Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN SISTEM ENDOKRIN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas praklinik mata kuliah KMB 4

Dosen Pembimbing

Ns. Siti Latifah, S.Kep., M.K.K.K., M.Kep.

Oleh :

Yunda Kurnia 1814201046

Kelompok 6A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Diabetes mellitus adalah penyakit gangguan metabolik terutama
metabolisme karbohidrat yang disebabkan oleh berkurangnya atau
ketiadaan hormon insulin dari sel beta pankreas, atau akibat gangguan
fungsi insulin, atau keduanya (Sutedjo, 2010). Diabetes mellitus adalah
suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang disebabkan oleh
adanya peningkatan kadar gula glukosa darah akibat kekurangan insulin
baik absolut maupun relatif (Syahbudin, 2009). Terdapat dua jenis
penyakit diabetes mellitus, yaitu Diabetes mellitus tipe I (insulin-
dependent diabetes mellitus) dan diabetes mellitus tipe II (noninsulin-
dependent diabetes mellitus). Diabetes mellitus tipe I yaitu dicirikan
dengan hilangnya sel penghasil insulin pada pulau-pulau langhernas
pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes
mellitus tipe II, terjadi akibat ketidakmampuan tubuh untuk merespon
dengan wajar terhadap aktivitas insulin yang dihasilkan pankreas
(resistensi insulin), sehingga tidak tercapai kadar glukosa yang normal
dalam darah. Diabetes mellitus tipe II lebih banyak ditemukan dan
meliputi 90% dari semua kasus diabetes di seluruh dunia (Maulana, 2009).
Menurut WHO tahun 2011, diabetes mellitus termasuk penyakit yang
paling banyak diderita oleh penduduk di seluruh dunia dan merupakan
urutan 2 ke empat dari prioritas penelitian nasional untuk penyakit
degeneratif. Prevalensi Diabetes Mellitus pada populasi dewasa di seluruh
dunia diperkirakan akan meningkat sebesar 35% dalam dua dasawarsa dan
menjangkit 300 juta orang dewasa pada tahun 2025. Bagian terbesar
peningkatan angka pravalensi ini akan terjadi di negara-negara
berkembang (Gibney, 2009). Berdasarkan trend statistik selama 10 tahun
terakhir IDF memprediksi bahwa Indonesia akan berada pada peringkat ke
enam dengan jumlah penderita mencapai 12 juta jiwa pada tahun 2030
(IDF, 2011). Peningkatan jumlah penderita diabetes ini 90% hingga 95%
adalah diabetes mellitus tipe II. Diabetes mellitus tipe II ini terjadi akibat
penurunan sensitivitas terhadap insulin atau karena gangguan sekresi
insulin (Smeltzer & Bare, 2013). Di Indonesia, diabetes mellitus berada
diurutan 4 penyakit kronis berdasarkan pravalensinya. Data Riskesdas
tahun 2013, menyatakan prevalensi nasional penyakit diabetes mellitus
adalah 1,5%. Merujuk kepada prevalensi nasional, Sumatera Barat
memiliki prevalensi total DM sebanyak 1,3%. Dimana Sumatera Barat
berada diurutan 14 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Berdasarakan
umur, penderita banyak dalam rentang usia 56-64 tahun dengan prevalensi
sebesar 4,8% (Kemenkes, 2013). di Kota Padang, tahun 2013 angka
tertinggi kasus baru diabetes mellitus berdasarkan jumlah kunjungan di
Puskesmas berada di wilayah Puskesmas Nanggalo Padang dengan jumlah
kunjungan sebanyak 258 dengan kasus terbanyak yaitu diabetes mellitus
tipe 2. Kemudin diikuti oleh 3 Puskesmas Ambacang dengan jumlah
kunjungan 229, dan diurutan ketiga berada di Puskesmas Lubuk Kilangan
dengan jumlah kunjungan 195 orang (Dinkes Kota Padang, 2013).
Diabetes mellitus dapat menjadi serius dan menyebabkan kondisi kronik
yang membahayakan apabila tidak diobati. Akibat dari hiperglikemia
dapat terjadi komplikasi metabolik akut seperti ketoasidosis diabetik
(KAD) dan keadaan hiperglikemi dalam jangka waktu yang lama
berkontribusi terhadap komplikasi neuropatik. Diabetes mellitus juga
berhubungan dengan penigkatan kejadian penyakit makrovaskular seperti
MCI dan stroke (Smeltzer & Bare, 2013). Menurut WHO, penderita
diabetes beresiko mengalami kerusakan mikrovaskuler seperti retinopati,
nefropati dan neuropati. Hal ini akan memberikan efek terhadap kondisi
psikologis pasien. Untuk mencegah terjadinya komplikasi dari diabetes
mellitus, diperlukan pengontrolan yang terapeutik dan teratur melalui
perubahan gaya hidup pasien DM yang tepat, tegas dan permanen.
Pengontrolan diabetes mellitus diantaranya adalah pembatasan diet,
peningkatan aktivitas fisik, regimen pengobatan yang tepat, kontrol medis
teratur dan pengontrolan metabolik secara teratur melalui pemeriksaan
labor (Golien C.E et al dalam Ronquillo et al, 2003). Kepatuhan pasien
DM terhadap terhadap terapi yang telah diindikasikan dan diresepkan oleh
dokter akan memberikan efek terapeutik yang positif (therapeutic
compliance). Pasien DM yang mengikuti regimen terapeutik yang telah
diindikasikan dapat menimbulkan kegagalan 4 pelaksanaan terapi
(noncomplience) seperti keterlambatan terapi, menghentikan terapi dan
tidak mengikuti terapi dengan tepat. Penelitian yang dilakukan Robinson
(2006), terhadap 19 pasien diabetes mellitus, menyimpulkan bahwa
dukungan keluarga merupakan faktor yang paling utama untuk
mempertahankan metabolik kontrol yang akan mempengaruhi
perkembangan kesehatan dan pengobatan pasien. Sementara Reinhardt
(2001) melaporkan bahwa dukungan keluarga yang negatif merupakan
prediktor untuk terjadinya depresi. Pada sebuah studi longitudinal
melakukan investigasi peran keluarga terhadap status kesehatan pasien
dengan penyakit kronik., mereka menemukan hubungan yang kuat antara
peran keluarga dengan status kesehatan pasien. Kesimpulan pada
penelitian ini menyatakan bahwa dukungan keluarga paling signifikan
terhadap kontrol gula darah dan manajemen diabetes mellitus. Dukungan
keluarga diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga
yang lain sehingga akan memberikan kenyamanan fisik dan psikologis
pada orang yang dihadapkan pada situasi stress (Taylor,2006). Dukungan
keluarga terkait dengan kesejahteraan dan kesehatan dimana lingkungan
keluarga menjadi tempat individu belajar seumur hidup. Dukungan
keluarga telah didefinisikan sebagai faktor penting dalam kepatuhan
manajemen penyakit untuk remaja dan dewasa dengan penyakit kronik.
Dukungan keluarga merupakan indikator yang paling kuat memberikan
dampak positif terhadap perawatan diri pada pasien diabetes (Neff dalam
Hensarling, 2009). 5 Hensarling (2009) membagi dukungan keluarga
menjadi empat dimensi dukungan yaitu dimensi empathethic (emosional),
dimensi encourgement (penghargaan), dimensi facilitative (instrumental),
dan dimensi participative (partisipasi). Masing-masing dimensi ini penting
dipahami bagi individu yang ingin memberikan dukungan keluarga karena
menyangkut persepsi tentang keberadaan dan ketepatan dukungan bagi
seseorang. Dukungan keluarga bukan sekedar memberikan bantuan, tetapi
yang penting adalah bagaimana persepsi pemerima terhadap makna
bantuan tersebut. Persepsi ini erat hubungannya dengan ketepatan
dukungan yang diberikan, dalam arti seseorang yang menerima sangat
merasakan manfaat bantuan bagi dirinya. Karena sesuatu hal yang aktual
dan memberikan kepuasan (Koentjoro, 2002). Ditekankan lagi bahwa
keluarga mempunyai pengaruh kepada sikap dan kebutuhan belajar bagi
penderita DM dengan memberikan dukungan baik secara fisik, psikologis,
emosional, dan sosial. Pasien DM akan memiliki sikap lebih positif untuk
mempelajari diabetes mellitus, apabila keluarga memberikan dukungan
dan berpartisipasi dalam pendidikan kesehatan mengenai diabetes mellitus.
Sebaliknya pasien DM akan bersikap negatif apabila terjadi penolakan
terhadap pasien dan tanpa adanya dukungan dari keluarga selama
menjalani pengobatan (Soegondo, 2006). Hampir sama dengan penelitian
yang dilakukan oleh Goz et al (2007), bahwa pada pasien DM diperlukan
pengontrolan terhadap metabolik yang dapat mempengaruhi gaya hidup
pasien (dalam menggunakan terapi insulin 6 dan obat antidiabetik oral),
makanan, pengukuran gula darah dan latihan. Hal ini dapat dicapai dengan
partisipasi atau keterlibatan keluarga. Mengingat terapi dan perawatan DM
memerlukan waktu yang panjang tentunya bisa menimbulkan kebosanan
dan kejenuhan pada pasien DM. Oleh karena itu selain memperhatikan
masalah fisik maka perlu juga diperhatian faktor psikologis pasien dalam
penyelesaian masalah diabetes mellitus. Keikutsertaan anggota keluarga
dalam memandu pengobatan, diet, latihan merupakan bentuk peran serta
aktif bagi keberhasilan penatalaksanaan diabetes mellitus. Pembinaan
terhadap anggota keluarga lainnya untuk bekerja sama menyelesaikan
masalah diabetes mellitus dalam keluarganya, hanya dapat dilakukan bila
sudah terjalin hubungan yang erat antara tenaga kesehatan dengan pihak
pasien dan keluarganya (Rifki, 2009). Perawat sebagai salah satu dari
tenaga kesehatan mempunyai peranan dalam pengelolaan pasien DM.
Diantara tindakan dan intervensi dalam pengontrolan penyakit DM adalah
pengontrolan diet, peningkatan aktivitas fisik, kontrol medik secara teratur
dan regimen terapeutik yang tepat serta melibatkan keluarga dalam asuhan
keperawatan. Terdapatnya pelaksanaan asuhan keperawatan yang
komprehensif terhadap pasein DM diharapkan dapat mengatasi dan
menghindari terjadinya komplikasi serta kualitas hidup yang baik dapat
dicapai. Hasil survey dengan lima orang pasien DM tipe 2 didapatkan tiga
orang pasien mengatakan datang berobat ke Puskesmas Nanggalo
kadangkadang diantar oleh keluarga, dua orang sering datang sendiri.
Selanjutnya 7 dari lima orang pasien, tiga orang pasien mengalami luka
pada telapak kaki dan dua orang lainnya mengalami penurunan
penglihatannya. Kemudian dari lima orang pasien, dua orang pasien
diantaranya mengatakan sudah bosan dengan penyakitnya dan merasa
membebani keluarga, sedangkan 3 orang pasien lainnya mengatakan sulit
untuk beribadah karena sakit yang dideritanya serta merasa kurang
diperhatikan oleh keluarganya. Dengan demikian kondisi penyakit DM
tipe II yang dialami pasien menimbulkan berbagai jenis masalah fisik dan
psikologis yang bermuara pada pentingnya dukungan orang-orang sekitar
terutama keluarga. Rendahnya dukungan keluarga akan berdampak
terhadap keterlaksanaan pengelolaan DM tipe 2 yang beresiko terhadap
kondisi psikologis dan proses pengobatan. Penelitian tentang dukungan
keluarga ditinjau dari empat dimensi dukungan keluarga belum pernah
dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran
dukungan keluarga ditinjau dari empat dimensi dukungan keluarga pada
pasien diabetes mellitus tipe II.
B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien yang
mengalami Diabetes Mellitus (DM)
b. Tujuan Khusus
 Mengetahui pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dari
diabetes mellitus (DM)
 Mengetahui penyebab dari diabetes mellitus (DM)
 Mampu melakukan pengkajian pada pasien yang
mengalami diabetes mellitus (DM)
 Mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien
yang mengalami diabetes mellitus (DM)
 Mampu menyusun perencanaan keperawatan pada pasien
yang mengalami diabetes mellitus (DM)
 Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien
yang mengalami diabetes mellitus (DM)
 Mampu melaksanakan evaluasi tindakan keperawatan pada
pasien yang mengalami diabetes mellitus (DM)

C. Manfaat
 Bagi Puskesmas Dapat digunakan sebagai sumber informasi
mengenai pentingnya dukungan keluarga dalam pengobatan pasien
Diabetes Mellitus Tipe II.

1. Bagi pelayanan keperawatan Penelitian ini dapat digunakan sebagai


dasar dalam memberikan pelayanan keperawatan, khususnya dalam
pemberian asuhan keperawatan pada pasien penyakit diabetes mellitus
secara lebih komprehensif dan berkualitas dengan menitikberatkan
pada pelibatan pasien dan keluarga dalam pengelolaan penyakit
diabetes mellitus.
2. Bagi responden Dapat digunakan sebagai informasi mengenai
pentingnya dukungan dari keluarga sehingga akan berpengaruh pada
proses penyembuhan responden tersebut.
3. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dan
data dasar untuk penelitian selanjutnya.
BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS

1. TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“mengalirkan atau mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari
bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit diabetes
melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urine
yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah
penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan
absolute insulin atau penurunan relative insensitivitas sel terhadap
insulin (Corwin, 2009).
Diabetes Melitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia
kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan
hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada
membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron
(Mansjoer dkk, 2007)
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun
2005, diabetus merupakan suatu kelompok panyakit metabolik
dengan karakterristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan defisiensi dari
insulin dan kehilangan toleransi terhadap glukosa ( Rab, 2008)
DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kelainan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau akibat kerja
insulin yang tidak adekuat (Brunner & Suddart, 2002).
B. ETIOLOGI
1. Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI)
a. Faktor genetic :
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu
sendiri tetapi mewarisi suatu presdisposisi atau
kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I.
Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang
memililiki tipe antigen HLA (Human Leucocyte
Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses
imun lainnya.
b. Faktor imunologi :
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon
autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana
antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β
pancreas, sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan
bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses
autoimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β
pancreas.

2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)


Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum
diketahui, factor genetic diperkirakan memegang peranan
dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI
ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun
dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat
resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin.
Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-
reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraselluler yang meningkatkan transport glukosa
menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI
terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan
reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya
jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada
membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal
antara komplek reseptor insulin dengan system transport
glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan
dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi
insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar
tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia
(Price, 1995 cit Indriastuti 2008). Diabetes Melitus tipe II
disebut juga Diabetes Melitus tidak tergantung insulin
(DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus
(NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen
bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama
dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat
timbul pada masa kanak-kanak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya
DM tipe II, diantaranya adalah:
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada
usia di atas 65 tahun)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Kelompok etnik

C. Manifestasi klinis
1. Diabetes Tipe I
 hiperglikemia berpuasa
 glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia,
polifagia
 keletihan dan kelemahan
 ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah,
hiperventilasi, nafas bau buah, ada perubahan tingkat
kesadaran, koma, kematian)
2. Diabetes Tipe II
 lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
 gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah
tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang
sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur
 komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati,
penyakit vaskular perifer)

D. PATOFISIOLOGI DAN PHATWAY


Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat
ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta
pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi
puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh
hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak
dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka
ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang
tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin
(glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke
dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis
osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien
akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa
haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme
protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan.
Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan  (polifagia),
akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin
mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang
disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari
dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita
defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih
lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan
terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan
produksi badan keton yang merupakan produk samping
pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya
berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan
tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah,
hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan
menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.
Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan
akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan
mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan
disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan
komponen terapi yang penting.
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah
utama yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat
dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian
reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin
pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah
terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa
terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan
insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes
tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin
dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak
dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu
ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun
demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat
menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom
hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes
yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi
glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan
progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa
terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas,
poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh,
infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya
sangat tinggi).
Reaksi Obesitas, Usia, Genetik
Autoimun

DM tipe I DM tipe II

Sel beta pancreas hancur Sel beta pancreas hancur

Difisiensi Insulin

Anabolisme protein Lipolisis Aterosklerois Penurunan


Metabolisme
protein menurun meningkat pemakaian glukosa

Kerusakan pada antibodi Gliserol asam lemak


betas meningkat
Hiperglikemi
Merangsang
Kekebalan tubuh hipotalamus
menurun Aterosklerois Ketogenesis Glyosuria Viskositas
darah
Perut lapar dan haus meningka
Ketonuria
Osmotic t
Resiko Neuropati diuresis
infeksi sensori
Polidipsi & polifagi Ketoasidosis Aliran
perifer
daah
Poliuria melamba
- Nyeri abdomen
Ketidakseimbangan t
Klien merasa - Mual muntah
nutrisi kurang dari
tidak sakit - Hiperventilasi Iskemic
kebutuhan tubuh Dehidrasi
saat luka - Nafas bau keton jaringan
- koma
Kekurang
Mikro vaskuler an volume
cairan Ketidake
Makro vaskuler fektifan
Retina perfusi
jaringan
Jantung Serebral
Retina diabetik perifer

Miocard Penyumbat
Gangguan penglihatan
infark an pada Stroke
otak
Resiko cidera
Nyeri akut

Nekrosis luka

Gangren

Kerusakan
integritas jaringan
E. Penatalaksanaan
1) Medis
Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi
terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan
terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa
darah normal tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan serius
pada pola aktivitas pasien. Ada lima komponen dalam
penatalaksanaan DM, yaitu :
2) Diet
Syarat diet DM hendaknya dapat :
a. Memperbaiki kesehatan umum penderita
b. Mengarahkan pada berat badan normal
c. Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati
diabetic
d. Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan
penderita
e. Menarik dan mudah diberikan
Prinsip diet DM, adalah :
 Jumlah sesuai kebutuhan
 Jadwal diet ketat
 Jenis : boleh dimakan / tidak

Dalam melaksanakan diit diabetes sehari-hari hendaklah diikuti


pedoman 3 J yaitu:
 jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan  dikurangi
atau ditambah
 jadwal diit harus sesuai dengan intervalnya
 jenis makanan yang manis harus dihindari
Penentuan jumlah kalori Diit Diabetes Mellitus harus
disesuaikan oleh status gizi penderita, penentuan gizi
dilaksanakan dengan menghitung Percentage of Relative Body
Weight (BBR = berat badan normal) dengan rumus :

    
1. Kurus (underweight)    BBR < 90 %
2. Normal (ideal)              BBR 90% - 110%
3. Gemuk (overweight)    BBR > 110%
4. Obesitas apabila         BBR > 120%
5. Obesitas ringan        BBR 120 % - 130%
6. Obesitas sedang      BBR 130% - 140%
7. Obesitas berat          BBR 140% -  200%
8. Morbid                    BBR >200 %

Sebagai pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari-hari


untuk penderita   DM yang bekerja biasa adalah :
1. Kurus (underweight)    BB X 40-60 kalori sehari
2. Normal (ideal)              BB X 30 kalori sehari
3. Gemuk (overweight)    BB X 20 kalori sehari
4. Obesitas apabila          BB X 10-15 kalori sehari

3) Latihan
Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita DM,
adalah :
 Meningkatkan kepekaan insulin, apabila dikerjakan setiap
1 1/2  jam sesudah makan, berarti pula mengurangi insulin
resisten pada penderita dengan kegemukan atau
menambah jumlah reseptor insulin dan meningkatkan
sensivitas insulin dengan reseptornya.
 Mencegah kegemukan bila ditambah latihan pagi dan sore
 Memperbaiki aliran perifer dan menambah suplai oksigen
 Meningkatkan kadar kolesterol – high density lipoprotein
 Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka
latihan akan dirangsang pembentukan glikogen baru.
 Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam
darah karena pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.
4) Penyuluhan
Penyuluhan merupakan salah satu bentuk penyuluhan kesehatan
kepada penderita DM, melalui bermacam-macam cara atau media
misalnya: leaflet, poster, TV, kaset video, diskusi kelompok, dan
sebagainya.
5) Obat
 Tablet OAD (Oral Antidiabetes)/ Obat Hipoglikemik Oral
(OHO)
 Mekanisme kerja sulfanilurea
Obat ini bekerja dengan cara menstimulasi
pelepasan insulin yang tersimpan, menurunkan
ambang sekresi insulin dam meningkatkan sekresi
insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Obat
golongan ini biasanya diberikan pada penderita
dengan berat badan normal dan masih bisa dipakai
pada pasien yang berat badannya sedikit lebih.
 Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik,
tetapi mempunyai efek lain yang dapat
meningkatkan efektivitas insulin, yaitu :
 Biguanida pada tingkat prereseptor →
ekstra pankreatik
- Menghambat absorpsi karbohidrat
- Menghambat glukoneogenesis di
hati
- Meningkatkan afinitas pada
reseptor insulin
 Biguanida pada tingkat reseptor :
meningkatkan jumlah reseptor insulin
 Biguanida pada tingkat pascareseptor: mempunyai
efek intraselluler
 Insulin
 Indikasi penggunaan insulin
a) DM tipe I
b) DM tipe II yang pada saat tertentu tidak
dapat dirawat dengan OAD
c) DM kehamilan
d) DM dan gangguan faal hati yang berat
e) DM dan gangguan infeksi akut (selulitis,
gangren)
f) DM dan TBC paru akut
g) DM dan koma lain pada DM
h) DM operasi
i) DM patah tulang
j) DM dan underweight
k) DM dan penyakit Graves
 Beberapa cara pemberian insulin
 Suntikan insulin subkutan
Insulin regular mencapai puncak kerjanya pada 1
– 4 jam, sesudah suntikan subcutan, kecepatan
absorpsi di tempat suntikan tergantung pada
beberapa faktor antara lain :
6) Cangkok pancreas
Pendekatan terbaru untuk cangkok adalah segmental dari donor
hidup saudara kembar identik
F. Pemeriksaan Penunjang
 Glukosa darah: gula darah puasa > 130 ml/dl, tes toleransi
glukosa > 200 mg/dl, 2 jam setelah pemberian glukosa.
 Aseton plasma (keton) positif secara mencolok.
 Asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat
 Osmolalitas serum: meningkat tapi biasanya < 330
mOsm/I
 Elektrolit: Na mungkin normal, meningkat atau menurun,
K normal atau peningkatan semu selanjutnya akan
menurun, fosfor sering menurun.
 Gas darah arteri: menunjukkan Ph rendah dan penurunan
HCO3
 Trombosit darah: Ht meningkat (dehidrasi), leukositosis
dan hemokonsentrasi merupakan respon terhadap stress
atau infeksi.
 Ureum/kreatinin: mungkin meningkat atau normal
 Insulin darah: mungkin menurun/ tidak ada (Tipe I) atau
normal sampai tinggi (Tipe II)
 Urine: gula dan aseton positif
 Kultur dan sensitivitas: kemungkinan adanya ISK, infeksi
pernafasan dan infeksi luka.
2. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Fokus utama pengkajian pada klien Diabetes Mellitus adalah
melakukan pengkajian dengan ketat terhadap tingkat pengetahuan
dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri. Pengkajian
secara rinci adalah sebagai berikut
1. PENGKAJIAN  PRIMER
Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik,antara lain :
 Airway + cervical control
a) Airway                              
Lidah jatuh kebelakang (coma
hipoglikemik), Benda asing/ darah pada rongga
mulut
b) Cervical Control   : -
 Breathing + Oxygenation
- Breathing              : Ekspos dada, Evaluasi
pernafasan
- KAD    : Pernafasan kussmaul
- HONK : Tidak ada pernafasan Kussmaul (cepat
dan dalam)
- Oxygenation : Kanula, tube, mask
 Circulation + Hemorrhage control
1)  Circulation   :
 Tanda dan gejala schock
 Resusitasi: kristaloid, koloid, akses
vena.
2)   Hemorrhage control : -
 Disability : pemeriksaan neurologis  GCS
 A : Allert  : sadar penuh, respon bagus
 V : Voice Respon  : kesadaran menurun,
berespon terhadap suara
 P : Pain Respons : kesadaran menurun, tdk
berespon thd suara, berespon terhadap
rangsangan nyeri
 U : Unresponsive     : kesadaran menurun, tdk
berespon thd suara, tdk bersespon thd nyeri
2. PENGKAJIAN SEKUNDER
Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan
pertolongan atau penenganan pada pemeriksaan primer.
Pemeriksaan sekunder meliputi :
a. AMPLE : alergi, medication, past illness, last
meal, event
b. Pemeriksaan seluruh tubuh : Head to toe
c. Pemeriksaan penunjang : lebih detail, evaluasi ulang
Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar
dari 200mg/dl). Biasanya, tes ini dianjurkan untuk
pasien yang menunjukkan kadar glukosa meningkat
dibawah kondisi stress.
b. Gula darah puasa normal atau diatas normal.
c. Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
d. Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
e. Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat
meningkat menandakan ketidakadekuatan kontrol
glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya
aterosklerosis.

B. Anamnese
a. Keluhan Utama
Cemas, lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri
abdomen, nafas pasien mungkin berbau aseton pernapasan
kussmaul, poliuri, polidipsi, penglihatan yang kabur,
kelemahan dan sakit kepala
b.   Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit (Coma
Hipoglikemik, KAD/ HONK), penyebab terjadinya
penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/ HONK) serta upaya
yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit 
lain yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya
penyakit pankreas.  Adanya riwayat penyakit jantung,
obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang
pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan
oleh penderita.
d.   Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat atau adanya faktor resiko, riwayat keluarga
tentang penyakit, obesitas, riwayat pankreatitis kronik,
riwayat melahirkan anak lebih dari 4 kg, riwayat
glukosuria selama stress (kehamilan, pembedahan, trauma,
infeksi, penyakit) atau terapi obat (glukokortikosteroid,
diuretik tiasid, kontrasepsi oral).
e. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi
yang dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya
serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.

f. Kaji terhadap manifestasi Diabetes Mellitus: poliuria,


polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, pruritus
vulvular, kelelahan, gangguan penglihatan, peka rangsang,
dan kram otot. Temuan ini menunjukkan gangguan
elektrolit dan terjadinya komplikasi aterosklerosis.
g. Kaji pemahaman pasien tentang kondisi, tindakan,
pemeriksaan diagnostik dan tindakan perawatan diri untuk
mencegah komplikasi.
   
C. Diagnosa yang Mungkin Muncul
a. Ketidakstabilan gula darah berhubungan dengan
resistensi insulin
b. Nyeri Akut berhubungan dengan Agen cedera fisik
c. Infeksi b.d peningkatan Leukosit
d. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan imobilitas
D. RENCANA KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA (SDKI) TUJUAN (SLKI) INTERVENSI (SLKI)


1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Keperawatan 1  Manajemen nyeri
berhubungan dengan x24 jam diharapkan nyeri menurun  Observasi :
agen pencedera fisik KH :  Identifikasi identifikasi lokasi,
 Tingkat nyeri menurun karakteristik, durasi, frekuensi,
 Penyembuhan luka membaik kualitas,intensitas nyeri
 Tingkat cidera menurun  Identifikasi skala nyeri
 Terapeutik :
 Berikan teknik non
farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
 Edukasi:
 Jelaskan penyebab dan periode
dan pemicu nyeri
 Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik
 Edukasi teknik nafas dalam
 Observasi :
 Identifikasi kesiapan dan
kemampua menerima informasi
 Terapeutik :
 Sediakan materi dan media
pendidikan kesehatan
 Edukasi:
 Jelaskan tujuan dan manfaat
teknik nafas dalam
 Jelaskan prosedur teknik nafas
dalam.
2 Ketidakstabilan gula Setelah dilakukan tindakan keperawatan  Manajemen hiperglikemia
darah selama 1x 24 jam maka ketidakstabilan gula  Observasi :
b.d resistensi insulin darah membaik  Identifikasi kemungkinan
KH : penyebab hiperglikemia
 Kestabilan kadar glukosa darah  Monitor tanda dan gejala
membaik hiperglikemia
 Status nutrisi membaik  Terapeutik :
 Tingkat pengetahuan meningkat  Berikan asupan cairan oral
 Edukasi :
 Ajurkan kepatuhan terhadap
diet dan olah raga
 Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian insulin 6
Iu
 Edukasi program pengobatan
 Observasi :
 Identifikasi pengobatan yang
direkomendasi
 Terapeutik :
 Berikan dukungan untuk
menjalani program pengobatan
dengan baik dan benar
 Edukasi:
 Jelaskan mamfaat dan efek
samping pengobatan
 Anjurkan mengosomsi obat
sesuai indikasi.
3 Infeksi b.d peningkatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan  Pengcegahan Infeksi
Leukosit selama 1x 24 jam maka tingkat infeksi  Observasi
menurun  Monitor tanda dan gejala
KH : infeksi local dan sistematik
 Tingkat nyeri menurun  Terapetik
 Integritas kulit dan jaringan membaik  Berikan perawatan kulit pada
 Kontrol resiko meningkat area edema
 Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan pasien
dan lingkungan pasien
 Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
 Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka
 Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik
 Perawatan luka
 Observasi :
 Monitor karakteristik luka
(drainase,warna ukuran, bau)
 Monitor tanda tanda infeksi
 Terapeutik :
 Lepaskan balutan dan plester
secara perlahan
 Bersihkan dengan Nacl
 Bersihkan jaringan nikrotik
 Berikan salaf yang sesuai
kekulit
 Pertahan teknik steril saat
melakukan perawatan luka
 Edukasi:
 Jelaskan tanda,gejala infeksi
 Kolaborasi:
 Kolaborasi prosedur
debridement
4 Intoleransi Aktivitas Setelah dilakukan tintdakan keperawatan  Terapi aktivitas
b.d selama 1x 24 jam intoleransi aktivitas  Observasi :
imobilitas membaik  Identifikasi defisit tingkat
KH : aktivitas
 Toleransi aktivitas membaik  Identifikasi kemapuan
 Tingkat keletihan menurun berpartisipasi dalam aktivitas
tertentu
 Terapeutik :
 Fasilitasi pasien dan keluarga
dalam menyesuiakan
lingkungan untuk
mengakomodasi aktivitas yang
di pilih
 Libatkan keluarga dalam
aktivitas
 Edukasi:
 Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang dipilih
 Manajenen program latihan
 Observasi :
 Identifikasi pengetahuan dan
pengalaman aktivitas fisik
sebelumnya
 Identifikasi kemampuan pasien
beraktivitas
 Terapeutik :
 Motivasi untuk memulai/
melanjutkan aktivitas fisik
 Edukasi:
 Jelaskan mamnfaat aktivitas f
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol
3. Jakarta: EGC
2. Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis,
edisi 6. Jakarta: EGC
3. Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
4. Indriastuti, Na. 2008. Laporan Asuhan Keperawatan Pada Ny. J Dengan Efusi
Pleura dan Diabetes Mellitus Di Bougenvil 4 RSUP dr Sardjito
Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
5. Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
6. Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius
7. Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification
(NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
8. Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT
Alumni
9. Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika

Anda mungkin juga menyukai