Akibatnya, pankreas tidak
mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Kegemukan sering berhubungan dengan kondisi
ini. DM tipe 2 umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan pengikatan
glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehingga penderita tidak
tergantung pada pemberian insulin (WHO, 2006).

Diabetes Melitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan salah satu penyakit kronis dengan
karakteristik kadar gula darah puasa ≥126 mg/dl atau gula darah 2 jam pasca-pembebanan ≥200
mg/dl. Kondisi yang berperan pada terjadinya DM tipe 2 adalah disfungsi sel β pankreas dan
resistensi insulin. Resistensi insulin merupakan suatu keadaan di mana insulin tidak dapat bekerja
optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar. Hal ini menyebabkan sel β-
pankreas mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis
glukosa darah, sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan
euglikemia. Pada fase tertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai
meningkat walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia; di samping itu juga terjadi
peningkatan asam lemak bebas dalam darah. Keadaan glukotoksisitas dan lipotoksisitas akibat
kekurangan insulin relatif (walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan
sel β-pancreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Gula
Darah Puasa Terganggu (GDPT), Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan akhirnya menjadi DM
tipe 2 (Sulistiowati E. & Sihombing M., 2018).
Tingginya prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh faktor risiko yang tidak dapat
berubah misalnya jenis kelamin dan umur. Kemudian faktor genetik yang kedua adalah faktor
risiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Massa Tubuh,
lingkar pinggang dan umur. Diabetes Melitus ini disebut dengan the silent killer karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit yang
akan ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, sakit ginjal,
impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-paru, gangguan
pembuluh darah, stroke dan sebagainya. Tidak jarang, penderita DM yang sudah parah menjalani
amputasi anggota tubuh karena terjadi pembusukan. Untuk menurunkan kejadian dan keparahan
dari Diabetes Melitus tipe 2 maka dilakukan pencegahan seperti modifikasi gaya hidup dan
pengobatan seperti obat oral hiperglikemik dan insulin (Fatimah R. N., 2015).
B. Tanaman Klabet
Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Orde : Fabales
Familia : Fabaceae
Genus : Trigonella Gambar 1. Biji Klabet
Spesies : Trigonella foenum-graecum Linn. (Trigonella foenum-graecum
Linn)
(Cronquist, 1981).
Trigonella foenum-graecum L., famili fabaceae atau dikenal dengan fenugreek atau klabet di
Indonesia, adalah tanaman aromatik dengan tinggi 30-6- cm. daun berbentuk bundar telur terbaik
sampai bentuk baji. bunga tunggal atau sepasang, muncul diketiak daun, dan mahkotanya berwarna
kuning terang. Buahnya berbentuk polong gundul, berbentuk memanjang atau lanset, dan berisikan
10-20 biji (Wharf & Kingdom, 2010)
Biji klabet sendiri mempunyai ukuran rata-rata 3,4 m sampai 4,75 m. Biji klabet berwarna
coklat dengan wangi yang khas. tekstur dari bijinya sangat keras. bijinya yang masih mudah
berwarna hijau, sedangkan biji yang telah tua atau matang berwarna coklat gelap (Patil, 2014).
Trigonella foenum-graecum atau disebut Fenugreek dengan nama daerah klabet telah lama
digunakan secara luas sebagai obat tradisional untuk berbagai jenis penyakit termasuk diabetes
tetapi mekanisme kerjanya dalam mengontrol glukosa darah masih belum jelas. Senyawa utama
dari Fenugreek adalah 4-Hidroxyisoleucine, Coumarine, Diosgenin, Galactomannan, Isovitexin,
Quarcetin, Tigogenin, Trigoneline, Vitexin dan Yamogennine (Penelitian sebelumnya, senyawa
dari fenugreek yang memiliki aktivitas sebagai antidiabetes adalah galactomannan, 4-
hidroxyisoleucine, diosgenin dan trigonellin (Prasetiyo A. dkk., 2019).
Biji klabet mengandung banyak asam folat (84 mg/100 g), selain itu juga mengandung
disogenin, gitogenin, neogitogenin, homorientin, saponaretin, neogigogenin, dan trigogenin
(Khorshidian, et al., 2016). Fenugreek tidak berbahaya untuk dikonsumsi manusia, bahkan klabet
memiliki berbagai macam efek farmakologis yang bermanfaat, seperti hipoglikemik,
hipokolesterolemia, gastroprotektif, antikanker, antioksidan, hepatoprotektor, laksatif, estrogenik,
stimulan nafsu makan, dan lain-lain, yang selanjutnya akan dibahas dalam review jurnal ini.
Manfaat fenugreek yang luar biasa ini dikaitkan dengan kandungan kimianya (20-25% protein, 45-
50% serat makanan, 20-25% serat larut mucilaginous, 6-8% asam lemak dan minyak esensial, serta
2-5% steroid saponin).

Selain itu, juga terdapat beberapa komponen senyawa seperti flavonoid, alkaloid (trigonolin,
cholin, gentianin, carpaine), asam amino (4- hydroxyisoleucine), serta spirostanol dan furastanol
(diosgenin, gitogenin, dan yamogenin) juga telah diidentifikasikan sebagai komponen utama
pemberi efek farmakologis pada biji klabet (Trivedi, et al., 2007). senyawa lain yang dilaporkan
turut bertanggungjawab adalah senyawa polifenol, yaitu kuersetin (flavonoid) (Abdelmoaty, et al.,
2010; Aguirre, et al., 2011), trigonillin (alkaloid) (Raheleh, et al., 2011), diosgenin (saponin)
(Wani, et al., 2012), dan 4-dihidroksiisoleusin (asam amino) (Jette, et al., 2009). Hasil uji klinis
yang sama juga ditunjukkan pada pasien diabetes tipe 2 bahwa pada dosis 10 mg/40 ml larutan
ekstrak biji klabet menghasilkan efek yang signifikan dan paling efektif terhadap penurunan kadar
gula darah (Hasan dan Rahman, 2016).
C. Nanopartikel
Nanopartikel merupakan suatu teknologi yang bertujuan untuk mengembangkan ukuran dari
bentuk sediaan pada rentang ukuran 10 nm – 1000 nm (Aloys, et al., 2016). Nanoteknologi mampu
menghasilkan suatu sediaan obat herbal pada skala atom dan molekuler sehingga menyebabkan
perubahan sifat kimia, biologi dan aktivitas katalitik (Ansari, et al., 2012). Teknologi nano
memiliki beberapa keuntungan yaitu dapat memodifikasi karakteristik permukaan dan ukuran
partikel sehingga obat herbal dapat ditargetkan untuk suatu organ seperti otak, paru-paru, ginjal dan
saluran pencernaan dengan selektivitas dan efektivitas dan keamanan yang tinggi selain itu
pelepasan senyawa aktif dapat dikontrol sehingga meminimalisir efek samping dan obat herbal
dengan ukuran nano dapat diberikan dalam konsentrasi tinggi dikarenakan ukuran yang kecil dan
kapasitas pemuatan yang tinggi (Dewandari, et al., 2013). Persyaratan nanopartikel yang ideal yaitu
partikel tersebut harus dapat masuk ke dalam aliran darah dan mencapai ke dalam sel dan jaringan
target (Abirami, et al., 2014).
Nanopartikel terdiri dari bahan makromolekul dan dapat digunakan untuk terapi sebagai
pembantu (adjuvant) vaksin atau pembawa obat, yaitu dengan melarutkan, memerangkap,
mengenkapsulasi, menyerap atau menempelkan bahan aktif secara kimia. Polimer yang digunakan
untuk membentuk nanopartikel dapat berupa polimer sintetik dan alami. Terdapat dua jenis
nanopartikel tergantung pada proses penyiapan, yaitu nanosphere dan nanocapsule. Nanosphere
mempunyai struktur tipe monolitik (matriks) dan nanocapsule berupa struktur tipe dinding.
Terminologi nanopartikel diadopsi karena seringkali sangat sulit untuk menetapkan dengan tanpa
keraguan apakah partikel tersebut tipe matriks atau membran. Polimer yang memudahkan dalam
penyiapan nanopartikel dapat dipilih berupa polimer yang larut air. Salah satu polimer larut air
yang dapat digunakan pada pembuatan nanopartikel untuk tujuan pengobatan adalah kitosan.
Kitosan memiliki sifat yang ideal, yaitu biocompatible, biodegradable, tidak beracun, dan tidak
mahal (Irianto dan Muljanah, 2011).
Beberapa kelebihan nanopartikel adalah kemampuan untuk menembus ruang-ruang antar sel
yang hanya dapat ditembus oleh ukuran partikel koloidal, kemampuan untuk menembus dinding sel
yang lebih tinggi, baik melalui difusi maupun opsonifikasi, dan fleksibilitasnya untuk dikombinasi
dengan berbagai teknologi lain sehingga membuka potensi yang luas untuk dikembangkan pada
berbagai keperluan dan target. Kelebihan lain dari nanopartikel adalah adanya peningkatan afinitas
dari sistem karena peningkatan luas permukaan kontak pada jumlah yang sama. Pembentukan
nanopartikel dapat dicapai dengan berbagai teknik yang sederhana. Nanopartikel pada sediaan
farmasi dapat berupa sistem obat dalam matriks seperti nanosfer dan nanokapsul, nanoliposom,
nanoemulsi, dan sebagai sistem yang dikombinasikan dalam perancah (scaffold) dan penghantaran
transdermal (Martien R. dkk., 2012)

Kemampuan nanopartikel untuk meningkatkan ketersediaan hayati obat dengan kelarutan


yang rendah dalam sirkulasi sistemik telah banyak dibuktikan (Bhatia et al., 2011; Wu et al., 2005).
Kemampuan ini berlaku umum pada berbagai aplikasi penghantaran (Gelperina et al., 2005): oral
(Martien et al., 2006), intravena (Li et al., 2009), pulmonar (Tonnis et al., 2012; Muttil et al., 2010),
dan transdermal (Ravichandran, 2009). Peningkatan jumlah obat dalam darah pada penghantaran
sistemik juga akan meningkatkan resiko munculnya efek samping maupun efek balik, hingga pada
resiko tercapainya batas kadar toksik (Poelstra et al., 2012). Pada banyak kasus, peningkatan kadar
obat dalam darah ini sangat diperlukan bagi obat untuk dapat menimbulkan efek farmakologis.
Oleh karena itu, nanopartikel memberikan solusi yang baik karena dapat memberikan efek
farmakologis pada dosis yang lebih kecil (efisien) (Hu dan Li, 2011; Wu et al., 2005). Kesesuaian
bentuk sediaan naopartikel dengan jaringan target dan penyakit diperlukan untuk memperoleh
sistem yang dapat memberikan hasil terapi yang optimal. Jaminan akan tercapainya tujuan terapi
merupakan syarat mutlak yang diperlukan untuk dapat memperkenalkan produk sistem
penghantaran obat baru yang dapat diandalkan.
D. Kitosan
Kitosan merupakan biopolimer alam, berbentuk polisakarida linier yang tersusun atas ß-(1-
4)-linked Dglucosamine dan N-acetyl-D-glucosamine dengan distribusi acak. Kitosan diproduksi
melalui proses deasetilasi senyawa kitin, yakni komponen utama pada cangkang binatang
crustaceae seperti rajungan dan udang. Dewasa ini kitosan telah banyak diaplikasikan secara
komersiil pada industri kimia, pangan dan farmasi. Karena sifat-sifat istimewa seperti mukoadhesif,
biokompatibel, biodegradabel, nontoksik dan tingkat imonogenisitas yang rendah, kitosan
merupakan biomaterial yang sangat menjanjikan untuk penggunaannya sebagai pembawa (carrier)
pada sistem penghantaran obat (Mardliyati, dkk., 2012).

Kitosan adalah polisakarida yang banyak terdapat di alam setelah selulosa. Kitosan
merupakan suatu senyawa poli (Namino-2-deoksi-β-D-glukopiranosa) atau glukosamin hasil
deasetilasi kitin/poli (N-asetil2-amino-2-deoksi-β-D-glukopiranosa). Kitosan mempunyai sifat
spesifik yaitu adanya sifat bioaktif, biokompatibel, pengkelat, antibakteri dan dan dapat
terbiodegrasi. Namun demikian, kitosan hanya larut dalam media air dengan keberadaan sedikit
asam dan sifat-sifatnya kurang baik untuk aplikasi biomedis. Salah satu pemanfaatan kitosan dalam
sistem biomedis atau biologis adalah pada sistem penghantaran obat dan pelepasan obat. Pada
sistem ini pelepasan obat dengan kitosan memiliki keterbatasan karena kitosan cepat sekali
menyerap air dan memiliki derajat swelling yang tinggi dalam lingkungan berair, hal tersebut akan
menyebabkan pelepasan obat terjadi lebih cepat (Kurniasari D. & Atun S., 2017).

Nanopartikel terdiri dari bahan makromolekul dan dapat digunakan untuk terapi sebagai
pembantu (adjuvant) vaksin atau pembawa obat, yaitu dengan melarutkan, memerangkap,
mengenkapsulasi, menyerap atau menempelkan bahan aktif secara kimia. Polimer yang digunakan
untuk membentuk nanopartikel dapat berupa polimer sintetik dan alami. Terdapat dua jenis
nanopartikel tergantung pada proses penyiapan, yaitu nanosphere dan nanocapsule. Nanosphere
mempunyai struktur tipe monolitik (matriks) dan nanocapsule berupa struktur tipe dinding. Polimer
yang memudahkan dalam penyiapan nanopartikel dapat dipilih berupa polimer yang larut air. Salah
satu polimer larut air yang dapat digunakan pada pembuatan nanopartikel untuk tujuan pengobatan
adalah kitosan.

Kitosan memiliki sifat yang ideal, yaitu biocompatible, biodegradable, tidak beracun, dan
tidak mahal (Tiyaboonchai, 2003). Di samping itu, kitosan merupakan polisakarida pada urutan
kedua dalam hal ketersediaannya di alam dan termasuk sebagai polielektrolit kationik (Wu et al.,
2005). Menurut Qi & Xu (2006), nanopartikel kitosan memiliki ukuran 40–100 nm dan muatan
permukaan positifnya adalah 50 mV. Kitosan nanopartikel disaring menggunakan membran dengan
diameter 0,45 mm dan diotoklaf untuk menghilangkan kontaminan. Nanopartikel stabil pada
kondisi proses pemanasan dengan otoklaf. Dustgani et al. (2008) dalam penelitiannya memperoleh
nanopartikel kitosan dengan ukuran sekitar 256–350 nm yang diukur dengan menggunakan
hamburan sinar laser dinamis (dinamic laser light scattering). Menurut mereka, diameter
hidrodinamis dari partikel yang diukur dengan menggunakan hamburan sinar lebih besar
dibandingkan dengan ukuran yang diperkirakan dengan menggunakan mikroskop, terutama karena
tingginya kapasitas pengembangan dari nanopartikel kitosan
Metodologi Penelitian
Penulisan jurnal ini dilakukan dengan menggunakan metode studi literatur. Adapun sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari jurnal penelitian dari berbagai sumber
nasional yang telah dipublikasikan dan dapat diunduh secara online.

Standarisasi Ekstrak

a. Standarisasi Non Spesifik

1. Penetapan Kadar Air

Lebih kurang 10 gram ekstrak dimasukkan ke dalam labu destilasi yang telah terhubung
dengan alat destilasi, yang telah terisi dengan 200 mL toluen. Kemudian panaskan pada suhu
105oC selama 2 jam. Setelah 2 jam diukur volume air yang ditampung pada tabung pengukur.

2. Penetapan susut pengering

Ditimbang ekstrak lebih kurang 1 gram dimasukkan dalam botol timbang bertutup yang telah
ditara. Kemudian dipanaskan pada suhu 110oC sampai berat konstan.

3. Penetapan kadar abu total

Lebih kurang ditimbang 2 gram ekstrak dimasukkan ke dalam krus silica bertutup yang telah
ditara. Kemudian dipijarkan dengan panas 700-800oC sampai arang habis kemudian didinginkan
ditimbang jika arang tidak habis tambahkan dengan air panas dan disaring. Filtrat dipanaskan sampai
berat tetap.

4. Kadar abu larut dalam asam

Hasil penetapan kadar abu total ditambahkan HCl encer 2% secukupnya. Kemudian disaring
dipanaskan sampai berat tetap.

b. Standarisasi Spesifik

1. Kadar sari larut dalam etanol

Lebih kurang ditimbang 5 gram ekstrak dinasukkan ke dalam botol bertutup dan dimaserasi
selama 24 jam dengan 100 mL etanol 95 %. Kemudian dikocok dengan menggunakan shaker
selama 6 jam kemudian disaring.Hasil saringan diambil 20 mL filtrat dan masukkan ke dalam
cawan yang susah ditara. Cawan dipanaskan pada suhu 110oC sampai berat konstan.

2. Kadar sari larut dalam Air

Lebih kurang ditimbang 5 g ekstrak dimasukkan ke dalam botol bertutup dan dimaserasi
selama 24 jam dengan 100 mL air. Kemudian dikocok dengan menggunakan shaker selama 6 jam
kemudian disaring. Hasil saringan diambil 20 mL filtrat dan masukkan ke dalam cawan yang susah
ditara. Cawan dipanaskan pada suhu 110oC sampai berat konstan.

3. Uji Kandungan Kimia


Tanin
Sejumlah lebih kurang 1 mL ekstrak ditambah 2mL akuades dan 2-3 tetes FeCl3 dan jika terjadi
warna biru tua atau coklat tua menunjukkan adanya tannin.
Saponin
Sejumlah lebih kurang 1 mL ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah 3 mL
akuades kemudian dikocok selama 15 menit untuk diamati, jika terjadi busa setinggi 1 cm yang
bertahan selama 15 menit maka menunjukkan adanya saponin.
Steroid
Sejumlah lebih kurang 1 mL ekstrak ditambah kloroform kemudian dikocok ditambahkan akuades
biarkan sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan pertama kloroform diteteskan pada pelat tetes dan
dibiarkan kering, ditambahkan beberapa tetes asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat.
Terbentuknya warna biru atau hijau positif steroid.
Sterol – triterpenoid
Sejumlah 1 mL ekstrak ditambah 0,5 mL asam asetat anhidrat dan 0,5 mL kloroform dan
selanjutnya ditambah H2SO4 pekat setetes demi setetes sebanyak 0,2 mL ke dalam dasar tabung
jika terjadi warna ungu maka menunjukkan adanya sterol triterpenoid.
Flavanoid
Sejumlah lebih kurang 1 mL ekstrak ditambah 1-2 mL metanol, dipanaskan pada suhu sekitar
50oC dan setelah dingin ditambah logam Mg dan 4-5 tetes HCl pekat. Warna merah atau jingga
pada filtrat menunjukkan ada flavanoid.
Alkaloid
Sejumlah lebih kurang 1 mL ekstrak ditambah 1,5 mL HCl 2%, dipanaskan sambil dikocok di atas
penangas air kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh dibagi 2. Filtrat pertama ditambahkan 2-3
tetes pereaksi Meyer, sedangkan filtrat kedua ditambahkan 2-3 tetes pereaksi Dragendrof. Adanya
senyawa alkaloid ditunjukkan oleh endapan putih dengan pereaksi Meyer dan endapan jingga
dengan pereaksi Dragendorf pada masing-masing filtrat. Fenol Sejumlah lebih kurang 1 mL larutan
ekstrak ditambah 2 mL akuades dan beberapa tetes larutan FeCl3 perubahan ungu tua pada filtrat
menunjukkan adanya fenol.
Ekstraksi biji kelabet
Pada salah satu jurnal nasional, biji klabet bermanfaat sebagai antidiabetes. Adapun cara
untuk mengambil senyawa antidiabetes pada biji klabet menggunakan metode ekstraksi.
Menurut Isnawati, dkk., (2013), cara ekstraksi biji klabet dilakukan dengan cara menyediakan
bahan yang digunakan dalam penelitian adalah simplisia kering yang berasal dari biji klabet yang
telah dikeringkan dan digiling. Serbuk yang diperoleh diayak sehingga menjadi serbuk dengan
ukuran mesh 41. Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara menimbang serbuk simplisia biji klabet
lebih kurang 2000 gram direndam dengan etanol 50 % lebih kurang 10 liter selama 1 hari. Ekstrak
yang diperoleh disaring dan hasil saringan diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator
sampai diperoleh ekstrak kental. Untuk menghilangkan etanol dari ekstrak maka ekstrak kental
diuapkan lagi dengan menggunakan penangas air pada suhu lebih kurang 40℃. Ampas simplisia
direndam lagi dengan 10 liter etanol 50 % selama 1 hari dan diperlakukan seperti tersebut di atas.
Hasil keseluruhan ekstrak yang telah diuapkan dengan penangas air disatukan dan ditimbang untuk
mendapatkan rendemen ().
Sintesis Nanopartikel Kitosan
Dalam sebuah penelitian beberapa metode telah digunakan untuk membuat sistem
partikulat kitosan. Penentuan metode yang digunakan tergantung faktor- faktor seperti ukuran
partikel yang dinginkan, stabilitas kimia dan panas dari bahan aktif, reprodusibilitas profil kinetik
pelepasan produk akhir dan toksisitas residu yang terkait dengan produk akhir (Agnihotri et al.,
2004).
Pada beberapa penelitian mengenai nanopartikel kitosan, salah satu metode yang
digunakan adalah metode gelasi ionik.

Kitosan dilarutkan pada larutan dengan pH asam untuk mengubah gugus amina (-NH2)
menjadi terionisasi positif (-NH3 +). Gugus yang telah terionisasi positif ini selanjutnya mampu
membentuk interaksi ionik dengan obat yang bermuatan negatif. Secara keseluruhan, sistem yang
terbentuk cenderung menyisakan gugus amonium bebas yang akan saling tolak-menolak sehingga
melemahkan kompleks nanopartikel yang telah terbentuk. Oleh karena itu, perlu ditambahkan
adanya suatu pengikat silang (crosslinker) yang mampu menstabilkan muatan positif yang tersisa.
Pengikat silang ini harus berupa poli-anion, dan salah satu yang banyak digunakan adalah anion
tripolifosfat (TPP). Meskipun demikian, sistem ini memiliki kelemahan yaitu stabilitasnya sangat
dipengaruhi oleh tingkat keasaman, dimana variasi pH akan mempengaruhi ionisasi kitosan yang
pada akhirnya mempengaruhi kekuatan ikatan pada kompleks (Martien R. dkk., 2012).

Hasil dan Pembahasan


Karakteristik Non spesifik Ekstrak biji kelabet
Tabel 1. Karakteristik Non spesifik Ekstrak biji kelabet
No Karakteristik Presentase Ekstrak Biji Klabet
1 Kadar air 13,70
2 Susut pengeringan 20,59
3 Kadar abu total 1,16
4 Kadar abu tidak larut asam 0,06
5 Kadar sari larut dalam etanol 59,58
6 Kadar sari larut dalam air 47,78

Tabel 1. Menunjukkan parameter non spesifik biji klabet. Dimana nilai kadar air
menunjukkan jumlah minimal air yang terkandung dalam ekstrak karena berada
dilingkungan udara terbuka yang dilakukan dengan proses pemanasan pada suhu 105 ºC
selama 5 jam. Nilai kadar air yang diperoleh adalah 13,70%, nilai ini masih masuk dalam
range kadar air dari ekstrak kental sebesar 5-30%. Menurut Manoi (2006), jika nilai kadar
air dari ekstrak kental melebihi nilai yang telah ditetapkan akan menyebabkan terjadinya
proses enzimatik dan kerusakan oleh mikroba. Nilai susut pengeringan menyatakan jumlah
senyawa yang mudah menguap saat proses pemanasan pada suhu tetapan (105ºC). Nilai
susut yang diperoleh adalah 20,59% hal ini masuk dalam range yang telah ditetapkan yakni
24,603 ± 0,104%. Parameter kadar abu total adalah parameter yang menunjukkan nilai
kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses ekstraksi. Nilai kadar abu
total yang diperoleh 1,16% hal ini masih masuk dalam range yang telah ditetapkan yakni 12
± 0,681%. Parameter kadar abu tidak larut asam yang diperoleh adalah 0,06% hal ini
menunjukkan bahwa kadar abu tidak larut asam masuk dalam range yang telah ditetapkan
yakni 0,9%. Menurut Fauzana, (2010), kadar abu yang tinggi dapat mempengaruhi kualitas
dari ekstrak. Menurut Utami Y. dkk., (2017) penetapan kadar senyawa terlarut dalam
pelarut air dan etanol ini bertujuan sebagai perkiraan banyaknya kandungan senyawa-
senyawa aktif yang bersifat polar (larut dalam air) dan bersifat polar – non polar (larut
dalam etanol). Kadar senyawa pada ekstrak yang larut dalam pelarut air dan etanol adalah
masing-masing sebesar 47,78 % dan 59,58 %. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa
senyawa dari biji klabet lebih banyak larut dalam etanol dibanding air. Hal ini menunjukkan
senyawa non polar yang terkandung dalam biji klabet lebih banyak dibandingkan dengan
senyawa polar.

Karakteristik spesifik Ekstrak biji kelabet


Tabel 2. Uji Golongan Kimia Ekstrak Biji Klabet
No Pengujian golongan senyawa kimia Ekstrak Biji Klabet
1 Tannin +
2 Saponin +
3 Steroid +
4 Sterol-Triterpenoid +
5 Flavonoid +
6 Alkaloid +

Tanin. Pada pengujian golongan senyawa kimia, diketahui biji klabet mengandung
mengandung senyawa tanin. Tanin merupakan senyawa yang mempunyai berat molekul
500-3000 dan mengandung sejumlah besar gugus hidroksi fenolik yang memungkinkan
membentuk ikatan silang yang efektif dengan protein dan molekulmolekul lain seperti
polisakarida, asam amino, asam lemak dan asam nukleat (Hidayah, 2016).
Saponin. Pada pengujian golongan senyawa kimia, diketahui biji klabet mengandung
mengandung senyawa saponin. Saponin adalah glikosida dengan berat molekul tinggi,
tersusun dari gula yang terhubung dengan triterpen atau steroid aglikon. Definisi klasik dari
saponin didasarkan pada aktivitas permukaannya, saponin memiliki sifat deterjen,
memberikan busa stabil dalam air, menunjukkan aktivitas hemolitik, memiliki rasa pahit,
dan beracun bagi ikan (Santosa H., dkk, 2018).
Steroid. Pada pengujian golongan senyawa kimia, diketahui biji klabet mengandung
mengandung senyawa steroid. Steroid merupakan terpenoid lipid yang dikenal dengan
empat cincin kerangka dasar karbon yang menyatu. Struktur senyawanya pun cukup
beragam. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya gugus fungsi teroksidasi yang
terikat pada cincin dan terjadinya oksidasi cincin karbonya (Nasrudin, dkk., 2017).
Flavonoid. Pada pengujian golongan senyawa kimia, diketahui biji klabet
mengandung mengandung senyawa flavonoid. Kelompok flavonoid pada biji klabet
diantaranya apigenin, luteolin, orientin, quercetin, vitexin dan isovitexin (Rahmawati,
2014).
Alkaloid. Pada pengujian golongan senyawa kimia, diketahui biji klabet mengandung
mengandung senyawa alkaloid. Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang
terbesar. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan mekanisme
mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding
sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Rahmawati, 2014).
Aktivitas biji kelabet sebagai Terapi Diabetes mellitus
Berdasarkan penelitian yang telah ada, biji klabet dilaporkan berpotensi sebagai obat
antidiabetes. Penelitian Kulkarni et. al. (2012) menunjukan bahwa efektivitas dalam menurunkan
kadar gula darah pada tikus yang telah mengalami DM tipe 2 dari ekstrak biji klabet pada dosis
100 mg/kg bb sekitar 31.59% selama 28 hari dengan induksi streptozotocin dan menggunakan
gliburida sebagai pembanding. Pada biji klabet senyawa Galactomannans bertanggung jawab
terhadap aktivitas antidiabetes.

Terdapat sejumlah penelitian yang dilakukan untuk menunjukkan aktivitas antidiabetes


pada biji klabet. Salah satu senyawa utama yang bertanggungjawab terhadap aktivitas tersebut
adalah serat terlarut yang terdapat pada biji klabet, yaitu galaktomannan (polisakarida).
Galaktomannan mewakili polisakarida utama yang ditemukan dalam biji fenugreek dan
menyumbang sekitar 17 - 50% dari berat biji kering (Rathore, et al., 2013). Studi in vitro telah
dilakukan guna mengidentifikasikan efek galaktomannan pada uptake glukosa di usus pada tikus
kurus dan tikus obesitas yang ditentukan secara genetik. Senyawa galaktomannan dapat
mengurangi penyerapan glukosa di usus, sehingga dapat mengontrol kadar glukosa darah
(Srichamroen, et al., 2008).
Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian dari jurnal “Docking Molekular dari Trigonella
foenum-graceum sebagai Antidiabetes menggunakan Molegro Virtual Docking”. Dalam jurnal
tersebut dijelaskan bahwa hasil analisa docking, ligan pembanding acarabose dan 10
ligan/senyawa uji dari biji klabat dengan reseptor alpha glucosidase (kode PDB 3W37) yang
diperoleh hasil nilai RS dari ligan pembanding acarbose -113.60 kcal/mol dan hasil nilai RS 10
ligan/senyawa uji yang berbeda-beda, nilai RS paling rendah dari 10 ligan uji secara berurutan
adalah senyawa galactomannan -116.56 kcal/mol, senyawa diosgenin -70.18 kcal/mol, senyawa
vitexin -69.04 kcal/mol dan nilai RS tertinggi senyawa trigonellin - 45.30 kcal/mol. Berdasarkan
hal tersebut, senyawa galactomannan mempunyai nilai RS paling rendah dibandingkan dengan 9
senyawa lainnya dalam fenugreek dan ligan pembanding acarbose sehingga galactomannan
diduga dapat berinteraksi kuat dengan protein alpha-glukosidase sehingga dapat menjadi
senyawa antidiabetes
mekanisme kerja penghambat alpha-glukosidase yang terbaik dibandingkan 9 senyawa lainnya dan
juga diduga lebih baik aktivitasnya dibandingkan senyawa pembanding acarbose.

Tabel 3. Hasil Analisis Docking Nilai Rerank Score Ligan dengan Beberapa Resepto
N Senyawa Alpha- Dipeptidyl Peroxisome
o glucosidase Peptidase-4 proliferator
activated gamma
1 Coumarine -57.32 -56.16 -59.43
2 Diosgenin -70.18 -58.75 -85.89
3 Galactomannans -116.56 -80.83 -131.18
4 Quercetin -47.70 -63.69 -83.45
5 Tigogenin -47.94 -86.54 -97.88
6 Trigonelline -45.30 -48.27 -55.94
7 Vitexins -69.04 -72.29 -98.91
8 Isovitexin -65.28 -73.88 -93.78
9 Yamogenin -67.32 -58.17 -86.24
10 4-Hydroxy-isoleucin -58.45 -59.07 -60.4
11 Acarbose -113.60
12 Sitagliptin -87.02
13 rosiglitazon -124.537

Hasil analisa docking, ligan pembanding rosiglitazone dan 10 ligan/senyawa uji dari biji
klabet dengan reseptor peroxisome proliferator activated gamma (kode PDB 2PRG) yang terlihat
dari Table 3, diperoleh hasil nilai RS dari ligan pembanding rosiglitazone -124.54 kcal/mol dan
hasil nilai RS 10 ligan/senyawa uji yang berbeda-beda, nilai RS paling rendah dari 10 ligan uji
secara berurutan adalah senyawa galactomannan -131.18 kcal/mol, senyawa vitexin -98.91
kcal/mol, senyawa tigogenin -97.88 kcal/mol dan nilai RS tertinggi senyawa trigonelline - 55.94
kcal/mol. Berdasarkan hal tersebut, senyawa galactomannan mempunyai nilai RS paling rendah
dibandingkan dengan 9 senyawa lainnya dalam biji klabet dan ligan pembanding rosiglitazone
sehingga galactomannan diduga dapat berinteraksi kuat dengan protein peroxisome proliferator
activated gamma sehingga dapat menjadi senyawa antidiabetes dengan mekanisme kerja agonis
peroxisome proliferator activated gamma yang terbaik dibandingkan 9 senyawa lainnya dan juga
diduga lebih baik aktivitas dibandingkan senyawa pembanding rosiglitazone (Prasetiyo A. dkk.,
2019).
Maka dari itu dibutuhkan upaya untuk meningkatkan potensi dari senyawa tersebut
dengan meningkatkan stabilitas, bioavailabilitas, dan mengembangkan sistem penghantaran obat.
Untuk itu penulis menawarkan solusi dengan menggunakan ekstak biji klabet sebagai agen terapi
DM tipe 2 dalam bentuk nanopartikel kitosan dengan tujuan untuk memperbaiki penghantaran
senyawa galactomannans.
Sintesis Nanopartikel Kitosan
Berdasarkan Jurnal penelitian nasional menjelaskan bahwa kemampuan nanopartikel untuk
meningkatkan ketersediaan hayati obat dengan kelarutan yang rendah dalam sirkulasi sistemik
telah banyak dibuktikan. Kemampuan ini berlaku umum pada berbagai aplikasi penghantaran oral,
intravena, pulmonal dan transdermal. Peningkatan jumlah obat dalam darah pada penghantaran
sistemik juga akan meningkatkan resiko munculnya efek samping maupun efek balik, hingga pada
resiko tercapainya batas kadar toksik. Pada banyak kasus, peningkatan kadar obat dalam darah ini
sangat diperlukan bagi obat untuk dapat menimbulkan efek farmakologis (Martien R. dkk., 2012).
Oleh karena itu, Menurut Martien R. dkk., (2012), nanopartikel memberikan solusi yang
baik karena dapat memberikan efek farmakologis pada dosis yang lebih kecil (efisien). Kesesuaian
bentuk sediaan nanopartikel dengan jaringan target dan penyakit diperlukan untuk memperoleh
sistem yang dapat memberikan hasil terapi yang optimal. Jaminan akan tercapainya tujuan terapi
merupakan syarat mutlak yang diperlukan untuk dapat memperkenalkan produk sistem
penghantaran obat baru yang dapat diandalkan. Nanopartikel PLGA-PEG juga telah terbukti
mempunyai peran dalam membentuk sistem penghantaran obat dengan pelepasan terkontrol, di
mana sistem nanopartikel ini melepaskan obat dengan lambat hingga 7 hari (in vitro) dan 11 hari
(in vivo) dengan biodegradasi gradual.
Kitosan merupakan polimer yang telah cukup populer digunakan dalam sistem
nanopartikel. Hal ini disebabkan karena kitosan memiliki beberapa sifat khas yang tidak dimiliki
oleh polimer lain. Kitosan dilaporkan memiliki kemampuan untuk membuka kait antar sel (tight
junction) pada membran usus secara sementara melalui mekanisme translokasi protein Claudin-4
(Cldn4), Zonnula occludens-1 (ZO-1), dan Occludin dari membran sel ke sitosol sehingga sangat
potensial untuk dikembangkan sebagai bahan utama pembuatan nanopartikel yang ditujukan untuk
aplikasi per oral. Hal ini didukung kelebihan lain dari kitosan yaitu muatan pada gugus amonium
yang positif dapat mengadakan interaksi ionik dengan asam sialat pada membran intestinal saluran
cerna.
Karakteristik kitosan yang telah digunakan untuk pembuatan nanopartikel kitosan oleh
beberapa peneliti bervariasi diantaranya menurut Dustgani et. al., (2008) dengan BM 200 kDa dan
DD 85%, serta menurut Zhang et. al., (2010) dengan BM 21 kDa dan DD 87%. kitosan komersial
diperdagangkan dengan BM dan DD rata-rata masing-masing adalah 3800-20.000 dalton dan 66-
95% (Agnihotri et. al., 2004).
Kemudian dalam pembuatan nanopartikel kitosan yang paling sederhana menggunakan
metode gelasi ionik. Karena menurut Putri A, dkk., (2018), salah satu metode yang digunakan
untuk sintesis nanopartikel kitosan adalah metode gelasi ionik. Gelasi ionic merupakan metode
yang banyak menarik perhatian peneliti dikarenakan prosesnya yang sederhana serta dapat
dikontrol dengan mudah. Prinsip pembentukan nanopartikel pada metode ini adalah terjadinya
interaksi elektrostatik antara gugus amina pada kitosan yang bermuatan positif dengan polyanion
NaTPP yang bermuatan negative membentuk struktur intramolekul tiga dimensi.
Berdasarkan pembahasan di atas nanopartikel kitosan merupakan sistem penghantaran obat
yang bisa digunakan untuk terapi diabetes melitus tipe 2 karena sistem penghantarannya cepat dan
bisa bertahan lama sehingga dapat menjadi terobosan baru untuk terapi diabetes melitus.
Kesimpulan
Pada biji klabet terdapat senyawa galaktomannans yang berfungsi sebagai antidiabetes.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal dilakukan dengan pembuatan nanopartikel kitosan ekstrak
biji klabat dengan metode gelasi ionik sehingga nanopartikel kitosan menjadi sistem penghantaran
obat yang bisa digunakan untuk terapi diabetes melitus tipe 2 karena sistem penghantarannya cepat
dan bisa bertahan lama dan dapat menjadi terobosan baru untuk terapi diabetes melitus.
Ucapan Terima kasih
Ucapan terimakasih kepada IAI PC Kota Gorontalo yang telah mengadakan event ini
sehingga jurnal yang ditulis oleh penulis dapat dipublikasikan. Penulis menyadari bahwa terdapat
banyak pihak yang membantu dalam penyusunan review ini baik secara moril maupun materiil.
Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada ibu Wiwit Zuriati Uno, S.Farm.,
M.Si selaku dosen pembimbing atas kesediaannya dalam menelaah artikel ini
Daftar pustaka
Ade Indriani Putri, Agus Sundrayono, I Nyoman Candra. 2018. Karakteristik
Nanopartikel Kitosan Ekstrak Daun UbiJalar (ipomoea batatas L.) Menggunakan Metode Gelasi
Ionik. Jurnal Pendidikan Dan Ilmu Kimia. Universitas Bengkulu
Alfia Nursetiani & Yedi Herdiana. 2018. Potensi Biji Klabet (Trigonella foenum-
graecum L.) Sebagai Alternatif Pengobatan Herbal:Review Jurnal. Bandung : Farmaka.
Andri Prasetiyo , Esti Mumpuni , Raymond . Tjandrawinata. 2019. Docking Molekular
dari Trigonella foenum-graceum sebagai Antidiabetes menggunakan Molegro Virtual Docking.
Jakarta: Jurnal Jamu Indonesia

Ani Isnawati, Sukmayati Alegantina, Lucie Widowati. 2013. Karakterisasi Ekstrak Etanol
Biji Klabet (Trigonella foenum-graecum L) Sebagai Tanaman Obat Pelancar Asi. Bul. Penelit.
Kesehat, Vol. 41, No. 2.
Cronquist, A. 1981. An Integrated System of Classification of Flowering Plants. New
York: Columbia University Press.
Dessy Kurniasari & Sri Atun. 2017. Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Ekstrak
Etanol Temu Kunci (Boesenbergia pandurata) Pada Berbagai Variasi Komposisi Kitosan.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta
Djayadi Azis, 2021, Apoteker Cetakan, Lomba Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Ikatan
Apoteker Indoinesia, vol 1 no 2, 4-5.
Emy Leonita. 2015. Penggunaan Obat Tradisional oleh Penderita Diabetes Mellitus dan
Faktor-faktor yang Berhubungan di Wilayah Kerja Puskesmas Rejosari. Pekanbaru
Ernawati. 2013. Pelaksanaan Keperawatan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta : Mitra
Wacana Medika.
Etik Mardliyati, Sjaikhurrizal El Muttaqien dan Damai Ria Setyawati. 2013.
Karakterisasi Ekstrak Etanol Biji Klabet (Trigonella foenum-graecum L) Sebagai Tanaman Obat
Pelancar ASI. Pusat Teknologi Farmasi dan Medika. Jakarta.
Hari Eko Irianto dan Ijah Muljanah. 2011. Proses dan Aplikasi Nanopatikel Kitosan
Sebagai Penghantar Obat. Squalen Vol. 6 No.1
Hery Santosa, Widya Sari, Noer Abyor Handayani. 2018. Ekstraksi Saponin Dari Daun
Waru Berbantu Ultrasonik Suatu Usaha Untuk Mendapatkan Senyawa Penghambat Sel Kanker.
Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
Indri Rahmawati. 2014. Kajian Penambahan Ekstrak Biji Klabet (Trigonella foneum
graceum Linn.) Dalam Mempertahankan Mutu Daging Ayam Selama Penyimpanan Suhu Ruang.
Skripsi. Fakultas Teknologi Industru Pertanian, Universitas Padjajaran.
Khorshidian, Nasim, Mojtaba Yousefi Asli, Masoumeh Arab, Abolfazl Adeli Mirzaie, and
Amir Mohammad Mortazavian. 2016. Fenugreek : potential applications as a functional food and
nutraceutical. Nutrition and Food Sciences Research, Vol 3, No 1, pages: 5-16.
Ma’mun., S. Suhirman., F., dan Manoi. 2006. Teknik Pembuatan Simplisia dan Ekstrak
Purwoceng. Laporan Pelaksanaan Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
Nasrudin, Wahyono, Mustofa, Ratna Asmah Susidarti. 2017. Isolasi Senyawa Steroid Dari
Kulit Akar Senggugu (Clerodendrum serratum L. Moon). Fakultas Farmasi Universitas Gadjah
Mada
N. Hidayah. 2016. Pemanfaatan Senyawa Metabolit Sekunder Tanaman (Tanin dan
Saponin) dalam Mengurangi Emusi Metan Ternak Ruminansia. Fakultas pertanian. Universitas
Muhammadiyah Bengkulu
Nurmalia Ningsih, Sedarnawati Yasni, Sri Yuliani. 2017. Sintesis Nanopartikel Ekstrak
Kulit Mangis Merah dan Kajian Sifat Fungsionalprodul Enkapsulasinya. Bogor: J. Teknol dan
Industri Pangan.
Patil S. & Jain G. 201. Holostic Approach of Trigonella foenum-graecum in
Phytochemistry and Pharmacology - A Review. Current Trends in Technology and Science.
Rathore S.S., Saxena S N., Kakani R.K., Singh B. 2013. Rapid and mass screening method
for galactomannan content in fenugreek seeds. Int J Seed Spices; 3(2): 9193.
Restyana Noor Fatimah. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2 . Lampung : J. Majority
Ronny Martien, Adhyatmika, Iramie D. K. Irianto, Verda Farida, Dian Purwita Sari. 2012.
Perkembangan Teknologi Nanopartikel Sebagai Sistem Penghantaran Obat. Yogyakarta: Majalah
Farmaseutik
Sari,R. 2013. Diabetes Mellitus. Yoyakarta : Nuha Medika.
Srinivasan K. 2006. Fenugreek (Trigonella foenum-graecum): A review of health
beneficial physiological effects. Food Reviews- International, 22 : 203–224.
Trivedi PD, Pundarikakshudu K, Rathnam S, Shah KS. 2007. A validated quantitative thin-
layer chromatographic method for estimation of diosgenin in various plant samples, extract, and
market formulation. J Aoac Int ; 90(2): 358- 63.
Wharf C. & Kingdom U. 2010. Assessment Report On Trigonella foenum-graecum L.,
Semen.
Yuri Pratiwi Utami, Abdul Halim Umar, Reny Syahruni, Indah Kadullah. 2017.
Standardisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Leilem (Clerodendrum minahassae Teisjm. &
Binn.). Makassar: Journal of Pharmaceutical and Medicinal Science.

Anda mungkin juga menyukai