Anda di halaman 1dari 16

Rangkuman Materi Kuliah Pengauditan 1 ( EKA 439 B1) Pertemuan Ke-10

Materialitas, Risiko dan Strategi Audit pendahuluan

Kelompok 6

Oleh:
1. Ni Wayan Desi Putri Utari (07)

2. Lilia Pinto Cardoso dos Santos (08)

3. Ni Kadek Jyoti Krishna Maheswari (11)

4. Deviana Sijabat (19)

PROGRAM REGULER
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
DAFTAR ISI

Peta Konsep

A. Defenisi materialitas.............................................................................................. 1
B. Cara Menetapkan Tingkat Materialitas.............................................................. 4
C. Jenis resiko audit.................................................................................................... 7
D. Hubungan Masing-Masing Resiko Audit............................................................ 10

Kesimpulan.................................................................................................................... 12

Daftar Rujukan .................................................................13

2
PETA KONSEP
Materialitas, Risiko dan Strategi Audit
pendahuluan

Definisi Materialitas Cara Menetapkan Tingkat Jenis Risiko Audit Hubungan Masing-Masing
Materialitas adalah besarnya Materialitas Risiko Audit
Tahap kegiatan (penetapan  Risiko Deteksi Terencana
nilai yang dihilangkan atau salah
materialitas awal) :  Risko inheren Baik resiko pengendalian maupun
saji informasi akuntansi, yang
a. Penentuan dasar penetapan
dilihat dari keadaan yang  Resiko pengendalian resiko inheren umumnya
materialitas: laba bersih
melingkupinya sebelum pajak, total aset,  Resiko akseptibilitas audit ditentukan bagi setiap siklus,
1. Konsep materialitas menunjukan ekuitas, total penerimaan, atau  Resiko kecurangan setiap akun, dan seringkali pula
seberapa besar salah saji yang dapat total belanja.
bagi setiap tujuan audit.
diterima oleh auditor b. Mempertimbangkan tingkat
2. Konsep risiko audit menunjukan yang akan digunakan dalam
Resiko akseptibilitas audit
tingkat risiko kegagalan auditor menghitung materialitas awal
Kesalahan gabungan (E+), sbb: umumnya ditetapkan oleh auditor
untuk mengubah pendapatnya atas
 E+ > 10% ; dinilai selama fase perencanaan dan
laporan keuangan berisi salah saji
“MATERIAL”
material. ditetapkan pada tingkat yang
 E+ < 5% ; dinilai “TIDAK
Auditor menggunakan dua cara dalam
MATERIAL” bila tidak ada sama bagi setiap siklus dan akun
menerapkan materialitas yaitu:
faktor kualitatif utama.
1. Pertama, auditor menggunakan  5% < E+ < 10% ; memerlukan
materialitas dalam perencanaan tindak lanjut berdasarkan
audit kebijakan profesional auditor
2. Kedua, pada saat bersangkutan untuk menentukan
mengevaluasi bukti audit materialitasnya
dalam pelaksanan audit.
I. DEFINISI MATERIALITAS
Konsep Materialitas
Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi,
yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas suatu
pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi itu,
karena adanya penghilangan atau salah saji itu. Hal itu mengharuskan auditor untuk
mempertimbangkan keadaan yang berkaitan dengan entitas dan kebutuhan informasi pihak yang
akan meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditan.
Contohnya, jumlah yang material dalam laporan keuangan entitas tertentu mungkin tidak
material dalam laporan keuangan entitas lain yang memiliki ukuran dan sifat yang berbeda.
Maka, auditor dapat menyimpulkan bahwa tingkat materialitas akun modal kerja lebih rendah
bagi perusahaan yang berada dalam situasi bangkrut bila dibandingkan dengan suatu perusahaan
yang memiliki current ratio 4 : 1.
Konsep Materialitas Penting dalam Audit atas Laporan keuangan
Dalam laporan audit atas laporan keuangan, auditor tidak dapat memberikan jaminan
(guarantee) bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan keuangan
auditan adalah akurat. Hal ini karena akan memerlukan waktu dan biaya yang jauh melebihi
manfaat yang dihasilkan. Karena itu, dalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan
keyakinan berikut ini :
1. Bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah
dicatat, diingkas, digolongkan, dan dikompilasi.
2. Bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai
untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan.
3. Dalam bentuk pendapat atau memberikan informasi, dalam hal terdapat perkecualian), bahwa
laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji
material karena kekeliruan dan kecurangan.
Ada dua konsep yang melandasi keyakinan yang diberikan oleh auditor :
1. Konsep materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yang dapat diterima oleh auditor
agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut.
2. Konsep risiko audit menunjukan tingkat risiko kegagalan auditor untuk mengubah
pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.

1
Pertimbangan Awal tentang Materialitas
Auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam perencanaan
auditnya yang disebut materialitas perencanaan, mungkin dapat berbeda dengan tingkat
materialitas yang digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi
temuan audit karena (1) keadaan yang melingkupi berubah (2) informasi tambahan tentang klien
dapat diperoleh selama berlangsungnya audit.
Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif berkaitan
dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan.
Pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara
kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena penyebab yang menimbulkan
salah saji tersebut.
Contoh pertimbangan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan oleh auditor adalah :
1. Hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan seperti:
 Laba bersih sebelum pajak dalam laporan keuangan
 Total aktiva dan ekiutas pemegang saham dalam neraca
2. Faktor kualitatif seperti:
 Kemungkinan terjadinya pembayaran yang melanggar hukum dan kecurangan
 Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan kredit dari bank yang
mengharuskan klien untuk mempertahankan beberapa ratio keuangan pada
tingkat minimum tertentu.
 Adanya gangguan dalam trend laba
 Sikap manajemen terhadap integritas laporan keuangan
Contoh, auditor memutuskan kombinasi salah saji berjumlah 8 % dari laba bersih
sebelum pajak dipandang material untuk laporan laba-rugi, dengan memperhatikan faktor
kualitatif dalam salah saji tersebut. Oleh karena itu, jika kombinasi salah saji kurang dari 3 %,
auditor akan memandang sebagai salah saji yang tidak material, dengan memperhatikan faktor
kualitatif dalam salah saji tersebut. Salah saji berada diantara 3 % dan 8 % memerlukan
pertimbangan auditor untuk memutuskan materialitasnya. Jika misalnya, laba bersih sebelum
pajak yang dipakai sebagai jumlah kunci berjumlah Rp 100 juta, maka batas materialitas
(materiality border) untuk laporan laba-rugi berada dalam kisaran :
Rp 3.000.000 sampai Rp 8.000.000
Batas bawah dihitung 3% x Rp100.000.000 dan batas dihitung 8% x Rp 100.000.000.
Contoh berikut ini menunjukan batas materialitas yang ditentukan oleh auditor :
1) Untuk total aktiva dalam neraca Rp 41 juta s.d Rp 100 juta
2) Untuk aktiva lancar Rp 25 juta s.d Rp 60 juta
3) Untuk total ekuitas pemegang saham dalam neraca Rp 15 juta s.d Rp 45 juta
Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat
laporan keuangan, karena pendapat auditor atas lapoaran sebagai keseluruhan dan tingkat saldo
akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan menyeluruh atas
kewajaran laporan keuangan.
Materialitas pada tingkat Laporan Keuangan
Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas yaitu:
1. Pertama, auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit, dengan membuat
estimasi materialitas karena terdapat hubungan terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan
yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk
menyatakan kewajaran laporan keuangan.
2. Kedua, pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanan audit.
Contoh panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik :
a) Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji
5 % sampai 10 % dari laba sebelum pajak.
b) Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji
½ % sampai 1 % dari total aktiva.
c) Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji
1 % dari total pasiva.
Materialitas pada Tingkat Saldo akun
Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat
dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat
saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material.
Alokasi Materialitas laporan Keuangan ke Akun
Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya
salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memverifikasi akun
tersebut.
II. CARA MENETAPKAN TINGKAT MATERIALITAS
Tahap kegiatan (penetapan materialitas awal) :
A. Penentuan dasar penetapan materialitas

Dasar penetapan materialitas diantaranya adalah laba bersih sebelum pajak, total aset,
ekuitas, total penerimaan, atau total belanja. Dalam memutuskan nilai yang akan dijadikan dasar,
sebaiknya mempertimbangkan :

a) Karakteristik (sifat, besar dan tugas pokok) dan lingkungan entitas yang diperiksa.
b) Area dalam laporan keuangan yang akan lebih diperhatikan oleh pengguna laporan
keuangan.
c) Kestabilan atau keandalan nilai yang akan dijadikan dasar.

Dasar penetapan materialitas yang dapat digunakan:

a) Total penerimaan atau total belanja, untuk entitas nirlaba.


b) Laba sebelum pajak atau pendapatan, untuk entitas yang bertujuan mencari laba, dan
c) Nilai aset bersih atau ekuitas, untuk entitas yang berbasis aset.

Mengenai angka yang harus diambil, apakah angka tahun lalu, tahun berjalan, atau angka
ekspektasi, tergantung pertimbangan reliabilitas atau keakuratan data. Praktik yang umum
dengan mengambil angka tahun lalu, kemudian disesuaikan dengan inflasi atau perkiraan
anggaran. Cara lain adalah dengan mengambil data actual pada saat perencanaan, kemudian
diekstrapolasi ke dalam sejumlah periode.

Misalnya : Dep Kesehatan mengemban tugas untuk meningkatkan kesehatan di seluruh


Indonesia sering melakukan proyek penelitian dan pengembangan mengenai masalah-masalah
kesehatan dan mendirikan fasilitas-fasilitas layanan kesehatan, seperti rumah sakit,pukesmas,
dan sebagainya yang dibiayai oleh pemerintah. Nilai total belanja pada Laporan Realiasi
Anggaran(LRA) departemen tersebut cukup tinggi, dan pengguna laporan keuangan diperkirakan
akan tertarik untuk mengetahui penggunaan dana dari pemerintah tersebut. Oleh karena itu, dasar
penetapan materialitas yang paling sesuaiuntuk pemeriksaan laporan keuangan departemen ini
adalah total belanja.
B. Mempertimbangkan tingkat yang akan digunakan dalam menghitung materialitas awal :

Keterangan entitas Tingkat materialitas

Entitas nirlaba 0.5% - 5% dari total penerimaan atau total


belanja

Entitas yang bertujuan mencari 5%-10% dari laba sebelum pajak atau
laba 0.5% - 1% dari total penjualan/pendapatan

Entitas berbasis asset 1% dari ekuitas atau 0.5% - 1% dari total


aktiva

Kesalahan gabungan (E+) dalam laporan keuangan yang diperiksa, harus


dipertimbangkan sebagai berikut:

- E+ > 10% ; dinilai “MATERIAL”


- E+ < 5% ; dinilai “TIDAK MATERIAL” bila tidak ada faktor kualitatif
- 5% < E+ < 10% ; memerlukan tindak lanjut berdasarkan kebijakan profesional
auditor bersangkutan untuk menentukan materialitasnya

Pedoman umum penerapan tingkat materialitas :

- 0.5% dari belanja/ pendapatan digunakan pada entitas nirlaba pada saat pemeriksaan
yang baru pertama kali dilakukan atau pada kondisi SPI entitas belum memadai.
Pemeriksa dapat berangsur-angsur meningkatkan tingkat materialitas yang akan
digunakannya pada pemeriksaan-pemeriksaan selanjutnya samapi dengan tingkat
materialitas 5 % dari total belanja / pendapatan.
- 5 % - 10% dari laba sebelum pajak. Tingkat materialitas 10% digunakan pada
perusahaan nonpublic dan anak perusahaannya dan 5 % digunakan pada perusahaan
publik.
- 0.5% - 1% dari penjualan, apabila sebuah perusahaan telah beroperasi pada atau
mendekati titik impas dan keuntungan / kerugian bersih berfluktuasi dari tahun ke
tahun.
- 1% dari ekuitas pada saat hasil dari operasi sangat rendah yang menyebabkan
likuiditas sebagai perhatian utama/ pada saat pengguna laporan keuangan lebih
memfokuskan perhatian pada ekuita dari pada hasil dari operasi.
- 0.5% - 1% dari total aktiva pada saat ekuitas mengalami penurunan pada titik paling
rendah.

Dianjurkan kepada pemeriksa menggunakan tingkat materialitas yang paling rendah


(paling konservatif) pada pemeriksaan atas laporan keuangan entitas yang baru kali pertama
diperiksa. Selain itu, tingkat materialitas yang konservatif juga harus digunakan pada
pemeriksaan atas laporan keuangan entitas-entitas yang mempunyai risiko pemeriksaan tinggi
atau belum mempunyai system pengendalian intern yang memadai.

Penetapan Nilai Materialitas Awal

Nilai Materialitas Awal (PM) merupakan nilai materialita awal untuk tingkat laporan
keuangan secara keseluruhan. Nilai materialitas awal yang diperoleh merupakan bearnya
kesalahan yang mempengaruhi pertimbangan pengguna Laporan Keuangan.

Ilustrasi penetapan nilai materialitas awal :

Dasar Penetapan Materialitas : Total Belanja

Tingkat Materialitas : 1%

Nilai Total Belanja pada Rp 15.560.855,20 juta


Laporan Keuangan :

PM (penetapan nilai 1 % X Rp 15.560.855,20


materialitas awal) : juta = Rp 155.608,55 juta

III. JENIS RISIKO AUDIT


Risiko Deteksi Terencana
Risiko deteksi terencana (planned detection risk) merupakan ukuran risiko bahwa bukti
audit atas segmen tertentu akan gagal mendeteksi keberadaan salah saji yang melebihi suatu nilai
salah saji yang masih dapat ditoleransi, andaikan salah saji semacam itu ada. Terdapat dua poin
utama tentang risiko deteksi terencana ini yaitu sebagai berikut :

1. Risiko ini tergantung pada ketiga faktor lainnya yang terdapat dalam model. Risiko deteksi
terencana hanya akan berubah jika auditor melakukan perubahan pada salah satu dari ketiga
fak tor lainnya tersebut.

2. Risiko ini menentukan nilai substantif yang direncanakan oleh auditor untuk dikumpulkan,
yang merupakan kebalikan dari ukuran risiko deteksi terencana itu sendiri.

Jika nilai risiko deteksi terencana berkurang, maka auditor harus mengumpulkan lebih
banyak bukti audit untuk mencapai nilai risiko deteksi yang berkurang ini.

Risko inheren

Risko inheren (inheren risiko) merupakan suatu ukuran yang dipergunakan oleh auditor
dalam menilai adanya kemungkinan bahwa terdapat sejumlah salah saji yang material
(kekeliruan atau kecurangan) dalam suatu segmen sebelum ia mempertimbangkan keefektifan
dan pengendalian intern yang ada. Dengan mengasumsikan tiadanya pengendalian intern, maka
risiko inheren ini dapat dinyatakan sebagai kerentanan laporan keuangan terhadap timbulnya
salah saji yang material.

Jika auditor, dengan mengabaikan pengendalian intern, menyimpulkan bahwa terdapat


suatu kecenderungan yang tinggi atas keberadaan sejumlah salah saji, maka auditor akan
menyimpulkan bahwa tingkat risiko inherennya tinggi. pengendalian intern diabaikan dalam
menetapkan dalam menetapkan nilai risiko inheren karena pengendalian intern ini
dipertimbangkan secara terpisah dalam model risiko audit sebagai risiko pengendalian. Penilaian
ini cenderung didasarkan atas sejumlah diskusi yang telah dilakukan dengan pihak manajemen,
pemahaman yang dimiliki akan perusahaan, serta hasil-hasil yang diperoleh dari tahun-tahun
sebelumnya.
Hubungan antara risiko dengan risiko deteksi terencana serta dengan bukti audit yang
direncanakan adalah sebagai berikut : risiko inheren saling berlawanan dengan risiko deteksi
terencana serta memiliki hubungan yang searah dengan bukti audit.

Selain semakin meningkatnya bukti audit yang diperlukan untuk suatu tingkat risiko
inheren yang lebih tinggi dalam suatu area audit tertentu, merupakan hal yang umum dilakukan
pula untuk menugaskan staf yang telah memiliki lebih banyak pengalaman untuk melakukan
audit pada area tersebut serta melakukan riview yang lebih mendalam pada kertas kerja yang
telah selesai dibuat. Sebagai contoh : jika risiko inheren atas keusangan persediaan sanagt tinggi,
maka sangatlah masuk akal bila kantor akuntan publik memilih staf yang berpengalaman untuk
melakukan sejumlah tes yang lebih mendalam atas keusangan persediaan ini dan melakukan
review yang lebih cermat atas hasil-hasil yang diperoleh dari audit ini.

Resiko pengendalian

Resiko pengendalian (control risk) merupakan ukuran yang digunakan oleh auditor untuk
menilai adanya kemungkina bahwa terdapat sejumlah salah saji material yang melebihi nilai
salah saji yang masi dapat ditoleransi atas segmen tertentu akan tidak terhadang atau tidak
terdeteksi oleh pengendalian intern yang dimiliki klien. Resiko pengendalian ini memperhatikan
2 hal berikut:

1) Penilaian tentang apakah pengendalian intern yang dimiliki klien efektif untuk mencegah
atau mendeteksi terjadinya salah saji.

2) Kehendak auditor membuat penilaian tersebut senantiasa berada di bawah nilai maksimum
(100 persen) sebagai bagian dari rencana audit yang dibuatnya.

Model resiko audit menunjukan hubungan yang erat antara resiko inheren dan resiko
pengendalian. Sama dengan yang terjadi pada resiko inheren, hubungan antara resiko
pengendalian dan resiko deteksi terencana adalah saling berlawanan, sementara hubungan antara
resiko pengendalian dan bukti substantif merupakan hubungan yang searah. Sebagai contoh, jika
auditor menyimpulkan bahwa pengendalian intern bersifat efektif, maka nilai resiko deteksi
terencana dapat meningkat sehingga jumlah bukti audit yang direncanakan akan dikumpulkan
akan turun. Auditor dapat meningkatkan resiko deteksi terencana pada saat pengendalian intern
bersifat efektif karena pengendalian intern yang efektif akan mengurangi kemungkinan hadirnya
salah saji dalam laporan keuangan.

Sebelum auditor dapat menetapkan nilai resiko pengendalian kurang dari 100 persen,
auditor harus memahami pengendalian intern yang ada, dan berdasarkan pemahaman itu, auditor
melakukan evaluasi tentang bagaimana seharusnya fungsi pengendalian intern tersebut, serta
melakukan uji atas efektifitas pengendalian intern tersebut. Hal pertama dari semua ini adalah
keharusan untuk memahami semua jenis audit. Dua hal terakhir adalah langkah-langkah
penilaian resiko pengendalian yang diperlukan jika auditor memilih untuk memberikan nilai atas
resiko pengendalian supaya berada di bawah nilai maksimum.

Resiko akseptibilitas audit

Resiko akseptibilitas audit (acceptable audit risk) merupakan ukuran atas tingkat
kesediaan auditor untuk menerima kenyataan bahwa laporan keuangan mungkin masih
mengandung salah saji yang material setelah audit selesai dilaksanakan serta suatu laporan audit
wajar tanpa syarat telah diterbitkan. Ketika auditor memutuskan untuk menetapkan suatu tingkat
resiko akseptibilitas audit yang lebih rendah, hal tersbut berarti bahwa auditor ingin memperoleh
tingkat keyakinan yang lebih tinggi bahwa laporan keuangan tidak mengandung salah saji yang
material. Resiko nol berarti yakin sekali, dan suatu tingkat resiko sebesar 100 persen berarti
benar-benar tidak yakin.

Dalam audit terdapat istilah audit assurance atau tingkat keyakinan, yaitu merupakan
pelengkap dari resiko akseptibilitas audit. Audit assurance dihitung dengan perhitungan satu
dikurangi resiko akseptibilitas audit. Sebagai contoh, tingkat resiko akseptibilitas audit sebesar 2
persen sama dengan tingkat audit assurance sebesar 98 persen.

Dengan mempergunakan model audit, akan terlihat adanya hubungan yang searah antara
resiko akseptibilitas audit dan resiko deteksi terencana, serta hubungan yang saling berlawanan
antara resiko akseptibilitas audit dan bukti audit yang direncanakan. Sebagai contoh, jika auditor
memutuskan akan mengurangi nilai resiko akseptibilitas audit, maka akan mengurangi pula
resiko deteksi terencana serta bukti audit yang direncanakan akan dikumpulkan harus
ditingkatkan. Auditor pun seringkali harus menugaskan staf yang lebih berpengalaman atau
mereview kertas kerja dengan lebih cermat bagi klien dengan tingkat resiko akseptibilitas audit
yang lebih rendah.

Resiko kecurangan

Resiko kecurangan merupakan resiko selain 4 resiko di atas dan resiko ini biasanya di
perhitungkan di luar dari model resiko audit. Karena resiko kecurangan secara konsep dan
praktek sangat sulit untuk dipisahkan faktor-faktornya ke dalam 4 jenis resiko di atas.
Kecurangan sendiri memiliki arti kesalahan penyajian yang dilakukan secara sengaja dalam
bentuk penggelapan aktiva dan kecurangan pelaporan keuangan.

Untuk menilai resiko kecurangan, auditor mengumpulkan informasi untuk menentukan


luasnya keberadaan kondisi kecurangan. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya resiko
kecurangan antara lain tekanan yang diterima manajemen baik kelompok maupun individual,
kesempatan yang tercipta, dan perilaku manajemen untuk membiarkan terjadinya tindakan
ketidakjujuran tersebut.

IV. HUBUNGAN MASING-MASING RISIKO AUDIT

Baik resiko pengendalian maupun resiko inheren umumnya ditentukan bagi setiap siklus,
setiap akun, dan seringkali pula bagi setiap tujuan audit, bukan bagi keseluruhan penugasan
audit, dan kemungkinan besar akan sangat bervariasi dari satu siklus ke siklus lainnya, dari satu
akun ke akun lainnya, serta dari satu tujuan audit ke tujuan audit lainnya untuk suatu penugasan
audit saja. Pengendalian intern barangkali memiliki tingkat keefektifan yang lebih tinggi untuk
sejumlah akun yang terkait dengan saldo daripada atas akun-akun yang terkait dengan aktiva
tetap. Selanjutnya, resiko pengendalian pun akan berbeda bagi akun-akun yang berbeda.

Resiko akseptibilitas audit umumnya ditetapkan oleh auditor selama fase perencanaan
dan ditetapkan pada tingkat yang sama bagi setiap siklus dan akun utama. Para auditor umumnya
mempergunakan tingkat resiko akseptibilitas audit yang sama bagi setiap segmen karena
berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat resiko akseptibilitas audit terkait dengan seluruh
aspek penugasan audit, bukan pada masing-masing akun.
Tetapi, pada beberapa kasus, tingkat resiko akseptibilitas audit yang lebih rendah
barangkali akan lebih tepat bagi suatu akun daripada akun-akun lainnya. Dalam contoh
terdahulu, walaupun auditor memutuskan untuk menggunakan suatu tingkat resiko akseptibilitas
audit yang menengah bagi keseluruhan penugasan audit, auditor dapat saja memutuskan untuk
mengurangi tingkat resiko akseptibilitas audit hingga tingkat yang rendah bila ternyata
persediaan tersebut dipergunakan sebagai jaminan atas suatu kredit jangka pendek.

Beberapa auditor menggunakan tingkat resiko akseptibilitas audit yang sama dengan
tingkat resiko akseptibilitas audit atas keseluruhan penugasan audit bagi setiap segmen auditnya,
sementara sejumlah auditor lain menggunakan suatu tingkat resiko akseptibilitas audit yang lebih
tinggi bagi setiap segmen.

Karena tingkat resiko pengendalian dan tingkat resiko inheren sangat bervariasi dari satu
siklus ke siklus lainnya, dari satu akun ke akun lainnya, atau dari satu tujuan audit ke tujuan
audit lainnya, maka tingkat resiko deteksi terencana serta jumlah bukti audit yang direncanakan
pun semakin bervariasi. Setiap penugasan didasari oleh situasi-situasi yang berbeda, serta
rentang bukti audit yang diperlukan akan tergantung pada sejumlah situasi yang unik. Sebagai
contoh, pada suatu penugasan audit, akun persediaan barangkali akan membutuhkan pengujian
yang ekstensif akibat dari lemahnya pengendalian intern serta akibat dari pertimbangan tentang
tingkat keusangan yang terjadi dari sejumlah perubahan teknologi yang terdapat dalam industry.
Dalam penugasan audit yang sama, akun piutang dagang barangkali hanya memerlukan sedikit
pengujian saja karena efektifnya tingkat pengendalian intern yang ada, tingkat penagihan piutang
yang tinggi, serta temuan audit yang baik pada penugasa audit tahun-tahun sebelumnya. Maka
bagi suatu audit atas persediaan, auditor dapat menetapkan suatu penilaian bahwa di dalam akun
tersebut terdapat suatu tingkat resiko inheren yang tinggi atas suatu salah saji dalam nilai yang
terealisasi akibat dari tingginya potensi keusangan persediaan, tetapi menetapkan suatu tingkat
resiko inheren yang rendah atas suatu salah saji dalam klasifikasi karena pada klien tersebut
hanya terdapat persediaan yang dibeli dari pihak ketiga saja.

KESIMPULAN
Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi,
yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas suatu
pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi itu,
karena adanya penghilangan atau salah saji itu.
Auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam perencanaan
auditnya yang disebut materialitas perencanaan, mungkin dapat berbeda dengan tingkat
materialitas yang digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi
temuan audit karena (1) keadaan yang melingkupi berubah (2) informasi tambahan tentang klien
dapat diperoleh selama berlangsungnya audit.
Dasar penetapan materialitas diantaranya adalah laba bersih sebelum pajak, total aset,
ekuitas, total penerimaan, atau total belanja. Dianjurkan kepada pemeriksa menggunakan tingkat
materialitas yang paling rendah (paling konservatif) pada pemeriksaan atas laporan keuangan
entitas yang baru kali pertama diperiksa.
Baik resiko pengendalian maupun resiko inheren umumnya ditentukan bagi setiap siklus,
setiap akun, dan seringkali pula bagi setiap tujuan audit, bukan bagi keseluruhan penugasan
audit, dan kemungkinan besar akan sangat bervariasi dari satu siklus ke siklus lainnya, sari satu
akun ke akun lainnya, serta dari satu tujuan audit ke tujuan audit lainnya untuk suatu penugasan
audit saja. Pengendalian intern barangkali memiliki tingkat keefektifan yang lebih tinggi untuk
sejumlah akun yang terkait dengan saldo daripada atas akun-akun yang terkait dengan aktiva
tetap. Selanjutnya, resiko pengendalian pun akan berbeda bagi akun-akun yang berbeda.

DAFTAR RUJUKAN
IAPI (2009) Kode Etik Profesi Akuntan Publik

IAPI. Standar Profesional Akuntan Publik. 31 Maret 2011. Jakarta : Penerbit Salemba Empat

AL. Haryono Jusup, 2001, Auditing, Buku I BP. STIE YKPN, Yogyakarta.

Mulyadi, 2002. Auditing. Buku 1, Edisi 6, Salemba Empat. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai