Anda di halaman 1dari 26

PENGARUH PEMBERIAN BERAS ANALOG SAGU DENGAN KACANG MERAH

TERHADAP C PEPTIDE DAN HOMA – IR PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE


2 DENGAN OBESITAS
(Studi Eksperimental pada Pasien Diabetes Tipe 2 dengan Obesitas)

Tesis
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana S2

Disusun Oleh :

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Management Diabetes Mellitus tipe 2 (DM tipe 2) selama ini banyak terfokus hanya pada
terapi farmakologi. Management diet makanan juga diperlukan sebagai penunjang dalam terapi
DM tipe 2. Salah satu sumber karbohidrat mayoritas di Indonesia adalah beras. Diperlukan
pengganti sumber karbohidrat dengan glikemik indeks rendah untuk pasien DM tipe 2. Pasien
DM tipe 2 disarankan untuk konsumsi makanan glikemik indeks rendah (30 – 40 % serat dan
35% lemak yang telah tersaturasi) untuk mengkontrol glukosa dan kolesterol (Mahan &
Raymond, 2017). Beras dapat sebagai bahan pangan yang digunakan dalam beberapa intervensi
kesehatan seperti pada beras analog (Fauziyah et al., 2017). Beras analog merupakan jenis
karbohidrat yang terbentuk dari bahan non – beras seperti dari bahan sagu pati dan kacang merah
(S. Wahjuningsih et al., 2018). Pati sagu mengandung rendah protein dengan sumber tambahan
protein dari tepung kacang merah (Phaseolus vulgaris) yang mengandung tinggi serat dan rendah
GI = 26 (S. B. Wahjuningsih et al., 2016). Kacang merah telah banyak digunakan sebagai bahan
untuk substitusi dalam perkembangan produk seperti pada nasi dan roti.
Data DM tipe 2 pada tahun 2017, 8.8% populasi di seluruh dunia menderita DM tipe 2,
data tersebut peningkatan kasus lebih tinggi dari perhitungan WHO pada tahun 2014, yang
menyatakan bahwa terdapat 693 juta pasien DM tipe 2 berkisar di usia 18 – 99 tahun atau 9.9%
populasi di seluruh dunia (REN21, 2016). Negara di wilayah Arab – Afrika Utara menempati
peringkat pertama di dunia dan kedua pada prevalensi diabetes pada usia 20 – 79 tahun sebesar
12.2% dan 11.4%. Asia tenggara menempati peringkat ketiga dengan prevalensi sebesar 11.3%
(Internation Diabetes Federation, 2019). Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi
diabetes melitus yang terdiagnosis pada usia >15 tahun sebesar 2%, terjadi peningkatan
prevalensi diabetes melitus pada usia >15 tahun sebesar 1.5 % pada tahun 2013. Seluruh provinsi
di Indonesia mengalami peningkatan kasus diabetes melitus, provinsi dengan peringkat tertinggi
kasus diabetes melitus di Indonesia adalah DKI Jakarta sebesar 3.4%, sedangkan Jawa Tengah
pada peringkat ke-11 provinsi tertinggi kasus diabetes sebesar 2.1% (Kementerian Kesehatan RI,
2020). Penderita diabetes melitus di Jawa Tengah mengalami peningkatan dengan diabetes
menempati peringkat ke-2 penyakit tidak menular tertinggi sebesar 15.77% di tahun 2015
menjadi 22.1% di tahun 2016 (RISKESDAS, 2018).
Asupan makanan, diet rendah serat dengan glikemik index yang tinggi berhubungan
dengan peningkatan resiko diabetes (Ojo et al., 2018). Pati dengan glikemik indeks yang rendah
seperti resistant starch (RS) dapat digunakan sebagai terapi dalam DM tipe 2. Namun diet
dengan konsumsi RS ini mengalami kendala. Kendala yang dirasakan adalah kurangnya
pengetahuian gizi masyarakat, minimnya kesiapan masyarakat untuk mengganti makanan pokok
dan ketersediaan produk pangan yang memenuhi kesiapan masyarakat (BUDIJANTO, 2015).
Produk olahan sumber karbohidrat diet dengan glikemik indeks rendah perlu dikembangkan
seperti beras analog. Beras analog diharapkan dapat diterima oleh masyarakat yang terbiasa
dengan mengkonsumsi beras padi.
Penelitian sebelumnya pada menyatakan bahwa konsumsi beras sago analog memiliki
kadar HOMA – IR paling rendah dibandingkan dengan konsumsi beras mentik wangi, diet
standart, dan beras analog kacang merah (S. Wahjuningsih et al., 2018). Pada penelitian
sebelumnya pada tikus diabetes, beras analog memiliki efek hipoglikemik melalui proses
fermentasi microflora dengan SCFA (Short Chain Fatty Acid). SCFA menurunkan kadar gula
darah dan menghambat kerusakan sel beta pancreas (S. B. Wahjuningsih et al., 2018). Sejalan
dengan penelitian oleh Mariska Pricilla pada percobaan tikus, beras analog secara signifikan
menurunkan gula darah setelah mengkonsumsi beras analog selama 21 hari dan membantu
regenerasi sel beta pancreas pada gambaran histopatologi. SCFA dapat meningkatkan sensitifitas
insulin, meningkatkan toleransi glukosa dan menurunkan apoptosis sel beta pada uji coba hewan
yang mengalami diabetes dan obesitas (Khan & Jena, 2014). Namun untuk saat ini penelitian
pengaruh resistant starch terhadap c – peptide dan HOMA- IR pada pasien DM tipe 2 dengan
obesitas pada manusia belum pernah dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka diperlukan upaya penelitian berupa resistant –
starch untuk membantu terapi pada pasien DM tipe yang dapat diukur dengan melihat c – peptide
dan HOMA-IR.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah :

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan
pertanyaan : “Apakah Beras Analog dapat mempengaruhi kadar C – Peptide dan HOMA – IR
pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan obesitas?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
 Untuk mengetahui pengaruh pemberian beras analog terhadap kadar c – peptide
dan HOMA – IR pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Obesitas

1.3.2 Tujuan Khusus


 Untuk mengetahui pengaruh beras analog terhadap kadar C – Peptide pada
pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Obesitas.
 Untuk mengetahui pengaruh beras analog terhadap kadar HOMA - IR pada
pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Obesitas.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
 Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan tentang pengaruh pemberian beras
analog terhadap c – peptide dan HOMA – IR pada pasien Diabetes Melitus tipe
2 dengan Obesitas
1.4.2 Manfaat Praktis
 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan masukan
bagi praktisi kedokteran.
1.5 Orisinalitas Penelitian
Penelitian ini berjudul “Pengaruh Pemberian Beras Analog terhadap Kadar c – peptide dan
HOMA-IR pada Diabetes Melitus tipe 2 dengan obesitas”. Metode yang digunakan yaitu
true experimental dengan rancangan pre post test control group design, yang dilakukan
selama 30 hari Adapun penelitian penunjang yang telah ditemukan peneliti sebagi berikut :
Peneliti Judul Penelitian Sampel Hasil Penelitian
Wahjuningsih, S., Hypolipidaemic 35 tikus jantan wistar Kelompok sagu
Haslina, H., & Effects of High diabetes dibagi menjadi 5 menunjukkan angka
Marsono, M. Resistant Starch kelompok : (1) kelompok HOMA – IR paling
(2018) Sago and Red Kontrol Standart diet, (2) rendah dengan kadar
Bean Flour- kelompok sagu, (3) 1.96 diikuti kelompok
based Analog Kelompok beras mentik beras analog tepung
Rice on Diabetic wangi (4) Kelompok beras kacang merah dan
Rats analog dengan 10% tepung kelompok mentik wangi.
kacang merah Pada gambaran histologi
didapatkan jumlah paling
besar sel Langerhans
pada kelompok beras
analog dibandingkan
dengan kelompok beras
mentik wangi
Bodinham, C. L., Efficacy of 17 pasien DM tipe 2 Pemberian suplemen
Smith, L., increased dengan rata – rata BMI HAM-RS2 signifikan
Thomas, E. L., resistant starch 30.6 diberikan suplemen menurunkan konsentrasi
Bell, J. D., consumption in placebo dan 40 gram glukosa postpandrial,
Swann, J. R., human type 2 resistant starch tipe 2 meningkatkan ambilan
Costabile, A., diabetes setiap hari dengan masing glukosa di otot, tidak
Russell-Jones, D., masing suplemen terdapat perbedaan
Umpleby, A. M., dikonsumsi selama 12 signifikan pada Hba1C
& Robertson, M. minggu. dan sensitifitas insulin
D. (2014) perifer atau hepatic.
Penurunan GLP-1 secara
signifikan pada suplemen
HAM-RS2
Lijuan Sun, Kevin Dietary fat and Random sampel 20 pria Glukosa, insulin dan c –
Wei Jie Tan, carbohydrate Chinese yang sehat. peptide signifikan
Joseph Zhien quality have Subjek random memilih menurun pada glikemik
Lim, Faidon independent menu 6 isokalorik meal index yang rendah
Magkos, effects on berbeda secara kualitas dibandingkan dengan
Christiani postprandial karbohidrat dan fat. glikemik index yang
Jeyakumar Henry glucose and Terbagi menjadi 40 gram tinggi.
(2016) lipid responses SFA/mentega,
polyunsaturated
fat/PUFA/minyak zaitun
dan 50 gram rendah
glikemik index (beras
basmati) atau tinggi
glikemik index (beras
jasmine).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. Diabetes melitus (DM)

Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang dikenal oleh
masyarakat Indonesia dengan nama penyakit kencing manis. DM adalah penyakit gangguan
metabolik yang terjadi secara kronis atau menahun karena tubuh tidak mempunyai hormon
insulin yang cukup akibat gangguan pada sekresi insulin, hormon insulin yang tidak bekerja
sebagaimana mestinya atau keduanya (Kemenkes RI, 2018).

World Health Organization (2016) menyebutkan bahwa Penyakit ini ditandai dengan
munculnya gejala khas yaitu poliphagia, polidipsia dan poliuria serta sebagian mengalami
kehilangan berat badan. DM merupakan penyakit kronis yang sangat perlu diperhatikan
dengan serius. DM yang tidak terkontrol dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti
kerusakan mata, ginjal pembuluh darah, saraf dan jantung.

2.1 Epidemiologi Diabetes Melitus (DM)

Prevalensi penderita DM di seluruh dunia sangat tinggi dan cenderung meningkat


setiap tahun. Jumlah penderita DM di seluruh dunia mencapai 422 juta penderita pada
tahun 2014. Jumlah penderita tersebut jauh meningkat dari tahun 1980 yang hanya 180
juta penderita. Jumlah penderita DM yang tinggi terdapat di wilayah South-East Asia
dan Western Pacific yang jumlahnya mencapai setengah dari jumlah seluruh penderita
DM di seluruh dunia. Satu dari sebelas penduduk adalah penderita DM dan 3,7 juta
kematian disebabkan oleh DM maupun komplikasi dari DM (World Health
Organization, 2013).

Penderita DM di Indonesia berdasarkan data dari IDF pada tahun 2014 berjumlah 9,1
juta atau 5,7 % dari total penduduk. Jumlah tersebut hanya untuk penderita DM yang
telah terdiagnosis dan masih banyak penderita DM yang belum terdiagnosis. Indonesia
merupakan negara peringkat ke-5 dengan jumlah penderita DM terbanyak pada tahun
2014. Indonesia pada tahun 2013 berada diperingkat ke 7 penderita DM terbanyak di
dunia dengan jumlah penderita 7,6 juta (PERKENI, 2015).
2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus (DM)

Organisasi profesi yang berhubungan dengan DM seperti American Diabetes


Association (ADA) telah membagi jenis DM berdasarkan penyebabnya. PERKENI dan
IDAI sebagai organisasi yang sama di Indonesia menggunakan klasifikasi dengan dasar
yang sama seperti klasifikasi yang dibuat oleh organisasi yang lainnya (PERKENI,
2015). Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015) adalah sebagai
berikut :

a) Diabetes melitus (DM) tipe 1


DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di pankreas. kerusakan ini
berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara absolut. Penyebab dari
kerusakan sel beta antara lain autoimun dan idiopatik.
b) Diabetes melitus (DM) tipe 2
Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin. Insulin dalam
jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal sehingga menyebabkan
kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara
relatif pada penderita DM tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi defisiensi insulin
absolut.
c) Diabetes melitus (DM ) tipe lain
Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini dapat disebabkan oleh defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan imunologi dan sindrom
genetik lain yang berkaitan dengan DM.
d) Diabetes melitus Gestasional

2.2.1 Diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2)


DM tipe 2 adalah penyakit kronis dengan karakteristik terjadi
peningkatan glukosa darah (hiperglikemia) dalam tubuh. Penyebab dari
DM adalah gangguan pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya. DM
tipe 2 disebabkan oleh perpaduan antara gangguan aksi insulin (resistensi
insulin) dan defisiensi insulin yang terjadi secara relatif sebagai
kompensasi sekresi insulin yang tidak adekuat . (Kemenkes RI, 2018)

2.2.2 Epidemologi DM tipe 2


Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 240 juta jiwa.
Penderita DM di Indonesia berjumlah 9,1 juta penderita pada tahun 2014
dan terus meningkat. DM tipe 2 lebih banyak diderita oleh orang dengan
umur > 40 tahun dan orang dengan obesitas. Kelompok umur remaja dan
anak-anak jarang menderita DM tipe 2. DM tipe 2 lebih banyak ditemukan
dibandingkan dengan DM tipe 1 dan DM tipe lain yang jumlah
penderitanya mencapai 90-95 % dari seluruh atau total penderita diabetes
melitus (IDAI, 2017)
2.2.3 Etiologi DM tipe 2
Penyebab diabetes melitus sampai sekarang belum diketahui
dengan pasti tetapi umumnya diketahui karena kekurangan insulin adalah
penyebab utama dan faktor herediter memiliki peran penting.
Penyebab-penyebab tertentu yang berhubungan dengan proses
terjadinya diabetes melitus tipe 2 menurut Guyton dan Hall, yaitu : Usia
(resistensi insulin cenderung meningkat pada usia 65 tahun keatas tetapi
sekarang usia 20 tahun keatas sudah terdapat yang terserang DM tipe 2),
obesitas dan riwayat keluarga. Sedangkan berdasarkan kelompoknya
Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM) tentu memiliki etiologi yang berbeda.
a) Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) Sering terjadi pada
usia sebelum 30 tahun, biasanya disebut dengan Juvenille
Diabetes. Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor
pencetus IDDM. Sedangkan lingkungan bisa berasal dari infeksi
virus misalnya virus Coxsackievirus B dan streptococcus. Virus
tersebut menyerang pulau Langerhans Pankreas sehingga
produksi insulin berkurang dan bisa saja akibat respon autoimun,
dimana antibodi sendiri akan menyerang sel β pankreas.
b) Non Insulin Diabetes Melitus (NIDDM) Kelebihan berat badan
(overweight) memiliki peran penting dalam terjadinya NIDDM
karena overweight membutuhkan banyak insulin 14 untuk
metabolisme. Terjadinya Hiperglikemia disaat pankreas tidak
cukup untuk menghasilkan insulin dan jumlah reseptor insulin
menurun sehingga banyak gula darah yang tidak diikat sehingga
beredar didalam darah.
2.2.4 Insulin dan Resistensi Insulin DM tipe 2
Insulin merupakan hormone peptide yang diproduksi oleh sel beta
pankreas dari pulau Langerhans. Insulin mengatur kadar glukosa di
dalam darah melalui reuptake glukosa seluler (Wilcox, 2005). Insulin
berikatan dengan reseptor insulit yang diikat dengan disulfide dan
berlokasi di membrane sel. Insulin terikat dengan subunit alpha
ekstraseluler mengakibatkan perubahan bentuk komponen intraseluler
subunit beta oleh ATP (Wilcox, 2005). Ikatan tersebut memicu fosforilasi
dari sub unit beta melalui enzim tyrosine kinase. Fosforilasi tyrosine
kinase pada intraseluler disebut dengan IRS (Samuel & Shulman, 2016).
IRS memiliki berbagai jenis protein terletak terbesar di otot (IRS1), hati
(IRS2), jaringan adiposa, sel beta dan liver (IRS3), timus, otak dan ginjal
(IRS4). IRS akan berikatan dengan enzim seperti phosphatidylinositol-3-
kinase (PI 3-kinase) dan phosphotyrosine phosphatase SHPTP2 (atau
Syp) (Samuel & Shulman, 2016). Pada sel otot dan adiposa
membutuhkan insulin dan glukosa konsentrasi tinggi sehingga
membutuhkan enzim PI 3-kinase untuk translokasi GLUT4 ke membrane
sel pada otot dan adiposa (Wilcox, 2005)
Resisten insulin menjadi peran penting sebagai terjadinya DM tipe
2. Resisten insulin merupakan manifestasi tingkat seluler dari kerusakan
sinyal insulin post reseptor. Mekanisme yang terjadi antara lain down
regulasi, defisiensi atau polimorfisme genetik dari fosforilasi tyrosine
reseptor insulin, protein IRS atau PI 3-kinase atau abnormalitas fungsi
GLUT – 4 yang disebabkan oleh berbagai hal (Wilcox, 2005).
Otot dan hati mengalami resistensi insulin menjadi penyebab
utama DM tipe 2. Kegagalan sel beta pankreas untuk dapat bekerja secara
optimal juga menjadi penyebab dari DM tipe 2 (PERKENI, 2015). DM
tipe 2 adalah jenis DM yang paling umum diderita oleh penduduk di
Indonesia. Kombinasi faktor risiko, resistensi insulin dan sel-sel tidak
menggunakan insulin secara efektif menyebabkan DM tipe 2 (Diabetes
Prevention Program Research Group, 2009).
2.2.5 Patofisiologi Resisten Insulin dengan obesitas
Jaringan adiposa memberikan kontribusi resisten insulin secara
local dan sistemik melalui efek sel inflamasi pada reseptor insulin,
metabolism adiposit dan efek endokrin yang dihasilkan oleh sel adiposa
yang sering terjadi pada otot dan hati (Wu & Ballantyne, 2020).
Penelitian terbaru pada tikus menunjukan bahwa peningkatan makrofag
adiposa dapat meningkatkan ekspresi MCP – 1 yang sering terjadi pada
resisten insulin (Wu & Ballantyne, 2020). Peningkatan MCP – 1 dan
granulocyte colony – stimulating factor memanggil monosit dari sirkulasi
ke jaringan adiposa sehingga berdifferensiasi menjadi makrofag pro
inflamasi (tipe M1).
Deposisi lemak pada obesitas dapat menyebabkan sitokin pro
inflamasi seperti TNF-alpha dan IL-6 yang dapat mengaktifkan jalur JNK
dan NFkBeta yang dapat memperberat resisten insulin. Selain melalui
jalur JNK, obesitas dapat mengaktifasi serine kinase yang dapat
mengganggu fosforilasi tyrosine IRS (SP et al., 2016).
Obesitas dapat meningkatkan free fatty acid (FFA) plasma
diakibatkan oleh lipolysis trigliserida dari jaringan adiposa yang
mengganggu metabolism insulin (Ravussin & Smith, 2015). Peningkatan
FFA juga menyebabkan peningkatan deposisi lemak di jaringan target
insulin seperti pada otot skeletal yang dihubungkan dengan disfungsi
mitokondria dan resisten insulin menyebabkan gangguan transport gulosa
setelah makan akibat penurunan translokasi GLUT – 4 sehingga
menyebabkan down regulasi reseptor insulin (Weiyun Z. Ai,, Gregory
Barsh, Karen C. Bloch, 2014).

2.2.6 Diagnosis DM tipe 2


a. Pemeriksaan Hematologi
Diagnosis DM tipe 2 juga dapat ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126
mg/dl, kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl pada pemeriksaan glukosa 2 jam
post prandial dan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan
keluhan klasik DM adalah ketentuan untuk mendiagnosis DM tipe 2
berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah (World Health
Organization, 2013).
Ketentuan mendiagnosis DM tipe 2 menggunakan kadar glukosa
darah dibuat oleh oleh WHO dan Perkeni. Pemeriksaan kadar glukosa
darah dan pemeriksaan kadar C-Peptide dapat dilakukan untuk
mendiagnosis DM tipe 2. Kadar C-peptide pada penderita DM tipe 2
yang baru didiagnosis cenderung tinggi dibandingkan dengan kondisi
tidak menderita DM dan DM tipe 1 (Soegondo & Purnamasari, 2006).
Pengukuran resistensi insulin pada manusia berperan penting dalam
ilmu pengetahuan dasar dan dalam praktik klinis. Pemeriksaan marker
yang dapat membantu mengetahui sekresi insulin dan resistant insulin
secara jelas dapat melalui pemeriksaan c-peptide dan HOMA – IR..
Indeks pengukuran resistensi insulin dengan HOMA - IR pertama kali
diperkenalkan oleh Matthews dkk pada tahun 1985, menggunakan kadar
glukosa puasa dan insulin. Kadar insulin bergantung pada efek sel β
pankreas terhadap kadar glukosa, sedangkan kadar glukosa diregulasi
oleh produksi glukosa hepatik yang dimediasi insulin. Resistensi insulin
digambarkan sebagai penurunan efek supresi insulin terhadap produksi
glukosa hepatik (Singh and Saxena, 2010).
Pengukuran untuk pemeriksaan keberhasilan terapi dengan
mengukur kadar c – peptide dapat mengetahui kadar insulin di dalam
tubuh. C – peptide merupakan precursor pro insulin sehingga sel beta
yang menghasilkan c – peptide akan sama dengan jumlah insulin yang
disekresikan (Grönberg et al., 2020). C – peptide tidak terpengaruh oleh
insulin eksogen, tingkat kadar c – peptide pada 2 jam postprandial dapat
diukur secara bersamaan dengan test TTGO. Perhitungan untuk
mengukur fungsi sel beta pancreas dapat melalui perbandingan kadar c –
peptide setelah 2 jam post prandial (C2h) terhadap kadar c – peptide saat
puasa (C0) : C2h / C0 (Grönberg et al., 2020).
2.2.7 Pengukuran Obesitas
a. IMT (Indeks Massa Tubuh)
Penilaian obesitas dapat ditentukan dengan menghitung Indeks
Massa Tubuh seseorang. Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah indikator
yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur berat badan
berlebih dan obesitas pada orang dewasa (Centers of disease control,
2011). IMT menurut (Markowitz, 2018) dapat dihitung menggunakan
rumus sebagai berikut :

Berat Badan(kg)
IMT =
Tinggi Badan2 (m)
Tabel 2.1 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT untuk Asia
Pasifik menurut WHO (2000,2004,2012)

Klasifikasi IMT IMT (kg/m2)


Underweight <18.5
Normal 18.5 – 22.9
Beresiko Obesitas >23.0
Overweight 23.0 – 24.9
Obesitas I 25.0 – 29.9
Obesitas II >30.0
b. Lingkar Perut
Kegemukan merupakan keadaan penumpukan lemak tubuh yang
melebihi normal. Kelebihan lemak tersebut biasanya terlihat menumpuk
atau terdistribusi di sekitar perut. Semakin gemuk seseorang maka akan
diikuti dengan peningkatan ukuran lingkar perut. Distribusi lemak dalam
tubuh dibagi menjadi 2 tipe yakni android (distribusi lemak pada perut)
dan gynoid (distribusi lemak pada ekstremitas bawah). Suatu penelitian
menunjukkan bahwa tipe android dan gynoid keduanya memiliki
hubungan terhadap plantar pressure (Ricci Neri et al., 2017).

Tabel 2.2 Nilai normal lingkar perut pada laki-laki dan perempuan (WHO, 2008).

Jenis Kelamin Nilai Normal Lingkar Perut


Laki – laki >90 cm
Perempuan >80 cm

Pengukuran lingkar perut dilakukan dengan subjek dalam posisi


berdiri. Subjek diminta untuk menyingkap pakaian bagian atas untuk
menentukan titik pengukuran. Titik pertama yakni pada batas tepi tulang
rusuk paling bawah. Titik kedua yakni pada ujung lengkung tulang
panggul (ujung iliaka). Tetapkan titik tengah antara titik pertama dan titik
kedua. Subjek dalam posisi berdiri tegak dan bernafas normal. Pita
pengukur atau tape measure tidak boleh melipat dan harus menempel
langsung di atas kulit subjek. Pengukuran dilakukan dimulai dari titik
tengah dan sejajar secara horizontal melingkari perut kembali menuju
titik awal pengukuran. Catat angka yang dihasilkan.

Gambar 2.2 Pengukuran lingkar perut (Balitbangkes, 2007).


2.3. Beras Analog
2.3.1 Definisi Beras Analog

Beras analog merupakan beras buatan dengan menggunakan bahan


dari tepung non beras dan non terigu (Budijanto & Yuliyanti, 2012).
Beras analog memiliki penampilan, cara konsumsi dan kandungan gizi
yang serupa dengan beras padi. Keunggulan dalam beras analog adalah
kandungan gizi dapat ditingkatkan dengan mencampur bahan pangan
sebagai makanan sampingan seperti pada beras pada umumnya.
Keunggulan dari beras analog ini dapat mempermudah dalam program
difersifikasi tanpa merubah pola makan (BUDIJANTO, 2015).
Beras analog dapat dibuat dari berbagai macam bahan baku
dengan menggunakan teknologi hot extrusion. Bahan baku yang
digunakan akan menghasilkan beras analog yang memiliki extrusion
(Budijanto et al., 2018). Pemilihan bahan baku harus diperhatikan
secara kandungan kimia dari beras analog yang dihasilkan. Semakin
tinggi dan semakin cepat pati dicerna dapat meningkatkan glukosa yang
dihasilkan. Sehingga diperlukan beras analog yang memiliki glukosa
index yang rendah. Proses daya cerna setiap makanan berbeda – beda
dapat diketahui melalui indeks glikemik (IG). Glimeik indeks
merupakan system pengelompokan untuk mengetahui jenis bahan
makanan untuk melihat pengaruh terhadap kadar gula darah. Nilai IG
diukur dengan membandingkan luas kurva kenaikan glukosa darah
terhadap konsumsi pangan yang diuji (Vega-López et al., 2018).
2.3.2 Bahan baku beras analog
Beras analog dapat menggunakan bahan non beras atau dari bahan
pangan lain sehingga dapat dibentuk menjadi tepung beras sebagai
pengganti beras (Pudjihastuti et al., 2019). Bahan pangan non beras
sebagai bahan baku utama sebagai sumber karbohidrat dapat diperoleh
dari umbi – umbian dan sereal (Mishra et al., 2012). Sumber
karbohidrat ditentukan melalui karakteristik dan sifat yang menentukan
kandungan gizi dari beras analog. Sumber karbohidrat dapat
menentukan kandungan gizi dan karakteristik dari beras analog.
Komponen untuk proses pembuatan beras analog telah melalui
proses menghancurkan butiran beras dan telah terdegradasi. Selain
tepung beras dapat menggunakan bahan pangan sumber karbohidrat lain
seperti campuran sorgum, mocaf, jagung dan sagu (Widara, 2012),
singkong dengan singkong garut dan kacang merah (S. B.
Wahjuningsih et al., 2018), sagu dengan rumput laut (Loupatty et al.,
2019), singkong dan tepung hinjeli (Sumardiono et al., 2014). Sumber
karbohidrat pada beras analog yang dicampurkan dengan kacang kaya
protein akan menghasilkan beras analog yang kaya protein. Bahan
tambahan lain yang dibutuhkan dalam pembuatan beras analog adalah
air sebanyak 50% dan gliserol monostearate (GMS) 2% (Hadiyan et al.,
2018). GMS merupakan surfaktak non-ionik yang dapat digunakan
sebagai stabilizer dan emulsifier sehingga dapat merngurangi panas
proses ekstruksi dan membuat ekstrudat tidak lengket satu sama lain
namun meningkatkan WAI (water absorption index) (Damat et al.,
2020).

2.3.3 Sagu
Sagu (Metroxylon sp.) merupakan tanaman yang tumbuh di
daerah Asia Tenggara seperti indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini.
Sagu dapat tumbuh pada lingkungan ekstrem seperti badai, banjir, dan
tanah yang terlalu asam sehingga tanaman lain dapat mudah mati di
lingkungan tersebut. Di Indonesia, penggunaan tepung sagu sebagai
pahan telah banyak dikenal dalam berbagai bentuk produk seperti
papeda, lempeng sagu, sinloli dan sebagainya.
Komposisi bahan pati sagu setiap 100 gr memiliki kandungan 353
kalori, 0.7 gr protein, 0.2 gr lemak, 84.7 gr karbohidrat, 14 gr air, 13 mg
fosfor, 11 mg kalsium, dan 1.5 mg besi (Heryani & Silitonga, 2018).
Sumber komposisi terbesar dari sagu adalah karbohidrat. Nilai gizi pati
sagu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan tepung dari
tanaman umbi atau serelia, karena tidak mengandung pati yang tidak
tercerna sehingga memungkinkan sagu sebagai bahan campuran produk
beras analog atau bentuk produk lain (Hariyanto et al., 2017).
2.3.4 Kacang Merah
Kacang merah meruapakan kacang buncis tipe tegak (tidak
merambat) dan umumnya dipanen kacang yang tua, sehingga disebut
bush bean. Namun pada umumnya di pasar internasional kacang merah
disebut dengan kidney beans. Biji kacang merah berbentuk bulat agak
Panjang, warna merah atau merah berbintik – bintik putih. Kacang
merah (Phaseolus vulgaris L.) merupakan sumber yang mengandung 4
gr di setiap 100 gr kacang merah, yang terdiri dari serat larut dan serat
tidak larut (Iqbal et al., 2015). Kacang merah mengandung sumber
protein tinggi (20 – 25%), karbohidrat kompleks (50 – 60%) dan
berbagai sumber vitamin, mineral, asam lemak, folat dan serat (Rehman
et al., 2001). Kacang merah mengandung 22.7% protein, 3.5% mineral,
1% lemak dan 57.7% karbohidrat, 38.6% pati dan 18.8% serat (60%
larut dalam air dan 40% tidak larut dalam air) (Punia et al., 2020).
Fermentasi karbohidrat pada kacang merah menghasilkan SCFA
dan menurunkan pH di dalam usus (Fernandes et al., 2010). Kacang
merah merupakan sumber vitamin B terbaik dengan kandungan
mineral seperti K, Ca, Mg, P dan besi (Punia et al., 2020). Kandungan
kacang merah yang tinggi protein dan serat sering digunakan menjadi
berbagai jenis makanan seperti sereal, tepung, dan kombinasi dengan
sumber protein lain.
2.4 Hubungan Konsumsi Beras Analog terhadap C – peptide dan HOMA – IR
Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Obesitas
Metabolisme Diabetes Melitus tipe 2 melalui proses di dalam hati dan
jaringan lemak. Insulin mensintesis asam lemak dan trigliserid sehingga
menghambat proses lipolysis. Stimulus yang dihasilkan oleh insulin
mensekresikan asam lemak juga menstimulus sekresi VLDL (very low – density
lipoprotein) dan enzim HMG – KoA reductase (Mahfouz & Kummerow, 2000).
Beras Analog yang mengandung glucose index yang rendah dan diet fiber
yang tinggi menurunkan komponen pengikat kolesterol melalui subtrat untuk
menghasilkan SCFA (Short Fatty Acid) (S. B. Wahjuningsih et al., 2016). Sesuai
penelitian sebelumnya, RS yang tidak dapat dicerna dan di absorbsi oleh usus
halus, difermentasikan oleh flora normal di dalam kolon sehingga membuat
peningkatan dari SCFA melalui proses fermentasi (Khan & Jena, 2014) (Tachon
et al., 2013). SCFA terbukti secara signifikan meningkatkan sensitifitas insulin,
meningkatkan toleransi glukosa, dan menurunkan apoptosis sel beta penderita
obesitas dan diabetes pada percobaan hewan (Tachon et al., 2013) (Khan & Jena,
2014). Setelah konsumsi RS, pasien DM tipe 2 dengan obesitas mengalami
penurunan HOMA – IR secara signifikan (Aliasgharzadeh et al., 2015). Pada
percobaan konsumsi nasi rendah GI terbukti secara signifikan menurunkan
konsentrasi glukosa darah dan c – peptide (Sun et al., 2018).
Makanan rendah GI memiliki komponen serat pangan sumber serat
minimal 3% dan serat pangan tinggi serat minimal 6% , jumlah rerata minimal
serat yang dibutuhkan sesuai dengan jumlah beras analog sehingga beras analog
dapat dikatakan sebagai sumber serat (Foschia et al., 2013). Beras analog yang
memiliki serat tinggi membuat beras analog memiliki kadar indeks glikemik
rendah dan akan sulit dicerna (S. B. Wahjuningsih, 2019). Kesulitan dalam
proses cerna membuat kerja flora normal di dalam usus besar akan
meningkatkan volume usus, memperpendek proses cerna, dan menghasilkan
SCFA (S. Wahjuningsih et al., 2018).
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Teori

Obesitas

Peningkatan
jaringan adiposa

↑ pro Abnormalitas Defisiensi


inflamasi GLUT – 4) fosforilasi
(TNF – α dan tyrosine
IL – 6) recepter
↑FFA kinase
MCP -1

Resisten
Insulin

Pankreas

↑ Insulin
↑ C - peptide

3.2 Kerangka Konsep

Obesitas TNF – α Resisten Insulin


IL – 6 Diukur dengan HOMA
FFA – IR dan C - peptide
MCP - 1
3.3 Hipotesis
Terdapat pengaruh pemberian beras analog sagu dengan kacang merah terhadap C – peptide

dan HOMA – IR pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan obesitas.


DAFTAR PUSTAKA
Aliasgharzadeh, A., Dehghan, P., Gargari, B. P., & Asghari-Jafarabadi, M. (2015). Resistant
dextrin, as a prebiotic, improves insulin resistance and inflammation in women with type 2
diabetes: A randomised controlled clinical trial. British Journal of Nutrition, 113(2).
https://doi.org/10.1017/S0007114514003675
BUDIJANTO, S. (2015). Development of Rice Analog as a Food Diversification Vehicle in
Indonesia. Journal of Developments in Sustainable Agriculture.
https://doi.org/10.11178/jdsa.10.7
Budijanto, S., Andri, Y. I., Faridah, D. N., & Noviasari, S. (2018). Karakterisasi Kimia dan Efek
Hipoglikemik Beras Analog Berbahan Dasar Jagung, Sorgum, dan Sagu Aren. Agritech.
https://doi.org/10.22146/agritech.10383
Budijanto, S., & Yuliyanti. (2012). Studi persiapan tepung sorgum dan aplikasinya pada
pembuatan beras analog Study of Preparation Sorghum Flour. Teknologi Pertanian.
Centers of disease control. (2011). Body mass index: Considerations for practitioners. Cdc.
Damat, D., Natazza, R. A., & Wahyudi, V. A. (2020). Kajian Pembuatan Beras Analog Berbasis
Tepung Komposit dengan Penambahan Konsentrasi Bubur Rumput Laut (Gracilaria sp.)
dan Gliserol Monostearat. Food Technology and Halal Science Journal, 3(2).
https://doi.org/10.22219/fths.v3i2.13218
Diabetes Prevention Program Research Group. (2009). 10-year follow-up of diabetes incidence
and weight loss in the Diabetes Prevention Program Outcomes Study. The Lancet.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(09)61457-4
Fauziyah, A., Marliyati, S. A., & Kustiyah, L. (2017). SUBSTITUSI TEPUNG KACANG
MERAH MENINGKATKAN KANDUNGAN GIZI, SERAT PANGAN DAN
KAPASITAS ANTIOKSIDAN BERAS ANALOG SORGUM. Jurnal Gizi Dan Pangan.
https://doi.org/10.25182/jgp.2017.12.2.147-152
Fernandes, A. C., Nishida, W., & Da Costa Proença, R. P. (2010). Influence of soaking on the
nutritional quality of common beans (Phaseolus vulgaris L.) cooked with or without the
soaking water: A review. International Journal of Food Science and Technology, 45(11),
2209–2218. https://doi.org/10.1111/j.1365-2621.2010.02395.x
Foschia, M., Peressini, D., Sensidoni, A., & Brennan, C. S. (2013). The effects of dietary fibre
addition on the quality of common cereal products. In Journal of Cereal Science (Vol. 58,
Issue 2). https://doi.org/10.1016/j.jcs.2013.05.010
Grönberg, A., Espes, D., & Carlsson, P. O. (2020). Better HbA1c during the first years after
diagnosis of type 1 diabetes is associated with residual C peptide 10 years later. BMJ Open
Diabetes Research and Care, 8(1). https://doi.org/10.1136/bmjdrc-2019-000819
Hadiyan, I., Cahyadi, W., & Nurminabari, I. S. (2018). Perbandingan Tepung Sorgum (sorghum
bicolor l. moench) dengan Tepung Singkong (Manihot Escolenta) dan Konsentrasi Gliserol
Monostearat (GMS) terhadap Karakteristik Beras Analog Fortifikasi. AGRIEKSTENSIA,
17(2). https://doi.org/10.34145/agriekstensia.v17i2.86
Hariyanto, B., Cahyana, P. T., Putranto, A. T., Wahyuningsih, S. B., & Marsono, Y. (2017).
Penggunaan Beras Sagu Untuk Penderita Pradiabetes Use of Rice Sagu for Patients of
Prediabetes. Jurnal Pangan, 26(2).
Heryani, S., & Silitonga, R. F. (2018). Penggunaan Tepung Sagu (Metroxylon sp.) asal Riau
Sebagai Bahan Baku Kukis Cokelat. Warta Industri Hasil Pertanian, 34(2).
https://doi.org/10.32765/wartaihp.v34i2.3591
IDAI. (2017). Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak dan Remaja.
Jakarta.
Internation Diabetes Federation. (2019). IDF Diabetes Atlas Ninth. In Dunia : IDF.
Iqbal, A., Pintor, K. T., & Lisiswanti, R. (2015). Manfaat Tanaman Kacang Merah dalam
Menurunkan Kadar Glukosa Darah. Majority, 4(9).
Kemenkes RI. (2018). Cegah, Cegah, dan Cegah: Suara Dunia Perangi Diabetes - Direktorat
P2PTM. Direktorat P2PTM Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2020). Infodatin 2020. Kemenkes.
Khan, S., & Jena, G. B. (2014). Protective role of sodium butyrate, a HDAC inhibitor on beta-
cell proliferation, function and glucose homeostasis through modulation of p38/ERK
MAPK and apoptotic pathways: Study in juvenile diabetic rat. Chemico-Biological
Interactions. https://doi.org/10.1016/j.cbi.2014.02.001
Loupatty, V. D., Idrus, S., & Hadinoto, S. (2019). ANALOG RICE WITH THE RAW
MATERIAL CASSAVA AND ENRICHED OF SEAWEED. INTERNATIONAL
JOURNAL OF HEALTH MEDICINE AND CURRENT RESEARCH-IJHMCR, 4(2).
Mahan, L. K., & Raymond, J. L. (2017). Medical Nutrition Therapy for Diabetes Mellitus and
Hypoglycemia of Nondiabetic Origin. In Krause’s Food & The Nutrition Care Process.
Mahfouz, M. M., & Kummerow, F. A. (2000). Cholesterol-rich diets have different effects on
lipid peroxidation, cholesterol oxides, and antioxidant enzymes in rats and rabbits. Journal
of Nutritional Biochemistry, 11(5). https://doi.org/10.1016/S0955-2863(00)00083-8
Markowitz, J. S. (2018). Body mass index (BMI). In SpringerBriefs in Public Health.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-77203-5_5
Mishra, A., Mishra, H. N., & Srinivasa Rao, P. (2012). Preparation of rice analogues using
extrusion technology. In International Journal of Food Science and Technology (Vol. 47,
Issue 9, pp. 1789–1797). https://doi.org/10.1111/j.1365-2621.2012.03035.x
Ojo, O., Ojo, O. O., Adebowale, F., & Wang, X. H. (2018). The effect of dietary glycaemic
index on glycaemia in patients with type 2 diabetes: A systematic review and meta-analysis
of randomized controlled trials. In Nutrients. https://doi.org/10.3390/nu10030373
PERKENI. (2015). Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia 2015. Perkeni, 78. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Pudjihastuti, I., Sumardiono, S., Supriyo, E., & Kusumayanti, H. (2019). Analog Rice Made
from Cassava Flour, Corn and Taro for Food Diversification. E3S Web of Conferences.
https://doi.org/10.1051/e3sconf/201912503010
Punia, S., Dhull, S. B., Sandhu, K. S., Kaur, M., & Purewal, S. S. (2020). Kidney bean
( Phaseolus vulgaris ) starch: A review . Legume Science. https://doi.org/10.1002/leg3.52
Ravussin, E., & Smith, S. R. (2015). Role of the Adipocyte in Metabolism and Endocrine
Function. Endocrinology: Adult and Pediatric, 1–2, 627-647.e9.
https://doi.org/10.1016/B978-0-323-18907-1.00036-6
Rehman, Z. ur, Salariya, A. M., & Zafar, S. I. (2001). Effect of processing on available
carbohydrate content and starch digestibility of kidney beans (Phaseolus vulgaris L.). Food
Chemistry, 73(3). https://doi.org/10.1016/S0308-8146(00)00311-3
REN21. (2016). Renewables 2016 Global Status Report. In Renewables 2016 Global Status
Report. https://doi.org/ISBN 978-3-9818107-0-7
RISKESDAS. (2018). Hasil Utama Riskesdas Tentang Prevalensi Diabetes Mellitus di
Indonesia 2018. Hasil Utama Riskesdas Tentang Prevalensi Diabetes Melitus Di Indonesia
2018.
Sah, S. P., Singh, B., Choudhary, S., & Kumar, A. (2016). Animal models of insulin resistance:
A review. In Pharmacological Reports (Vol. 68, Issue 6).
https://doi.org/10.1016/j.pharep.2016.07.010
Samuel, V. T., & Shulman, G. I. (2016). The pathogenesis of insulin resistance: Integrating
signaling pathways and substrate flux. In Journal of Clinical Investigation (Vol. 126, Issue
1). https://doi.org/10.1172/JCI77812
Soegondo, S., & Purnamasari, D. (2006). Sindrom Metabolik ( dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam). Balai Penerbitan Dep. Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
SP, S., B, S., S, C., & A, K. (2016). Animal models of insulin resistance: A review.
Pharmacological Reports : PR, 68(6), 1165–1177.
https://doi.org/10.1016/J.PHAREP.2016.07.010
Sumardiono, S., Pudjihastuti, I., Poerwoprajitno, A. R., & Suswadi, M. S. (2014).
Physichocemical properties of analog rice from composite flour: Cassava, green bean and
hanjeli. World Applied Sciences Journal, 32(6).
https://doi.org/10.5829/idosi.wasj.2014.32.06.708
Sun, L., Tan, K. W. J., Lim, J. Z., Magkos, F., & Henry, C. J. (2018). Dietary fat and
carbohydrate quality have independent effects on postprandial glucose and lipid responses.
European Journal of Nutrition. https://doi.org/10.1007/s00394-016-1313-y
Tachon, S., Zhou, J., Keenan, M., Martin, R., & Marco, M. L. (2013). The intestinal microbiota
in aged mice is modulated by dietary resistant starch and correlated with improvements in
host responses. FEMS Microbiology Ecology, 83(2). https://doi.org/10.1111/j.1574-
6941.2012.01475.x
Vega-López, S., Venn, B. J., & Slavin, J. L. (2018). Relevance of the glycemic index and
glycemic load for body weight, diabetes, and cardiovascular disease. In Nutrients.
https://doi.org/10.3390/nu10101361
Wahjuningsih, S. B. (2019). KAJIAN INDEKS GLIKEMIK BERAS ANALOG BERBASIS
TEPUNG MOKAF, TEPUNG GARUT DAN TEPUNG KACANG MERAH. JURNAL
TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PANGAN, 3(2). https://doi.org/10.33061/jitipari.v3i2.2698
Wahjuningsih, S. B., Haslina, Untari, S., & Wijanarka, A. (2018). Hypoglycemic effect of analog
rice made from modified cassava flour (Mocaf), arrowroot flour and kidney bean flour on
STZ-NA induced diabetic rats. Asian Journal of Clinical Nutrition, 10(1), 8–15.
https://doi.org/10.3923/ajcn.2018.8.15
Wahjuningsih, S. B., Marsono, Y., Praseptiangga, D., & Haryanto, B. (2016). Resistant starch
content and glycaemic index of Sago (Metroxylon spp.) starch and red bean (Phaseolus
Vulgaris) based analogue rice. Pakistan Journal of Nutrition.
https://doi.org/10.3923/pjn.2016.667.672
Wahjuningsih, S., Haslina, H., & Marsono, M. (2018). Hypolipidaemic Effects of High Resistant
Starch Sago and Red Bean Flour- based Analog Rice on Diabetic Rats. Materia Socio
Medica. https://doi.org/10.5455/msm.2018.30.232-239
Weiyun Z. Ai,, Gregory Barsh, Karen C. Bloch, et all. (2014). Disorders of the Endocrine
Pancreas | Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical Medicine, 8e |
AccessPharmacy | McGraw Hill Medical (M. Gary D. Hammer, MD, PhD, Stephen J.
McPhee (ed.); 7th ed.). McGraw-Hill Education.
https://accesspharmacy.mhmedical.com/content.aspx?bookid=2468&sectionid=198223689
Widara, S. S. (2012). Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat
Menggunakan Teknologi Hot Extrusion. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/57975
Wilcox, G. (2005). Insulin and Insulin Resistance Gisela. Alimentary Pharmacology and
Therapeutics, Supplement, 22(2).
World Health Organization. (2013). A global brief on Hypertension - World Health Day 2013. In
World Health Organization. https://doi.org/10.1136/bmj.1.4815.882-a
Wu, H., & Ballantyne, C. M. (2020). Metabolic Inflammation and Insulin Resistance in Obesity.
Circulation Research. https://doi.org/10.1161/CIRCRESAHA.119.315896

Anda mungkin juga menyukai