“Allah melaknat orang yang menyembelih hewan untuk selain Allah, Allah
melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang
melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat orang yang mengubah tanda-
tanda di muka bumi ini.” (HR. Muslim)
“Dan bertakwalah kepada Allah, supaya kalian mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)
Juga rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa itu diraih dengan menjauhi maksiat
kepada-Nya, terutama kemaksiatan yang disebutkan secara tegas akan menjauhkan
pelakunya dari rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa sebagaimana dalam hadits di
atas.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui apa saja dan bagaimana
bentuk perbuatan-perbuatan tersebut, bukan dalam rangka untuk dikerjakan,
tetapi agar kita bisa menjauhinya.
Sebagai contoh, ritual untuk menolak bala yang dikhawatirkan menimpa daerah
tertentu. Upacara ini diwujudkan dengan menyembelih seekor kerbau lalu
mempersembahkan kepalanya kepada jin penguasa (menurut keyakinan mereka) di
daerah itu.
Satu di antara dua orang tadi mengaku tidak memiliki sesuatu pun untuk
dipersembahkan kepada berhala itu. Penduduk kampung itu tetap memaksanya,
dan tidak mengapa walaupun hanya mempersembahkan seekor lalat. Akhirnya
orang itu menuruti kemauan mereka, lalu dia membunuh seekor lalat dan
mempersembahkannya kepada berhala tersebut. Dia pun diizinkan lewat. Namun
akhirnya dia menjadi penghuni neraka.
Adapun orang yang satunya, dia tetap bersikeras tidak mau mempersembahkan
sesuatu pun kepada berhala itu. Dia menegaskan bahwa dia tidak akan
mempersembahkan sesuatu kepada siapapun selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa.
Akhirnya penduduk kampung itupun membunuhnya, namun Allah subhaanahu wa
ta’aalaa memberikan balasan kepadanya berupa surga. (HR. Ahmad)
Di dalam Al-Qur’an, perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua seringkali
diletakkan beriringan dengan perintah untuk beribadah kepada Allah subhaanahu
wa ta’aalaa. Setelah seseorang melaksanakan kewajiban terbesar (yaitu beribadah
kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa), maka kewajiban besar berikutnya adalah
berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
Ini menunjukkan bahwa kedua orang tua itu memiliki kedudukan yang tinggi dan
mulia di hadapan anak-anaknya. Sebaliknya, durhaka kepada kedua orang tua
merupakan dosa terbesar yang menduduki peringkat kedua setelah dosa
menyekutukan Allah subhaanahu wa ta’aalaa (syirik).
Mencela kedua orang tua termasuk bagian dari perbuatan melaknat mereka. Juga
termasuk salah satu bentuk sikap durhaka seorang anak kepada orang tuanya.
Apakah mungkin ada seseorang yang tega mencela dan mencaci orang tuanya
sendiri? Mari kita perhatikan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
berikut:
“Termasuk dosa besar adalah celaan seseorang kepada kedua orang tuanya. Para
sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang berani mencela
kedua orang tuanya?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, yaitu ketika dia mencela ayah
orang lain kemudian orang itu balas mencela ayahnya, dan atau ketika dia mencela
ibu orang lain kemudian orang itu balas mencela ibunya.” (HR. Muslim)
Sehingga celaan seorang anak kepada orang tuanya itu tidak hanya sebatas celaan
secara langsung di hadapan keduanya. Sikap seseorang yang mencela orang tua
saudaranya, yang menyebabkan saudaranya itu membalas mencela orang tuanya,
ini pun juga tergolong celaan kepada orang tua, walaupun itu terjadi secara tidak
langsung.
Islam adalah agama yang adil dan mendorong umatnya untuk berbuat adil. Setiap
pelaku kejahatan sudah semestinya mendapatkan balasan dan hukuman yang
setimpal dengan kejahatan yang diperbuatnya. Ini semua telah diatur berdasarkan
aturan syari’at yang mulia ini.
Oleh karena itulah orang yang melindungi pelaku kejahatan hingga akhirnya
terbebas dari hukuman, atau mendapatkan hukuman yang lebih ringan (tidak
setimpal) menurut hukum yang telah ditetapkan syari’at ini, maka berarti dia
termasuk orang yang telah menghalangi diberlakukannya aturan syari’at yang wajib
bagi umat Islam untuk menerapkannya.
Islam sangat menjaga hak dan kehormatan umat manusia seluruhnya. Tidak boleh
bagi seorang muslim untuk berbuat zalim terhadap siapapun, baik terhadap orang
kafir, terlebih lagi terhadap saudaranya sesama muslim. Seorang muslim juga
dilarang mengganggu saudaranya, merugikan, menyusahkan, terlebih lagi
mencelakakannya.
“Barangsiapa yang mengambil satu jengkal saja tanah (yang bukan miliknya) secara
zhalim, maka akan dikalungkan padanya tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim)