Anda di halaman 1dari 25

CBD MODUL 7

Bedah Minor dan Kegawatdaruratan Gigi & Mulut

“DIABETES MELLITUS TIPE 1”

Oleh

TIFANI DWI AGUSTIN


19100707360804157

Pembimbing :

drg. Andries Pascawinata, MDSc, Sp. BM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ”Diabetes

Melitus Tipe 1” untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan

kepaniteraan klinik modul 7 (Bedah minor & Kegawatdaruratan Gigi & Mulut)

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari, bahwa semua proses

yang telah dilalui tidak lepas dari bimbingan drg. Andries Pascawinata, MDSc,

Sp. BM selaku dosen pembimbing, serta bantuan dan dorongan yang telah

diberikan berbagai pihak lainnya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih

kepada semua pihak yang telah membantu.

Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna

sebagaimana mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya,

karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca.

Akhir kata penulis mengharapkan Allah SWT melimpahkan berkah-Nya

kepada kita semua dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat serta dapat

memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang

membutuhkan.

Penulis

i
HALAMAN PENGESAHAN

Telah didiskusikan CBD “Diabetes Melitus Tipe 1” guna melengkapi


persyaratan Kepaniteraan Klinik pada Modul 7.

Padang, 25 Juni 2021


Disetujui Oleh
Dosen Pembimbing

(drg. Andries Pascawinata, MDSc

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) adalah kelainan yang bersifat kronis ditandai dengan

gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang disebabkan defisiensi

insulin baik absolut dan atau relatif. Defisiensi insulin absolut biasanya

didapatkan pada pasien diabetes mellitus tipe-1. Hal ini disebabkan adanya

kerusakan sel pankreas yang progresif sehingga insulin tidak dapat disintesis oleh

kelenjar pankreas. Defisiensi insulin relatif ditemukan pada pasien DM tipe-2

dikarenakan kurang efektifnya pemakaian insulin didalam tubuh.

Diabetes mellitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikimia kronik akibat gangguan sekresi insulin, kerja insulin,

atau keduanya, yang menurunkan kerja insulin pada jaringan target, sehingga

terjadi kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Berdasarkan

penyebabnya, DM dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu DM tipe-1, DM

tipe-2, DM tipe lain, dan diabetes dalam kehamilan atau gestasional.

Diabetes Mellitus (DM) tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya

gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik akibat

kerusakan destruksi sel β pankreas baik oleh karena proses autoimun maupun

idiopatik, sehingga produksi insulin berkurang bahan terhenti.

1
Diabetes mellitus tipe-1 merupakan salah satu penyakit kronik yang sampai

saat ini belum disembuhkan, tetapi upaya kontrol metabolik dengan baik dan

optimal dapat mempertahankan perkembangan dan pertumbuhan normal serta

mencegah komplikasi. Beberapa komponen penting yang harus terintegrasi untuk

kontrol metabolik dengan baik adalah pemberian insulin berkesinambungan,

dengan pengaturan diet, olahraga, edukasi, serta pemantauan kesehatan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Diagnosis

Diabetes Mellitus (DM) tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat

terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh

hiperglikemia kronik akibat kerusakan destruksi se β pankreas baik oleh

karena proses autoimun maupun idiopatik, sehingga produksi insulin

berkurang bahkan terhenti.

Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu

kriteria berikut :

1. Gejala klinis poliuria, polidipsi, nokturia, enuresis, penurunan

berat badan, polifagi, dan kadar glukosa plasma sewaktu (GDS)

≥ 200 mg/ dL (11,1 mmol/L)

2. Kadar glukosa plasma puasa (GDP) ≥ 126 mg/dL (7 mmol/L).

Puasa adalah tidak ada asupan kalori selama 8 jam terakhir.

3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/ dL (11,1 mmol/L) pada jam

ke-2 TTGO (tes toleransi glukosa oral). TTGO dilakukan

dengan pemberian beban glukosa setara 75 g anhydrous yang

dilarutkan dalam air atau 1,75 g/ kgBB dengan maksimum

pemberian glukosa 75 g.

3
4. HbA1c (glycosylated hemoglobin) > 6,5%. Penanda ini harus

sesuai standar National Glycohemoglobin Standardization

Program (NSPG) pada laboratorium yang bersertifikasi dan

terstandar dengan assay Diabetes Control and Complications

Trial (DCCT).

Ditemukannya satu atau lebih autoantibodi yang berkaitan dengan DM

membantu konfirmasi diagnosis DM tipe-1, misalnya glutamicacid

decarboxylase 65 autoantibodies (GAD); tyrosine phosphatase-like

insulinoma antigen 2 (IA2); insulin autoantibodies (IAA); dan β-cell-specific

zinc transporter 8 autoantibodies (ZnT8). Selain itu, pemeriksaan C-peptide

<0,2 nmol/L (puasa <0,08 nmol/L) berhubungan dengan diagnosis DM tipe-1

2.2 Epidemiologi

Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di

dalam suatu negara. Insidens tertinggi di Finlandia dengan 43 per

100.000 anak per tahun dan terendah di Jepang dengan 1,5-2 per 100.000

anak per tahun pada anak di bawah usia 15 tahun. Insidens DM tipe-1

tertinggi pada ras Eropa Kaukasian dibandingkan ras lainnya.

Insidens DM tipe-1 pada anak di Indonesia tidak diketahui pasti

karena sulitnya pendataan nasional. Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak

Indonesia (IDAI) pada tahun 2018, tercatat 1.220 anak penyandang DM

tipe-1 di Indonesia; 38 kasus anak dirawat di RSUP Haji Adam Malik

Medan periode 2012- 2016, dengan rentang usia terbanyak pada

kelompok usia 12-17 tahun.

4
2.3 Etiologi

Diabetes mellitus tipe-1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas

yang diperantari berbagai faktor. Faktor genetik dan dipicu oleh faktor

lingkungan diduga sebagai penyebab terjadinya proses autoimun yang

menyebabkan destruksi sel beta pankreas. Onset diabetes mellitus tipe-1

biasanya terjadi sebelum usia 25-30 tahun. Beberapa faktor lingkungan yang

diduga memicu terjadinya diabetes mellitus tipe-1 antara lain infeksi virus

(rubela kongenital, mumps, dan sitomegalovirus), radiasi ataupun makanan.

(Rustama, 2010)

2.4 Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe-1

Diabetes Mellitus tipe-1 terjadi karena gangguan produksi insulin akibat

kerusakan sel β pankreas. Patofisiologisnya yakni adanya reaksi autoimun

akibat perdangan pada sel β. Hal ini menyebabkan timbulnya antibodi

terhadap sel β yang disebut ICA (Islet Cell Antibody) Reaksi antigen (sel β)

dengan antibodi ICA yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel β.

Selain karena autoimun, diabetes mellitus tipe 1 juga bisa disebabkan oleh

virus cocksakie, rubella, citomegalo virus (CMV), herpes dan lain-lain. Pada

penderita diabetes tipe 1 umunya terdiagnosa pada usia muda. Diabetes tipe 2

terjadi oleh karena kerusakan molekul insulin atau gangguan reseptor insulin

untuk mengakibatkan kegagalan fungsi insulin untuk mengubah glukosa

menjadi energi.

2.5 Terapi Diabetes Mellitus tipe-1

5
Hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa DM tipe-1 tidak

dapat disembuhkan. Tujuan utama terapi DM tipe-1 adalah mencapai

kontrol metabolik optimal, mempertahankan perkembangan dan

pertumbuhan normal, mencegah komplikasi, serta membantu psikologi

anak dan keluarga. Kontrol metabolik yang baik adalah mengusahakan

kadar glukosa darah dalam batas normal atau mendekati nilai normal,

tanpa menyebabkan hipoglikemia. Walaupun masih dianggap ada

kelemahan, parameter HbA1c merupakan parameter kontrol metabolik

standar pada DM.5 Berdasarkan rekomendasi International Society for

Paediatric and Adolescent Diabetes (ISPAD) target HbA1c <7% sebagai

target kontrol metabolik yang baik.

Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, komponen pengelolaan DM

tipe-1 terdiri dari lima pilar meliputi pemberian insulin, nutrisi, olahraga, dan

edukasi, didukung pemantauan mandiri; seluruh komponen harus terintegrasi.

Pengelolaan DM tipe-1 pada anak sebaiknya dilakukan terpadu oleh tim yang

terdiri dari ahli endokrinologi anak, dokter anak, ahli gizi, psikiatri, psikologi

anak, pekerja sosial, dan edukator. Kerjasama yang baik akan lebih menjamin

tercapainya kontrol metabolik yang baik.

1. Insulin

a. Jenis Insulin

Insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup anak

DM tipe-1. Tujuan terapi insulin adalah menjamin kadar insulin

cukup di dalam tubuh selama 24 jam untuk memenuhi

6
kebutuhan metabolisme sebagai insulin basal ataupun bolus

sesuai efek glikemik dari makanan.

b. Regimen Insulin

Terapi insulin dapat menggunakan berbagai regimen.

Regimen insulin bersifat individual bertujuan untuk mengikuti

pola fisiologi sekresi insulin normal, sehingga mampu

menormalkan metabolisme glukosa atau mendekati normal.

Pemilihan regimen insulin memperhatikan beberapa faktor,

yaitu: umur, lama menderita DM, gaya hidup (pola makan,

jadwal latihan, sekolah), target kontrol metabolik, dan kebiasaan

individu ataupun keluarganya. Tiga jenis regimen insulin dalam

penanganan DM tipe-1, yaitu sistem konservatif, sistem intensif,

dan sistem basal-bolus. Sistem konservatif adalah pemberian

insulin 2 atau 3 kali per hari dengan pemantauan kadar gula

darah yang tidak rutin, kontrol ke dokter setiap 3 bulan, dan

tidak dapat mengubah dosis insulin. Sistem intensif berarti

pemberian insulin minimal 4 kali sehari dengan pemantauan

glukosa darah minimal 4 kali sehari. Sistem basal-bolus adalah

pemberian insulin kerja panjang atau kerja menengah sebelum

tidur malam (komponen basal) atau pompa insulin dan

pemberian insulin kerja pendek setiap kali sebelum makan.

Dosis komponen basal 30%-40% dari total dosis insulin per hari

dan sisanya dibagi rata untuk komponen bolus. Regimen yang

7
disarankan berdasarkan DCCT adalah regimen basa-bolus

karena paling menyerupai sekresi insulin fisiologis.

Dosis insulin harian, tergantung pada: umur, berat badan, status pubertas,

lama penyakit, fase diabetes, asupan makanan, pola olahraga, aktivitas harian,

hasil monitoring glukosa darah, dan HbA1c, serta ada tidaknya komorbiditas.

Dosis insulin (empiris), yaitu:

 Dosis selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin <0,5

IU/kg/ hari.

 Prepubertas (diluar fase remisi parsial) dalam kisaran dosis 0,7-1

IU/kg/hari.

 Selama pubertas kebutuhan biasanya meningkat menjadi 1,2–2

IU/kg/hari. Saat ini, regimen dengan pompa insulin (CSII=

continoius subcutaneous insulin infusion) populer di negara maju

karena yang paling mendekati kebutuhan insulin fisiologis, terbukti

aman, efektif, mencapai kontrol metabolik yang baik, serta efek

8
samping episode hipoglikemia minimal. Saat ini CSII belum tersedia

secara luas di Indonesia.

Berdasarkan data registri UKK Endokrinologi IDAI pada Oktober

2018, pengguna regimen insulin konservatif, intensif, dan CSII secara

berturut-turut adalah 52,9%, 46,3%, dan 0,7%.

c. Penyesuaian Dosis Insulin


Bertujuan untuk mencapai kontrol metabolik optimal dengan

pengaturan dosis insulin fleksibel. Penyesuaian dosis insulin bolus

dengan memperhitungkan rasio insulin boluskarbohidrat, yaitu dengan

memperhitungkan rasio dosis insulin bolus harian dengan total

karbohidrat harian. Koreksi hiperglikemia dapat dilakukan dengan rumus

1800 bila menggunakan insulin kerja cepat, dan rumus 1500 bila

menggunakan insulin kerja pendek. Angka 1800 atau 1500 dibagi dengan

insulin total harian hasilnya dalam mg/dL, artinya 1 unit insulin akan

menurunkan kadar glukosa darah sebesar hasil pembagian tersebut dalam

mg/dL.

Pada saat sakit, dosis insulin perlu disesuaikan dengan asupan

makanan tetapi jangan menghentikan insulin, karena dapat meningkatkan

lipolisis dan glikogenolisis sehingga kadar glukosa darah meningkat dan

pasien rentan menderita KAD. Pada perjalanan penyakitnya, DM tipe-1

sering ditandai dengan fase remisi (honeymoon period), yaitu sering

mengalami serangan hipoglikemia sehingga kebutuhan insulin harus

dikurangi bahkan pada beberapa kasus metabolik terkontrol tanpa insulin.

Dosis insulin perlu disesuaikan untuk menghindari serangan

9
hipoglikemia dengan dosis lebih rendah dari terapi inisial (0,3

IU/kg/hari).

2. Nutrisi

Bertujuan untuk mencapai kontrol metabolik yang baik tanpa

mengabaikan kalori yang dibutuhkan untuk metabolisme basal,

pertumbuhan, pubertas, ataupun aktivitas sehari-hari. Dengan pengaturan

makan ini, diharapkan anak dapat tumbuh optimal dengan berat badan

ideal dan mencegah hipoglikemia.

Kebutuhan kalori per hari dapat dihitung berdasarkan berat badan

ideal dan kecukupan kalori yang dianjurkan berdasarkan usia tinggi.

Komposisi kalori yang dianjurkan adalah 50%-55% dari karbohidrat,

15%- 20% berasal dari protein, dan 25%-35% dari lemak. Bukti klinis

menganjurkan setiap individu mengonsumsi 45%-50% energi dari

karbohidrat dan mencapai kontrol glikemik postprandial optimal dengan

insulin yang sesuai dengan rasio insulin-karbohidrat.

3. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik dan olahraga merupakan bagian dari kehidupan

termasuk anak, baik dengan DM tipe-1 maupun tidak. Olahraga pada

DM tipe-1 dapat membantu meningkatkan perasaan ‘sehat’,

membantu menurunkan dan mengontrol berat badan, menurunkan

kadar gula darah, meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga dapat

mengurangi kebutuhan insulin.

Petunjuk mengenai beberapa penyesuaian diet, insulin, dan cara

monitoring gula darah agar aman berolahraga bagi anak DM tipe-1.

10
2.6 Manifestasi Diabetes Mellitus terhadap Kesehatab Rongga Mulut

1. Xerostomia (Mulut Kering)

Diabetes yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan aliran saliva

(air liur), sehingga mulut terasa kering. Saliva memiliki efek self-

cleansing, di mana alirannya dapat berfungsi sebagai pembilas sisa-sisa

makanan dan kotoran dari dalam mulut. Jadi bila aliran saliva menurun

maka akan menyebabkan timbulnya rasa tak nyaman, lebih rentan untuk

terjadinya ulserasi (luka), lubang gigi, dan bisa menjadi ladang subur

bagi bakteri untuk tumbuh dan berkembang.

Berdasarkan literatur yang didapatkan bahwa pada penderita diabetes

salah satu tandanya adalah Poliuria, dimana penderita banyak buang air

kecil sehingga cairan di dalam tubuh berkurang yang dapat

mengakibatkan jumlah saliva berkurang dan mulut terasa kering,

sehingga disarankan pada penderita untuk mengkonsumsi buah yang

asam sehingga dapat merangsang kelenjar air liur untuk mengeluarkan air

liur.

2. Gingivitis dan Periodontitis

Periodontitis ialah radang pada jaringan pendukung gigi (gusi

dan tulang). Selain merusak sel darah putih, komplikasi lain dari

diabetes adalah menebalnya pembuluh darah sehingga

memperlambat aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh. Lambatnya

aliran darah ini menurunkan kemampuan tubuh untuk memerangi

infeksi, Sedangkan periodontitis adalah penyakit yang disebabkan

11
oleh infeksi bakteri. Dan hal ini menjadi lebih berat dikarenakan

infeksi bakteri pada penderita Diabetes lebih berat.

Ada banyak faktor yang menjadi pencetus atau yang

memperberat periodontitis, di antaranya akumulasi plak, kalkulus

(karang gigi), dan faktor sistemik atau kondisi tubuh secara umum.

Rusaknya jaringan Periodontal membuat gusi tidak lagi melekat ke

gigi, tulang menjadi rusak, dan lama kelamaan gigi menjadi goyang.

Angka kasus penyakit periodontal di masyarakat cukup tinggi meski

banyak yang tidak menyadarinya, dan penyakit ini merupakan

penyebab utama hilangnya gigi pada orang dewasa.

Dari seluruh komplikasi Diabetes Melitus, Periodontitis

merupakan komplikasi nomor enam terbesar di antara berbagai

macam penyakit dan Diabetes Melitus adalah komplikasi nomor satu

terbesar khusus di rongga mulut. Hampir sekitar 80% pasien

Diabetes Melitus gusinya bermasalah. Tanda-tanda periodontitis

antara lain pasien mengeluh gusinya mudah berdarah, warna gusi

menjadi mengkilat, tekstur kulit jeruknya (stippling) hilang, kantong

gusi menjadi dalam, dan ada kerusakan tulang di sekitar gigi, pasien

mengeluh giginya goyah sehingga mudah lepas.

Menurut teori yang didapatkan hal tersebut diakibatkan

berkurangnya jumlah air liur, sehingga terjadi penumpukan sisa

makanan yang melekat pada permukaan gigi dan mengakibatkan gusi

menjadi infeksi dan mudah berdarah.

3. Stomatitis Apthosa (Sariawan)

12
Meski sariawan biasa dialami oleh banyak orang, namun

penyakit ini bisa menyebabkan komplikasi parah jika dialami oleh

penderita diabetes. Penderita Diabetes sangat rentan terkena infeksi

jamur dalam mulut dan lidah yang kemudian menimbulkan penyakit

sejenis sariawan.

Sariawan ini disebabkan oleh jamur yang berkembang seiring

naiknya tingkat gula dalam darah dan air liur penderita diabetes.

4. Rasa mulut terbakar

Penderita diabetes biasanya mengeluh tentang terasa terbakar

atau mati rasa pada mulutnya. Biasanya, penderita diabetes juga

dapat mengalami mati rasa pada bagian wajah.

5. Oral thrush

Penderita diabetes yang sering mengkonsumsi antibiotik untuk

memerangi infeksi sangat rentan mengalami infeksi jamur pada

mulut dan lidah. Apalagi penderita diabetes yang merokok, risiko

terjadinya infeksi jamur jauh lebih besar. Oral thrush atau oral

candida adalah infeksi di dalam mulut yang disebabkan oleh jamur,

sejumlah kecil jamur candida ada di dalam mulut. Pada penderita

Diabetes Melites kronis dimana tubuh rentan terhadap infeksi

sehingga sering menggunakan antibiotik dapat mengganggu

keseimbangan kuman di dalam mulut yang mengakibatkan jamur

candida berkembang tidak terkontrol sehingga menyebabkant thrush.

13
Dari hasil pengamatan, selama berpraktik sebagai dokter gigi yang

ditandai dengan adanya lapisan putih kekuningan pada lidah, tonsil

maupun kerongkongan.

6. Dental Caries (Karies Gigi)

Diabetes Mellitus bisa merupakan faktor predisposisi bagi

kenaikan terjadinya dan jumlah dari karies. Keadaan tersebut

diperkirakan karena pada diabetes aliran cairan darah mengandung

banyak glukosa yang berperan sebagai substrat kariogenik. Karies

gigi dapat terjadi karena interaksi dari 4 faktor yaitu gigi, substrat ,

kuman dan waktu. Pada penderita Diabetes Melitus telah diketahui

bahwa jumlah air liur berkurang sehingga makanan melekat pada

permukaan gigi, dan bila yang melekat adalah makanan dari

golongan karbohidrat bercampur dengan kuman yang ada pada

permukaan gigi dan tidak langsung dibersihkan dapat mengakibatkan

keasaman didalam mulut menurun, sehingga dapat mengakibatkan

terjadinya lubang atau caries gigi.

2.7 Manajemen dalam Peningkatan Kesehatan Rongga Mulut pada

Penderita Diabetes Mellitus tipe-1.

Berikut hal-hal yang perlu dilakukan oleh penderita Diabetes

Mellitus agar dapat menjaga atau mengupayakan supaya kesehatan

rongga mulut selalu terjadi dengan baik :

1. Pertama dan yeng terpenting adalah mengontrol kadar gula darah.

14
2. Kemudian rawat gigi dan gusi, serta ke dokter gigi untuk

pemeriksaan rutin setipa 6 bulan sekali.

3. Untuk mengontrol sariawan dan infeksi jamur, serta hindari

merokok.

4. Kontrol gula darah yang baik juga dapat membantu mencegah atau

meringankan mulut kering yang disebabkan oleh diabetes mellitus

tipe-1.

5. Menggunakan dental flosh paling tidak sekali sehari untuk mencegah

olak muncul digigi.

6. Menggunakan obat kumur antiseptik.

2.8 Penatalaksanaan Modifikasi Perawatan Dental Pada DM tipe-1

Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang

kedokteran saat ini berjalan kian pesat. Manusia dapat hidup lebih lama, karena

penyakit-penyakit yang dahulu tidak dapat disembuhkan, kini dapat diterapi dengan

baik, apalagi dengan adanya perkembangan ilmu yang menggunakan teknik

rekayasa jaringan dan terapi gen.

Penanganan masalah kesehatan gigi pada pasien-pasien dengan medically-

compromised sangatlah kompleks dan menarik. Permasalahan yang mungkin timbul

adalah bagaimana seorang dokter gigi dapat melakukan perawatan dengan aman dan

dengan risiko sekecil mungkin. Untuk itu, seorang dokter gigi harus mempunyai

pemahaman yang memadai mengenai penyakit-penyakit atau kelainan sistemik,

perlu mengetahui dengan pasti kesehatan umum pasien dan kondisi pasien apakah

cukup aman untuk dilakukan tindakan, khususnya yang menyangkut tindakan

pembedahan.

Medically-compromised adalah suatu keadaan seorang pasien yang mempunyai

kelainan atau kondisi yang harus dikompromikan ke dokter sebelum dilakukan suatu

15
tindakan apapun yang berhubungan dengan penyakit tersebut. Adapun kelainan

sistemik yang merupakan kondisi medically compromised diantaranya adalah

kelainan hematologi, kelainan metabolikendokrin, kelainan kardiovaskuler,

gangguan koagulasi, kelainan ginjal, dan kehamilan.

Pasien yang datang ke tempat praktek gigi mungkin dengan kondisi yang tidak

terdiagnosis DM. Sebagai contoh adalah adanya periodontitis yang parah dan cepat

progresif yang terlihat tidak sesuai dengan umur pasien, riwayat memiliki kebiasaan

buruk, oral hygiene (OH) buruk, dan adanya faktor lokal yang memperburuk seperti

plak atau kalkulus. Pada beberapa pasien DM juga sering dijumpai kelainan berupa

pembesaran gingiva, gingiva mudah berdarah pada pengerjaan dan adanya abses

periodontal. Jika dokter gigi mencurigai adanya penyakit DM pada pasien, maka

pasien patut dianamnesis dengan baik untuk mengetahui adanya riwayat polidipsia,

poliuria, polyphagia, atau adanya penurunan berat badan.

Jika diduga ada riwayat keluarga yang DM, maka perlu dilakukan evaluasi dan

pemeriksaan laboratorium berupa kadar gula darah puasa dan sesudah makan, uji

urine, dan toleransi glukosa. Pasien DM dapat dirawat di klinik gigi secara rawat

jalan. Pada pasien DM yang tidak terkontrol, seringkali mengalami infeksi berat di

daerah oromaksilofasial, serta penyakit sistemik lainnya, dan perawatan gigi pada

pasien tersebut membutuhkan pengobatan jangka panjang serta diet yang terkontrol.

Penggunaan antibiotik sangat dibutuhkan untuk perawatan gigi pada pasien DM

khususnya jika tidak terkontrol. Antibiotik ini digunakan baik untuk mengatasi

infeksi akut maupun untuk tindakan profilaktik pada saat akan dilakukan tindakan

bedah.

Faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan waktu perjanjian

perawatan adalah aktivitas puncak insulin dan jumlah glukosa yang diserap dari usus

berikut asupan makanan terakhir. Risiko terbesar akan terjadi pada pasien yang telah

menggunakan insulin dalam jumlah biasa atau menggunakan obat diabet oral tetapi

16
mengurangi atau menghilangkan makan pagi sebelum perawatan gigi, karena

berisiko mengalami hipoglikemia selama pemeriksaan gigi.

Oleh karena itu pasien dianjurkan untuk makan dengan diet normal dan

membawa glucometer ke tempat praktek gigi. Sebelum perawatan dimulai pasien

dapat mengecek kadar gula darahnya. Jika kadar gula darahnya lebih rendah dari

normal, maka pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi sedikit karbohidrat sebelum

perawatan untuk menghindari terjadinya hipoglikemia.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Diabetes Mellitus (DM) tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya

gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik

akibat kerusakan destruksi se β pankreas Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi

baik antar negara maupun di dalam suatu negara. Insidens tertinggi di

Finlandia dengan 43 per 100.000 anak per tahun dan terendah di Jepang

dengan 1,5-2 per 100.000 anak per tahun pada anak di bawah usia 15 tahun.

Insidens DM tipe-1 tertinggi pada ras Eropa Kaukasian dibandingkan ras

lainnya. Diabetes mellitus tipe-1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas

yang diperantari berbagai faktor. Faktor genetik dan dipicu oleh faktor

lingkungan diduga sebagai penyebab terjadinya proses autoimun yang

menyebabkan destruksi sel beta pankreas. Onset diabetes mellitus tipe-1

biasanya terjadi sebelum usia 25-30 tahun Hal pertama yang harus dipahami

adalah bahwa DM tipe-1 tidak dapat disembuhkan. Tujuan utama terapi DM

tipe-1 adalah mencapai kontrol metabolik optimal.

Terapi insulin dapat menggunakan berbagai regimen. Regimen insulin

bersifat individual bertujuan untuk mengikuti pola fisiologi sekresi insulin

17
normal, sehingga mampu menormalkan metabolisme glukosa atau mendekati

normal. Pemilihan regimen insulin memperhatikan beberapa faktor, yaitu:

umur, lama menderita DM, gaya hidup (pola makan, jadwal latihan, sekolah),

target kontrol metabolik, dan kebiasaan individu ataupun keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA

Pulungan AB, Annisa D, Imada S. Diabetes melitus tipe-1 pada anak: Situasi di Indonesia

dan tatalaksana. Sari Pediatri. 2019;6:392-400.

Darwish HM, Kharroubi AT. Diabetes melitus: The epidemic of the century. World J

Diabetes. 2015;6:850-67.

Mayer-Davis EJ, Kahkoska AR, Jefferies C, Dabelea D, Balde N, Gong CX, et al.

ISPADclinical practice consensus guidelines 2018: Definition,

epidemiology, and classification of diabetes in children and adolescents.

Pediatr Diabetes. 2018;19:7-19.

Ridwan Z, Bahrun U, Pakasi RDN. Ketoacidosis diabetic di diabetes melitus tipe 1.

Indones J Clin Pathol Med Laboratory. 2016;2:200-3.

Tridjaya B, Yati NP, Faizi M, Marzuki AN, Moelyo AG, Soesanti F. Konsensus nasional

pengelolaan diabetes melitus tipe 1. 3rd Ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan

Dokter Anak Indonesia; 2015. p. 1-96.

Usher-Smith JA, Thompson MJ, Zhu H, Sharp SJ, Walter FM. The pathway to diagnosis

of type 1 diabetes in children: A questionnaire study. BMJ Open.

2015;5:1-10.

18
Endyarni B, Batubara JRL, Boediman I. Effects of structured educational intervention on

metabolic control of type-1 diabetes melitus patients. Pediatr Indones.

2006;46:260-5.

Cooke DW, Platnick L. Type 1 diabetes melitus in pediatrics. Pediatr in Rev.

2008;28:347-85.

Beck JK, Pharm, Cogen FR. Outpatient management of pediatric type 1 diabetes. J

Pediatr Pharmacol. 2015;5:344-57.

Rahmawati L, Soedjatmiko, Gunardi H, Sekartini R, Batubara JRL, Pulungan AB.

Gangguan perilaku pasien diabetes melitus tipe-1 di poliklinik

endokrinologi anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri

2007;4:264-9.

Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Yati NP, Tridjaja

BAAP, eds. Diagnosis dan tata laksana diabetes melitus tipe-1 pada anak

dan remaja. [Internet]. 2017:1-16. Available from:

http://www.idai.or.id/professional-resources/guideline-

consensus/diagnosis-dan-tata-laksana-diabetes-mellitus-tipe- 1-pada-anak-

dan-remaja

Rustama DS, Yati NP, Andriana N, Pulungan AB. Diabetes melitus. In: Batubara JRL,

Tridjaja BAAP, Pulungan AB, eds. Buku ajar endokrinologi anak. 2nd Ed.

Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2018. p. 146-206.

Leighton E, Sainsbury CAR, Jones GC. A practical review of C-peptide testing in

diabetes. Diabetes Ther. 2017;8:475-87.

Jones AG, Hattersley AT. The clinical utility of C-peptide measurement in the care of

patients with diabetes. Diabes Med. 2013;30:803-17.

19
Himawan IW, Pulungan AB, Tridjaja B, Batubara JRL. Komplikasi jangka pendek dan

jangka panjang diabetes melitus tipe 1. Sari Pediatri. 2009;10:367-72.

Katsarou A, Gudbjörnsdottir S, Rawshani A, Dabelea D, Bonifacio E, Anderson BJ, et al.

Type 1 diabetes melitus. Nature Rev. 2017;3:1-17.

Indriyani R, Adji H. Hubungan antara status kontrol glikemik, vitamin D dan gizi pada

anak diabetes melitus tipe 1. J Kedokt Brawijaya. 2018;2:114-20.

Turton JL, Raab R, Rooney KB. Low-carbohydrate diets for type 1 diabetes melitus: A

systematic review. Plos ONE. 2018;13:1-16.

Skyler JS, Bakris GL, Bonifacio E, Darsow T, Eckel RH, Groop L, et al. Differentiation

of diabetes by pathophysiology, natural history, and prognosis. Diabetes.

2017;66:241-55.

Napitupulu IHN. Prevalensi diabetes melitus tipe 1 pada anak di RSUP Haji Adam Malik

Medan periode 2012-2016 [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara;

2017.

Tuomilehto J. The emerging global epidemic of type 1 diabetes. Curr Diab Rep.

2013;13:795-804.

DiMeglio LA, Acerini CL, Codner E, Craig ME, Hofer SE, Pillay K, et al. ISPAD

clinical practice consensus guidelines 2018: Glycemic control targets and

glucose monitoring for children, adolescents, and young adults with

diabetes. Pediatr Diabetes. 2018;19(Suppl.27):105-14.

Soenggoro EP, Purbasari R, Pulungan AB, Tridjaja BAAP. Glycemic control in diabetic

children and adolescents after attending diabetic camp. Paediatr Indones.

2011;5:294-7.

20
Danne T, Philip M, Buckingham BA, Jarosz-Chobot P, Saboo B, Urakami T, et al.

ISPAD clinical practice consensus guidelines 2018: Insulin treatment in

children and adolescents. Pediatr Diabetes. 2018;19(Suppl.27):115-35.

Deliana M, Siregar CD, Hakimi, Wisman. Pemberian insulin pada diabetes melitus tipe-1.

Sari Pediatri. 2007;9:48-53.

Smart CE, Annan F, Higgins LA, Jelleryd E, Lopez M, Acerini CL. ISPAD clinical

practice consensus guidelines 2018: Nutritional management in children

and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2018;19(Suppl.27):136-

54.

American Diabetes Association. Children and adolescents: Standards of medical care in

diabetes-2019. Diabetes Care. 2019;42(Suppl.1):148-64.

Wherrett DK, Ho J, Huot C, Legault L, Nakhla M, Rosolowsky E. Type 1 diabetes in

children and adolescents diabetes Canada clinical practice guidelines

expert committee. Can J Diabetes. 2018;24:234-46

Lennerz BR, Barton A, Berstein RK, Dikeman D, Diulus C, Hallberg S. Management of

type 1 diabetes with a very low–carbohydrate. Pediatrics. 2018;141:1-10.

Brink S, Lee WRW, Pillay K. Diabetes in children and adolescents: Basic training for

healthcare professionals in developing country. In: Zacharin M, ed.

Practical paediatric endocrinology in a limited resource setting.

Melbourne: National Library of Australia; 2011. p. 198-231.

Adolfsson P, Riddell MC, Taplin CE, Davis EA, Fournier PA, Annan F, et al. ISPAD

clinical practice consensus guidelines 2018: Exercise in children and

adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2018;19(Suppl.27):205-26.

21
PhelanH, Lange K, Cengiz E, Gallego P, Majaliwa E, Pelicand J, et al. ISPAD clinical

practice consensus guidelines 2018: Diabetes education in children and

adolescents. Pediatr Diabetes. 2018;19(Suppl.27):136-54.

Vitria, E. E. Evaluasi dan penatalaksanaan pasien medically-Compromised di tempat

praktek dokter gigi. Dapartement Bedah mulut dan Maksilofacial Fakultas

Kedokteran gigi Universitas Indonesia. 2011

22

Anda mungkin juga menyukai