PENDAHULUAN
Pemantauan terapi obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencangkup kegiatan
untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut
mencankup: Pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi, respon obat
yang tidak dikehendaki (ROTD), dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi.
Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan evaluasi secara teratur
pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui. Pasien
yang mendapatkan terapi obat mempunyai resiko untuk mengalami masalah terkait obat.
Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respon pasien yang sangat individual
meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya
dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk mengoptimalkam efek terapi dan meminimalkan
efek yang tidak dikehendaki (Depkes, 2009).
Menurut penelitian yang dilakukan di negara maju menunjukan masalah terkait obat
yang sering muncul adalah masalah pemberian obat yang kontraindikasi dengan kondisi
pasien, cara pemberian yang tidak tepat, pemberian dosis yang sub terapeutik dan interaksi
obat. Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah munculnya
masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan memiliki peran
penting dalam pemantauan terapi obat. Pengetahuan penunjang dalam melakukan
pemantauan terapi obat adalah patofisiologi penyakit, farmakoterapi, serta interpretasi hasil
pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik. Selain itu diperlukan keterampilan
berkomunikasi, kemampuan membina hubungan interpersonal, dan menganalisis masalah.
Proses PTO merupakan proses yang komprehensif mulai dari seleksi pasien, pengumpulan
data pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi, rencana pemantauan
sampai dengan tindak lanjut. Proses tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan
sampai tujuan terapi tercapai (Depkes, 2009).
Diabetes mellitus merupakan penyakit serius yang mempengaruhi semua organ vital
dalam tubuh dan ditandai tingginya kadar gula dalam darah (Singh, 2013). Diabetes mellitus
ini akan menyebabkan terjadinya perubahan patofisiologi dalam tubuh seperti mata, ginjal
dan ekstremitas bawah. Dalam waktu lama diabetes yang tidak terkontrol dapat menimbulkan
komplikasi akut dan kronis (Perkeni, 2015). Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi
penyulit akut dan menahun. Penyulit akut yaitu ketoasidosis diabetik, keadaan hiperosmolar
non ketotik atau hipoglikemia. Penyulit menahun berupa makroangiopati yaitu peningkatan
risiko penyakit arteri koroner, serta mikroangiopati yaitu nefropati, retinopati, dan neuropati
(Probosari, 2017).
Menurut estimasi data WHO maupun IDF prevalensi Diabetes di Indonesia pada tahun
2000 adalah sebesar 5,6 juta penduduk, tetapi pada kenyataannya ternyata didapatkan sebesar
8,2 juta. Berdasarkan data informasi dari WHO, Diabetes mellitus merupakan penyakit ke-6
penyebab kematian di dunia dimana angkanya mencapai 1.125.000 penderita pada tahun
2005. Data statistik RS di Indonesia tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Ditjen Yanmed
Depkes RI tahun 2005 menunjukkan bahwa diabetes mellitus berada di peringkat paling atas
di antara penyakit metabolik lain, angka kejadiannya sekitar 42.000 kasus dan menyebabkan
kematian sekitar 3.316 jiwa (Perkeni, 2015).
Berdasarkan hal di atas maka dilakukan pemantauan terapi obat (PTO) pada pasien
Diabetes dengan nefropati di RSUD Cibabat untuk mengevaluasi pemilihan obat sesuai
dengan standar yang ada.
BAB II
KAJIAN PENYAKIT
2.1. Diabetes Mellitus
1. Definisi
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya
(Gustaviani, 2006). Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang
ditandai dengan keadaan hiperglikemia (Powers, 2001). Diabetes mellitus bisa disebabkan
oleh destruk sel beta pankreas karena proses autoimun atau idiopatik yang umumnya
menjurus ke defisiensi insulin absolut, resistensi insulin, defek genetik fungsi sel beta, defek
genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, pengaruh obat atau zat
kimia, infeksi, dan sindrom genetik lain (Perkeni, 2015). Diabetes mellitus adalah penyakit
yang disebabkan oleh penurunan kadar hormon insulin yang diproduksi oleh kelenjar
pankreas yang mengakibatkan meningkatnya kadar glukosa dalam darah. Penurunan ini
mengakibatkan glukosa yang dikonsumsi oleh tubuh tidak dapat diproses secara sempurna
sehingga konsentrasi glukosa dalam darah akan meningkat (R.Laila, 2013).
Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik yang penyebabnya multifaktor, ditandai
dengan kadar gula darah tinggi (hiperglikemi) dan terjadi gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein (Probosari, 2017). Diabetes sendiri merupakan penyakit kronis yang akan
diderita seumur hidup sehingga progresifitas penyakit akan terus berjalan, pada suatu saat
dapat menimbulkan komplikasi. Diabetes Mellitus biasanya berjalan lambat dengan gejala-
gejala yang ringan sampai berat, bahkan dapat menyebabkan kematian akibat dari baik
komplikasi akut maupun kronis (Permana, 2010).
Gangguan metabolisme ini disebabkan karena adanya defek pada sekresi insulin, kerja
insulin, maupun keduanya. Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA)
1997 dan World Health Organization (WHO) dikategorikan menjadi diabetes mellitus tipe 1,
tipe 2, dan tipe lain (Geoffrey, 2003). Diabetes mellitus di klasifikasi menjadi 3 yaitu; DM
tipe 1, DM tipe 2, dan DM lain-lain. Diabetes mellitus tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel
beta pankreas. Adanya DM tipe 1 dapat diidentifikasi dengan ditemukannya antibodi anti
glutamic acid dehydrogenase, sel islet autoantibody, atau autoantibody insulin di dalam
darah. Penderita diabetes tipe 1 selalu memerlukan insulin untuk mencegah timbulnya ketosis
spontan agar tetap dapat bertahan hidup. DM tipe 2, yang paling sering dijumpai, ditandai
dengan adanya gangguan sekresi dan kerja insulin. Hiperglikemi pada DM tipe 2 dapat
dicegah dengan menggunakan obat antihiperglikemi oral disamping modifikasi diet. Diabetes
mellitus tipe lain biasanya disebabkan oleh kelainan genetik atau mutasi genetik yang
menyebabkan gangguan fungsi sel beta. Contoh diabetes mellitus tipe lain adalah diabetes
infantil dan diabetes gestasional. Diabetes mellitus infantil adalah DM yang terjadi sejak bayi
sedangkan DM gestasional ádalah gangguan toleransi glukosa yang muncul pada saat hamil.
Gejala DM gestasional mirip dengan DM tipe 2 (Dannis, 2005).
2. Prevalensi
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang
DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Pada buku pedoman ini,
hiperglikemia yang dibahas adalah yang terkait dengan DM tipe-2. WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar
21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang
DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes Federation
(IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia.
Prevalensi diabetes mellitus di dunia meningkat sangat pesat dalm 2 dekade terakhir.
Meskipun prevalensi DM tipe 1 dan tipe 2 sama-sama meningkat, namun prevalensi DM tipe
2 kelihatannya akan lebih cepat peningkatannya di masa depan karena semakin tingginya
angka obesitas dan semakin kurangnya aktivitas fisik manusia. Pada tahun 2000, prevalensi
DM diperkirakan 0,19% pada orang umur <20 th dan 8,6% pada orang umur >20 th. Pada
lansia >65 th prevalensi DM adalah 20,1%. Prevalensi pada pria dan wanita sama, kecuali
pada usia >60 th lebih tinggi pria dibanding wanita (Ritz, 2000).
World Health Organization (WHO) menyatakan pada tahun 2005 penderita diabetes
mellitus mencapai 217 juta dan memperkirakan pada tahun 2030 mencapai 366 juta jiwa.
Adanya globalisasi dan perubahan gaya hidup (diet tinggi lemak dan aktivitas fisik rendah)
menyebabkan peningkatan kejadian overweight dan obesitas. Kedua hal tersebut diketahui
merupakan faktor risiko diabetes mellitus tipe 2, sehingga dengan semakin banyaknya orang
yang mengalami overweight atau obesitas, semakin banyak pula orang yang menderita
diabetes mellitus (Aso, 2008).
3. Manifestasi Klinik
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala yang
harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang sering dirasakan
penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan
polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan
kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul
gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa
sebab yang jelas. Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
> 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM
(Perkeni, 2015).
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia,
polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus
(gatal-gatal pada kulit).
Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2
seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun
kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita
DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya
penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia,
obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.
4. Patofisiologi
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak dengan meningkatnya
lipolisis, gastrointestinal dengan defisiensi incretin, sel alpha pancreas dengan
hiperglukagonemia, ginjal dengan peningkatan absorpsi glukosa, dan otak dengan resistensi
insulin, kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe-2 (Perkeni, 2015).
5. Terapi Farmakologi serta algoritma terapi (ADA/american diabetes association)
Rekomendasi pengobatan: Terapi Farmakologi untuk DM tipe 1
1. Sebagian besar orang dengan DM tipe 1 harus di treatetment terus-menerus setiap hari
dengan injeksi prandial insulin dan basal insulin atau infus insulin continuous
subkutan. A
2. Sebagian besar individu dengan DM tipe 1 harus menggunakan insulin aksi cepat
(rapid-acting insulin analogs) untuk mengurangi resiko hipoglikemia. A
3. Pertimbangkan edukasi individu dengan DM tipe 1 on matching prandial insulin dosis
untuk menerima karbohidrat, premeal level glukosa darah, dan antisifasi dengan
aktivitas fisik. E
4. Individu dengan DM tipe 1 akan sukses (treatment) dengan infus continuous
subcutaneous insulin, untuk terapi > 65 tahun. E
Rekomendasi pengobatan: Terapi Farmakologi untuk DM tipe 2
1. Metformin, jika tidak kontraindikasi dan tidak terjadi toleransi, lebih sering digunakan
untuk terapi diabetes tipe. A
2. Pengobatann jangka panjang penggunaan metformin mungkin menyebabkan
defisiensi biokimia vitamin B12, dan ukuran periodic dari vitamin B12 harus
mempertimbangkan terapi metformin pada pasien, terutama dalam hal ini anemia atau
ganguan syaraf. B
3. Mempertimbangkan penggunaan terapi insulin (dengan atau tanpa agen additional)
untuk pasien yang baru diagnosa DM type 2 dengan gejala dan/atau A1C 10% (86
mmol/mol) dan/atau level glukosa dalam darah 300 mg/dL (16.7 mmol/L). E
4. Jika monoterapi noninsulin maksimal dosis tolerani tidak mencapai atau
mempertahankan A1C target setelah 3 bulan, penambahan agent oral kedua,
glucagon peptide 1 receptor agonist, atau basal insulin. A
5. Pasien harus menggikuti petunjuk untuk pilihan agen farmakologi.
Mempertimbangkan efesiensi, resiko hipoglikemia, hypoglycemia risk, pengaruh
peningkatan berat badan, potential efek samping, biaya, dan pilihan pasien. E
6. Untuk pasien dengan DM tipe 2 yang tidak menunjukan keberhasilan hasil glikemi,
terapi insulin harus tidak pelepasan tertunda. B
7. Pasien dengan long-standing suboptimally controlled type 2 diabetes dan ditetapkan
Penyakit kardiovaskular athrosclerosis, empagliflozin atau liraglutide harus
dipertimbangkan bila mereduksi cardiovascular dan semua kasus mortalitas ketika
ditambahkan untuk pengobatan standar.. Pemantauan terus-menerus memeriksa
manfaat cardiovascular dari agent lain in these drug lasses. B
(American Diabetes Association, 2017).
DKD menduduki urutan ketiga (16,1%) setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan
pielonefritis kronik (18,51%), sebagai penyebab paling sering gagal ginjal terminal yang
memerlukan cuci darah. Perkembangan penyakit DM menjadi penyakit ginjal stadium akhir
diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terlibat, antara lain : faktor genetik, diet, dan
kondisi medis yang lain seperti hipertensi serta kadar gula darah yang tinggi dan tidak
terkontrol.
2. Prevalensi
Pada DM tipe 1 kejadian nefropati diabetik cenderung menurun, sedangkan pada DM
tipe 2 justru meningkat. Hal ini mungkin disebabkan karena meningkatnya jumlah penderita
DM tipe 2 di dunia. Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007
prevalensi diabetes mellitus nasional adalah 1,1 %, namun angka kejadian nefropati diabetik
pada DM belum diketahui dengan pasti (Depkes, 2008). Hasil penelitian di Jepang pada
tahun 2007 menyatakan bahwa prevalensi mikroalbuminuria pada pasien DM tipe 2 adalah
32% dengan perbandingan pria: wanita adalah 60%:40% (Yokohama, 2006).
Di Jerman prevalensi mikroalbuminuria pada pasien DM adalah 20-30% (Pommer,
2007). Di India prevalensi mikroalbuminuria pada DM adalah 36,3% pada tahun 2001.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prevalensi mikroalbuminuria pada DM di hampir
semua populasi adalah tinggi. Pada tahun 2007 di dunia prevalensi mikroalbuminuria pada
pasien dewasa dengan DM tipe 1 adalah 10-20% dan pada DM tipe 2 prevalensinya 15-30%.
Prevalensi antara pria dan wanita tidak jauh berbeda dan prevalensi meningkat sebanding
dengan semakin buruknya toleransi glukosa (Varghese, 2001). Di Amerika Serikat, sebuah
penelitian dengan sampel 4006 penderita diabetes menyimpulkan bahwa 1534 (38%)
menderita albuminuria dan 1132 (28%) menderita gangguan ginjal (Retnakaran, 2006).
3. Manifestasi Klinik
Gejala nefropati diabetik dibagi menjadi beberapa tahap, yang paling sederhana adalah
3 tahap, yaitu mikroalbuminuria (berlangsung 5-15 th), makroalbuminuria (5-10 th), dan
gagal ginjal terminal (3-6 th). Mogensen membagi nefropati diabetik menjadi 5 tahap dengan
menambahkan 2 tahap sebelum mikroalbuminuria pada DM tipe 1. Tahap pertama adalah
pembesaran ginjal akibat hiperfiltrasi dan tahap kedua adalah silent stage dimana ekskresi
albumin normal tetapi struktur glomerolus berubah (Dannis, 2005; Geoffrey, 2003).
Penyakit ginjal diabetik atau nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi yang
sering terjadi pada penderita diabetes. Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada filter ginjal
atau yang dikenal dengan glomerulus. Oleh karena terjadi kerusakan glomerulus maka
sejumlah protein darah diekskresikan ke dalam urin secara abnormal. Protein utama yang
diekskresikan adalah albumin. Pada keadaan normal albumin juga diekskresikan dalam
jumlah sedikit dalam urine. Peningkatan kadar albumin dalam urine merupakan tanda awal
adanya kerusakan ginjal oleh karena diabetes. Penyakit ginjal diabetik dapat dibedakan
menjadi dua kategori utama berdasarkan jumlah albumin yang hilang pada ginjal, yaitu:
(Foster, 1998; Waspadji, 1996; Sundoyo, 2006).
1. Mikroalbuminuria: Terjadi kehilangan albumin dalam urine sebesar 30-300 mg/hari.
Mikroalbuminuria juga dikenal sebagai tahapan nefropati insipien.
2. Proteinuri Terjadi bila terjadi kehilangan albumin dalam urine lebih dari 300mg/hari.
Keadaan ini dikenal sebagai makroalbuminuria atau nefropati overt.
Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah pembesaran ukuran
ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus
membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada
NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume ekstrasel
meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen, lebih sensitive terhadap
pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen,dan mungkin inilah yang dapat
menerangkan mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan
ada hiperfiltrasi glomerus (Djokomuljanto, 1999).
4. Patofisiologi
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan
pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik dan hemodinamik berpengaruh
terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya
nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli.
Gambaran histologi jaringan pada nefropati diabetik memperlihatkan adanya penebalan
membran basal glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan
glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial.
Tampaknya berbagai faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa
yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik
merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati.
Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur:
a. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia,
glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas
menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-products). Peningkatan AGE’s akan
menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol,
dan aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan
sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim
aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar
inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal.
b. Alur Hemodinamik : Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita
diabetes mellitus terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel
endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali dengan peningkatan hormon
vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam perjalanan nefropati
diabetik. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik maupun non-hemodinamik.
Peranan tersebut antara lain merangsang vasokontriksi sistemik, meningkatkan tahanan
kapiler arteriol glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein
matriks ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini
didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor von Willebrand dan
trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang
dapat menjelaskan mengapa pada penderita dengan mikroalbuminuria persisten,
terutama pada DM tipe 2, lebih banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada
akibat Gagal Ginjal Terminal. Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney
disease masih kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita
ini hipertensi dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes
ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung
dengan terjadinya nefropati tetapi mempercepat progesivitas ke arah Gagal Ginjal
Terminal pada penderita yang sudah mengalami diabetik kidney disease
(Hendromartono, 2006).
3. Latihan Jasmani.
Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, tapi tetap
harus disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani penderita. Contoh latihan
jasmani yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang. Prinsipnya CRIPE
(Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).
Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi.
Kecuali pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-
1,2g/kgBBperhari.
BAB III
PEMBAHASAN
Pemantauan terapi obat (PTO) ini dilaksanakan di Rumah sakit Umum Daerah Cibabat
Cimahi, pada pasien Ny.D di ruang rawat inap E3 yang di diagnosa Diabetes millitus tipe 2
dan disertai diabetik nefropati. Kegiatan ini dimulai dri tanggal 17 maret 2017 sampai dengan
21 maret 2017.
3.1 Subjektif
Adapun data pasien dapat dilihat pada tabel berikut:
Identitas Pasien
Nama Ny. Darsih
No RM 942112
Ruangan E3
Umur 54 tahun
BB/TB 66kg/165cm
Tanggal Masuk 17 maret 2017
Tanggal Keluar 21 maret 2017
Sistem Pemayaran BPJS
Outcome Klinik Perbaikan penyakit
Perincian Pasien
Keluhan utama Sesak sejak 2 hari, mata bengkak (udem +), nyeri ulu hati.
Diagnosa DM tipe 2, diabetik nefropati
Problem medik -
Penyakit Penyerta Hipertensi
Riwayat
Riwayat penyakit keluarga -
Riwayat penyakit sekarang DM tipe 2, diabetik nefropati
Riwayat penyakit dahulu DM ± 1 tahun yang lalu
Riwayat penggunaan obat Tidak ada
Alergi obat Tidak ada
Lain-lain Udema
Tabel. Catatan Kemajuan Medis Pasien:
Tgl 17-3-2017 18-3-2017 19-3-2017 20-3-2017 21-3-2017
Pasien
mengaakan
Pasien
Pasien lemas, lelah
mengatakan Pasien merasa Pasien merasa
Subjektif mengatakan kalo berjalan ke
bengka pada lemas. lemas.
sesak wc, perut sakit,
kedua kakinya
akin sakit kalo
kaget.
TD: 140/90 TD: 140/90 TD: 140/90 TD: 120/80 TD: 130/90
R: 28x/mnt R: 22x/mnt R: 20x/mnt R: 22x/mnt R: 20x/mnt
Objektif
S: 37oC S: 36oC S: 36oC S: 36oC S: 36oC
N: 108x/mnt N: 80x/mnt N: 89x/mnt N: 78x/mnt N: 88x/mnt
Kelebihan Kelebihan Kelebihan Kelebihan Kelebihan
Problem volume cairan, volume cairan, volume cairan, volume cairan, volume cairan,
medis/diagnosa DM nefropati DM nefropati DM nefropati DM nefropati DM nefropati
dengan udem. dengan udem. dengan udem. dengan udem. dengan udem.
Kalk Kalk Kalk Kalk Kalk
Bic.nat Bic.nat Bic.nat Bic.nat Bic.nat
Asam folat Asam folat Asam folat Asam folat Asam folat
Terapi Aminefron Aminefron Aminefron Aminefron Aminefron
Pregabaline Pregabaline Pregabaline Pregabaline Pregabaline
Valsartan Valsartan Valsartan Valsartan Valsartan
Furosemide Furosemide Furosemide Furosemide Furosemide
Drug Related Interaksi obat Interaksi obat Interaksi obat Interaksi obat Interaksi obat
Problems yang tidak yang tidak yang tidak yang tidak yang tidak
(DRPs) diinginkan diinginkan diinginkan diinginkan diinginkan
Fungsi ginjal Fungsi ginjal Fungsi ginjal Fungsi ginjal Fungsi ginjal
Monitoring dan efek dan efek dan efek dan efek dan efek
samping obat samping obat samping obat samping obat samping obat
Lanjut
Perikasa hasil
Tindak Lanjut terapi,pemberia
Lanjut terapi Lanjut terapi laboraturium Lanjut terapi
dan Hasil n eletrolit, ambil
darah
sampel darah.
3.2 Objektif
Tabel. Tanda-Tanda Vital pasien
Nilai Tanggal (...maret 2017)
Parameter
normal 17 18 19 20 21
TD
120/80 140/90 140/90 140/90 120/80 130/90
(...mmHg)
S (...oC) 36-37 37 36 36 36 36
N (...x/mnt) 80-100 108 80 89 78 88
RR (...x/mnt) 16-20 28 22 20 22 20
Tabel. Hasil Laboratorium Komprehensif
Panel Tanggal
Nilai normal
pemeriksaan 17-Maret-2017 21-Maret-2017
Hemoglobin 12,0~14,0 7,2* 8,4*
Leukosit 4,000~10,000 17,200* 7,800
Hematokrit 36~45 24* 28*
Trombosit 150,000~440,000 225,000 310,000
GDS <140 69 -
Ureum 20~40 92* -
Kreatinin 0,8~1,3 7,2* -
Warna urine Kuning Kuning muda -
Kejernihan Jernih Keruh -
BJ urine 1,015~1,020 1,020 -
PH urine 4,8~7,4 6,5 -
Protein urine Negatif POS (+++) -
Glukosa urine Negatif Negatif -
Bilirubin urine Negatif Negatif -
Leukosit estrase Negatif POS (++) -
Darah samar -
Negatif POS (+)
urine
Nitrit urine Negatif Negatif -
Keton urine Negatif Negatif -
Urobilinogen -
Negatif Negatif
urine
leukosit <10 25-30* -
Eritrosit 0~2 5-6* -
Sel epitel Negatif Negatif -
Kristal Negatif Granul cast + -
Lain-lain -
Natrium 135~155 139 139
Kalium 3,5~5,5 5,00 5,00
Klasifikasi penyakit ginjal kronik di dasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat atau stage
penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Perhitungan nilai GFR/ laju filtrasi ginjal
menggunakan rumus Cockroft-Gault (untuk perempuan):
(140−54 ) × 66
GFR= × 0,85
72× 7,2
86 ×66
GFR= ×0,85
518,4
GFR=9,307
3.3 Assesment
Tabel. Penggunaan Obat
Tanggal (... Maret 2017)
Terapi Rute Dosis
16 IGD 17 18 19 20 21
Kalk PO 3x500 mg - √ √ √ √ √
Bic.nat PO 3x500 mg - √ √ √ √ √
As. Folat PO 3x1 mg - √ √ √ √ √
Aminefron PO 2x500 mg - √ √ √ √ √
Pregabalin PO 1x75 mg - √ √ √ √ √
Valsartan PO 2x80 mg - √ √ √ √ √
Furosemid Inj 5mg/ml √ √ √ √ √ √
Pada penatalaksanaan terapi obat pasien Ny. D dibawa ke IGD Rumah Sakit Umum
Daerah Cibabat oleh keluarganya pada tanggal 16 Maret 2017. Dengan keadaan badan terasa
lemas, sesak sejak 2 hari yang lalu, mata bengkak, serta nyeri ulu hati. Ny. D memiliki
riwayat DM tipe 2 sejak setahun yang lalu dan pernah di rawat selama 1 minggu di Rumah
Sakit Umum Daerah Cibabat kurang lebih 6 bulan yang lalu. Pasien telah mendapatkan
pengobatan seperti yang tertera pada tabel penggunaan obat.
Kadar gula darah sewaktu pasien normal dapat dilihat pada tabel. Tetapi pada data
tekanan darah pasien di atas normal, hemoglobin rendah, leukosit tinggi kreatinin tinggi dan
terdapat protein dalam urine. Terapi yang diberikan pada saat di IGD adalah injeksi
furosemide 5mg/ml ini diindikasikan untuk mengatasi kelebihan cairan (udem) pasien yang
di tandai dengan mata membengkak. Lalu di lanjutkan dengan terapi peroral Kalk (3x500
mg), Bic.nat (3x500 mg), As. Folat (3x1 mg), Aminefron (2x500 mg), Pregabalin (2x80 mg)
serta valsartan. Penyakit Diabetes Ny. D sudah menahun dan menyebabkan komplikasi,
komplikasi mikrovaskular yang terjadi yaitu nefropati dan neuropati. Selain itu Ny.H juga
mendapatkan pregablin untuk neuropatik diabetiknya, karena sampai tanggal 18 maret pasien
juga mengeluh sesak nafas bisa jadi akibat dari adanya sejumlah besar cairan di tubuh (udem)
sehingga injeksi furosemide masih dilanjutkan. Untuk penurunan tekanan darah pasien
diberikan valsartan peroral dengan penggunaan 1 kali sehari pada jam 12 siang.
Neuropati bisa terjadi pada penderita DM yang merupakan kombinasi otonomik dengan
sensorik berat. Hal ini menyebabkan berkurangnya sensasi nyeri yang sangat penting dalam
refleks menghindar terhadap trauma. Selain itu neuropati juga dapat menyebabkan edema.
Untuk mengobati neuropati pasien maka diberikan terapi aminefron yang dimulai pada 17-21
Februari digunakan 2 kali sehari. Pasien Ny. D mendapatkan terapi natrium bicarbonate
3x500mg untuk mengatasi toksik asidosis. Diabetes mellitus disebabkan oleh tidak adanya
sekresi insulin oleh pankreas yang menghambat penggunaan glukosa dalam metabolisme,
asidosis ini terjadi karena adanya pemecahan lemak menjadi asam asetoasetat dan asam ini di
metabolisme oleh jaringan untuk menghasilkan energi, menggantikan glukosa. Pada pasisen
DM yang berat kadar asetoasetat dalam darah meningkat sangat tinggi sehingga
menyebabkan asidosis metabolik yang berat. Asidosis ini menyebabkan pH darah menjadi
lebih asam. Untuk mengatasi ini pasien di berikan natrium bicarbonat 3x500mg per hari dari
tanggal 17-21 maret 2017. Pemberian kalk (calsium lactate) pada pasien Diabetik nefropati di
indiksikan untuk terapi hyperphosphatemia pasien dengan Reneal disease stage akhir.
Kalsium penting untuk fungsi saraf, sel, otot, dan tulang yang normal. Apabila tidak terdapat
kalsium yang cukup pada darah, tubuh akan mengambilnya dari tulang, yang kemudian
melemahkan tulang. Memiliki kalsium yang cukup itu penting untuk membangun dan
mempertahankan tulang yang kuat.
Asam folat berfungsi untuk pengaturan gizi. Penggunaan terapi asam folat di
indikasikan untuk perbaikan gula pasien. Menurut jurnal Diabetes Research and Clinical
Practice bulan Juni 2012 menunjukkan bahwa suplemantasi asam folat pada pasien DM tipe-
2 ternyata memberikan efek yang positif dalam hal menurunkan kadar homosistein darah dan
memperbaiki kontrol gula darah. Penyakit diabetes mellitus didefinisikan sebagai sebuah
gangguan metabolisme atau cara tubuh kita menggunakan makanan yang dicerna untuk
dirubah menjadi energi. Sebelum dirubah menjadi energi, sebagian besar makanan dipecah
menjadi glukosa, bentuk gula dalam darah. Glukosa adalah sumber utama bahan bakar dan
energi untuk tubuh. Setelah pencernaan, glukosa memasuki aliran darah. Kemudian glukosa
masuk ke sel-sel di seluruh tubuh di mana ia digunakan untuk energi. Namun, hormon insulin
harus ada dan dibutuhkan untuk memungkinkan glukosa memasuki sel. Insulin adalah
hormon yang diproduksi oleh pankreas, kelenjar besar di belakang perut. Pada orang yang
tidak menderita diabetes, pankreas otomatis menghasilkan jumlah insulin yang tepat untuk
memindahkan glukosa dari darah ke dalam sel. Namun, diabetes menghalangi pankreas untuk
membuat cukup insulin. Atau dengan kalimat lain sel-sel di otot, hati, dan lemak tidak bisa
menggunakan insulin dengan benar. Akibatnya, jumlah glukosa dalam darah meningkat
sementara sel-sel kekurangan energi. Lama kelamaan, kadar glukosa darah menjadi tinggi
kemudian akan merusak saraf dan pembuluh darah. Pembuluh darah yang rusak atau pecah
pada pembuluh darah otak dapat menyebabkan terjadinya stroke, dan pembuhluh darah yang
meyempit akibat terbentuknya plak dari darah yang lisis dapat meyumbat pada pembuluh
darah serta menyebabkan tekanan darah meningkat. Selain itu diabetes yang tidak terkontrol
akhirnya juga dapat menyebabkan masalah kesehatan lain seperti kehilangan penglihatan,
gagal ginjal, hingga amputasi.
3.4 Kesimpulan
Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes Mellitus pada ginjal yang dapat
berakhir sebagai gagal ginjal. Penyakit ginjal diabetik (PGD) atau nefropati diabetik (ND)
merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes. Pada penyakit
ini terjadi kerusakan pada filter ginjal atau yang dikenal dengan glomerulus. Oleh karena
terjadi kerusakan glomerulus maka sejumlah protein darah diekskresikan ke dalam urin
secara abnormal. Protein utama yang diekskresikan adalah albumin.
Terapi pada keadaan ini harus ditujukan untuk mengendalikan faktor risiko seperti
hipertensi, resistensi insulin, dislipidemia dan keadaan protrombotik seoptimal mungkin
dalam rangka menurunkan risiko kejadian penyakit kardiovaskular pasien DM Tipe 2.
Pasien Ny.D didiagnosa DM tipe 2 dengan diabetik nefropatik. Diberikan terapi
pengobatan peroral calsium lactate (Kalk 3x500mg), natrium bicarbonat (3x500mg), asam
folat (3x1mg), Aminefron (2x500mg), pregabalin (1x75mg) tepat karena GFR pasien <15,
valsartan (1x80mg). Pengobatan ini telah tepat dengan indikasi pasien, hanya saja terjadi
interaksi obat antara obat oral valsartan dan asam folat dengan injeksi drip furosemide.
Dimana furosemide dapat menurunkan efek asam folat dengan meningkatkan klirens
ginjalnya, serta terjadinya penurunan serum potasium akibat interaksi dengan valsartan
sehingga pengobatan untuk kelebihan cairan pasien tidak berhasil. Disarankan untuk
penggunaan furosemide peroral karena alasan pemilihan rute injeksi di indikasikan untuk
keadaan daruruat yang membutuhkan efek obat yang cepat, keadaan pasien yang lemah atau
tidak sadarkan diri, ataupun alasan pasien tidak dapat atau tidak mau meminum obat secara
oral. Tetapi dalam hal ini pasien menerima obat oral lainnya sehingga penggunaan oral dapat
di gunakan. Dengan jarak jadwal minum obat minimal 2 jam antara valsartan dan asam folat.
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association., 2017., Standards of Medical Care in Diabetes., The Journal
of Clinical and Applied Research and Education Volume 40., USA.
Aso Y. Cardiovaskuler Disease in Patient with Diabetic Nephropathy. Current Molecular
Medicine Journal 2008; 8:533-543.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 2009., Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Diabetes Mellitus., Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Dannis L., Dan L, Eugene B, Stephen L, Jameson J. Harrison. 2005."Principles of Internal
Medicine. New York: McGraw-Hill.
“Diabetic Nephropathy”. Available at:http://en.wikipedia.org/wiki/ Diabeticnephropathy.
(Accessed 8 Januari 2010).
Djokomuljanto R. 1999. Insulin Resistance and Other Factors in the Patogenesis of Diabetic
Nephropathy. Simposium Nefropati Diabetik. Konggres Pernefri.
Foster, D.W., Unger, R.H., (1998), DM, in: Williams Textbook of Endocrinology, 9th ed, WB
Saunders, Philadelphia, Pg 973-1039.
Geoffrey B. Management of Diabetic Nephropathy. New York: Martin Dunitz; 2003 : 16-18.
Gustaviani, R. 2006. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus,.Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi IV. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
Hendromartono. (Juni 2006), Nefropati Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV Jilid III, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI,
Jakarta, Hal. 1920-1923.
Kerri L. Cavanaugh, MD. Diabetes Management Issues for Patients With Chronic Kidney
Disease. Volume 25, Number 3, 2007. CLINICAL DIABETES
Michael, S., “Diabetic Nephropathy: Clinical Evidence Concise”, Available at:
http://www.aafp.org/afp/20051201/bmj.html, (Accessed 8 Januari 2010).
Micahl, T. “Diabetic Nephropathy: Common Questions”, Available at:
http://www.aafp.org/afp/20050701/96.html. (Accessed 8 Januari 2010).
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PB. Perkeni.
Probosari, E. 2017. Faktor Risiko Gagal Ginjal pada Diabetes Mellitus. Jakarta.
Permana, H. 2010. Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta pada Diabetes. Universitas
Pajajaran. Bandung.
Pratama, AAY. 2013. Korelasi Lama Diabetes Mellitus Terhadap Kejadian Nefropati
Diabetik: Studi Kasus di Rumah sakit Dokter Kariadi. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Pommer W. Prevalence of Nephropathy in the German Diabetes Population—Is early referral
to nephrological care a realistic demand today? NDT Plus Issue: Dialysis Initiatives
May 2007.
Powers, AC. 2004. Diabetes Mellitus. Di dalam: Braunwald E, Fauci A, editor. Harrison's
principles of internal medicine. Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill. hlm. 2152 -
80. Rhodes CJ. 2005. Type 2 diabetes - a matter of beta cell life and death? Science.
307:380-3.
Sundoyo, Ari W, dkk. (Juni 2006), Penyakit Ginjal Diabetik, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi IV Jilid II, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI,
Jakarta, Hal. 545-547.
Sumantro, S. 2010. Sindrom metabolik dan nefropati diabetik pada diabetes mellitus tipe 2.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM
Singh S, Pai DR, dan Yuhhui C, 2013, Diabetic Foot Ulcer – Diagnosis and Management,
Clinical Research on Foot & Ankle,1(3), 1-9.
R.Laila D, Rinayanti A, Priambodo H. 2013. Penatalaksanaan Penyakit Diabetes Mellitus
Tipe 2 pada Pasien Rawat Inap di RSUD Kota Jakarta Utara. Fakultas Farmasi
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.
Retnakaran R, Carole A. Cull, Kerensa I. Risk Factors for Renal dysfunction in Type 2
Diabetes. U.K. Prospective Diabetes Study March 2006.
Ritz E, Keller C, Kristian H. Bergis. 2000. Nephropathy of type II diabetes mellitus. Nephrol
Dial Transplant (2000) 11 Suppl 9: 38-44.
Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dasar
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008
Varghese A, Deepa R, Rema M, Mohan V. Prevalence of Microalbuminuria in Type 2
Diabetes Mellitus at A Diabetes Centre in Southern India.Postgraduate Medical
Journal 2001;77:399-402.
Waspadji, S., (1996), Komplikasi Kronik DM: Pengenalan dan Penanganannya. dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ketiga, Gaya Baru, Jakarta, hal. 597-614.
Yokohama H, Kawai K, Kobayashi M. Microalbuminuria Is Common In Jappanese Type 2
Diabetic Patients. Japan Diabetes Clinical Data Management 2006; 10: 4-11.