Anda di halaman 1dari 23

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1.Penyakit Diabetes Melitus (DM)

Menurut WHO, diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang terjadi

ketika pankreas tidak mampu menghasilkan insulin yang cukup atau ketika tubuh

tidak bisa menggunakan insulin yang dihasilkan secara efektif (WHO 1999).

Kejadian hiperglikemi yang kronis pada penderita diabetes mempunyai hubungan

dengan disfungsi dan kerusakan jangka panjang, organ tubuh yang lain, gangguan

pembuluh darah dan syaraf (ADA 2014).

Untuk menegakkan diagnosis DM yaitu jika kadar glukosa darah dua jam

pembebanan hasilnya <140 mg/dl tidak dikatakan DM, 140-<200 mg/dl dikatakan

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), dan jika hasilnya ≥200 mg/dl baru

dikatakan DM (WHO 2006; ADA 2010; George Bakris et al. 2015). Sedangkan

untuk pengendalian diabetes melitus salah satunya dilakukan dengan cara

pemeriksaan kadar gula darah, dimana diabetes yang terkendali apabila kadar gula

darah mencapai kadar yang diharapkan yaitu untuk gula darah 1-2 jam PP kapiler

dibawah 180 mg/dl (ADA 2016; Perkeni 2015).

Klasifikasi diabetes melitus yaitu diabetes tipe 1 merupakan diabetes

akibat adanya kerusakan sel beta pada pankreas yang menyebabkan tubuh

kekurangan insulin secara absolut, diabetes tipe 2 merupakan diabetes akibat

resistensi insulin karena hilangnya progresif sekresi insulin dalam tubuh, diabetes

melitus gestasional (DMG) merupakan diabetes yang didiagnosis pada saat


2

kehamilan trimester kedua atau ketiga, dan diabetes karena penyebab lain yaitu

diabetes yang disebabkan karena adanya sindrom monogenik (diabetes neonatal),

penyakit pankreas eksokrin, penggunaan obat glukokortikoid, mengkonsumsi obat

HIV/AIDS, setelah melakukan transplantasi organ, dan karena infeksi (ADA

2016; Perkeni 2011).

Diabetes melitus terjadi di seluruh dunia, terutama tipe 2 yang umumnya

tersebar di negara yang sedang berkembang karena mengikuti tren urbanisasi dan

perubahan pola hidup, termasuk gaya hidup yang meningkat, aktifitas fisik yang

kurang dan transisi nutrisi global, ditandai dengan peningkatan asupan makanan

yang tinggi energi tapi miskin gizi (sering tinggi gula dan lemak jenuh yang

tinggi, kadang-kadang disebut sebagai yang Pola Diet Barat) (WHO 2016; Sarah

2004). Risiko terkena diabetes tipe 2 telah banyak ditemukan berkaitan dengan

kondisi sosial-ekonomi yang rendah di seluruh negara.(Agardh et al. 2011).

Sebanyak 6,9 persen penduduk ≥15 tahun diketahui dengan diabetes

melitus (DM), toleransi glukosa terganggu (TGT) 29,9%, dan gula darah puasa

(GDP) terganggu sebesar 36,6% (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI 2014).

Prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter atau tenaga kesehatan menurut

Riskesdas (2013) tertinggi pada kelompok umur 55-64 tahun sebesar 5,5%,

didominasi oleh jenis kelamin perempuan yaitu sebesar 2,3%, berdasarkan tempat

tinggal tertinggi di wilayah perkotaan sebesar 2,5% (Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan RI 2013).


3

1.2.Pengendalian Diabetes Melitus

Pilar penatalaksanaan diabetes melitus perlu dilakukan untuk mengontrol

kadar gula darah tetap normal dan mencegah adanya komplikasi ke penyakit lain,

berdasarkan konsensus tentang penatalaksanaan penyakit diabetes melitus tipe 2

yang dikeluarkan oleh Perkeni, ada empat komponen utama dalam

penatalaksanaan diabetes melitus, yaitu pendidikan dan edukasi, terapi gizi medis,

aktifitas fisik atau olah raga, dan intervensi obat-obatan (Perkeni 2011).

2.2.1 Terapi Gizi Medis

American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa bagian paling

menantang dari rencana perawatan bagi penderita diabetes adalah menentukan apa

yang harus dimakan. ADA mengakui peran integral dari terapi gizi medis dalam

manajemen diabetes secara keseluruhan dan merekomendasikan bahwa setiap

penderita diabetes harus secara aktif dan terkait dalam manajemen diri,

pendidikan, dan perencanaan pengobatan dengan atau tim perawatan

kesehatannya, termasuk pengembangan kolaboratif terhadap rencana

makan/dietnya (ADA 2016).

Bagi penderita diabetes tipe 1 atau tipe 2 yang mendapat resep terapi insulin,

pendidikan tentang cara menggunakan penghitungan karbohidrat atau estimasi

untuk menentukan waktu makan dengan dosis insulin sangat penting sehingga

dapat meningkatkan kontrol glikemik. Penderita diabetes tipe 2 yang dosis insulin

setiap harinya adalah tetap, perlu memiliki pola asupan karbohidrat yang

konsisten dari sisi waktu dan jumlah, sehingga dapat membantu meningkatkan
4

kontrol glikemik dan mengurangi risiko hipoglikemia (ADA 2016). Karena tidak

ada satu jenis makanan yang ideal kalorinya antara kandungan karbohidrat, lemak,

dan protein bagi penderita diabetes, dimana asupan karbohidrat dari biji-bijian,

sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, dan produk susu, dengan penekanan

pada makanan tinggi serat dan rendah beban glikemik harus dianjurkan,

dibandingkan sumber-sumber lain terutama yang mengandung gula (ADA 2016).

Komposisi makanan yang dianjurkan menurut Perkeni, yaitu karbohidrat

terutama yang berserat tinggi sebanyak 45-65% dari total asupan energi, 20-25%

kebutuhan kalori terpenuhi dari asupan lemak terutama lemak tidak jenuh, 10-

20% kebutuhan kalori terpenuhi dari asupan protein, dan asupan serat ±30 gr/hari

(Perkeni 2011). Dalam sehari, komposisi makanan disesuaikan dengan kebutuhan

penderita yang dibagi dalam tiga porsi utama yaitu makan pagi (20%), makan

siang (30%), dan makan sore (25%), serta 2-3 porsi untuk makanan selingan (10-

15%).

2.2.2 Obat-Obatan/Intervensi Obat-Obatan

Pemberian obat-obatan terkait dengan pengendalian gula darah seperti

obat antidiabetika oral dan terapi insulin dapat dipertimbangkan jika pemberian

edukasi tentang DM, penerapan pengaturan makan/diet dan aktifitas fisik yang

teratur tidak mampu mengendalikan kadar gula darah (Soegondo 2013). Terapi

obat-obatan/terapi farmakologis ini tidak boleh berjalan sendiri, harus

dikombinasikan dengan pengaturan makan, latihan jasmani dan juga edukasi

mengenai efek samping obat dan interaksi obat dengan makanan yang

dikonsumsi (Perkeni 2011).


5

Golongan obat hipoglikemi oral yaitu golongan sulfonilurea yang sistem

kerjanya merangsang pelepasan insulin yang tersimpan dalam sel beta pankreas,

golongan biguanid yang cara kerjanya menekan produksi glukosa dalam hati dan

Terapi sehingga kadar glukosa dalam darah menurun, golongan analog

meglitinida yang cara kerjanya merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas,

golongan penghambat alfa glukosidase yang cara kerjanya memperlambat

penyerapan glukosa ke dalam darah dengan menghambat kerja enzim-enzim

pencernaan yang mencerna karbohidrat, dan golongan tiazolidindion yang cara

kerjanya meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin sehingga menurunkan

resistensi insulin (Muchid et al. 2005; Badan POM RI 2010).

Untuk terapi insulin, dibedakan menjadi suntikan subkutan insulin kerja

sedang atau kerja lama yaitu suntikan insulin yang mulai bekerja kira-kira 1-2 jam

setelah disuntikkan ke dalam tubuh dengan efek maksimalnya adalah 4-12 jam

setelah disuntikkan dan pengaruhnya antara 16-35 jam, suntikan subkutan insulin

reaksi kerja cepat yaitu suntikan insulin yang mulai bekerja kira-kira 30-60 menit

setelah disuntikkan ke dalam tubuh dengan efek maksimal antara 2-4 jam setelah

disuntikkan dan lama kerjanya 6-8 jam (Muchid et al. 2005). Untuk saat ini, sudah

tersedia jenis suntikan insulin yang merupakan kombinasi dari insulin kerja

sedang/lama dengan kerja cepat yang sering disebut jenis suntikan insulin

campuran (premixed) yang di bedakan menjadi dua, yaitu campuran (premixed)

insulin manusia yang mulai bekerja dalam tubuh dalam waktu 30-60 menit dengan

bekerja secara maksimal setelah 3-12 jam dan premixed insulin analog, yang

bekerja dalam waktu 12-30 menit setelah dimasukkan dalam tubuh, dan bereaksi

maksimal setelah 1-4 jam (Rismayanthi 2010).


6

Keberhasilan terapi obat-obatan dalam mengontrol gula darah pada pasien

diabetes salah satunya dipengaruhi oleh kepatuhan dalam memakainya (minum

obat/suntik insulin). Untuk mengukur kepatuhan minum obat/suntik insulin pada

penderita diabetes, sejumlah penelitian menggunakan Morisky Medication

Adeherence Scale dengan 8 skala (MMAS-8) (Morisky et al. 2008; Wang et al.

2013; M Al-Haj Mohd et al. 2016; Sankar et al. 2013). Metode MMAS-8 ini

menggunakan delapan pertanyaan, meliputi aspek motivasi dan pengetahuan

pasien terhadap pengobatan yang dilakukan. Pertanyaan nomor 1, 2, 6, dan 8

mengenai motivasi, sedangkan pertanyaan nomor 3, 4, 5, dan 7 mengenai

pengetahuan. Kemudian dianalisis menggunakan Case Management Adherence

Guideline (CMAG). Akan didapatkan hasil yaitu skor kurang dari 6 menunjukkan

kepatuhan yang rendah, skor 6-7 menunjukkan kepatuhan menengah, dan skor 8

menunjukkan kepatuhan yang tinggi. Penilaian kepatuhan berdasarkan motivasi

dan pengetahuan pasien. Jika motivasi dan pengetahuan pasien rendah, maka

tingkat kepatuhan pasien rendah. Jika pasien memiliki motivasi tinggi dan

pengetahuan rendah atau motivasi rendah dan pengetahuan tinggi, maka tingkat

pengetahuan pasien sedang. Jika motivasi dan pengetahuan pasien tinggi, maka

tingkat kepatuhan pasien tinggi. Pengukuran dengan MMAS-8 ini dipilih oleh

karena dinilai memiliki kehandalan dalam mengukur kepatuhan minum obat untuk

berbagai penyakit yang bersifat kronis termasuk diabetes melitus (Case

Management Society of America 2006).


7

2.2.3 Aktivitas Fisik/Latihan Jasmani

Aktivitas fisik termasuk salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes tipe 2,

khususnya yang tidak mempunyai komplikasi nefropati. Aktivitas fisik dilakukan

secara teratur sebanyak 3-5 kali dalam seminggu selama 30-45 menit, dengan total

150 menit dalam seminggu (ADA 2016). Aktivitas fisik yang dimaksud tidak

termasuk kegiatan sehari-hari seperti melakukan pekerjaan rumah tangga,

aktivitas dalam bekerja, meskipun penderita diabetes dianjurkan untuk tetap aktif

setiap hari. Selain untuk menjaga kebugaran dan membantu dalam menjaga dan

atau menurunkan berat badan, aktivitas fisik yang teratur juga dapat memperbaiki

tingkat sensitivitas kadar insulin sehingga bisa mendukung upaya pengendalian

kadar gula darah (Perkeni 2015). Adapun aktivitas fisik/latihan jasmani yang

dianjurkan yaitu olah raga yang termasuk kategori intensitas sedang seperti jalan

cepat, renang, jogging, dan bersepeda santai (ADA 2016).

2.2.4 IMT/Obesitas

Obesitas atau kegemukan merupakan suatu kondisi jaringan lemak atau

jaringan adiposa yang berlebih didalam tubuh. Salah satu metode pengukuran

yang dipakai untuk menentukan obesitas yaitu dengan antropometri. Penentuan

tingkatan obesitas dengan metode antropometri berdasarkan Indeks Massa Tubuh

(IMT) penduduk kawasan Asia Pasifik, dibagi menjadi dua yaitu obesitas tingkat I

(IMT≥25 kg/m2) dan obesitas tingkat II (IMT≥30 kg/m2) (Seidell JC ; Visscher

TL 2008; Bray GA 1998). Peningkatan kadar gula dalam darah disebabkan karena

glukosa sulit memasuki sel sebagai akibat dari terjadinya resistensi insulin
8

(Clare-salzier MJ; Crawford JM; Kumar 2007). Penelitian yang dilakukan di RS

Tugurejo, Semarang mendapatkan hasil bahwa indeks massa tubuh berhubungan

dengan kadar gula darah pada pasien diabetes tipe 2 yang menjalani rawat jalan

(Adnan dkk. 2013).

1.3.Pengendalian Kadar Gula Darah

Kadar glukosa darah puasa yang dianjurkan untuk pasien diabetes melitus

supaya tetap terkontrol adalah 80-130 mg/dl, dan untuk kadar glukosa darah 1-2

jam postprandial adalah <180 mg/dl (ADA 2016). Dalam keadaan normal,

apabila kadar glukosa darah meningkat, kelenjar pankreas akan mengeluarkan

insulin, kemudian insulin akan masuk kedalam aliran darah dan 50% akan

disalurkan ke reseptor hati, 10-20% disalurkan ke ginjal, dan 30-40% disalurkan

ke sel darah, otot dan jaringan lemak (Soewondo 2006). Jika kadar insulin dalam

tubuh cukup dan atau fungsi insulin tidak mengalami gangguan, maka kelebihan

glukosa dalam aliran darah akan segera di proses untuk menunjang metabolisme

tubuh (Soewondo 2006).

Glukosa darah berfungsi sebagai sumber utama yang akan diubah menjadi

sumber energi dan akan menstimulasi keluarnya insulin dari sel beta pankreas,

gula darah tidak akan dapat masuk ke dalam sel-sel jaringan tubuh seperti otot,

jaringan lemak tanpa adanya insulin, sehingga jika insulin tidak ada atau tidak

berfungsi baik maka gula darah tidak akan bisa di metabolisme dan akan

menumpuk (Soegondo dkk. 2004). Keadaan normal, insulin dalam tubuh akan

meningkat seiring dengan konsumsi makanan dan akan kembali normal dalam 2

jam setelah makan (Suckale 2008).


9

Glukosa darah merupakan gula yang terbentuk dari karbohidrat dalam

makanan yang sudah dikonsumsi, yang terdapat dalam darah dan disimpan dalam

bentuk glikogen di hati dan otot rangka (Kee 2007). Dalam Kamus Kedokteran

Dorland, gula darah merupakan sumber tenaga yang utama bagi organisme hidup,

yang fungsinya dikontrol oleh insulin, umumnya tingkat gula darah berada pada

batas 4-8 mmol/l (70-150 mg/dl) sepanjang hari, dan akan meningkat setelah

makan dan menurun/level terendah pada pagi hari sebelum sarapan/makan pagi

(Dorland 2010).

Energi yang digunakan untuk menunjang fungsi sel dan kerja jaringan

sebagian besar bersumber dari gula darah, dimana kadar glukosa darah

dikendalikan oleh beberapa mekanisme homeostatik yang dalam keadaan normal

(sehat) kadar gula darah dipertahankan dalam rentang 70-110 mg/dl pada saat

puasa, walaupun pembentukan energi alternatif bisa berasal dari metabolisme

asam lemak namun masih lebih efektif energi yang berasal dari pembakaran gula

darah secara langsung karena pembentukan energi dari proses metabolisme asam

lemak menghasilkan metabolit-metabolit asam yang jika menumpuk akan

berakibat berbahaya (Sacher 2004).

Setelah makanan dengan kandungan glukosa telah dikonsumsi dan sudah

melewati proses pencernaan, dalam kondisi normal kadar gula darah akan

meningkat namun batas tertinggi adalah 170 mg/dl, dalam mekanisme

mempertahankan kadar gula darah tetap normal banyak hormon yang terlibat baik

pada saat kadar gula darah dalam keadaan normal maupun meningkat sebagai

respon terhadap stres, naik turunnya level glukosa dalam darah dikontrol oleh
10

pankreas, bila konsentrasinya menurun karena digunakan untuk memenuhi

kebutuhan energi tubuh maka pankreas akan melepaskan glikogen yaitu suatu

hormon yang bekerja dalam sel-sel dalam hati yang kemudian glikogen akan

diproses menjadi glukosa (proses glikogenolisis) dan dilepaskan kedalam aliran

darah untuk meningkatkan level gula darah, sebaliknya jika terjadi peningkatan

level gula darah, pankreas akan melepaskan hormon insulin yang akan mengubah

glukosa menjadi glikogen dalam hati (proses glikogenesis) sehingga level gula

darah akan menurun (Sacher 2004).

Ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab naiknya gula darah seperti

konsumsi makanan secara berlebih, aktifitas fisik (olah raga) yang kurang,

meningkatnya stress dan faktor emosi, berat badan berlebih (obesitas), dan

sebagai dampak dari terapi obat-obatan tertentu misalnya steroid (Fox, Charles;

Kilvert 2010).

Stres menyebabkan peningkatan sekresi hormon epineprin dan kortisol

yang meningkatkan kadar glukosa darah, pada penderita diabetes melitus, stres

fisiologi dan emosional seperti keadaan sakit, infeksi dan pembedahan dapat

menimbulkan hiperglikemia. Hormon-hormon stres yang meningkat seperti

epinefrin, norepinefrin, glukagon, kortisol dan peningkatan hormon untuk

pertumbuhan terjadi sebagai bentuk respon tubuh terhadap stres. Hormon-hormon

ini membuat hati akan meningkatkan produksi gula darah dan mengganggu

penyerapan glukosa ke dalam sel jaringan otot serta lemak dengan cara melawan

sistem kerja dari insulin sehingga kadar glukosa darah akan meningkat (Lorentz

2006).
11

Stres fisiologis dan emosional seperti keadaan sakit, infeksi dan

pembedahan dapat menimbulkan hiperglikemia pada penderita DM, kondisi stres

pada individu akan memicu peningkatan hormon stres dalam tubuh yang akan

meningkatkan kadar glukosa darah khususnya bila asupan makanan dan

pemberian insulin tidak diubah (Smeltzer et al. 2010). Hasil penelitian Muflihatin,

disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stres dengan

kadar glukosa darah pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUD Abdul Wahab

Syahranie Samarinda dengan arah hubungan yang positif dengan kekuatan

korelasi sedang (Muflihatin 2015).

Aktivitas fisik secara teratur dapat meningkatkan kepekaan sel-sel dalam

tubuh terhadap insulin dalam merubah gula darah menjadi energi (Perkeni 2015).

Dari hasil penelitian, aktivitas fisik jalan santai secara bermakna berpengaruh

terhadap penurunan kadar gula darah (Fauzi 2013; Widiya 2015). Penelitian

lainnya yaitu senam aerobik yang merupakan salah satu aktivitas fisik intensitas

sedang berpengaruh secara bermakna dalam mengontrol kadar gula darah (Ahmad

dkk. 2014; Astuti dkk. 2016; Indriyani dkk. 2007).

Penurunan berat badan dan menjaga berat badan untuk tetap normal secara

berkelanjutan pada penderita diabetes tipe 2 yang mengalami kelebihan berat

badan dan obesitas telah terbukti meningkatkan kontrol glikemik dan mengurangi

kebutuhan untuk konsumsi obat anti diabetes (ADA 2010). Penelitian di India

pada tahun 2013 mendapatkan hasil bahwa kelebihan berat badan dan obesitas

berhubungan secara signifikan dengan kadar gula darah (Bhati et al. 2013).
12

Hiperglikemia diketahui sebagai salah satu komplikasi dari pemberian

kortikosteroid dan dapat menjadi faktor prognosis negatif pada pasien diabetes

melitus tipe 2 (DM tipe 2) (Davenport & Dennis 2000). Peningkatan glukosa

darah akan terjadi setelah beberapa hari menggunakan oral kortikosteroid dan

akan berubah tergantung waktu, dosis dan tipe kortikosteroid yang digunakan

(Diabetes Australia 2009). Hasil penelitian Pilkey di Kanada juga menunjukkan

adanya peningkatan glukosa darah akibat peningkatan dosis deksametason (Pilkey

et al. 2012).

Peningkatan kadar glukosa darah sebagai akibat dari menurunnya toleransi

glukosa darah juga bisa disebabkan oleh efek samping dari pemakaian kontrasepsi

oral, hal ini terlihat jika hasil tes toleransi glukosa dibandingkan antara pemakai

kontrasepsi oral (KB) dengan yang tidak, dimana pada pengguna kontrasepsi oral

kadar glukosa darahnya akan lebih tinggi (Stubblefield et al. 2007). Umumnya

gangguan metabolisme karbohidrat yang dialami pengguna pil KB bisa

disebabkan karena memiliki riwayat keturunan menderita DM khususnya dari

orang tua dan saudara kandung, pernah menderita kencing manis (DM) pada

waktu hamil, dan kegemukan. Hormon progesteron telah secara nyata

mempengaruhi metabolisme karbohidrat ini, sedangkan hormon estrogen tidak

berpengaruh secara berarti. Efek pemakaian pil KB seperti timbulnya gangguan

toleransi glukosa, dan sebagai penyebab terjadinya resistensi insulin.


13

1.4. Kaitan Asupan Karbohidrat, Indeks Glikemik dan Beban Glikemik

dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Melitus

Secara tradisional penggolongan karbohidrat menurut struktur kimianya

dibedakan menjadi dua yaitu karbohidrat kompleks dan karbohidrat sederhana,

karbohidrat dalam pangan dengan indeks glikemik tinggi akan dipecah dengan

cepat selama pencernaan sehingga respon glukosa menjadi cepat dan tinggi atau

glukosa dalam aliran darah meningkat dengan cepat, sebaliknya proses

pemecahannya karbohidrat yang memiliki indeks glikemik rendah akan berjalan

lambat sehingga akan memperlambat proses pelepasan glukosa ke dalam darah

(Rimbawan & Siagian 2004).

Setiap jenis pangan mempunyai perbedaan dalam hal kecepatan

kemampuan meningkatkan kadar gula darah, maka dari itu peningkatan konsumsi

pangan dengan indeks glikemik rendah dan pengurangan konsumsi pangan

dengan indeks glikemik tinggi lebih dianjurkan supaya beban glikemik pangan

dapat dikurangi secara keseluruhan. Beban glikemik bisa digunakan untuk menilai

dampak yang ditimbulkan akibat konsumsi karbohidrat dengan memperhitungkan

indeks glikemik pangan dan jumlah asupan karbohidrat, dimana beban glikemik

akan memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai peningkatan kadar gula

darah karena konsumsi pangan (Rimbawan & Siagian 2004).


14

2.4.1 Asupan Karbohidrat

Karbohidrat merupakan suatu zat gizi yang fungsi utamanya adalah

sebagai penghasil energi, dimana setiap satu gram karbohidrat menghasilkan 4

kkal, dimana karbohidrat lebih banyak di konsumsi sehari-hari sebagai bahan

makanan pokok, dimana jumlah asupan karbohidrat pada negara sedang

berkembang sekitar 70-80% dari total asupan kalori, hal ini sebagai akibat dari

harga bahan makanan sumber karbohidrat lebih murah dan lebih mudah didapat

dibandingkan bahan makanan sumber lemak maupun protein, karbohidrat banyak

ditemukan pada produk serealia seperti beras, gandum, jagung, kentang dan

sebagainya, serta pada biji-bijian, dan jika dilihat dari komposisi kimianya,

karbohidrat dikelompokkan kedalam karbohidrat sederhana dan karbohidrat

komplek, karbohidrat sederhana umumnya manis seperti terdapat pada gula

murni, buah-buahan dan susu, sedangkan karbohidrat komplek terdapat dalam

serealia seperti beras, jagung, gandum dan kacang-kacangan (Soekirman 2000).

Hubungan karbohidrat dengan diabetes melitus sangat besar pengaruhnya

karena bahan makanan yang berasal dari jenis karbohidrat murni seperti gula

pasir, gula jawa, selai, madu, permen, coklat, biskuit, jajan pasar, teh manis, sirup,

kopi manis, dan sari buah yang dapat memicu atau meningkatnya kadar gula

dalam darah (Winarno, 2008). Karbohidrat yang bersumber dari bahan makanan

akan merangsang produksi hormon insulin, akibatnya resistensi insulin

pengolahan karbohidrat tidak berjalan secara optimal maka gula pun menumpuk

dalam darah, sebagian besar tersaring oleh ginjal dan terbuang begitu saja melalui

urine tanpa bisa dipakai oleh tubuh. Inilah yang membuat pengidap diabetes selalu

lemas dan mengantuk karena kehilangan sumber tenaga, sering kencing, cepat

lapar dan cepat haus serta pandangan mata lama kelamaan semakin kabur (Beck

2011).
15

Bagi penderita diabetes melitus tipe 2 dengan mengkonsumsi karbohidrat

komplek dan serat makanan yang cukup akan menekan gula darah sedemikian

rupa sehingga jauh lebih rendah dari biasanya dan itu sangat membantu untuk

terapi dietnya. Asupan karbohidrat pada diabetes melitus merupakan komponen

pengelolaan diabetes sehingga perlu penerapan komposisi diet yang sesuai untuk

kontrol gula (Soegondo 2013). Bagi penderita diabetes perlu ditekankan

pentingnya pengaturan makan dalam hal ketepatan jadwal makan, jenis bahan

makanan, dan jumlah porsi makanan, utamanya pada mereka yang menggunakan

obat antidiabetika dan dianjurkan mengkonsumsi bahan makanan sumber

karbohidrat komplek serta tidak dianjurkan mengkonsumsi sumber karbohidrat

sederhana dan makanan olahan (Perkeni 2011).

Hasil penelitian di Yunani, menunjukkan bahwa konsumsi karbohidrat dan

protein yang berasal dari daging lebih tinggi dari jumlah yang ditentukan dapat

menyebabkan resistensi insulin dan pengembangan penyakit kronis terkait, seperti

obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular (Panagiotakos et al. 2005). Hasil

penelitian lain pada pasien diabetes melitus tipe 2 di wilayah kerja Kota Makasar,

mendapatkan hasil bahwa asupan karbohidrat berhubungan dengan tidak

terkontrolnya kadar gula (Idris dkk. 2014). Sedangkan Ali M.Nur dalam

penelitiannya juga mendapatkan hasil bahwa asupan energi, karbohidrat, lemak,

asupan sayur dan buah berhubungan dengan kadar gukosa darah pasien,

sedangkan asupan protein tidak berhubungan terhadap kadar gula darah pada

pasien DM tipe 2 di Kota Ternate (Nur M. Ali 2012).


16

2.4.2 Indeks Glikemik

Konsep Indeks glikemik (GI) konsep diperkenalkan oleh Jenkins pada

awal tahun 1980 sebagai sistem peringkat untuk karbohidrat berdasarkan dampak

langsung terhadap darah kadar glukosa, pada awalnya indeks glikemik dirancang

untuk orang-orang dengan diabetes sebagai panduan untuk memilih makanan,

saran yang diberikan adalah memilih makanan dengan GI rendah, makanan

dengan indeks glikemik rendah dianggap memberikan manfaat yang lebih baik

terhadap respon glikemik setelah proses pencernaan dibandingkan dengan

makanan dengan indeks glikemik tinggi dan konsep indeks glikemik telah

diperpanjang untuk memperhitungkan juga efek dari jumlah total karbohidrat

yang dikonsumsi (Jenkins et al. 1981; Jenkins et al. 1983).

Definisi indeks glikemik menurut FAO yaitu luas area di bawah kurva atas

respon glukosa darah terhadap 50 gr karbohidrat dari makanan uji yang

dinyatakan sebagai persen terhadap 50 gr karbohidrat dari makanan standar yang

diambil dari subjek yang sama (FAO 1998). Indeks glikemik adalah respons

glukosa darah dalam tubuh terhadap makanan dibandingkan respons glukosa

darah tubuh terhadap glukosa murni, indeks glikemik berguna untuk menentukan

respons glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi, dan

indeks glikemik bahan makanan berbeda-beda tergantung respons biologis atau

respons fisiologis bahan makanan tersebut, bukan pada kandungan kimianya

(Waspadji dkk. 2003).


17

Indeks glikemik tinggi pada bahan makanan akan menghasilkan

peningkatan kadar glukosa darah yang cepat dan tinggi (hiperglikemia) sehingga

memicu peningkatan laju sekresi insulin (hiperinsulinemia), sehingga keadaan

hiperglikemia dan hiperinsulinemia postprandial dapat memicu peningkatan

resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas (Pi-Sunyer 2002). Terdapat

hubungan yang bermakna pada sebagian besar makanan, antara respon glukosa

darah dan respon insulin, ketika terjadi hiperglikemia postprandial maka akan

diikuti hiperinsulinemia postprandial, jadi makanan dengan indeks glikemik

rendah dapat mengurangi terjadinya hiperglikemia dan hiperinsulinemia

postprandial (Radulian et al, 2009).

Terdapat dua faktor yang secara umum dapat mempengaruhi nilai indeks

glikemik suatu makanan, yaitu faktor individu dan faktor makanan. Faktor

individu yang dapat mempengaruhi respon glukosa darah seseorang terhadap

makanan antara lain sensitivitas insulin, fungsi sel beta pankreas, motilitas saluran

gastrointestinal, metabolisme makanan sebelumnya, usia, jenis kelamin, dan

derajat obesitas (Jenkins et al. 2002). Faktor makanan yang dapat mempengaruhi

respon glukosa darah antara lain tingkat gelatinisasi pati, bentuk fisik makanan,

rasio amilosa dan amilopektin, serat, gula sederhana, keasaman, protein dan lemak

serta tingkat kematangan makanan (Kalergis et al. 2005).

Penggolongan nilai indeks glikemik, ada tiga yaitu kategori rendah bila

nilai indeks glikemik ≤55, kategori sedang jika nilai indeks glikemik berada pada

rentang 56-69, dan kategori tinggi jika nilai indeks glikemik ≥70 (Ministers 2005).

Hasil penelitian Wolever, menyatakan bahwa mengurangi keseluruhan pengaruh


18

indeks glikemik pada diet dengan tanpa mengubah komposisi zat gizi termasuk

serat, akan meningkatkan kontrol gula darah dan lemak baik secara signifikan

(Wolever et al. 1991). Willet dalam hasil penelitiannya menyatakan dengan

mengganti jenis karbohidrat yang kandungan indeks glikemiknya tinggi ke

karbohidrat dengan indeks glikemik yang rendah akan meningkatkan kontrol

glikemik (Willett et al. 2002). Sebuah penelitian di Hawai menunjukkan adanya

hubungan positif antara peningkatan kadar gula darah dengan asupan karbohidrat

jenis monosakarida yang tinggi (Kawate et al. 2006). Penelitian lain menunjukkan

bahwa diet yang memiliki indeks glikemik maupun beban glikemik tinggi

berkaitan dengan meningkatnya risiko diabetes baik pada pria maupun wanita

(Pereira et al. 2002). Begitu juga sebaliknya diet biji-bijian (indeks glikemik

rendah) berkaitan dengan penurunan risiko menderita diabetes tipe 2 pada pria

(Fung et al. 2002).

Akan tetapi ada beberapa penelitian menemukan sebaliknya. Beberapa

penelitian kohort menemukan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

yang ditemukan antara total asupan karbohidrat kejadian diabetes melitus tipe 2

(Scientific Advisory Committee on Nutrition 2015). Suatu penelitian cohort

prospektif di Jerman mendapatkan hasil bahwa konsumsi karbohidrat yang tinggi

terkait dengan penurunan resiko diabetes (Schulze et al. 2008). Hasil penelitian

pada wanita di Lowa, menunjukkan bahwa indeks glikemik dan beban glikemik

tidak terkait dengan kejadian diabetes (Meyer et al. 2000). Hasil yang sama juga

ditemukan dalam penelitian Janket et al, melalui studi antara asupan gula dengan

risiko diabetes melitus tipe 2 pada wanita yang hasilnya adalah selain indeks
19

glikemik dan beban glikemik tidak berhubungan dengan diabetes, juga

menunjukan hasil bahwa asupan gula tidak berdampak merugikan pada

penanganan diabetes tipe 2 (Janket et al. 2003). Hasil penelitian lain di Makasar

menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara indeks

glikemik tinggi, sedang, rendah pada makanan yang dikonsumsi dengan kadar

glukosa darah (Taqwa dkk. 2014).

2.4.3 Beban Glikemik

Beban glikemik (GL) merupakan suatu perangkat pengukuran yang lebih

akurat untuk menilai dampak dari konsumsi karbohidrat, beban glikemik

memberikan gambaran lebih lengkap dibandingkan indeks glikemik karena beban

glikemik memasukkan jumlah porsi karbohidrat dalam perhitungannnya, suatu

nilai beban glikemik akan memberitahu seberapa cepat jumlah porsi karbohidrat

tertentu berubah menjadi gula (Rakel 2008). Beban glikemik dapat dijadikan

sebagai indikator dari respon glukosa darah dan respon insulin yang diinduksi

oleh satu porsi makanan (Barclay et al. 2008).

Melihat dari definisinya, beban glikemik lebih membandingkan kualitas

karbohidrat dibandingkan kuantitas pada suatu jenis makanan, pada tahun 1997

konsep beban glikemik mulai diperkenalkan oleh salah seorang peneliti dari

Universitas Harvard untuk mengukur glycemic effect dari satu porsi makanan,

semakin tinggi nilai beban glikemik maka akan semakin tinggi ekspektasi

peningkatan kadar gula darah dan efek insulinogenik dari makanan (Salmeron et

al. 1997).
20

Hubungan antara indeks glikemik dengan beban glikemik tidak selalu

berbanding lurus. Makanan dengan indeks glikemik tinggi jika dikonsumsi dalam

jumlah yang sedikit dapat saja memiliki beban glikemik yang rendah atau sedang,

sebaliknya jika makanan dengan indeks glikemik rendah akan memiliki beban

glikemik sedang atau tinggi jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar, oleh sebab

itu sebaiknya nilai beban glikemik dilabelkan pada kemasan makanan karena

beban glikemik lebih menggambarkan pengaruh glikemik setelah mengkonsumsi

satu porsi makanan tersebut (Venn & Green 2007).

Untuk menghitung nilai beban glikemik (BG), nilai indeks glikemik harus

ditentukan terlebih dahulu, setelah itu nilai indeks glikemik dikalikan dengan

jumlah karbohidrat yang terdapat dalam satu porsi makanan dan dibagi dengan

angka 100, nilai beban glikemik berhubungan dengan dampak suatu porsi makan

terhadap kadar gula darah, serta sebagai panduan untuk memilih makanan, nilai

beban glikemik diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu beban glikemik tinggi bila

nilainya 10 atau kurang, sedang bila rentang nilainya antara diatas 10 sampai

dibawah 20, dan beban glikemiknya tinggi bila nilai nya 20 atau lebih, sedangkan

untuk beban glikemik konsumsi makanan harian yang direkomendasikan dapat

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu rendah jika nilai beban glikemiknya dibawah

80, dan tinggi bila nilai beban glikemiknya diatas 120 (Wilkins 2007).

Nilai beban glikemik akan banyak berpengaruh jika terdapat perbedaan

mencolok baik dari nilai indeks glikemik yang ada ataupun jumlah karbohidrat

yang terdapat dalam satu porsi makanan. Beban glikemik akan lebih spesifik

melihat umpan balik dari sebuah makanan dengan tambahan perhitungan terhadap

beberapa komponen makanan yang sebelumnya diabaikan (Self NutritionData

2014).
21

Beban glikemik akan mengurutkan mutu pangan berdasarkan indeks

glikemik dan kandungan karbohidrat dalam pangan, karena beban glikemik lebih

memberikan gambaran karbohidrat dari sisi kualitas dan kuantitas serta

interaksinya dalam bahan pangan (Liu et al. 2001). Beban glikemik tinggi pada

pangan yang dikonsumsi akan menyebabkan terjadinya counterregulatory

hormones sehingga terjadi peningkatan asam lemak bebas postprandial dalam

tubuh, akibatnya adalah meningkatnya resistensi insulin, peningkatan resistensi

insulin dalam waktu yang lama akan mengakibatkan terjadinya intoleransi glukosa

dan akhirnya menderita diabetes melitus (Willett et al. 2002).

Terjadinya diabetes karena adanya intoleransi glukosa juga bisa

disebabkan oleh kelelahan sel β pada pankreas dalam memproduksi insulin untuk

memenuhi peningkatan kebutuhan insulin dalam tubuh, peningkatan terjadi bisa

karena adanya peningkatan resistensi insulin akibat asam lemak bebas

postprandial meningkat, juga bisa terjadi oleh perpaduan antara konsumsi pangan

dengan beban glikemik yang tinggi dan resistensi insulin akibat obesitas, riwayat

keturunan diabetes (gen) dan kurangnya aktivitas fisik yang teratur (Rimbawan &

Siagian 2004).

Penelitian Bhupathiraju, menemukan hasil bahwa diet tinggi indeks

glikemik dan tinggi beban glikemik dihubungkan dengan peningkatan risiko

terjadinya diabetes melitus tipe 2 (Bhupathiraju et al. 2014). Diet dengan beban

glikemik rendah dan didukung dengan prinsip-prinsip diet Mediterania tradisional

dapat mengurangi insiden diabetes tipe 2 (Rossi et al. 2013). Diet dengan indeks

glikemik tinggi atau beban glikemik tinggi mungkin menjadi faktor prediposisi
22

tingginya konsentrasi glukosa darah postprandial yang bisa meningkatkan

intoleransi glukosa dan risiko diabetes melitus tipe 2 (Greenwood et al. 2013).

Hasil penelitian lain menemukan bahwa jika beban glikemik makanan yang

dikonsumsi tinggi, maka kadar gula darah pada saat puasa dan kadar gula darah 2

jam postprandial akan semakin tinggi (Widiastuti 2009). Penelitian di RSUP DR

Sardjito, Yogyakarta terhadap pasien diabetes melitus tipe 2 menyatakan bahwa

asupan indeks glikemik, beban glikemik, dan jadwal makan berhubungan dengan

kontrol gula darah (Permatasari 2014). Studi kohort prospektif dan meta analisis

yang dilakukan Livesey & Taylor (2013) menemukan bahwa orang yang

mengkonsumsi diet beban glikemik rendah mempunyai resiko yang lebih rendah

menderita diabetes melitus tipe 2 (Livesey & Taylor 2013).

Mengurangi beban glikemik pada pengaturan makan bisa menjadi metode

yang efektif untuk meningkatkan kontrol glikemik pada penderita diabetes melitus

tipe 2 (Delage 2016). Pengaturan makanan dengan mengkonsumsi karbohidrat

yang lebih lambat dicerna, diserap, dan dimetabolisme dalam jumlah yang tepat

(indeks glikemik dan beban glikemik rendah) telah dikaitkan dengan penurunan

risiko diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, membantu manajemen berat badan

melalui efek rasa kenyang dan juga menunjukkan bahwa indeks glikemik dan

beban glikemik harus menjadi pertimbangan penting dalam pencegahan dan

pengelolaan makanan penderita diabetes (Marsh et al. 2011). Namun ada

penelitian lain yang menyatakan bahwa pola konsumsi berdasarkan beban

glikemik tidak ada hubungan yang signifikan dengan kadar glukosa darah (Taqwa

dkk. 2014).
23

Anda mungkin juga menyukai