Anda di halaman 1dari 72

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang heterogen, baik
secara genetis maupun klinis dengan gejala berupa kurangnya daya kesanggupan
(toleransi) karbohidrat. Penggolongan (Klasifikasi) DM menurut WHO yaitu DM
tipe 1, tipe 2, diabetes gestasional, diabetes tipe khusus lain. Diabetes tipe 2 juga
dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe non independen insulin.(Josten, 2018)
Diabetes Melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau
sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada penderita Diabetes Melitus yaitu
polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan, kesemutan.(Fatimah, 2015)
Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) merupakanpenyakit kronik dan kompleks
yangmelibatkan berbagai defek patofisiologis. Manifestasi komplikasi kronik dapat
terjadipada tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskular) dan pembuluh darah
besar (makrovaskular) yaitu pembuluh darah serebral, pembuluh darah koroner,
dan pembuluh darah perifer.(Simatupang, 2013)
Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah
penyandang DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM diIndonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 jutapada tahun 2030.(PERKENI, 2015)
Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014
menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Penyakit DM sangat berpengaruh terhadap
kualitas sumberdaya manusia dan berdampak pada peningkatan biaya kesehatan
yang cukup besar. Oleh karenanya semua pihak, baik masyarakat maupun
pemerintah, seharusnya ikut serta secara aktif dalam usaha penanggulangan glukosa
pada DM, khususnya dalam upaya pencegahan.(PERKENI, 2015)
2

DM merupakan penyakit menahun yang akan disandang seumur hidup.


Pengelolaan penyakit ini memerlukan peran sertadokter, perawat, ahli gizi, dan
tenaga kesehatan lain. Pasien dan keluarga juga mempunyai peran yang penting,
sehingga perlumendapatkan edukasi untuk memberikan pemahaman
mengenaiperjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan penatalaksanaanDM.
Pemahaman yang baik akan sangat membantu meningkatkankeikutsertaan keluarga
dalam upaya penatalaksanaan DM gunamencapai hasil yang lebih baik.(PERKENI,
2015)
Seiring meningkatnya pengidap diabetes, meningkat pula kejadian
komplikasi akibat penyakit tersebut, terutama luka di kaki yang kini disebut kaki
diabetes. Komplikasi ini merupakan penyebab utama penderita harus dirawat
dengan waktu yang lama. Akibatnya, banyak penderita yang akhirnya berkembang
menjadi penderita osteomyelitis dan teramputasi kakinya. Upaya pencegahan
dilakukan dengan cara peningkatan kesehatan, menjaga status gizi yang baik,
kontrol rutin gula darah, pemeriksaan berkala kaki penderita, pencegahan atau
perlindungan terhadap trauma dengan pemakaian alas kaki yang sesuai serta
perawatan kaki DM.(PERKENI, 2015)
Perawatan kaki DM merupakan perawatan kaki yang dilakukan pada
penderita diabetes untuk mencegah terjadinya ulkus (luka). Tahapan perawatan
kaki yaitu dengan memeriksa kondisi kaki setiap hari. Apakah terdapat kemerahan,
bengkak, lecet dan nyeri. Adanya gangguan saraf perasa pada penderita DM
mengakibatkan pasien tidak sensitif merasakan luka kecil di kaki, dapat juga tiba-
tiba muncul kapalan, bisul atau luka bernanah.(PERKENI, 2015)
Sebelum memakai alas kaki, lihat dahulu apakah alas kaki aman, tidak
terdapat kerikil atau batu. Jika kesulitan melihat telapak kaki bisa menggunakan
cermin. Jika terdapat sesuatu yang tidak biasa pada kaki segera periksakan ke dokter
terdekat, apakah luka tersebut berpotensi menjadi ulkus DM.(PERKENI, 2015)
3

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan
memahami tentang perawatan kaki diabetik. Makalah ini juga dibuat untuk
memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat.

1.3 Manfaat Penulisan


Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih mengetahui
dan memahami mengenai perawatan kaki diabetik.
4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.(Buku Ajar IPD, 2015)

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus6

Tabel 2.1. Klasifikasi Diabetes Melitus.

2.1.3 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan selbeta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel betaterjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakansebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:jaringan
5

lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensiincretin), sel alpha


pancreas (hiperglukagonemia), ginjal(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin),kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinyagangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ pentingdalam
gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) pentingdipahami karena dasar
patofisiologi ini memberikan konseptentang:(PERKENI, 2015)

1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis,


bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanyaotot, liver


dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalampatogenesis penderita DM
tipe-2 tetapi terdapat organ lain yangberperan yang disebutnya sebagai the ominous
octet (gambar2.1)(PERKENI, 2015)

Gambar2.1The ominous octet, delapan organ yang berperan dalampatogenesis


hiperglikemia pada DM tipe 2(Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the
6

Ominous Octet: A NewParadigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus.


Diabetes. 2009;58: 773-795)

2.1.4 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadarglukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalahpemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darahvena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan denganmenggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
denganglukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanyaglukosuria.(PERKENI, 2015)
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhanseperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

2.1.4.1 Kriteria Diagnosis DM

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DM


Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normalatau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yangmeliputi: toleransi glukosa
7

terganggu (TGT) dan glukosa darah puasaterganggu (GDPT).(Buku Ajar IPD,


2013)
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma
2-jam <140 mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.5

Tabel2.3 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan


prediabetes.(PERKENI, 2015)
8

Gambar 2.2Langkah-langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa


terganggu.(PERKENI, 2015)

2.1.5 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkankualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaanmeliputi :(PERKENI, 2015)
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukanpengendalian glukosa


darah, tekanan darah, berat badan, dan profillipid, melalui pengelolaan pasien
secara komprehensif.
9

2.1.5.1 Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum


Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuanpertama, yang
meliputi:1. Riwayat Penyakit; 2. Pemeriksaan Fisik.(PERKENI, 2015)
2.1.5.2 Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan
obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral
dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi
dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke
Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.(PERKENI, 2015)
Ada lima komponen dalan penatalaksanaan diabetes, yaitu terapi nutrisi
(diet), latihan, pemantauan, terapi farmakologi dan pendidikan (Smeltzer et al.,
2010).

a. Nutrisi (diet)
Penekanan tujuan terapi gizi pada diabetes tipe 2 pada pengendalian
glukosa, lipid dan hipertensi. Penurunan berat badan dan diet hipokalori (pada
penderita yang gemuk) biasanya memperbaiki kadar glikemik jangka pendek dan
mempunyai potensi meningkatkan kontrol metabolik jangka panjang. Diet dengan
kalori sangat rendah, pada umumnya tidak efektif untuk mencapai penurunan berat
badan jangka lama, dalam hal ini perlu ditekankan bahwa tujuan diet adalah
pengendalian glukosa dan lipid. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut karbohidrat 45-60%, protein 10-20%, lemak
20-25%.

b. Latihan
Pada diabetes melitus tipe 2, latihan fisik berguna untuk pengaturan kadar
glukosa darah dan menurunkan berat badan serta lemak tubuh. Pada saat latihan
resistensi insulin berkurang, sebaliknya sensitivitas insulin meningkat, hal ini
menyebabkan kebutuhan insulin pada diabetisi tipe 2 akan berkurang. Respon ini
10

hanya terjadi setiap kali latihan, tidak merupakan efek yang menetap atau
berlangsung lama, oleh karena itu latihan harus dilakukan terus menerus dan teratur.
Melakukan kegiatan fisik seperti pekerjaan mengepel, mencuci mobil,
berjalan kaki ke tempat kerja secara teratur selama 3-5 kali seminggu dengan waktu
30 menit setiap kalinya dapat memperbaiki sensitifitas insulin dan kendali glukosa
darah.
Manfaat latihan yaitu menurunkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin,
memperbaiki sirkulasi darah dan tonus otot, mengubah kadar lemak darah yaitu
meningkatkan kadar HDL-kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta
trigliserida. Semua manfaat ini penting bagi penyandang diabetes mengingat
adanya peningkatan rasio untuk terkena penyakit kardiovaskular pada diabetes.

c. Pemantauan (Monitoring)
Pemantauan kadar glukosa darah sendiri atau Self-Monitoring Blood
Glucose (SMBG) memungkinkan untuk deteksi dan mencegah hiperglikemia atau
hipoglikemia, serta berperan dalam memelihara normalisasi glukosa darah, pada
akhirnya akan mengurangi komplikasi diabetik jangka panjang.

d. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.

1. Obat Antihiperglikemia Oral


Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:

 Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)


- Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin


oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan
11

berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
- Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral
dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia
post prandial. Efek samping yang mungkin terjadiadalah hipoglikemia.

 Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin


- Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60
ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti:
GFR<30 mL/menit/1,73m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin
berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.

- Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
ActivatedReceptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara
lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion
meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi
cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal
hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
12

 Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan


- Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada
keadaan:GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas
dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping
pada awalnyadiberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah
Acarbose.

 Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan
menekan sekresi glucagon bergantung kadar glukosa darah (glucosedependent).
Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.

 Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis
baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan
cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk
golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

2. Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP-1.

 Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
13

- Penurunan berat badan yang cepat


- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis Hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi.
 Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 6 jenis, yakni :
- Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
- Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
- Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)
- Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
- Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin).
 Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
- Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi
akut DM
- Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin.

3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini.
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selaludimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
14

glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah
ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan
kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin.

e. Pendidikan
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang memerlukan perilaku
penanganan yang khusus seumur hidup. Karena terapi nutrisi, aktifitas fisik, dan
stress fisik serta emosional dapat memperngaruhi pengendalian diabetes, maka
penderita harus belajar untuk mengatur keseimbangan berbagai faktor.
Penderitatidak hanya belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri guna
menghindari fluktuasi kadar glukosa darah yang mendadak, tetapi juga harus
memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi

diabetik jangka panjang.


Gambar 2.3 Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 di Indonesia Perkeni 2015
15

2.1.6 Komplikasi
Hiperglikemia yang terjadi berkepanjangan dapat menyebabkan komplikasi
mikrovaskuler kronis seperti nefropati, retinopati, dan neuropati. Diabetes melitus
juga mengakibatkan peningkatan komplikasi penyakit makrovaskuler seperti infark
miokard, stroke dan penyakit vaskuler perifer.Komplikasi diabetes melitus menjadi
2 (dua) kelompok, yaitu komplikasi akut dan kronis.(Noor, 2013)

a. Komplikasi akut terdiri atas hiperglikemia, ketoasidosis diabetikum,


sindrom hiperglikemik hiperosmolar nonketotik dan hipoglikemik.
Hiperglikemia dan ketoasidosis diabetikum kondisi ini disebabkan oleh
tidak adanya insulin atau insulin yang tersedia dalam darah tidak cukup untuk
metabolisme karbohidrat, keadaan ini mengakibatkan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Ada tiga gejala klinis yang terlihat pada
ketoasidosis yaitu dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Sindrom
hiperglikemik hiperosmolar nonketotik yakni kondisi dimana penderitamengalami
hiperosmolaritas dan hiperglikemia disertai perubahan tingkat kesadaran. Yang
membedakan sindrom ini dengan ketoasidosis ialah tidak terdapatnya gejala ketosis
dan asidosis. Gambaran klinis kondisi ini biasanya terdiri atas hipotensi, dehidrasi
berat, takikardi dan tanda-tanda defisit neurologis yang bervariasi (perubahan
sensori, kejang dan hemiparesis). Sedangkan hipoglikemik terjadi kalau kadar
glukosa darah kurang dari 50-60 mg/dl, yang dapat diakibatkan oleh pemberian
insulin atau obat diabetes oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu
sedikit atau karena aktifitas fisik yang berat.(Noor, 2013)

b. Komplikasi kronis terdiri atas komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular


Komplikasi makrovaskular adalah kondisi aterosklerosis yang terjadi pada
pembuluh darah besar yang dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti Coronary
Artery Disease, penyakit serebrovaskuler, hipertensi, penyakit vaskuler perifer dan
infeksi.7 Sedangkan komplikasi mikrovaskular adalah komplikasi unik yang
hanya terjadi pada penderita diabetes melitus. Penyakit mikrovaskuler diabetik
terjadi akibat penebalan membran basalis pembuluh kapiler. Beberapa kondisi
akibat dari gangguan pembuluh darah kapiler antara lain retinopati, nefropati, ulkus
16

kaki, neuropati sensorik dan neuropati otonom yang akan menimbulkan berbagai
perubahan pada kulit dan otot.(Noor, 2013)
Kondisi ini selanjutnya menyebabkan perubahan distribusi tekanan pada
telapak kakiyang akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan
terhadap infeksi menyebabkan luka mudah terinfeksi. Faktor aliran darah yang
kurang akan menambah kesulitan pengelolaan kaki diabetik.

2.2. Kaki Diabetik


2.2.1 Definisi Kaki Diabetik
Kaki diabetik merupakan gambaran secara umum dari kelainan tungkai
bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes mellitus yang diawali dengan
adanya lesi hingga terbentuknya ulkus yang sering disebut dengan ulkus kaki
diabetika yang pada tahap selanjutnya dapat dikategorikan dalam gangrene, yang
pada penderita diabetes mellitus disebut dengan gangrene diabetik.(Nurul, 2010)
Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes melitus
berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian
jaringan setempat. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit
karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi
dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak
dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob
maupun anaerob. (Perkeni, 2015)
17

2.2.2 Patofisiologi Kaki Diabetik6

Gambar 2.4 Patofisiologi Ulkus pada Kaki Diabetik.

2.2.3 Klasifikasi Kaki Diabetik (Hidayah, 2012& Rina, 2015)


Klasifikasi Edmonds (2004 – 2005)
- Stage 1 : Normalfoot
- Stage 2 : High Risk Foot
- Stage 3 : Ulcerated Foot
- Stage 4 : Infected Foot
- Stage 5 : Necrotic Foot
- Stage 6 : Unsalvable Foot

2.2.4 Manisfestasi Klinis


Tanda dan gejala kaki diabetes melitus seperti sering kesemutan, nyeri pada
kaki saat istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis),penurunan
denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin
dan kuku menebal serta kulit kering.(Rina, 2015)
Ulkus Diabetikum akibat mikroangiopatik disebut juga ulkus panas
walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh
peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal.
18

Proses mikroangipati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan


secara akut emboli memberikan gejala klinis 5 P yaitu: (Hariani,2012)
- Pain (nyeri).
- Paleness (kepucatan).
- Paresthesia (kesemutan).
- Pulselessness (denyut nadi hilang)
- Paralysis (lumpuh).

2.2.5 Diagnosis Kaki Diabetik


Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti, diagnosis kaki diabetik
ditegakkan melalui riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang. (Hidayah, 2012)

2.2.6 Penatalaksanaan Kaki Diabetik


Manajemen kaki diabetik dilakukan secara komprehensif melalui upaya;
mengatasi penyakit (commorbidity), menghilangkan/mengurangi tekanan beban
(offloading), menjaga luka agar selalu lembab (moist), penanganan infeksi,
debridemen, revaskularisasi dan tindakan bedah elektif, profilaktik, kuratif atau
emergensi. Penyakit diabetes melitus melibatkan sistem multi organ yang akan
mempengaruhi penyembuhan luka. Hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia,
gangguan kardiovaskular (stroke, penyakit jantung koroner), gangguan fungsi
ginjal, dan lainnya harus dikendalikan. (rina, 2015)

2.2.7 Pencegahan Kaki Diabetik


Pencegahan kaki diabetik antara lain : (Nurul, 2010)
 Pengawasan dan perawatan penyakit diabetes dapat mencegah ulkus
diabetes.
 Regulasi kadar gula darah dapat mencegah neuropati perifer atau
mencegah keadaan yang lebih buruk.
 Penderita diabetes harus memeriksa kakinya setiap hari, menjaga tetap
bersihdengan sabun dan air serta menjaga kelembaban kaki dengan
pelembab topikal.
19

 Sepatu dan alas kaki harus dipilih secara khusus untuk mencegah adanya
gesekanatau tekanan pada kaki.18

2.3 Pengetahuan Perawatan Kaki Diabetik


2.3.1 Pengetahuan
2.3.1.1 Defenisi Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tau yang terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan
pengetahuan. Pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan
persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari indra
pengihatan/ mata dan indra pendengaran telinga. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(overt behavior) dan pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas
atau tingkat yang berbeda-beda.(Noor, 2013)

2.3.1.2 Tingkat Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2010) tingkat pengetahuan manusia dibagi menjadi
6 tingkatan yaitu:

a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima.(Hariani, 2012)

b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.
Orang yang lebih paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek
yang dipelajari. (Noor, 2013)
20

c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real sebenarnya. Aplikasi disini dapat
diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.(Noor, 2013)

d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur
organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada.(Noor, 2013)

f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian berdasarkan suatu
kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.3.1.3 Faktor-Faktor Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2010) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal meliputi :


a. Pendidikan.
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin
mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka
seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dariorang lain
maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak
21

pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat


kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan
tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya.(Noor, 2013)
Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak
berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak
diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan
non formal.

b. Pengalaman.
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan
yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman
belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan
keterampilan professional serta pengalaman belajar selama bekerja, dapat
mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi
dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata
dalam bidang kerja.(Noor, 2013)

c. Usia
Bertambahnya usia seseorang maka akan semakin banyak informasi yang
dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah
pengetahuannya. Daya pikir seseorang akan menurun sejalan dengan bertambahnya
usia, khususnya pada beberapa kemampuan yang lain misalnya kosa kata dan
pengetahuan umum. (Noor, 2013& Rina, 2015)

Faktor eksternal meliputi :


a. Media Massa / Informasi.(Noor, 2013)
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal
dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga
menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan
tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan
masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk
22

media massaseperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayan orang.

b. Sosial Budaya dan Ekonomi.


Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran
apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan
bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang
juga akanmenentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan
tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan
seseorang.(Noor, 2013)

c. Lingkungan.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap
proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang
akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.(Noor, 2013)

2.3.2 Perawatan Kaki Diabetik


Terapi dan pencegahan terjadinya neuropati diabetik adalah dengan
melakukan pengontrolan kadar gula darah secara teratur dan mencegah terjadinya
luka pada kaki. Karena adanya komplikasi yang disebut neuropati, pasien diabetes
mengalami penurunan sensitivitas dan intoleransi terhadap dingin di kaki
mereka.13,14 Neuropati terjadi ketika suplai darah ke ujung saraf kecil di kaki dan
tangan berhenti atau berkurang. Perawatan kaki yang bersifat preventif mencakup
tindakan mencuci kaki dengan benar, mengeringkan dan meminyakinya; harus
berhati-hati agar jangan sampai celah di antara jari-jari kaki menjadi basah. Inspeksi
atau pemeriksaan kaki harus dilakukan setiap hari untuk memeriksa apakah terdapat
gejala kemerahan, lepuh, fisura, kalus, atau ulserasi.
Kemauan melakukan perawatan kaki diabetik maka diabetes harus
mempunyai niat yang tinggi karena perawatan kaki diabetik ini harus dilakukan
secara teratur jika ingin benar-benar mendapatkan kualitas hidup yang baik.
23

Pemeriksaan dan perawatan kaki diabetes merupakan semua aktivitas khusus


(senam kaki, memeriksa dan merawat kaki) yang dilakukan individu yang berisiko
sebagai upaya dalam mencegah timbulnya ulkus diabetikum.(Miftaful, 2012
&Dora, 2012)
Di bawah ini ada beberapa langkah dalam melakukan perawatan kaki, antara
lain sebagai berikut:

a. Area Pemeriksaan Kaki (Anas, 2014)

1. Kuku jari: periksa adanya kuku tumbuh di bawah kulit (ingrown nail),
robekan atau retakan pada kuku
2. Kulit: periksa kulit di sela-sela jari (dari ujung hingga pangkal jari),
apakah ada kulit retak, melepuh, luka, atau perdarahan
3. Telapak kaki: Periksa kemungkinan adanya luka pada telapak kaki,
apakah terdapat kalus (kapalan), palantar warts, atau kulit telapak kaki
yang retak (fisura)
4. Kelembaban kulit: periksa kelembaban kulit dan cek kemungkinan
adanya kulit berkerak dan kekeringan kulit akibat luka
5. Bau: periksa kemungkinan adanya bau dari beberapa sumber pada
daerah kaki

b. Perawatan (Mencuci dan Membersihkan) Kaki (Anas, 2014)


1. Menyiapkan air hangat: uji air hangat dengan siku untuk mencegah
cedera
2. Cuci kaki dengan sabun yang lembut (sabun bayi atau sabun cair) untuk
menghindari cedera ketika menyabun.
3. Keringkan kaki dengan handuk bersih, lembut. Keringkan sela-sela jari
kaki, terutama sela jari kaki ke-3-4 dan ke-4-5.
4. Oleskan lotion pada semua permukaan kulit kaki untuk menghindari
kulit kering dan pecah pecah
24

5. Jangan gunakan lotion di sela-sela jari kaki. Karena akan meningkatkan


kelembapan dan akan menjadi media yang baik untuk berkembangnya
mikroorganisme (fungi).

c. Perawatan Kuku Kaki


1. Potong dan rawat kuku secara teratur. Bersihkan kuku setiap hari pada
waktu mandi dan berikan cream pelembab kuku.
2. Gunting kuku kaki lurus mengikuti bentuk normal jari kaki, tidak terlalu
pendek atau terlalu dekat dengan kulit, kemudian kikir agar kuku tidak
tajam. Jika ragu, Anda bisa meminta bantuan keluarga atau dokter
untuk memotong kuku Anda.
3. Hindarkan terjadinya luka pada jaringan sekitar kuku. Bila kuku keras,
sulit dipotong, rendam kaki dengan air hangat selama ± 5 menit.

Cara lain dalam melakukan perawatan kaki, antara lain sebagai berikut:
(Anas, 2014)
1. Jangan berjalan tanpa alas kaki, baik di dalam maupun di luar rumah.
2. Usahakan kaki selalu dalam keadaan hangat dan kering. Untuk itu
gunakan kaos kaki atau stocking dari bahan katun dan sepatu dengan
bahan kulit. Jangan lupa untuk mengganti kaos kaki atau stocking setiap
hari.
3. Jangan memakai sepatu atau kaos kaki yang kekecilan (terlalu sempit)
dan periksa sepatu setiap hari sebelum dipakai, pastikan tidak ada
kerikil atau benda kecil lain di dalam sepatu yang dapat melukai kaki.
4. Saat kaki terasa dingin, gunakan kaos kaki. Jangan merendam atau
mengompres kaki dengan panas, dan jangan gunakan botol panas atau
peralatan listrik karena respon kaki terhadap rasa panas sudah
berkurang sehingga tidak terasa bila kaki sampai melepuh.
5. Jangan menggunakan pisau atau silet untuk mengurangi kapalan.
6. Jangan menggunakan obat-obat tanpa anjuran dokter untuk
menghilangkan mata ikan.
25

7. Jangan membiarkan luka sekecil apapun pada kaki, segera obati dan
periksakan kedokter.
26

BAB 3
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN
HIPOTESIS

3.1 Kerangka Teori

Diabetes Melitus Tipe 2

Perawatan Kesehatan Diri :

1. Pemantauan glukosa
Terkontrol darah Tidak Terkontrol
2. Penyesuaian diet
3. Keteraturan Olahraga
4. Keteraturan kunjungan
berobat Komplikas
i

Kelainan Neuropati Perifer: Penurunan Daya Tahan Tubuh


Mikrovaskular  Sensorik
 Motorik
 Autonom

Pengetahuan Perawatan
Kaki Diabetik

Kaki
Infeksi Diabetik Penyembuhan Luka Praktik Perawatan Kaki
Kurang Diabetik Kurang Baik
Ulkus

Amputasi

Gambar 3.1. Kerangka Teori


27

3.2 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

 Usia
 Status Pernikahan
 Jenis kelamin
 Pendidikan
 Penghasilan Tingkat Pengetahuan
 Lama menderita Perawatan Kaki
 Riwayat Penggunaan Diabetik
Obat
 Riwayat Keluarga
 Riwayat kaki diabetik
 Pekerjaan
 Penjelasan penyuluhan

Gambar 3.2 Kerangka Konsep

3.3 Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep penelitian maka hipotesis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:

3.3.1 Ada hubungan antara usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan,
penghasilan, lama menderita diabetes mellitus, pekerjaan, riwayat
penggunaan obat, riwayat keluarga DM, riwayat kaki diabetik, dan
penyuluhan perawatan kaki dengan tingkat pengetahuan perawatan kaki
pada penderita DM tipe 2 di Puskesmas Amplas Medan.
28

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analytic
observational bertujuan untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan
variabel dependen.(Lapau B, 2012) Adapun rancangan penelitian yang digunakan
adalah pendekatan cross sectional study dengan meneliti pengetahuan kaki
diabetik. Crosssectional study digunakan karena variabel sebab atau risiko dan
akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan secara
simultan dalam waktu yang bersamaan.(Notoadmojo S, 2012)

4.2 Populasi dan Sampel


4.2.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk diteliti dan diambil kesimpulan.(Sugiono, 2012) Populasi pada penelitian ini
adalah penderita diabetes melitus yang ada di Puskesmas Amplas Medan, Sumatera
Utara dengan total 50 orang penderita diabetes melitus.

4.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Sampel pada penelitian ini adalah penderita diabetes mellitus
yang berobatdi Puskesmas Amplas Medan, Sumatera Utara. Besar sampel
penderita 50 orang.
Adapun kriteria inklusi responden yang dijadikan sampel adalah;
a. Penderita diabetes melitus tipe 2 dengan/tanpa komplikasi ulkus
diabetik
b. Bersedia menjadi responden dan menandatangani informed consent.
c. Mampu membaca dan menulis.
d. Berkomunikasi dengan baik sehingga dapat diberikan penjelasan
mengenai pelaksanaan penelitian.
29

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:


a. Pasien yang mengalami penurunan status kesehatan seperti pusing,
gemetar.
Metode pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini
adalah menggunakan teknik probability sampling yaitu teknik pengambilan sampel
yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur populasi untukdipilih
menjadianggota sampel. Jumlah sampel yang diperoleh pada penelitian ini adalah
50 orang.

4.3 Tempat Penelitian


Tempat penelitian dilaksanakan di Puskesmas Amplas, Jalan Garu No.2,
Harjosari I, Medan Amplas, Medan. Peneliti mengambil Puskesmas Amplas
sebagai tempat penelitian karena Puskesmas sebagai unit pelaksana teknis Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di wilayah kerjanya. Dengan demikian, puskesmas berfungsi sebagai
pusat penggerak pebangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan
keluarga, dan masyarakat serta pusat pelayanan kesehatan strata pertama.

4.4 Waktu Penelitian


Waktu penelitian dimulai dengan penyusunan proposal pada 31 Juli 2018 –
10 Agustus 2018, pengambilan dan pengolahan data penelitian pada 13 Agustus
2018 – 30 Agustus 2018, dan laporan hasil penelitian pada minggu pertama
September 2018.

4.5 Alat Pengumpul Data


Alat pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah
kuesioner.Kuesioner berupa daftar pertanyaan yang tersusun dengan baik, ada
dalam bentukisian dan ada dalam bentuk check list sehingga responden tinggal
mengisi dan memberi check list pada pilihan jawaban yang sesuai. Data yang
dikumpulkan yaitu:
30

a. Kuesioner tentang karakteristik responden


Kuesioner ini untuk mengetahui karakteristik responden yang dibuat sendiri
oleh peneliti meliputi usia, jenis kelamin, status pernikahan, lama menderita
diabetes melitus, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, riwayat pengobatan, riwayat
kaki diabetik, riwayat keluarga menderita DM, dan penyuluhan tentang perawatan
kaki.
b. Kuesioner tentang pengetahuan
Kuesioner ini digunakan untuk mengukur pengetahuan tentang perawatan
kaki pada penderita diabetes melitus tipe 2. Kuesioner yang digunakan adalah
Diabetes Foot Care Knowledge Scale (DFKS)(Shiu A, 2011). Kuesioner ini
dilakukan modifikasi oleh peneliti pada nomor 6 yaitu tentang penggunaan
obat luka ringan pada kaki pada point dua Yunnan bai yao (obat cina
untuk menyembuhkan luka) menjadi penggunaan obat tradisional karena obat
tersebut tidak ada di Medan. Kuesioner ini diterjemahkan melalui cara
Back Translation oleh peneliti sebelumnya di Universitas Indonesia.(Diani N,
2013) Jumlah seluruh pertanyaan terdiri dari 65 item pertanyaan dengan duapilihan
jawaban benar dan salah. Setiap jawaban yang benar diberi nilai 1 dan jawaban
salah diberi nilai 0. Sehingga skor total adalah 65, selanjutnya
dikategorikanmenjadi 2 kategori yaitu pengetahuan kurang jika skor yang benar
kurang dari mean41,61 dan pengetahuan baik jika skor sama dan lebih besar dari
mean 41,61.

4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas


Instrumen atau alat pengumpul data yang akan digunakan sebelumnya
sudah dilakukan ujicoba dan diuji validitas dan reliabilitasnya oleh peneliti
sebelumnya.(Diani N, 2013)

a. Validitas
Validitas adalah indeks yang menunjukkan nilai ketepatan dari alat ukur
sehinggamenggambarkan suatu instrumen telah benar-benar mengukur apa yang
diukur.(NotoadmodjoS, 2010)
31

b. Reliabilitas
Reliabilitas adalah konsistensi dari alat ukur yang digunakan, apabila
digunakanuntuk yang kedua kalinya atau lebih terhadap gejala yang sama maka
akanmendapatkan hasil yang sama.(NotoadmodjoS, 2010)

4.7 Prosedur Pengumpulan Data


Prosedur penelitian terdiri dari persiapan, pelaksanaan penelitian dan
penyusunan laporan. Prosedur penelitian dijabarkan sebagai berikut:

4.7.1 Persiapan penelitian


Persiapan penelitian meliputi penyelesaian administrasi yang terkait
dengan penelitian yaitu:
a. Mengajukan permohonan surat ijin penelitian dari Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
b. Meminta ijin kepada kepala puskesmas dan mensosialisasikan maksud
dantujuan penelitian yang akan dilakukan.
c. Mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan untuk pelaksanaan penelitian
sepertilembar penjelasan penelitian, lembar persetujuan penelitian,
kuesioner, danpulpen.
d. Peneliti sebagai kolektor menyebarkan kuesioner sertamengumpulkan
kuesioner. Peneliti sebagai kolektor data dengan latar belakang pendidikan
sarjana kedokteran. Sebelum penelitian, peneliti melakukan penjelasan
tentang maksud dan tujuan penelitian yang akan dilakukan, menjelaskan
petunjuk pengisian kuesioner dan pengumpulan kuesioner serta menjaga
kerahasiaan informasi yang didapat dengan cara tidak
menyebarluaskan segala informasi yang telah diperoleh yang berhubungan
dengan responden.

4.7.2 Pelaksanaan penelitian


Pelaksanaan penelitian dilaksanakan selama tiga minggu di Puskesmas
Amplas pada hari Senin sampai Jumat. Adapun uraian kegiatan sebagai berikut:
32

a. Peneliti berkoordinasi dengan kepala puskesmas untukmelakukan


identifikasi pasien diabetes melitus tipe 2 yang memenuhi kriteriainklusi.
b. Meminta kesediaan responden yang telah menjadi sampel dengan
menjelaskanmaksud dan tujuan penelitian terlebih dahulu.
c. Meminta dengan sukarela kepada responden untuk menandatangani
suratpernyataan bersedia berpartisipasi sebagai responden penelitian.
d. Membagi kuesioner kepada responden yang menjadi sampel untuk
pengisian kuesioner dan observasi kepada responden dengan
memperhatikankondisi kesehatan fisik pasien dan etika penelitian.
e. Mengumpulkan hasil pengumpulan data untuk selanjutnya diolah.

4.7.3 Penyusunan laporan


Penyusunan laporan dilakukan setelah pelaksanaan penelitian selesai.
Penyusunan laporan mengikuti pedoman teknis penulisan laporan penelitian.

4.8 Pengolahan dan Analisis Data


4.8.1 Pengolahan data
Setelah data yang diperlukan terkumpul selanjutnya dilakukan proses
pengolahan dengan memeriksa data (editing) yang sudah dikumpulkan meliputi
kelengkapan,kesesuaian, kejelasan, dan kekonsistenan jawaban. Selanjutnya
memberi kode(coding) pada setiap komponen variabel, dilakukan untuk
mempermudah proses tabulasi dan analisis data. Pemberian kode dilakukan
sesudah pengumpulan data.
Kemudian dilakukan pemprosesan data (processing) agar data yang sudah
di-entrydapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan cara meng-entry data
dari kuesioner ke komputer. Setelah itu pembersihan data (cleaning) dengan
memeriksa kembali data yang sudah di-entry kedalam program komputer apakah
ada kesalahan atau tidak.
33

4.8.2 Analisis data


a. Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap
variable yang diteliti. Variabel dependen dan variabel independen (usia, jenis
kelamin, status perkawinan, lama menderita diabetes melitus, pendidikan,
pekerjaan, riwayat keluarga menderita DM, riwayat penggunaan obat, penghasilan
dan penyuluhan perawatan kaki) pada penelitian ini merupakan datakategorik
sehingga hasil analisis yang disajikan berupa proporsi atau distribusifrekuensi.
Kemudian disajikan dengan menggunakan tabel serta
diinterprestasikanberdasarkan data yang diperoleh.

b. Analisis bivariat
Sebelum dilakukan analisis bivariat terlebih dulu dilakukan uji kenormalan
databaik pada variabel independen, variabel dependen dengan menggunakan uji
Kolmogorv-Smirnov. Hasil yang diperoleh untuk semuavariabel berdistribusi tidak
normal dengan nilai p value < 0,05 sehingga analisisbivariat variabel independen
menggunakan uji statistik nonparametrik.
Setelah diketahui karakteristik masing-masing variabel, selanjutnya
dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel
independen dan variabel dependen. Pada penelitian ini variabel independen (umur,
status perkawinan, jenis kelamin, lama menderita diabetes, pendidikan,
penghasilan, penyuluhan, riwayat keluarga, riwayat keluarga DM, riwayat
penggunaan obat), dengan variabel dependen (tingkat pengetahuan pasien tentang
perawatan kaki) berbentuk kategorik maka uji statistik yang digunakan adalah
uji Chi Square. Tujuan Uji Chi Square adalah untuk menguji
perbedaan proporsi/presentase antara beberapa kelompok data. Uji Chi Square
dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel katagorik dengan
variabel katagorik (Hastono, 2007). Analisis bivariat dilakukan dengan bantuan
komputer.
34

Tabel 4.1 Analisis Bivariat


No Variabel Independen Variabel Dependen Jenis Uji

1 Umur (data kategorik) Pengetahuan Kaki Chi Square


2 Status Perkawinan (data Diabetik Chi Square
kategorik)
3 Jenis kelamin (data Chi Square
kategorik)
4 Lama menderita diabetes Chi Square
melitus (data kategorik)
5 Pendidikan (data kategorik) Chi Square
6 Penghasilan (data Chi Square
kategorik)
7 Penyuluhan tentang Chi Square
perawatan
kaki (data kategorik)
8 Riwayat Keluarga Chi Square
Menderita DM
9 Riwayat kaki diabetic Chi Square
10 Riwayat Penggunaan Obat Chi Square

c. Analisis multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk melihat hubungan beberapa variabel
bebas(lebih dari satu) dengan satu atau beberapa variabel dependen (umumnya
satuvariabel) (Hastono, 2007). Karena variabel dependen pada penelitian ini
berbentukkategorik maka analisis multivariat yang digunakan pada penelitian
adalah ujistatistik regresi logistik ganda. Dengan analisis ini dapat diketahui faktor
yangpaling berhubungan dengan tingkat pengetahuan kaki diabetic pada pasien
diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Amplas. Tahapan dari uji statistik regresi
logistik gandameliputi:

1. Seleksi kandidat
35

Variabel independent pengetahuan pasien tentang perawatan kaki


padapenelitian ini yang diprediksi berhubungan dengan variabel dependen
yaitu tingkat pengetahuan. Variabel usia, jenis kelamin, pernikahan,
pekerjaan, pendidikan, penghasilan, lama menderita DM, penggunaan obat,
riwayat keluarga, riwayat kaki diabetik, dan penyuluhan tentang perawatan
kaki pada penelitian ini yang diprediksi berhubungan dengan tingkat
pengetahuan. Variabel kandidat akan dimasukan ke dalam
pemodelanmultivariat jika hasil uji bivariat p value < 0,25, atau secara
substansi dianggappenting.
2. Pemodelan multivariat
Pemodelan multivariat dilakukan dengan analisis regresi logistik
dengan caramemasukan kandidat variabel independen dan variabel
dependenyangmemenuhi syarat p value < 0,25 ke dalam model, selanjutnya
memilih variable yang dianggap penting yang masuk dalam model, dengan
cara mempertahankansubvariabel bebas yang p value-nya < dari 0,05 dan
mengeluarkan subvariabelyang p value-nya > dari 0,05 secara bertahap
mulai dari p value terbesar.Variabel yang dikeluarkan akan dimasukan
kembali ke dalam model jika terjadiadanya perubahan Odd Ratio (OR) satu
atau lebih variabel yang melebihi dari10% sehingga akan didapatkan
pemodelan akhir. Langkah selanjutnyamembandingkan nilai OR seluruh
variabel bebas, untuk melihat variabel mana yang paling dominan
pengaruhnya terhadap variabel bebas, dilihat dari exp(B) untuk variabel
yang signifikan pada model terakhir. Semakin besar nilai exp(B) berarti
semakin besar pengaruhnya terhadap variabel terikat (Hastono, 2007).
36

4.9 Definisi Operasional

Tabel 4.2 Definisi Operasional


Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1. Pengetahuan Semua yang diketahui Kuesioner 1. Pengetahuan Ordinal
Perawatan responden tentang kurang <
Kaki perawatan kaki seharihari mean (skor
tentang 41,61)
• Frekuensi pemeriksaan 2. Pengetahuan
kaki baik ≥
• Apa saja yang diperiksa mean (skor
pada kaki 41,61)
• Perawatan kuku kaki
• Tindakan yang
dilakukan jika kaki
terasa sakit
• Jenis kaos kaki dan
sepatu
• Kondisi-kondisi harus
dilakukan konsultasi
dengan dokter/ahli
perawatan kaki.
2. Distribusi Pensifatan / pembagian dua Kuesioner 1. Laki-laki Nominal
Jenis jenis kelamin manusia 2. Perempuan
Kelamin yang
ditentukan secara biologis.
3. Usia Usia responden dihitung Kuesioner 1. < 55 tahun Ordinal
berdasarkan ulang tahun 2. ≥ 55 tahun
terakhir

4. Status Status/ keadaan responden Kuesioner 1. Y


Nominal
dimana lengkap tidaknya a
Perkawinan
pasangan hidup yang terikat 1. Ya
perkawinan setelah menjadi 2. Tidak
usia lanjut atau tidak pernah
menikah selama hidupnya
5. Pendidikan Pendidikan formal terakhir Kuesioner 1. Rendah Ordinal
yang ditempuh responden (SD,
SMP&SM
A)
2. Perguruan
Tinggi
(PT)
6. Penghasilan Penghasilan Jumlah Kuesioner 1. Rendah, Ordinal
pendapatan yang jika
37

dihasilkan responden pendapata


selama n respond
sebulan dalam memenuhi en
kebutuhan hidupnya < Rp 2.13
2.188,-
2. Tinggi,
jika
pendapata
nresponde
n perbulan

Rp 2.132.
188,-
7. Lama Jumlah waktu dalam tahun Kuesioner 1. < 5 tahun Ordinal
sejak responden 2. ≥ 5 tahun
Menderita
mengetahui
menderita diabetes melitus
sampai saaat ini.
8. Pekerjaan Pekerjaan responden Kuesioner 1. Tidak Nominal
sehari-hari dalam bekerja
memenuhi kebutuhan hidup 2. Bekerja
dan
perekonomian keluarga.

9. Penjelasan Penjelasan yang pernah Kuesioner 1. Tidak Nominal


Penyuluhan didapat responden tentang pernah
perawatan kaki oleh 2. Pernah
pemberi
pelayanan kesehatan seperti
perawat, dokter, dll.

10. Riwayat Penemuan keturunan DM Kuesioner 1.Ya Nominal


Keluarga pada responden dari 2.Tidak
Menderita DM orangtua kandung atau
keluarga kandung lain
11. Riwayat Segala obat yang pernah Kuesioner 1.OHO Nominal
Penggunaan dikonsumsi responden 2.Insulin
Obat untuk mengontrol kadar 3.Lain-lain
gula darah
12. Riwayat Pernah/tidaknya responden Kuesioner 1.Ya Nominal
Kaki Diabetik mengalami kaki diabetic 2.Tidak
yang sudah sembuh/tidak
38

BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang
pengetahuan perawatan kaki pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas
Amplas. Pengambilan data dilaksanakan di poliklinik puskesmas. Adapun hasil
penelitian adalah sebagai berikut:

5.1 Hasil Analisis Univariat


Pada penelitian ini hasil analisis univariat menggambarkan karakteristik
responden yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pernikahan, pekerjaan, pendidikan,
penghasilan, lama menderita dm, penggunaan obat, riwayat keluarga, riwayat kaki
diabetik, dan penyuluhan tentang perawatan kaki; tingkat pengetahuan tentang
perawatan kaki. Hasil analisis univariat dijelaskan dalam tabel sebagai berikut :

5.1.1 Gambaran Karakteristik Responden


Distribusi responden berdasarkan usia, jenis kelamin, pernikahan,
pekerjaan, pendidikan, penghasilan, lama menderita dm, penggunaan obat, riwayat
keluarga, riwayat kaki diabetik, dan penyuluhan tentang perawatan kaki dapat
dilihat pada tabel 5.1 berikut ini :

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Pernikahan,


Pekerjaan, Pendidikan, Penghasilan,Lama Menderita DM, Penggunaan Obat,
Riwayat Keluarga, Riwayat Kaki Diabetik, dan Penyuluhan Tentang Perawatan
Kaki Pada Pasien DM Tipe 2 di Puskesmas Amplas (n=50)

Variabel Jumlah Persentase (%)


Usia
< 55 tahun 23 46
≥ 55 tahun 27 54

Jenis Kelamin
Laki-laki 26 52
Perempuan 24 48

Riwayat Pernikahan
Sudah menikah 47 94
39

Belum menikah 3 6

Status Pekerjaan
Bekerja 22 44
Tidak bekerja 28 56

Pendidikan Terakhir
Tinggi (> SMA) 14 28
Rendah (≤ SMA) 36 72

Penghasilan per Bulan


≥ Rp 2.132.188,- 27 54
< Rp 2.132.188,- 23 46

Lama Menderita DM
< 5 tahun 17 34
≥ 5 tahun 33 66

Riwayat Penggunaan Obat


Ada (OAD/Insulin) 48 96
Tidak ada 2 4

Riwayat Keluarga DM
Ada 27 54
Tidak ada 23 46

Riwayat Kaki Diabetik


Ada 4 8
Tidak ada 46 92

Penyuluhan
Pernah 10 20
Tidak pernah 40 80

a. Usia
Berdasarkan tabel 5.1, lebih banyak responden yang berusia lebih dari 55
tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 penderita diabetes melitus tipe
2 yang menjadi responden lebih banyak berusia lebih dari 55 tahun pada rentang
usia 32 – 74 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
yangdilakukan oleh Desalu et al. (2011) pada 352 penderita diabetes melitus, rata-
ratamempunyai usia 50 tahun. Hasil yang sama juga dijelaskan oleh Bijoy et al
(2012) dalam penelitiannya mengatakan dari 150 penderita diabetes melitus rata-
40

rata usia penderita 57 tahun. Sama hal nya dengan penelitian Ekore et al. (2010)
dari 137 penderita diabetes melitus berusia antara 37-75 tahun.
Proporsi penderita DM meningkat seiring meningkatnya usia. Proporsi TGT
meningkat seiring usia hingga tertinggi pada kelompok usia 65-74 tahun kemudian
sedikit menurun. Sedangkan proporsi GDP terganggu meningkat seiring usia
hingga tertinggi pada kelompok usia 55-64 tahun kemudian sedikit menurun pada
kelompok usia selanjutnya. (Riskesdas, 2013)
Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Almasdy dkk, Rata-rata usia
pasien adalah 49,5 ± 18,7 tahun, dengan rentang usia 27-72 tahun, sedangkan
jumlah pasien terbanyak pada rentang umur 50- 59 tahun. Temuan ini sesuai dengan
literatur yang menyatakan bahwa penyakit diabetes cenderung timbul pada usia
lanjut. Hal ini disebabkan karena penurunan kondisi fisiologis manusia, yaitu
berupa proses penuaan yang diiringi oleh perubahan komposisi tubuh, perubahan
neuro-hormonal khususnya penurunan Insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan
dehydroepandrosteron (DHEAS) plasma. Penurunan IGF-1 akan mengakibatkan
penurunan ambilan glukosa karena menurunnya sensitivitas reseptor dan aksi
insulin. Sedangkan penurunan konsentrasi DHEAS ada kaitannya dengan kenaikan
lemak tubuh serta turunnya aktivitas fisik. Kondisi ini diperparah oleh perubahan
gaya hidup pasien. (Almasdy, 2015)
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan
bahwa seseorang yang berusia diatas 30 tahun beresiko terjadinya diabetes melitus
tipe 2. Hal ini sejalan dengan sumber yang menjelaskan bahwa diabetes melitus tipe
2 sering terjadi pada penderita setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi
setelah usia 40 tahun (Smeltzer et al., 2010). Seiring dengan bertambahnya usia
penderita, maka akan terjadi proses degeneratif yang akan mengakibatkan
penurunan fungsi organ-organ vital tubuh. Pada penderita diabetes melitus proses
degeneratif ini ditambah sindrome resisten insulin yang semakin menambah resiko
terjadinya komplikasi. Hal ini terjadi karena proses menua mengakibatkan adanya
perubahan fisiologis dalam tubuh yang dapat mempengaruhi homeostasis. Salah
satu organ yang dapat mengalami perubahan fungsi akibat adanya proses menua
adalah sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin. Jika terjadi gangguan
41

sekresi hormon ini atau penggunaan glukosa yang tidak adekuat pada tingkat sel
maka akan berdampak terhadap peningkatan kadar gula darah. (Noor, 2013)

b. Jenis Kelamin
Pada penelitian ini didapatkan responden lebih banyak laki-laki
dibandingkan perempuan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan (Riskesdas,
2013) bahwa menurut jenis kelamin proporsi penderita diabetes melitus dan TGT
lebih tinggi pada wanita, sedangkan GDP terganggu lebih tinggi pada laki-laki.

c. Riwayat Pernikahan
Pada penelitian ini didapatkan responden lebih banyak sudah menikah
dibandingkan belum menikah. Pernikahan adalah jenis hubungan sosial yang unik
di mana pasangan berbagi ruang dan sumber daya, berinvestasi, dan pengaruhi
perilaku kesehatan satu sama lain. Penilaian subjektif dari hubungan pernikahan
termasuk kepuasaan, kebahagiaan, dan konflik sebagai pengaruh yang besar pada
masing-masing pasangan dalam konteks kehidupan dan kesehatannya. Kualitas
pernikahan mempengaruhi cara orang mengelola kesehatannya dan sangat penting
untuk penyakit yang bergantung pada manajemen diri, diabetes merupakan
penyakit semacam itu, membutuhkan rejimen perawatan diri sehari-hari. Dukungan
dari perkawinan atau konflik yang berkualitas baik dari perkawinan yang
berkualitas burluk dapat meningkatkan atau mengganggu kepatuhan regimen
perawatan diabetes. (Liu, 2016)

d. Status Pekerjaan
Pada penelitian ini didapatkan banyak responden yang tidak bekerja.
Adapun yang lebih banyak adalah pensiunan maupun ibu rumah tangga. Jika
pekerjaan dikaitkan dengan aktivitas fisik sehari-hari, aktivitas merupakan salah
satu dari lima pilar manajemen diabetes melitus yang dapat berkontribusi dalam
pengelolaan diabetes melitus dan mencegah terjadinya komplikasi diabetes melitus.
Menurut pekerjaan, proporsi penderita diabetes mellitus terendah adalah
pada pegawai diikuti petani/nelayan/buruh, wiraswasta, dan tidak bekerja. Proporsi
tertinggi pada pekerjaan lainnya. (Riskesdas, 2013)
42

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Arifin
(2011) berdasarkan jenis pekerjaan menunjukkan hasil sebagian besar responden
tidak bekerja. Pada penelitian yang sama Arifin (2011) juga mengatakan responden
yang tidak bekerja beresiko 1,6 kali mengalami komplikasi dibanding responden
yang bekerja. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas yang dilakukan penderita dalam
kehidupan sehari-hari seperti pekerjaan. Bagi penyandang diabetes melitus
olahraga/ latihan jasmani yang mana pun dapat dianjurkan dan dikerjakan. Tidak
harus olahraga seperti sepakbola, tenis tetapi kegiatan jasmani apapun yang
memadai seperti bekerja, berkebun dan lain-lain asalkan dikerjakan dengan teratur
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila tidak
disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani
dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45
menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut.(Perkeni, 2015) Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan
diabetes, karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi
faktor risiko kardiovaskular. Manfaat latihan yaitu menurunkan kadar glukosa
darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki
pemakaian insulin, memperbaiki sirkulasi darah dan tonus otot, mengubah kadar
lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL-kolesterol dan menurunkan kadar
kolesterol total serta trigliserida. (Adib,2011).

e. Pendidikan Terakhir
Pada penelitian ini didapatkan lebih banyak responden memiliki latar
belakang pendidikan rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian menurut Desalu et
al.(2011) penderita yang memiliki pendidikan rendah lebih banyak. Hal ini berbeda
dengan penelitian Hasnain dan Sheikh (2009) dalam penelitiannya didapatkan
responden lebih besar memiliki pendidikan tinggi. Hal yang sama terdapat juga
pada penelitian Bijoy et al. (2012) yakni rata-rata responden memilikipendidikan
yang tinggi.
43

Menurut (Riskesdas 2013) proporsi penderita diabetes mellitus, TGT dan


GDP terganggu cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan lebih
rendah.

Hasil penelitian ini sesuai dengan sumber yang diungkapkan oleh


Notoatmodjo (2010) bahwa semakin tinggi pendidikan semakin mudah menerima
pengaruh yang positif, obyektif dan terbuka terhadap berbagai informasi termasuk
informasi kesehatan. Tingkat pendidikan umumnya berpengaruh terhadap
kemampuan seseorang dalam memahami suatu informasi. Sehingga dengan
banyaknya pendidikan tinggi pada hasil penelitian diharapkan penderita dapat
memahami berbagai informasi yang didapatkan tentang kesehatan khususnya
tentang perawatan kaki dan dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi pada
kaki.

f. Penghasilan Perbulan
Pada penelitian ini didapatkan banyak responden berpenghasilan di atas
nilai Upah Minimum Provinsi (UMP) yang telah ditetapkan oleh Gubernur
Sumatera Utara dalam SK Gubsu Nomor 188.44/575/KPTS/2017 (UMR) yaitu
Rp.2.132.188.-. dasar penetapan UMP 2018 sudah mengacu pada Peraturan
Pemerintah (PP) No. 78/2015 tentang Pengupahan Hal ini sejalan dengan penelitian
Waluyo (2008) didapatkan lebih banyak status ekonomi tinggi.
Meskipun rata-rata penghasilan perbulan responden diatas nilai UMP akan
tetapi nilai tersebut tidak sebanding dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan
oleh penderita diabetes melitus dalam mengelola penyakitnya karena perawatan
penyakit diabetes melitus membutuhkan biaya yang besar. Penghasilan yang rendah
memungkinkan penderita sulit untuk mengakses sarana atau pelayanan kesehatan
karena tidak adanya biaya untuk berobat.

g. Lama Menderita Diabetes Melitus


Banyak responden dalam penelitian ini menunjukkan lama menderita
diabetes melitus lebih dari 5 tahun.
44

Penderita umumnya menjelaskan lama menderita diabetes melitus


berdasarkan saat didiagnosa. Kenyataannnya bahwa lama menderita diabetes
melitus kurang menggambarkan kondisi penyakit yang sesungguhnya karena
biasanya penderita terdiagnosa setelah mengalami komplikasi. Padahal sebenarnya
proses penyakit sudah terjadi sebelumnya. Berbeda dengan penelitian yang
dilakukan di puskesmas kabupaten pekalongan, didapatkan kategori lama sakit DM
selama 1-5 tahun sebanyak 116 orang, dan yang lebih dari 5 tahun sebanyak 27
orang. (Fajriyah, 2017)

h. Riwayat Penggunaan Obat


Pada penelitian ini didapatkan responden yang lebih banyak mempunyai
riwayat penggunaan obat seperti OAD dan Insulin dibandingkan yang tidak
mempunyai riwayat pemakaian obat.
Tujuan penatalaksaan pasien DM dalam jangka pendek adalah agar
tercapainya target pengendalian glukosa darah pada kadar normal serta hilangnya
gejala-gejala klinik yang menyertainya. Sedangkan pada jangka panjang adalah
dapat mencegah atau mengurangi komplikasi. Untuk mencapai tujuan ini, pada
dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan DM, yaitu pendekatan tanpa
obat (diet dan modifikasi gaya hidup) dan pendekatan dengan obat (farmakoterapi).
Meskipun demikian kenyataannya pada penanganan penyakit DM seringkali tidak
terkontrol sebagaimana mestinya. (Almasdy, 2015)

i. Riwayat Keluarga DM
Pada penelitian ini didapatkan responden lebih banyak yang memiliki
riwayat keluarga DM dibandingkan yang tidak memiliki riwayat keluarga DM.
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan John Kekenusa dkk bahwa
orang yang memiliki riwayat keluarga DM beresiko 5 kali lebih besar terkena DM
Tipe 2 dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita
DM. (John, 2014)

j. Riwayat Kaki Diabetik


45

Pada penelitian ini didapatkan responden lebih banyak tidak memiliki


riwayat kaki diabetik dibandingkan yang memiliki riwayat kaki diabetik. Di
Indonesia berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2011 DM dengan
komplikasi ulkus diabetic berada pada urutan ke enam dari sepuluh penyakit utama
pada pasien rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan angka
kematian akibat ulkus berkisar 17-23%, angka amputasi berkisar 15-30% dan angka
kematian 1 tahun post amputasi sebesar 14,8% (Kemenkes RI, 2012).
Persentase komplikasi DM yang dilaporkan RSUP Dr. Cipto
Mangunkusumo yakni ulkus diabetic menempati urutan ke-5 dari 10 komplikasi
setelah neuropati, retinopati, proteinuria, dan penyakit arteri perifer. (Kemenkes RI,
2014)

k. Penyuluhan
Pada penelitian ini didapatkan responden yang tidak pernah
mendapatkanpenyuluhan tentang perawatan kaki lebih banyak dibandingkan
responden yangpernah mendapatkan penyuluhan. Hal ini sejalan dengan penelitian
yangdilakukan oleh penelitian Ekore et al. (2010) menunjukkan bahwa
kurangnyapendidikan atau penyuluhan dari penyedia layanan kesehatan.
Penyuluhan berkaitan dengan pemberian informasi tentang pengelolaan
diabetes melitus terutama masalah perawatan kaki harus diberikan sedini mungkin
atau sejak pertama penderita terdiagnosa diabetes melitus (Smeltzer et al., 2010).
Penyuluhan merupakan salah satu pilar manajemen diabetes melitus yang sangat
berpengaruh dalam penatalaksanaan perawatan kaki pada penderita diabetes
melitus dan pencegahan terjadinya komplikasi kaki diabetik.

5.1.2 Gambaran tingkat pengetahuan perawatan kaki


Distribusi responden berdasarkan pengetahuan dan praktik perawatan kaki
dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut ini :

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Perawatan Kaki pada


Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Amplas (n=50)

Variabel Jumlah Persentase (%)


46

Pengetahuan
Baik 19 38
Kurang 31 62

Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan jumlah responden yang memiliki tingkat


pengetahuan kurang tentang perawatan kaki berjumlah 31 orang (62%).

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan jumlah responden yang


pengetahuan kurang lebih besar daripada jumlah responden berpengetahuan baik.

Menurut Kerri Wright (2010) dalam Sihombing (2012), perawatan kaki


yaitu memeriksa kaki setiap hari, apakah ada perubahan warna, terjadi
pembengkakan, nyeri atau mati rasa, memeriksa alas kaki seperti sepatu atau kaus
kaki yang digunakan untuk memastikan bahwa alas kaki sesuai dan tidak
menyebabkan lecet pada kaki, mencuci kaki setiap hari menggunakan sabun dan air
hangat, mengeringkan kaki dengan hati-hati, khususnya diantara sela-sela jari kaki,
serta menggunting kuku.

Kaki merupakan bagian paling bawah dari tubuh. Mungkin karena itu pula,
banyak yang jarang memperhatikan kulit kaki. Bahkan sedikit yang mau melakukan
perawatan kaki sebagaimana merawat kulit muka. Kaki adalah penyangga pada
tubuh manusia, karena itu sudah seharusnya dijaga dan dirawat senantiasa agar
berfungsi dengan baik dan sehat. Selain itu pada kaki terdapat berbagai syaraf yang
menghubungkan berbagai anggota tubuh. Jadi jika tidak dirawat dengan baik,
tentunya dapat menimbulkan berbagai keluhan pada tubuh.

Komplikasi menahun DM di Indonesia untuk terjadinya ulkus diabetik


sebanyak 15%. Penderita DM beresiko 29 kali terjadi ulkus diabetika. Ulkus
diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan adanya
makroangiopati sehingga terjadi faskuler insufisiensi dan neuropati. Ulkus
diabetika mudah sekali menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan
adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat strategis untuk pertumbuhan kuman.
(Washilah, 2014) Pengetahuan dibutuhkan oleh pasien untuk memperbaiki kontrol
diabetes, mencegah komplikasi dan pada akhirnya mengurangi biaya pengobatan.
47

Dalam penelitian ini, pengetahuan pasien lebih banyak yang kurang


dibandingkan yang baik. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Okatiranti (2013), di mana dalam penelitiannya didapatkan dari 34 pasien
didapatkan 29 pasien mempunyai pengetahuan baik dan cukup baik dan hanya 5
orang yang berpengatahuan kurang baik. Ketidaksesuaian ini diduga disebabkan
oleh minimnya pasien yang telah mendapatkan penyuluhan perawatan kaki diabetik
dan di Puskesmas Amplas sendiri belum memprioritaskan penyuluhan komplikasi
DM, khususnya kaki diabetik. Sedangkan dari pasien sendiri memang belum
antusias untuk mengetahui lebih lanjut, mengikuti kegiatan senam diabetik yang
diadakan di puskesmas, akibat keterbatasan pengetahuan, waktu, tenaga, dan uang.

Pengetahuan yang kurang baik pada pengetahuan dasar kaki diabetik


kemungkinan diakibatkan karena pengetahuan ini tidak dianggap penting pada saat
penyuluhan. Hal ini juga terjadi karena puskesmas tidak membuat suatu kelompok
tertentu khusus bagi pasien yang memiliki karakteristik yang sama dalam
memberikan penyuluhan seperti usia, pasien baru, dan lama pada saat penyuluhan.
(Okatiranti, 2013)

5.2 Hasil Analisis Bivariat


Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.

5.2.1 Hubungan Usia dengan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki


Hasil analisis bivariat hubungan usia dengan tingkat pengetahuan perawatan
kaki pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas dapat dilihat pada
tabel 5.3 berikut :

Tabel 5.3 Hubungan Usia dan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Amplas(n=50)

Tingkat Pengetahuan
Total
Usia Baik Kurang OR p-value
(95% CI)
n % n % n %
< 55 tahun 11 47,8 12 52,2 23 100 2,177; 0,186
48

≥ 55 tahun 8 29,6 19 70,4 27 100 (0,68-6,96)


Jumlah 19 38,0 31 62,0 50 100
Tabel 5.3 menggambarkan bahwa dari 23 responden yang berusia kurang
dari 55 tahun dan memiliki pengetahuan perawatan kaki yang baik sebesar 47,8%.
Hasil persentase menunjukkan bahwa antara responden berusia kurang dari 55
tahun memiliki pengetahuan perawatan kaki lebih baik dibandingkan dengan
responden yang berusia lebih atau sama dengan 55 tahun. Hal ini sama dengan hasil
penelitian Desalu et al. (2011) mengatakan usia diatas 50 tahun tingkat pengetahuan
perawatan kaki masih kurang.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,186, pada alpha 5%, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia
dengan pengetahuan perawatan kaki pada pasien diabetes melitus tipe 2. Analisis
kekuatan hubungan antara dua variabel didapatkan nilai OR = 2,177 (95% CI : 0,68-
6,96) artinya penderita diabetes melitus tipe 2 yang berusia kurang dari 55 tahun
berpeluang 2,177 kali untuk memiliki praktik perawatan kaki baik dibandingkan
dengan penderita diabetes melitus tipe 2 yang berusia lebih atau sama dengan 55
tahun.
Hasil ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Sihombing (2012)
menunjukkan bahwa tingkat perawatan kaki berdasarkan usia menunjukkan bahwa
sebagian besar responden yang melakukan perawatan kaki yang baik berusia rata-
rata dibawah usia 55 tahun. Demikian juga dengan penelitian Amalia (2018), pasien
usia < 60 tahun memiliki pengetahuan yang lebih baik dibanding pasien ≥ 60 tahun,
namun kedua faktor ini tidak berhubungan.
Menurut Smeltzer et al. (2010) Seiring dengan bertambahnya usia penderita,
maka akan terjadi proses degeneratif yang akan mengakibatkan penurunan fungsi
organ-organ vital tubuh. Pada penderita diabetes melitus proses degeneratif ini
ditambah sindrome resisten insulin yang semakin menambah resiko terjadinya
komplikasi. Sebagian besar pasien diabetes melitus mengalami retinopati
nonproliferatif dengan derajat tertentu dalam waktu 5 hingga 15 tahun setelah
diagnosis diabetes ditegakkan.
49

5.2.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki


Hasil analisis bivariat hubungan jenis kelamin dengan tingkat pengetahuan
perawatan kaki pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas dapat
dilihat pada tabel 5.4 berikut :
Tabel 5.4 Hubungan Jenis Kelamin dan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki
pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Amplas(n=50)

Tingkat Pengetahuan
Total
Jenis Kelamin Baik Kurang OR p-value
(95% CI)
n % n % n %
Laki-laki 9 34,6 17 65,4 26 100 0,74; 0,608
Perempuan 10 41,7 14 58,3 24 100 (0,24-2,33)
Jumlah 19 38,0 31 62,0 50 100

Tabel 5.4 menggambarkan bahwa dari 26 responden laki- laki dan memiliki
pengetahuan perawatan kaki yang baik sebesar 34,6%. Hasil persentase
menunjukkan bahwa antara responden laki-laki memiliki pengetahuan perawatan
kaki lebih buruk dibandingkan dengan responden perempuan.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,608, pada alpha 5%, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan pengetahuan perawatan kaki pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Analisis kekuatan hubungan antara dua variabel didapatkan nilai OR = 0,74 (95%
CI : 0,24-2,33) artinya pasien diabetes melitus tipe 2 yang berjenis kelamin laki-
laki berpeluang 0,74 kali untuk memiliki tingkat pengetahuan perawatan kaki baik
dibandingkan dengan pasien perempuan.
Menurut Diani (2013), perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin antara
lain dalam hal melakukan pekerjaan sehari-hari, dan pembagian tugas pekerjaan.
Perbedaan ini karena faktor hormonal, struktur fisik maupun norma pembagian
tugas. Perempuan seringkali berperilaku berdasarkan perasaan, sedangkan orang
laki-laki cenderung berperilaku atau bertindak atas pertimbangan rasional. Laki-
laki adalah pencari nafkah sehingga cenderung tidak memiliki banyak waktu untuk
mendapatkan edukasi.
50

Menurut Magalhaes (2016), laki-laki kurang memperhatikan kaki sehingga


komplikasi lebih tinggi pada laki-laki. Di sisi lain, perempuan memiliki kesulitan
dalam mempertahankan kontrol glikemik, dan lipid, karena kesulitan perubahan
gaya hidup, terutama dalam penerapan rencana makan, dan aktivitas fisik yang
teratur.

5.2.3 Hubungan Pernikahan dengan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki


Hasil analisis bivariat hubungan pernikahan dengan tingkat pengetahuan
perawatan kaki pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas dapat
dilihat pada tabel 5.5 berikut :
Tabel 5.5 Hubungan Pernikahan dan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Amplas(n=50)

Tingkat Pengetahuan
Total
Pernikahan Baik Kurang OR p-value
(95% CI)
n % n % n %
Menikah 17 36,2 30 63,8 47 100 0,283; 0,291
Belum menikah 2 66,7 1 33,3 3 100 (0,02-3,36)
Jumlah 19 38,0 31 62,0 50 100

Tabel 5.5 menggambarkan bahwa dari 47 responden yang sudah


menikahdan memiliki pengetahuan perawatan kaki yang baik sebesar 36,2%. Hasil
persentase menunjukkan bahwa antara responden sudah menikah memiliki
pengetahuan perawatan kaki lebih buruk dibandingkan dengan responden belum
menikah.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,291, pada alpha 5%, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
pernikahan dengan pengetahuan perawatan kaki pada pasien diabetes melitus tipe
2. Analisis kekuatan hubungan antara dua variabel didapatkan nilai OR = 0,283
(95% CI 0,02 – 3,36) artinya pasien diabetes melitus tipe 2 yang sudah menikah
berpeluang 0,283 kali untuk memiliki tingkat pengetahuan perawatan kaki baik
dibandingkan dengan pasien belum menikah.
51

Menurut Amelia Y (2018), dukungan keluarga dapat diberikan dalam


bentuk dukungan informatif seperti memberikan informasi tentang perawatan kaki
pada pasien ulkus diabetikum, dapat memberikan dukungan emosional untuk
ketenangan, dukungan penghargaan dan instrumental seperti dukungan untuk
melakukan olahraga secara teratur setiap hari, mendampingi pada saat kontrol ke
pelayanan kesehatan agar pasien diabetes melitus tidak merasa hidup sendirian,
serta membantu perawatan kaki secara teratur untuk dapat mencegah terjadinya
ulkus diabetikum dan dapat mengingatkan pasien untuk selalu menggunakan alas
kaki agar tidak kontak langsung dengan lantai guna mencegah terjadinya luka.

5.2.4 Hubungan Pekerjaan dengan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki


Hasil analisis bivariat hubungan pekerjaan dengan tingkat pengetahuan
perawatan kaki pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas dapat
dilihat pada tabel 5.6 berikut :
Tabel 5.6 Hubungan Pekerjaan dan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Amplas(n=50)

Tingkat Pengetahuan
Status Total
Baik Kurang OR p-value
Pekerjaan (95% CI)
n % n % n %
Bekerja 6 27,3 16 72,7 22 100 0,433; 0,166
Tidak Bekerja 13 46,4 15 53,6 28 100 (0,13-1,43)
Jumlah 19 38,0 31 62,0 50 100

Tabel 5.6 menggambarkan bahwa dari 22 responden yang bekerjadan


memiliki pengetahuan perawatan kaki yang baik sebesar 27,3%. Hasil persentase
menunjukkan bahwa antara responden bekerja memiliki pengetahuan perawatan
kaki lebih buruk dibandingkan dengan responden tidak bekerja.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,166, pada alpha 5%, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan
dengan pengetahuan perawatan kaki pada pasien diabetes melitus tipe 2. Analisis
kekuatan hubungan antara dua variabel didapatkan nilai OR = 0,433 (95% CI =
0,13-1,43)artinya pasien diabetes melitus tipe 2 yang bekerja berpeluang 0,433 kali
52

untuk memiliki tingkat pengetahuan perawatan kaki baik dibandingkan dengan


pasien tidak bekerja.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Diani (2013)
mengatakan bahwa faktor pekerjaan tidak ada hubungan yang signifikan dengan
pemahaman penderita diabetes melitus. Pekerjaan merupakan faktor penentu
penting dari kesehatan. Jenis pekerjaan seseorang dan kondisi kerja yang dilakukan
akan mempengaruhi kesehatan seseorang (Marmot, 2010).

5.2.5 Hubungan Pendidikan dengan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki


Hasil analisis bivariat hubungan pendidikan dengan tingkat pengetahuan
perawatan kaki pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas dapat
dilihat pada tabel 5.7 berikut :
Tabel 5.7 Hubungan Pendidikan dan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Amplas(n=50)

Tingkat Pengetahuan
Total
Pendidikan Baik Kurang OR p-value
(95% CI)
n % N % n %
Tinggi (>SMA) 8 57,1 6 42,9 14 100 3,03; 0,082
Rendah (≤SMA) 11 30,6 25 69,4 36 100 (0,85-10,83)
Jumlah 19 38,0 31 62,0 50 100

Tabel 5.7 menggambarkan bahwa dari 14 responden yang berpendidikan


tinggi dan memiliki pengetahuan perawatan kaki yang baik sebesar 57,1%. Hasil
persentase menunjukkan bahwa antara responden berpendidikan tinggi memiliki
pengetahuan perawatan kaki lebih baik dibandingkan dengan responden
berpendidikan rendah.

Hal ini sejalandengan hasil penelitian Desalu et al. (2011) bahwa penderita
yang memiliki pendidikan rendah secara signifikan memiliki tingkat pengetahuan
yang rendah.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,082, pada alpha 5%, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
53

pendidikan dengan pengetahuan perawatan kaki pada pasien diabetes melitus tipe
2. Analisis kekuatan hubungan antara dua variabel didapatkan nilai OR = 3,03 (95%
CI = 0,85-10,83) artinya pasien diabetes melitus tipe 2 yang berpendidikan tinggi
berpeluang 3,03 kali untuk memiliki tingkat pengetahuan perawatan kaki baik
dibandingkan dengan pasien berpendidikan rendah.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian Hasnain dan Sheikh (2009) yang
mengatakan bahwa peran pendidikan menunjukkan hubungan statistik
yangsignifikan dengan pengetahuan dan praktek tentang perawatan kaki.
Pengetahuan tentang perawatan kaki yang tepat secara positif dipengaruhi
oleh pendidikan penderita sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi
padakaki. Bijoy et al. (2012) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa
pendidikan secara statistik menunjukkan hubungan yang signifikan dengan
pengetahuan penderita tentang perawatan kaki.
Dalam penelitian ini kurangnya responden yang berpendidikan tingkat
SMA dan perguruan tinggi. Ditemukan masih rendahnya pendidikan responden
dengan tingkat pendidikan sekolah dasar dan ini berpengaruh padasaat pengisian
kuesioner yang belum mengerti maksud dari isi pertanyaan.Pendidikan umumnya
akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalammemahami suatu informasi.
Pendidikan adalah sebuah proses sosialisasi ilmudan nilai untuk mempengaruhi
orang lain secara individu atau kelompok agar mau mengikuti ilmu dan nilai yang
diajarkan seorang pendidik kesehatan. Melalui pendidikan, individu diajarkan
untuk berperilaku sehat. Menurut kesimpulan Diani (2013) pendidikan merupakan
aspek status sosial yang sangat berhubungan dengan status kesehatan karena
pendidikan penting dalam membentuk pengetahuan dan pola perilaku seseorang.

Peneliti setuju dengan hasil penelitian dari peneliti sebelumnya bahwa


tingkat pendidikan berhubungan dengan baik tidaknya pengetahuan perawatan kaki
diabetik. Perbedaan hasil pada penelitian ini mungkin disebabkan karena pada
pasien dengan pendidikan tinggi cenderung lebih memilih fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat lanjut seperti rumah sakit di mana hanya fokus terhadap kuratif
atau penatalaksanaan penyakit, tidak seperti di fasilitas kesehatan tingkat pertama
54

yang mengutamakan promotif dan preventif sehingga orang dengan pendidikan


tinggi tidak mendapatkan pengetahuan tentang perawatan kaki diabetik.

5.2.6 Hubungan Penghasilan dengan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki


Hasil analisis bivariat hubungan penghasilan dengan tingkat pengetahuan
perawatan kaki pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas dapat
dilihat pada tabel 5.8 berikut :
Tabel 5.8 Hubungan Penghasilan dan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Amplas(n=50)

Tingkat Pengetahuan
Total
Penghasilan Baik Kurang OR p-value
(95% CI)
n % n % n %
≥Rp2.132.188,- 11 40,7 16 59,3 27 100 1,29; 0,665
<Rp 2.132.188,- 8 34,8 15 65,2 23 100 (0,41-4,08)
Jumlah 19 38,0 31 62,0 50 100

Tabel 5.8 menggambarkan bahwa dari 27 responden yang berpenghasilan


di atas Rp 2.132.188,- dan memiliki pengetahuan perawatan kaki yang baik sebesar
40,7%. Hasil persentase menunjukkan bahwa antara responden berpenghasilan di
atas Rp 2.132.188,- memiliki pengetahuan perawatan kaki lebih baik dibandingkan
dengan responden berpenghasilan di bawah Rp 2.132.188,-.
Hasil ini sesuai dengan penelitian menurut Desalu et al. (2011) bahwa status
sosial ekonomi lebih tinggi secara signifikan berhubungan dengan perawatan kaki.
Sama halnya dengan penelitian Bijoy et al. (2012) mengatakan bahwa peran
penghasilan menunjukkan hubungan statistik yang signifikan dengan perawatan
kaki, didapatkan 71% pasien berpenghasilan > Rs 10.000 mempunyai pengetahuan
yang baik, sedangkan pasien berpenghasilan < Rs 10.000, 22% berpenghasilan
baik.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,665, pada alpha 5%, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
penghasilan dengan pengetahuan perawatan kaki pada pasien diabetes melitus tipe
2. Analisis kekuatan hubungan antara dua variabel didapatkan nilai OR = 1,29 (95%
55

CI = 0,41-4,08) artinya pasien diabetes melitus tipe 2 yang berpenghasilan di atas


Rp 2.132.188,- berpeluang 1,29 kali untuk memiliki tingkat pengetahuan perawatan
kaki baik dibandingkan dengan pasien berpenghasilan di bawah Rp 2.132.188,-.

5.2.7 Hubungan Lama Menderita DM dengan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki


Hasil analisis bivariat hubungan lama menderita diabetes melitus dengan
tingkat pengetahuan perawatan kaki pada penderita diabetes melitus tipe 2 di
Puskesmas Amplas dapat dilihat pada tabel 5.9 berikut :
Tabel 5.9 Hubungan Lama Menderita DM dan Tingkat Pengetahuan Perawatan
Kaki pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Amplas(n=50)

Tingkat Pengetahuan
Lama Total
Baik Kurang OR p-value
Menderita DM (95% CI)
n % n % n %
≥ 5 tahun 12 36,4 21 63,6 33 100 0,82; 0,740
< 5 tahun 7 41,2 10 58,8 17 100 (0,25-2,71)
Jumlah 19 38,0 31 62,0 50 100

Tabel 5.9 menggambarkan bahwa dari 27 responden yang menderita


diabetes melitus di atas 5 tahun dan memiliki pengetahuan perawatan kaki yang
baik sebesar 36,4%. Hasil persentase menunjukkan bahwa antara responden
yangmenderita diabetes melitus di atas 5 tahun memiliki pengetahuan perawatan
kaki lebih buruk dibandingkan dengan respondenyang menderita diabetes melitus
di bawah 5 tahun.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,740, pada alpha 5%, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama
menderita DM dengan pengetahuan perawatan kaki pada pasien diabetes melitus
tipe 2. Analisis kekuatan hubungan antara dua variabel didapatkan nilai OR = 0,82
(95% CI = 0,25-2,71) artinya pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita diabetes
melitus di atas 5 tahun berpeluang 0,82 kali untuk memiliki tingkat pengetahuan
perawatan kaki baik dibandingkan dengan pasien yang menderita diabetes melitus
di bawah 5 tahun.
56

Diketahui bahwa neuropati dan penyakit perifer merupakan penyebab


utama ulkus diabetik. Hal ini juga sesuai dengan konsep teori, bahwa terjadinya
komplikasi jangka panjang pada yang terjadi diabetes tipe 1 dan 2 biasanya tidak
terjadi dalam 5 sampai 10 tahun pertama. Prevalensi neuropati meningkat
bersamaan dengan pertambahan usia dan lamanya penyakit, angka prevalensi dapat
meningkat 50% pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun
(Smeltzer et al., 2010).

Peneliti setuju dengan hasil penelitian dari peneliti sebelumnya bahwa lama
menderita diabetes melitus berhubungan dengan baik tidaknya pengetahuan
perawatan kaki diabetik. Perbedaan hasil pada penelitian ini mungkin disebabkan
karena penderita walaupun sudah lama menderita namun masih kurang peduli
terhadap penyakitnya dan kurang aktif dalam mencari informasi dan berpartisipasi
dalam kegiatan yang berhubungan dengan diabetes.

5.2.8 Hubungan Keluarga DM dengan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki


Hasil analisis bivariat hubungan riwayat keluarga menderita diabetes
melitus dengan tingkat pengetahuan perawatan kaki pada penderita diabetes melitus
tipe 2 di Puskesmas Amplas dapat dilihat pada tabel 5.10 berikut :

Tabel 5.10 Hubungan Riwayat Keluarga DM dan Tingkat Pengetahuan Perawatan


Kaki pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Amplas(n=50)

Tingkat Pengetahuan
Keluarga Total
Baik Kurang OR p-value
Menderita DM (95% CI)
n % N % n %
Ada 9 33,3 18 66,7 27 100 0,65; 0,461
Tidak ada 10 43,5 13 56,5 23 100 (0,21-2,05)
Jumlah 19 38,0 31 62,0 50 100

Tabel 5.10 menggambarkan bahwa dari 27 responden yang keluarganya ada


riwayat DM dan memiliki pengetahuan perawatan kaki yang baik sebesar 33,3%.
Hasil persentase menunjukkan bahwa antara responden yangkeluarganya ada
57

riwayat DM memiliki pengetahuan perawatan kaki lebih buruk dibandingkan


dengan responden yang keluarganya tidak ada riwayat DM
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,461, pada alpha 5%, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara responden
yang keluarganya ada riwayat DM dengan pengetahuan perawatan kaki pada pasien
diabetes melitus tipe 2. Analisis kekuatan hubungan antara dua variabel didapatkan
nilai OR = 0,65 (95% CI = 0,21-2,05) artinya pasien diabetes melitus tipe 2 yang
keluarganya ada riwayat DM berpeluang 0,65 kali untuk memiliki tingkat
pengetahuan perawatan kaki baik dibandingkan dengan pasien yangkeluarganya
tidak ada riwayat DM.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Amelia (2018) dan Srinivasagam
(2013) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan riwayat DM pada keluarga
dengan pengetahuan pada terjadinya kaki diabetik.

Tingkat pengetahuan pada pasien dengan riwayat keluarga DM bisa


disebabkan oleh bias pengetahuan, karena pasien yang memiliki riwayat keluarga
DM tersugesti bahwa mereka sudah memiliki semua pengetahuan mengenai
penyakit yang dideritanya dan tidak melakukan usaha untuk mencari informasi
lebih lanjut mengenai penyakitnya.

5.2.9 Hubungan Riwayat Kaki Diabetik dengan Tingkat Pengetahuan Perawatan


Kaki
Hasil analisis bivariat hubungan riwayat menderita kaki diabetik dengan
tingkat pengetahuan perawatan kaki pada penderita diabetes melitus tipe 2 di
Puskesmas Amplas dapat dilihat pada tabel 5.11 berikut :

Tabel 5.11 Hubungan Riwayat Kaki Diabetik dan Tingkat Pengetahuan Perawatan
Kaki pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Amplas(n=50)
58

Tingkat Pengetahuan
Riwayat Kaki Total
Baik Kurang OR p-value
Diabetik (95% CI)
n % n % n %
Ada 1 25 3 75 4 100 0,52; 0,577
Tidak ada 18 39,1 28 60,9 46 100 (0,05-5,38)
Jumlah 19 38,0 31 62,0 50 100

Tabel 5.11 menggambarkan bahwa dari 4 responden kaki diabetik dan


memiliki pengetahuan perawatan kaki yang baik sebesar 25%. Hasil persentase
menunjukkan bahwa antara responden kaki diabetik memiliki pengetahuan
perawatan kaki lebih buruk dibandingkan dengan responden yang tidak menderita
kaki diabetik.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0.577, pada alpha 5%, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara responden
kaki diabetik dengan pengetahuan perawatan kaki pada pasien diabetes melitus tipe
2. Analisis kekuatan hubungan antara dua variabel didapatkan nilai OR = 0,52 (95%
CI = 0,05-5,38) artinya pasien dengan kaki diabetik berpeluang 0,52 kali untuk
memiliki tingkat pengetahuan perawatan kaki baik dibandingkan dengan pasien
tanpa kaki diabetik.

Meskipun secara uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan, akan tetapi
secara deskriptif menunjukkan bahwa penderita yang memiliki riwayat kaki
diabetik memiliki tingkat pengetahuan perawatan kaki yang baik.
Sesuai dengan penelitian Putri dkk dari 9 pasien DM dengan luka kaki
diabetic, hanya 1 orang yang memiliki pengetahuan yang baik dari 15 orang yang
mempunyai pengetahuan yang baik. (Putri, 2016)

Pada penelitian ini, tidak adanya hubungan diakibatkan karena terlalu


sedikitnya pasien yang menderita kaki diabetik karena penelitian dilakukan di
Puskesmas yang merupakan sarana kesehatan tingkat pertama, sementara DM
dengan komplikasi khususnya kaki diabetik lebih banyak datang ke poli kesehatan
tingkat lanjutan seperti rumah sakit.
59

5.2.10 Hubungan Penyuluhan dengan Tingkat Pengetahuan Perawatan Kaki


Hasil analisis bivariat hubungan riwayat penyuluhan dengan tingkat
pengetahuan perawatan kaki pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas
Amplas dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut :

Tabel 5.12 Hubungan Riwayat Penyuluhan dan Tingkat Pengetahuan Perawatan


Kaki pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Amplas(n=50)

Tingkat Pengetahuan
Total OR
Penyuluhan Baik Kurang p-value
(95% CI)
n % n % n %
Pernah 4 40 6 60 10 100 1,11; 0,884
Tidak pernah 15 37,5 25 62,5 40 100 (0,27-4,59)
Jumlah 19 38,0 31 62,0 50 100

Tabel 5.12 menggambarkan bahwa dari 10 responden yang pernah


mendapatkan penyuluhan perawatan kakidan memiliki pengetahuan perawatan
kaki yang baik sebesar 40%. Hasil persentase menunjukkan bahwa antara
respondenyang pernah mendapatkan penyuluhan memiliki pengetahuan perawatan
kaki lebih baik dibandingkan dengan responden yang tidak pernah mendapatkan
penyuluhan
Hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0.884, pada alpha 5%, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara responden
yang pernah penyuluhan dengan pengetahuan perawatan kaki pada pasien diabetes
melitus tipe 2. Analisis kekuatan hubungan antara dua variabel didapatkan nilai OR
= 1,11 (95% CI = 0,27-4,59) artinya pasien yang pernah mendapatkan penyuluhan
berpeluang 1,11 kali untuk memiliki tingkat pengetahuan perawatan kaki baik
dibandingkan dengan pasien yang tidak pernah mendapatkan penyuluhan.

Meskipun secara uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan, akan tetapi
secara deskriptif menunjukkan bahwa penderita yang pernah mendapatkan
penyuluhan akan memiliki tingkat pengetahuan perawatan kaki yang baik. Merujuk
pada penelitian ini, terlihat bahwa masih banyak responden yang belum
mendapatkan penyuluhan. Hal ini sama dengan penelitian Ekore et al. (2010)
60

menunjukkan bahwa kurangnya pendidikan atau penyuluhan dari penyedia layanan


kesehatan tentang perawatan kaki.
Hal ini didapatkan data dari penelitian banyaknya responden yang belum
pernah mendapatkan penyuluhan khusus tentang perawatan kaki di puskesmas pada
saat berobat. Tidak adanya penyuluhan ini membuat penderita tidak mengetahui
bahwa perawatan kaki sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi pada
kaki. Disamping itu dalam penelitian ini sebagian responden yang tidak
mendapatkan penyuluhan akan tetapi dapat melakukan tingkat pengetahuan
perawatan kaki dengan baik karena mendapatkan informasi yang diperoleh baik
dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka
pendek sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.
Majunya teknologi dan tersedia bermacam-macam media massa yang bisa
didapat tentang perawatan kaki sebagai sarana komunikasi dengan berbagai bentuk
media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayan orang. Dalam
penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula
pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya
informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi
terbentuknya pengetahuan tentang tingkat pengetahuan perawatan kaki. Informasi
yang memadai dan rasional bagi penyandang diabetes melitus, dari tenaga
pengelola diabetes melitus yang profesional, pengetahuan para penyandang
diabetes melitus mengenai penyakitnya diharapkan akan semakin meningkat dan
akan dapat dihindari adanya berbagai informasi yang kadang malahan
menyesatkan. Dengan pengetahuan yang baik akan dapat diperoleh kepatuhan yang
lebih besar terhadap anjuran pengelola kesehatan terutamaperawatan kaki dan
selanjutnya akan dapat diharapkan hasil pengelolaandiabetes melitus yang
maksimal, berupa pencegahan terjadinya komplikasi kronik diabetes (Waspadji,
2007).
Penyuluhan diperlukan bagi penderita diabetes melitus tipe 2 karena
penyakit diabetes melitus tipe 2 berhubungan dengan perilaku seseorang untuk
berubah.Penyuluhan yang diberikan kepada penderita adalah program edukasi
61

diabetesmelitus tentang perawatan kaki yang merupakan pendidikan dan


pelatihantentang pengetahuan dan tingkat pengetahuan bagi penderita diabetes.
Dari hasil wawancaradengan responden banyak yang mengatakan belum pernah
mendapatkanpenyuluhan tentang perawatan kaki di puskesmas, ketika di
puskesmaspenderitahanya mendapatkan pemeriksaan gula darah dan pengobatan
lanjutan. Namun sebagian ada juga mengatakan mendapatkan informasi tentang
penyakitnya melalui media masa seperti surat kabar atau majalah. Edukasi diabetes
yangdilakukan secara adekuat akan meningkatkan kemampuan penderita
diabetesmelitus tipe 2 untuk melakukan perawatan kesehatan diri secara
konsistensehingga akan tercapai pengontrolan kadar glukosa darah secara optimal
dankomplikasi diabetes melitus dapat diminimalkan (Basuki, 2009).
Tingkat pengetahuan perawatan kaki sangat penting dilakukan pada
kegiatan pelayanankesehatan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dibutuhkan
perubahanperilaku dari penderita dan perlu dilakukan edukasi bagi penderita dan
keluarga untukpengetahuan dan peningkatan motivasi. Hal tersebut dapat
terlaksana denganbaik melalui dukungan tim penyuluh yang terdiri dari dokter,
perawat, ahli gizidan tenaga kesehatan lainnya (Perkeni, 2011). Penyuluhan
kesehatan merupakan proses perubahan yang bertujuan untuk mengubah individu
menujuhal-hal yang positif secara terencana melalui proses belajar. Perubahan
tersebut mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan melalui proses penyuluhan
kesehatan.

Peneliti setuju dengan hasil penelitian dari peneliti sebelumnya bahwa


penyuluhan berhubungan dengan baik tidaknya pengetahuan perawatan kaki
diabetik. Penyuluhan merupakan suatu usaha menyebarkan hal-hal yang baru agar
masyarakat tertarik, berminat, dan bersedia untuk melaksanakannya dalam
kehidupan sehari-hari. (Saparini, 2017) Menurut pengertian tersebut seharusnya
dengan diberikannya penyuluhan kepada pasien maka pengetahuannya akan
semakin baik, memang keberhasilan penyuluhan tidak terlepas dari faktor-faktor,
seperti pemberi informasi yang informatif, adanya media penyuluhan yang
62

menarik, dan pendengar yang kondusif yang mana faktor-faktor tersebut sering
tidak diperhatikan.

5.3 Keterbatasan Penelitian


a. Pengumpulan data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner
tanpamelakukan observasi perilaku. Hal ini dapat saja menimbulkan bias
karenaresponden tidak mengisi sesuai dengan keadaan sebenarnya
ataupunmengalami kesulitan dalam mengisi instrumen. Walaupun peneliti
telahmelakukan penjelasan sebelum penelitian (informed consent) akan
tetapi haltersebut tidak menutup kemungkinan masih saja dapat terjadi.
Dalampenelitian ini peneliti melakukan kriteria penilaian pengetahuan
berdasarkannilai rata-rata dari penelitian sehingga cut of point rendah. Oleh
karena itu untuk penelitian selanjutnya digunakan kriteria penilaian
pengetahuan sesuai standar yang ditetapkan berdasarkan teori-teori bukan
dari hasil penelitian.
b. Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari tiga point,
berdasarkan variabel yang diteliti yaitu karakteristik responden,
pengetahuan dan tingkat pengetahuan perawatan kaki. Banyaknya jumlah
kuesionerpenelitian ini sehingga pengisian tidak fokus, dan banyak
responden yangmeminta peneliti untuk dibacakan. Instrumen pengetahuan
merupakanpengembangan dari instrumen Diabetes Foot Care Knowledge
Scale(DFKS) yang dikembangkan oleh Shiu & Wong (2011) terdapat 65
poin yang terdiri atas 14 pertanyaan.
63

BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

Bagian ini merupakan bagian akhir dari laporan hasil penelitian mencakup
simpulan hasil pembahasan yang berkaitan dengan upaya menjawab tujuan dan
hipotesis penelitian. Serta beberapa saran peneliti berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan.

6.1 Simpulan
a. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan pengetahuan
perawatan kaki pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas
Medan.
b. Penelitian yang dilakukan memberikan gambaran bahwa klien Diabetes
Melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas Medan dengan fokus masalah
pengetahuan tentang perawatan kaki sebagian besar baik. Penderita mayoritas
berusia lebih dari 55 tahun berjenis kelamin terbanyak laki-laki, lamanya
menderita diabetes melitus yang lebih dari 5 tahun sebagian besar sudah
menikah, berpendidikan rendah. Sebagian besar klien bekerja dengan
berpenghasilan lebih dari Rp. 2.132.188,-.Sedangkan kebanyakan klien tidak
pernah mendapatkan penyuluhan.
c. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan tingkat
pengetahuan perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas
Amplas.
d. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat pernikahan dengan
tingkat pengetahuan perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 di
Puskesmas Amplas.
e. Tidak ada hubungan Pekerjaan dengan tingkat pengetahuan perawatan kaki
pada klien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas.
f. Tidak ada hubungan pendidikan dengan tingkat pengetahuan perawatan kaki
pada klien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas.
g. Tidak ada hubungan penghasilan dengan tingkat pengetahuan perawatan kaki
pada klien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas.
64

h. Tidak ada hubungan lama diabetes melitus dengan tingkat pengetahuan


perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas.
i. Tidak ada hubungan riwayat penggunaan obat dengan tingkat pengetahuan
perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas.
j. Tidak ada hubungan riwayat keluarga DM dengan tingkat pengetahuan
perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas.
k. Tidak ada hubungan riwayat kaki diabetik dengan tingkat pengetahuan
perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas.
l. Tidak ada hubungan penyuluhan perawatan kaki dengan tingkat pengetahuan
perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Amplas.

6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, peneliti menyarankan perlu
ditingkatkan upaya pengetahuan perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2
yang bersifat preventif, sebagai berikut :
1. Dilaksanakan program kegiatan pendidikan kesehatan (Health Education)
yang terencana, terorganisir dan berkesinambungan yang ditujukan kepada
klien diabetes melitus atau keluarganya khususnya mengenai pengetahuan
ulkus diabetik selain itu juga tentang diet diabetes melitus, aktivitas atau
latihan, obat hipoglikemik oral, pemberian insulin, dan lain sebagainya.
2. Disediakan tempat dan jadwal khusus untuk memberikan kesempatan
kepada klien diabetes melitus atau keluarga untuk berkonsultasi mengenai
perawatan kaki di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Dilakukan pemeriksaan kaki melalui visual inspection setiap kali kunjungan
berobat atau pemeriksaan lengkap setiap tahun untuk mendeteksi adanya
neuropati atau faktor resiko terjadinya ulkus diabetik.
4. Klien supaya selalu mematuhi apa yang disarankan oleh oleh tenaga
kesehatan dalam merawat kesehatan dirinya terutama tentang perawatan
kaki selain memonitor kadar glukosanya secara rutin, penyesuaian diet,
keteraturan aktivitas dan kunjungan berobat.
65

5. Keluarga supaya selalu memberikan dukungan kepada klien untuk selalu


mematuhi apa yang disarankan oleh tenaga kesehatan agar klien tetapsehat
meskipun mengalami diabetes melitus.
6. Terdapatnya penyuluhan yang disertai dengan simulasi bagi pasien
mengenai perawatan kaki diabetik sehingga pasien dapat mengalami secara
langsung dan dapat mempraktekannya sendiri di rumah dengan baik.

6.2.1 Penelitian Selanjutnya


Pada penelitian ini dapat dijadikan dasar informasi untuk penelitian
selanjutnya khususnya yang berkaitan dengan prevensi terjadinya komplikasi kaki
diabetik pada responden diabetes melitus dan keluarga penekanan tentang observasi
praktik preventif, tidak sekedar pengisian data kuesioner.
66

DAFTAR PUSTAKA
1. Adib, M, 2011, Pengetahuan Praktis Ragam Penyakit Mematikan yang
Paling Sering Menyerang Kita. Jogjakarta: Buku Biru.
2. Almasdy, D, Sari, DP, Suharti, Darwin, D, Kurniasih,N, 2015, ‘Evaluasi
Penggunaan Obat Antidiabetik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 di Suatu
Rumah Sakit Pemerintah Kota Padang – Sumatera Barat’, Jurnal Sains
Farmasi & Klinis, Vol. 2, No. 1, hh. 104-10
3. Amelia, Y, Dian, L, Epit, M, Muiroh, M, Udiono, A, 2018, ‘Hubungan
pengetahuan, Dukungan Keluarga serta Perilaku Penderita DM Tipe 2
terhadap kejadian Ulkus Diabetik’, Jurnal Kesehatan Masyarakan (E-
Journal), Vol 6, No. 1, hh 349-59.
4. Anas R 2014,’Perawatan Kaki Pada Penderita Diabetes Militus Di
Rumah,’Jurnal Permata Indonesia, Vol 5, No 2, hh. 49-54.
5. Bijoy C.V., Feba B., Vikas R.C., Dhandapani C., Geetha K., Vijayakumar A.,
2012, ‘Knowledge Assessment and Patient Counseling on Diabetic Foot Care’,
Indian Journal of Pharmacy Practice, Vol. 5 No.2, hh. 11-5.
6. Diani, N 2013,‘Pengetahuan dan Praktik Perawatan Kaki Pada Penderita
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Kalimantan Selatan,’ Universitas Indonesia.
7. Dora S, 2012, ‘Gambaran Perawatan Kaki Dan Sensasi Sensorik Kaki Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Dm RSUD,’Skripsi,Universitas
Padjadjaran, Badung, Program Studi Ilmu Keperawatan.
8. Fajriyah, NN, Aktifa, N, Faradisi, F, 2017, ‘Hubungan Lama Sakit Diabetes
Melitus dengan Pengetahuan Perawatan Kaki pada Pasien Diabetes Melitus
Non Ulkus’, Universitas Muhammadiyah Magelang, URECOL, hh. 15-20
9. Fatimah, RN 2015, ‘Diabetes Melitus Tipe 2’, Majority Journal, vol. 4, no. 5,
hh. 93-101.
10. Hariani L, Perdanakusuma D 2012,‘Perawatan Ulkus Diabetes’. Thesis.
Universitas Airlangga, Surabaya. Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis
Ilmu Bedah Plastik.
11. Hidayah A 2012,’Tingkat Pengetahuan pasien Diabetes Melitus tentang resiko
terjadinya Ulkus Kaki Diabetes di Poli Klinik Penyakit dalam Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan,’ Skripsi, Universitas Sumatera Utara,
Medan, Program Studi Pendidikan Dokter.
12. Josten, S, Mutmainnah, Hardjoeno 2018, ‘Profil Lipid penderita Diabetes
Melitus Tipe 2’,Indonesianjournal of clinical pathology and medical
laboratory, vol. 13. no. 1, hh. 20-22.
13. Kekenusa, JS, Ratag, B, Wuwungan, G, 2013, ‘ Analisis Hubungan antara
Umur dan Riwayat Keluarga Menderita DM dengan Kejadan Penyakit DM
Tipe 2 pada pasien Rawat Jalan di Poliklinik Penyakit Dalam BLU RSUP Prof.
Dr. R.D Kandou Manado’, Skripsi, Universitas Sam Ratulangi Manado,
Manado, Fakultas Kesehatan Masyarakat.
67

14. Lapau, B 2012, ‘Metode Penelitian Kesehatan : Metode Ilmiah


Penulisan‘,Skripsi, Tesis, dan Disertasi, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
15. Liu, H, Waite, L, Shen, S, 2016, ‘Diabetes Risk and Disease Management in
Later Life : A National Longitudinal Study of The Role of Marital Quality’,
Journals of Gerontology : Social Sciences, Vol. 71, No. 6, hh. 1070-80.
16. Magalhaes, F, Patricia, A, Oliveira, G, 2016, ‘Differences Between Genders in
Relation to Factors Associated With Risk of Diabetic Foot in Elderly Persons
: A Cross-Sectional Trial’, Journal of Clinical & Translational Endocrinology,
Vol. 6, hh. 30-6.
17. Miftaful U 2012,’Hubungan Perawatan Kaki Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
Dengan Kejadian Ulkus Diabetik Di RSUD Dr. Moewardi’,Skripsi,
Universitas Muhamaddiyah Surakarta, Surakarta, Program Studi Pendidikan
Dokter.
18. Nurul A 2010,‘Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Ulkus Diabetik di
RSUP Kariadi Semarang’, KTI, Universitas Diponegoro, Semarang, Program
Studi Pendidikan Dokter .
19. Notoadmodjo, S 2012, ‘Metode Penelitian Kesehatan,’ Jakarta, Rineka Cipta.
20. Notoadmodjo, S 2010. ‘Ilmu Perilaku Kesehatan.’ Jakarta,Rineka Cipta.
21. Okatiranti, 2013, ‘Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Tentang
Perawatan Kaki di Wilayah Kerja Puskesmas Cikutra Baru Kecamatan
Cibeunying Kaler Bandung’, Jurnal Ilmu Keperawatan, Vol.1 No.1, hh 19-24.
22. PERKENI 2015. ‘Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus
tipe 2 di Indonesia’, Jakarta, PB PERKENI.
23. Rina B 2015,‘Faktor-Faktor Resiko Kejadian Kaki Diabetes pada penderita
DM tipe 2,’ Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang, Program Studi
Pendidikan Dokter.
24. Saparini, D, 2017, ‘Pengaruh Penyuluhan tentang Hipertensi terhadap
Tingkat Kecukupan Kalium, Natrium, Cairan dan Tekanan Darah, pada
Penderita Hipertensi di Puskesmas Pringsurat Kabupaten Temanggung’,
Skripsi, Universitas Muhammadiyah Semarang, Fakultas Keperawatan.
25. Siti S, Alwi I 2013,’Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VII’, Interna
Publishing, Jakarta.
26. Shiu, A.T-Y., &Wong, R.Y-M, 2011. ‘Diabetes Foot Care Knowledge : a
Survey of Registered Nurses,’ Blackwell Publishing Ltd, Journal of Clinical
Nursing, Vol 20, hh. 2367-2370.
27. Simatupang, M, Pandelaki, K, Panda, AL 2013, ‘Hubungan antara Penyakit
Arteri Perifer dengan Faktor Resiko Kardiovaskular pada Pasien DM tipe 2’,
Jurnal e-Clinic (eCI), vol. 1, no. 1,,hh. 7-12.
68

28. Sugiyono 2012. ‘Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods),‘Bandung,


Alfabeta.
29. Simatupang, M, Pandelaki, K, Panda, AL 2013, ‘Hubungan antara Penyakit
Arteri Perifer dengan Faktor Resiko Kardiovaskular pada Pasien DM tipe 2’,
Jurnal e-Clinic (eCI), vol. 1, no. 1,,hh. 7-12.
30. Washilah, W (2014). Hubungan lama menderita diabetes dengan
pengetahuan pencegahan ulkus diabetik di Puskesmas Ciputat (Skripsi).
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta.
69

Lampiran 1 : Kuesioner Karakteristik Responden

Petunjuk Pengisian : Isilah pertanyaan berikut dan berikan tanda check list (√) pada
jawaban yang sesuai.

A. Karakteristik responden
1. Inisial :
2. Usia : tahun
3. Status pernikahan :
4. Jenis Kelamin : L/P
5. Lama menderita Diabetes Melitus : tahun
6. Riwayat penggunaan obat :
7. Riwayat keluarga menderita DM :
8. Riwayat menderita kaki diabetik sebelumnya :
9. . Pendidikan :
 Tidak Sekolah  SMA/MA
 SD/ MI  Akademi/PT
 SMP/MTs

10. Pekerjaan :
 Tidak Bekerja  Swasta, sebutkan…………
 Buruh  PNS/TNI/POLRI
 Petani  Lain-lain………….............
 Pedagang

11. Berapa rata-rata pendapatan perbulan


 < Rp. 2.132.188
 ≥ Rp. 2.132.188

12.Pernah mendapatkan penyuluhan tentang perawatan kaki


 Ya, sebutkan oleh……………………………………………
 Tidak
70

Lampiran 2 : Kuesioner Pengetahuan Perawatan Kaki

Petunjuk : Berilah tanda check list (√) pada kolom Benar atau Slah sesuai dengan
pilihan Bapak/Ibu/Saudara(i) ketahui berkaitan dengan perawatan kaki.

No Pertanyaan Benar Salah


1 Berapa kali Bapak/Ibu/Saudara(i) harus memeriksa kaki ?
 Setiap hari
 Dua kali seminggu
 Lebih sering jika ketidaknyamanan atau rasa sakit dirasakan
diseluruh kaki
 Setelah memakai sepatu
 Permintaan dokter untuk melakukan hal tersebut disetiap
konsultasi
2 Apakah yang harus Bapak/Ibu/Saudara(i) perhatikan ketika
Bapak/Ibu/Saudara(i) memeriksakan kakinya?
 Memeriksa area kaki termasuk telapak kaki, sela-sela jari kaki,
bagian kaki depan, dan tumit
 Memeriksa setiap retakan kaki, lecet, kutil
 Setiap adanya luka
 Setiap adanya perubahan warna, misalnya memar, kebiruan
 Setiap adanya bengkak
 Setiap adanya perubahan suhu
3 Tentang cara pemotongan kuku kaki
 Memotong tiap sudut kuku kaki
 Tidak memotong kuku kaki untuk menghindari luka
 Memotong kuku kaki dengan lurus
 Memotong kuku kaki sependek mungkin
4 Pada bagian mana dari kaki yang tidak tepat atau tidak boleh
diberikan pelembab?
 Telapak kaki
 Tumit
 Sela-sela jari kaki
 Permukaan/punggung kaki
5 Apa yang harus dilakukan jika Bapak/Ibu/Saudara(i) memiliki
kutil pada kaki?
 Menggunakan plester kutil
 Rendam kaki di air dan potong kutil dengan gunting
 Pergi ke ahli kecantikan
 Menggunakan batu apung
 Menggunakan sepatu yang lebih baik
71

No Pertanyaan Benar Salah


6 Apabila terjadi luka ringan pada kaki, apa yang harus
Bapak/Ibu/Saudara(i) gunakan untuk mengobati luka tersebut?
 Menggukan merkurokrom/ obat merah
 Menggunakan obat ramuan tradisional
 Memakai alcohol khusus bedah
 Menggunakan cairan antiseptik seperti sabun
 Menggunakan cairan NaCl atau cairan infus.
7 Apa yang harus digunakan Bapak/Ibu/Saudara(i) untuk menjaga
kaki tetap hangat di musim dingin?
 Selimut listrik
 Botol air panas
 Baskom berisi air panas
 Kaos kaki berbahan katun atau wol
8 Apa yang harus dilakukan Bapak/Ibu/Saudara(i) jika merasa
sakit pada kaki?
 Menggunakan plester herbal
 Menggunakan air panas atau mencuci kaki dengan air jahe
 Menggunakan obat tradisional
 Berkonsultasi ke ahli perawatan kaki, perawat diabetes atau
dokter
9 Jenis kaos kaki seperti apa yang sesuai untuk
Bapak/Ibu/Saudara(i)?
 Katun
 Sintetis
 Wol
 Nylon
10 Jenis sepatu yang tepat untuk digunakan Bapak/Ibu/Saudara(i)?
 Sepatu yang terbuka bagian atas dan depannya
 Sepatu olahraga
 Sepatu dengan tumit tinggi
 Sepatu sendal
11 Bagaimana Bapak/Ibu/Saudara(i) memilih sepatu agar sesuai
dengan kaki?
 Membeli sepatu di pagi hari
 Meminta teman atau anak untuk membelikan sepatu
 Bentuk ujung sepatu yang datar dan sempit
 Panjang sepatu setidaknya harus 1,5 cm lebih panjang dari
kaki
72

No Pertanyaan Benar Salah


12 Apa faktor risiko untuk ulkus kaki?
 Kulit yang pecah-pecah
 Kapalan/kallus tebal
 Luka bakar
 Teknik pemotongan kuku yang salah/sembarangan
 Menggunakan benda tajam untuk memotong kutil
 Memakai alcohol bedah di antara jari-jari kaki
13 Pada kondisi seperti apa Bapak/Ibu/Saudara(i) harus membuat
janji dengan ahli perawatan kaki/podiatris?
 Pada pertumbuhan kuku kaki
 Tumpal/kalus yang menebal
 Masalah dalam memilih sepatu
 Masalah dalam perawatan kaki
 Adanya luka ulkus pada kaki baru-baru ini, muncul dan harus
disembuh pada saat ini
14 Pada kondisi seperti apa Bapak/Ibu/Saudara(i) harus
berkonsultasi dengan dokter atau ahli perawatan kaki/podiatris?
 Luka yang membengkak atau bernanah
 Tidak ada perbaikan setelah merawat sendiri luka selama 3
hari
 Perubahan warna kaki, misalnya berubah menjadi hitam
 Setelah membeli sepasang sepatu baru

Sumber : Modifikasi Ghiu & Wonh (2011)

Anda mungkin juga menyukai