Anda di halaman 1dari 7

Peniup Seruling

Ratna Indraswari Ibrahim

Aku sudah merasa seperti peniup seruling, yang akan membawa anak-
anak keluar dari tempat yang paling jahanam itu. Sekalipun Papa bilang
begini, “Kami tetap berdiri di semua keputusanmu. Jika kau ingin jadi
pendamping petani, buruh, perempuan dan anak, korban kekerasan.
Kau tahu, saya seorang psikiater, para pelacur adalah orang-orang
penyandang patologi sosial. Bisa kau bayangkan, para kiwir (pelindung
pelacur) akan melecehkanmu, sekalipun kamu di tempat itu sebagai
pendamping anak-anak pelacur.”

Apa pun kata Papa tak membuatku ingin mundur dari pekerjaan yang
ditawarkan Mas Obet itu. Sejak kecil aku sudah terobsesi dengan cerita
seorang peniup seruling, yang bisa membawa anak- anak seluruh kota,
dari orangtuanya yang arogan. Oleh karena itu, aku menerima tawaran
Mas Obet (aku lulusan FIA UB Oktober 2004), untuk bekerja sebagai
pendamping anak-anak pelacur di kompleks pelacuran yang terbesar di
negeri ini (Dolly, Surabaya). Mas Obet bilang, “Tujuan pendampingan
kita sebatas jangan sampai mereka jadi pelacur anak-anak.”

“Mas, anak-anak dari pelacur-pelacur itu apakah tidak bisa keluar dari
lingkaran setan, ibu-ibu mereka, menjadi anak baik-baik! Seharusnya,
itu kerja maksimal kita.”

Mas Obet cuma tertawa dan bilang, “Mbak Gita, sebaiknya segera
observasi, dengan dua orang teman lain, untuk menjaga hal-hal yang
tidak diinginkan.”

Aku merasa hari itu juga harus menjadi orang yang bisa menyelamatkan
sekian puluh anak dari kehidupan yang sangat jahanam ini. Aku mulai
dengan observasiku, yang diterima oleh ibu-ibu pelacur ini dengan
tanpa semangat. Tetapi, aku bertemu juga dengan seorang perempuan,
Tini, namanya, yang sedikit mau bicara denganku. “Mbak tahu, hidup ini
harus jalan terus. Siapa sih yang tidak ingin membesarkan anak, bukan
di tempat ini. Tapi, aku tidak bisa keluar dari tempat ini. Ketika baru
sehari di sini, orang-orang di sini sudah bilang, ‘Para pelacur berutang
transportasi sampai ke sini, baju, make up dan lain-lainnya’. Aku betul-
betul perawan ketika laki-laki yang tidak kukenal itu meniduriku.”

“Mengapa Mbak tidak lari dan kemudian lapor ke polisi. Mereka kan
bohong, bilang kepada Mbak, akan dipekerjakan sebagai pelayan
restoran.”

Tini tertawa lebar. “Mbak, itu seperti cerita sinetron, nyatanya saya di
sini, sudah hampir sepuluh tahun, dengan dua anak. Mbak tahu, anak
perempuanku yang terkecil pincang, dia tidak bisa jadi pelacur karena
cacat. Apa ada tempat yatim piatu yang bisa saya titipi, agar anak ini
bisa sekolah, dan tidak membebani kami.”

“Lantas, bagaimana dengan anakmu yang nomor satu, dia anak yang
cantik, apa kamu tidak berpikir untuk masa depannya? Tadi, Sini bilang
kepadaku, ingin menjadi guru SD seperti gurunya.”

Tini tersenyum, “Ah, anak-anak tidak mengerti susahnya orangtua,


terlampau jauh kalau jadi guru, paling-paling tujuh tahun lagi, dia akan
jadi pelacur di tempatku ini. Sekarang saja dia sudah genit, mencuri
make up dan lipstikku.”

Aku terkejut, sangat terkejut mendengar ucapan Tini, yang ibu itu. Aku
tidak pernah membayangkan hal seperti ini. Papaku seorang psikiater
dan Mama seorang akuntan yang hebat. Namun, aku dan adikku hidup
dengan norma yang diberikan oleh eyang. (Eyang putri serumah dengan
kami sampai beliau meninggal tiga bulan yang lampau). Yah, sepanjang
waktu, aku hidup bersama eyang, berkasih sayang, bertengkar, sebel,
cinta pada eyang. Di sisi lain, kedua orangtuaku adalah bayang-bayang
di senja hari. Sepulang dari pekerjaan, mereka kelihatan lelah, tidak
sempat berbicara panjang lebar denganku. Kalau saja aku tidak ketemu
Mas Obet di kampus, aku tidak pernah bayangkan kehidupan pelacur
lebih dari yang diceritakan eyang. “Pelacur adalah perempuan yang
menjual diri karena malas, kejalangannya, nasib sial, atau tekanan
ekonomi.”

Aku tidak bisa mendefinisikan observasiku dengan hanya seorang Tini


yang punya kiwir (yaitu pelindungnya, suami, makelar) yang
mengantarnya ke tempat orang-orang yang membeli, kemudian
mengambil bagian dari transaksi tersebut. Di sisi lain, pelacur atau
tempatnya ibu-ibu dari anak-anak pelacur itu, tidak semuanya suka aku
ajak bicara. Ada beberapa orang yang bilang begini, “Saya mau bicara
dengan Mbak, asal dibayar seperti ketika saya meladeni tamu-tamu
yang lain. Atau saya bisa meladeni sesama perempuan kok, ha-ha-ha….”

Aku merasa terkejut, tapi aku harus belajar banyak di sini. Yang penting
bagaimana anak-anak pelacur itu bisa dekat denganku. Mas Obet bilang,
“Jadilah pendengar yang baik.”

Dan aku membekali diriku dengan permen, buku gambar, buku cerita
yang pada awalnya tidak diminati oleh anak-anak. Kebanyakan mereka
lebih suka main game dengan PC yang disewa di seputar kompleks ini.

Rasanya memang aneh sekali, ketika ibunya bertransaksi dan masuk


kamar dengan seseorang yang bukan bapaknya, mereka biasa-biasa
saja. Bahkan anak-anak itu sudah bisa bicara dengan kata-kata tentang
seks. Tetapi selebihnya, menurut guru SD di kompleks ini, mereka anak-
anak biasa, ada yang lucu, malas, pintar, jahat, dan baik hati. Yah, seperti
pada umumnya anak SD. Ketika aku tanyakan apakah tidak ada
tambahan pelajaran budi pekerti, agar mereka tidak menjadi pelacur
seperti orangtuanya. Pak guru Hadi yang sudah bekerja dua puluh tahun
di daerah ini, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pihak sekolah sudah
mengupayakan, agar mereka tidak menjadi pelacur, setidak-tidaknya
pada usia muda. Kita tidak bisa melihatnya secara romantis. Misalnya
para pelacur di sini diberi keterampilan menjahit, dan akhirnya menjadi
penjahit profesional. Tentu saja ada satu, dua, dari sekian ratus pelacur
yang berhasil keluar dari tempat ini, tapi hampir sebagian besar
terpaksa meninggalkan tempat ini karena tua, sakit, dan kematian. Aku
melihat, ada tiga generasi yang sudah menjadi pelacur di tempat ini.
Mulai dari mbahnya, ibunya, dan Mbak pasti kenal, generasi ketiga
adalah Tiwi yang bekas murid saya, yang mungkin akan digantikan oleh
anaknya.”

Kala pulang, di tempat kosku ini aku merasa resah, tapi toh aku si
peniup seruling, yang akan membawa anak-anak keluar dari kompleks
ini. Padahal, Mama barusan meneleponku dan bilang, “Gita, maaf aku
tadi membuka surat lamaran kerjamu. Profisiat, kamu diterima di
perusahaan multinasional itu. Segeralah pulang dan kalau perlu
secepatnya ke Jakarta. Mulai hari ini, Mama akan booking-kan tiket
pesawat buatmu. Akhirnya, putri sulungku mendapat sesuatu yang
pernah kita impikan bersama. Aku, Papa, dan adikmu sangat bahagia.
Sebaiknya, kau bilang pada Mas Obet untuk memutuskan hubungan
kerja ini. Kami akan membantumu dengan seorang pengacara. Yah,
Papamu sudah ingin membelikan kamu sepatu yang bagus, baju, karena
kau akan berkantor di sebuah apartemen yang megah, di mana ada
banyak perempuan cantik berseliweran. Di antara mereka, ada engkau
putri kami.”

Mama yang pendiam tidak pernah bicara sepanjang itu. Aku merasa
rikuh. Lantas, sampai siang ini, aku tidak menata koper untuk pulang ke
Malang, atau menelepon Mas Obet, untuk menceritakan aku akan
menghentikan kegiatanku di sini, terima kasih atas kesempatannya.
Entahlah, berat buatku untuk meninggalkan Diti, Sini, dan ibunya, Tini.
Walaupun baru seminggu di sini, aku menyukai anak-anak Tini, aku
sangat menyukai Diti yang pincang jalannya itu. (Diti, anak perempuan
yang baru berusia tujuh tahun, seorang anak yang lucu, bagaimanapun
keadaannya). Aku berharap tetap bisa keluar dari tempat ini dengan
sekian anak, walaupun menurut beberapa orang, impianku tidak masuk
akal. Mengapa tidak? Apakah aku dan anak-anak di tempat pelacuran ini
dilarang bermimpi, menjadi orang baik-baik! Kalau mereka besar,
menjadi orangtua baik-baik, tanpa dicemoohkan, kalau mereka berada
di pasar, di kampungnya, di tempat-tempat ibadah. Sebab, aku tahu
perempuan-perempuan yang datang untuk menawarkan daganganya
suka mengambil hati Tini, dengan memuji kecantikannya yang masih
awet, tapi selepas dari mata Tini, penjaja itu akan berkata dan bergurau
jorok dengan temannya, tentang Tini. “Semalam, Tini mendapat kakap
mungkin, kok belanjanya boros. Semalam, baru dapat teri mungkin kok
belanjanya pelit. Sehingga uang lima ratus dimintanya kembali.”

Aku tidak senang dengan omongan itu. Sekalipun ucapan-ucapan


seperti itu sejak awal kedatanganku ke kompleks ini sering aku dengar.
Mereka sering mengucapkan kata-kata jorok, yang berbau seks. Bahkan
pelacur-pelacur itu maupun orang yang di kompleks ini terbiasa
bergurau dengan kalimat jorok berbau seks, setidaknya di depanku. Tini
tidak pernah mengucapkan kata-kata jorok itu, yah sekalipun
penampilannya sama dengan pelacur-pelacur lain. Semakin jauh aku
kenal Tini, aku lupa siapa dia. Apalagi kalau Diti sakit, dia seperti
kebanyakan ibu yang ada di seluruh negeri ini. Tini akan membelikan
makanan yang sekiranya bisa membangkitkan selera makan anaknya di
saat sakit.

Aku semakin akrab dengan anak sekitar sini, mengajaknya bermain


teater, menggambar, bernyanyi. Dan mas Obet bilang, “Itu sudah
keberhasilan kita, melihat anak-anak di kompleks ini masih bisa
menikmati masa anak-anaknya.”

Aku tidak paham, mengapa itu dianggap sebuah sukses. Aku sering
bercerita kepada akan-anak di kompleks ini, tentang sebuah tempat
yang indah, lebih indah dari tempat ini. Sering aku bilang kepada
mereka, kehidupan tidak harus di tempat ini. “Kita seharusnya berada di
tempat lain, kalau sudah besar.”

Ada satu hal yang mengejutkan, beberapa ibu mengeluh pada Mas Obet,
bahwa aku mengajari anak-anak mereka melawan ibunya. Ini suatu hal
yang sangat tidak disukai oleh mereka, seolah aku sudah melempar
pengaruh yang paling buruk. Aku tercengang mendengar ucapan
mereka, aku cuma kepingin anak-anak bermain dan tidak berperilaku
seperti orangtua mereka sekarang, kalau mereka sudah besar. Mas Obet
sekali lagi bilang kepadaku, “Mbak Gita, jangan romantis, target kita
bukan memberi bimbingan moral, agar mereka menjadi orang yang
baik. Tapi mencegah mereka agar tidak menjadi pelacur anak-anak. Kata
ibu-ibu, sejak kehadiran Mbak Gita, anak-anak suka tidak percaya pada
omongan orangtuanya. Mereka mulai bermimpi untuk tidak menjadi
seperti orangtuanya. Beberapa orang bilang, mereka akan menjadi
orang baik-baik seperti sampeyan. Rupanya Mbak Gita sudah terlampau
jauh dari target kita. Kalau mereka tidak suka dengan pendampingan
ini, kita akan diusir, program kita semakin macet pendanaannya. Ini
tidak akan mengenakkan kita semua kan.”

Aku merasa tidak paham lagi dengan Obet dan kawan-kawannya. Aku
tidak paham, bagaimana dia menggarisbawahi pekerjaannya, hanya
sampai di sini. Dan rasanya, dia tidak mencegah ketika ada satu, dua,
anak remaja sudah buka praktik sebagai pelacur. Obet berkata, “Kita
cuma bisa mencegah, kalau, mereka sudah jadi pelacur, ada banyak
masalah. Kiwirnya, germo, pelanggannya dan kita harus siap dipukul
kalau terlampau dekat dengan ikatan itu.”

Diam-diam aku tidak sepakat, dan diam-diam aku cuma menganggap


suatu hari kelak, aku akan membawa anak-anak keluar dari tempat ini.
Namun, satu per satu mereka tidak muncul untuk bermain,
menggambar, dan bernyanyi kepadaku. Diti yang bilang, ibu-ibu mereka
melarang untuk belajar denganku. Karena aku cuma gadis kota yang
kaya, tidak akan paham bagaimana seharusnya mencari uang.

“Kalau Ibu masih membiarkan saya bersama Mbak, karena saya pincang
dan akan sulit laku sebagai pelacur.”

Aku merasa ada kemarahan yang luar biasa dalam diriku. Tapi memang,
anak-anak bimbinganku, semakin lama semakin sedikit. Akhirnya, aku
mengerti ketika Obet berkata, “Mbak Gita harus menghentikan proyek
itu sampai di sini. Saya bisa bantu Mbak Gita kalau ingin bekerja di
tempat bimbingan lain, misalnya bimbingan petani.”

Malam itu, aku merasa diusir. Ketika aku harus betul-betul keluar dari
pekerjaan ini, aku mencoba membicarakan hal itu pada Tini. “Yah, hidup
kami memang sudah terbelit oleh utang, sampai hari ini utang saya
terhadap orang-orang itu semakin banyak. Tak mungkin semudah itu
keluar dari tempat ini, seandainya saya mau. Mereka akan menghalang-
halangi saya, dengan cara apa pun. Kalau tidak bisa dengan kekerasan,
mereka akan mengguna-gunai saya, sampai saya sakit dan mati. Kalau
utang saya belum juga terbayar sampai saya tua, dan tidak laku lagi, Sini
mungkin yang akan menggantikan saya,” katanya sambil menyedot
rokoknya.

“Diti memang merepotkan kami, karena dia pincang dan sulit jadi
pelacur. Oleh karena itu, apakah Mbak bisa menolong mencarikan
penitipan anak cacat yang tidak membayar.”

Aku mungkin cuma orang yang tidak paham apa pun tentang hidup ini!
Ketika aku keluar dari kompleks ini, bersama Diti yang pincang, anak-
anak binaanku ikut menangis, kala melihatku, menangis!

Di Jakarta, aku mendaftar sebagai orang kantoran. Di apartemen yang


megah itu (di daerah Kuningan) aku diterima! Mama mungkin benar,
aku sebaiknya berada di sini saja, di antara perempuan yang terhormat,
berbau wangi, berbaju seragam cantik!

Malang, 2005

Anda mungkin juga menyukai