Anda di halaman 1dari 40

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN

DAN KEPATUHAN MINUM OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL


(OHO) DENGAN KEBERHASILAN EFEK TERAPEUTIK
PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS
DASAN LEKONG

WIWIK ATMA ELZANOSA


NPM. 190501041

Skripsi Ini Ditulis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Farmasi

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HAMZANWADI
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus sudah menjadi masalah kesehatan yang besar. Data

studi global telah menunjukan jumlah penderita diabetes melitus pada

tahun 2011 sudah mencapai 366 juta orang, dan diperkirakan akan terjadi

peningkatan menjadi 552 juta orang pada tahun 2030. Pada tahun 2006,

lebih dari 50 juta orang yang mengalami diabetes melitus di Asia

Tenggara (Trisnawati, 2013).

International Diabetes Ferdation (IDF) memaparkan bahwa adanya

kenaikan jumlah penderita diabetes sebesar 5 juta penderita dari tahun

2014 hingga tahun 2023 (IDF, 2013). Indonesia sendiri menempati

peringkat ke 7 dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia,

ditaksirkan jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia bisa mencapai

angka 21,3 juta penderita di tahun 2023 (IDF, 2013). Pada tahun 2019

jumlah penderita diabetes melitus di Nusa Tenggara Barat berjumlah

53.139 penderita, kabupaten dengan angka terbanyak berasal dari

kabupaten Lombok Timur dengan jumlah penderita diabetes melitus

sebanyak 11.348 pada tahun 2019 (Dinkes NTB, 2019).

Pada penelitian yang dilakukan di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit

Umum Daerah Ulin Banjarmasin menemukan bahwa persentase responden

DM tipe 2 yang patuh terhadap terapi sebesar 43,6% , sedangkan sisanya

dianggap tidak patuh. Pada penelitian yang sama, adapun persentase


responden terkait tingkat keberhasilan terapi DM tipe 2 sebesar 35,9%,

sedangkan sisanya yaitu sebesar 64,1% dikatakan terapinya tidak berhasil.

Faktor yang menyebabkan kegagalan terapi ini adalah ketidakpatuhan

terhadap pengobatan. Dari hasil penelitian ini terdapat hubungan yang

signifikan antara tingkat kepatuhan pasien dengan keberhasilan terapi DM

tipe 2 (Mulyani, 2016).

Keberhasilan terapi DM sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan

kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan. Kurangnya pengetahuan

mengenai regimen pengobatan, manfaat obat menyebabkan pasien tidak

patuh sepenuhnya melaksanakan anjuran pengobatan. Hal ini disebabkan

karena pengetahuan merupakan dasar bagi perilaku kesehatan.

Pengetahuan yang baik mengenai pengobatan akan menjadikan perilaku

pengobatan baik, sebaliknya pengetahuan yang kurang dapat

menyebabkan perilaku pengobatan yang kurang baik pula (Boyoh, 2015).

Keberhasilan suatu terapi tidak hanya pada ketepatan diagnosis,

pemilihan dan pemberian obat yang tepat, namun kepatuhan pengobatan

menjadi penentu keberhasilan. Kepatuhan merupakan hal yang sangat

penting dalam melakukan pengobatan karena berpengaruh terhadap hasil

terapi. Ketidakpatuhan pada terapi dapat menyebabkan efek negatif.

Masalah ketidakpatuhan penggunaan obat menyebabkan terapi gagal dan

angka hospitalisasi meningkat (Jilao, 2017).

Kepatuhan menjadi persoalan yang perlu mendapat perhatian pada

pasien DM tipe 2. Berbagai penelitian melaporkan rendahnya kepatuhan


pada pasien tersebut. Penelitian yang dilakukan di Puskesmas Wilayah

Surabaya Timur menyebutkan bahwa kepatuhan terhadap penggunaan

obat oleh pasien DM tipe 2 dengan kategori tidak patuh sebesar 54,35%

tidak patuh (Nafi’ah, 2015). Penelitian lain menemukan hanya 39,6%

pasien yang patuh menggunakan obat dan menebus obat dan alasan

terbanyak ketidakpatuhan adalah terlambat menebus obat (86,4%) dan

lupa minum obat (77,3%) (Srikartika dkk, 2016).

Penelitian ini dilakukan di puskesmas Dasan Lekong. Desa Dasan

Lekong merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sukamulia,

Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Di

desa ini sebagian besar penduduknya adalah sebagai petani. Adapun

pemilihan Dasan Lekong disini berdasarkan data angka pasien yang

berobat di puskesmas tersebut pada tahun 2022-2023 sebanyak 70 pasien

dan sudah menempati urutan ke-10 dari 10 penyakit terbanyak di

puskesmas Dasan Lekong.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik ingin melakukan penelitian

terkait hubungan antara tingkat pengetahuan dan kepatuhan minum obat

hipoglikemik oral (OHO) dengan keberhasilan efek terapeutik pada pasien

diabetes melitus tipe 2 di puskesmas Dasan Lekong yang sebelumnya

belum pernah ada peneliti di puskesmas Dasan Lekong.

B. Identifikasi Masalah
Perlunya melakukan analisis tingkat pengetahuan dan kepatuhan dalam

penggunaan OHO untuk mengatasi tingginya angka penderita diabetes

melitus.

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah pada penelitian ini adalah berfokus pada:

1. Pengetahuan dan kepatuhan penggunaan Obat Hipoglikemik Oral

(OHO) dengan keberhasilan efek terapeutik pada pasien DM tipe 2.

2. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) yang digunakan yaitu metformin

hcl, glibenklamid, dan glimepirid.

3. Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Dasan Lekong.

4. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive

sampling (non probablility sampling).

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tingkat pengetahuan pasien tentang Obat Hipoglikemik

Oral (OHO) sebagai terapi pada penyakit diabetes melitus tipe 2?

2. Bagaimana tingkat kepatuhan pasien dalam menggunakan Obat

Hipoglikemik Oral (OHO)?

3. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan

kepatuhan minum obat hipoglikemik oral (OHO) dengan

keberhasilan terapi pada pasien diabetes melitus tipe 2 di

Puskesmas Dasan Lekong?

E. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan

kepatuhan minum Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dengan keberhasilan

efek terapeutik pada pasien diabetes melitus tipe 2 di puskesmas Dasan

Lekong.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi peneliti

Meningkatkan pengetahuan dan mengetahui hubungan antara

tingkat pengetahuan dan kepatuhan minum Obat Hipoglikemik

Oral (OHO) dengan keberhasilan efek terapeutik pada pasien

diabetes melitus tipe 2.

2. Bagi Mahasiswa

Menambah wawasan mahasiswa farmasi tentang adanya

hubungan antara tingkat pengetahuan dan kepatuhan minum Obat

Hipoglikemik Oral (OHO) terhadap keberhasilan efek terapeutik

pada pasien diabetes melitus tipe 2

3. Bagi masyarakat

Memberikan informasi kepada pasien atau masyarakat terkait

pentingnya pengetahuan dan kepatuhan dalam menggunakan OHO

guna menunjang keberhasilan efek terapeutik pasien DM tipe 2.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Deskripsi Teori

1. Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai

dengan kenaikan kadar gula dalam darah yang diakibatkan oleh

gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja insulin. Gangguan tersebut

dapat disebabkan oleh gangguan fisiologis organ tubuh terutama organ

hati, otot dan sel beta serta gangguan metabolisme lemak, karbohidrat,

dan protein oleh tubuh (PERKENI, 2015).

Diabetes melitus merupakan penyakit gangguan metabolisme kronis

yang ditandai dengan peningkatan gula darah (hiperglikemia),

disebabkan karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan untuk

memfasilitasi masuknya gula dalam sel agar dapat digunakan untuk

metabolisme dan pertumbuhan sel. Berkurang atau tidak adanya insulin

menjadikan gula tertahan di dalam darah dan menimbulkan peningkatan

gula darah, sementara sel menjadi kekurangan gula yang sangat

dibutuhkan dalam kelangsungan dan fungsi sel (Izzati & Nirmala dalam

Meivi I.Derek, 2017).

2. Klasifikasi Diabetes Melitus

American Diabetes Association, 2017 mengklasifikasikan 4 macam

penyakit diabetes melitus berdasarkan penyebabnya, yaitu (Marathe dkk.,

2017) :
a. Diabetes melitus tipe 1 atau insulin dependent (IDDM)

Diabetes melitus tipe ini terjadi karena adanya dekstruksi sel beta

pankreas yang disebabkan oleh autoimun. Pada DM tipe ini terdapat

sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin yang dapat ditentukan

dengan mengukur level protein-c yang jumlahnya sedikit atau bahkan

tidak terdeteksi sama sekali, manifestasi klinik pertama dari penyakit ini

adalah ketoasidosis.

b. Diabetes melitus tipe 2 atau insulin non-dependent (NIDDM)

Pada kejadian diabetes melitus tipe 2, diawali dengan kegagalan

sekresi insulin dalam mengkompensasi insulin kemudian diikuti dengan

penurunan sekresi insulin karena kerusakan sel beta pankreas. Pada sel

beta pankreas terdapat sel islet dimana sel tersebut dapat mengeluarkan

insulin yang berfungsi mengatur kadar gula darah. Pada penderita DM

tipe 2 ini membutuhkan tambahan insulin dari luar tubuh.

c. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)

Diabetes melitus gestasional ini terjadi selama masa kehamilan,

dimana gula darah berlebih didapati pertama kali pada masa kehamilan,

biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan

dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional

memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dengan

jangka waktu 5 sampai 10 tahun setelah melahirkan.


d. Diabetes melitus tipe lain

Diabetes melitus tipe lain ini terjadi karena sebab lain, misalnya

pada efek genetik fungsi sel beta pankreas, cacat genetik kerja insulin,

penyakit endokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain,

latorgenik infeksi virus, penyakit autoimun, dan penyakit genetik lain.

3. Etiologi Diabetes Melitus

Menurut (PERKENI, 2015) etiologi diabetes melitus

diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Diabetes Melitus Tipe 1

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut

melalui proses imunologik/Autoimun dan Idiopatik.

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi

insulin relatif sampai yang dominan gangguan sekresi insulin disertai

resistensi insulin.

c. Diabetes Melitus Gestasional

Intoleransi terhadap glukosa yang berkaitan dengan perubahan

metabolik pada masa kehamilan.

d. Diabetes Melitus Tipe Lain

Defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit

eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi :

rubella congenital, CVM, lainnya, sebab imunologi yang jarang,

sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes.


4. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 utamanya disebabkan oleh resistensi insulin

(Ozougwu, 2013). Selain itu, terjadinya DM tipe 2 bisa terjadi karena

resistensi insulin dan defisiensi insulin (Ozougwu, 2013).

Umumnya patofisiologi DM tipe 2 dipengaruhi oleh beberapa keadaan

yaitu : (Fatimah, 2015)

a. Resistensi insulin dikarenakan obesitas dan penuaan

b. Disfungsi sel beta pankreas sehingga menyebabkan defisiensi insulin yang

terjadi melalui 3 jalur yaitu : (Fatimah, 2015)

 Pengaruh luar yang menyebabkan rusaknya sel beta pankreas seperti

virus dan zat kimia.

 Penurunan reseptor gula pada kelenjar pankreas.

 Kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.

c. Terjadinya peningkatan gula hepatik yang tidak disertai kerusakan sel beta

pankreas.

5. Penyebab Diabetes Melitus

Menurut (Nur Aini, 2016) beberapa penyebab diabetes melitus adalah

sebagai berikut :

a. Diabetes Melitus Tergantung Insulin (DMTI)

1) Faktor Genetik

Pada penderita DM ini tidak mewarisi diabetes tipe 1 secara langsung

namun mewarisi suatu predisposisi atau kecendrungan genetik ke arah

terjadinya diabetes melitus tipe 1. Kecendrungan ini dilakukan pada tipe


antigen Human Leucocyte Antigen (HLA) yang merupakan kumpulan gen

yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun

lainnya.

2) Faktor Imunologi

Pada diabetes tipe 1 terbukti adanya suatu respon

autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana

antibodi terarah pada jaringan yang normal dengan cara

bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-

olah sebagai jaringan asing.

b. Diabetes Melitus Tidak Tergantung pada Insulin

1) Obesitas

Obesitas mengurangi jumlah reseptor insulin dari sel

target di seluruh tubuh, akibatnya insulin yang tersedia

menjadi kurang efektif dalam meningkatkan efek

metabolisme.

2) Usia

Penambahan usia merupakan salah satu faktor risiko

yang penting bagi penderita diabetes melitus, karena

penuaan berhubungan dengan resistensi insulin, seperti

halnya resistensi insulin terkait dengan diabetes melitus

tipe 2.

6. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

a. Gejala
Gejala diabetes melitus dibedakan atas gejala akut dan kronik :

1) Gejala akut diabetes melitus yaitu polyphagia (banyak makan), polydipsia

(banyak minum), poliuria (banyak kencing atau sering kencing di malam

hari), nafsu makan bertambah namun berat badan menurun dengan cepat (5-

10 kg dalam waktu 2-4 minggu), serta mudah mengalami kelelahan

(Fatimah, 2015).

2) Gejala kronik diabetes mellitus seperti rasa kesemutan, kelainan kulit,

mudah mengantuk, gigi mudah goyah dan mudah lepas, gatal, bisul yang

sulit sembuh, penglihatan kabur gangguan refraksi mata, diplopia, mulut

kering, impotensi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita (Fatimah,

2015).

b. GDP

Pada pemeriksaan glukosa plasma vena puasa, penderita

dipuasakan 8-12 jam sebelum tes dengan menghentikan semua obat

yang digunakan, bila ada obat yang harus diberikan perlu ditulis

dalam formulir. Intepretasi pemeriksan gula darah puasa, yaitu kadar

glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl adalah diabetes melitus.

Pemeriksaan gula darah puasa lebih efektif dibandingkan dengan

pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (Azizah, 2019). Keberhasilan

terapi diukur dari nilai GDP responden, yaitu nilai GDP responden

yang terukur saat hari pengambilan data. Dikatakan berhasil apabila

nilai GDP berada dalam rentang normal (80-126 mg/dL) (Azizah,

2019).
c. GDA

Pemeriksaan gula darah vena acak/sewaktu pada pasien

DM tipe 2 dilakukan pada pasien DM tipe 2 dengan gejala

klasik seprti poliuria, polidipsia dan polifagia. Gula darah

sewaktu diartikan kapanpun tanpa memandang terakhir kali

makan. Dengan pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat

menegakan diagnosis DM tipe 2. Apabila kadar glukosa darah

sewaktu ≥ 200 mg/dl (plasma vena) maka penderita tersebut

sudah dapat disebut DM. Pada penderita ini tidak perlu

dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa (Azizah, 2019).

d. HbA1c

HbA1c merupakan reaksi antara glukosa dengan

hemoglobin, yang tersimpan dan bertahan dalam sel darah

merah selama 120 hari sesuai dengan umur eritrosit. Kadar

HbA1c bergantung dengan kadar glukosa dalam darah,

sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata kadar gula darah

selama 3 bulan. Kadar HbA1c yang baik adalah ketika <6,5%

(Azizah, 2019).

7. Diagnosis Diabetes Melitus

Kriteria diagnosis diabetes melitus adalah sebagai berilut

(American Diabetes Association, 2016) :

a. Kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi

tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.


b. Gula plasma 2 jam setelah makan ≥ 200 mg/dL. Tes toleransi

gula oral (TTGO) adalah pemeriksaan setelah mendapat

pemasukan gula yang setara dengan 75 gram gula anhidrat

yang dilarutkan dalam air.

c. Nilai A1C ≥ 6,5. Dilakukan pada sarana laboratorium yang

telah terstandarisasi dengan baik.

d. Pemeriksaan gula plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan

keluhan klasik.

8. Terapi Diabetes Melitus Tipe 2

a. Terapi Farmakologi

1) Insulin

Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul

5808 pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino

yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan dengan

jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua

rantai tersebut. Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan

diet atau pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin

dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala

dijadikan pilihan sementara, misalnya selama kehamilan.

Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk,

penggantian insulin total menjadi kebutuhan. Insulin

merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme

karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak.


Fungsi insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa

ke dalam sel–sel sebagian besar jaringan, menaikkan

penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan

pembentukan glikogen dalam hati dan otot, mencegah

penguraian glikogen, serta menstimulasi pembentukan

protein dan lemak dari glukosa. Adapun macam-macam

sediaan insulin, yaitu insulin kerja pendek, kerja sedang,

dan kerja panjang (Noor, 2015).

2) Hipoglikemik Oral

1) Sulfonilurea

Dalam menurunkan kadar gula darah obat golongan

ini bekerja pada organ pankreas lebih tepatnya pada sel

beta pankreas dengan cara merangsang sekresi insulin

pankreas. Semua obat dalam golongan ini memiliki

efektivitas yang sama dalam menurunkan kadar gula

darah dengan dosis yang sama. Contoh obat-obatan

golongan ini adalah acetohexamide, tolazamide,

tolbutamide, glimepiride, glipizid, dan gliburid

(glibenclamide) (PERKENI, 2015).

2) Biguanida

Satu obat oral antidiabetes golongan ini adalah

metformin. Obat metformin bekerja dengan

meningkatkan sensitivitas insulin pada dua organ yaitu


hati dan jaringan otot. Pada hati, metformin mampu

bekerja dengan mengurangi jumlah produksi gula hati

(glukoneogenesis), sementara itu di jaringan otot

metformin mampu memperbaiki pengangkutan gula

pada jaringan perifer (PERKENI, 2015). Metformin

juga merupakan satu-satunya obat antidiabetes oral

yang terbukti dapat mengurangi angka kematian total

penderita diabetes (PERKENI, 2015).

3) Tiazolidindion

Golongan obat baru ini memiliki kegiatan

farmakologis yang luas dan berupa penurunan kadar

glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan

kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati,

sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan

lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan

dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan, yaitu

resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan

juga tidak menyebabkan kelelahan sel beta pankreas.

Contoh: Pioglitazone, Troglitazon (PERKENI, 2015).

4) Inhibitor Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat

kerja enzim glukosidase alfa di dalam saluran cerna

sehingga dapat menurunkan hiperglikemia


postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak

menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh

pada kadar Insulin. Contoh: Acarbose (PERKENI,

2015).

5) DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat

kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like

Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam

bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan

sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon

bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).

Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan

Linagliptin (PERKENI, 2015).

b. Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi menurut PERKENI (2015), yaitu:

1) Edukasi

Edukasi bertujuan promosi kesehatan supaya hidup

menjadi sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya

pencegahan dan bisa digunakan sebagai pengelolaan DM

secara holistik.

2) Terapi nutrisi medis (TNM)

Penyandang DM perlu diberikan pengetahuan tentang

jadwal makan yang teratur, jenis makanan yang baik beserta


jumlah kalorinya, terutama pada penyandang yang

menggunakan obat penurun gula darah maupun insulin.

3) Latihan jasmani atau olahraga

Penyandang DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3

sampai 5 hari dalam seminggu selama 30-45 menit, dengan

total 150 menit perminggu, dan dengan jeda antar latihan

tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Jenis olahraga yang

dianjurkan bersifat aerobic dengan intensitas sedang yaitu 50

sampai dengan 70% dengan denyut jantung maksimal seperti:

jalan cepat, sepeda santai, berenang, dan jogging. Dengan

jantung maksimal dihitung dengan cara: 220-usia

penyandang.

9. Puskesmas

Menurut Permenkes RI tahun 2014 tentang puskesmas adalah

sebagai berikut :

a. Definisi Puskesmas

Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya

kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih

mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk mencapai

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di

wilayah kerjanya (Permenkes RI, 2014).

b. Pelayanan di Puskesmas
1) Rawat Inap

Puskesmas rawat inap adalah puskesmas yang diberi

tambahan ruangan dan fasilitas untuk menolong pasien

gawat darurat, baik berupa tindakan operatif terbatas

maupun asuhan keperawatan sementara dengan

kapasitas kurang lebih 10 tempat tidur. Rawat inap itu

sendiri berfungsi sebagai rujukan antara yang melayani

pasien sebelum dirujuk ke institusi rujukan yang lebih

mampu, atau dipulangkan kembali ke rumah. Kemudian

mendapat asuhan perawatan tindak lanjut oleh petugas

perawat kesehatan masyarakat dari puskesmas yang

bersangkutan di rumah pasien.

2) Rawat Jalan

Rawat Jalan merupakan salah satu unit kerja di

puskesmas yang melayani pasien yang berobat jalan

dan tidak lebih dari 24 jam pelayanan, termasuk seluruh

prosedur diagnostik dan terapeutik. Pada waktu yang

akan datang, rawat jalan merupakan bagian terbesar dari

pelayanan kesehatan di Puskesmas.

10. Pengetahuan

a. Definisi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2014), pengetahuan merupakan

hasil dari mengetahui yang diperoleh setelah merasakan suatu


objek. Persepsi dapat dilakukan melalui panca indera yang

dimiliki manusia yaitu penciuman, penglihatan, pendengaran,

pengecapan, dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan

merupakan bidang yang sangat penting dalam pembentukan

tingkah laku seseorang, dan termasuk dalam bidang kognitif

tingkat paling bawah.

Berdasarkan pengalaman dan penelitian, jelas terlihat

bahwa perilaku berbasis pengetahuan lebih tahan lama

dibandingkan perilaku non berbasis pengetahuan. Oleh karena

itu, penyandang DM bisa melakukan pengendalian kadar gula

darah dengan tepat apabila didasari pengetahuan tentang

penyakit DM, baik tanda dan gejala, maupun penanganannya

(Notoatmodjo, 2014).

b. Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2014), ada 6 tingkat pengetahuan

yang dicakup dalam kognitif yaitu:

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang

telah di pelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam

pengetahuan ketingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari kesluruhan

bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah


diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkatan

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk

mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari

antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

dan menyatakan.

2) Memahami (comprehension)

Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui

dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara

benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau

materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,

menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap

objek yang dipelajari.

3) Aplikasi (application)

Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada kondisi

yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat dirtikan sebagai

aplikasi atau penggunaan hukum-hukum rumus, metode,

prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang

nyata.

4) Analisa (analysis)

Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih


didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada

kaitanya satu sama yang lain. Kemampuan analisis ini

dapat dilihat dari penggunan kata kerja, dapat

menggambarkan, membuat, membedakan,

mengelompokkan.

5) Sintesa (synthesis)

Menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam

bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis

ini suatu kemampuan menyusun formulasi baru dari

formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun,

merencanakan, meringkas, menyesuaikan dan sebagainya,

terhadap suatu teori yang sudah ada.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi dini berkaitan dengan kemampuan untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap materi atau

objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria

yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang

telah ada.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2014), pengetahuan seseorang dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

1) Pengalaman
Sebagai sumber ilmu, pengalaman merupakan cara

untuk memperoleh kebenaran ilmu dengan cara berulang

kali memecahkan masalah yang dihadapi di masa lalu.

Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau

pengalaman orang lain.

2) Tingkat Pendidikan

Pendidikan berperan penting dalam menentukan

kualitas manusia, diasumsikan bahwa manusia akan

memperoleh pengetahuan implikasinya.pendidikan dapat

memperluas wawasan atau pengetahuan. Orang dengan

berpendidikan tinggi memiliki lebih banyak pengetahuan

daripada mereka yang berpendidikan rendah. Semakin

tinggi jenjang pendidikan maka semakin tinggi pula

kualitas hidup yang dihasilkan dalam kehidupan manusia.

3) Pekerjaan

Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi cara

mencari nafkah, repetitif, dan juga banyak tantangan.

Dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja,

orangyang sakit akan lebih termotivasi seperti biasa dan

mau minium obat, karena pekerjaan adalah sumber mata

pencaharian.

4) Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar

individu, baik ligkungan fisik, biologis, maupun sosial.

Proses dimana pengetahuan tentang dampak lingkungan

diimpor ke lingkungan. Hal ini terjadi karena adanya

interaksi timbal balik ataupun yang tidak akan direspon

sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

5) Fasilitas

Fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat

mempengaruhi pengetahuan seseorang, seperti radio,

televisi, majalah, koran, dan buku-buku.

6) Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap

pengetahuan seseorang. Namun bila seseorang

berpenghasilan cukup besar, maka ia akan mampu untuk

menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber

informasi.

7) Sosial Budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga

dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap

seseorang terhadap sesuatu.

d. Cara Mengukur Pengetahuan

Pengetahuan diukur melalui wawancara atau kuesioner

yang memuat isi materi yang akan diukur oleh objek penelitian
atau narasumber. Menurut tahapan pengetahuan, pengukuran

pengetahuan harus diperhatikan dalam perumusan kalimat

pernyataan.

Menurut Budiman dan Riyanto (2013), pengetahuan

seseorang ditentukan berdasarkan hal-hal berikut ini:

1) Bobot I : tahap tahu dan pemahaman

2) Bobot II : tahapan tahu, pemahaman, aplikasi dan

analisis

3) Bobot III : tahapan tahu, pemahaman, aplikasi,

analisis sintesis dan evaluasi.

11. Kepatuhan

a. Definisi Kepatuhan

Kepatuhan adalah perilaku individu (misalnya: minum

obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup)

sesuai anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat

dimulai dari tindak mengindahkan setiap aspek anjuran hingga

mematuhi rencana (Kozier, 2016).

b. Tingkat Kepatuhan

Derajat ketidakpatuhan bervariasi sesuai dengan apakah

pengobatan tersebut kuratif atau prefentif, jangka panjang atau

pendek (Niven, 2013).

Niven (2013), juga mengungkapkan derajat ketidakpatuhan

ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu :


1) Kompleksitas prosedur pengobatan.

2) Derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan.

3) Lamanya waktu dimana pasien harus mematuhi

program tersebut.

4) Apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan.

5) Apakah pengobatan itu berpotensi menyelamatkan

hidup.

6) Keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh

pasien dan bukan petugas kesehatan.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Berikut ini beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

tingkat kepatuhan pasien dalam pengobatan (Pratama,

2014):

1) Usia

Usia termasuk salah satu faktor demografi yang

berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan pada

penggunaan obat diabetes melitus. Menurut penelitian

Febriana (2014), frekuensi terbanyak pada penderita

diabetes melitus di usia 51-60 tahun. Pada usia >65

tahun akan semakin menurunkan kepatuhan.

2) Jenis Kelamin

Menurut Puspita (2016), menyatakan bahwa jenis

kelamin berkaitan dengan peran kehidupan dan


perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan

dalam masyarakat. Jenis kelamin mampu

mempengaruhi tingkat kepatuhan pada diabetes

melitus. Pasien dengan jenis kelamin laki-laki

memiliki peluang besar untuk lupa minum obat

daripada pasien wanita.

3) Pendidikan

Pendidikan dapat mempengaruhi kemampuan

seseorang dalam memberikan penilaian, termasuk

akan pentingnya patuh terhadap pengobatan, semakin

tinggi pendidikan yang didapatkan maka semakin

tinggi pula tingkat kepatuhan dalam pengobatanya.

4) Pengetahuan

Tingkat pengetahuan merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang

terhadap pengobatannya. Tingginya tingkat

pengetahuan akan menunjukkan bahwa seseorang

telah mengetahui, mengerti dan memahami maksud

dari pengobatan yang dijalani. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan

berpengaruh terhadap kepatuhan pengobatan.

5) Pekerjaan
Pekerjaan mampu mempengaruhi tingkat

kepatuhan pada penderita diabetes melitus. Pasien

diabetes melitus yang tidak aktif bekerja memiliki

tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang aktif bekerja.

6) Lama Menderita Penyakit

Tingkat kepatuhan dapat dilihat dari lama

penyakit yang diderita oleh pasien. Semakin lama

pasien menjalani pengobatan semenjak terdiagnosis,

maka tingkat kepatuhan pasien dalam penggunaan

obat akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan

pasien telah jenuh menjalani pengobatan atau tingkat

kesembuhan pasien tersebut tidak tercapai.

7) Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan, dan

penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit.

Ada beberapa jenis dukungan yang dapat diberikan

oleh keluarga, seperti dukungan informasional,

penilaian, instrumental, dan emosional. Penelitian

yang dilakukan oleh Septia dkk (2014) mendapatkan

hasil dimana dukungan yang diberikan oleh keluarga

dapat meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan.

8) Jumlah atau Regimen Pengobatan


Regimen obat yang kompleks dapat meningkatkan

ketidakpatuhan pada pasien. Pasien diabetes melitus

yang mendapatkan regimen pengobatan sederhana

mempunyai tingkat kepatuhan lebih tinggi daripada

yang mendapatkan regimen obat yang kompleks.

d. Cara Mengukur Kepatuhan

Cara ukur kepatuhan menurut Feist (2014) setidaknya

terdapat lima cara yang dapat digunakan untuk mengukur

kepatuhan pada pasien, yaitu :

1) Menanyakan pada petugas klinis

Metode ini adalah metode yang hampir selalu menjadi

pilihan terakhir untuk digunakan karena keakuratan atas

estimasi yang diberikan oleh dokter pada umumnya salah.

2) Menanyakan pada individu yang menjadi pasien

Metode ini lebih valid dibandingkan dengan metode

yang sebelumnya. Metode ini juga memiliki kekurangan,

yaitu: pasien mungkin saja berbohong untuk menghindari

ketidaksukaan dari pihak tenaga kesehatan, dan mungkin

pasien tidak mengetahui seberapa besar tingkat kepatuhan

mereka sendiri.

3) Menanyakan pada individu lain yang selalu memonitor

keadaan pasien.
Metode ini juga memiliki beberapa kekurangan.

Pertama, observasi tidak mungkin dapat selalu dilakukan

secara konstan, terutama pada hal-hal tertentu seperti diet

makanan dan konsumsi alkohol. Kedua, pengamatan yang

terus menerus menciptakan situasi buatan dan seringkali

menjadikan tingkat kepatuhan yang lebih besar dari

pengukuran kepatuhan yang lainnya.

4) Menghitung banyak obat

Dikonsumsi pasien sesuai saran medis yang diberikan

oleh dokter. Prosedur ini mungkin adalah prosedur yang

paling ideal karena hanya sedikit saja kesalahan.

5) Memeriksa bukti-bukti biokimia

Metode ini mungkin dapat mengatasi kelemahan

kelemahan yang ada pada metode-metode sebelumnya.

Metode ini berusaha untuk menemukan bukti-bukti

biokimia, seperti analisis sampel darah dan urin.

12. Keberhasilan Terapi Diabetes Melitus

a. Definisi

Keberhasilan terapi merupakan ketercapaian suatu tujuan

pengobatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal

penyakit diabetes melitus, tujuan pengobatan yang hendak

dicapai adalah mencegah komplikasi akut dan kronis,


meminimalkan episode hipoglikemik, dan mempertahankan

kualitas hidup pasien.

b. Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Terapi

Ada 3 hal yang menjadi dasar dalam pengelolaan diabetes

melitus dalam menunjang keberhasilan terapi (Ardana, 2015) :

1) Kepatuhan Faramakologi

Kepatuhan dalam mengkonsumsi obat-obatan yang

diresepkan oleh dokter akan membantu dalam

pengontrolan kadar gula darah penderita diabetes melitus.

Dalam hal ini, kepatuhan berarti mengikuti petunjuk

medis berupa kesesuaian regimen terapi (dosis, jumlah,

dan frekuensi).

2) Aktivitas Fisik dan Pola Makan

Aktivitas fisik secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30

menit). Aktivitas fisik bertujuan menjaga kebugaran, dapat menurunkan

berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga akan

memperbaiki kendali gula darah. Aktivitas yang dianjurkan berupa latihan

jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging,

dan berenang. Latihan jasmani disesuaikan dengan umur dan status

kesegaran jasmani. Makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal

karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik. Jumlah

kalori disesuaikan dengan pertumbuhan,


status gizi, umur, stress akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan

mempertahankan berat badan ideal.

3) Edukasi

Edukasi yang diberikan adalah pemahaman tentang perjalanan penyakit,

pentingnya pengendalian penyakit, komplikasi yang timbul dan risikonya,

pentingnya intervensi obat dan pemantauan glukosa darah, cara mengatasi

hipoglikemia, perlunya latihan fisik yang teratur, dan cara mempergunakan

fasilitas kesehatan. Mendidik pasien bertujuan agar pasien dapat mengontrol

gula darah, mengurangi komplikasi dan meningkatkan kemampuan merawat

diri sendiri.

B. Penelitian yang Relevan

No. Judul Rancangan Variabel Hasil


Penelitian Penelitian Penelitian
1. Hubungan Cross Variabel bebas : Terdapat
pengetahuan sectional umur, jenis hubungan
dengan kelamin, tingkat antara
kepatuhan pendidikan, pengetahuan
minum obat pekerjaan, dengan
pada pasien pengetahuan. kepatuhan
diabetes minum obat
melitus tipe 2 di Variabel terikat : pasien DM Tipe
Poliklinik Kepatuhan 2.
Endokrin RS minum obat DM
Prof. Dr. R. tipe 2.
D. Kandou
Manado.

2. Pengetahuan Cross Variabel bebas : Terdapat


pasien diabetes sectional Usia, jenis hubungan
melitus tipe 2 kelamin, antara
dan pendidikan, pengetahuan
hubungannya status dengan
dengan pekerjaan, kepatuhan
pengetahuan.
kepatuhan
minum obat di Variabel terikat : minum obat.
Puskesmas kepatuhan
Mandau minum obat.
Kabupaten
Bengkalis.
3. Hubungan Cross Variabel bebas : Terdapat
Tingkat Sectional Tingkat hubungan yang
Pengetahuan pengetahuan signifikan
Dengan antara tingkat
Kepatuhan Variabel terikat : pengetahuan
Minum Obat Kepatuhan
dengan
Hipoglikemik minum obat
kepatuhan
Oral Pada Klien hipoglikemik
oral. minum obat
Diabetes Melitus
Tipe 2 pada klien DM
Di Poli Penyakit tipe 2.
Dalam Blud
Rsud Dr.
Doris Sylvanus
Palangka Raya

C. Kerangka Berpikir

Pasien DM tipe
2

Terapi OHO

Pengetahuan Kepatuhan

Keberhasilan
Terapi (dilihat dari
GDP pasien)

Hubungan antara tingkat pengetahuan dan


kepatuhan minum obat hipoglikemik oral
(OHO) dengan keberhasilan efek terapeutik
pada pasien diabetes melitus tipe 2 di
puskesmas Dasan Lekong.
Diabetes melitus tipe 2 merupakan keadaan tingginya kadar gula dalam

darah yang disebabkan adanya peningkatan resistensi insulin atau kelainan

sekresi insulin. Penyakit ini bersifat tidak dapat disembuhkan sehingga

diperlukan terapi secara terus menerus untuk mempertahankan kadar

glukosa darah yang terkontrol atau sesuai target. Terapi tersebut meliputi

terapi farmakologi dan non farmakologi. Pada penelitian ini terapi

farmakologi yang diteliti berupa obat hipoglikemik oral (OHO), obat yang

diresepkan kepada pasien lebih dari satu obat dengan berbagai macam

aturan pakai dan efek samping. Salah satu contohnya adalah metformin,

digunakan sehari 2-3 kali bersama makan untuk mengurangi efek samping

nyeri di saluran cerna. Hal tersebut akan mempengaruhi pengeahuan dan

kepatuhan pasien dalam menjalani terapi. Keberhasilan terapi dapat diukur

dari nilai GDP responden. Dikatakan berhasil apabila nilai GDP berada

dalam rentang normal yaitu 80-126 mg/dL.

D. Hipotesa Penelitian

Hipotesa adalah suatu jawaban sementara dari pernyataan penelitian

yang harus dibuktikan kebenarannya (Notaotmodjo, 2018). Berdasarkan

kerangka pemikiran diatas, maka hipotesa yang diambil dari penelitian ini

adalah :

1. H0 : Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan

kepatuhan minum obat hipoglikemik oral (OHO) dengan

keberhasilan efek terapeutik pada pasien diabetes melitus tipe 2 di

puskesmas Dasan Lekong.


2. H1 : Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan kepatuhan

minum obat hipoglikemik oral (OHO) dengan keberhasilan efek

terapeutik pada pasien diabetes melitus tipe 2 di puskesmas Dasan

Lekong.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif. Jenis penelitian yang

digunakan adalah observasional analitik dengan desain penelitian cross

sectional. Penelitian cross sectional merupakan penelitian survei dimana

setiap objek hanya diamati satu kali saja dan pengukuran dilakukan secara

bersamaan (Notoatmodjo, 2017).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Dasan Lekong Kabupaten Lombok

Timur Nusa Tenggara Barat dan waktu penelitian di lakukan pada bulan Mei-

Juni 2023.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi

Menurut Notoatmodjo (2018), Populasi adalah keseluruhan objek

penelitian atau objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah

pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Dasan Lekong.

2. Sampel

Sampel merupakan sebagian kecil dari populasi yang akan diteliti atau

sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Kriteria

sampel meliputi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, di mana kriteria

tersebut menentukan dapat dan tidaknya suatu sampel digunakan (Hidayat,

2014).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling

(non probablility sampling), yaitu dipilih subyek yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan oleh peneliti dan dari subyek

tersebut peneliti dapat memperoleh data yang sesuai dengan kebutuhan.

a. Kriteria Inklusi

1. Pasien diabetes melitus tipe 2 yang menggunakan OHO dalam jangka

waktu 3 bulan sebelum pengambilan data pada pasien tersebut.

2. Pasien diabetes melitus tipe 2 yang sudah terdiagnosa selama 3 bulan

terakhir.

3. Pasien yang menggunakan OHO (metformin hcl, glibenklamid, dan

glimepirid).

4. Pasien yang bersedia menjadi responden dalam penelitian.

b. Kriteria Eksklusi

1. Pasien diabetes melitus tipe 2 yang sedang hamil dan menyusui.

2. Pasien diabetes melitus tipe 2 tanpa penyakit penyerta.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (independent)

Variabel bebas (independent) merupakan variabel yang mempengaruhi

atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen

atau terikat.

Variabel bebas (independent) dalam penelitian ini adalah tingkat

pengetahuan dan kepatuhan pasien diabetes melitus tipe 2 dalam


menggunakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) di puskesmas Dasan

Lekong.

2. Variabel Terikat (dependent)

Variabel terikat (dependent) merupakan variabel yang dipengaruhi atau

yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Variabel terikat

(dependent) dalam penelitian ini adalah keberhasilan efek terapeutik pada

pasien diabetes melitus tipe 2 di puskesmas Dasan Lekong.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan informasi yang

dibutuhkan berupa data primer. Data primer adalah data yang diperoleh

langsung dari responden dengan cara mengisi kuisioner yang telah di

sediakan.

Instrumen pengumpulan data merupakan alat yang digunakan untuk

pengumpulan data, alat pengumpulan data ini dapat berupa kuisioner,

formulir, observasi, atau formulis lain yang berkaitan dengan pencatatan data.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuisioner dengan

beberapa pertanyaan (Notoatmodjo, 2018).

Prosedur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Peneliti melakukan observasi puskesmas yang menjadi tempat

penelitian

2. Peneliti mengajukan surat permohonan izin melakukan penelitian

dengan melampirkan jadwal penelitian yang telah ditentukan


sebelumnya kepada pihak puskesmas yang menjadi tempat pelaksanaan

penelitian.

3. Peneliti secara langsung ke puskesmas dan menemui responden yang

dijadikan sebagai sampel.

4. Peneliti datang sesuai jadwal yang telah ditentukan dan disepakati

oleh pihak puskesmas.

5. Peneliti meminta izin dan kesediaan responden untuk mengisi

kuesioner.

6. Peneliti memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan, manfaat, dan

prosedur pengisian kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya.

7. Pasien diabetes melitus tipe 2 yang memperoleh terapi obat

hipoglikemik oral (OHO) dipersilahkan mengisi kuesioner yang

didampingi peneliti.

8. Peneliti melakukan pengolahan data

9. Pembuatan laporan penelitian dan penguraian hasil serta pembahasan

10. Pengambilan kesimpulan dan saran

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan dengan analisis univariat dan analisis

bivariat. Analisis univariat yaitu dilakukan pada suatu variabel dari hasil

penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik dari setiap variabel yang akan di teliti (Notoatmodjo, 2018).

Analisis bivariat yaitu dilakukan terhadap dua variabel yang meliputi variabel

independent dan variabel dependent yang diduga memiliki hubungan atau


korelasi (Notoatmodjo, 2018). Data yang telah didapatkan akan dianalisa

dengan uji statistik. Uji statistik yang digunakan adalah chisquare.

Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan menggunakan komputer

SPSS.

Anda mungkin juga menyukai