Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya

hiperglikemi dan ganggan metabolism karbohidrat, lemak dan protein yang terjadi

karena kekurangan kerja dan sekresi insulin. Gejala awal yang timbul pada

penderita diabetes mellitus ditandai dengan polidipsia (banyak minum), poliuria

(banyak berkemih), polifagia (banyak makan), kesemutan, lemas, mata kabur,

impotensi pada pria, pruritus vulva pada wanita dan penurunan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan sebabnya (Nur,2016).

Hampir 90% DM pada orang dewasa merupakan DM Tipe 2. DM Tipe 2

merupakan penyakit yang heterogen dengan banyak faktor yang

mempengaruhinya. Penyakit ini ditandai dengan adanya gangguan metabolic yaitu

gangguan fungsi sel β pankreas dan resistensi insulin di jaringan perifer seperti

jaringan otot dan jaringan lemak, serta resistensi insulin dihati. Hal ini

mengakibatkan terjadinya hiperglikemia Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada

Volume 17 Nomor 1 Februari 2017 184 kronik dan dalam jangka panjang, dapat

terjadi komplikasi yang serius. Resistensi insulin dianggap sebagai salah satu

mekanisme yang mendasari terjadinya DM Tipe 2 (Merentek, 2006).

Diabetes mellitus tidak dapat disembuhkan tetapi kadar gula darah bisa

dikendalikan melalui diet, olahraga dan obat-obatan. Kriteria nilai gula darah

dikatakan baik, jika gula darah puasa 80-<100 mg/dL, gula darah 2 jam setelah

makan 80-144 mg/dL, AIC<6,5%, kolesterol total <200 mg/dL, trigliserida <150

1
mg/dL, IMT 18,5-22,9 kg/m2 dan tekanan darah <130/80 mmHg3. Penderita

diabetes mellitus dari tahun ke tahun mengalami peningkatan menurut

Internasional Diabetes Federation (IDF), penduduk dunia yang menderita diabetes

mellitus sudah mencapai sekitar 197 juta jiwa, dan dengan angka kematian sekitar

3,2 juta orang (Nur,2016).

WHO menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan keenam di dunia

sebagai negara yang jumlah penderita diabetes melitusnya terbanyak setelah india,

china, jepang, uni soviet dan brasil. Pada tahun 2016 diperkirakan 422 juta orang

menderita DM lebih tinggi dibandingkan pada tahun 1980an sekitar 108 juta

orang. Internasional diabetes federation (IDF) memperkirakan bahwa sebanyak

183 juta orang tidak tahu jika menderita diabetes mellitus dan menyebutkan

bahwa diabetes mellitus sebagai penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia,

sedangkan pada tahun 2012 angka kejadian diabetes mellitus di dunia sebanyak

371 juta jiwa.

Mengingat begitu tingginya angka kejadian serta pentingnya penanganan

secara tepat terhadap penyakit diabetes melitus dan komplikasi yang

ditimbulkannya, maka terapi diabetes mellitus harus dilakukan secara rasional

baik secara farmakologi maupun non farmakologi. Ketepatan terapi dipengaruhi

proses diagnosis, pemilihan terapi, pemberian terapi, serta evaluasi terapi.

Evaluasi penggunaan obat merupakan suatu proses jaminan mutu yang terstruktur

dan dilakukan secara terus menerus untuk menjamin agar obat-obat yang

digunakan tepat, aman, dan efisien (Kumolosari, dkk, 2010).

2
Mengingat diabetes melitus merupakan salah satu gangguan metabolik

dimana pada keadaan gawat darurat dapat menimbulkan komplikasi yang angka

kematiannya masih tinggi yaitu 8,4 juta pada tahun 2000 dan 21,3 juta pada tahun

2030, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi kerasionalan

pengobatan penyakit diabetes melitus tipe 2 pada pasien rawat inap di Rumah

Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas rumusan masalah yang dapat di ambil yaitu

Bagaimana Kerasionalan Penggunaan Obat Diabetes Melitus pada Pasien

Diabetes Melitus di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran pengobatan pada kasus Diabetes Melitus

di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Medan dan

membandingkan kerasionalan pengobatan dengan Pedoman Modul

Penggunaan Obat Rasional Kementrian Kesehatan RI 2011.

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengevaluasi penggunaan obat Diabetes Melitus pada pasien

Diabetes Melitus meliputi, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat,

tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat

lama pemberian, obat harus efektif aman dengan mutu terjamin serta

tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau, tepat tindak lanjut dan

kepatuhan pasien di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Medan.

3
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Dengan dilakukan penelitian ini, maka akan dapat diketahui tentang

bagaimana kerasionalan obat Diabetes Melitus pada pasien Diabetes

Melitus.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi dokter serta tenaga

kesehatan terkait dalam pelaksanaan terapi Diabetes Melitus di Rumah

Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Medan.

1.5 Waktu dan Tempat Pelaksanaan PKPA

Tempat pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Rumah Sakit

Grandmed Jalan Raya Medan KM 25 No. 66, Perdamaian, Lubuk Pakam, Tj.

Mulia, Tj. Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara 20514 dimulai pada

tanggal 13 Januari sampai 22 Februari 2020, jam praktek dimulai dari jam 09.00 –

15.00 WIB.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang

dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama penyakit kencing manis. DM

adalah penyakit gangguan metabolik yang terjadi secara kronis atau menahun

karena tubuh tidak mempunyai hormon insulin yang cukup akibat gangguan pada

sekresi insulin, hormon insulin yang tidak bekerja sebagaimana mestinya atau

keduanya (Kemenkes RI, 2014). Mufeed Jalil Ewadh (2014) menyebutkan bahwa

DM adalah penyakit gangguan metabolik dengan ciri ditemukan konsentrasi

glukosa yang tinggi di dalam darah (hiperglikemia).

World Health Oragnization atau WHO (2016) menyebutkan bahwa

Penyakit ini ditandai dengan munculnya gejala khas yaitu poliphagia, polidipsia

dan poliuria serta sebagian mengalami kehilangan berat badan. DM merupakan

penyakit kronis yang sangat perlu diperhatikan dengan serius. DM yang tidak

terkontrol dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti kerusakan mata, ginjal

pembuluh darah, saraf dan jantung.

2.1.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas

telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan

diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat

daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ

5
lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi

incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi

glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam

menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan

organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting

dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang:

1) Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis,

bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja

2) Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat

pada gangguan multipel dari patofisiologi DM

tipe 2

3) Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau

memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada

penyandang gangguan toleransi glukosa.

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan

sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM

tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the

ominous octet (gambar-1)

6
Gambar 2.1 The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam

patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the

Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of Type

2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795).

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal

(omnious octet) berikut :

1) Kegagalan sel beta pancreas

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat

berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,

meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.

2) Liver

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu

gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver

(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur

ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.

3) Otot

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang

multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga

timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis

glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini

adalah metformin, dan tiazolidindion.

4) Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,

menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas

7
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses

glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA

juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini

disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah

tiazolidindion.

5) Usus:

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding

kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini

diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP

(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric

inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1

dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh

keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat

yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.

Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan. Karbohidrat

melalui kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi

monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan

glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja

enzim alfa-glukosidase adalah akarbosa.

6) Sel Alpha Pancreas

Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam

hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis

glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.

Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara

8
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi

glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4

inhibitor dan amylin.

7) Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis

DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan

puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran

SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus

proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada

tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam

urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang

menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali

glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine.

Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah

salah satu contoh obatnya.

8) Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang

obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang

merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini

asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga

terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan

bromokriptin.

9
2.1.3 Faktor Risiko

Menurut Suyono (2007), DM di Indonesia akan terus meningkat

disebabkan beberapa faktor antara lain :

a. Faktor keturunan (genetik)

b. Faktor kegemukan atau obesitas (IMT > 25 kg/m2 ) - Perubahan gaya

hidup dari tradisional ke gaya hidup barat - Makan berlebihan - Hidup

santai, kurang gerak badan

c. Faktor demografi - Jumlah penduduk meningkat - Urbanisasi - Penduduk

berumur di atas 40 tahun meningkat

d. Kurang gizi

2.1.4 Epidemiologi Diabetes Melitus (DM)

Prevalensi penderita DM di seluruh dunia sangat tinggi dan cenderung

meningkat setiap tahun. Jumlah penderita DM di seluruh dunia mencapai 422 juta

penderita pada tahun 2014. Jumlah penderita tersebut jauh meningkat dari tahun

1980 yang hanya 180 juta penderita. Jumlah penderita DM yang tinggi terdapat di

wilayah South-East Asia dan Western Pacific yang jumlahnya mencapai setengah

http://repository.unimus.ac.id 8 dari jumlah seluruh penderita DM di seluruh

dunia. Satu dari sebelas penduduk adalah penderita DM dan 3,7 juta kematian

disebabkan oleh DM maupun komplikasi dari DM (WHO, 2016).

Penderita DM di Indonesia berdasarkan data dari IDF pada tahun 2014

berjumlah 9,1 juta atau 5,7 % dari total penduduk. Jumlah tersebut hanya untuk

penderita DM yang telah terdiagnosis dan masih banyak penderita DM yang

belum terdiagnosis. Indonesia merupakan negara peringkat ke-5 dengan jumlah

penderita DM terbanyak pada tahun 2014. Indonesia pada tahun 2013 berada

10
diperingkat ke7 penderita DM terbanyak di dunia dengan jumlah penderita 7,6

juta (Perkeni, 2015).

2.1.5 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2016, klasifikasi

DM yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain. Namun jenis

DM yang paling umum yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2.

1) DM tipe 1, insulin dependent diabetes mellitus

Diabetes jenis ini terjadi akibat kerusakan sel β pakreas. Dahulu, DM tipe 1

disebut juga diabetes onset-anak (atau onset-remaja) dan diabetes rentan ketosis

(karena sering menimbulkan ketosis). Onset DM tipe 1 biasanya terjadi sebelum

usia 25-30 tahun (tetapi tidak selalu demikian karena orang dewasa dan lansia

yang kurus juga dapat mengalami diabetes jenis ini). Sekresi insulin mengalami

defisiensi (jumlahnya sangat rendah atau tidak ada sama sekali). Dengan

demikian, tanpa pengobatan dengan insulin (pengawasan dilakukan melalui

pemberian insulin bersamaan dengan adaptasi diet), pasien biasanya akan mudah

terjerumus ke dalam situasi ketoasidosis diabetik (Arisman, 2011).

Gejala biasanya muncul secara mendadak, berat dan perjalanannya sangat

progresif; jika tidak diawasi, dapat berkembang menjadi ketoasidosis dan koma.

Ketika diagnosa ditegakkan, pasien biasanya memiliki berat badan yang rendah.

Hasil tes deteksi antibodi islet hanya bernilai sekitar 50-80% dan KGD >140

mg/dL (Arisman, 2011).

2) DM tipe 2, non-insulin dependent diabetes mellitus

DM jenis ini disebut juga diabetes onset-matur (atau onset-dewasa) dan

diabetes resistan-ketosis (istilah NIDDM sebenarnya tidak tepat karena 25%

11
diabetes, pada kenyataannya, harus diobati dengan insulin; bedanya mereka tidak

memerlukan insulin sepanjang usia). DM tipe 2 merupakan penyakit familier yang

mewakili kurang-lebih 85% kasus DM di Negara maju, dengan prevalensi sangat

tinggi (35% orang dewasa) pada masyarakat yang mengubah gaya hidup

tradisional menjadi modern (Arisman, 2011).

DM tipe 2 mempunyai onset pada usia pertengahan (40-an tahun), atau lebih

tua, dan cenderung tidak berkembang kearah ketosis. Kebanyakan penderita

memiliki berat badan yang lebih. Atas dasar ini pula, penyandang DM jenis ini

dikelompokkan menjadi dua : (1) kelompok obes dan (2) kelompok non-obes.

Kemungkinan untuk menderita DM tipe 2 akan berlipat ganda jika berat badan

bertambah sebanyak 20% di atas berat badan ideal dan usia bertambah 10 tahun

atau di atas 40 tahun (Arisman, 2011).

Gejala muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan (kadang-kadang bahkan

belum menampakkan gejala selama bertahun-tahun) serta progresivitas gejala

berjalan lambat. Koma hiperosmolar dapat terjadi pada kasus-kasus berat. Namun,

ketoasidosis jarang sekali muncul, kecuali pada kasus yang disertai stress atau

infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, atau mungkin juga insulin

bekerja tidak efektif (Arisman, 2011).

Pengendaliannya boleh jadi hanya berupa diet dan (jika tidak ada

kontraindikasi) olahraga, atau dengan pemberian obat hipoglisemik (Arisman,

2011).

3) DM tipe lain

Diabetes jenis ini dahulu kerap disebut diabetes sekunder, atau DM tipe lain.

Etiologi diabetes jenis ini, meliputi :

12
a) Penyakit pada pankreas yang merusak sel β, seperti hemokromatosis,

pankreatitis, fibrosis kistik;

b) Sindrom hormonal yang mengganggu sekresi dan/atau menghambat kerja

insulin, seperti akromegali, feokromositoma, dan sindrom Cushing;

c) Obat-obat yang menggangu sekresi insulin (fenitoin [Dilantin]) atau

menghambat kerja insulin (estrogen dan glukokortikoid);

d) Kondisi tertentu yang jarang terjadi, seperti kelainan pada reseptor insulin;

dan

e) Sindrom genetic (Arisman, 2011).

4) Diabetes Mellitus kehamilan

Diabetes mellitus kehamilan didefenisikan sebagai setiap intoleransi glukosa

yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama, tanpa memandang derajat

intoleransi serta tidak memperhatikan apakah gejala ini lenyap atau menetap

selepas melahirkan. Diabetes jenis ini biasanya muncul pada kehamilan trimester

kedua dan ketiga. Kategori ini mencakup DM yang terdiagnosa ketika hamil

(sebelumnya tidak diketahui). Wanita yang sebelumnya diketahui telah mengidap

DM, kemudian hamil, tidak termasuk ke dalam kategori ini (Arisman, 2011).

2.1.6 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara

enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan

glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

13
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

a) Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b) Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi

ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi


tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.

Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.

Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).

Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard

NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil

pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati,

riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi- kondisi yang

mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak

dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria

DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi

glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

14
a) Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa

plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa

plasma 2-jam <140 mg/dl;

b) Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma

2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa

<100 mg/dl

c) Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

d) Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2.2 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan

prediabetes

HbA1C Glukosa darah Glukosa plasma 2


puasa (mg/dL) jam setelah TTGO
(mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL
Prediabetes 5,7 – 6,4 100 - 125 140 – 199
Normal < 5,7 < 100 <140

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis

Diabetes Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi

yang tidak menunjukkan gejala klasik DM yaitu:

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh ≥23 kg/m2) yang

disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:

a) Aktivitas fisik yang kurang.

15
b) First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam

keluarga).

c) Kelompok ras/etnis tertentu.

d) Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4

kg atau mempunyai riwayat diabetes mellitus gestasional (DMG).

e) Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk

hipertensi).

f) HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.

g) Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.

h) Riwayat prediabetes.

i) Obesitas berat, akantosis nigrikans.

j) Riwayat penyakit kardiovaskular.

2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.

Catatan:

Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal

sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes

pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas

pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan

pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan

diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil

pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti

pada tabel-6 di bawah ini.

16
Tabel 2.3 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan

penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum pasti DM


DM
Kadar glukosa Plasma <100 100 - 199 ≥ 200
darah sewaktu vena
(mg/dL)
Darah <100 100 - 125 ≥ 200
kapiler

Kadar glukosa Plasma <100 100 - 125 ≥ 126


darah puasa vena
(mg/dL)
Darah <90 90 - 99 ≥ 100
kapiler

2.1.7 Patofisiologi Diabetes Melitus

Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada

metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja

secara optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya.

Gangguan metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena

kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat kimia,

virus dan bakteri. Penyebab yang kedua adalah penurunan reseptor glukosa pada

kelenjar pankreas dan yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan

perifer (Fatimah, 2015).

Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi untuk mengatur

kadar glukosa darah dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi akan

menstimulasi sel beta pankreas untuk mengsekresi insulin (Hanum, 2013).

Sel beta pankreas yang tidak berfungsi secara optimal sehingga berakibat

pada kurangnya sekresi insulin menjadi penyebab kadar glukosa darah tinggi.

17
Penyebab dari kerusakan sel beta pankreas sangat banyak seperti contoh penyakit

autoimun dan idiopatik (NIDDK, 2014).

Gangguan respons metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan

resistensi insulin. Keadaan ini dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre

reseptor dan post reseptor sehingga dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari

biasanya untuk mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap normal.

Sensitivitas insulin untuk menurunkan glukosa darah dengan cara menstimulasi

pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak serta menekan produksi glukosa

oleh hati menurun. Penurunan sensitivitas tersebut juga menyebabkan resistensi

insulin sehingga kadar glukosa dalam darah tinggi (Prabawati, 2012).

Kadar glukosa darah yang tinggi selanjutnya berakibat pada proses filtrasi

yang melebihi transpor maksimum. Keadaan ini mengakibatkan glukosa dalam

darah masuk ke dalam urin (glukosuria) sehingga terjadi diuresis osmotik yang

ditandai dengan pengeluaran urin yang berlebihan (poliuria). Banyaknya cairan

yang keluar menimbulkan sensasi rasa haus (polidipsia). Glukosa yang hilang

melalui urin dan resistensi insulin menyebabkan kurangnya glukosa yang akan

diubah menjadi energi sehingga menimbulkan rasa lapar yang meningkat

(polifagia) sebagai kompensasi terhadap kebutuhan energi. Penderita akan merasa

mudah lelah dan mengantuk jika tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan energi

tersebut (Hanum, 2013).

2.1.8 Gejala Diabetes Melitus

18
Penyakit DM dapat menimbulkan berbagai gejala-gejala pada penderita.

Gejala-gejala yang muncul pada penderita DM sangat bervariasi antara satu

penderita dengan penderita lainnya bahkan, ada penderita DM yang tidak

menunjukkan gejala yang khas penyakit DM sampai saat tertentu. Gejala-gejala

DM tersebut telah dikategorikan menjadi gejala akut dan gejala kronis (Fitriyani,

2015).

Gejala akut DM pada permulaan perkembangan yang muncul adalah

banyak makan (poliphagia), banyak minum (polidipsia) dan banyak kencing

(poliuria). Keadaan DM pada permulaan yang tidak segera diobati akan

menimbulkan gejala akut yaitu banyak minum, banyak kencing dan mudah lelah.

Gejala kronik DM adalah Kulit terasa panas, kebas, seperti tertusuk-tusuk

jarum, rasa tebal pada kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, penglihatan

memburuk (buram) yang ditandai dengan sering berganti lensa kacamata, gigi

mudah goyah dan mudah lepas, keguguran pada ibu hamil dan ibu melahirkan

dengan berat bayi yang lebih dari 4 kilogram.

2.1.9 Diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2)

DM tipe 2 adalah penyakit kronis dengan karakteristik terjadi peningkatan

glukosa darah (hiperglikemia) dalam tubuh. Penyebab dari DM adalah gangguan

pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya. DM tipe 2 disebabkan oleh

perpaduan antara gangguan aksi insulin (resistensi insulin) dan defisiensi insulin

yang terjadi secara relatif sebagai kompensasi sekresi insulin yang tidak adekuat

(IDAI, 2015).

2.1.10 Patofisiologi DM tipe 2

19
Otot dan hati yang mengalami resistensi insulin menjadi penyebab utama

DM tipe 2. Kegagalan sel beta pankreas untuk dapat bekerja secara optimal juga

menjadi penyebab dari DM tipe 2 (Perkeni, 2015). DM tipe 2 adalah jenis DM

yang paling umum diderita oleh penduduk di Indonesia. Kombinasi faktor risiko,

resistensi insulin dan sel-sel tidak menggunakan insulin secara efektif

menyebabkan DM tipe 2 (NIDDK, 2014).

Resistensi insulin pada otot dan hati serta kegagalan sel beta pankreas

telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Kegagalan

sel beta pada DM tipe 2 diketahui terjadi lebih dini dan lebih berat daripada

sebelumnya. Otot, hati, sel beta dan organ lain seperti jaringan lemak

(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas

(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi

insulin) ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa

pada DM tipe 2 (Perkeni, 2015). DM tipe 2 pada tahap awal perkembangannya

tidak disebabkan oleh gangguan sekresi insulin dan jumlah insulin dalam tubuh

mencukupi kebutuhan (normal), tetapi disebabkan oleh sel-sel sasaran insulin

gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal (Fitriyani, 2012).

Penderita DM tipe 2 juga mengalami produksi glukosa hepatik secara

berlebihan tetapi tidak terjadi kerusakan pada sel-sel beta langerhans seperti pada

DM tipe 1. Keadaan defisiensi insulin pada penderita DM tipe 2 umumnya hanya

bersifat relatif. Defisiensi insulin akan terjadi seiring dengan perkembangan DM

tipe 2. Sel-sel beta langerhans akan menunjukkan gangguan sekresi insulin fase

pertama yang berarti sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin.

Perkembangan DM tipe 2 yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan

20
kerusakan sel-sel beta langerhans pada tahap selanjutnya. Kerusakan sel-sel beta

langerhans secara progresif dapat menyebabkan keadaan defisiensi insulin

sehingga penderita membutuhkan insulin endogen. Resistensi insulin dan

defisiensi insulin adalah 2 penyebab yang sering ditemukan pada penderita DM

tipe 2 (Fitriyani, 2012).

2.1.11 Diagnosis DM tipe 2

Diagnosis DM tipe 2 juga dapat ditegakkan dengan melakukan

pemeriksaan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar

glukosa darah ≥ 200 mg/dl pada pemeriksaan glukosa 2 jam post prandial dan

kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan klasik DM adalah

ketentuan untuk mendiagnosis DM tipe 2 berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa

darah (WHO, 2016).

Ketentuan mendiagnosis DM tipe 2 menggunakan kadar glukosa darah

dibuat oleh oleh WHO dan Perkeni. Pemeriksaan kadar glukosa darah dan

pemeriksaan kadar C-Peptide dapat dilakukan untuk mendiagnosis DM tipe 2.

Kadar C-peptide pada penderita DM tipe 2 yang baru didiagnosis cenderung

tinggi dibandingkan dengan kondisi tidak menderita DM dan DM tipe 1 (Purba,

2009).

2.1.12 Faktor risiko DM tipe 2

Faktor risiko DM tipe 2 dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu faktor

risiko sosiodemografi, perilaku dan gaya hidup dan keadaan klinis dan mental

(Irawan, 2010). Faktor risiko sosiodemografi diabetes melitus tipe 2 adalah umur,

jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Aktifitas fisik, konsumsi sayur dan buah,

asap rokok dan alkoholisme termasuk ke dalam faktor risiko pola hidup pada

21
diabetes melitus tipe 2. Indeks massa tubuh, lingkar perut, tekanan darah, kadar

kolesterol dan stress adalah faktor risiko kondisi klinis dan mental diabetes

melitus tipe 2. Selain itu, ada juga faktor risiko riwayat kesehatan keluarga

terutama riwayat diabetes melitus (Fitriyani, 2012).

Faktor-faktor risiko penyakit DM tipe 2 menurut garnita (2016) antara lain

sebagai berikut :

a. Riwayat DM keluarga / Genetik

DM tipe 2 sangat dipengaruhi oleh faktor genetik. Seorang anak

memiliki risiko 15 % menderita DM tipe 2 jika kedua salah satu dari kedua

orang tuanya menderita DM tipe 2. Anak dengan kedua orang tua menderita

DM tipe 2 mempunyai risiko 75 % untuk menderita DM tipe 2 dan anak

dengan ibu menderita DM tipe 2 mempunyai risiko 10-30 % lebih besar

daripada anak dengan ayah menderita DM tipe 2.

b. Berat lahir

Bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram atau keadaan

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko lebih tinggi menderita

DM tipe 2 pada saat dewasa. Hal ini terjadi karena bayi dengan BBLR

mempunyai risiko menderita gangguan fungsi pankreas sehingga produksi

insulin terganggu.

c. Stress

Stress adalah perasaan yang dihasilkan dari pengalaman atau pistiwa

tertentu. Sakit, cedera dan masalah dalam kehidupan dapat memicu terjadinya

stress. Tubuh secara alami akan merespon dengan banyak mengeluarkan

hormon untuk mengatasi stress. Hormon-hormon tersebut membuat banyak

22
energi (glukosa dan lemak) tersimpan d dalami sel. Insulin tidak membiarkan

energi ekstra ke dalam sel sehingga glukosa menumpuk di dalam darah.

d. Umur

Umur yang semakin bertambah akan berbanding lurus dengan

peningkatan risiko menderita penyakit diabetes melitus karena jumlah sel beta

pankreas yang produktif memproduksi insulin akan berkurang. Hal ini terjadi

terutama pada umur yang lebih dari 45 tahun.

e. Jenis kelamin

Wanita lebih memiliki potensi untu menderita diabetes melitus

daripada pria karena adanya perbedaan anatomo dan fisiologi. Secara fisik

wanita memiliki peluang untuk mempunyai indeks massa tubuh di atas

normal. Selain itu, adanya menopouse pada wanita dapat mengakibatkan

pendistribusian lemak tubuh tidak merata dan cenderung terakumulasi.

f. Pendidikan

Pendidikan yang tinggi akan membuat seseorang mempunyai

pengetahuan yang baik khususnya tentang diabetes melitus.

g. Pekerjaan

Pekerjaan yang lebih cenderung tidak melakukan aktifitas fisik dalam

pekerjaan tersebut dapat meningkatkan risiko menderita diabetes melitus.

h. Penghasilan

Penghasilan yang rendah akan membatasi seseorang untuk mengetahui

dan mencari informasi tentang diabetes melitus. Semakin rendah penghasilan,

maka akan semakin tinggi risiko menderita diabetes melitus tipe 2.

i. Pola makan

23
Ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan kejadian

diabetes melitus tipe 2. Pola makan yang jelek atau buruk merupakan faktor

risiko yang paling berperan dalam kejadian diabetes melitus tipe 2. Pengaturan

diet yang sehat dan teratur sangat perlu diperhatikan terutama pada wanita.

Pola makan yang buruk dapat menyebabkan kelebihan berat badan dan

obesitas yang kemudian dapat menyebabkan diabetes melitus tipe 2.

j. Aktivitas fisik

Perilaku hidup sehat dapat dilakukan dengan melakukan aktivitas fisik

yang teratur. Manfaat dari aktivitas fisik sangat banyak dan yang paling utama

adalah mengatur berat badan dan memperkuat sistem dan kerja jantung.

Aktivitas fisik atau olahraga dapat mencegah munculnya penyakit diabetes

melitus tipe 2. Sebaliknya, jika tidak melakukan aktivitas fisik maka risiko

untuk menderita penyakit diabetes melitus tipe 2 akan semakin tinggi.

k. Merokok

Terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan

kejadian diabetes melitus tipe 2. Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko

diabetes melitus tipe 2 karena memungkinkan untuk terjadinya resistensi

insulin. Kebiasaan merokok juga telah terbukti dapat menurunkan

metabolisme glukosa yang kemudian menimbulkan diabetes melitus tipe 2.

Pola makan yang buruk seperti terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat,

lemak dan protein dan tidak melakukan aktivitas fisik merupakan faktor risiko

dari obesitas. Obesitas merupakan faktor risiko yang berperan penting dalam

diabetes melitus tipe 2 karena obesitas dapat menyebabkan terjadinya resitensi

insulin di jaringan otot dan adipose. Semakin tinggi angka obesitas maka akan

24
semakin tinggi risiko untuk menderita diabetes melitus tipe 2 (Garnita, 2012).

Seseorang yang mempunyai faktor risiko diabetes melitus mempunyai potensi

lebih besar menderita diabetes melitus dibandingkan dengan yang tidak

mempunyai faktor risiko (IDAI, 2015). Obesitas juga telah diketahui

berhubungan dengan terjadinya kerusakan pankreas sehingga pankreas tidak

berfungsi secara optimal. Hal ini dapat memicu terjadinya defisiensi insulin

dan kadar glukosa dalam darah tinggi (Nurcahyadi, 2013).

2.1.13 Pencegahan Diabetes

Menurut Bustan (2007) pencegahan penyakit DM adalah sebagai berikut :

a) Pencegahan primordial kepada masyarakat yang sehat untuk berperilaku

positif mendukung kesehatan umum dan upaya menghindarkan diri dari

risiko DM. misalnya, berperilaku hidup sehat, tidak merokok, makan

makanan yang bergizi dan seimbang, ataupun biasa diet, membatasi diri

terhadap makanan tertentu atau kegiatan jasmani yang memadai.

b) Promosi kesehatan, ditujukan kepada kelompok berisiko, untuk

mengurangi atau menghilangkan risiko yang ada. Dapat dilakukan

penyuluhan dan penambahan ilmu terhadap masyarakat.

c) Pencegahan khusus, ditujukan kepada mereka yang mempunyai risiko

tinggi untuk melakukan pemeriksaan atau upaya sehingga tidak jatuh ke

DM. upaya ini dapat dibentuk konsultasi gizi/diet etik.

d) Diagnosa awal, dapat dilakukan dengan penyaringan (screening) yakni

pemeriksaan kadar gula darah kelompok berisiko. Pada dasarnya DM

mudah didiagnosis, dengan bantuan pemeriksaan sederhana, terlebih

dengan teknologi canggih. Hanya saja keinginan masyarakat untuk

25
memeriksa diri dan aksebilitas yang rendah (pelayanan yang tersedia

masih kurang dan belum mudah didapatkan oleh masyarakat).

e) Pengobtan yang tepat, dikenal berbagai macam upaya dan pendekatan

pengobatan terhadap penderita untuk tidak jatuh ke DM yang lebih berat

atau komplikasi.

f) Disability limitation, pembatasan kecacatan yang ditujukan kepada upaya

maksimal mengatasi dampak komplikasi DM sehingga tidak menjadi

lebih berat.

g) Rehabillitasi, sosial maupun medis. Memperbaiki keadaan yang terjadi

akibat komplikasi atau kecacatan yang terjadi karena DM, upaya

rehabilitasi fisik berkaitan dengan akibat lanjut DM yang telah

menyebabkan adanya amputasi.

2.1.14 Pengobatan Diabetes Mellitus

Perencanaan makan, olahraga serta usaha menurunkan berat badan adalah

dasar dari bagaimana penderita diabetes mellitus menghadapi penyakitnya. Tanpa

perencanaan makan dan kedisiplinan menjalani misalnya, mustahil kiranya

penderita dapat mengatasi penyakitnya. Bahkan diabetes mellitus yang masih

dalam tahap ringan dapat ditanggulangi/disembuhkan hanya dengan pola makan

saja. Bila seluruh usaha di atas telah dijalankan dengan baik tetapi kadar gula

darah masih belum berada pada batas normal, barulah penderita memerlukan obat.

Obat untuk penderita diabetes mellitus dikenal sebagai obat hipoglikemik atau

obat penurun kadar glukosa dalam darah. Walaupun efektif dan mudah dipakai,

penggunaan obat ini harus sesuai dosis atau berdasarkan petunjuk dokter. Bila

26
dosis terlalu rendah komplikasi kronis akan muncul lebih dini. Sedang dosis yang

berlebih atau cara pemakaian yang salah dapat menimbulkan hipoglikemia.

Pengobatan dapat dilakukan dengan cara pengobatan medis yaitu

pengobatan dengan disiplin kedokteran. Obat medis dapat dibagi dalam beberapa

golongan :

a. Insulin

DM tipe 1 : penggunaan insulin sebelum merencanakan kehamilan. Human

insulin adalah pilihan dalam pengobatan ini. Insulin lispro dan aspart tidak

boleh diganti selama masa kehamilan, sedangkan long-acting analogs

bagaimanapun harus dihentikan dan diganti.

DM tipe 2 atau GDM yang gula darahnya tidak dapat terkontrol dengan baik

melalui diet, harus mendapatkan terapi insulin. Penggunaan glukokortiroid

dan tokolitik harus dibatasi agar tidak terjadi toleransi karbohidrat, disamping

itu pengontrolan kondisi metabolic sangat disarankan ketika obat ini

diberikan.

b. Antidiabetes Oral (OAD)

Tabel 2.4 Antidiabetes Oral

Golongan Cara Kerja Efek Samping Penuruna Contoh


Obat Utama Utama n HbA1c
Sulfunilurea Meningkatkan BB naik, 1,0-2,0 % Glibenklami
Sekresi Insulin hipoglikemia d
Glinid Meningkatkan BB naik, 0,5-1,0% Nataglinide,
Sekresi Insulin hipoglikemia repaglinide
Biguanid Menekan Dyspepsia, 1,0-2,0 % Metformin
Produksi glukosa diare, asidosis
hati dan laktat
menambah
sensitifitas
terhadap insulin
Penghambat Menghambat Flatulen, tinja 0,5-0,8 % Akarbose,
Alfa- absorpsi glukosa lembek manitol

27
Glukosidase
Tiazolidindion Menambah Edema 0,5-1,4 % Pioglitazone
sensitifitas
terhadapa insulin
Penghambat Modulator Sebah, muntah 0,5-0,8 % Vidagliptin,
DPP-IV inkreatin, sitagliptin,
meningkatkan sexagliptin
sekresi insulin
yang diperlukan
saat makan
Penghambat Menghambat Dehidrasi, 0,8-1.0 % Dapagliflozi
SGLT-2 penyerapan infeksi saluran n
kembali glukosa kemih propanediol
ditubuli distal
ginjal

2.1.15 Tinjauan Obat

GLIMEPIRIDE

Glimepiride merupakan suatu obat anti diabetes mellitus golongan

sulfonilurea generasi kedua yang diberikan secara oral dan berfungsi menurunkan

gula darah dengan cara meningkatkan kerja insulin dalam proses pengambilan

glukosa perifer. Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan

dosis paling rendah dari semua senyawa sulfonilurea sehingga obat ini

mempunyai potensi hipoglikemik 100 x lebih besar dari pada obat anti diabetes

golongan sulfonilurea generasi pertama. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif

dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya

waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk

yang tidak aktif (Katzung, 2002).

Glimepiride diindikasikan untuk menurunkan kadar gula darah pada pasien

diabetes melitus type 2 dengan hiperglikemia yang tidak dapat dikontrol dengan

diet dan latihan tersendiri. Glimepiride digunakan sebagai penunjang dalam diet

28
dan latihan untuk menurunkan gula darah. Glimepiride dapat digunakan sebagai

terapi tunggal atau dikombinasi dengan metformin atau insulin, tetapi kombinasi

ini dapat meningkatkan potensi terjadinya hipoglikemia (hexpharmjaya.com).

Kontra indikasi glimepiride adalah pada pasien yang hypersensitive

terhadap glimepiride dan golongan sulfonil urea yang lain, dan pasien dengan

gangguan fungsi ginjal dan hati (Farmakologi UI,2007).

Bentuk sediaan glimepiride adalah tablet. Dosis Kadar glukosa darah

pasien dan HbA1c harus diukur secara berkala untuk menetapkan dosis minimum

yang efektif bagi pasien tersebut dengan tujuan: 2 Farmakoterapi dan Terminologi

Medik - Untuk mendeteksi kegagalan primer yaitu tidak adanya penurunan berarti

dari gula darah pada pemberian dosis maksimum yang diperbolehkan. – Untuk

mendeteksi kegagalan sekunder yaitu hilangnya respon penurunan glukosa darah

setelah adanya periode keefektifan inisial.

Dosis awal 1-2 mg satu kali sehari, diberikan bersamaan makan pagi

atau makanan utama yang pertama. Untuk pasien yang lebih sensitif terhadap

obat-obat hipoglikemik, dosis awal yang diberikan sebaiknya dimulai dari 1 mg

satu kali sehari, kemudian boleh dinaikkan (dititrasi) dengan hati-hati. Dosis

pemeliharaan 1-4 mg satu kali sehari. Dosis maksimum yang dianjurkan 8 mg

satu kali sehari. Pada saat pemberian telah mencapai dosis 2 mg maka kenaikan

dosis tidak boleh melebihi 2 mg dengan interval 1-2 minggu tergantung dari

respon gula darah pasien. Efikasi jangka panjang harus dimonitor dengan

mengukur kadar HbA1c setiap 3-6 bulan.

29
Farmakokinetik

Glimepiride secara oral dapat diabsorpsi sempurna (100%) pada sistem

pencernaan. Penelitian pada pasien normal yang mendapat dosis tunggal per oral

dan pada pasien NIDDM yang mendapat dosis berulang menunjukkan hasil yang

bermakna pada absorpsi glimepiride yaitu dapat dicapai dalam 1 jam setelah

pemberian dan kadar puncak obat (C max) dapat dicapai pada 2 hingga 3 jam.

Bila glimepiride diberikan pada saat makan, T max rata-rata (waktu yang

dibutuhkan untuk mencapai C max) sedikit meningkat (12%) dan C max rata-

rata dan AUC (area under curve) sedikit menurun (berturut-turut 8% dan 9%).

Glimepiride dimetabolisme secara sempurna melalui biotransformasi oksidatif

setelah pemberian dosis oral. Metabolit utama adalah turunan cyclohexyl hydroxy

methyl (M1) dan turunan carboxyl (M2). Sitokrom P450 II C9 ikut terlibat

dalam biotransformasi glimepiride menjadi M1. M1 kemudian dimetabolisme

menjadi M2 oleh satu atau beberapa enzim sitosolik, M1, tetapi tidak M2,

mempengaruhi 1/3 dari aktivitas farmakologi dibandingkan dengan senyawa

induknya pada contoh yang dilakukan pada hewan.

Farmakodinamik

Efek penurunan kadar glukosa ringan nampak setelah pemberian dosis oral

tunggal pada dosis rendah 0.5 – 0.6 mg. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai

efek yang maksimum adalah sekitar 2 hingga 3 jam.

METOKLOPRAMIDE

Indikasi dari metoklopramide adalah diabetic gastroparesis, mual muntah,

esofagitis refluks.

30
Metoklopramide dikontraindikasi pada penderita hipersensitif terhadap

metoklopramide, tidak boleh digunakan pada penderita epilepsy, adanya

pendarahan obstruksi atau perforasi pada saluran cerna. Penderita dengan

pheochromocytoma.

Perhatian penderita gangguan ginjal, jangan mengemudikan kendaraan

atau menjalankan mesin. Hati-hati bila diberikan pada ibu hamil dan menyusui.

Efek samping dari metoklopramide yaitu mengantuk lemah, lelah, gelisah,

konstipasi, diare, urtikaria, mulut kering, glossal atau periorbital udem,

methaemoglobinaemia, gejala ekstrapiramidal seperti gejala Parkinson, diskinesia

tardive, terutama pada usia lanjut dan anak-anak

Interaksi obat dari metoklopramide yaitu bersifat antagonis terhadap kerja

obat golongan antikolinergik dan analgetik narkotik. Menambah efek sedasi bila

diberikan dengan alcohol, sedative, hipnotik, narkotik, atau tranquilizers.

Meningkatkan absorbs dari parasetamol tetrasiklin, levodopa, etanol, siklosporin.

Penderita yang mendapat pengobatan MAO inhibitor. Dosis dewasa 1 tablet salut

selaput 3 x sehari.

SUKRALFAT

Sukralfat diindikasikan untuk terapi jangka pendek (sampai 8 minggu)

pada ulkus gaster, ulkus duodenum dan gastritis kronis.

Interaksi obat sukralfat yaitu mengurangi absorpsi atau bioavaibilitas dari

cimetidine, ciprofloxacin, digoxin, ketokenazole, norfloxacin, phenytoin,

31
ranitidine, tetracycline dan theophylline, sehingga obat tersebut harus diberikan

dalam waktu 2 jam sebelum sukralfate. Dosis 1 g 4x sehari selama 4-8 minggu.

GABAPENTIN

Gabapentin diindikasikan untuk nyeri neuropatik pasien> 18 thn, kejang

parsial sederhana atau kompleks. Perhatian lansia, gangguan ginjal, hemodialisis,

hamil, menyusui. Penghentian gabapentin atau penambahan obat atau penggantian

dengan obat lain harus dilakukan bertahap selama min 1 minggu. Dapat

mengangganggu kemampuan mengemudi atau menjalankan mesin.

Efek samping dari gabapentin yaitu somnolen, pusing, ataksia, lemah lesu,

nistagmus, sakit kepala, tremor, diplopia, mual, muntah, rhinitis, ambliopia.

Gabapentin benteraksi dengan obat antasida.

Dosis dewasa dan anak>12 thn: sehari 900-1800 mg. hari ke-1: sehari 1x

300 mg. hari-ke2: sehari 2x 300 mg. hari ke-3: sehari 3x 300 mg. selanjutnya

dosis dapat ditingkatkan sampai dengan sehari 1200 mg, diberikan dalam 3 dosis

terbagi. Maks sehari 2400 mg.

RANITIDINE

Ranitidine diindikasikan untuk pengobatan jangka pendek usus 12 jari

aktif, tukak lambung aktif, mengurangi gejala refluks esophagus. Terapi

pemeliharaan setelah penyembuhan tukak usus 12 jari, tukak lambung.

Pengobatan keadaan hiperekskresi patologis. Kontraindikasi pada penderita

hipersensitif terhadap obat ini. Perhatian pada penderita yang memberikan respon

simptomatik terhadap ranitidine, tidak menghalangi timbulnya keganasan

32
lambung. Dosis ranitidine harus disesuaikan pada penderita dengan gangguan

fungsi ginjal. Hati-hati pemberian pada gangguan fungsi hati, pada wanita

menyusui. Pemberian pada wanita hamil hanya jika benar-benar sangat

dibutuhkan.

Efek samping dari ranitidine yaitu sakit kepala, gangguan kardiovaskuler,

gangguan gastrointestinal, gangguan musculoskeletal, gangguan hematologic,

gangguan endokrin. Interaksi obat ranitidine pemberian bersama warfarin.

Dosis oral: dewasa: tukak lambung dan duodenum akut, refluks esofagitis

sehari 2x 1 tablet atau dosis tunggal 2 tablet menjelang tidur malam hari selama 4-

8 minggu; hipersekresi patologis; sehari 2-3x 1 tablet, parenteral: 50 mg setiap 6-8

jam intermiten IM atau IV.

ONDANCETRON

Ondancetron diindikasikan untuk penanggulangan mual dan muntah

karena pasca operasi dan akibat kemoterapi dan radioterapi. Kontraindikasi pada

hipersensitivitas terhadap ondansetron. Perhatian tidak dianjurkan pada wanita

hamil khususnya pada trimester 1 dan pada ibu menyusui.

Terdapat interaksi obat jika diberikan bersamaan fenitoin, karbamazepin,

rifampisin.

Dosis mual dan muntah pasca operasi: 4 mg IM sebagai dosis tunggal atau

inj IV lambat; dewasa pencegahan mual dan muntah karena kemoterapi,

kemoterapi yang sangat emetogenik: awal 4 mg secara IV lambat atau infuse IV

selama 15 menit segera sebelum kemoterapi, diikuti dengan infus IV 1 mg/jam-24

jam atau 2 inj 8 mg secara IV lambat atau 15 menit infuse tiap 4 jam. Atau bisa

33
juga diikuti dengan pemberian oral sehari 2x8mg selama 5 hari. Kemoterapi yang

kurang emetogenik 8 mg secara IV lambat atau infuse selama 15 menit segera

sebelum kemoterapi, diikuti dengan sehari 2x8 mg secara oral selama 5 hari; anak

>4thn: 5mg/ml secara IV selama 15 menit segera sebelum kemoterapi, diikuti

dengan 1 x 4.

OMEPRAZOLE

Omeprazole diindikasikan untuk pengobatan jangka pendek pada duodenal

ulser, gastric ulser, refluks oesophagitis erosive/ulseratif pengobatan syndrome

zollinger-ellison. Kontraindikasi pada hipersensitif terhadap obat ini. Efek

samping omeprazole dapat ditoleransi, nausea, sakit kepala, diare, konstipasi dan

flatulence jarang terjadi Dosis sehari 20-40 mg.

KETOROLAC

Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini

merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik

yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis

prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena

tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.

Farmakokinetik

Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah

pemberian intramuscular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma

sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh

terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia

rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada konsentrasi yang

beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah pemberian secara

34
intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state plasma

dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang

tidak dijumpai perubahan bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena,

volume distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat

dan metabolit para-hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya

(rata-rata 6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral

tidak mengubah hemodinamik pasien.

Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap

nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac

tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac secara parenteral dianjurkan diberikan

segera setelah operasi. Harus diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin,

asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari. Ketorolac tidak dianjurkan untuk

digunakan sebagai obat prabedah obstetri atau untuk analgesia obstetri karena

belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan karena diketahui

mempunyai efek menghambat biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan

sirkulasi fetus.

Kontra indikasi pada Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi

dengan obat ini, karena ada kemungkinan sensitivitas silang. Pasien yang

menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal atau obat anti-

inflamasi nonsteroid lain. Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif. Penyakit

serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti. Diatesis hemoragik

termasuk gangguan koagulasi. Sindrom polip nasal lengkap atau parsial,

angioedema atau bronkospasme. Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.

35
Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain. Gangguan ginjal derajat sedang

sampai berat (kreatinin serum >160 mmol/L). Riwayat asma. Pasien pasca operasi

dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis inkomplit, pasien dengan

antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah (2.500–5.000 unit setiap 12 jam).

Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium. Selama

kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.

Dosis Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular

atau bolus intravena. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal

15 detik. Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai

timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30

menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median

analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan

keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya terapi : Pemberian dosis harian

multipel yang terus-menerus secara intramuskular dan intravena tidak boleh lebih

dari 2 hari karena efek samping dapat meningkat pada penggunaan jangka

panjang. Dewasa Ampul : Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg

diikuti dengan 10–30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan

dosis efektif terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang

dewasa dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan pasien

yang berat badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak boleh lebih dari 2

hari. Pada seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat

mungkin. Untuk pasien yang diberi Ketorolac ampul, dosis harian total kombinasi

tidak boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia, gangguan ginjal dan

pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg).

36
Efek samping di bawah ini terjadi pada uji klinis dengan Ketorolac IM 20

dosis dalam 5 hari. Insiden antara 1 hingga 9% : Saluran cerna : diare, dispepsia,

nyeri gastrointestinal, nausea. Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing,

mengantuk, berkeringat.

Peringatan dan Perhatian seperti obat analgesik anti-inflamasi nonsteroid

lainnya, Ketorolac dapat menyebabkan iritasi, ulkus, perforasi atau perdarahan

gastrointestinal dengan atau tanpa gejala sebelumnya dan harus diberikan dengan

pengawasan ketat pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit saluran

gastrointestinal. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan selama kehamilan,

persalinan, kelahiran, dan pada ibu menyusui. Peringatan khusus mengenai

inkompatibilitas: Ketorolac ampul tidak boleh dicampur dalam volume kecil (mis.

dalam spuit) dengan Morfin sulfat, Phetidine hydrochloride, Promethazine

hydrochloride atau Hydroxyzine hydrochloride karena akan terjadi pengendapan

Ketorolac tromethamine.

Interaksi Obat pemberian Ketorolac bersama dengan Methotrexate harus

hati-hati karena beberapa obat yang menghambat sintesis prostaglandin

dilaporkan mengurangi bersihan Methotrexate, sehingga memungkinkan

peningkatan toksisitas Methotrexate. Penggunaan bersama NSAID dengan

Warfarin dihubungkan dengan perdarahan berat yang kadang-kadang fatal.

Mekanisme interaksi pastinya belum diketahui, namun mungkin meliputi

peningkatan perdarahan dari ulserasi gastrointestinal yang diinduksi NSAID, atau

efek tambahan antikoagulan oleh Warfarin dan penghambatan fungsi trombosit

oleh NSAID. Ketorolac harus digunakan secara kombinasi hanya jika benar-benar

perlu dan pasien tersebut harus dimonitor secara ketat.

37
PIONIX

Pionix diindikasikan untuk NIDDM monoterapi atau kombinasi dengan

sulfonylurea atau metformin. Kontra indikasi riwayat gagal jantung (NYHA

derajat I-IV), gangguan hati, ketoasidosis, pasien dalam terapi insulin. Perhatian

retensi cairan dan gagal jantung. Efek samping dari pionix yaitu peningkatan BB,

gangguan penglihatan, hipoestesia, hipoglikemia, peningkatan nafsu makan,

anemia, sakit kepala, flatulence. Interaksi obat dengan insulin dan oral

antidiabetik lain.

Dosis monoterapi 15 atau 30 mg sekali sehari, kombinasi dengan

metformin atau sulfonylurea saat ini boleh diteruskan dapat diberikan dengan atau

tanpa makanan.

CETIRIZINE

Cetirizine diindikasikan untuk perennial rhinitis dan urtikaria. Kontra

indikasi penyakit ginjal berat, hipersensitifitas terhadap cetirizine. Perhatian dapat

menyebabkan kantuk, hindari pemakaian pada ibu hamil dan menyusui. Efek

samping sakit kepala, pusing, kantuk mulut kering dan mual. Interaksi obat

alcohol. Dosis dewasa dan anak diatas 12 tahun; 1 tablet 1 x sehari.

VITAMIN C

Vitamin C diindikasikan sebagai suplementasi vitamin C pada anak dalam

masa pertumbuhan, wanita hamil-menyusui, penderita yang baru sembuh dari

sakit, penderita dengan gejala pendarahan gusi dan sariawan. Dosis anak-anak;

sehari 3x 1-2 tab; dewasa : sehari 3 x 2-3 tablet

38
HYDROCORTISONE

Hydrocortisone diindikasikan untuk menekan reaksi radang pada kulit

yang bukan disebabkan infeksi, alergi kulit seperti dermatitis atopic/kontak,

neurodermatitis. Dosis oleskan sehari 2-3 x.

GENTAMISIN

Gentamisin diindikasikan untuk infeksi topical baik infeksi kulit primer

maupun sekunder yang disebabkan oleh bakteri yang peka. Kontra indikasi

hipersensitif, infeksi virus, dan jamur. Dosis oleskan pada kulit sehari 3-4 kali.

ASAM SALISILAT

Asam salisilat diindikasikan membantu mengurangi gatal-gatal akibat biang

keringat.

NATRIUM DICLOFENAC
Natrium diclofenac diindikasikan untuk inflamasi dan bentuk reumatik

degeneratif, AR,OA, spondilitis ankilosa, spondiloartritis. Reumatik non-artikular:

lumbago, bursitis, miositis, sindrom nyeri kolumna vertebra. Kontra indikasi

ulkus peptikum. Perhatian riwayat penyakit GI, asma; gangguan fungsi hepatic,

jantung atau ginjal; lansia; hamil, menyusui, porfina, pengurangan vol

ekstraseluler. Monitor fungsi liver dan jumlah darah selama penggunaan lama.

Efek samping gangguan GI dan pendarahan, tukak peptic, sakit kepala,

pusing, gelisah, ruam kulit, pruritus, tinnitus, edema, depresi, mengantuk,

insomnia, penglihatan kabur, reaksi hipersensitif, gangguan hepatic, dan ginjal,

agranulossitosis, trombositopenia. Interaksi obat penggunaan bersama aspirin

39
akan menurunkan konsentrasi plasma dan AUC diklofenak. Meningkatkan

konsentrasi plasma digoksin, metroteska, siklosporin, dan litium sehingga

meningkatkan toksisitasnya. Menurunkan aktifitas obat-obat diuretic. Dosis

osteoarthritis: sehari 3-4 x 50 mg atau sehari 2 x 75 mg; AR sehari 3-4 x 50 mg

atau 2 x 75 mg; spondilitis ankilosa sehari 4 x 25 mg dapat ditambah 25 mg lagi

sesaat sebelum tidur.

LANSOPRAZOLE

Lansoprazole diindikasikan untuk ulkus duodenum, ulkus gaster benigna,

refluks, esofagitis. Kontra indikasi pasien yang hipersensitif terhadap lansoprazole

Perhatian sebelum memulai pengobatan kemungkinan adanya factor keganasan

dilambung harus disingkirkan. Hindari penggunaan pada wanita hamil. Pada

wanita menyusui, bila obat dianggap perlu diberikan maka menyusui harus

dihentikan. Efek samping sakit kepala, diare, nyeri abdomen, dyspepsia, mulut

kering, sembelit, urtikaria, pruiritus, mual, muntah, kembung, pusing dan lelah,

atralgia, edema perifer dan depresi. Pernah dilaporkan trombositopenia,

eosinofilia, leokopenia. Dapat terjadi kenaikan nilai-nilai tes fungsi hati sementara

dan akan normal kembali.

Interaksi obat hati-hati bila digunakan bersama obat-obat kontrasepsi oral,

phenytoin, theophylline, warfarin. Antasida dan sukralfat akan mengurangi

bioavaibilitas lansoprazole, jangan diberikan kurang dari 1 jam setelah pemberian

lansoprazole. Dosis ulkus duodenum: sehari 1 x 30 mg, selama 4 minggu. Ulkus

gaster benigna: sehari 1 x 30 mg selama 8 minggu. Refluks esofagitis: sehari 1 x

30 mg selama 4 minggu.

40
BAB III

PENATALAKSANAAN UMUM

3.1. Tujuan Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Tujuan penatalaksanaan Diabetes Mellitus secara umum adalah meningkatkan

kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas

hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit

mikroangiopati dan makroangiopati.

3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,

tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara

komprehensif.

3.2. Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum

1. Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama,

yang meliputi:

a. Riwayat Penyakit

b. Usia dan karakteristik saat onset diabetes.

c. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat perubahan

berat badan.

d. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.

e. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap,

termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh

tentang perawatan DM secara mandiri.

41
f. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,

perencanaan makan dan program latihan jasmani.

g. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar

hiperglikemia, hipoglikemia).

h. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus

urogenital.

i. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal, mata,

jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.

j. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.

k. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,

obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan

endokrin lain).

l. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.

m. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pengukuran tinggi dan berat badan.

b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam

posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.

c. Pemeriksaan funduskopi.

d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.

e. Pemeriksaan jantung.

f. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.

g. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular,

neuropati, dan adanya deformitas).

42
h. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi,

necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan

insulin).

i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.

3. Evaluasi Laboratorium

a. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2jam setelah TTGO.

b. Pemeriksaan kadar HbA1c

4. Penapisan Komplikasi

a. Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru

terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan: Profil lipid pada keadaan

puasa: kolesterol total, High Density Lipoprotein (HDL), Low Density

Lipoprotein (LDL), dan trigliserida.

b. Tes fungsi hati

c. Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR

d. Tes urin rutin

e. Albumin urin kuantitatif

f. Rasio albumin-kreatinin sewaktu.

g. Elektrokardiogram.

h. Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung

kongestif).

i. Pemeriksaan kaki secara komprehensif. Penapisan komplikasi

dilakukan di Pelayanan Kesehatan Primer. Bila fasilitas belum

tersedia, penderita dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder dan/atau

Tersier.

43
3.3. Data Pasien Diabetes Mellitus dan Dispepsia diRumah Sakit Grandmed

Lubuk Pakam

Data pasien Diabetes Mellitus dan Dispepsia di Rumah Sakit Grandmed

Lubuk Pakam yang kami monitoring dapat dilihat sebagai berikut:

1. Identitas pasien

Nama : Tn. P

Nomor RM : 01.13.xx

Tanggal Lahir : 13-12-1961

Umur : 59 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Sudah menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Dusun VII Bangun Rejo Tanjung Morawa

Berat Badan : 58 Kg

Tinggi Badan : 165 cm

Jenis Rawat : Rawat Inap

Kategori Pasien : BPJS

Tanggal Masuk : 20-01-2020

Pukul : 14.30 WIB

2. Riwayat Penyakit dan Pengobatan

a. Keluhan Utama

Nyeri perut di ulu hati lebih kurang 1 minggu.

44
b. Riwayat Penyakit Terdahulu

Diabetes Mellitus Tipe II

c. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada

d. Riwayat Alergi

Tidak ada

e. Status Sosial dan Ekonomi

Menengah

f. Status Kejiwaan dan Kebiasaan

Normal

g. Riwayat Penggunaan Obat Terdahulu

Tidak ada

3.4. Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk Rumah Sakit Grandmed

Pasien masuk ke Rumah Sakit Grandmed pada tanggal 20 Januari 2020

dengan keluahan nyeri perut di ulu hati.

1. Pemeriksaan Penunjang

Pasien menjalani beberapa pemeriksaan, pemeriksaan fisik dan beberapa

pemeriksaan laboratorium dan patologi klinik.

2. Pemeriksaan Fisik

Selama dirawat di Rumah Sakit Grandmed, pasien telah menjalani

pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan yang dilakukan dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:

45
Tabel 3.1. Hasil Pemeriksaan Subjektif
Tanggal Lemas Mual Perut Nyeri
Pemeriksaan Kembung
20-01-2020 + + - +
21-01-2020 + + - +
22-01-2020 + + - +
23-01-2020 + + - +
24-01-2020 - - - +
25-01-2020 + - - +
26-01-2020 + - - +
27-01-2020 + - - +

Keterangan: (+) Ya

(-) Tidak

Tabel 3.2. Hasil Pemeriksaan Objektif


Tanggal Tekanan Darah Nadi Suhu (ºC) Pernapasan
Pemeriksaan (mmHg) (x/menit) (x/menit)
20-01-2020 147/91 111 37,1 20
130/80 80 36,7 20
150/80 80 36,9 20
21-01-2020 110/80 80 37 20
110/80 80 37 20
130/70 80 36,8 20
140/90 80 36,9 20
22-01-2020 110/70 80 37,2 20
140/90 89 36,5 20
120/80 80 36,7 20
120/80 83 36,8 20
23-01-2020 130/90 81 36,7 20
140/90 80 36,8 20
120/80 80 36,5 20
24-01-2020 70/100 80 36,6 20

46
36,8
130/80 80 20
25-01-2020 130/90 80 36,6 22
120/80 80 36,6 20
110/80 80 36,6 21
26-01-2020 130/80 80 36,7 20
130/80 80 36,7 20
120/80 81 37 20
27-01-2020 140/90 80 36,6 20

3. Pemeriksaan Patologi Klinik

Pemeriksaan patologi klinik merupakan pemeriksaan yang penting dalam

mendiagnosa penyakit pasien. Pasien telah melakukan pemeriksaan laboratorium

patologi klinik untuk memastikan diagnosa penyakit pasien.

Hasil pemeriksaan yang dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.3. Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik


Tanggal Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
20-01-2020 Hemoglobin 13.3 g/Dl 13.0 – 18.0 N
Jumlah Leukosit 9.72 10³/μL 4.0 – 11.0 N
Hematokrit 38.1 % 39.0 – 54.0 L
Jumlah trombosit 425 10³/μL 150 – 450 N
Eritrosit 4.65 106/μL 4.50 – 6.50 N
MCV/VER 81.9 fL 81.0 – 99.0 N
MCH/HER 28.6 Pg 27.0 – 31.0 N
MCHC/KHER 34.9 g/Dl 31.0 – 37.0 N
RDW-CV 11.7 % 11.5-14.5 N
RDW-SD 35.2 fL 35.0-47.0 N
MPV 9.6 fL 6.5-9.5 H
RDW 10.5 fL 10.0-18.0 N
PCT 0.410 % 0.100-0.500 N
Hitung Jenis:
Eusinofil 2.6 % 1.0-3.0 N
Basofil 0.4 % 0.0-1.0 N
Neutrofil 55.2 % 50.0-70.0 N
Limfosit 36.6 % 20.0-40.0 N
Monosit 5.2 % 2.0-8.0 N
ED# 0.25 10³/μL 0.04-0.36 N
BASO# 0.04 10³/μL 0.01-0.08 N
NEUT# 5.36 10³/μL 1.56-6.13 N
LYMPH# 3.6 10³/μL 1.2-3.2 H
MONO 0.51 10³/ μL 0.3-0.8 N

47
Glukosa darah sewaktu
FAAL GINJAL 323 mg/dL <200 H
Ureum darah
Creatinin darah 18.0 mg/dL 16.6-48.5 N
0.77 mg/Dl 0.67-1.17 N

21-01-2020 DIABETES
Glukosa jam 12.45 173 mg/dL <200 N
Glukosa jam 22.00 128 mg/dL <200 N
22-01-2020 DIABETES
Glukosa jam 06.00 101 mg/dL <200 N
Glukosa jam 22.00 161 mg/dL <200 N
23-01-2020 DIABETES
Glukosa jam 06.00 193 mg/dL <200 N
Glukosa jam 22.00 237 mg/dL <200 H
24-01-2020 DIABETES
Glukosa jam 06.00 76 mg/dL <200 N
25-01-2020 DIABETES
Glukosa jam 22.00 161 mg/dL <200 N
26-01-2020 DIABETES
Glukosa jam 22.00 123 mg/dL <200 N

4. Obat-Obat Yang Diberikan


Obat-obat yang diberikan kepada pasien dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.4. Terapi IGD
Tanggal Nama Obat Jam Pemberian
IVFD NaCl 30 gtt/i
Inj. Ketorolac IA/ekstra
20-01-2020 Inj. Ranitidine IA/12 jam 15:00
Inj. Ondancetron 4 mg/8 jam
Metformin 2 x 500 mg

Tabel 3.5. Terapi Yang Diberikan di Rawat Inap

Tanggal Nama Obat Bentuk Dosis Kekuatan


20-01-2020 Metformin Tablet 2x1 500 mg
Ringer Laktat Injeksi 30 gtt/i -
Ketorolac Injeksi 30 mg/ekstra 30 mg
Ranitidine Injeksi 50 mg/12 jam 50 mg
Ondansetron Injeksi 40 mg/8 jam 40 mg
21-01-2020 Metformin Tablet 2x1 500 mg
Glimepiride Tablet 1x1 2 mg
Metoklopramid Tablet 3x1 30 mg
Sukralfat sirup Tablet 4x1C

48
Gabapetin Tablet 1x1 300 mg
Ketorolac Injeksi 30 mg/ekstra 30 mg
Ranitidine Injeksi 50 mg/12 jam 50 mg
Ondansetron Injeksi 40 mg/8 jam 40 mg
Nacl 0,9% Injeksi - -
Omeprazole Injeksi 40 mg/12 jam 40 mg
22-01-2020 Glimepiride Tablet 1x1 2 mg
Metoklopramid Tablet 3x1 30 mg
Sukralfat sirup Tablet 4x1C
Gabapetin Tablet 1x1 300 mg
Cetrizine Tablet 1x1
Vitamin C Tablet 3x1
Ondansetron Tablet 3x1 8 mg
Nacl 0,9% Injeksi - -
Omeprazole Injeksi 40 mg/12 jam 40 mg
Metoklopramid Injeksi 10 mg/8 jam 10 mg
23-01-2020 Glimepiride Tablet 1x1 2 mg
Sukralfat sirup Tablet 4x1C
Gabapetin Tablet 1x1 300 mg
Cetrizine Tablet 1x1
Vitamin C Tablet 3x1
Ondansetron Tablet 3x1 8 mg
Pioglitazone Tablet 1x1 30 mg
Nacl 0,9% Injeksi - -
Omeprazole Injeksi 40 mg/12 jam 40 mg
Metoklopramid Injeksi 10 mg/8 jam 10 mg
24-01-2020 Glimepiride Tablet 1x1 2 mg
Sukralfat sirup Tablet 4x1C
Gabapetin Tablet 1x1 300 mg
Cetrizine Tablet 1x1
Vitamin C Tablet 3x1
Ondansetron Tablet 3x1 8 mg
Pioglitazone Tablet 1x1 30 mg
Nacl 0,9% Injeksi - -
Omeprazole Injeksi 40 mg/12 jam 40 mg
Metoklopramid Injeksi 10 mg/8 jam 10 mg
25-01-2020 Glimepiride Tablet 1x1 2 mg
Sukralfat sirup Tablet 4x1C
Gabapetin Tablet 1x1 300 mg
Cetrizine Tablet 1x1
Vitamin C Tablet 3x1
Ondansetron Tablet 3x1 8 mg

49
Pioglitazone Tablet 1x1 30 mg
Na.diklofenak Tablet 1x1 25 mg
Nacl 0,9% Injeksi - -
Omeprazole Injeksi 40 mg/12 jam 40 mg
Metoklopramid Injeksi 10 mg/8 jam 10 mg
26-01-2020 Glimepiride Tablet 1x1 2 mg
Sukralfat sirup Tablet 4x1C
Gabapetin Tablet 1x1 300 mg
Cetrizine Tablet 1x1
Vitamin C Tablet 3x1
Ondansetron Tablet 3x1 8 mg
Pioglitazone Tablet 1x1 30 mg
Na.diklofenak Tablet 1x1 25 mg
Omeprazole Injeksi 40 mg/12 jam 40 mg
Metoklopramid Injeksi 10 mg/8 jam 10 mg
27-01-2020 Glimepiride Tablet 1x1 2 mg
metoklopramid Tablet 3x1 30 mg
Sukralfat sirup Tablet 4x1C
Gabapetin Tablet 1x1 300 mg
Cetrizine Tablet 1x1
Vitamin C Tablet 3x1
Ondansetron Tablet 3x1 8 mg
Pioglitazone Tablet 1x1 30 mg
Na.diklofenak Tablet 1x1 25 mg

50
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien masuk ke rumah sakit grandmed melalui ruangan IGD (Instalasi

Gawat Darurat) dan kemudian dipindah ke ruangan poli bedah pada tanggal 20

januari 2020 dengan keluhan pasien nyeri perut di ulu hati lebih kurang 1 minggu.

Pasien mempunyai riwayat penyakit diabetes mellitus tipe II.

Diagnosa sementara adalah diabetes mellitus tipe II, dyspepsia, dan OA

scapula. Pasien dimasukan ke ruangan rawat inap lalu keluarga pasien mengisi

biodata di bagian informasi dan melengkapi berkas administrasi untu

mendapatkan medical record (MR) dan untuk pemeriksaan selanjutnya pasien

menjalani rawat inap di lantai 2 ruang 264.

Selama di rawat, pasien mendapat terapi obat-obatan, pasien juga

menjalani pemeriksaan ultra sonografi (USG) kidney + bladder pada tanggal 24

januari 2020 menunjukan bahwa kedua ginjal ukurannya normal, tidak tampak

batu maupun pelebaran pelvi-calyceanya.vesica urinaria berdinding licin dan tidak

tampak batu atau mass didalamnya. Prostate ukurannya normal permukaan rata

tidak tampak focal mass. Pasien juga menjalani pemeriksaan foto thorax pada

tanggal 20 januari 2020 menunjukan bahwa jantung dalam batas normal. Sinus

dan diafragma kanan dan kiri biasa, lapangan paru-paru bersih, tidak tampak

kelainan pada jantung dan paru-paru.

51
Penulis melakukan pemantauan terapi obat, konseling pasien untuk

meningkatkan kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat dan komunikasi

dengan tenaga kesehatan lainnya untuk kualitas pengobatan yang terbaik.

Pemantauan terapi obat dilakukan untuk melihat apakah penggunaan obat

untuk terapi pasien diberikan secara rasional. Rasionalitas penggunaan obat

meliputi tepat pasien, tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis, dan waspada efek

samping obat. Pemantauan terapi obat dilakukan setiap hari sesuai dengan obat

yang diberikan. Penyampaian informasi penting tentang obat disampaikan secara

langsung kepada pasien dan keluarganya untuk meningkatkan pemahaman pasien

mengenai obat dan kepada tenaga kesehatan lainnya terkait dengan efektifitas obat

dan stabilitas obat dalam bentuk rekomendasi kepada dokter dan perawat.

Penggunaan obat dikatakan rasional menurut WHO apabila pasien

menerima obat yang tepat ntuk kebutuhan klinis, dalam dosis yang memenuhi

kebutuhan untuk jangka waktu yang cukup, dan dengan biaya yang terjangkau

baik untuk individu maupun masyarakat.

Konsep tersebut berlaku sejak pertama pasien datang kepada tenaga

kesehatan, yang meliputi ketepatan penilaian kondisi pasien, tepat indikasi, tepat

dosis, tepat obat, tepat cara dan lama pemberian, dan waspada efek samping obat.

Oleh karena itu, penggunaan obat rasional meliputi dua aspek pelayanan yaitu

pelayanan medic oleh dokter dan pelayanan farmasi klinik oleh apoteker. Untuk

itu perlu sekali adanya kolaborasi yang sinergis antara dokter dan apoteker untuk

menjamin keselamatan pasien melalui penggunaan obat rasional.

52
WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia

diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari

pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Untuk menjamin pasien

mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhanny, untuk periode waktu

yang adekuat dengan harga yang terjangkau. Secara praktis, penggunaan obat

dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:

1. Tepat Pasien

Obat yang digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu

yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan

ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan

lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya pemberian obat

golongan aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan

resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari.

Berdasarkan pengamatan pasien telah sesuai dengan nama, tanggal lahir,

dan nomor RM pasien. Obat yang diberikan kepada pasien juga sesuai dengan

nama yang tertera pada etiket, dan pasien tidak ada penyakit penyerta seperti

kelainan ginjal dan hati serta tidak memiliki riwayat alergi.

2. Tepat Indikasi

Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnose dokter.

Misalnya antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena penyakit

akibat bakteri.

53
Glimepiride merupakan suatu obat anti diabetes mellitus golongan

sulfonilurea generasi kedua yang diberikan secara oral dan berfungsi menurunkan

gula darah dengan cara meningkatkan kerja insulin dalam proses pengambilan

glukosa perifer. Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan

dosis paling rendah dari semua senyawa sulfonilurea sehingga obat ini

mempunyai potensi hipoglikemik 100 x lebih besar dari pada obat anti diabetes

golongan sulfonilurea generasi pertama. Glimepiride diindikasikan untuk

menurunkan kadar gula darah pada pasien diabetes melitus type 2 dengan

hiperglikemia yang tidak dapat dikontrol dengan diet dan latihan tersendiri.

Glimepiride digunakan sebagai penunjang dalam diet dan latihan untuk

menurunkan gula darah. Glimepiride dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau

dikombinasi dengan metformin atau insulin, tetapi kombinasi ini dapat

meningkatkan potensi terjadinya hipoglikemia, penggunaan glimepiride sudah

tepat indikasi karena pasien di diagnosa DM tipe II (hexpharmjaya).

Metoclopramide adalah obat untuk mengobati beberapa masalah di perut

dan usus, seperti rasa panas di perut (heartburn), asam lambung, dan maag yang

tak kunjung sembuh. Metoclopramide biasanya digunakan untuk maag yang

muncul setelah makan atau di siang hari. Metoclopramide juga digunakan pada

pasien diabetes yang memiliki kesulitan dalam mengosongkan perut

(gastroparesis). Metoclopramide bekerja dengan menghambat substansi natural

(dopamine). Ia mempercepat pengosongan perut dan pergerakan usus atas,

penggunaan metoclopramide sudah tepat indikasi karena pasien di diagnosa

mengalami mual muntah.

54
Sukralfat adalah kompleks antara alumunium hidroksida dan sukrosa

octasulfate. Sukralfat merupakan substansi yang bekerja lokal pada lingkungan

asam (pH<4). Mekanisme kerja sukralfat adalah sukralfat bereaksi dengan asam

hidroklorik dalam lambung membentuk sebuah cross-linked yang memiliki

konsistensi kental seperti bahan perekat yang mampu bereaksi sebagai buffer

asam untuk waktu yang lama, yaitu 6-8 jam setelah diminum dalam dosis tunggal.

Sukralfat sebaiknya dikonsumsi pada saat perut kosong untuk mencegah ikatan

dengan protein dan fosfat. Penggunaan sukralfat sudah tepat indikasi karena

pasien mengalami nyeri perut (Hasanah, 2007; Waller et al., 2009).

Gabapentin [1-(aminomethyl) cyclohexane acetic acid] adalah analog

structural dari gamma-aminobutyric acid (GABA) yang pertama kali

diperkenalkan tahun 1994 sebagai obat antiepilepsi, selanjutnya diketahui efektif

untuk terapi nyeri kronik, penanganan nyeri akut periode perioperatif, pencegahan

nyeri kronik pasca operasi. Penggunaan gabapentin sudah tepat indikasi karena

pasien mengalami nyeri neuropatik (Kong dan Irwan, 2007).

Ranitidine merupakan antagonis histamine dari reseptor H2 dimana

sebagai antagonis histamine, ranitidine dikenal lebih potensial dari pada

cimetidine dalam fungsinya untuk menghambat sekresi asam lambung

pentagastrin-stimulated. Fungsi ini dikarenakan antagonis histamine dari reseptor

histamine H2 ini bekerja untuk menghambat sekresi asam lambung. Penggunaan

ranitidine sudah tepat indikasi untuk karena pasien mengalami nyeri perut di ulu

hati.

55
Ondancetron suatu antagonis reseptor 5-HT3 (serotonin) merupakan obat

yang paling disukai untuk mencegah dan mengobati mual muntah pasca bedah

karena obat ini bekerja di sentral dan perifer tanpa menyebabkan rasa mengantuk,

reaksi pyramidal dan perubahan kardiovaskuler. Ondancetron merupakan obat

yang paling sering digunakan sebagai anti mual dan muntah dibandingkan dengan

yang lain karena efektivitas dan keamanannya, tetapi biaya ondancetron yang

relative mahal merupakan salah satu factor penting yang membatasi

penggunaannya untuk profilaksis rutin. Sedangkan obat-obat lain seperti

prometazin, proklorperazin, propofol, metoclopramid memang mempunyai biaya

relative rendah namun efektivitasnya kurang baik bila digunakan sendiri serta

mempunyai efek samping yang cukup signifikan. Penggunaan ondancetron sudah

tepat indikasi karena pasien mengalami mual dan muntah (Hill et al, 2000).

Omeprazole mempunyai mekanisme kerja yang unik karena mempunyai

tempat kerja dan bekerja langsung pada pompa asam (H +K+ ATPase) yang

merupakan tahap akhir proses sekresi asam lambung dari sel-sel parietal. Dalam

proses ini, ion H dipompa dari sel parietal ke dalam lumen dan terjadi proses

pertukaran dengan ion K. Omeprazole memblok sekresi asam lambung dengan

cara menghambat H+K+ ATPase pump dalam membran sel parietal. Penggunaan

omeprazole sudah tepat indikasi karena pasien mengalami nyeri perut di ulu hati

(Anonim, 2009).

Ketorolac adalah obat golongan analgetik non-narkotik yang mempunyai

efek antiinflamasi dan antipiretik. Ketorolac bekerja dengan menghambat sintesis

prostaglandin yang merupakan mediator yang berperan pada inflamasi, nyeri,

56
demam dan sebagai penghilang rasa nyeri perifer. Penggunaan ketorolac sudah

tepat indikasi karena pasieng mengalamin sakit pada kaki.

Pionix merupakan kombinasi dua dengan mekanisme kerja yang berbeda

dengan tujuan meningkatkan kontrol gula darah secara sinergis, pioglitazone

merupakan golongan thiazolidinedione dan metformin merupakan golongan

biguanide. Pioglitazone bekerja terutama meningkatkan sensitivitas insulin

sehingga meningkatkan ambilan glukosa pada jaringan perifer sedangkan

metformin bekerja utama menurunkan produksi glukosa di hati. Penggunaan

pionix sudah tepat indikasi karena pasien mengalami diabetes mellitus tipe II.

Cetirizine merupakan antagonis reseptor H-1. Cetirizine dapat menurunkan

jumlah histamine dengan mengurangi jumlah produksi prostaglandin dan

menghambat migrasi basofil yang diinduksi oleh antigen. Penggunaan cetirizen

sudah tepat indikasi karena pasien mengalami muka merah dan bersin-bersin.

Natrium diklofenak merupakan salah satu OAINS derivate asam

fenilasetat. Selain antiinflamasi, natrium diklofenak juga mempunyai aktivitas lain

sebagai analgesic dan antipiretik. Obat ini bekerja dengan cara menghambat

enzim cyclooxygenase (COX) sehingga produksi prostaglandin di seluruh tubuh

akan menurun. Penghambatan terhadap enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)

diperkirakan memediasi efek antipiretik (penurunan suhu tubuh saat demam),

analgesic (pengurangan rasa nyeri), dan antiinflamasi (anti peradangan),

sedangkan penghambatan enzim COX-1 menyebabkan gangguan pada

pencernaaan berupa luka atau ulkus di lambung disamping gangguan pembekuan

darah. Natrium diklofenak sering digunakan untuk penanganan simptomatik

57
jangka lama pada arthritis rheumatoid, osteoastritis, dan spondilitas ankilosa.

Senyawa ini mungkin juga berguna untuk penanganan jangka pendek cedera otot

rangka akut, bahu nyeri akut. Penggunaan natrium diklofenak sudah tepat karena

pasien mengalami sakit di bagian kaki.

Lansoprazole menghambat sistem enzim H+K+ATPase (pompa proton)

pada sel parietal mukosa lambung secara spesifik sehingga produksi asam

lambung tahap akhir dihambat. Penggunaan lansoprazole sudah tepat indikasi

karena pasien mengalami dyspepsia.

3. Tepat Pemilihan Obat

Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihhan obat

yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi

dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain itu, obat juga harus terbukti

manfaat dan keamanannya.

4. Tepat Dosis

Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat

mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan

mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus

disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi, bobot badan, maupun kelainan

tertentu. Dosis merupakan salah satu penentu efikasi suatu obat. Dosis yang

terlalu rendah bisa menyebabkan tidak tercapainya efek yang diharapkan,

sedangkan dosis yang terlalu tinggi dapat menyebabkan keracunan obat pada

pasien. Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan keamanan dan

kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat

58
pemberian obat. Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pemberian yang

harus sesuai karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan

dengan kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek terapi, agar terapi

berhasil dan tidak terjadi resistensi maka frekuensi dan lama pemberian harus

tepat.

Tabel 4.1. Pengkajian Tepat Dosis

Nama Obat Bentuk Dosis Dosis Lama Ket


Sediaan dalam R/ Lazim Pemberian
Metformin Tablet 2 x 1 Tab 2x 2 Hari Tepat
500mg/hari Dosis

Glimepiride Tablet 1 x 1 Tab 1x1 7 Hari Tepat


mg/hari Dosis

Metoklopramide Tablet 3 x 10 mg 3 x 10 7 Hari Tepat


dan Injeksi / hari mg/hari Dosis

Sukralfat syr Injeksi 4x1C 4x2C 7 Hari Tepat


Dosis

Gabapentin Tablet 1 x 1 tab / 1 x 300 mg 7 Hari Tepat


hari / hari Dosis

Ranitidine Injeksi 50 mg / 50 mg / 6 – 2 Hari Tepat


12 jam 8 jam Dosis

Ondancentron Injeksi 4 mg/6 8 - 12 mg 8 Hari Tepat


jam Dosis

Omeprazole Injeksi 40 mg / 1 x 40 mg / 7 Hari Tepat


12 jam hari Dosis

Ketorolac Injeksi 30 mg / Ds awal : 2 Hari Tepat


ekstra 10 mg Dosis
Dosis
dilanjutkan
10 – 30 mg
tiap 4-6 jam
Pioglitazone Tablet 1 x 30 mg 1 x 15 – 30 5 Hari Tepat
/ hari mg / hari Dosis

59
Cetirizine Tablet 1 x 1 tab / 1 x 10 mg / 6 Hari Tepat
hari hari Dosis

Vitamin C Tablet 3 x 1 tab 3 x 2-3 tab 6 Hari Tepat


Dosis

Natrium Tablet 2 x 25 mg 4 x 25 mg / 3 Hari Tepat


diklofenak / hari hari Dosis

Lansoprazole Tablet 2 x 1 tab / 2 x 30 mg / 1 Hari Tepat


hari hari Dosis

Dosis obat yang dimaksud adalah jumlah obat yang diberikan kepada

penderita, kecuali bila dinyatakan lain maka yang dimaksud dengan dosis obat

adalah sejumlah obat yang memberikan efek terapeutik pada penderita dewasa,

juga disebut 7 dosis lazim atau dosis medicinalis atau dosis terapeutik (Joenoes,

2001). Dosis lazim merupakan petunjuk yang tidak mengikat, tetapi digunakan

sebagai pedoman umum. Misalnya, obat CTM (4 mg/tablet) disebutkan dosis

lazimnya 6-16 mg/hari dan dosis maksimumnya 40 mg/hari; bila seseorang

minum 3x sehari 2 tablet, berarti dosis maksimumnya belum terlampaui. Akan

tetapi ini dianggap tidak lazim karena hanya dengan 3x sehari 1 tablet sudah dapat

mencapai efek terapi yang optimal (Syamsunib , 2006). Dosis toksik merupakan

takaran obat dalam keadaan biasa yang dapat menyebabkan keracunan pada

penderita sedangkan dosis letalis merupakan takaran obat dalam keadaan biasa

yang dapat menyebabkan kematian pada penderita. Dosis letalis terdiri atas: L.D.

50 dan L.D. 100, dimana L.D. 50 merupakan takaran yang menyebabkan

kematian pada 50% hewan percobaan dan L.D. 100 adalah takaran yang

menyebabkan kematian pada 100% hewan percobaan (Syamsunib, 2006).

Menurut tabel di atas kesesuain dosis sudah benar menurut literature yang

60
kami lihat tidak ada yang tidak sesuai atau dosis berlebih atau dosis rendah

semuanya sudah sesuai menurut literature.

5. Waspada efek samping obat

obat memiliki efek samping obat dan interaksi obat yang tidak diinginkan

dalam terapi sehingga pengkajian terhadap efek samping obat dan interaksi obat

oleh apoteker menjadi sangat penting untuk membantu dalam mengoptimalkan

terapi pasien. Dari daftar efek samping obat-obat yang didapat pasien, tidak

ditemukan adanya efek samping terjadi. Efek samping dan interaksi obat dari obat

yang digunakan dalam terapi dapat dilihat pada tabel di baawah ini:

Tabel 4.2. Pengkajian Efek Samping dan Interaksi Obat

No Nama Obat Efek Samping Interaksi Ket


Obat
1. Metformin hipoglikemia, gangguan - Tidak Ada Efek
penglihatan, gangguan Samping Obat
GIT, urtikaria
2. Glimepiride hipoglikemia, gangguan - Tidak Ada Efek
penglihatan, gangguan Samping Obat
GIT, urtikaria
3. Metoklopramide mengantuk lemah, lelah, - Tidak Ada Efek
gelisah, konstipasi, diare, Samping Obat
urtikaria, mulut kering,
glossal atau periorbital
udem,
methaemoglobinaemia,
gejala ekstrapiramidal
seperti gejala Parkinson,
diskinesia tardive,
terutama pada usia lanjut
dan anak-anak
4. Sukralfat syr Konstipasi, diare, mual, - Tidak Ada Efek
gangguan pencernaan, Samping Obat
gangguan lambung, mulut
kering, ruam, reaksi
hipersensitifitas, nyeri
punggung, pusing, sakit
kepala, vertigo, dan
mengantuk, pembentukan
bezoar

61
5. Gabapentin somnolen, pusing, ataksia, - Tidak Ada Efek
lemah lesu, nistagmus, Samping Obat
sakit kepala, tremor,
diplopia, mual, muntah,
rhinitis, ambliopia
6. Ranitidine sakit kepala, gangguan - Tidak Ada Efek
kardiovaskuler, gangguan Samping Obat
gastrointestinal, gangguan
musculoskeletal,
gangguan hematologic,
gangguan endokrin
7. Ondancentron Sakit kepala, sensasi - Tidak Ada Efek
hangat atau kemerahan, Samping Obat
konstipasi, reaksi local
injeksi, kejang, gangguan
gerakan, aritmia, nyeri
dada
8. Omeprazole omeprazole dapat - Tidak Ada Efek
ditoleransi, nausea, sakit Samping Obat
kepala, diare, konstipasi
dan flatulence jarang
terjadi
9. Ketorolac edema, kenaikan BB, - Tidak Ada Efek
demam, infeksi, asthenia. Samping Obat
Hipertensi, palpitasi,
pucat, sinkop. Pruritus,
ruam, urtikaria. Mual,
dyspepsia, nyeri
gastrointestinal, diare,
konstipasi, kembung,
perasaan penuh pada saat
sendawa, anoreksia,
peningkatkan nafsu
makan. Purpura,
epsitaksis, anemia,
eosinofilia. Sakit kepala,
mengantuk, pusing,
berkeringat, gemetar,
mimpi abnormal,
halusinasi, euphoria,
gejala ekstrapiramidal,
vertigo, parestesia,
depresi, insomnia, gelisah,
rasa haus yang berlebihan,
mulut kering, pikiran
terganggu, tidak mampu
berkonsentrasi,
hiperkinesis, pingsan.
Sesak napas, edema paru,
rhinitis, batuk. Gangguan
pada indera perasa,
gangguan daya

62
penglihatan, telinga
berdenging, kehilangan
pendengaran. Hematuria,
proteinuria, oliguria,
retensi urin, poliuria,
peningkatan frekuensi
BAK. Nyeri pada tempat
injeksi
10. Pioglitazone peningkatan BB, - Tidak Ada Efek
gangguan penglihatan, Samping Obat
hipoestesia, hipoglikemia,
peningkatan nafsu makan,
anemia, sakit kepala,
flatulence
11. Cetirizine sakit kepala, pusing, - Tidak Ada Efek
kantuk mulut kering dan Samping Obat
mual
12. Vitamin C Diare, mual, muntah, - Tidak Ada Efek
nyeri ulu hati, kram dan Samping Obat
sakit perut
13. Natrium gangguan GI dan - Tidak Ada Efek
diklofenak pendarahan, tukak peptic, Samping Obat
sakit kepala, pusing,
gelisah, ruam kulit,
pruritus, tinnitus, edema,
depresi, mengantuk,
insomnia, penglihatan
kabur, reaksi hipersensitif,
gangguan hepatic, dan
ginjal, agranulossitosis,
trombositopenia
14. Lansoprazole sakit kepala, diare, nyeri - Tidak Ada Efek
abdomen, dyspepsia, Samping Obat
mulut kering, sembelit,
urtikaria, pruiritus, mual,
muntah, kembung, pusing
dan lelah, atralgia, edema
perifer dan depresi.
Pernah dilaporkan
trombositopenia,
eosinofilia, leokopenia.
Dapat terjadi kenaikan
nilai-nilai tes fungsi hati
sementara dan akan
normal kembali

6. SOAP FARMASI

Tabel 4.3 SOAP Farmasi

S Tn. P mengeluh nafsu makan berkurang, kaki masih terasa sakit

63
O TD : 110 / 80
T : 37°C
A Tidak ada interaksi antar obat
P Lanjutkan terapi pada pasien

S = Subjektif

Data tentang apa yang dirasakan pasien atau apa yang dapat diamati tentang

pasien merupakan gambaran apa adanya mengenai pasien diperoleh dengan cara

mengamati, berbicara, dan berespon dengan pasien.

O = Objektif

Riwayat pasien yang terdokumentasi pada catatan medik dan hasil berbagai uji

dan evaluasi klinik tanda-tanda vital, hasil test lab, hasil uji fisik, hasil radiografi,

CT scan, ECG, dll. Obat yang digunakan sekarang termasuk dalam data obyektif

harus dikaitkan dengan problem kesehatan pasien.

A = Assesment

Farmasis harus dapat menginterpretasikan data subyektif dan obyektif untuk

setiap problem untuk:

a) Mengembangkan rekomendasi terapi

b) Mengikuti/memonitor respon terhadap suatu terapi

c) Mendokumentasikan adanya adverse drug reaction

d) Amati apakah suatu problem disebabkan karena obat/tidak (adverse

reaction atau karena penyakit) untuk menentukan rencana terapi

e) Amati apakah terapi obat memang dibutuhkan atau cukup dengan nondrug

therapy

f) Jika pasien sudah menerima terapi, harus dievaluasi ketepatannya:

64
Apakah semua macam obat memang dibutuhkan?

Apakah ada duplikasi?

Apakah obat tersebut merupakan pilihan obat yang tepat (drug of choice)

bagi kondisi pasien? (usia, fungsi hati dan ginjal, alergi, factor resiko, dll)

Apakah bentuk sediaan dan cara pemberiannya benar?

Apakah jadwal pemberian sudah benar?

Apakah durasi penggunaan obat sudah tepat?

g) Jika pasien menerima terapi, harus dimonitor hasil terapinya dan

diputuskan apakah respons terhadap terapi cukup atau tidak

h) Ketidakpatuhan pasien terhadap terapi dapat menyebabkan kegagalan

harus diatasi

i) Amati adanya interkasi obat dan adverse drug reaction

P = Planing / Perencanaan

Hal-hal yang akan dilakukan terhadap pasien, meliputi:

a) Macam treatment yang diberikan, termasuk obat yang harus dihindari

b) Parameter pemantauan (terapi dan toksisitas) dan endpoint therapy

c) Informasi pada pasien

7. Ringkasan Pasien Pulang

Nama pasien : Tn. P

Tanggal masuk RS : 20-01-2020

Tanggal Keluar RS : 27-01-2020

Anamnese : Mual, tidak nafsu makan sejak 1 minggu, lemas,

BAB terakhir tadi pagi

65
Diagnosa Masuk : Nyeri ulu hati sejak 1 minggu

Diagnosa Utama : DM

Diagnosa Sekunder : Dermatitis Kontak Iritan


ISK
OA

Obat : Glimepiride 1-0-0, pioglitazone 1 x 30 mg,

sukralfate 4 x C1, gabapentin 1 x 30 mg,

ondancetron 2 x 8 mg, Natrium diclofenac 2 x 25

mg, lansoprazole 2 x 30 mg, metoclopramide 3 x 10

mg

Memberikan Pendidikan dan Konseling, tujuan pendidikan kepada pasien

adalah untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan kepada pasien untuk

berpartisipasi dalam pengobatannya. Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang

tidak pernah mendapat pendidikan mengenai diabetes, resiko untuk komplikasi

mayor meningkat 4 kali lipat. Berikut ini adalah materi inti untuk pendidikan yang

komprehensif yang dapat diberikan kepada pasien diabetes (Sumber: National

Standard for diabetes self-management education, Diabetes Care 2005).

a) Definisi diabetes, proses penyakit, dan pilihan pengobatan

b) Terapi nutrisi

c) Aktivitas fisik

d) Penggunaan obat

e) Memonitor kadar gula sendiri

f) Mencegah, mendeteksi, dan mengobati komplikasi-komplikasi akut dan

kronis

66
g) Target untuk mencapai hidup sehat

h) Menyesuaikan sendiri perawatan dalam kehidupan sehari-hari (problem

solving)

i) Penyesuaian psikososial dalam kehidupan sehari-hari

Pendidikan kepada pasien dapat diberikan dalam 3 tahap:

 Tahap I : Segera dilaksanakan setelah pasien di diagnosa dengan DM

sehingga dapat membantu mengatasi kebingungan, syok, terkejut dan

lain sebagainya. Apoteker berusaha membantu pasien memahami dan

menerima diagnosis.

 Tahap II : Memberikan informasi yang lebih dalam, dengan berfokus

pada masalah yang telah teridentifikasi sewaktu menilai pasien

(misalnya peripheral neuropathy) dan hal-hal yang mungkin dapat

diantisipasi ( misalnya mengatasi reaksi hiperglikemik). Kegunaan dan

cara minum obat yang benar (misalnya obat hiperglikemik oral,

obat antidislipidemia, obat dyspepsia, obat ostreatritis,

obat antihipertensi, aspirin) harus dijelaskan.

 Tahap III : Memberikan pendidikan berkelanjutan untuk menekankan

konsep, meningkatkan dan menjaga motivasi , dan berupaya agar pasien

dapat mengurus dirinya dan peduli terhadap kesehatannya

catatan: diperlukan pendekatan tim ahli kesehatan dalam pendidikan

kepada pasien diabetes.

Pengetahuan yang diperoleh apoteker dari etiologi, patofisiologi, terapi

obat dan non-obat untuk diabetes dapat digunakan untuk pendidikan kepada

pasien dengan bahasa yang disesuaikan untuk awam. Konseling dalam

67
penatalaksanaan diabetes sangat penting sebab diabetes merupakan penyakit yang

sangat erat hubungannya dengan gaya hidup. Konseling diberikan kepada

penderita untuk mendapatkan hasil penatalaksanaan diabetes yang maksimal.

Keberhasilan penatalaksanaan diabetes sangat bergantung pada kerja sama

penderita dan keluarganya dengan petugas kesehatan. Kepatuhan penderita

terhadap program penatalaksanaan sangat bergantung pada tingkat

pemahamannya tentang penyakit tersebut. Penderita DM yang memiliki

pengetahuan yang cukup tentang DM umumnya dapat mengendalikan perilakunya

sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik.

Secara umum, tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan memberikan

penyuluhan atau konseling kepada penderita diabetes dan keluarganya antara lain:

1. Agar penderita DM memiliki harapan hidup lebih lama dengan kualitas hidup

yang optimal. Kualitas hidup sudah merupakan keniscayaan. Seseorang yang

dapat bertahan hidup tetapi dengan kualitas hidup yang rendah, akan

menggangggu kebahagiaan dan ketenangan keluarga.

2. Untuk membantu penderita DM agar dapat merawat dirinya sendiri, sehingga

komplikasi yang mungkin timbul dapat diminimalkan, selain itu juga agar

jumlah hari sakit dapat ditekan.

3. Agar penderita DM dapat berfungsi dan berperan optimal dalam masyarakat.

4. Agar penderita DM dapat lebih produktif dan bermanfaat.

5. Untuk menekan biaya perawatan, baik yang dikeluarkan secara pribadi,

keluarga ataupun negara.

68
Segala informasi yang dianggap perlu untuk meningkatkan kepatuhan dan

kerja sama penderita dan keluarganya terhadap program penatalaksanaan diabetes

dapat disampaikan dalam konseling. Namun dalam penyampaiannya harus

mempertimbangkan kondisi penderita, baik kondisi pengetahuan,

kondisi fisik, maupun kondisi psikologisnya.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

A. Pemantauan penggunaan obat pada pasien meliputi, tepat pasien, tepat

obat, tepat dosis, tepat indikasi, tepat cara dan lama pemberian obat,

waspada efek samping obat, sudah tepat sesuai literature.

B. Berkembangnya pelayanan farmasi klinis berorientasi pasien memberikan

karakteristik pelayanan farmasi klinis sebagai berikut:

a) Terlibat langsung diruang perawatan dirumah sakit

b) Bersifat pasif (melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai atau

member informasi kalau diperlukan)

c) Bersifat aktif (memberi masukan ke dokter sebelum pengobatan

dimulai, menerbitkan buletin informasi obat)

d) Bertanggung jawab terhadap setiap saran atau tindakan yang

dilakukan

e) Menjadi mitra dan pendamping dokter

69
5.2 Saran

Setelah melaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RS

Grandmed Lubuk Pakam dan disarankan untuk diberikan terkait penilaian

rasionalitas penggunaan obat, diharapkan pelayanan farmasi klinis di rumah

sakit dapat lebih ditingkatkan lagi dengan melakukan visite ke ruangan secara

rutin agar penggunaan obat terhadap pasien lebih terkontrol

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. Standars of Medical Care in Diabetes 2010.


Diabetes Care. 2010:33(1):S11-4

Konsensus Nasional. 2014 . Penatalaksanaan Dispepsia Dan Infeksi Helicobacter


Pylori. PERKENI. 2015. Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik . 2005. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Diabetes Mellitus

American Diabetes Association, 2004, Standards of Medical Care in


Diabetes, Diabetes Care Journal, diakses pada tanggal 19 Oktober 2015.

American Diabetes Association, 2005, Standards of Medical Care in


Diabetes, Diabetes Care Journal, Volume 28, Supplement 1, pp. 27.

Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005, Pharmaceutical Care Untuk


Penyakit
Diabetes Mellitus, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, hal. 47.
Arifin, I., Prasetyaningrum, E., Andayani, T.M., 2007, Evaluasi Kerasionalan
Pengobatan Diabetes Mellitus Tipe 2 Pada Pasien Rawat Inap Di
Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang Tahun 2006, Jurnal Ilmu
Farmasi dan Farmasi Klinik, Volume 4, hal. 25.

70
Kementrian Kesehatan RI, 2013, Riset Kesehatan Dasar 2013, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
hal. v.
Mayasari, E., 2015, Analisis Potensi Interaksi Antidiabetik Injeksi Insulin
Pada Peresepan Pasien Rawat Jalan Peserta Askes Rumah Sakit
Dokter Soedarso Pontianak Periode April-Juni 2013, Naskah Publikasi,
hal. 3.
Medscape, 2015, Drug Interaction Checker,
http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker, diakses tanggal 21
Oktober 2015.
Susilowati, S., Rahayu, W.P., 2012, Identifikasi Drug Related Problems
(DRPs)
Yang Potensial Mempengaruhi Efektivitas Terapi Pada Pasien Diabetes
ellitus Tipe II Rawat Inap di RSUD Tugurejo Semarang Periode 2007-
2008, Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim, Semarang, hal. 1-7.
Syamsudin, 2011, Interaksi Obat Konsep Dasar dan Klinis, Penerbit Universitas
Indonesia Press, Jakarta, hal. 38.
Tjokroprawiro, A., 1996, Diabetes Mellitus, Klasifikasi, Diagnosis, dan Terapi,
Edisi III, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta hal. 30-46.
Triplitt, C.L., Reasner, C.A., and Isley, W.L., 2008, Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach, 7th Edition, Dalam: Dipiro, J.T.,
Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G. and Posey, L.M.,
McGraw-
Hills Companies, USA, pp. 1230-1235.
Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2003, Obat-Obat Penting, Edisi V, PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta, hal. 693.

71
72

Anda mungkin juga menyukai