Anda di halaman 1dari 25

PENGARUH PEMBERIAN BERAS ANALOG SAGU DENGAN KACANG MERAH

TERHADAP C PEPTIDE DAN HOMA – IR PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE


2 DENGAN OBESITAS
(Studi Eksperimental pada Pasien Diabetes Tipe 2 dengan Obesitas)

Tesis
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana S2

Disusun Oleh :

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Diabetes mellitus (DM) adalah kondisi hiperglikemik disertai dengan gangguan
metabolism kronik karena penurunan sekresi insulin dan resisten insulin sehingga tubuh
membutuhkan insulin untuk homeostasis glukosa (Guangcui Xu, 2015). Hiperglikemik kronik
dapat mengakibatkan komplikasi, disfungsi dan kegagalan berbagai organ seperti pada mata,
ginjal, saraf, hati, dan pembuluh darah. DM berhubungan dengan kurang aktivitas dan perubahan
pola makan (Putra & Mahmudiono, 2012).
Data DM tipe 2 pada tahun 2017, 8.8% populasi di seluruh dunia menderita DM tipe 2,
data tersebut peningkatan kasus lebih tinggi dari perhitungan WHO pada tahun 2014, yang
menyatakan bahwa terdapat 693 juta pasien DM tipe 2 berkisar di usia 18 – 99 tahun atau 9.9%
populasi di seluruh dunia (REN21, 2016). Negara di wilayah Arab – Afrika Utara menempati
peringkat pertama di dunia dan kedua pada prevalensi diabetes pada usia 20 – 79 tahun sebesar
12.2% dan 11.4%. Asia tenggara menempati peringkat ketiga dengan prevalensi sebesar 11.3%
(Internation Diabetes Federation, 2019).
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus yang terdiagnosis
pada usia >15 tahun sebesar 2%, terjadi peningkatan prevalensi diabetes melitus pada usia >15
tahun sebesar 1.5 % pada tahun 2013. Seluruh provinsi di Indonesia mengalami peningkatan
kasus diabetes melitus, provinsi dengan peringkat tertinggi kasus diabetes melitus di Indonesia
adalah DKI Jakarta sebesar 3.4%, sedangkan Jawa Tengah pada peringkat ke-11 provinsi
tertinggi kasus diabetes sebesar 2.1% (Kementerian Kesehatan RI, 2020). Penderita diabetes
melitus di Jawa Tengah mengalami peningkatan dengan diabetes menempati peringkat ke-2
penyakit tidak menular tertinggi sebesar 15.77% di tahun 2015 menjadi 22.1% di tahun 2016
(RISKESDAS, 2018).
DM tipe 2 merupakan kombinasi dari genetik, perilaku dan lingkungan yang mendukung.
Menurut Ralp. D Fronzo DM tipe 2 merupakan kombinasi antara penurunan fungsi sel beta
pancreas dan resistensi insulin di perifer. Resisten insulin bersama dengan penurunan fungsi sel
beta menyebabkan gangguan pada toleransi glukosa (Khardori, 2013). Fluktuasi sensitifitas
insulin berdasarkan siklus natural seperti pada kehamilan, pubertas, proses penuaan. Variasi gaya
hidup dengan peningkatan masukan karbohidrat dan peningkatan aktifitas fisik berhubungan
dengan fluktuasi sensitifitas insulin seperti pada pasien dengan obesitas. Obesitas adalah salah
satu faktor gangguan metabolism yang ditandai dengan jaringan adiposa berlebihan secara
general atau sentral, jaringan adiposa yang berlebihan dapat meningkatkan sekresi hormone
gliserol seperti leptin, sitokin, adiponectin, pro – inflamasi dan NEFA (Nonstratified Fatty
Acids) (Al-Goblan et al., 2014). Peningkatan adiposit menyebabkan penurunan sensitivitas aksi
antilipolitik terhadap insulin, adiposit meningkatkan fatty acid yang berkompetisi dengan insulin
pada ambilan di hati dan otot sehingga menurunkan fungsi insulin-stimulated transport glukosa
di otot (Day & Bailey, 2011). Fatty acid meningkatkan gluconeogenesis di hati menyebabkan
peningkatan glukosa. Siklus ketidakseimbangan fatty acid disebut dengan siklus Randle (Day &
Bailey, 2011). Peningkatan fatty acid pada pasien obesitas selain meningkatkan glukosa di darah
melalui gluconeogenesis dan menghambat secara kompetisi insulin di hati dan otot. Peningkatan
glukosa dan fatty acid yang kronis pada obesitas dapat terjadi akumulasi trigliserid pada sel beta
sehingga meningkatkan ROS (glukotoksitas) dan peroksidasi pada lipid (lipotoksitas) terjadi
disfungsi membrane sel beta pancreas (Day & Bailey, 2011).
Resisten insulin atau kehilangan sensitifitas insulin yang terjadi pada DM tipe 2 dapat
diukur melalui tingkat kadar HOMA-IR. Peningkatan HOMA-IR sebagai tanda penurunan
sensitifitas insulin yang terjadi karena penurunan sensitiftas insulin pada jaringan target (Al-Jada
& Ahmad, 2014). Berdasarkan penelitian kohort yang dilakukan oleh Lim pada tahun 2015 di
Korea pada siswa SMA, menunjukkan bahwa peningkatan HOMA-IR pada pasien dengan
obesitas memiliki hubungan yang signifikan terhadap resisten insulin dan DM tipe 2.
Penurunan fungsi sel beta pancreas berpengaruh terhadap berkembangnya DM tipe 2.
Penurunan fungsi sel beta pancreas pada DM tipe 2 dapat diketahui pada pemeriksaan c –
peptide. C - peptide merupakan bagian dari proinsulin yang di sekresikan bersama dengan insulin
oleh sel beta pancreas (Leighton et al., 2017). C – peptide dapat digunakan dalam pemeriksaan
untuk mengetahui lama penyakit dan tipe DM. Resisten insulin berkontribusi secara tidak
langsung terhadap hyperleptinemia pada pasien DM tipe 2 dengan obesitas. Peningkatan plasma
yang secara kronik dapat menyebabkan penurunan respon reseptor sel beta pancreas sehingga
terjadi hyperinsulinemia (López-Jaramillo et al., 2014).
Asupan makanan, diet rendah serat dengan glikemik index yang tinggi berhubungan
dengan peningkatan resiko diabetes (Ojo et al., 2018). Usia yang semakin tua dan konsumsi
karbohidrat yang tinggi dalam jangka waktu yang lama dapat menurunkan sekresi insulin,
sehingga dapat mempercepat berkembangnya kronik diabetes melitus tipe 2 (Alkhatib et al.,
2017). Terapi DM tipe 2 yang biasa diberikan adalah terapi farmakologi yang jika diberikan
dalam jangka waktu panjang yang memiliki efek samping. Management diet merupakan salah
satu terapi untuk diabetes melitus, pasien DM tipe 2 disarankan untuk konsumsi makanan dengan
glikemik indeks rendah (30 – 40 % serat dan 35% lemak yang telah tersaturasi) untuk
mengkontrol glukosa dan kolesterol (Mahan & Raymond, 2017). Pati dengan glikemik indeks
yang rendah seperti resistant starch (RS) dapat digunakan sebagai terapi dalam DM tipe 2. RS
yang tidak dicerna di dalam usus halus mencapai usus besar difermentasikan oleh
mikrobakterium. Fungsi lain dari RS adalah mempengaruhi sensitifitas metabolism insulin dan
asam lemak (FA) pada penderita gangguan sindrom metabolisme (Bodinham et al., 2014).
Beras adalah sumber karbohidrat utama di Indonesia. Berdasarkan data BPS pada tahun
2017 Konsumsi beras di Indonesia mencapai 81.61 kg/tahun dalam rumah tangga dan 29.62 kg
pada tahun 2017 konsumsi beras per kapita di luar rumah tangga. Diperlukan pengganti dalam
sumber karbohidrat dengan rendah glikemik indeks untuk pasien DM tipe 2. Konsumsi yang
besar menjadikan beras sebagai bahan pangan yang digunakan dalam beberapa intervensi
Kesehatan seperti pada beras analog (Fauziyah et al., 2017). Beras analog merupakan jenis
karbohidrat yang terbentuk dari bahan non – beras seperti pati sago (S. Wahjuningsih et al.,
2018). Pati sago mengandung rendah protein dengan sumber tambahan protein dari tepung
kacang merah (Phaseolus vulgaris) yang mengandung tinggi serat dan rendah GI = 26 (S. B.
Wahjuningsih et al., 2016). Kacang merah telah banyak digunakan sebagai bahan untuk
substitusi dalam perkembangan produk seperti pada nasi dan roti. Kacang merah sebagai sumber
zat gizi lain seperti lemak (15.80%), serat pangan (3.60%) dan karbohidrat (49.00%) (Audu &
Aremu, 2011). Menurut uji klinis yang telah dilakukan oleh Messina pada tahun 2014
membuktikan bahwa RS pada kacang merah menurunkan kadar TTGO pada pasien diabetes.
Berdasarkan uji multianalisis pada 41 studi klinis, RS kacang merah dapat menurunkan gula
darah puasa (Sievenpiper et al., 2009).
Penelitian sebelumnya pada menyatakan bahwa konsumsi beras sago analog memiliki
kadar HOMA – IR paling rendah dibandingkan dengan konsumsi beras mentik wangi, diet
standart, dan beras analog kacang merah (S. Wahjuningsih et al., 2018). Konsumsi resistant
starch dapat menurunkan jaringan adiposa melalui lipolysis, meningkatkan ambilan glukosa pada
otot, menurunkan penyimpanan trigliserid pada otot, meningkatkan SCFA (Short Chain Fatty
Acid) di otot dan lemak (Robertson, 2012). SCFA dapat meningkatkan sensitifitas insulin,
meningkatkan toleransi glukosa dan menurunkan apoptosis sel beta pada uji coba hewan yang
mengalami diabetes dan obesitas (Khan & Jena, 2014). Konsumsi beras dengan glikemik index
rendah menurunkan TTGO, C – peptide dibandingkan dengan konsumsi beras glikemik index
tinggi (Sun et al., 2018). Namun untuk saat ini penelitian pengaruh resistant starch terhadap c –
peptide dan HOMA- IR pada pasien DM tipe 2 dengan obesitas belum pernah dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka diperlukan upaya penelitian berupa resistant –
starch untuk membantu terapi pada pasien DM tipe yang dapat diukur dengan melihat c –
peptide, HOMA – S, HOMA – B, dan leptin.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah :

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan
pertanyaan : “Apakah pengaruh Beras Analog terhadap C - Peptide, HOMA – IR pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
 Untuk mengetahui pengaruh pemberian beras analog terhadap c – peptide dan
HOMA – IR pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Obesitas

1.3.2 Tujuan Khusus


 Untuk mengetahui pengaruh beras analog terhadap kadar C – Peptide pada
pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Obesitas.
 Untuk mengetahui pengaruh beras analog terhadap kadar HOMA - IR pada
pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Obesitas.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
 Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan tentang pengaruh pemberian beras
analog terhadap c – peptide dan HOMA – IR pada pasien Diabetes Melitus tipe
2 dengan Obesitas
1.4.2 Manfaat Praktis
 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan masukan
bagi praktisi kedokteran.
1.5 Orisinalitas Penelitian
Penelitian ini berjudul “Pengaruh Pemberian Beras Analog terhadap Kadar c – peptide dan
HOMA-IR pada Diabetes Melitus tipe 2 dengan obesitas”. Metode yang digunakan yaitu
true experimental dengan rancangan pre post test control group design, yang dilakukan
selama 30 hari Adapun penelitian penunjang yang telah ditemukan peneliti sebagi berikut :

Peneliti Judul Penelitian Sampel Hasil Penelitian


Wahjuningsih, S., Hypolipidaemic 35 tikus jantan wistar Kelompok sagu
Haslina, H., & Effects of High diabetes dibagi menjadi 5 menunjukkan angka
Marsono, M. Resistant Starch kelompok : (1) kelompok HOMA – IR paling
(2018) Sago and Red Kontrol Standart diet, (2) rendah dengan kadar
Bean Flour- kelompok sagu, (3) 1.96 diikuti kelompok
based Analog Kelompok beras mentik beras analog tepung
Rice on Diabetic wangi (4) Kelompok beras kacang merah dan
Rats analog dengan 10% tepung kelompok mentik wangi.
kacang merah Pada gambaran histologi
didapatkan jumlah paling
besar sel Langerhans
pada kelompok beras
analog dibandingkan
dengan kelompok beras
mentik wangi
Bodinham, C. L., Efficacy of 17 pasien DM tipe 2 Pemberian suplemen
Smith, L., increased dengan rata – rata BMI HAM-RS2 signifikan
Thomas, E. L., resistant starch 30.6 diberikan suplemen menurunkan konsentrasi
Bell, J. D., consumption in placebo dan 40 gram glukosa postpandrial,
Swann, J. R., human type 2 resistant starch tipe 2 meningkatkan ambilan
Costabile, A., diabetes setiap hari dengan masing glukosa di otot, tidak
Russell-Jones, D., masing suplemen terdapat perbedaan
Umpleby, A. M., dikonsumsi selama 12 signifikan pada Hba1C
& Robertson, M. minggu. dan sensitifitas insulin
D. (2014) perifer atau hepatic.
Penurunan GLP-1 secara
signifikan pada suplemen
HAM-RS2
Lijuan Sun, Kevin Dietary fat and Random sampel 20 pria Glukosa, insulin dan c –
Wei Jie Tan, carbohydrate Chinese yang sehat. peptide signifikan
Joseph Zhien quality have Subjek random memilih menurun pada glikemik
Lim, Faidon independent menu 6 isokalorik meal index yang rendah
Magkos, effects on berbeda secara kualitas dibandingkan dengan
Christiani postprandial karbohidrat dan fat. glikemik index yang
Jeyakumar Henry glucose and Terbagi menjadi 40 gram tinggi.
(2016) lipid responses SFA/mentega,
polyunsaturated
fat/PUFA/minyak zaitun
dan 50 gram rendah
glikemik index (beras
basmati) atau tinggi
glikemik index (beras
jasmine).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. Diabetes melitus (DM)

Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang dikenal oleh
masyarakat Indonesia dengan nama penyakit kencing manis. DM adalah penyakit gangguan
metabolik yang terjadi secara kronis atau menahun karena tubuh tidak mempunyai hormon
insulin yang cukup akibat gangguan pada sekresi insulin, hormon insulin yang tidak bekerja
sebagaimana mestinya atau keduanya (Kemenkes RI, 2018).

World Health Organization (2016) menyebutkan bahwa Penyakit ini ditandai dengan
munculnya gejala khas yaitu poliphagia, polidipsia dan poliuria serta sebagian mengalami
kehilangan berat badan. DM merupakan penyakit kronis yang sangat perlu diperhatikan
dengan serius. DM yang tidak terkontrol dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti
kerusakan mata, ginjal pembuluh darah, saraf dan jantung.

1.1. Epidemiologi Diabetes Melitus (DM)

Prevalensi penderita DM di seluruh dunia sangat tinggi dan cenderung meningkat setiap
tahun. Jumlah penderita DM di seluruh dunia mencapai 422 juta penderita pada tahun
2014. Jumlah penderita tersebut jauh meningkat dari tahun 1980 yang hanya 180 juta
penderita. Jumlah penderita DM yang tinggi terdapat di wilayah South-East Asia dan
Western Pacific yang jumlahnya mencapai setengah dari jumlah seluruh penderita DM di
seluruh dunia. Satu dari sebelas penduduk adalah penderita DM dan 3,7 juta kematian
disebabkan oleh DM maupun komplikasi dari DM (World Health Organization, 2013).

Penderita DM di Indonesia berdasarkan data dari IDF pada tahun 2014 berjumlah 9,1 juta
atau 5,7 % dari total penduduk. Jumlah tersebut hanya untuk penderita DM yang telah
terdiagnosis dan masih banyak penderita DM yang belum terdiagnosis. Indonesia
merupakan negara peringkat ke-5 dengan jumlah penderita DM terbanyak pada tahun
2014. Indonesia pada tahun 2013 berada diperingkat ke 7 penderita DM terbanyak di
dunia dengan jumlah penderita 7,6 juta (PERKENI, 2015).
Klasifikasi Diabetes Melitus (DM)
Organisasi profesi yang berhubungan dengan DM seperti American Diabetes Association
(ADA) telah membagi jenis DM berdasarkan penyebabnya. PERKENI dan IDAI sebagai
organisasi yang sama di Indonesia menggunakan klasifikasi dengan dasar yang sama
seperti klasifikasi yang dibuat oleh organisasi yang lainnya (PERKENI, 2015). Klasifikasi
DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015) adalah sebagai berikut :

a. Diabetes melitus (DM) tipe 1


DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di pankreas. kerusakan ini
berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara absolut. Penyebab dari
kerusakan sel beta antara lain autoimun dan idiopatik.
b. Diabetes melitus (DM) tipe 2
Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin. Insulin dalam
jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal sehingga menyebabkan
kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif
pada penderita DM tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi defisiensi insulin absolut.
c. Diabetes melitus (DM ) tipe lain
Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini dapat disebabkan oleh defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan imunologi dan sindrom genetik
lain yang berkaitan dengan DM.
d. Diabetes melitus Gestasional

2.1. Diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2)


DM tipe 2 adalah penyakit kronis dengan karakteristik terjadi peningkatan glukosa darah
(hiperglikemia) dalam tubuh. Penyebab dari DM adalah gangguan pada sekresi insulin, aksi
insulin atau keduanya. DM tipe 2 disebabkan oleh perpaduan antara gangguan aksi insulin
(resistensi insulin) dan defisiensi insulin yang terjadi secara relatif sebagai kompensasi
sekresi insulin yang tidak adekuat . (Kemenkes RI, 2018)
2.2. Epidemologi DM tipe 2
Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 240 juta jiwa. Penderita DM di Indonesia
berjumlah 9,1 juta penderita pada tahun 2014 dan terus meningkat. DM tipe 2 lebih banyak
diderita oleh orang dengan umur > 40 tahun dan orang dengan obesitas. Kelompok umur
remaja dan anak-anak jarang menderita DM tipe 2. DM tipe 2 lebih banyak ditemukan
dibandingkan dengan DM tipe 1 dan DM tipe lain yang jumlah penderitanya mencapai 90-95
% dari seluruh atau total penderita diabetes melitus (IDAI, 2017)

2.3. Patofisiologi DM tipe 2


Otot dan hati yang mengalami resistensi insulin menjadi penyebab utama DM tipe 2.
Kegagalan sel beta pankreas untuk dapat bekerja secara optimal juga menjadi penyebab dari
DM tipe 2 (PERKENI, 2015). DM tipe 2 adalah jenis DM yang paling umum diderita oleh
penduduk di Indonesia. Kombinasi faktor risiko, resistensi insulin dan sel-sel tidak
menggunakan insulin secara efektif menyebabkan DM tipe 2 (Diabetes Prevention Program
Research Group, 2009).

Resistensi insulin pada otot dan hati serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal sebagai
patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Kegagalan sel beta pada DM tipe 2 diketahui
terjadi lebih dini dan lebih berat daripada sebelumnya. Otot, hati, sel beta dan organ lain
seperti jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin) ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe 2 (PERKENI, 2015). DM tipe 2 pada tahap awal perkembangannya tidak
disebabkan oleh gangguan sekresi insulin dan jumlah insulin dalam tubuh mencukupi
kebutuhan (normal), tetapi disebabkan oleh sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal (Fitriyani, 2012).

Penderita DM tipe 2 juga mengalami produksi glukosa hepatik secara berlebihan tetapi tidak
terjadi kerusakan pada sel-sel beta langerhans seperti pada DM tipe 1. Keadaan defisiensi
insulin pada penderita DM tipe 2 umumnya hanya bersifat relatif. Defisiensi insulin akan
terjadi seiring dengan perkembangan DM tipe 2. Sel-sel beta langerhans akan menunjukkan
gangguan sekresi insulin fase pertama yang berarti sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin. Perkembangan DM tipe 2 yang tidak ditangani dengan baik akan
menyebabkan kerusakan sel-sel beta langerhans pada tahap selanjutnya. Kerusakan sel-sel
beta langerhans secara progresif dapat menyebabkan keadaan defisiensi insulin sehingga
penderita membutuhkan insulin endogen. Resistensi insulin dan defisiensi insulin adalah 2
penyebab yang sering ditemukan pada penderita DM tipe 2 (Ozougwu, 2013).

KURANG MARKER DM DAN OBESITAS


HOMA IR
C- PEPTIDE
2.4. Diagnosis Klinik DM tipe 2
Diagnosis DM tipe 2 juga dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl
pada pemeriksaan glukosa 2 jam post prandial dan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200
mg/dl dengan keluhan klasik DM adalah ketentuan untuk mendiagnosis DM tipe 2
berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah (World Health Organization, 2013).
Ketentuan mendiagnosis DM tipe 2 menggunakan kadar glukosa darah dibuat oleh oleh
WHO dan Perkeni. Pemeriksaan kadar glukosa darah dan pemeriksaan kadar C-Peptide
dapat dilakukan untuk mendiagnosis DM tipe 2. Kadar C-peptide pada penderita DM
tipe 2 yang baru didiagnosis cenderung tinggi dibandingkan dengan kondisi tidak
menderita DM dan DM tipe 1 (Soegondo & Purnamasari, 2006).
2.5. Faktor Resiko DM tipe 2
Faktor risiko DM tipe 2 dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu faktor risiko
sosiodemografi, perilaku dan gaya hidup dan keadaan klinis dan mental (Irawan, 2010).
Faktor risiko sosiodemografi diabetes melitus tipe 2 adalah umur, jenis kelamin,
pendidikan dan pekerjaan. Aktifitas fisik, konsumsi sayur dan buah, asap rokok dan
alkoholisme termasuk ke dalam faktor risiko pola hidup pada diabetes melitus tipe 2.
Indeks massa tubuh, lingkar perut, tekanan darah, kadar kolesterol dan stress adalah
faktor risiko kondisi klinis dan mental diabetes melitus tipe 2. Selain itu, ada juga faktor
risiko riwayat kesehatan keluarga terutama riwayat diabetes melitus (Fitriyani, 2012).

Faktor-faktor risiko penyakit DM tipe 2 antara lain sebagai berikut :


a. Riwayat DM keluarga / Genetik
DM tipe 2 sangat dipengaruhi oleh faktor genetik. Seorang anak memiliki risiko 15 %
menderita DM tipe 2 jika kedua salah satu dari kedua orang tuanya menderita DM tipe 2.
Anak dengan kedua orang tua menderita DM tipe 2 mempunyai risiko 75 % untuk
menderita DM tipe 2 dan anak dengan ibu menderita DM tipe 2 mempunyai risiko 10-30
% lebih besar daripada anak dengan ayah menderita DM tipe 2.
b. Berat lahir
Bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram atau keadaan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) mempunyai risiko lebih tinggi menderita DM tipe 2 pada saat dewasa.
Hal ini terjadi karena bayi dengan BBLR mempunyai risiko menderita gangguan fungsi
pankreas sehingga produksi insulin terganggu.
c. Stress
Stress adalah perasaan yang dihasilkan dari pengalaman atau pistiwa tertentu. Sakit,
cedera dan masalah dalam kehidupan dapat memicu terjadinya stress. Tubuh secara alami
akan merespon dengan banyak mengeluarkan hormon untuk mengatasi stress. Hormon-
hormon tersebut membuat banyak energi (glukosa dan lemak) tersimpan di dalam sel.
Insulin tidak membiarkan energi ekstra ke dalam sel sehingga glukosa menumpuk di
dalam darah.
d. Umur
Umur yang semakin bertambah akan berbanding lurus dengan peningkatan risiko
menderita penyakit diabetes melitus karena jumlah sel beta pankreas yang produktif
memproduksi insulin akan berkurang. Hal ini terjadi terutama pada umur yang lebih dari
45 tahun.
e. Jenis kelamin
Wanita lebih memiliki potensi untu menderita diabetes melitus daripada pria karena
adanya perbedaan anatomo dan fisiologi. Secara fisik wanita memiliki peluang untuk
mempunyai indeks massa tubuh di atas normal. Selain itu, adanya menopouse pada
wanita dapat mengakibatkan pendistribusian lemak tubuh tidak merata dan cenderung
terakumulasi.
f. Pendidikan
Pendidikan yang tinggi akan membuat seseorang mempunyai pengetahuan yang baik
khususnya tentang diabetes melitus.
g. Pekerjaan
Pekerjaan yang lebih cenderung tidak melakukan aktifitas fisik dalam pekerjaan tersebut
dapat meningkatkan risiko menderita diabetes melitus.
h. Penghasilan
Penghasilan yang rendah akan membatasi seseorang untuk mengetahui dan mencari
informasi tentang diabetes melitus. Semakin rendah penghasilan, maka akan semakin
tinggi risiko menderita diabetes melitus tipe 2.
i. Pola makan
Ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan kejadian diabetes melitus tipe
2. Pola makan yang jelek atau buruk merupakan faktor risiko yang paling berperan dalam
kejadian diabetes melitus tipe 2. Pengaturan diet yang sehat dan teratur sangat perlu
diperhatikan terutama pada wanita. Pola makan yang buruk dapat menyebabkan
kelebihan berat badan dan obesitas yang kemudian dapat menyebabkan diabetes melitus
tipe 2.
j. Aktivitas fisik
Perilaku hidup sehat dapat dilakukan dengan melakukan aktivitas fisik yang teratur.
Manfaat dari aktivitas fisik sangat banyak dan yang paling utama adalah mengatur berat
badan dan memperkuat sistem dan kerja jantung. Aktivitas fisik atau olahraga dapat
mencegah munculnya penyakit diabetes melitus tipe 2. Sebaliknya, jika tidak melakukan
aktivitas fisik maka risiko untuk menderita penyakit diabetes melitus tipe 2 akan semakin
tinggi.(Garnita, 2012)
k. Merokok
Terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian diabetes
melitus tipe 2. Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko diabetes melitus tipe 2 karena
memungkinkan untuk terjadinya resistensi insulin. Kebiasaan merokok juga telah terbukti
dapat menurunkan metabolisme glukosa yang kemudian menimbulkan diabetes melitus
tipe 2. Pola makan yang buruk seperti terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat, lemak
dan protein dan tidak melakukan aktivitas fisik merupakan faktor risiko dari obesitas.
Obesitas merupakan faktor risiko yang berperan penting dalam diabetes melitus tipe 2
karena obesitas dapat menyebabkan terjadinya resitensi insulin di jaringan otot dan
adipose. Semakin tinggi angka obesitas maka akan semakin tinggi risiko untuk menderita
diabetes melitus tipe 2 (Garnita, 2012). Seseorang yang mempunyai faktor risiko diabetes
melitus mempunyai potensi lebih besar menderita diabetes melitus dibandingkan dengan
yang tidak mempunyai faktor risiko (Satgas Remaja IDAI & Setyarini, 2013). Obesitas
juga telah diketahui berhubungan dengan terjadinya kerusakan pankreas sehingga
pankreas tidak berfungsi secara optimal. Hal ini dapat memicu terjadinya defisiensi
insulin dan kadar glukosa dalam darah tinggi (Soegondo & Purnamasari, 2006).

3. Obesitas

Masyarakat mengenal obesitas dengan istilah kegemukan karena pada saat obesitas tubuh
menjadi gemuk. Obesitas ditandai dengan adanya penumpukan jaringan adiposa
(adipocytes) atau jaringan lemak khusus yang disimpan dalam tubuh. Obesitas adalah suatu
keadaan dimana seseorang memiliki berat badan yang lebih besar dibandingkan dengan
berat idealnya yang disebabkan oleh terjadinya penumpukan jaringan adiposa di tubuh
(Brownlee, 2001). Obesitas merupakan suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan
penumpukkan atau penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan (Smith et al., 2019).

3.1. Klasifikasi obesitas


Obesitas dibagi menjadi tipe hiperplastik, hipertropik dan gabungan (hiperplastik dan
hipertropik) berdasarkan keadaan sel lemak penyebab obesitas. Obesitas hiperplastik adalah
obesitas yang disebabkan karena jumlah sel lemak yang semakin banyak tetapi ukuran sel-sel
lemak tidak membesar. Tipe ini banyak diderita oleh anak-anak. Obesitas hipertropik adalah
obesitas yang terjadi karena sel-sel lemak menjadi lebih besar tetapi jumlah sel tidak
bertambah banyak. Obesitas gabungan merupakan obesitas yang terjadi karena ukuran sel
dan jumlah sel melebihi normal atau berlebihan. Pembentukan sel-sel lemak baru terjadi
setelah sel membesar (hipertropik) sampai derajat maksimal (Bray et al., 2016).
Obesitas juga diklasifikasikan menjadi obesitas sentral dan general. Obesitas sentral terjadi
karena peumpukan jaringan lemak di intra-abdominal yang terdiri dari lemak visceral
sedangkan obesitas general adalah obesitas yang disebabkan oleh penumpukan lemak yang
berlebih di dalam tubuh melebihi kebutuhan skeletal dan fisik menyebabkan peningkatan
berat badan (Evi & Yanita, 2016).
3.2. Patofisiologi obesitas
Ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan energi yang keluar atau digunakan
menjadi penyebab utama dari obesitas. Energi yang tidak digunakan kemudian disimpan
dalam bentuk lemak dan menumpuk di tubuh. Obesitas merupakan penyakit yang
mempunyai faktor risiko yang cukup banyak dan saling berinteraksi terus menerus
(Soegondo & Purnamasari, 2006).
3.3. Faktor resiko obesitas

Faktor risiko obesitas


Faktor-faktor risiko obesitas menurut adalah (Evi & Yanita, 2016)

a. Faktor genetik
Anak dengan kedua orangtua menderita obesitas memiliki risiko 80 % menderita
obesitas, risiko 40 % jika salah satu dari kedua orangtua menderita obesitas dan berisiko
14 % untuk anak dengan kedua orangtua tidak menderita obesitas.
b. Faktor nutrisi
Asupan makanan yang tinggi kalori dan lemak seperti pada makanan cepat saji dapat
meningkatkan risiko menderita obesitas.
c. Aktifitas fisik yang rendah
d. Sosial ekonomi
Gaya hidup, pengetahuan, perilaku dan peningkatan pendapatan mempengaruhi
pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi.
e. Umur dan jenis kelamin
Obesitas banyak diderita oleh kelompok umur dewasa dan wanita berisiko menderita
obesitas lebih besar karena adanya pengaruh hormon, menopouse dan pasca kehamilan.
f. Psikologis
Kondisi psikologis dan keyakinan seseorang berpengaruh terhadap asupan makanan.
Faktor stabilitas emosi berkaitan dengan obesitas.

3.4. IMT (Indeks Massa Tubuh)


3.4.1. Pengukuran IMT
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Penilaian obesitas dapat ditentukan dengan menghitung Indeks Massa Tubuh seseorang.
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk
mengukur berat badan berlebih dan obesitas pada orang dewasa (Centers of disease control,
2011). IMT menurut (Markowitz, 2018) dapat dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut :
IMT = Berat Badan (kg) / Tinggi badan2 (m)

Tabel 2. Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT untuk Asia Pasifik
menurut WHO (2000,2004,2012)

Klasifikasi IMT IMT (kg/m2)


Underweight <18.5
Normal 18.5 – 22.9
Beresiko Obesitas >23.0
Overweight 23.0 – 24.9
Obesitas I 25.0 – 29.9
Obesitas II >30.0

3. DEFINISI DAN PEMBAGIAN STARCH


Starch adalah sumber energi mayor seluruh sel dengan kombinasi dari α-glucan, polisakarida,
amilase dan amilopektin (80 – 90% dari seluruh polisakarida) (Yang et al., 2017). Berdasarkan
waktu, starch dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a. Rapidly Digestible Starch
Rapid Digestible Starch merupakan fraksi starch yang menyebabkan peningkatan gula
darah secara mendadak setelah melalui proses pencernaan
b. Slowly Digestible Starch
Slowly Digestible Starch merupakan fraksi starch yang dapat dicerna seluruhnya di
dalam usus halus dengan frekuensi waktu yang lebih lama.
c. Resistant Starch
Resistant Starch adalah starch yang tidak dapat dilakukan proses pencernaan oleh usus
halus pada individu yang sehat namun dapat difermentasikan lama di dalam usus besar.
(Yang et al., 2017)
3.3 Definisi Beras Analog
Beras analog merupakan beras buatan dengan menggunakan bahan dari tepung
non beras dan non terigu (Budijanto & Yuliyanti, 2012). Beras analog memiliki
penampilan, cara konsumsi dan kandungan gizi yang serupa dengan beras padi.
Keunggulan dalam beras analog adalah kandungan gizi dapat ditingkatkan dengan
mencampur bahan pangan sebagai makanan sampingan seperti pada beras pada
umumnya. Keunggulan dari beras analog ini dapat mempermudah dalam program
difersifikasi tanpa merubah pola makan (BUDIJANTO, 2015).
Beras analog dapat dibuat dari berbagai macam bahan baku dengan menggunakan
teknologi hot extrusion. Bahan baku yang digunakan akan menghasilkan beras analog
yang memiliki extrusion (Budijanto et al., 2018). Pemilihan bahan baku harus
diperhatikan secara kandungan kimia dari beras analog yang dihasilkan. Semakin tinggi
dan semakin cepat pati dicerna dapat meningkatkan glukosa yang dihasilkan. Sehingga
diperlukan beras analog yang memiliki glukosa index yang rendah. Proses daya cerna
setiap makanan berbeda – beda dapat diketahui melalui indeks glikemik (IG). Glimeik
indeks merupakan system pengelompokan untuk mengetahui jenis bahan makanan
untuk melihat pengaruh terhadap kadar gula darah. Nilai IG diukur dengan
membandingkan luas kurva kenaikan glukosa darah terhadap konsumsi pangan yang
diuji (Vega-López et al., 2018).
3.4. Bahan baku beras analog
Beras analog dapat menggunakan bahan non beras atau dari bahan pangan lain
sehingga dapat dibentuk menjadi tepung beras sebagai pengganti beras (Pudjihastuti et
al., 2019). Bahan pangan non beras sebagai bahan baku utama sebagai sumber
karbohidrat dapat diperoleh dari umbi – umbian dan sereal (Mishra et al., 2012).
Sumber karbohidrat ditentukan melalui karakteristik dan sifat yang menentukan
kandungan gizi dari beras analog. Sumber karbohidrat dapat menentukan kandungan
gizi dan karakteristik dari beras analog.
Komponen untuk proses pembuatan beras analog telah melalui proses
menghancurkan butiran beras dan telah terdegradasi. Selain tepung beras dapat
menggunakan bahan pangan sumber karbohidrat lain seperti campuran sorgum, mocaf,
jagung dan sagu (Widara, 2012), singkong dengan singkong garut dan kacang merah (S.
B. Wahjuningsih et al., 2018), sagu dengan rumput laut (Loupatty et al., 2019), singkong
dan tepung hinjeli (Sumardiono et al., 2014). Sumber karbohidrat pada beras analog
yang dicampurkan dengan kacang kaya protein akan menghasilkan beras analog yang
kaya protein. Bahan tambahan lain yang dibutuhkan dalam pembuatan beras analog
adalah air sebanyak 50% dan gliserol monostearate (GMS) 2% (Hadiyan et al., 2018).
GMS merupakan surfaktak non-ionik yang dapat digunakan sebagai stabilizer dan
emulsifier sehingga dapat merngurangi panas proses ekstruksi dan membuat ekstrudat
tidak lengket satu sama lain namun meningkatkan WAI (water absorption index) (Damat
et al., 2020).
3.4.1. Sagu
Sagu (Metroxylon sp.) merupakan tanaman yang tumbuh di daerah Asia Tenggara
seperti indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini. Sagu dapat tumbuh pada lingkungan
ekstrem seperti badai, banjir, dan tanah yang terlalu asam sehingga tanaman lain dapat
mudah mati di lingkungan tersebut. Di Indonesia, penggunaan tepung sagu sebagai pahan
telah banyak dikenal dalam berbagai bentuk produk seperti papeda, lempeng sagu, sinloli
dan sebagainya.
Komposisi bahan pati sagu setiap 100 gr memiliki kandungan 353 kalori, 0.7 gr protein,
0.2 gr lemak, 84.7 gr karbohidrat, 14 gr air, 13 mg fosfor, 11 mg kalsium, dan 1.5 mg besi
(Heryani & Silitonga, 2018). Sumber komposisi terbesar dari sagu adalah karbohidrat. Nilai
gizi pati sagu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan tepung dari tanaman umbi
atau serelia, karena tidak mengandung pati yang tidak tercerna sehingga memungkinkan
sagu sebagai bahan campuran produk beras analog atau bentuk produk lain (Hariyanto et
al., 2017).
3.4.2. Kacang Merah
Kacang merah meruapakan kacang buncis tipe tegak (tidak merambat) dan
umumnya dipanen kacang yang tua, sehingga disebut bush bean. Namun pada
umumnya di pasar internasional kacang merah disebut dengan kidney beans. Biji
kacang merah berbentuk bulat agak Panjang, warna merah atau merah berbintik –
bintik putih. Kacang merah (Phaseolus vulgaris L.) merupakan sumber yang
mengandung 4 gr di setiap 100 gr kacang merah, yang terdiri dari serat larut dan serat
tidak larut (Iqbal et al., 2015). Kacang merah mengandung sumber protein tinggi (20
– 25%), karbohidrat kompleks (50 – 60%) dan berbagai sumber vitamin, mineral,
asam lemak, folat dan serat (Rehman et al., 2001). Kacang merah mengandung
22.7% protein, 3.5% mineral, 1% lemak dan 57.7% karbohidrat, 38.6% pati dan
18.8% serat (60% larut dalam air dan 40% tidak larut dalam air) (Punia et al., 2020).
Fermentasi karbohidrat pada kacang merah menghasilkan SCFA dan menurunkan
pH di dalam usus (Fernandes et al., 2010). Kacang merah merupakan sumber vitamin
B terbaik dengan kandungan mineral seperti K, Ca, Mg, P dan besi (Punia et al.,
2020). Kandungan kacang merah yang tinggi protein dan serat sering digunakan
menjadi berbagai jenis makanan seperti sereal, tepung, dan kombinasi dengan
sumber protein lain.
4. Beras analog sebagai terapi DM
DAFTAR PUSTAKA
Al-Goblan, A. S., Al-Alfi, M. A., & Khan, M. Z. (2014). Mechanism linking diabetes mellitus
and obesity. Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and Therapy.
https://doi.org/10.2147/DMSO.S67400
Al-Jada, D. N., & Ahmad, M. N. (2014). Effect of dietary fats on the development of insulin
resistance in relation to PPARγ activation and leptin concentration in rats. Journal of
American Science J Am Sci.
Alkhatib, A., Tsang, C., Tiss, A., Bahorun, T., Arefanian, H., Barake, R., Khadir, A., &
Tuomilehto, J. (2017). Functional foods and lifestyle approaches for diabetes prevention
and management. In Nutrients. https://doi.org/10.3390/nu9121310
Audu, S. S., & Aremu, M. O. (2011). Effect of processing on chemical composition of red
kidney bean (Phaseolus vulgaris L.) flour. Pakistan Journal of Nutrition.
https://doi.org/10.3923/pjn.2011.1069.1075
Bodinham, C. L., Smith, L., Thomas, E. L., Bell, J. D., Swann, J. R., Costabile, A., Russell-
Jones, D., Umpleby, A. M., & Robertson, M. D. (2014). Efficacy of increased resistant
starch consumption in human type 2 diabetes. Endocrine Connections.
https://doi.org/10.1530/ec-14-0036
Bray, G. A., Frühbeck, G., Ryan, D. H., & Wilding, J. P. H. (2016). Management of obesity. In
The Lancet. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)00271-3
Brownlee, M. (2001). Biology of Diabetic Complications. Nature, 414(December), 813–820.
https://doi.org/10.1038/414813a
BUDIJANTO, S. (2015). Development of Rice Analog as a Food Diversification Vehicle in
Indonesia. Journal of Developments in Sustainable Agriculture.
https://doi.org/10.11178/jdsa.10.7
Budijanto, S., Andri, Y. I., Faridah, D. N., & Noviasari, S. (2018). Karakterisasi Kimia dan Efek
Hipoglikemik Beras Analog Berbahan Dasar Jagung, Sorgum, dan Sagu Aren. Agritech.
https://doi.org/10.22146/agritech.10383
Budijanto, S., & Yuliyanti. (2012). Studi persiapan tepung sorgum dan aplikasinya pada
pembuatan beras analog Study of Preparation Sorghum Flour. Teknologi Pertanian.
Centers of disease control. (2011). Body mass index: Considerations for practitioners. Cdc.
Damat, D., Natazza, R. A., & Wahyudi, V. A. (2020). Kajian Pembuatan Beras Analog Berbasis
Tepung Komposit dengan Penambahan Konsentrasi Bubur Rumput Laut (Gracilaria sp.)
dan Gliserol Monostearat. Food Technology and Halal Science Journal, 3(2).
https://doi.org/10.22219/fths.v3i2.13218
Day, C., & Bailey, C. J. (2011). Obesity in the pathogenesis of type 2 diabetes. In British
Journal of Diabetes and Vascular Disease. https://doi.org/10.1177/1474651411407418
Diabetes Prevention Program Research Group. (2009). 10-year follow-up of diabetes incidence
and weight loss in the Diabetes Prevention Program Outcomes Study. The Lancet.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(09)61457-4
Evi, K., & Yanita, B. (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diabetes
Melitus Tipe II. Majority.
Fauziyah, A., Marliyati, S. A., & Kustiyah, L. (2017). SUBSTITUSI TEPUNG KACANG
MERAH MENINGKATKAN KANDUNGAN GIZI, SERAT PANGAN DAN
KAPASITAS ANTIOKSIDAN BERAS ANALOG SORGUM. Jurnal Gizi Dan Pangan.
https://doi.org/10.25182/jgp.2017.12.2.147-152
Fernandes, A. C., Nishida, W., & Da Costa Proença, R. P. (2010). Influence of soaking on the
nutritional quality of common beans (Phaseolus vulgaris L.) cooked with or without the
soaking water: A review. International Journal of Food Science and Technology, 45(11),
2209–2218. https://doi.org/10.1111/j.1365-2621.2010.02395.x
Fitriyani. (2012). Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Citangkil dan
Puskesmas Kecamatan Pulo Merak Kota Cilegon. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Program Studi Sarjana Reguler Kesehatan Masyarakat Departemen Biostatistika Dan
Kependudukan Depok Universitas Indonesia.
Garnita, D. (2012). Faktor Resiko Diabetes Melitus di Indonesia (Analisis Data Sakerti 2007).
Skripsi Fakultas Kesahatan Masyarakat Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Guangcui Xu, Y. Z. (2015). Type 2 Diabetes Mellitus- Disease, Diagnosis and Treatment.
Journal of Diabetes & Metabolism. https://doi.org/10.4172/2155-6156.1000533
Hadiyan, I., Cahyadi, W., & Nurminabari, I. S. (2018). Perbandingan Tepung Sorgum (sorghum
bicolor l. moench) dengan Tepung Singkong (Manihot Escolenta) dan Konsentrasi Gliserol
Monostearat (GMS) terhadap Karakteristik Beras Analog Fortifikasi. AGRIEKSTENSIA,
17(2). https://doi.org/10.34145/agriekstensia.v17i2.86
Hariyanto, B., Cahyana, P. T., Putranto, A. T., Wahyuningsih, S. B., & Marsono, Y. (2017).
Penggunaan Beras Sagu Untuk Penderita Pradiabetes Use of Rice Sagu for Patients of
Prediabetes. Jurnal Pangan, 26(2).
Heryani, S., & Silitonga, R. F. (2018). Penggunaan Tepung Sagu (Metroxylon sp.) asal Riau
Sebagai Bahan Baku Kukis Cokelat. Warta Industri Hasil Pertanian, 34(2).
https://doi.org/10.32765/wartaihp.v34i2.3591
IDAI. (2017). Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak dan Remaja.
Jakarta.
Internation Diabetes Federation. (2019). IDF Diabetes Atlas Ninth. In Dunia : IDF.
Iqbal, A., Pintor, K. T., & Lisiswanti, R. (2015). Manfaat Tanaman Kacang Merah dalam
Menurunkan Kadar Glukosa Darah. Majority, 4(9).
Kemenkes RI. (2018). Cegah, Cegah, dan Cegah: Suara Dunia Perangi Diabetes - Direktorat
P2PTM. Direktorat P2PTM Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2020). Infodatin 2020. Kemenkes.
Khan, S., & Jena, G. B. (2014). Protective role of sodium butyrate, a HDAC inhibitor on beta-
cell proliferation, function and glucose homeostasis through modulation of p38/ERK
MAPK and apoptotic pathways: Study in juvenile diabetic rat. Chemico-Biological
Interactions. https://doi.org/10.1016/j.cbi.2014.02.001
Khardori, R. (2013). Changing paradigms in type 2 diabetes mellitus. Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism. https://doi.org/10.4103/2230-8210.119509
Leighton, E., Sainsbury, C. A., & Jones, G. C. (2017). A Practical Review of C-Peptide Testing
in Diabetes. In Diabetes Therapy. https://doi.org/10.1007/s13300-017-0265-4
López-Jaramillo, P., Gómez-Arbeláez, D., López-López, J., López-López, C., Martínez-Ortega,
J., Gómez-Rodríguez, A., & Triana-Cubillos, S. (2014). The role of leptin/adiponectin ratio
in metabolic syndrome and diabetes. Hormone Molecular Biology and Clinical
Investigation. https://doi.org/10.1515/hmbci-2013-0053
Loupatty, V. D., Idrus, S., & Hadinoto, S. (2019). ANALOG RICE WITH THE RAW
MATERIAL CASSAVA AND ENRICHED OF SEAWEED. INTERNATIONAL
JOURNAL OF HEALTH MEDICINE AND CURRENT RESEARCH-IJHMCR, 4(2).
Mahan, L. K., & Raymond, J. L. (2017). Medical Nutrition Therapy for Diabetes Mellitus and
Hypoglycemia of Nondiabetic Origin. In Krause’s Food & The Nutrition Care Process.
Markowitz, J. S. (2018). Body mass index (BMI). In SpringerBriefs in Public Health.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-77203-5_5
Mishra, A., Mishra, H. N., & Srinivasa Rao, P. (2012). Preparation of rice analogues using
extrusion technology. In International Journal of Food Science and Technology (Vol. 47,
Issue 9, pp. 1789–1797). https://doi.org/10.1111/j.1365-2621.2012.03035.x
Ojo, O., Ojo, O. O., Adebowale, F., & Wang, X. H. (2018). The effect of dietary glycaemic
index on glycaemia in patients with type 2 diabetes: A systematic review and meta-analysis
of randomized controlled trials. In Nutrients. https://doi.org/10.3390/nu10030373
Ozougwu, O. (2013). The pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes
mellitus. Journal of Physiology and Pathophysiology.
https://doi.org/10.5897/jpap2013.0001
PERKENI. (2015). Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia 2015. Perkeni, 78. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Pudjihastuti, I., Sumardiono, S., Supriyo, E., & Kusumayanti, H. (2019). Analog Rice Made
from Cassava Flour, Corn and Taro for Food Diversification. E3S Web of Conferences.
https://doi.org/10.1051/e3sconf/201912503010
Punia, S., Dhull, S. B., Sandhu, K. S., Kaur, M., & Purewal, S. S. (2020). Kidney bean
( Phaseolus vulgaris ) starch: A review . Legume Science. https://doi.org/10.1002/leg3.52
Putra, F. D., & Mahmudiono, T. (2012). Hubungan tingkat konsumsi karbohidrat, lemak, dan
dietary fiber dengan kadar gula darah pada penderita diabetes. Media Gizi Indonesia.
Rehman, Z. ur, Salariya, A. M., & Zafar, S. I. (2001). Effect of processing on available
carbohydrate content and starch digestibility of kidney beans (Phaseolus vulgaris L.). Food
Chemistry, 73(3). https://doi.org/10.1016/S0308-8146(00)00311-3
REN21. (2016). Renewables 2016 Global Status Report. In Renewables 2016 Global Status
Report. https://doi.org/ISBN 978-3-9818107-0-7
RISKESDAS. (2018). Hasil Utama Riskesdas Tentang Prevalensi Diabetes Mellitus di
Indonesia 2018. Hasil Utama Riskesdas Tentang Prevalensi Diabetes Melitus Di Indonesia
2018.
Robertson, M. D. (2012). Dietary-resistant starch and glucose metabolism. In Current Opinion
in Clinical Nutrition and Metabolic Care. https://doi.org/10.1097/MCO.0b013e3283536931
Satgas Remaja IDAI, & Setyarini, L. (2013). Nutrisi pada Remaja. 2013.
Sievenpiper, J. L., Kendall, C. W. C., Esfahani, A., Wong, J. M. W., Carleton, A. J., Jiang, H. Y.,
Bazinet, R. P., Vidgen, E., & Jenkins, D. J. A. (2009). Effect of non-oil-seed pulses on
glycaemic control: A systematic review and meta-analysis of randomised controlled
experimental trials in people with and without diabetes. Diabetologia.
https://doi.org/10.1007/s00125-009-1395-7
Smith, L., Roberts, J., Johnstone, J., & Yang, L. (2019). Overweight and obesity. In
Encyclopedia of Biomedical Gerontology. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-801238-
3.62144-X
Soegondo, S., & Purnamasari, D. (2006). Sindrom Metabolik ( dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam). Balai Penerbitan Dep. Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Sumardiono, S., Pudjihastuti, I., Poerwoprajitno, A. R., & Suswadi, M. S. (2014).
Physichocemical properties of analog rice from composite flour: Cassava, green bean and
hanjeli. World Applied Sciences Journal, 32(6).
https://doi.org/10.5829/idosi.wasj.2014.32.06.708
Sun, L., Tan, K. W. J., Lim, J. Z., Magkos, F., & Henry, C. J. (2018). Dietary fat and
carbohydrate quality have independent effects on postprandial glucose and lipid responses.
European Journal of Nutrition. https://doi.org/10.1007/s00394-016-1313-y
Vega-López, S., Venn, B. J., & Slavin, J. L. (2018). Relevance of the glycemic index and
glycemic load for body weight, diabetes, and cardiovascular disease. In Nutrients.
https://doi.org/10.3390/nu10101361
Wahjuningsih, S. B., Haslina, Untari, S., & Wijanarka, A. (2018). Hypoglycemic effect of analog
rice made from modified cassava flour (Mocaf), arrowroot flour and kidney bean flour on
STZ-NA induced diabetic rats. Asian Journal of Clinical Nutrition, 10(1), 8–15.
https://doi.org/10.3923/ajcn.2018.8.15
Wahjuningsih, S. B., Marsono, Y., Praseptiangga, D., & Haryanto, B. (2016). Resistant starch
content and glycaemic index of Sago (Metroxylon spp.) starch and red bean (Phaseolus
Vulgaris) based analogue rice. Pakistan Journal of Nutrition.
https://doi.org/10.3923/pjn.2016.667.672
Wahjuningsih, S., Haslina, H., & Marsono, M. (2018). Hypolipidaemic Effects of High Resistant
Starch Sago and Red Bean Flour- based Analog Rice on Diabetic Rats. Materia Socio
Medica. https://doi.org/10.5455/msm.2018.30.232-239
Widara, S. S. (2012). Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat
Menggunakan Teknologi Hot Extrusion. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/57975
World Health Organization. (2013). A global brief on Hypertension - World Health Day 2013. In
World Health Organization. https://doi.org/10.1136/bmj.1.4815.882-a
Yang, X., Darko, K. O., Huang, Y., He, C., Yang, H., He, S., Li, J., Hocher, B., & Yin, Y.
(2017). Resistant starch regulates gut microbiota: Structure, biochemistry and cell
signalling. In Cellular Physiology and Biochemistry. https://doi.org/10.1159/000477386

Anda mungkin juga menyukai