Anda di halaman 1dari 91

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu Penyakit Tidak Menular

(PTM) yang menjadi perhatian dan masalah kesehatan masyarakat,baik secara

nasional maupun global. Menurut American Diabetes Association (ADA),

diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis dan kompleks yang membutuhkan

perawatan medis berkelanjutan dengan strategi mengendalikan berbagai resiko

multifaktor demi tercapainya target terkontrol kadar gula dalam darah (ADA,

2016).

DM di definisikan sebagai suatu penyakit kronis yang terjadi ketika

pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara

efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya, (WHO, 2018). Insulin adalah

hormon yang mengatur gula darah. Hiperglikemia, atau peningkatan gula darah,

adalah efek umum dari diabetes yang tidak terkontrol dari waktu ke waktu

menyebabkan kerusakan serius pada banyak sistem tubuh, terutama saraf dan

pembuluh darah. Berbagai komplikasi dapat timbul akibat kadar gula darah yang

tidak terkontrol, misalnya neuropati, hipertensi, jantung koroner, retinopati,

nefropati, dan gangren (WHO, 2018).

Berdasarkan data Diabetes Atlas 2013, sebanyak 382.000.000 orang di

seluruh dunia atau 8,3% dari 4,6 milyar orang dewasa (20-79 tahun) diperkirakan

menderita diabetes. DM telah menjadi penyebab kematian terbesar keempat

di dunia (IDF, 2013), dan diperkirakan ada 5,1 juta kematian di dunia yang

disebabkan oleh diabetes dan setengahnya (48%) adalah orang-orang yang berusia

1
di bawah 60 tahun. Sehingga diabetes menjadi penyebab utama kematian dini.

Kematian yang disebabkan diabetes terus meningkat dan diperkirakan jumlahnya

mengalami kenaikan sebesar 11% pada tahun 2013 (IDF, 2013). Berdasarkan

data WHO 2013, Indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah

penderita diabetes  terbesar di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat.

Dengan prevalensi 8,6% dari total penduduk, diperkirakan 2025 meningkat

menjadi 12,4 juta penderita yang sebelumnya mencapai angka 4,5 juta di tahun

1995. Sesuai data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun

2013, jumlah pasien diabetes rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit

menempati urutan pertama dari seluruh penyakit endokrin. 

Pada tahun 2020, diperkirakan Indonesia akan memiliki 12 Juta penderita

diabetes, karena adanya kecenderungan penderita diabetes pada usia muda.

Berdasarkan berdasarkan hasil riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi DM

mengalami kenaikan jika dibandingkan tahun 2013, hal ini didasarkan hasil

pemeriksaan gula darah pada penduduk usia 15 tahun keatas di Indonesia adalah

sebesar 6,9% ( 2013) dan menjadi 8,5% (2018) dengan rincian prevalensi

diabetes tertinggi di DKI Jakarta sebesar 3,4% dan terendah di NTT sebesar 0,9%

(Kemenkes RI, 2018).

Tujuan pengobatan diabetes adalah untuk mempertahankan

keseimbangan kadar gula darah dan meminimalisasi resiko komplikasi.

Menjaga keseimbangan kadar gula darah dapat dilakukan dengan menerapkan

pola makan sehat atau melakukan olahraga teratur. Selain itu, dibutuhkan

perhatian khusus dari keluarga ataupun tenaga kesehatan yang terlibat dalam

pemantauan kondisi pasien DM.

2
DM terbagi menjadi dua kategori utama yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2,

DM tipe 1 disebut insulin-dependent, ditandai dengan berkurangnya produksi

insulin dan DM tipe 2 disebut non-insulin-dependent, disebabkan penggunaan

insulin yang kurang efektif oleh tubuh. DM tipe 2 diderita oleh 90% dari seluruh

penderita diabetes, kategori DM lainnya adalah diabetes gestasional, diabetes

yang didapatkan saat kehamilan,dan DM karena adanya gangguan toleransi

glukosa,toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa puasa terganggu (GPT),

merupakan kondisi transisi antara normal dan diabetes. Orang dengan TGT atau

GPT beresiko tinggi berkembang menjadi diabetes tipe 2, namun dengan

penurunan berat badan dan perubahan gaya hidup, perkembangan DM dapat

dicegah (Pusdatin, Kemenkes RI, 2014)

Berdasarkan keterangan diatas bahwa diabetes sebenarnya dapat di cegah

dengan cara menerapkan pola hidup yang sehat. Namun apabila hal ini tidak

memberikan hasil yang memuaskan dan terjadi peningkatan kadar gula dalam

darah, maka dapat di berikan terapi farmakologi yang tepat. Meskipun diabetes

tidak bisa disembuhkan, mendeteksi sejak dini penyakit ini memungkinkan kadar

gula darah penderita bisa dikendalikan. Pengobatan diabetes mempunyai tujuan

akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortilitas diabetes, yang secara spesifik

ditujukan untuk mencapai dua target utama yaitu, menjaga agar kadar glukosa

plasma berada dalam kisaran normal serta mencegah atau meminimalkan

kemungkinan terjadinya komplikasi. Terapi yang dapat diberikan pada penderita

diabetes melitus antara lain terapi non-obat yang berupa diet dan latihan fisik

(olahraga), dan menggunakan obat oral antidiabetik (OAD) bila gula darah gagal

untuk di kontrol (Dipiro, 2015).

3
Adapun jenis dan golongan obat antidibetik oral (OAD)/ obat

Hipoglikemik oral (OHO) yang tersedia, diantaranya golongan insulin

secretagogues (Sulfonilurea, turunan D-fenilalanin, Meglitinid) Penghambat alfa-

glikosidase, Tiazolidinedion dan Biguanid (Katzung, 2018). Pada diabetes

melitus obat pilihan pertama yang biasa digunakan adalah golongan sulfonilurea,

yaitu glibenklamid dan golongan biguanid yaitu metformin (Dipiro, 2015).

Glibenclamide atau glyburide adalah obat yang digunakan pada pasien diabetes

tipe 2 untuk mengendalikan kadar gula (glukosa) darah yang tinggi. Pada diabetes

tipe 2, tubuh tidak dapat menggunakan dan menyimpan glukosa dengan baik,

sehingga menumpuk dalam aliran darah. Glibenclamide berperan untuk

merangsang tubuh agar mengeluarkan insulin lebih banyak dari biasanya untuk

mengikat glukosa dalam aliran darah. Selain obat-obatan, penderita diabetes perlu

merubah gaya hidup mejadi lebih sehat dengan makan makanan bergizi seimbang

dan olahraga secara teratur (Rambiritch, et al. 2014).

Glibenklamid memiliki tiga mekanisme kerja, yaitu peningkatan pelepasan

insulin oleh sel beta, menurunkan kadar glukagon dalam serum, dan memperkuat

kerja insulin pada jaringan target (Katzung, 2018). Untuk mencapai efek terapi

yang maksimal diperlukan cara penggunaan obat yang benar Konsumsi

glibenclamide sebaiknya diminum pada saat sebelum makan, yaitu saat sarapan

atau makan siang. Pemberian obat sebelum makan bertujuan agar obat dapat

merangsang keluarnya insulin sehingga dapat mengatasi peningkatan gula darah

setelah makan (Stewart, M. Patient, 2016 )

Glibenklamid, merupakan obat pilihan ke dua dan ke tiga untuk penderita

diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah

4
mengalami ketoasidosis sebelumnya. Glibenklamid merupakan contoh obat

antidiabetik oral dari golongan sulfonilurea generasi ke dua yang mempunyai

potensi hipoglikemik lebih besar daripada generasi sebelumnya. Mekanisme

kerjanya adalah merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β langerhans

pankreas (Suherman dan Nafrialdi, 2011). Efek samping dari glibenklamid antara

lain hipoglikemia, wajah memerah (flushing) jika dikonsumsi bersama alkohol

serta tidak menyebabkan retensi air tetapi dapat meningkatkan klirens air

(memiliki efek diuretik). Sejumlah efek samping yang mungkin saja timbul

setelah mengonsumsi glibenclamide antara lain : Hipoglikemia atau rendahnya

kadar gula darah, Demam, mual, muntah, dan diare, Gangguan fungsi hati,

Penurunan jumlah sel darah, baik sel darah merah, putih, maupun trombosit,

Bertambahnya selera makan dan berat badan. Adapun tanda-tanda dan gejala

kadar gula darah rendah atau hipoglikemia, adalah sakit kepala, mual, gelisah,

cemas, gemetar, lemas, penglihatan kabur, keringat dingin, mengantuk, jantung

berdebar, pucat, gangguan konsentrasi, hingga hilang kesadaran. Bila terjadi,

segera konsumsi permen atau minuman yang mengandung gula. Diskusikan

dengan dokter mengenai cara-cara mencegah hipoglikemia. Periksakan kadar gula

darah secara teratur, agar dapat diketahui respon terhadap pengobatan diabetes

yang sedang dijalani (Stewart, M. Patient, 2016). Selain penggunaan

Glibenklamid, Metformin dianggap sebagai terapi lini pertama pada penderita

DM type 2 dengan kondisi pasien obesitas. Metformin dapat digunakan dalam

kombinasi dengan kelas lain dari obat antidiabetik oral atau dengan insulin.

Ketika digunakan pada dosis optimal Metformin dapat menurunkann kadar

glukosa puasa diperkirakan 2-4 mmol/l, dengan penurunan kadar HbA1C 1-2%.

5
Metformin direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada DM type 2, karena

metformin berguna sebagai penghemat insulin, dan penggunaannya tidak

menyebabkan peningkatan berat badan (Katzung, 2018).

Penggunaan beberapa jenis obat (biasanya dalam bentuk tablet) selain

glibenklamid dan metformin adalah berupa pemberian obat secara kombinasi dari

dua jenis obat atau lebih untuk mengendalikan kadar gula darah. Obat yang biasa

diberikan adalah sulfonilurea, nateglinide dan repaglinide. Sulfonilurea, obat

golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta

pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan.

Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi

hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal) (Perkeni,2015). Glinid

merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan

pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam

obat yaitu : Repaglinide (derivat asam benzoat) dan Nateglinide (derivat

fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan

diekskresi secara cepat melalui hati.

Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang

mungkin terjadi adalah hipoglikemia, (Perkeni,2015).

Puskesmas sebagai salah satu penyedia layanan pembangunan bidang

kesehatan di tingkat kecamatan, berperan sebagai pelaksana kegiatan bidang

kesehatan, memberikan beragam layanan diantaranya, pemeriksaan kesehatan,

promosi kesehatan dan pemberian obat obatan.

Puskesmas sebagai garda terdepan pelayanan pembangunan bidang

kesehatan bagi warga masyarakat tingkat desa dan kecamatan, mempunyai peran

6
yang signifikan dalam menjaga derajat kesehatan masusia dan lingkungan tempat

tinggalnya.

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui kesesuaian dosis obat hipoglikemik oral (OHO) terhadap penurunan

kadar gula dalam darah pada pasien DM di Puskesmas Kabupaten Banyuwangi.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, disebutkan

pentingnya informasi terkait dosis penggunaan obat dalam peningkatan kualitas

hidup pasien DM sehingga dapat di tarik rumusan masalah, sebagai berikut :

Bagaimanakah kesesuaian dosis dengan kadar gula dalam darah pada pasien DM

di Puskesmas Kabupaten Banyuwangi.

7
1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui kesesuaian dosis terhadap kadar gula dalam darah pada

pasien DM di Puskesmas Kabupaten Banyuwangi.

1.3.2. Tujuan Khusus

1) Untuk mengidentifikasi kadar gula dalam darah pada pasien DM sebelum

pemberian obat hipoglikemik oral.

2) Untuk mengidentifikasi kadar gula dalam darah pada pasien DM sesudah

pemberian obat hipoglikemik oral.

3) Menganalisis Kesesuaian Dosis Obat Hipoglikemik Oral Dengan

Perubahan Gula Darah Pada Pasien Diabetes Di Puskesmas Kabupaten

Banyuwangi.

1.4. Manfaat Penelitian

1) Bagi pasien sebagai media informasi tentang perubahan kadar gula dalam

darah setelah pemberian obat hipoglikemik.

2) Bagi Tenaga Kesehatan sebagai bahan evaluasi penggunaan obat pada pasien

DM.

3) Bagi Peneliti sebagai tolok ukur dan penambahan wawasan akademis terkait

pemberian dosis secara tepat bagi pasien DM.

1.5. Telusur Keaslian

Penelitian mengenai kesesuaian dosis obat hipoglikemik oral dengan

perubahan gula darah pada pasien diabetes melitus di Puskesmas Bangorejo,

8
Kabupaten Banyuwangi, belum pernah dilakukan, akan tetapi terdapat penelitian

lain yang terkait dengan kesesuain dosis dan kesesuaian pemilihan obat

hipoglikemik oral yang telah dilakukan, antara lain :

No. Nama Penulis Judul Penelitian Bahasan Penelitian


1 Truly Dian Evaluasi Penelitian non experimental

Anggraini (2014) Kesesuaian Dosis dimana pengambilan data

Dan Kesesuaian dilakukan secara retrospektif

Pemilihan Obat dari catatan rekam medik pasien

Hipoglikemik Oral DM type 2 di instalasi rawat

Pada Pasien DM inap di RSUD dr. Moewardi

Type 2 Di RSUD periode Januari hingga

Dr. Moewardi Desember 2014, penelitian

Periode Januari - membandingkan kesesuaian

Desember 2014. dosis dan pemilihan Obat

Hipoglikemik Oral (OHO)

dengan standart PERKENI

2011. Hasil penelitian ini

menunjukkan hasil evaluasi

pemilihan OHO berdasarkan

standart PERKENI 2011 sebesar

98%, sedangkan kesesuaian

dosis OHO mencapai 95%


2 Krisda Septyani Kajian Penelitian ini bersifat non

Putri (2018) Kerasionalan eksperimental yang dianalisis

Pengobatan secara deskriptif. Pengambilan

9
Diabetes Melitus data secara retrospektif dari

Tipe 2 Pada rekam medik pasien. Analisis

Pasien Rawat Inap data dibandingkan dengan

Rsud Ir. Soekarno standar Formularium Rumah

Sukoharjo 2017 Sakit dan PERKENI 2015.

Hasil penelitian menunjukan

dari 36 pasien diabetes melitus

tipe 2 di RSUD Ir. Soekarno

Sukoharjo tahun 2017 terdiri

dari 15 pasien laki-laki dan 21

pasien perempuan, 22 kasus

(61,1%) DM tipe 2 dengan

penyakit komplikasi dan 14

kasus (38,9%) DM tipe 2 tanpa

komplikasi. Hasil dari

penelitian ini menunjukan

bahwa obat antidiabetik yang

digunakan adalah insulin,

biguanid, sulfonylurea, dan

inhibitor α-glukosidase.

Penggunaan obat antidiabetes

sudah sesuai dengan

formularium RSUD Ir.

Soekarno Sukoharjo. Kajian

10
kerasionalan menunjukan

pasien yang tepat indikasi

sebesar 32 pasien (88,8%),

tepat obat sebanyak 23 pasien

(63,9%), tepat dosis yaitu

sebanyak 36 pasien (100%) dan

tepat pasien sebanyak 36 pasien

(100%).
3 Sri Wahyuni Faktor Faktor Penelitian ini menggunakan

(2010) Yang desain study cross sectional di

Berhubungan mana variabel-variabel yang

Dengan Penyakit termasuk faktor resiko dan

Diabetes Melitus variabel variabel yang termasuk

(DM) Daerah efek di observasi sekaligus

Perkotaan Di pada waktu yang sama.

Indonesia Tahun Penelitian ini menggunakan

2007 (Analisis data sekunder RISKESDAS

Data Sekunder tahun 2007

Riskesdas 2007)

11
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Standar Pelayanan Kefarmasian.

Standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi :

A. Pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai

B. Pelayanan farmasi klinik

A. Pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai yang dimaksud

adalah :

a. Perencanaan kebutuhan

b. Permintaan

c. Penerimaan

d. Penyimpanan

e. Pendistribusian

f. Pengendalian

g. pencatatan,pelaporan,dan pengarsipan serta

h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan

B. Pelayanan farmasi klinik

Pelayanan farmasi klinik di Puskemas sebagaimana dimaksud, meliputi :

a. Pengkajian resep,penyerahan obat,dan pemberian informasi obat

b. Pelayanan informasi obat (PIO)

c. Konseling

d. Ronde/ visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap)

e. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat

12
f. Pemantauan terapi obat

g. Evaluasi penggunaan obat (Permenkes RI, 2016)

2.2. Dosis

Dosis atau takaran obat adalah banyaknya suatu obat yang dapat

dipergunakan atau diberikan kepada seorang penderita,baik untuk obat dalam

maupun obat luar (Shinta, 2014). Menurut Farmakope Indonesia edisi III (1979)

pengertian dosis kecuali dinyatakan lain adalah dosis maksimum dewasa untuk

pemakaian lewat mulut, injeksi, sub kutis dan rektal.

Macam –macam dosis

1) Dosis terapi, takaran obat yang diberikan dalam keadaan biasa dan dapat

menyembuhkan penderita.

2) Dosis minimum, takaran obat terkecil yang diberikan yan masih dapat

menyembuhkan dan tidak menimbulkan resistensi pada penderita.

3) Dosis maksimum, takaran obat terbesar yang diberikan yang masih dapat

menyembuhkan dan tidak menimbulkan keracunan pada penderita

4) Dosis toksik, takaran obat dalam keadaan biasa yang dapat menyebabkan

keracunan pada penderita

5) Dosis letal, takaran obat dalam keadaan biasa yang dapat menyebabkan

kematian pada penderita. Dosis letal terdiri dari L.D 50 dan L.D 100. L.D 50

yaitu takaran yang menyebabkan kematian pada 50% hewan uji. Sedangkan

L.D 100 adalah takaran yang menyebabkan kematian pada 100% hewan uji

(Shinta, 2014).

13
2.3. Tinjauan Tentang Diabetes Melitus

2.3.1. Definisi Diabetes Melitus

DM di definisikan sebagai suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kinerja

insulin atau kedua-duanya (ADA, 2016). Menurut WHO 2018, DM di definisikan

sebagai suatu penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak memproduksi

cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin

yang dihasilkannya. Hiperglikemia, atau peningkatan gula darah, adalah efek

umum dari diabetes yang tidak terkontrol dari waktu ke waktu menyebabkan

kerusakan serius pada banyak sistem tubuh, terutama saraf dan pembuluh darah.

Adapun komplikasi yang dapat timbul akibat kadar gula darah yang tidak

terkontrol, diantaranya yaitu : neuropati, hipertensi, jantung koroner, retinopati,

nefropati dan gangren.

2.3.2. Klasifikasi Diabetes Melitus

Berdasarkan hal yang menyebabkannya, penyakit diabetes diklasifikasikan

dalam beberapa jenis, yaitu:

(1) Diabetes Melitus Type 1

Diabetes tipe 1 adalah gangguan autoimun yang menyebabkan sistem

ketahanan menyerang dan merusak sel-sel yang memproduksi hormon insulin,

sehingga pankreas tidak dapat memproduksi hormon tersebut. Hal ini akan

mengakibatkan tubuh kekurangan insulin dan meningkatkan kadar glukosa darah.

Kondisi ini umumnya menyerang pasien di bawah usia 40 tahun, terutama pada

masa remaja. Biasanya gejala penyakit ini lebih cepat terdeteksi pada usia yang

lebih muda, terutama pada masa anak-anak atau remaja.

14
Penyebab dari kondisi ini belum jelas, diduga bahwa penyebab penyakit

DM tipe 1 terjadi akibat kombinasi faktor genetik dan lingkungan (ADA,2018).

(2) Diabetes Melitus Type 2

Diabetes type 2 adalah tipe penyakit gula yang paling banyak terjadi.

Angka kejadiannya mencapai 90-95% dari semua kasus DM di dunia. Kondisi ini

disebut dengan adult-onset diabetes karena lebih sering terjadi pada orang

dewasa. Tidak seperti diabetes tipe 1, penderita tipe 2 tetap memproduksi insulin

tetapi tidak mencukupi. Diabetes type 2 disebabkan karena hilangnya sekresi

insulin sel beta secara progresif dan sering terjadi disebabkan latar belakang

resistensi insulin (ADA, 2018).

(3) Diabetes gestasional

Diabetes gestational adalah penyakit DM yang hanya terjadi pada wanita

hamil. Penyakit ini dapat menyebabkan masalah pada ibu maupun bayinya jika

tidak diobati. Jika ditangani cepat dengan baik, kondisi ini biasanya sembuh total

setelah melahirkan (ADA, 2018).

(4) Diabetes insipidus/ Jenis diabetes spesifik

Jenis diabetes spesifik ini disebabkan karena penyebab lain, contoh dari

DM type ini adalah kelainan genetik dalam sel beta,kelainan genetik pada kerja

insulin yang dapat menyebabkan resistensi insulin yang berat,penyakit eksokrin

pankreas dan infeksi (Krisda, 2017).

2.3.3. Epidemiologi Diabetes Melitus

Berdasarkan data Diabetes Atlas 2013, sebanyak 382.000.000 orang di

seluruh dunia atau 8,3% dari 4,6 milyar orang dewasa (20-79 tahun) diperkirakan

menderita diabetes. DM telah menjadi penyebab kematian terbesar keempat

15
di dunia (IDF, 2013), dan diperkirakan ada 5,1 juta kematian di dunia yang

disebabkan oleh diabetes dan setengahnya (48%) adalah orang-orang yang berusia

di bawah 60 tahun. Sehingga diabetes menjadi penyebab utama kematian dini.

Kematian yang disebabkan diabetes terus meningkat dan diperkirakan jumlahnya

mengalami kenaikan sebesar 11% pada tahun 2013 (IDF, 2013).

Indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah penderita diabetes 

terbesar di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Dengan prevalensi

8,6% dari total penduduk, diperkirakan 2025 meningkat menjadi 12,4 juta

penderita yang sebelumnya mencapai angka 4,5 juta di tahun 1995 (WHO, 2013)

Pada tahun 2020, diperkirakan Indonesia akan memiliki 12 Juta penderita

diabetes, karena adanya kecenderungan penderita diabetes pada usia muda.

Berdasarkan hasil riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi DM mengalami

kenaikan jika dibandingkan tahun 2013, hal ini didasarkan hasil pemeriksaan gula

darah pada penduduk usia 15 tahun keatas di Indonesia adalah sebesar 6,9%

( 2013) dan menjadi 8,5% (2018) dengan rincian prevalensi diabetes tertinggi di

DKI Jakarta sebesar 3,4% dan terendah di NTT sebesar 0,9% (Kemenkes RI,

2018).

2.3.4. Etiologi Diabetes Melitus

DM tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak

penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1. Hampir 90-95% dari keseluruhan

populasi penderita diabetes menderita DM tipe 2 dan umumnya berusia diatas 45

tahun (Depkes RI 2006).

Etiologi DM tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya

terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar

16
dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak

dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan

salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus

menunjukan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab

terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM

tipe 2 (Depkes RI 2006).

Pada penderita DM tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal,

umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup didalam darahnya,

disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologi DM tipe 2

bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena gangguan kerja

insulin yang menyebabkan sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon

insulin secara normal.keadaan ini lazim disebut sebagai Resistensi Insulin

(American Collage of Clinical Pharmacy 2013). Gangguan kerja insulin juga

mempengaruhi metabolisme lemak sehingga meningkatkan kadar asam lemak 12

bebas dan trigliserida serta menurunkan kadar lipoprotein berdensitas tinggi

(Katzung 2007).

2.3.5. Patofisiologi Diabetes Melitus

Hiperglikemia terjadi akibat kerusakan sel β-pankreas yang menimbulkan

peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati. Pengeluaran glukosa oleh hati

meningkat karena proses-proses yang menghasilkan glukosa yaitu glikogenolisis

dan glukoneogenesis, berlangsung tanpa hambatan karena insulin tidak ada.   

Ketika kadar glukosa darah meningkat sampai jumlah glukosa yang difiltrasi

melebihi kapasitas, sehingga sel-sel tubulus melakukan reabsorbsi, maka glukosa

akan timbul di urin (glukosuri). Glukosa di urin menimbulkan efek osmotik yang

17
menarik air bersamanya, menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh

poliuria (sering berkemih).  Cairan yang berlebihan keluar dari tubuh

menyebabkan dehidrasi, sehingga dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer

karena volume darah turun secara mencolok.  Kegagalan sirkulasi, apabila tidak

diperbaiki, dapat menyebabkan kematian karena aliran darah ke otak turun atau

dapat menimbulkan gagal ginjal sekunder  akibat tekanan filtrasi yang tidak kuat. 

Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat

perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstra sel yang hipertonik. Sel-

sel otak sangat peka karena timbul gangguan fungsi sistem saraf yaitu

polineuropati. Patofisiologi semua jenis diabetes berhubungan dengan hormon

insulin, yang disekresikan oleh sel beta pankreas. Pada orang yang sehat, insulin

diproduksi sebagai respons terhadap peningkatan kadar glukosa dalam aliran

darah, dan peran utamanya adalah untuk mengendalikan konsentrasi glukosa

dalam darah. Fungsi dari insulin adalah, memungkinkan sel-sel tubuh dan

jaringan menggunakan glukosa sebagai sumber energi utama. Juga, hormon ini

bertanggung jawab untuk konversi glukosa menjadi glikogen untuk penyimpanan

di otot dan sel-sel hati.

Dengan cara ini, tingkat gula dipertahankan pada jumlah yang mendekati stabil.

(ADA, 2016)

18
Gambar 1 Patofisiologi Diabetes Melitus

2.3.6. Manifestasi Klinis

Penyakit diabetes sering kali tidak menunjukkan gejala apa pun pada

awalnya. Bahkan, banyak orang yang tidak pernah sadar sudah sakit diabetes

sejak lama karena tidak pernah mengalami gejala berarti (NIDDK, 2016).

Akan tetapi, berikut beberapa tanda dan gejala khas penyakit diabetes melitus

yang perlu di ketahui, antara lain :

a) Pilidipsia (Sering merasa haus).

b) Poliuria (Sering buang air kecil, terkadang terjadi setiap jam dan disebut).

c) Polifagia ( Meningkatnya rasa lapar )

d) Lemah, lesu, dan tidak bertenaga

19
e) Sering mengalami infeksi, misalnya infeksi kulit, vagina, sariawan, atau

saluran kemih

Gejala yang lebih jarang terjadi :

a) Mual atau muntah

b) Mulut kering

c) Luka sulit sembuh

d) Gatal pada kulit, terutama pada lipatan paha atau daerah vagina

Selain gejala diabetes diatas, terdapat gejala lainnya , antara lain :

1. Kaki sakit dan mati rasa

Kadar gula darah yang sangat tinggi akan menyebabkan kerusakan pada

saraf-saraf tubuh. Tak semua orang yang mengalami gejala ini. Namun orang

yang mengalami diabetes, akan merasa mati rasa, kesemutan dan rasa sakit pada

tubuh, terutama di kaki. Gejala seperti ini biasanya terjadi pada seseorang yang

sudah mengalami diabetes selama 5 tahun atau lebih (NIDDK, 2016).

2. Pandangan kabur

Pandangan kabur pada diabetes biasanya berasal dari gangguan lensa

(katarak) atau gangguan saraf mata (retinopati diabetikum). Kondisi gula darah

yang cukup tinggi dapat memicu penumpukan protein di dalam lensa mata

sehingga terjadinya proses katarak, gula darah yang tidak terkontrol juga dapat

menyebabkan pembuluh darah kecil di mata terganggu bahkan pecah sehingga

saraf mata (retina) tidak dapat bekerja dengan baik (NIDDK, 2016).

3. Masalah kulit

Kadar insulin yang tinggi mendorong pigmen yang menimbulkan bercak

hitam pada kulit. Jika ada perubahan yang terasa pada kulit, bisa saja menjadi

20
tanda awal diabetes. Perubahan bisa saja ditandai dengan kulit yang menjadi

gelap, bersisik, hingga muncul keriput dini (NIDDK, 2016).

4. Rentan terhadap infeksi atau penyakit

Seseorang dengan gejala awal diabetes ini cenderung lebih rentan terhadap

infeksi bakteri maupun jamur karena mereka memiliki sistem kekebalan tubuh

yang menurun. Mikroorganisme tersebut membutuhkan glukosa sebagai sumber

energinya. Infeksi dapat tumbuh dalam lipatan kulit yang hangat dan lembab,

seperti antara jari tangan dan kaki, di bawah payudara, atau di dalam atau di

sekitar alat kelamin (NIDDK, 2016).

5. Gusi merah dan bengkak

Penyakit gula dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan kemampuan

untuk melawan infeksi sehingga meningkatkan resiko infeksi pada gusi dan

rahang gigi, gusi dapat bengkak atau mungkin mengalami luka (NIDDK, 2016).

6. Luka lama sembuh

Gula darah tinggi dapat mempengaruhi aliran darah dan menyebabkan

kerusakan saraf di daerah tubuh sehingga mengganggu proses penyembuhan alami

tubuh (NIDDK, 2016).

7. Cepat lapar

Kurangnya insulin untuk memasukkan gula ke sel membuat otot dan organ

melemah dan tubuh kehabisan energi. Otak akan mengira kurang energi itu karena

kurang makan, sehingga tubuh berusaha meningkatkan asupan makanan dengan

mengirimkan sinyal lapar (NIDDK, 2016).

21
8. Berat badan turun tiba-tiba

Walau nafsu makan meningkat, penderita diabetes dapat mengalami

penurunan berat badan, bahkan sangat drastis.  Berhati-hatilah bila perubahannya

sampai 5 persen dari berat badan. Karena kemampuan metabolisme glukosa

terganggu, tubuh akan menggunakan apapun lain sebagai ‘bahan bakar’, misalnya

otot dan lemak sehingga penderita DM akan tampak kurus. Mengetahui

gejalanya lebih awal akan memudahkan untuk mengatasi gejala tersebut dan

bahkan dapat mencegahnya (NIDDK, 2016).

2.3.7. Penyebab Diabetes Melitus

 Glukosa sangat penting untuk tubuh, karena bekerja sebagai sebagai

sumber energi bagi sel-sel dan jaringan tubuh, terutama otak. Glukosa sebenarnya

berasal dari makanan yang dimakan dan disimpan sebagai cadangan di dalam hati

(liver). Jenis glukosa yang disimpan di hati disebut dengan glikogen. Jika belum

makan otomatis kadar gula darah akan rendah. Guna mencegah hal tersebut, liver

akan memecah glikogen menjadi glukosa dan menyeimbangkan kadar gula darah

(NIDDK, 2016).

 Penyebab Diabetes Tipe 1

Penyebab pasti diabetes tipe 1 tidak diketahui,diduga bahwa kondisi ini

disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang menyerang dan menghancurkan

sel-sel pankreas yang bertugas untuk menghasilkan hormon insulin. Hormon

insulin membuat glukosa lebih mudah untuk diserap oleh sel-sel tubuh sehingga

menurunkan kadar gula dalam aliran darah. Namun, jika mengalami gangguan

fungsi pankreas, maka produksi insulin juga akan terganggu. Akibatnya, tubuh

tidak dapat menghasilkan hormon insulin dengan cukup, sehingga kadar gula

22
dalam darah akan terus meningkat. (The National Institute of Diabetes and

Digestive and Kidney Diseases (NIDDK), 2016)

 Penyebab Diabetes Tipe 2

Penyakit diabetes disebabkan karena lemak, hati dan sel-sel otot di tubuh

tidak merespon insulin dengan benar, kondisi ini disebut dengan resistensi insulin.

Resistensi insulin sendiri membuat sel tidak bisa menerima gula darah untuk

kemudian diolah menjadi energi. Hal ini kemudian membuat tubuh menganggap

bahwa ia sedang kekurangan gula sehingga memecah glikogen kembali.

Pada akhirnya, gula akan terus menumpuk di dalam darah dan terjadilah kadar

gula darah tinggi yang disebut dengan hiperglikemia. (The National Institute of

Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK), 2016)

 Penyebab diabetes gestasional

Selama kehamilan, plasenta akan menghasilkan sejumlah hormon untuk

mendukung kehamilan, akan tetapi, hormon-hormon yang dihasilkan akan

membuat sel-sel di dalam tubuh jadi resisten terhadap insulin dan pankreas tidak

selalu dapat memproduksi insulin ekstra untuk mengatasi resistensi tersebut.

Akibatnya, gula darah menumpuk di dalam darah dan menyebabkan diabetes

gestasional. (The National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney

Diseases (NIDDK, 2016)

2.3.8. Faktor Resiko Diabetes Melitus

Berikut ini berbagai hal yang bisa membuat seseorang beresiko tinggi

terkena penyakit diabetes melitus. (NIDDK, 2016)

 Penyakit Diabetes Tipe 1

1. Riwayat keluarga

23
2. Terkena infeksi virus tertentu

3. Adanya kerusakan sel sistem kekebalan tubuh (autoantibodi)

4. Kekurangan vitamin D

 Penyakit Diabetes Tipe 2

1. Usia di atas 45 tahun

2. Obesitas

3. Kurangnya aktifitas fisik

4. Riwayat medis keluarga

5. Prediabetes

 Penyakit Diabetes Gestasional

1. Usia

2. Memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ini

3. Memiliki riwayat penyakit PCOS

4. Pernah mengalami diabetes gestasional pada kehamilan sebelumnya

5. Mengidap diabetes sebelum masa hamil

6. Pernah mengalami keguguran atau bayi lahir mati (stillbirth)  tanpa diketahui

penyebabnya

7. Obesitas sebelum kehamilan

8. Hamil di usia lebih dari 30 tahun (NIDDK, 2016)

2.3.9. Pencegahan Diabetes Melitus

Pencegahan terhadap penyakit Diabetes Melitus, terbagi atas pencegahan

primer, pencegahan sekunder dan percegahan tersier. (Perkeni, 2015)

Pencegahan Primer :

1. Sasaran Pencegahan Primer

24
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang

memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk

mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa (Perkeni, 2015).

Faktor Resiko Diabetes Melitus

Faktor resiko diabetes sama dengan faktor resiko untuk intoleransi glukosa yaitu :

a. Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi

1) Ras dan etnik

2) Riwayat keluarga dengan DM

3) Umur : Resiko untuk menderita intolerasi glukosa meningkat seiring

dengan meningkatnya usia. Usia >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan

DM.

4) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat

pernah menderita DM gestasional (DMG).

5) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang

lahir dengan BB rendah mempunyai resiko yang lebih tinggi dibanding

dengan bayi yang lahir dengan BB normal, (Perkeni,2015)

b. Faktor resiko yang bisa dimodifikasi

1) Berat badan lebih (IMT ≥23 kg/m2

2) Kurangnya aktivitas fisik

3) Hipertensi (>140/90 mmHg)

4) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida >250 mg/dl)

5) Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa dan rendah

serat akan meningkatkan resiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa,

(Perkeni,2015).

25
c. Faktor lain yang terkait dengan resiko DM

1) Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain

yang terkait dengan resistensi insulin

2) Penderita sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa

terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)

sebelumnya.

3) Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke,

penyakit jantung koroner (PJK), (Perkeni,2015).

2. Pencegahan Sekunder Terhadap Komplikasi Diabetes Melitus

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya

hambatan pada pasien yang telah terdiagnosis DM. Tindakan pencegahan

sekunder dilakukan dengan pengendalian kadar glukosa sesuai target terapi

serta pengendalian faktor resiko penghambat yang lain dengan pemberian

pengobatan yang optimal. Melakukan deteksi dini adanya penghambat

merupakan bagian dari pencegahan sekunder. Tindakan ini dilakukan sejak awal

pengelolaan penyakit DM. Program penyuluhan memegang peran penting untuk

meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan sehingga

mencapai target terapi yang diharapkan (Perkeni, 2015).

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes dalam

upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta meningkatkan kualitas

hidup. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum

kecacatan menetap (Perkeni, 2015).

26
2.4. Tata Laksana Terapi Pengobatan Diabetes

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang

pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat

(Depkes RI 2005). Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa

darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat

hipoglikemik oral (OHO) atau dengan suntikan insulin. Pada keadaan tertentu,

OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai

indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolic berat, misalnya ketoadosis,

stress berat, berat badan yang menurun cepat dan adanya ketonuria, insulin dapat

segera diberikan (PERKENI 2015). Beberapa parameter yang dapat digunaan

untuk menilai keberhasilan penatalaksaan diabetes melitus.

Tabel 1. Target Penatalaksanaan Diabetes

Parameter Kadar ideal yang diharapkan


Kadar glukosa darah puasa 80-120 mg/dl
Kadar glukosa plasma puasa 90-130 mg/dl
Kadar glukosa darah saat tidur 100-140 mg/dl
Kadar glukosa plasma saat tidur 100-140 mg/dl
Kadar insulin <7%
Kadar HbA1c <7mg/dl
Kadar trigliserida <200 mg/dl
Tekanan darah <130/80 mmHg
Kadar kolesterol HDL <45 mg/dl (pria)
Kadar kolesterol HDL <55 mg/dl (wanita)
Bagan Tata Laksana Pengelolaan DM di Indonesia (Perkeni, 2015)

27
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan mobiditas

dan mortilitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama,

yaitu :

a. Menjaga agar kadar glukosa plasma darah berada dalam kisaran normal

b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes

2.4.1. Terapi Non Farmakologi

2.4.1.1. Diet.

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Penurunan berat telah membuktikan dapatmengurangi resistensi insulin dan

memperbaiki respon sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu

penelitian dilaporkan penurunan 5 % berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c

28
sebanyak 0.6 % dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan

3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup (Depkes RI 2005).

2.4.1.2.. Latihan jasmani.

Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjadi kadar gula darah tetap

normal.prinsipnya tidak perlu olahraga berat, olahraga ringan asal dilakukan

secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan (Depkes RI 2005).

Beberapa olahraga yang disarankan antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda,

berenang, danlain sebagainya. Olahraga akan memperbanyak jumlah dan

meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan

penggunaan glikosa (Depkes RI 2005).

2.4.2. Terapi Obat

2.4.2.1. Insulin

Insulin adalah hormon poli peptida yang disekresi oleh sel beta pankreas,

disimpan dalam bentuk kompleks dengan Zinc, sintesis dan pelepasannya dipacu

oleh glukosa asam amino asam lemak, dipacu oleh sel beta adrenergik dan

dihambat oleh sel alfa adrenergik, Mekanisme kerja insulin berikatan dengan

tirosin kinase menyebabkan peningkatan transport glukosa pada sel otot dan

jaringan adiposa (Priyanto, 2009).

Pada sebagian besar penderita DM type 2 tidak memerlukan terapi insulin,

namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi

hipoglikemik oral. Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai,

sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa

darah prandial. Insulin yang digunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah

prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short

29
acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan

dalam bentuk satu kali insulin basal di tambah satu kali insulin prandial (basal

plus), atau satu kali basal di tambah dua kali prandial (basal dua plus), atau satu

kali basal ditambah tiga kali prandial (basal bolus) (Krisda, 2017).

2.4.2.2. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Dalam upaya perbaikan derajat kesehatan penderita Diabetes Melitus,

diperlukan berbagai upaya, diantaranya melalui terapi farmaologis yang diberikan

bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani/gaya hidup sehat

(Perkeni, 2015). Terapi farmakologis obat oral terdiri dari :

1. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat anti- hiperglikemia oral dibagi menjadi 5

golongan :

a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

(1) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin

oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan

peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien

dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan

ginjal) (Perkeni, 2015).

(2) Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,

dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.

Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu :

30
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).

Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan

diekskresi secara cepat melalui hati.

Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang

mungkin terjadi adalah hipoglikemia (Perkeni,2015).

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.

Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.

Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR

30-60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa

keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73m2, adanya gangguan hati berat, serta

pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro

vaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung. Efek samping yang mungkin

terjadi berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia

(Perkeni, 2015).

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan :

Penghambat Alfa Glukosidase. Obat ini bekerja dengan memperlambat

absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar

glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada

keadaan :

GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome.

Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam

usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada

31
awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose

(Perkeni,2015).

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV

sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi

dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan

menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).

Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin (Perkeni,2015).

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral

jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal

dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang

termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,

Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter dari Badan POM

RI pada bulan Mei 2015 (Perkeni,2015).

Tabel 2. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

Efek Samping
Golongan Obat Cara Kerja Utama Utama PenurunanHbA1c
Sulfonilurea Meningkatkan BB naik 1,0-2,0%
sekresi insulin
hipoglikemia
Glinid Meningkatkan BB naik 0,5-1,5%
sekresi insulin hipoglikemia
Metformin Menekan produksi Dispepsia, 1,0-2,0%
glukosa hati & diare, asidosis
menambah laktat
sensitifitas
terhadap insulin

Penghambat Alfa- Menghambat Flatulen, tinja 0,5-0,8%


Glukosidase absorpsi lembek
glukosa
32
Tiazolidindion Menambah Edema 0,5-1,4%
sensitifitas
terhadap
insulin

Penghambat Meningkatkan Sebah, 0,5-0,8%


DPP-IV sekresi insulin, muntah
menghambat
sekresi glukagon

Penghambat Menghambat Dehidrasi, 0,8-1,0%


SGLT-2 penyerapan infeksi saluran
kembali glukosa kemih
di tubuli distal
ginjal
Sumber : Perkeni, 2015

2.5. Tinjauan Tentang Glibenklamid

33
2.5.1. Indikasi
Glibenklamid adalah obat antidiabetes oral dari gologan sulfonylurea.

Glibenklamid diabsorbsi pada saluran cerna dengan cepat dan mencapai kadar

dalam darah dalam waktu 15 menit setelah konsumsi peroral. Glibenklamid

dimetabolisme di hati dan dieksresikan oleh ginjal melalui urin (MPB Gumantara,

2017). Glibenklamid sangat bermanfaat bagi individu yang mengalami diabetes

type dua,dimana pengendalian gula darah tidak cukup hanya dengan diet, latihan

fisik, penurunan berat badan dan juga gagal dalam terapi dengan golongan

sulfonylurea yang lain. Glibenklamid tidak efektif apabila di gunakan pada pasien

diabetes yang mengalami komplikasi asidosis, ketosis, atau koma ( Erika R, 2011)

2.5.2. Aturan Pakai

Glibenklamid diberikan secara oral, obat ini biasanya diberikan dengan

dosis tunggal pada pagi hari dengan makan pagi. Pemberian dosis tunggal

glibenklamid dapat mengontrol kadar gula darah seharian pada pasien dengan

pola makan yang normal. Konsentrasi gula darah setelah makan pagi akan lebih

mudah dikontrol ketika dosis obat pada pagi hari di berikan 30 menit sebelum

makan dari pada bersamaan dengan makanan, hal yang sama juga bisa terjadi

apabila dosis obat di berikan sebelum makan siang tetapi tidak pada saat makan

malam ( Erika R,2011)

2.5.3. Dosis

Dosis dari glibklamid glibenklamid berdasarkan penentuan gula darah

puasa diperlukan kehati hatian pada tiap individu agar dapat tercapainya tujuan

terapi yang optimum. Tujuan terapi glibenklamid adalah menurunkan gula darah

plasma puasa,gula plasma setelah adanya makanan,dan nilai dari hemoglobin

glikosilasi harus normal atau mendekati normal


34
a. Dosis Awal

Dosis awal dewasa dari glibenklamid adalah 2,5 mg - 5 mg per hari. Dosis bisa

ditingkatkan per minggu sampai dosis maksimal yaitu 20 mg per hari

(Medscape, 2019).

b. Dosis Pemeliharaan

Dosis pemeliharaan glibenklamid untuk dewasa adalah 1,25mg – 20 mg

perhari, dam beberapa pasien membutuhkan sampai 15 mg,dan hanya sedikit

manfaat yang diperoleh pasien dari terapi glibenklamid apabila dosis yang

diberikan lebih 15 mg. Dosis pemeliharaan yang dianjurkan tidak melebihi 20

mg per hari (Medscape, 2019).

2.5.4. Efek Samping dan Perhatian

a. Hipoglikemi

Glibenklamid harus di gunakan hati-hati pada pasien yang kurang gizi atau

pada pasien dengan penyalahgunaan alkohol pada pasien dengan gangguan

ginjal,jantung dan gastrointestinal. Hipoglikemi yang terjadi pada pasien

dengan pemberian glibenklamid bisa terjadi berat dan fatal. Hipoglikemi

merupakan efek merugikan yang paling sering terjadi saat mendapatkan terapi

ini. Cara yang terbaik untuk mencegah hipoglikemi adalah dengan memulai

terapi dengan dosis rendah,dosis dapat ditingkatkan dengan interval dua

sampai empat minggu sampai target glikemi tercapai.

b. Efek pada hepar

Jaundice mungkin jatrang terjadi pada pasien yang menggunakan

glibenklamid. Tes fungsi liver abnormal, termasuk peningkatan konsentrasi

serum aminotransferase telah diulaporka pada penggunaan obat ini

35
c. Efek pada saluran pencernaan

Efek yang ditimbulkan pada saluran pencernaan antara lain,mual, panas pada

perut, perut terasa penuh merupakan reaksi umum yang terjadi pada pemberian

terapi glibenklmid

d. Reaksi sensitivitas dan dermatologi

Reaksi alergi yang terjadi pada kulit antara lain,eritema,dermatitis,dan

fotosensitivitas (Daniele Sola dkk, 2013).

2.5.6. Interaksi Glibenklamid

Interaksi glikida yang berat meliputi bosentan, sedangkan interaksi dengan

obat lain yang serius meliputi, asam aminolevulinat, eluxadoline, etanol,

fluvasetin, sebagaimana tabel dibawah ini (Medscape, 2019)

Tabel 5 Interaksi Glibenklamid

Obat Interaksi Komentar


Alkohol Meningkatkan efek hipoglikemia  
Siklofospamid Meningkatkan efek hipoglikemia  
glibenclamide
Antikoagulan Meningkatkan efek hipoglikemia  
glibenclamide
Kumarina Meningkatkan efek hipoglikemia  
glibenclamide
Inhibitor MAO (MAOI) Meningkatkan efek hipoglikemia  
glibenclamide
Fenilbutazon Meningkatkan efek hipoglikemia  
glibenclamide
Penghambat beta Meningkatkan efek hipoglikemia  
adrenergic glibenclamide
Sulfonamida Meningkatkan efek hipoglikemia  
glibenclamide
Adrenalin Menurunkan efek hipoglikemia  
glibenclamide
Kortikosteroid Menurunkan efek hipoglikemia  
glibenclamide
Tiazid Menurunkan efek hipoglikemia  

36
glibenclamide

2.6. Tinjauan tentang Metformin


Metformin adalah satu – satunya obat yang berasal dari golongan Biguanid

yang digunakan saat ini secara internasional dan sah disetujui untuk digunakan

secara luas. Obat ini digunakan untuk diabetes melitus, dan digunakan sebagai

tatalaksana awal pada penderita diabetes melitus. Metformin bekerja dengan cara

menurunkan produksi glukosa hati, yang biasanya meningkat saat bangun pagi,

meningkatkan sensitifitas reseptor perifer, sehingga penggunaan glukosa darah

lebih efektif. Metformin tidak mengakibatkan hipoglikemik karena ia tidak

meningkatkan produksi oleh sel beta pankreas. Metformin memiliki efek samping

yang minim, dan penggunaan jangka panjang yang aman (Harvey et al., 2013).

2.6.1. Farmakologi Obat Metformin

Metformin meningkatkan sensitivitas insulin terutama jaringan hepatik

juga perifer (otot). Hal ini memungkinkan peningkatan penyerapan glukosa ke

dalam jaringan yang sensitif insulin. Semua mekanisme bagaimana Metformin

mencapai pengurangan glukosa masih diselidiki, meskipun aktivitas protein

kinase teraktivasi adenosin 5- monofosfat, peningkatan aktivitas tirosin kinase,

peningkatan adenosin 5-monofosfat, dan penghambatan parsial rantai pernapasan

mitokondria terlibat. Metformin tidak memiliki efek langsung pada sel β,

meskipun kadar insulin berkurang, mencerminkan peningkatan sensitivitas

insulin (Dipiro, 2014).

2.6.2. Dosis Metformin dan Cara Penggunaan

Dosis Metformin dari 500 mg hingga maksimal 2,55 g per hari, dengan

anjuran pemakaian dosis terendah yang masih efektif. Jadwal lazim dimulai

37
dengan satu tablet tunggal sebesar 500 mg yang diberikan pada setelah sarapan

selama beberapa hari dan apabila berjalan baik tanpa keluhan saluran cerna,

ditambah tablet kedua sebesar 500 mg yang diberikan pada waktu setelah

makan malam apabila masih terjadi hiperglikemia diperlukan peningkatan

dosis selanjutnya setelah 1 minggu, maka tablet sebesar 500 mg dapat

ditambahkan pada waktu setelah makan siang atau tablet yang lebih besar (850

mg) dua kali sehari atau bahkan tiga kali sehari (dosis harus selalu dibagi karena

ingesti lebih dari 1000 mg sekaligus) biasanya memicu efek samping pencernaan

yang signifikan (Katzung, 2015). Dosis ditentukan secara individu berdasarkan

manfaat dan tolerabilitas. Dosis dewasa & anak kurang dari 10 tahun untuk dosis

awal 500 mg setelah sarapan untuk sekurang-kurangnya 1 minggu, kemudian 500

mg setelah sarapan dan makan malam untuk sekurang-kurangnya 1 minggu,

kemudian 500 mg setelah sarapan, setelah makan siang dan setelah makan

malam. Dosis maksimum 2 g sehari dalam dosis terbagi (Katzung, 2015).

2.6.3. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Obat Metformin Penghambatan langsung produksi glukosa hepatik dengan

Metformin melalui penghambatan kompleks rantai pernapasan mitokondria 1,

AMP deaminase, dan gliserol mitokondria 3-fosfat dehidrogenase. Penghambatan

kompleks mitokondria 1 juga mengarah pada peningkatan kadar AMP atau

rasio AMP/ATP, seperti halnya penghambatan AMP deaminase, yang

mengakibatkan aktivasi AMPK. Namun, konsentrasi Metformin yang tinggi

diperlukan untuk menghambat kompleks mitokondria dan AMP deaminase.

Penghambatan Metformin gliserol mitokondria 3- fosfat dehidrogenase (G3PDH)

akan meningkatkan kadar NADH dalam sitoplasma dan menekan konversi laktat

38
dari piruvat. Mekanisme aksi Metformin ini penting untuk pasien dengan kadar

laktat serum yang tinggi (Hongying and Ling, 2016)

Metformin diabsorbis baik secara oral yaitu melalui usus, tidak berikatan

dengan protein serum, tidak dimetabolisme, dan diekskresi tanpa diubah melalui

urin. Metformin memiliki t 1/2 di sirkulasi 1.5 - 3 Jam dan waktu puncak plasam

35-40 menit (Mycek, et al., 2009; Hilal-Dandan & Brunton, 2014; Katzung &

Anthony, J.T, 2015). Obat ini dilaporkan mempunyai bioavailabilitas absolut yang

rendah 50-60%, memiliki konsentrasi maksimal dalam plasma (Cmax) 1,6 ± 0,38

μg/ml dan waktu paruh 36 yang pendek 2-6 jam. Dosis penggunaan 500 mg 2-3x

sehari atau 850 mg 1-2x sehari.

Gambar 2 Mekanisme Kerja Metformin (Hongying and Ling, 2016).

Formulasi Metformin HCl dalam bentuk sediaan lepas terkontrol dapat

mempertahankan kadar terapi obat dalam darah selama 10-16 jam sehingga pasien

cukup minum 1x sehari. Sediaan lepas terkontrol Metformin HCl dibutuhkan

39
untuk memperpanjang durasi efek obat, meningkatkan kepatuhan pasien minum

obat, dan meningkatkan kualitas terapi (Wadher et al., 2011). Metformin

diabsorpsi secara selektif di sepanjang saluran cerna bagian atas (Salve, 2011).

2.6.4. Efektivitas Metformin

Metformin menurunkan HbA1c 1,5-2% kadar glukosa darah puasa 60-80 mg/dL

dan dapat menurunkan kadar glukosa puasa apabila kadarnya terlalu tinggi (>300

mg/dL). Metformin mempunyai efek positif terhadap sindroma resistensi insulin.

Metformin menurunkan TG (Trigliserida) plasma dan LDL-C (low density

lipoproteinC) 8-15%, meningkatkan HDL (high density lipoprotein) sekitar 2%,

menurunkan PAI dan menurunkan berat badan (2-3 kg). Metformin tidak

mempunyai perbedaan yang signifikan dalam penurunan komplikasi mirovaskular

dibandingkan dengan terapi insulin intensif atau Sulfonilurea. Metformin

menurunkan komplikasi makrovaskular pasien diabetes melitus Tipe 2 dengan

berat badan obesitas menurut UKPDS. Dilaporkan Metformin menurunkan

kematian karena diabetes dan infark miokard (Triplitt et al., 2015).

2.6.5. Interaksi Obat Metformin

Cimetidine berkompetisi untuk sekresi tubular Metformin ginjal dan pada

saat pemberian bersamaan menyebabkan konsentrasi serum Metformin yang lebih

tinggi (Dipiro, 2014).

2.6.6. Kontraindikasi Obat Metformin

Pada diabetes dengan penyakit ginjal dan atau hepar, infark miokardium

akut, infeksi berat, atau ketoasidosis diabetikum. Obat ini harus digunakan

secara hati-hati pada pasien yang berusia lebih dari 80 tahun atau yang memiliki

riwayat penyakit jantung kongestif atau penyalahgunaan alkohol. Metformin

40
harus dihentikan sementara pada pasien yang menggunakan agen-agen kontras

radiografi intravena untuk penegakan diagnosis, asidosis laktat yang berpotensi

mematikan jarang terjadi. Penggunaan jangka panjang dapat mengganggu

absorpsi vitamin B12 (Harvey, R. A, 2013).

2.6.7. Efek Samping Metformin

Efek samping yang paling umum adalah ketidaknyamanan perut, sakit

perut, diare, dan anoreksia. Efek ini dapat diminimalkan dengan mentitrasi dosis

perlahan dan mengkonsumsi bersamaan dengan makanan. Extended-release

Metformin (Glucophage XR) dapat mengurangi efek samping GI. Asidosis laktat

jarang terjadi dan dapat diminimalkan dengan menghindari penggunaan pada

pasien dengan insufisiensi ginjal (kreatinin serum 1,4 mg / dL atau lebih [≥124

umol / L] pada wanita dan 1,5 mg / dL atau lebih [≥133 umol / L] pada laki-laki),

gagal jantung kongestif, atau kondisi predisposisi hipoksemia atau asidosis laktat

(DiPiro et al., 2015).

2.7. Kesesuaian Dosis

Kesesuaian penggunaan obat secara rasional adalah untuk menjamin

pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk

periode yang adekuat dengan harga yang terjangkau (Kemenkes, 2016).

Analisis rasionalitas dilakukan dengan lima kategori yaitu tepat pasien, tepat obat,

tepat indikasi, tepat dosis, dan waspada efek samping.

Syarat dikatakan rasional yaitu :

1. Tepat diagnosis

41
Obat yang diberikan sesuai dengan diagnosis. Penggunaan obat disebut rasional

jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan

benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru

tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi

yang seharusnya (Kemenkes, 2016).

2. Tepat indikasi penyakit

Obat yang diberikan harus tepat bagi suatu penyakit, karena setiap obat memiliki

spektrum terapi yang spesifik (Kemenkes, 2016).

3. Tepat pemilihan obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan

dengan benar.

Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai

dengan spektrum penyakit (Kemenkes, 2016).

4. Tepat dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi

obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan

rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.

Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi

yang diharapkan (Kemenkes, 2016).

5. Tepat cara pemberian

Obat diberikan sesuai dengan petunjuk penggunaan, sehingga dapat diabsorpsi

dengan baik dan maksimal efektivitasnya (Kemenkes, 2016).

6. Tepat interval waktu pemberian

42
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar

mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari

(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang

harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum

dengan interval setiap 8 jam (Kemenkes, 2016).

7. Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya, Pemberian obat yang

terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap

hasil pengobatan (Kemenkes, 2016).

8. Tepat penilaian kondisi pasien

Respon individu terhadap efek obat sangat beragam, karena itu perlu mem

perhatikan kemungkinan resiko lain akibat pemberian obat (Kemenkes, 2016).

9. Waspada terhadap efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan

yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. (Kemenkes, 2016).

10. Tepat informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam

menunjang keberhasilan terapi (Kemenkes, 2016).

11. Tepat tindak lanjut (follow-up)

Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya

tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami

efek samping (Kemenkes, 2016).

12. Tepat penyerahan obat (dispensing)

43
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan

pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat

penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang

dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien.

Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien

mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas

harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien (Kemenkes, 2016).

13. Kepatuhan pasien

Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan

minum obat umumnya terjadi pada keadaan jenis dan jumlah obat yang diberikan

terlalu banyak, frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering, jenis sediaan obat

terlalu beragam, pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi, pasien

tidak mendapatkan informasi atau penjelasan yang cukup mengenai cara minum

dan menggunakan obat, Timbulnya efek samping tanpa diberikan penjelasan

terlebih dahulu (Kemenkes, 2016).

Tabel 6. Dosis Obat Antihiperglikemia Oral

Golongan Generik Nama mg / Dosis Lama Frek / Waktu


Dagang tab Harian Kerja hari
(mg) (jam)
Sulphonylurea Condiabet 5 Sebelum
Glidanil 5 makan

Glibenclamide Harmida 2,5-5


Renabetic 5 2,5-20 12-24 1-2
Daonil 5
Gluconic 5
Padonil 5
Glucotrol- 5-10
Glipizide 5-20 12-16 1
XL
Diamicron 30-60
Gliclazide 30-120 24 1
MR
Diamicron 80 40-320 10-20 1-2
Glucored
Linodiab
44
Pedab
Glikamel
Glukolos
Meltika
Glicab
Gliquidone Glurenorm 30 15-120 6-8 1-3
Actaryl 1-2-
3-4
Amaryl 1-2-
3-4
Diaglime 1-2-
3-4
Gluvas 1-2-
3-4
Metrix 1-2-
3-4
Pimaryl 2-3
Glimepiride Simryl 2-3
1-8 24 1
Versibet 1-2-3
Amadiab 1-2-
3-4
Anpiride 1-2-
3-4
Glimetic 2
Mapryl 1-2
Paride 1-2
Relide 2-4
Velacom 2-3
2 /Velacom
3

Repaglinide Dexanorm 0,5- 1-16 4 2-4


1-2
Glinide
Nateglinide Starlix 60- 180- 4 3
120 360
Actos 15-30
30 Tidak
Gliabetes
ber-
Thiazolidinedi 15-30 gantung
Prabetic
Pioglitazone 15-45 24 1
one jadwal
15-30
Deculin makan
15-30
Pionix
Penghambat Acrios 50-
Bersama
Alfa- Acarbose Glubose 100 100-
3 suapan
Glukosidase Eclid 300
pertama
Glucobay
Biguanide Metformin Adecco 500 500- 6-8 1-3 Bersama
Efomet 500- 3000 /sesudah
850 makan
Formell 500-
850
Gludepatic 500
Gradiab 500-
850

45
Metphar 500
Zendiab 500
Diafac 500
Forbetes 500-
850
Glucophage 500-
850-
1000
Glucotika 500-
850
Glufor 500-
850
Glunor 500-
850
Heskopaq 500-
850
Nevox 500
Glumin 500
Glucophage
XR 500-
750
Metformin Glumin XR 500-
24 1-2
XR 2000
Glunor XR
500
Nevox XR

Sumber : Perkeni, 2015

46
Vildagliptin Galvus 50 50-100 12- 1-
24 2 Tidak
Penghambat Sitagliptin Januvia 25-50- 25-100 bergantung
DPP-IV 100 jadwal
Saxagliptin Onglyza 24 1 makan
5 5
Linagliptin Trajenta
Tidak
bergantung
Penghambat Dapagliflozin
Forxigra 5-10 5-10 24 1 jadwal
SGLT-2
makan

Glibenclamide Glucovance 1,25/250 12- 1-


+ Metformin 2,5/500 24 2
5/500

Glimepiride+ Amaryl M 1/250 1-


Metformin 2/500 2

Pioglitazone + Pionix-M 15/500 18- 1-


Metformin 15/850 24 2
Mengatur
Actosmet 15/850 1-
Dosis
2
mak-
Obat Sitagliptin + Janumet 50/500 2 Bersama
simum
kombinasi Metformin 50/850 /sesudah
masing-
tetap 50/1000 makan
masing
kom-
Vildagliptin + Galvusmet 50/500 12- 2
ponen
Metformin 50/850 24
50/1000

Saxagliptin + Kombiglyze 5/500 1


Metformin XR

Linagliptin + Trajenta 2,5/500 2


Metformin Duo 2,5/850
2,5/1000

Sumber : Perkeni, 2015

47
2.8. Tinjauan tentang Puskesmas

Pusat kesehatan masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah

fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan

masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih

mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya ( Pasal 1 Permenkes No.

75 Tahun 2014).

Puskesmas sebagai organisasi fungsional menyelenggarakan upaya

kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dapat diterima dan

terjangkau oleh masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat dan

menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna,

dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat luas guna

mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan.

Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai

tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung

terwujudnya kecamatan sehat (Permenkes No. 75 Tahun 2014).

Sebagai sarana pelayanan kesehatan terdepan di Indonesia, maka

Puskesmas bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan

kepada masyarakat. Puskesmas menyelenggarakan fungsi penyelenggaraan

UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya dan penyelenggaraan UKP tingkat

pertama di wilayah kerjanya (Permenkes No. 75 Tahun 2014).

Dalam menyelenggarakan fungsi diatas Puskesmas berwenang untuk :

a. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan

masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan;

48
b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;

c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan

masyarakat dalam bidang kesehatan;

d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan

masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang

bekerjasama dengan sektor lain terkait;

e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya

kesehatan berbasis masyarakat;

f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia Puskesmas;

g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;

h. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan

cakupan Pelayanan Kesehatan; dan

i. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk

dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan

penyakit.

Sejalan dengan program Indonesia Sehat, Puskesmas sebagai ujung

tombak pembangunan kesehatan, berkewajiban untuk mewujudkan kecamatan

sehat, dengan indikator utamanya yaitu :

1. Lingkungan sehat. 

2. Perilaku sehat. 

3. Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu. 

4. Derajat kesehatan penduduk kecamatan

Untuk mewujudkan tujuan diatas, Puskesmas melakukan upaya

upaya/kegiatan, diantaranya yaitu :

49
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya. 

2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah

kerjanya. 

3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan

pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. 

4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan

masyarakat berserta lingkungannya.

Adapun kegiatan kegiatan / pelayanan yang dilaksanakan oleh Puskesmas

adalah sebagai berikut : KIA, Keluarga Berencana, Usaha Perbaikan Gizi,

Kesehatan Lingkungan, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular,

Pengobatan termasuk pelayanan darurat karena kecelakaan, penyuluhan

Kesehatan Masyarakat, Kesehatan Sekolah, Kesehatan Olah Raga, Perawatan

Kesehatan Masyarakat, Kesehatan dan keselamatan Kerja, Kesehatan Gigi dan

Mulut, Kesehatan Jiwa, Kesehatan Mata, Laboratorium Sederhana, Pencatatan

Laporan dalam rangka Sistem Informasi Kesehatan, Kesehatan Usia Lanjut dan

Pcmbinaan Pengohatan Tradisional.

50
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1. Kerangka Konsep

Untuk menguraikan suatu hubungan antara konsep satu terhadap

konsep yang lainnya, atau variabel satu dengan variabel yang lain dari

masalah yang ingin diteliti, maka dibuat kerangka konsep yang dijelaskan

pada gambar 3.

Obat Tunggal Obat Kombinasi

VARIABEL Dosis Obat sesuai


BEBAS

Diabetes Melitus Tipe 2

VARIABEL Penurunan Kadar Gula


TERIKAT Darah Pasien

Gambar 3. Diagram Kerangka Konsep

51
3.2. Hipotesis

a. H0

Tidak terdapat Kesesuaian Dosis Obat Hipoglikemik Oral dengan

Perubahan Gula Darah pada Penderita Diabetes Melitus di Puskesmas

Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi.

b. H1

Terdapat Kesesuaian Dosis Obat Hipoglikemik Oral dengan

Perubahan Gula Darah pada Penderita Diabetes Melitus di Puskesmas

Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi.

52
BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik komparatif numerik

sampel berpasangan, dengan desain cross sectional. Cross sectional merupakan

dimana data yang menyangkut variabel bebas (independent) dan terikat

(dependent) dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Syahdrajat, 2017).

Penelitian ini termasuk observatif karena peneliti tidak memberikan perlakuan hanya

melakukan eksplorasi deskriptif dari fenomena kesehatan yang terjadi dan kemudian

mengumpulkan data dari lembar observasi.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari s.d. Februari 2020,

pengambilan data dilakukan pada bulan Januari s.d. Februari 2020.

4.2.2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Bangorejo, Kecamatan Bangorejo,

Kabupaten Banyuwangi.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang diteliti, populasi

menjelaskan secara spesifik tentang siapa atau golongan mana yang menjadi

53
sasaran penelitian tersebut (Notoatmojo, 2018). Populasi dalam penelitian ini

adalah semua penderita DM di Puskesmas Bangorejo, Kecamatan Bangorejo,

Kabupaten Banyuwangi periode Januari s.d. Februari 2020.

4.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian yang dapat digunakan yang dapat digunakan sebagai

subjek penelitian (nursalam, 2017) sampel yang digunakan dalam penelitian ini

dengan rumus slovin. Menghitung sampel penelitian menurut slovin sebagai,

dengan contoh sebanyak 30 populasi, adalah berikut :

n = 30
1 + 30 (0,05)2

n = 30
1,075

n = 27,9 = 28 sampel

Keterangan :

N = Jumlah Populasi yang ada

n = Jumlah sampel yang diperlukan

d2 = Tingkat singnifikan 0,05 (5%)

Dalam rumus Slovin ada ketentuan sebagai berikut:

Nilai e = 0,1 (10%) untuk populasi dalam jumlah besar

Nilai e = 0,2 (20%) untuk populasi dalam jumlah kecil

Jadi rentang sampel yang dapat diambil dari teknik Solvin adalah antara

10-20 % dari populasi penelitian.


54
Penggunaan rumus slovin dilakukan untuk mempermudah dalam pengolahan

data dan untuk hasil pengujian yang lebih baik. Sampel yang diambil

berdasarkan teknik probability sampilng; simple random sampling, dimana

peneliti memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota populasi untuk

dipilih menjadi sampel yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan

strata yang ada dalam populasi itu sendiri.

4.3.2.2. Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu teknik

penentuan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu dan kriteria-kriteria yang

telah ditentukan (Sugiyono 2009). Sampel diambil dari semua penderita DM

tipe 2 yang mendapat pengobatan antidiabetes (OHO). di Puskesmas Bangorejo,

Kabupaten Banyuwangi

4.3.2.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Kriteria Inklusi

Semua penderita DM yang mengkonsumsi OHO periode Januari s.d.

Februari 2020 di Puskesmas Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi.

Kriteria Ekslusi

Semua penderita DM periode Januari s.d. Februari 2020 yang tidak

mengkonsumsi OHO selama 7 hari,di Puskesmas Bangorejo, Kabupaten

Banyuwangi.

4.4. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini menggunakan variabel bebas dan variabel terikat.

1. Variabel bebas (independent variable)

55
Variabel bebas yaitu penggunaan obat anti diabetes bagi pasien rawat inap

diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi,

periode Januari s.d. Februari 2020.

2. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat yaitu rasionalitas penggunaan obat antidiabetes bagi

pasien rawat inap diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Bangorejo,

Kabupaten Banyuwangi, periode Januari s.d. Februari 2020. Berdasarkan

kategori obat tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, dan tepat pasien sesuai

FRS (Formularium Rumah Sakit), SPM (Standar Pelayanan Medis) dan

PERKENI 2015.

4.5. Definisi Operasional

Untuk memudahkan dalam melaksanakan penelitian dan membatasi dalam

penelitian, maka dibuat definisi operasional sebagaimana pada table dibawah ini :

Tabel 7. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Indikat Alat Cara Skala Hasil


Operasional or Ukur Pengukuran Ukur Pengukuran
1 Kadar * Kadar gula Jumlah Gluko Obrservasi Interval Gram/dl
gula darah yang kadar meter
darah dialami gula (alat Mengukur
sebelum penderita terukur ukur kadar gula
sebelum dalam kadar darah
diberikan obat darah gula penderita
periode Januari sebelu darah) dengan
s.d. Februari m menggunak
2020 pember Catatan an Easy
ian Medis touch alat
obat (lemba pengukur
hipogli r kadar gula
kemik observ
oral asi)
kuantit
atif
g/dl

56
2 Kadar * Kadar gula Jumlah Gluko Obrservasi Interval Gram/dl
gula darah yang kadar meter
darah dialami gula (alat Mengukur
sesudah penderita terukur ukur kadar gula
sesudah dalam kadar darah
diberikan obat darah gula penderita
periode Januari sesuda darah) dengan
s.d. Februari h menggunak
2020 pember Catatan an Easy
ian Medis touch alat
obat (lemba pengukur
hipogli r kadar gula
kemik observ
oral asi)
kuantit
atif
g/dl

4.6. Pengumpulan Data

4.6.1. Sumber Data

Pengumpulan data menggunakan data primer yaitu melakukan pengukuran

kadar gula darah penderita DM yang datanya ada dalam rekam medis.

Kemudian, data sekunder yaitu data diperoleh dengan mengumpulkan catatan

mengenai semua resep obat penderita DM baru periode Januari s.d. Februari 2020.

4.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

observasi dan studi dokumen. Teknik ini digunakan dimana peneliti terlibat

secara langsung maupun tidak secara langsung dalam kegiatan atau proses yang

diamati sebagai sumber data. Dokumen penunjang lainnya yang berkaitan

dengan subyek penelitian juga diperlukan untuk mendapatkan data yang valid,

sehingga kesalahan dalam pengumpulan data dapat diminimalisasi.

57
4.6.3. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah alat ukur

Easy touch alat pengukur kadar gula, lembar observasi dan alat tulis.

4.7. Pengolahan dan Analisis Data

4.7.1 Pengolahan Data

Sebelum dilakukan analisis data, maka data yang telah didapatkan dalam

penelitian ini melewati beberapa proses di bawah ini :

a) Editing

Editing merupakan upaya untuk memastikan bahwa data yang

dikumpulkan lengkap.

b) Coding

Merupakan kegiatan pemberian kode dari setiap data yang didapatkan

oleh peneliti, tahap ini memudahkan peneliti dalam memilah-milah data

yang didapatkan. Kode tersebut meliputi kode kelompok dan kode subjek

penelitian.

c) Tabulating

Data yang telah masuk dikategorikan menjadi data yang sesuai dengan

kategori penelitian.

d) Entrydata

Pada tahapan ini dilakukan kegiatan pemasukan data ke dalam program

komputer untuk selanjutnya dllakukan analis data.

e) Cleaning

Merupakan kegiatan untuk memastikan data yang dimasukan pada saat

entry data telah seluruhnya dan tidak ada kesalahan.

58
4.7.2. Analisis Data

Semua data yang telah didapatkan dalam penelitian ini, kemudian

dikumpulkan dan dilakukan pemaparan pada setiap variabel yang diperoleh.

Setelah itu disusun serta dikelompokan. Pengelompokkan data kadar gula darah

dan penggunaan obat hipoglikemik oral, Identifikasi kesesuaian dosis dengan

kadar gula darah penderita. Hasil penelitian disajikan serta dijabarkan dalam

bentuk tabel dan grafik. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

4.8.1 Analisis Univariat

Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan suatu distribusi presentase setiap

variabel penelitian. Variabel yang dianalisis adalah kesesuaian dosis pada

pemberiaan obat hipoglikemik oral dengan perubahan kadar gula darah

penderita DM di Puskesmas Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi periode

Januari s.d. Februari 2020.

4.8.2 Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan dalam menganalis ada tidaknya hubungan kesesuaian

dosis obat hipoglikemik oral dengan perubahan kadar gula darah penderita

DM di Puskesmas Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi (Analisa bivariat

digunakan untuk menguji ada atau tidaknya pengaruh antara variabel

dependen dan independen, peneliti menggunakan uji perbedaan, berupa uji-t

berpasangan (Paired Samples t Test) untuk membandingkan selisih dua

mean dari dua sampel yang berpasangan dengan asumsi data berdistribusi

normal.

Rumus untuk uji t berpasangan:

59
t=

Keterangan :
δ = rata-rata deviasi (selisih sampel sebelum dan sampel sesudah)
SDδ = Standar deviasi dari δ (selisih sampel sebelum dan sampel
sesudah)
n = banyaknya sampel
DF = n-1
Kriteria data untuk uji t sampel berpasangan (paired-sampel t test ):

( t-test) hasil perhitungan ini selanjutnya dibandingkan dengan t tabel dengan

menggunakan tingkat kesalahan 0,05.

Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. t tabel > t hitung, maka Ho diterima dan Ha ditolak,

b. t tabel < t hitung, maka Ho ditolak dan Ha diterima.

Bila terjadi penerimaan Ho maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

perubahan signifikan, sedangkan bila Ho ditolak artinya terdapat perubahan

yang signifikan. Rancangan pengujian hipotesis statistik ini untuk menguji ada

tidaknya pengaruh antara variabel independent (X1) yaitu kesesuaian dosis obat

hipoglikrmi oral , terhadap perubahan kadar gula dalam darah (X2), adapun yang

menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. Ho : δ = 0 (Tidak ada perbedaan kadar gula darah antara sebelum

dibandingkan sesudah dengan pemberian obat hipoglikemi oral )

b. Ha : δ ≠ 0 (Ada perbedaan perbedaan kadar gula darah antara sebelum

dibandingkan sesudah dengan pemberian obat oral hipoglikemi)

60
Penggunaan rumus komparasi dua sampel berpasangan digunakan untuk

desain penelitian eksperimen, sebagai contoh : membuat perbandingan nilai pre

test dan post test, sebelum dan sesudah, dan lain-lain.

Keterangan :
x1 : Rata rata sampel ke 1

x2 : Rata rata sampel ke 2

σ1 : Varian sampel ke 1

σ2 : Varian sampel ke 2

n : Jumlah sampel

Tiga bentuk hipotesis untuk uji-t dimana penggunanya tergantung dari

persoalan yang akan diuji :

1. Bentuk uji hipotesis satu sisi (one sided atau one tailed test) untuk sisi

bawah (lower tailed) dengan hipotesis :

H0 : µ1 ≥ µ2

H1 : µ1 < µ2

2. Bentuk uji hipotesis satu sisi (one sided atau one tailed test) untuk sisi

bawah (lower tailed) dengan hipotesis :

H0 : µ1 ≤ µ2

H1 : µ1 > µ2

61
3. Bentuk uji hipotesis satu sisi (one sided atau one tailed test) untuk sisi

bawah (lower tailed) dengan hipotesis :

H0 : µ1 = µ2

H1 : µ1 ≠ µ2

Dalam pengujian hipotesis, kriteria untuk menolak atau tidak menolak H 0

berdasarkan P-Value adalah sebagai berikut :

Jika P-value < α, maka H0 ditolak

Jika P-value ≥ α, maka H0 tidak dapat ditolak

4.8. Aspek Etik Penelitian

Standar etik dalam penelitian kesehatan melibatkan subyek manusia dengan

mendapatkan informasi data subjek dari data sekunder berupa data catatan medis.

Standar ini diperkuat dalam Deklarasi Helsinki 1964, yang beberapa kali

diperbaharui, dan terakhir pada tahun 2008 di Seoul. Standar Internasional

mensyaratkan adanya kajian ilmiah dan etik terhadap penelitian biomedik dan

perilaku dalam melibatkan manusia sebagai subyek penelitian, untuk menjaga

tegaknya etika serta terpeliharanya rasa hormat dan perlindungan terhadap subyek

penelitian (World Medical Association Declaration of Helsinki, 2013).

Data yang diambil adalah data primer yaitu langsung meminta persetujuan

dengan Penderita DM yang akan dilakukan penelitian serta data sekunder berupa

catatan medis yang berkaitan dengan pengobatan DM yang tercatat pada periode

Januari s.d. Februari 2020, mencakup inisial, umur, keluhan, pemeriksaan

penunjang dan pengobatan yang diberikan disesuaikan dengan standar

pengobatan PERKENI 2015.


62
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Suherman SK dan Nafrialdi, 2012, Farmakologi dan Terapi, edisi 5, Departemen

farmakologi dan terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wahjudi Nugroho, 2008, Keperawatan Gerontik dan Geriatrik, Edisi 3, EGC

Emergency Arcan, Jakarta

Drs. Priyanto, M. Blomed, Apt, 2009, Farmakoterapi dan Terminologi Medis,

Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi (LESKONFI,) Depok

Stryer L (1995). Biochemistry (Fourth ed.). New York: W.H. Freeman and

Company. pp. 773–74

Sonksen P, Sonksen J (July 2000). "Insulin: understanding its action in health and

disease". British Journal of Anaesthesia. 85 (1): 69–79

Richard A. Harvey & Pamela C. Champe, 2013, Farmakologi Ulasan Bergambar

Edisi 4, EGC Emergency Arcan, Jakarta

Prof. Dr. Sugiyono, (2008) Statistik Untuk Penelitian, CV Alfabeta, Bandung

Jurnal

American Diabetes Association. Strds of medical care in diabetes—2010.

Diabetes Care 2010;33(Suppl. 1) : S11–S61

Rambiritch, et al. 2014 : Glibenclamide in Patients with Poorly Controlled Type 2

Diabetes: a 12-week, Prospective, Single-Center, Open-Label, Dose-

Escalation Study. Clinical Pharmacology, 6, pp. 63-69).

Stewart, M. Patient, 2016 : Glibenclamide for Diabetes

63
Bertram G. Katzung. Basic and Clinical Pharmacology, McGraw-Hill Education /

Medical; 14 edition (November 30, 2017).

Nolte Kennedy MS, Masharani U (2015): Pancreatic Hormones &Antidiabetic

Drugs (Chapter 41). In: Basic & Clinical Pharmacology. 15th Ed. Katzung

BG, Trevor AJ (Editors). McGraw-Hill / Lange

International Diabetes Federation (IDF), Diabetes Atlas, 2013

Joseph. T DiPiro, Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G.

Wells, L. Michael Posey, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach,

Ninth Edition, 2014, McGraw-Hill Education / Medical

The American Society of Health-System Pharmacists, Metformin Hydrochloride.,

Archived from the original on 24 December 2016. Retrieved 2 January 2017

Kamlesh J Wadher, Rajendra B Kakde, Milind J Umekar, Study on sustained-

release metformin hydrochloride from matrix tablet: Influence of

hydrophilic polymers and in vitro evaluation, SMT Kishoritai Bhoyar

College Of Pharmacy, Kamptee, Nagpur, Maharashtra, India, International

Journal of Pharmaceutical Investigation 1(3):157-63 · July 2011

Fischer, Janos (2010). Analogue-based Drug Discovery II. John Wiley & Sons.

p. 49. ISBN 978-3-527-63212-1. Archived from the original on 2017-09-08

McKee, Mitchell Bebel Stargrove, Jonathan Treasure, Dwight L. (2008). Herb,

nutrient, and drug interactions : clinical implications and therapeutic

strategies. St. Louis, Mo.: Mosby/Elsevier. p. 217. ISBN 978-0-323-02964-

3. Archived from the original on 2017-09-08

Hongying An and Ling He (2016) Current Understanding of Metformin Effect on

the Control of Hyperglycemia in Diabetes, NCBI

64
Salve P.S (2011) Development And In Vitro Evaluation Of Gas Generating

Floating Tablets Of Metformin Hydrocloride, Asian J Res Sci, Vol 1: issue

4: 105-112

Curtis Triplitt, PharmD, CDE, (2015) Drug Interactions of Medications Commonly

Used in Diabetes, Diabetes Spectrum 

WHO Model List of Essential Medicines (19th List)" (PDF). World Health

Organization. April 2015. Archived (PDF) from the original on 13

December 2016.

Causes of Diabetes. The National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney

Diseases (NIDDK), 2016.

The Diabetes Prevention Program Research Group “Long-Term Safety,

Tolerability, and Weight Loss Associated With Metformin in the Diabetes

Prevention Program Outcomes Study, NCBI Journal, 2012

M. Panji Bintang Gumantra dan Razni Zakia Oktarlina, (2017) Jurnal

Perbandingan Monoterapi dan Kombinasi terapi Sulfonilurea Metformin

Terhadap Pasien DM Type 2

Erika Rismawati, (2011) Profil Pelayanan Resep Dengan Obat Glibenklamid di

Apotek Wilayah Surabaya

Pusdatin, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018

Depkes RI. 2003. Pedoman Pengelolaan Kegiatan Kesehatan di Kelompok Usia

Lanjut. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat DEPKES RI. Jakarta

Peraturan Perundangan

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

65
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga

Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan No. 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian Di Puskesmas

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2016 Tentang

Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lanjut Usia Tahun 2016-2019

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 Tentang

Pusat Kesehatan Masyarakat

66
Pelayanan kesehatan penderita Diabetes Melitus

Setiap penderita Diabetes Melitus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai str.

1. Sasaran indikator ini adalah penyng DM di wilayah kerja kabupaten/

kota.

2. Penduduk yang ditemukan menderita DM atau penyng DM memperoleh

pelayanan kesehatan sesuai str dan upaya promotif dan preventif di FKTP.

3. Penduduk yang ditemukan menderita DM atau penyng DM dengan

komplikasi perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan untuk penanganan

selanjutnya.

4. Pelayanan kesehatan penyng DM diberikan sesuai kewenangannya oleh :

Dokter/DLP, Perawat, Nutrisionis/Tenaga Gizi,

5. Pelayanan kesehatan diberikan kepada penyng DM di FKTP sesuai str

meliputi 4 (empat) pilar penatalaksanaan sebagai berikut: Edukasi, Aktifitas

fisik, Terapi nutrisi medis, Intervensi farmakologis.

6. Setiap penyng DM yang mendapatkan pelayanan sesuai str termasuk

pemeriksaan HbA 1 C.

7. Bagi penyng DM yang belum menjadi peserta JKN diwajibkan menjadi

peserta JKN.

Definisi Operasional Capaian Kinerja: dinilai dari persentase penyng DM yang

mendapatkan pelayanan sesuai str di wilayah kerjanya dalam kurun waktu satu

tahun.

Pemerintah kabupaten/kota secara bertahap harus membuat rencana aksi untuk

bisa menjangkau seluruh penyng DM di wilayahnya dan mengupayakan agar

67
semua penyng DM tersebut memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan

sesuai str. Secara nasional saat ini baru 30 persen penyng DM yang terdiagnosis

dan mendapatkan pelayanan kesehatan.

Obat dan cara pengobatan Pengobatan Diabetes Melitus (DM)

Diabetes melitus adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Namun

bukan berarti jadi merasa putus asa.

Penyakit gula atau diabetes ini masih bisa diatasi dan dikendalikan. Salah satunya,

dengan minum obat diabetes melitus. Tergantung jenisnya, berikut beberapa

pilihan obat penyakit gula:

Obat diabetes tipe 1

Ketika mengalami kondisi ini, sistem kekebalan tubuh akan menyerang sel yang

memproduksi insulin sehingga kadar insulin yang dihasilkan tubuh berkurang.

Maka dari itu, dokter biasanya akan diberikan obat diabetes berupa insulin yang

akan disuntikkan pada tubuh pasien setiap hari.

Beberapa jenis insulin tersebut antara lain:

 Insulin dengan aksi cepat. Insulin ini biasanya akan diberikan saat hanya

memiliki sedikit waktu untuk menyuntikkan insulin, seperti saat kadar gula

melebihi target.

 Insulin dengan aksi lambat. Kebalikan dari insulin dengan aksi cepat,

insulin dengan aksi lambat biasa digunakan saat memiliki waktu yang lebih

lama dalam menyuntikkan insulin. Tapi dibandingkan dengan insulin aksi

cepat, insulin aksi lambat lebih jarang digunakan.

68
 Insulin dengan aksi intermediate. Meskipun lama waktu penyuntikkan

insulin jenis ini relatif panjang, namun insulin aksi intermediate biasanya

dikombinasikan dengan aksi yang lebih cepat, sehingga mampu

memaksimalkan manfaat dari penyuntikkan.

Obat diabetes tipe 2

Orang yang mengalami penyakit diabetes umumnya tidak mampu menggunakan

insulin yang ada sebagaimana mestinya. Tak semua orang dengan penyakit

diabetes memerlukan obat. Dalam beberapa kasus, dokter mungkin hanya

meminta pasien untuk mengubah gaya hidupnya agar menjadi lebih sehat, seperti

rutin olahraga dan menjalani diat khusus. 

Nah, ketika kedua cara tersebut tidak cukup, barulah dokter akan meresepkan

sejumlah obat diabetes melitus untuk membantu menurunkan gula darah.

Beberapa obat diabetes melitus yang sering diresepkan dokter adalah

metformin, pioglitazone, sulfonilurea, agonis, repaglinide, acarbose,  gliptin,

dan nateglinide.

Namun, harus waspada. Pasalnya, obat diabetes melitus dapat menyebabkan

sejumlah efek samping seperti kembung dan diare. Kabar baiknya, efek samping

ini tidak selalu muncul pada setiap orang. Diskusikan dengan dokter bila

mengalami efek samping obat tersebut.

Pengobatan Rumahan (perubahan gaya hidup atau pengobatan rumahan

untuk mengatasi diabetes mellitus)

1. Menjaga pola makan dan asupan gizi

Sebenarnya, makanan untuk orang dengan penyakit gula hampir sama dengan

orang yang sehat-sehat saja. Bedanya, makanan lebih diatur dari mereka. Dokter

69
biasanya akan meminta untuk lebih banyak mengonsumsi makanan bergizi,

rendah lemak dan kalori sehingga bisa mengontrol kadar gula darah .

Seperti apa makanan yang harus dimakan? Berikut panduannya:

 Makanan yang terbuat dari biji-bijian utuh atau karbohidrat kompleks

seperti nasi merah, kentang panggang, oatmeal, roti dan sereal dari biji-bijian

utuh.

 Ganti gula dengan pemanis rendah kalori dan mengandung kromium

untuk meningkatkan fungsi insulin dalam tubuh, sehingga bisa membantu

mengontrol gula darah.

 Daging tanpa lemak yang dikukus, direbus, dipanggang, dan dibakar.

 Sayur-sayuran yang diproses dengan cara direbus, dikukus, dipanggang

atau dikonsumsi mentah. Sayuran yang baik dikonsumsi untuk penderita,

seperti brokoli dan bayam.

 Buah-buahan segar. Jika ingin menjadikannya jus, sebaiknya jangan

ditambah gula.

 Kacang-kacangan, termasuk kacang kedelai dalam bentuk tahu yang

dikukus, dimasak untuk sup dan ditumis.

 Produk olahan susu rendah lemak dan telur.

 Ikan seperti tuna, salmon, sarden dan makarel.

Jika menerapkan pola makan yang sehat, maka berat badan tetap ideal, kadar gula

darah stabil, dan terhindar dari resiko penyakit jantung. 

70
2. Olahraga teratur

Manfaat olahraga teratur untuk diabetesi adalah membantu menjaga berat badan

turun, insulin bisa lebih mudah menurunkan gula darah, membantu jantung dan

paru-paru bekerja lebih baik dan memberi lebih banyak energi.

Tidak usah yang terlalu berat bisa mulai berjalan, berenang, bersepeda di dekat

rumah , beraktivitas membersihkan rumah, atau mulai hobi berkebun adalah ide

bagus supaya tetap aktif bergerak.

Cobalah berolahraga minimal tiga kali seminggu selama sekitar 30 sampai 45

menit. Jika adalah tipe orang yang jarang olahraga, cobalah 5 sampai 10 menit

pada awal olahraga, dari sini nanti bisa meningkatkan waktunya.

Jika kadar gula darah kurang dari 100-120, makanlah apel atau segelas susu

sebelum berolahraga. Saat sedang berolahraga, bawalah makanan ringan agar

gula darah tidak turun.

Tips jika menggunakan insulin

 Berolahraga setelah makan, bukan sebelum makan.

 Tes gula darah sebelum, selama, dan sesudah olahraga. Jangan

berolahraga bila kadar gula darah rendah, kurang dari 70.

 Hindari berolahraga sebelum tidur karena bisa menyebabkan gula darah

turun di malam hari.

Tips jika tidak menggunakan insulin

 Temui dokter , jika berniat untuk ikut kelas fitness atau program latihan

olahraga.

 Tes gula darah sebelum dan sesudah berolahraga jika mengonsumsi obat

diabetes melitus. Pastikan gula darah tidak lebih rendah dari 70.

71
3. Rajin cek gula darah setiap hari

Kadar gula darah harus dipantau secara rutin. Ini adalah cara penting guna

mengatasi serta menjaga kadar gula darah tetap normal. Cek gula darah juga bisa

memberikan informasi mengenai kadar glukosa darah pada saat itu juga. bisa

menggunakan alat tes gula darah yang disebut glukometer. Dengan petunjuk

pemakaian sebagai berikut:

1. Pastikan tangan telah dicuci, masukkan kertas test strip ke alat ukur gula

darah.

2. Perlahan, tusuk ujung jari dengan jarum steril hingga darah keluar

3. Bila darah yang keluar sedikit, perlahan pijat jari hingga darah keluar

cukup

4. Pegang dan tahan ujung test strip sampai darah menetes pada test strip,

dan tunggu hasilnya.

5. Kadar glukosa darah akan muncul di layar alat

Kadar glukosa umumnya berbeda saat sebelum dan setelah makan. Untuk tingkat

gula darah normal sebelum makan, kadarnya sekitar 70-130 mg/dL. Kemudian,

tingkat gula darah dua jam setelah makan seharusnya kurang dari 180 mg/dL dan

menjelang tidur berkisar 100-140 mg/dL.

Jumlah kadar gula darah dapat menggambarkan kondisi kesehatan . Kadar gula

darah tinggi dianggap sebagai pert bahwa kondisi tubuh sedang tidak sehat. Catat

kadar gula darah setiap kali memeriksa kadar gula darah.

72
4. Pastikan selalu minum obat atau suntik insulin

Keseimbangan kadar gula darah pada diabetesi terkadang tidak bisa terjaga

dengan baik hanya melalui penerapan pola makan sehat dan olahraga teratur. juga

mungkin membutuhkan obat-obatan untuk menanganinya.

Ada beberapa jenis obat (biasanya dalam bentuk tablet) yang dapat digunakan

untuk kondisi ini (obat hipoglikemik oral). juga mungkin diberikan kombinasi

dari dua jenis obat atau lebih untuk mengendalikan kadar gula darah . Obat yang

biasa diberikan adalah metformin, sulfonilurea, pioglitazone, gliptin,

agonis, acarbose, nateglinide dan repaglinide. 

Dalam kasus tertentu, obat-obatan dalam bentuk tablet mungkin akan

kurang efektif untuk mengobati penyakit gula atau diabetes ini, sehingga

membutuhkan terapi insulin.

Berdasarkan dosis dan cara pemakaiannya, terapi ini dapat diberikan untuk

menggantikan atau diberikan bersamaan dengan obat-obatan seperti yang telah

disebutkan di atas tadi.

Pencegahan Diabetes Melitus (DM)

Penyakit gula atau diabetes ini dapat dicegah dengan melakukan olahraga teratur,

menjaga pola hidup sehat, dan menjaga kadar gula darah tetap normal.

1. Raih berat badan sehat

Obesitas adalah salah satu faktor resiko utama dari diabetes tipe 2. Diet kalori dan

rendah lemak sangat dianjurkan sebagai cara terbaik untuk menurunkan berat

badan dan mencegah diabetes.

73
2. Banyak makan buah dan sayur

Dengan makan sayur dan buah-buahan segar setiap hari, dapat mengurangi resiko

diabetes sampai 22 persen. Fakta ini diambil menurut hasil dari sebuah penelitian

tentang diet selama 12 tahun dari hampir 22 ribu orang dewasa.

Penurunan resiko secara langsung berhubungan dengan berapa banyak buah-

buahan dan sayuran yang konsumsi.

3. Kurangi gula

Untuk menjaga kadar gula darah normal, harus membatasi konsumsi gula, tapi

bukan berarti jadi anti gula. bisa mengganti gula pasir dengan pemanis rendah

kalori dan bebas gula untuk mencegah penyakit gula dan mengontrol asupan

kalori.

4. Aktif berolahraga

Usahakan berolahraga minimal 30 menit sehari 3-5 kali seminggu untuk

memaksimalkan pencapaian target berat badan idea sekalus juga untuk

mengurangi resiko terkena diabetes.

Selain itu, berolahraga juga bisa menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan

kadar insulin.

Fungsi puskesmas 

Puskesmas diharapkan dapat bertindak sebagai motivator, fasilitator dan

turut serta memantau terselenggaranya proses pembangunan di wilayah kerjanya

agar berdampak positif terhadap kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Hasil

yang diharapkan dalam menjalankan fungsi ini antara lain adalah terselenggaranya

74
pembangunan di luar bidang kesehatan yang mendukung terciptanya lingkungan

dan perilaku sehat. Upaya pelayanan yang diselenggarakan meliputi

Fungsi dari Puskesmas adalah :

1. Sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. 

2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka

kemampuan untuk hidup sehat. 

3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan masyarakat di

wilayah kerjanya. 

Jangkauan Pelayanan Puskesmas

Sesuai dengan keadaan geografi, luas wilayah, sarana perhubungan, dan

kepadatan penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas. Agar jangkauan pelayanan

Puskesmas lebih merata dan meluas, Puskesmas perlu ditunjang dengan

Puskesmas pembantu, penempatan bidan di desa yang belum terjangkau oleh

pelayanan yang ada, dan Puskesmas keliling. Disamping itu pergerakkan peran

serta masyarakat untuk mengelola posyandu.

Puskesmas sebagai salah satu penyedia layanan pembangunan bidang

kesehatan, salah satu bentuk layanannya adalah pelayanan kefarmasian dalam

hal layanan resep atau dalam Peraturan Menteri Kesehatan disebut dengan

pelayanan farmasi klinis (Permenkes 2014) , adapun tujuan dari pelayanan resep

adalah menyiapkan dan menyerahkan obat yang diminta oleh penulis resep

kepada pasien, sehingga harus ada jaminan bahwa obat tersebut benar secara

administratif, farmasetik, dan klinis.

75
Rekomendasi untuk penderita Diabetes Melitus

Pertimbangkan penilaian domain geriatrik medis, psikologis, fungsional, dan

sosial pada orang dewasa yang lebih tua untuk memberikan kerangka kerja untuk

menentukan target dan pendekatan terapeutik untuk manajemen diabetes. C

Skrining untuk sindrom geriatri mungkin sesuai pada orang dewasa yang lebih tua

yang mengalami keterbatasan dalam kegiatan dasar dan instrumental kehidupan

sehari-hari mereka karena dapat memengaruhi manajemen diri diabetes dan terkait

dengan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan. C

Skrining untuk deteksi dini gangguan kognitif ringan atau demensia dan depresi

diindikasikan untuk orang dewasa berusia 65 tahun atau lebih pada kunjungan

awal dan setiap tahun sesuai kebutuhan. B

Hipoglikemia harus dihindari pada orang dewasa yang lebih tua dengan diabetes.

Ini harus dinilai dan dikelola dengan menyesuaikan target glikemik dan intervensi

farmakologis. B

Orang dewasa yang lebih tua yang sehat dengan beberapa penyakit kronis yang

hidup berdampingan dan fungsi kognitif utuh dan status fungsional harus

memiliki tujuan glikemik yang lebih rendah (A1C <7,5% [58 mmol / mol]),

sementara mereka yang memiliki beberapa penyakit kronis yang ada bersama,

76
gangguan kognitif, atau ketergantungan fungsional harus memiliki tujuan

glikemik yang kurang ketat (A1C <8,0-8,5% [64-69 mmol / mol]). C

Tujuan glikemik untuk beberapa orang dewasa yang lebih tua mungkin cukup

rileks sebagai bagian dari perawatan individual, tetapi hiperglikemia yang

mengarah pada gejala atau resiko komplikasi hiperglikemik akut harus dihindari

pada semua pasien. C

Skrining untuk komplikasi diabetes harus disesuaikan dengan orang dewasa yang

lebih tua. Perhatian khusus harus diberikan pada komplikasi yang akan

menyebabkan gangguan fungsional. C

Pengobatan hipertensi hingga level target individual ditunjukkan pada sebagian

besar orang dewasa yang lebih tua. C

Pengobatan faktor-faktor resiko kardiovaskular lainnya harus disesuaikan dengan

orang dewasa yang lebih tua dengan mempertimbangkan jangka waktu

manfaatnya. Terapi penurun lipid dan terapi aspirin dapat bermanfaat bagi mereka

yang memiliki harapan hidup setidaknya sama dengan kerangka waktu

pencegahan primer atau uji intervensi sekunder. E

Pertimbangkan edukasi diabetes untuk staf fasilitas perawatan jangka panjang

untuk meningkatkan manajemen orang dewasa yang lebih tua dengan diabetes. E

77
Pasien dengan diabetes yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang perlu

penilaian yang cermat untuk menetapkan tujuan glikemik dan untuk membuat

pilihan yang tepat dari agen penurun glukosa berdasarkan status klinis dan

fungsional mereka. E

Diabetes adalah kondisi kesehatan yang penting bagi populasi yang menua karena

sekitar seperempat orang yang berusia di atas 65 tahun menderita diabetes. Orang

yang lebih tua dengan diabetes memiliki tingkat kematian dini yang lebih tinggi,

cacat fungsional, dan penyakit yang hidup berdampingan.

Orang dengan diabetes memiliki insiden lebih tinggi dari semua penyebab

demensia, penyakit Alzheimer, dan demensia vaskular daripada orang dengan

toleransi glukosa normal. Kontrol glikemik yang buruk dikaitkan dengan

penurunan fungsi kognitif.

Penting untuk mencegah hipoglikemia untuk mengurangi resiko penurunan

kognitif dan hasil buruk utama lainnya. Orang dewasa yang lebih tua beresiko

lebih tinggi mengalami hipoglikemia karena berbagai alasan, termasuk defisiensi

insulin yang memerlukan terapi insulin dan insufisiensi ginjal progresif. Kejadian

hipoglikemik harus dipantau dan dihindari dengan rajin, sedangkan target

glikemik dan intervensi farmakologis mungkin perlu disesuaikan untuk

mengakomodasi perubahan kebutuhan orang dewasa yang lebih tua.

78
Perawatan orang dewasa yang lebih tua dengan diabetes dipersulit oleh

heterogenitas klinis, kognitif, dan fungsional mereka. Penyedia perawatan untuk

orang dewasa yang lebih tua dengan diabetes harus memprioritaskan tujuan

pengobatan (Tabel 11). Untuk pasien dengan komplikasi dan fungsionalitas yang

berkurang, masuk akal untuk menetapkan tujuan glikemik yang kurang intensif.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam individualisasi tujuan glikemik

diuraikan dalam

Terapi Farmakologis

Diperlukan perawatan khusus dalam meresepkan dan memantau terapi

farmakologis pada orang dewasa yang lebih tua (lihat Tabel 7). Situasi hidup

pasien harus dipertimbangkan karena dapat memengaruhi manajemen dan

dukungan diabetes. Ketika pasien ditemukan memiliki rejimen di luar kemampuan

manajemen diri mereka, pengobatan harus deintensifikasi (atau disederhanakan)

untuk mengurangi hipoglikemia dan tekanan terkait penyakit sambil menghindari

memburuknya kontrol glikemik yang substansial.

Orang dewasa yang lebih tua dengan diabetes cenderung mendapat manfaat dari

kontrol faktor resiko kardiovaskular lainnya. Bukti kuat untuk pengobatan

hipertensi. Ada sedikit bukti untuk penurun lipid dan terapi aspirin, meskipun

manfaat dari intervensi ini mungkin berlaku untuk orang dewasa yang lebih tua

yang harapan hidupnya sama atau melebihi kerangka waktu uji coba pencegahan

klinis.

79
Perawatan di Fasilitas Perawatan Terampil dan Rumah Perawatan

Manajemen diabetes adalah unik dalam pengaturan perawatan jangka panjang

(LTC) (mis., Panti jompo dan fasilitas keperawatan yang terampil). Individualisasi

perawatan kesehatan penting bagi semua pasien. Untuk pasien dalam pengaturan

LTC, perhatian khusus harus diberikan untuk pertimbangan gizi, perawatan akhir

hidup, dan perubahan dalam manajemen diabetes sehubungan dengan penyakit

lanjut. Penarikan obat mungkin tepat. Untuk informasi lebih lanjut, lihat

pernyataan posisi ADA "Manajemen Diabetes dalam Perawatan Jangka Panjang

dan Fasilitas Perawatan yang Terampil."

Rekomendasi

Pertimbangkan penilaian domain geriatrik medis, psikologis, fungsional, dan

sosial pada orang dewasa yang lebih tua untuk memberikan kerangka kerja untuk

menentukan target dan pendekatan terapeutik untuk manajemen diabetes. C

Skrining untuk sindrom geriatri mungkin sesuai pada orang dewasa yang lebih tua

yang mengalami keterbatasan dalam kegiatan dasar dan instrumental kehidupan

sehari-hari mereka karena dapat memengaruhi manajemen diri diabetes dan terkait

dengan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan. C

Skrining untuk deteksi dini gangguan kognitif ringan atau demensia dan depresi

diindikasikan untuk orang dewasa berusia 65 tahun atau lebih pada kunjungan

awal dan setiap tahun sesuai kebutuhan. B

80
Hipoglikemia harus dihindari pada orang dewasa yang lebih tua dengan diabetes.

Ini harus dinilai dan dikelola dengan menyesuaikan target glikemik dan intervensi

farmakologis. B

Orang dewasa yang lebih tua yang sehat dengan beberapa penyakit kronis yang

hidup berdampingan dan fungsi kognitif utuh dan status fungsional harus

memiliki tujuan glikemik yang lebih rendah (A1C <7,5% [58 mmol / mol]),

sementara mereka yang memiliki beberapa penyakit kronis yang ada bersama,

gangguan kognitif, atau ketergantungan fungsional harus memiliki tujuan

glikemik yang kurang ketat (A1C <8,0-8,5% [64-69 mmol / mol]). C

Tujuan glikemik untuk beberapa orang dewasa yang lebih tua mungkin cukup

rileks sebagai bagian dari perawatan individual, tetapi hiperglikemia yang

mengarah pada gejala atau resiko komplikasi hiperglikemik akut harus dihindari

pada semua pasien. C

Skrining untuk komplikasi diabetes harus disesuaikan dengan orang dewasa yang

lebih tua. Perhatian khusus harus diberikan pada komplikasi yang akan

menyebabkan gangguan fungsional. C

Pengobatan hipertensi hingga level target individual ditunjukkan pada sebagian

besar orang dewasa yang lebih tua. C

81
Pengobatan faktor-faktor resiko kardiovaskular lainnya harus disesuaikan dengan

orang dewasa yang lebih tua dengan mempertimbangkan jangka waktu

manfaatnya. Terapi penurun lipid dan terapi aspirin dapat bermanfaat bagi mereka

yang memiliki harapan hidup setidaknya sama dengan kerangka waktu

pencegahan primer atau uji intervensi sekunder. E

Pertimbangkan edukasi diabetes untuk staf fasilitas perawatan jangka panjang

untuk meningkatkan manajemen orang dewasa yang lebih tua dengan diabetes. E

Pasien dengan diabetes yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang perlu

penilaian yang cermat untuk menetapkan tujuan glikemik dan untuk membuat

pilihan yang tepat dari agen penurun glukosa berdasarkan status klinis dan

fungsional mereka. E

Diabetes adalah kondisi kesehatan yang penting bagi populasi yang menua karena

sekitar seperempat orang yang berusia di atas 65 tahun menderita diabetes. Orang

yang lebih tua dengan diabetes memiliki tingkat kematian dini yang lebih tinggi,

cacat fungsional, dan penyakit yang hidup berdampingan.

Orang dengan diabetes memiliki insiden lebih tinggi dari semua penyebab

demensia, penyakit Alzheimer, dan demensia vaskular daripada orang dengan

toleransi glukosa normal. Kontrol glikemik yang buruk dikaitkan dengan

penurunan fungsi kognitif.

82
Penting untuk mencegah hipoglikemia untuk mengurangi resiko penurunan

kognitif dan hasil buruk utama lainnya. Orang dewasa yang lebih tua beresiko

lebih tinggi mengalami hipoglikemia karena berbagai alasan, termasuk defisiensi

insulin yang memerlukan terapi insulin dan insufisiensi ginjal progresif. Kejadian

hipoglikemik harus dipantau dan dihindari dengan rajin, sedangkan target

glikemik dan intervensi farmakologis mungkin perlu disesuaikan untuk

mengakomodasi perubahan kebutuhan orang dewasa yang lebih tua.

Perawatan orang dewasa yang lebih tua dengan diabetes dipersulit oleh

heterogenitas klinis, kognitif, dan fungsional mereka. Penyedia perawatan untuk

orang dewasa yang lebih tua dengan diabetes harus memprioritaskan tujuan

pengobatan (Tabel 11). Untuk Keberhasilan pembangunan kesehatan di

Indonesia berdampak terhadap terjadinya penurunan angka kelahiran, angka

kesakitan, dan angka kematian serta peningkatan Umur Harapan Hidup (UHH)

saat lahir. Meningkatnya UHH saat lahir dari 68,6 tahun pada tahun 2004,

menjadi 69,8 tahun pada tahun 2010 (Badan Pusat Statistik 2005), dan menjadi

70,8 tahun pada tahun 2015 (Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, Badan

Pusat Statistik 2013) dan selanjutnya diproyeksikan terus bertambah,

mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk lanjut usia secara signifikan di

masa yang akan datang. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa

Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia

terbanyak di dunia, yang mencapai 18,1 juta jiwa atau 7,6 persen dari total

penduduk. Badan Pusat Statistik (2013) memproyeksikan, jumlah penduduk lanjut

usia (60+) diperkirakan akan meningkat menjadi 27,1 juta jiwa pada tahun 2020,

83
menjadi 33,7 juta jiwa pada tahun 2025 dan 48,2 juta jiwa tahun 2035. Perhatian

pemerintah terhadap keberadaan lanjut usia ini cukup besar, yang diawali pada

tahun 1996 dengan ditetapkannya tanggal 29 Mei yang diperingati setiap tahun

sebagai Hari Lanjut Usia. Selanjutnya pada tahun 1998, perhatian ini diperkuat

dengan diterbitkannya Undangundang Nomor 13 Tahun 1998 tentang

Kesejahteraan Lanjut Usia sebagai lsan hukum keberadaan para lanjut usia. Di

bidang kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

menyebutkan -7- bahwa upaya untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan

masyarakat dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif dan

berkelanjutan. Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia ditujukan untuk

menjaga agar para lanjut usia tetap sehat, mandiri, aktif dan produktif secara

sosial dan ekonomi sehingga untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah

berkewajiban untuk menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan

memfasilitasi pengembangan kelompok lanjut usia. Makin bertambah usia, makin

besar kemungkinan seseorang mengalami permasalahan fisik, jiwa, spiritual,

ekonomi dan sosial. Salah satu permasalahan yang sangat mendasar pada lanjut

usia adalah masalah kesehatan akibat proses degeneratif, hal ini ditunjukkan oleh

data pola penyakit pada lanjut usia. Berdasarkan riset kesehatan dasar (riskesdas)

tahun 2013, penyakit terbanyak pada lanjut usia terutama adalah penyakit tidak

menular antara lain hipertensi, osteo artritis, masalah gigi-mulut, Penyakit Paru

Obstruktif Kronis (PPOK) dan Diabetes Mellitus (DM). Masalah utama bagi para

lanjut usia adalah pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan, oleh karena itu

perlu dikembangkan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan upaya

peningkatan, pencegahan, dan pemeliharaan kesehatan di samping upaya

84
penyembuhan dan pemulihan. Program pembinaan kesehatan lanjut usia telah

dikembangkan sejak tahun 1986, sedangkan pelayanan geriatri di rumah sakit

mulai dikembangkan sejak tahun 1988 oleh Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto

Mangunkusumo dan Rumah Sakit Dr. Kariadi di Semarang Jawa Tengah. Pada

tahun 2000 Kementerian Kesehatan mulai mengembangkan konsep pelayanan

kesehatan santun lanjut usia yang diawali dengan rencana pengembangan Pusat

Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

santun lanjut usia di seluruh Indonesia. Konsep ini mengutamakan upaya

pembinaan kesehatan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan di

masyarakat untuk mewujudkan lanjut usia sehat, aktif, mandiri dan produktif,

melalui upaya pembinaan yang intensif dan berkesinambungan dengan

menggunakan wadah Kelompok Usia Lanjut (Poksila). -8- Kenyataan

menunjukkan bahwa laju perkembangan Puskesmas yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan lanjut usia, pembentukan dan pembinaan kelompok usia

lanjut belum sesuai dengan harapan, dengan penyebaran yang tidak merata.

Penyebabnya antara lain adalah karena kesehatan lanjut usia hanya merupakan

salah satu program pengembangan di Puskesmas dan dalam pelaksanaannya di era

otonomi daerah, belum didukung oleh dasar hukum yang memadai antara lain

peraturan daerah, peraturan gubernur, bupati/walikota dan sebagainya. Penguatan

dasar hukum ini sangat dibutuhkan untuk mendapatkan dukungan anggaran yang

memadai baik melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi, maupun

dari anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota, karena dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 -2019

permasalahan lanjut usia sudah tertampung sebagai isu prioritas. Selain itu

85
jejaring kemitraan pelayanan kesehatan lanjut usia belum terbentuk di semua

kabupaten/kota, sementara jejaring kemitraan yang sudah ada, kenyataanya belum

semuanya berfungsi dengan baik. Untuk tercapainya hidup sehat dan dalam upaya

menurunkan prevalensi penyakit hingga 50% (lima puluh persen), di awal tahun

2016 Bappenas telah meluncurkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS)

yang dilaksanakan dan didukung oleh semua lintas sektor terkait. GERMAS yang

di prakarsai oleh Wakil Presiden, Drs. M. Jusuf Kalla dan disusun oleh Bappenas

bersama Kementerian Kesehatan serta lintas sektor terkait, bertujuan 1)

menurunkan beban penyakit menular dan penyakit tidak menular, baik kematian

maupun kecacatan; 2) menghindarkan terjadinya penurunan produktivitas

penduduk; dan 3) menurunkan beban pembiayaan pelayanan kesehatan karena

meningkatnya penyakit dan pengeluaran kesehatan. Sejalan dengan

berlangsungnya GERMAS, Kementerian Kesehatan dan jajarannya memulai

program keluarga sehat, yaitu program yang dilaksanakan oleh Puskesmas dengan

sasaran utama adalah keluarga. Program keluarga sehat mengutamakan upaya

promotif dan preventif yang disertai dengan penguatan Upaya Kesehatan Berbasis

Masyarakat (UKBM), kunjungan rumah secara aktif untuk peningkatan jangkauan

dan total cakupan, dan menggunakan pendekatan siklus hidup/life cycle approach.

-9- Melalui pembinaan kesehatan dengan pendekatan siklus hidup yang dimulai

sejak dari seorang ibu mempersiapkan kehamilannya, sampai bayinya lahir dan

berkembang menjadi anak, remaja, dewasa, dan pra lanjut usia, akan sangat

menentukan kualitas kehidupan dan kesehatan di saat memasuki masa lanjut usia.

Ibu hamil yang rajin memeriksakan kehamilannya mempunyai peluang besar

untuk melahirkan bayi yang sehat dengan berat badan lahir normal. Apabila di

86
dalam semua tahapan siklus hidup selanjutnya, bayi ini mendapatkan intervensi

dan pelayanan kesehatan sesuai str, maka dampaknya sangat besar terhadap

pencapaian lanjut usia yang sehat, mandiri, aktif dan produktif. Berdasarkan

uraian tersebut di atas, serta mengacu pada Regional Strategy For Healthy Ageing

2013-2018 yang merupakan komitmen global dan regional yang dideklarasikan

pada tanggal 4 September 2012 oleh para Menteri Kesehatan dari anggota WHO

South East Asia Region (Yogyakarta Declaration on Ageing and Health), perlu

disusun Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lanjut Usia.

Melalui Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lanjut Usia ini

pembinaan kesehatan terhadap lanjut usia dapat direalisasikan sesuai harapan,

yang antara lain memuat langkah-langkah konkrit yang harus dilaksanakan secara

berkesinambungan.

2.6. Tinjauan tentang Resep

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi kepada

Apoteker, baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk menyediakan dan

menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Resep menurut

Kemenkes tahun 2004 adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi,

dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi

penderita sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Resep merupakan aspek yang penting untuk menunjang kualitas hidup

pasien untuk meningkatkan kualitas kesehatan. Resep yang tertulis oleh dokter

harus memenuhi syarat antara lain kelengkapan resep, penulisan obat dengan

nama generik, obat termasuk dalam FRS dan tidak ada efek samping yang

membahayakan. Menurut Kemenkes persyaratan administrasi persiapan meliputi

87
Nama dan alamat dokter, nomor surat izin praktek, tanggal penulisan resep, t

tangan dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan

pasien, nama obat, potensi, dosis dan jumlah yang diminta, cara pemakaian yang

jelas, informasi lainnya yang diperlukan.

Resep perlu dilakukan pemantauan dalam rangka mengevaluasi aturan

pengobatan pasien agar tepat dan efektif. Pemantauan resep atau pasien yang

rutin akan memastikan bahwa :

4. obat yang diberikan dengan dosis rute dan frekuensi yang tepat

5. interaksi obat yang bermakna dapat dihindari

6. efek samping obat dapat diantisipasi dan dicegah atau ditangani secara

tepat dan jika diperlukan pemantauan terhadap konsentrasi obat dalam

plasma.

Kegiatan dalam pengkajian instruksi pengobatan atau resep pasien

meliputi pengkajian terhadap persyaratan administrasi (kelengkapan penulisan

resep) Farmasi (bentuk sediaan dosis dan jumlah obat stabilitas dan ketersediaan

obat aturan penggunaan) dan Klinis (ketepatan indikasi dosis dan waktu

penggunaan obat duplikasi pengobatan alergi interaksi dan efek samping obat

kontraindikasi efek aditif).

Salah satu tahapan pada pelayanan resep adalah pengumpulan informasi

dari pasien dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah yang ada atau

mungkin akan muncul pada pasien terkait penggunaan obat, sehingga pada

akhirnya apoteker dapat mengidentifikasi informasi obat yang akan dibutuhkan

dan akan diberikan kepada pasien. Kegiatan pengumpulan informasi ini sejalan

dengan tugas Apoteker untuk melakukan pengkajian resep, penyerahan Obat, dan

88
pemberian informasi Obat, Pelayanan Informasi Obat (PIO) dan konseling

sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat 3 Peraturan Menteri Kesehatan No. 30

Tahun 2014 tentang Str Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas.

89
MOTTO :

Kerjakan apa yang telah menjadi hak dan


kewajibanmu, karena kebahagiaan hidupmu
terletak disitu

(Musthafa Al-Gholayani)

90
PERSEMBAHAN SEBAGAI RASA HORMAT DAN TERIMA

KASIH KEPADA :

1. Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah kepada semua

makhlukNya.

2. Sholawat dan Salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad Sallallohu

Alaihi Wasallam, yang membawa kita dari alam kebodohan menuju alam yang

terang menderang penuh khasanah ilmu.

3. Kedua orang tua, Almarhum Bapak Thalib dan Ibunda Rupini yang telah

berkorban dalam mengasuh dan membimbing penulis.

4. Istriku tercinta Esti Dwi Setyorini dan Anakku Damar Rahmani Setyaji

Basuki serta Anakku Az-zahra Meidia Putri Basuki tersayang yang selalu

memberi dukungan dengan penuh rasa cinta.

5. Para Pengajar yang telah membagi ilmunya kepada penulis.

6. Kepala KPKNL Jember beserta Staff yang telah memberikan ijin dan

dukungan dalam menempuh pendidikan sampai terselesaikannya tesis ini.

7. Almamater yang selalu kujunjung tinggi.

91

Anda mungkin juga menyukai