Anda di halaman 1dari 5

Resume Pyrrophyta/DinoFlagellata

Kelompok 3 :
1. Ahmad Fadil Al Fatin
2. Astrid Shabrina Kusumareswari
3. Athiyatus Solikhatul Fadillah
4. Ikrimatul Hasnah

Identification of Pathogenic Leptospira in Rat and Shrew Populations Using


rpoB Gene and Its Spatial Distribution in Boyolali District
Dyah Widiastuti*, Zumrotus Sholichah*, Agustiningsih**, Nastiti Wijayanti***
*Banjarnegara Research and Development of Zoonosis Control Unit, Banjarnegara,
Indonesia, **Biomedical and Basic Health Technology of Research and Development Center,
Jakarta, Indonesia ***Faculty of Biology, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia
Leptospirosis terakhir muncul sebagai outbreak (peningkatan kejadian penyakit yang
melebihi ekspetasi normal secara mendadak pada suatu komunitas, dibatasi tempat dan
periode waktu tertentu) di beberapa negara di Indonesia, Asia, Amerika Selatan dan Tengah,
dan Amerika Serikat. Wabah Leptospirosis di Indonesia terjadi di Jakarta pada tahun 2002,
Sleman pada tahun 2008 dan 2009, dan Kabupaten Bantul pada 2010. Leptospirosis ini
diduga ditularkan melalui tikus. Perangkap tikus diletakkan selama dua hari di dalam dan di
luar rumah. Tikus dan tikus yang tertangkap adalah diidentifikasi oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan (Balai Litbang P2B2).
Metode penelitian dilakukan terlebih dulu dengan survei. Lokasi survei dilakukan di
tempat pertama kali leptospirosis ditemukan, yaitu di Kecamatan Ngemplak dan Kecamatan
Nogosari. Tikus Penangkapan dilakukan di Desa Sindon di Jakarta Kecamatan Ngemplak dan
Desa Jeron di Nogosari Kecamatan, Kabupaten Boyolali pada bulan April 2014. Total 385
jebakan tikus sengaja dipasang di rumah daerah sekitar rumah pasien dengan leptospirosis di
kedua desa. Selama Januari-Maret 2014, leptospirosis ditemukan di Boyolali dengan dua
kecamatan yang berdekatan, yaitu Kecamatan Ngemplak dan Kecamatan Nogosari. Tikus
yang tertangkap diidentifikasi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Balai Litbang P2B2)
di Banjarnegara dengan menggunakan kunci dikotom. Lalu, organ ginjal tikus itu diambil dan
selanjutnya dimasukkan ke dalam lysis buffer jaringan itu telah ditempatkan dalam tabung
microcentrifuge 1,5 ml. Sampel ginjal disimpan pada suhu 4 ° C. Proses isolasi DNA
dilakukan dengan menggunakan Tissue Genomic DNA Mini Kitreagen (Geneaid). Tahap
pemeriksaan adalah disalurkan dengan cara kerja yang direkomendasikan oleh kit. Proses
Polymerase Chain Reaction (PCR) melakukan terbentuk pada sampel DNA yang diperoleh
dengan menggunakan sebagai berikut primer: rpoB-F-CCTCATGGGTTCCAACATGCA
dan rpoB-R-CGCATCCTCRAAGTTGTAWCCTT menggunakan Go Taq Green Master Mix
(Promega).
Hasil perangkap tikus di Desa Jeron dan Sindon Desa menunjukkan populasi yang
cukup solid. Berbasis pada angka jebakan sukses yang tinggi di kedua desa Persentase
berdasarkan persentase 16,49% untuk Desa Jeron dan 10,75% untuk Desa Sindon. Sebanyak
91 sampel ginjal tikus terdiri dari 39 dari Desa Sindon dan 52 dari Desa Jeron diuji oleh PCR
untuk mendeteksi DNA Leptospira. Enam dari mereka menunjukkan positif hasil untuk gen
rpoB. Enam sampel ginjal yang memberikan hasil positif gen rpoB diperoleh dari tiga tikus
tanezumi (R.Tanezumi), dua tikus sawah (R. Argentiventer) dan satu shrew (S. murinus). Ini
menunjukkan bahwa tikus dan sectivores membawa Leptospira di tubuh mereka.
Kesimpulan yang didapat adalah, genus Leptospira terdiri dari berbagai serovar dan
tipe genetik yang hidup di lingkungan yang berbeda. Klasifikasi spesies Leptospira
berdasarkan gen rpoB dapat digunakan karena gen ini memiliki tingkat polimorfisme yang
tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serovar Leptospira pada populasi tikus
menggunakan analisis kekerabatan berdasarkan polimorfisme gen rpoB, dan menggambarkan
distribusi spasial tikus dengan Leptospira positif di Kabupaten Boyolali. Sebuah studi cross-
sectional dilakukan pada April 2014 di Desa Sindon di Kecamatan Ngemplak dan Desa Jeron
di Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Uji Reaksi Polymerase Chain adalah dilakukan
pada 104 sampel ginjal tikus dari dua lokasi penelitian. Analisis spasial dilakukan untuk
memetakan distribusi tikus dengan Leptospira positif. Lima dari enam sampel positif
menunjukkan genetik terdekat kekerabatan dengan Leptospira borgpetersenii serovar Sejroe
berdasarkan gen rpoB. Satu isolat tidak memiliki hubungan genetik yang dekat dengan
serovar yang termasuk dalam cluster. Analisis spasial berdasarkan zona buffer kisaran rumah
menunjukkan tikus dengan Leptospira positif ditemukan dalam 30 meter dan 150 meter dari
pasien leptospirosis.

Pertanyaan :
1. Apa tujuan digunakannya metode analisis pencocokan spasial pada penelitian ini?
Analisis spasial dilakukan untuk memetakan distribusi tikus dengan Leptospira positif.
Rattus argentiventer dan Suncus murinus. Lima dari enam sampel positif menunjukkan
genetik terdekat kekerabatan dengan Leptospira borgpetersenii serovar Sejroe berdasarkan
gen rpoB. Sehingga penyebaran penyakit Leptospira dapat lebih dini diidentifikasi dan
dicegah.

2. Apa hubungan jurnal ini dengan jurnal red taid?


Jurnal ini menggunakan metode yang sama, yaitu analisis spasial. Selain itu, solusi yang bisa
dilakukan untuk menanggulangi masalah ini sama, yaitu dengan mengidentifikasi atau
mempelajari tentang terjadinya peristiwa, sehingga penyebaran dapat diatasi dengan lebih
cepat dilihat dari distribusi spasialnya.

Refleksi : Mahasiswa dapat menerapkan penelitian ini dengan memvalidasi adanya


lepstospira yang terdapat di lingkungan sekitar baik dilingkungan luar maupun dalam
kampus. Pengambilan sampel dapat dilakukan diluar kuliah dan kemudian pengamatan
dilakukan di laboratorium FMIPA UM dengan begitu tidak hanya sebagai bentuk pengajaran
tetapi juga mahasiswa dapat mengetahui secara langsung tentang penyakit menular
lepstospirosis ini. Kita juga dapat mengamati faktor apa saja yang mempengaruhi adanya
penyakit ini. Tak hanya itu dosen juga bisa lebih mudah mencontohkan atau mengajarkan
mahasiswanya. Mahasiswa juga dapat memahami pembelajaran lebih mudah karena disertai
praktik langsung.

Widiastuti, D., Sholichah, Z., Agustiningsih, A., & Wijayanti, N. (2016). Identification of
pathogenic Leptospira in rat and shrew populations using rpoB gene and its spatial
distribution in Boyolali District. Kesmas: National Public Health Journal, 11(1), 32-38.
Resume Pyrrophyta/DinoFlagellata
Kelompok 3 :
1. Ahmad Fadil Al Fatin
2. Astrid Shabrina Kusumareswari
3. Athiyatus Solikhatul Fadillah
4. Ikrimatul Hasnah

"RED TIDE" DI INDONESIA : PERLUKAH DIWASPADAI ?


Lily M. G. Panggabean *)
*) Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi-LJPI, Jakarta
Istilah "red tide" sering dipergunakan untuk menamai kejadian dimana ada perubahan
warna air laut. Perubahan warna tersebut biasanya disebabkan oleh pertumbuhan yang
"abnormal" dari fitoplankton (ledakan populasi plankton) di suatu perairan laut. Fitoplankton
penyebab "red tide" umumya sangat beracun dan mematikan sehingga banyak menarik minat
para peneliti untuk mempelajari mekanisme ledakan fitoplankton tersebut dan usaha-usaha
penanggu Tergantung pada jenis fitoplankton yang mengalami ledakan populasi, dampak
yang ditimbulkan oleh "red tide" berbeda- beda. Laporan tentang musibah keracunan dan
hasil-hasil penelitian tentang penyebab keracunan adalah sebagai berikut :
1. Keracunan oleh Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) yang fatal. Ternyata PSP
tersebut berasal dari fitoplankton penyebab 'red tide' : Ptrotogonyaulax dan
Gymnodinium.
2. Keracunan semacam PSP pada masyarakat sesudah makan kerang hijau Perna
viridis dan kerang darah Anadara spp. dilaporkan di filipina dan negara-negara
ASEAN lainnya.
3. Keracunan Clupeoid Fish Poisoning (CFP) pada orang-orang yang makan ikan
pemakan plankton seperti Sardinella spp. dan Rastrelingger spp. dilaporkan dari
negara- negara ASEAN. Penyebabnya adalah ledakan populasi Pyrodinium.
4. Keracunan Diarrheic Shellfish Poisonig (DSP) pada daerah tropis dilaporkan
karena ledakan dari Dynophysis. Racun yang dikeluarkan disebut Okadaic acid
(OKA). Racun ini tidak mematikan tetapi merupakan racun penyebab tumor.
5. Kejadian yang fatal terhadap tambak udang, perikanan budidaya dan terumbu
karang dilaporkan oleh karena ledakan Trichodesmiwn spp.
6. Racun DA berasal dari diatomae (penyebab ’red tide’ biasanya termasuk golongan
dynoflagellata) dari jenis Pseudinitzschia pungens f. multiseries dan
Pseudonitzchia australis.
Red Tide umumnya terjadi di perairan yang mengalami penyuburan (eutrophic) sangat
tinggi. Penyuburan dapat berasal dari limbah daratan atau karena perubahan musim.
Pengaruh daratan biasanya cukup besar di perairan dengan struktur geografis agak tertutup.
Mempelajari siklus hidup, mekanisme pertumbuhan dari kista yang tidak beracun dan sel-sel
vegetatif yang mengeluakan racun; faktor-faktor pembatas pertumbuhannya serta pemantauan
terhadap perubahan-perubahan dari faktor tersebut di tempat-tempat dimana ditemukan kista
dapat membantu predikasi dan sekaligus mungkin penanggulangan terhadap kejadian red tide
kitaketahui sebagai persebaran spasial. Apakah ada kejadian ’red tide’ yang luput dari
pengamatan dan tidak dilaporkan mengingat luasnya perairan Indonesia dan tingkat
pendidikan nelayan yang belum memadai, maka menjadi tugas para peneliti dibidang
kelautan untuk memberikan data yang akurat. Adapun penelitian red tide di Indonesia masih
dalam tahap pemula yaitu bekerja sama dengan Kanada.
Pertanyaan :
1. Apa tujuan digunakannya metode analisis pencocokan spasial pada penelitian ini?
Mempelajari siklus hidup, mekanisme pertumbuhan dari kista yang tidak beracun dan sel-
sel vegetatif yang mengeluakan racun; faktor-faktor pembatas pertumbuhannya, persebaran,
serta pemantauan terhadap perubahan-perubahan dari faktor tersebut di tempat-tempat
dimana ditemukan kista dapat membantu predikasi dan sekaligus mungkin penanggulangan
terhadap kejadian red tide.
2. Dimanakah tempat yang umum terjadi red taid?
Red Tide umumnya terjadi di perairan yang mengalami penyuburan (eutrophic) sangat
tinggi dan tenang, seperti teluk. Penyuburan dapat berasal dari limbah daratan atau karena
perubahan musim. Pengaruh daratan biasanya cukup besar di perairan dengan struktur
geografis agak tertutup, atau dengan kata lain jarang dikunjungi oleh manusia.

Refleksi : Mahasiswa dapat menerapkan penelitian untuk mengidentifikasi protista


penyeebab red taid dengan Mempelajari siklus hidup, mekanisme pertumbuhan dari kista
yang tidak beracun dan sel-sel vegetatif yang mengeluakan racun; faktor-faktor pembatas
pertumbuhannya, persebaran, serta pemantauan terhadap perubahan-perubahan di perairan
luar kampus. Pengambilan sampel dapat dilakukan diluar kuliah dan kemudian pengamatan
dilakukan di laboratorium FMIPA UM dengan begitu tidak hanya sebagai bentuk pengajaran
tetapi juga mahasiswa dapat mengetahui secara langsung tentang protista penyebab red taid
ini. Kita juga dapat mengamati faktor apa saja yang mempengaruhi adanya red taid.

Panggabean, L. M. Red Tide" di Indonesia: perlukah diwaspadai. Oseana, 19(1), 33-38.

Anda mungkin juga menyukai