Anda di halaman 1dari 12

Nama : Dyah Puspita Sari

No. BP: 1720231003


PASCASARJANA
ILMU TANAH
UNIVERSITAS ANDALAS

Dosen : Dr.Ir. Aprisal, M.P


aprisalunand@gmail.com

SOAL UAS TAKE HOME EXAMING , saya terima kembali pukul 12.00 hari Minggu
tgl 26 Mai 2019.

Perhatikan dan Pahami dan jawablah dengan benar dan tepat.

1. Suatu daerah aliran sungai luasnya 35 ha, coefisien aliran permukaan = 0,4 dan time
of concentration 17 menit. Suatu hujan dengan intensitas 8.0 cm/jam turun merata
diseluruh DAS ini selama 22 menit. Gunakan metode Rasional untuk menghitung
laju maksimum aliran permukaan pada saluran pembuang, kapan aliran permukaan
berhenti dihitung sejak hujan turun.
2. Kalau metode SCS dipakai, sehubungan dengan pernyataan no.1 kapan puncak aliran
terjadi dan kapan Tb (aliran permukaan berhenti), dihitung sejak hujan terjadi.
3. Suatu DAS mikro luasnya 40 ha mempunyai unit Hydrograph seperti pada gambar 1.
Suatu hujan yang lamanya 6 jam, menghasilkan aliran permukaan pada jam pertama
30.000 m3 dan 3 jam ke dua 25.000 m3, Tentukan kapan tercapai laju maksimum
aliran permukaan dan berapa debit aliran permukaan pada saat itu, asumsi tidak ada
tambahan air dari base flow. Gambarkan total hydrographnya.

4. Hasil pengukuran infiltrasi pada suatu DAS dengan menggunakan persamaan Horton
didapatkan: fc = 1 cm/jam dan fo = 10,4 cm/jam. Nilai K 3,06. Hitunglah volume
total air infiltrasi yang meresap selama 2 jam pada areal lahan 1 ha.
5. Coba saudara analisis gambar hidrograph aliran pada gambar 2, jelaskan dan sebutkan
bagian-bagian dari hidrograph tersebut.
6. Coba saudara jelaskan dan ditambah dengan teori pendukung; bagai mana kita
merancang model pengelolaan DAS bila diketahui masalah DAS tersebut sering
terjadi banjir.
7. Bagaimana menurut saudara bagaimana perbandingan penggunaan model infiltrasi
Horton, phillip, Kostiakov, dan Green Ampt. Dimana perbedaannya. Jelaskan.

Jawaban:
1. Diketahui:
A = 35 Ha = 350.000 m2
C = 0,4
Tc = 17 menit
I = 8 cm/jam = 80 mm/jam
Ditanya: laju maksimum runoff (Q) dan waktu berhenti runoff (tb)
Jawab:
Cari nilai intensitas hujan (i)
17 cm
(
i=8 × 0,66 ×
60) =1,496
menit
=14 ,9 6 mm /menit = 0,25 mm/det
Cari nilai Q
1
Q= ×C ×i × A
36
Q=0,0278× 0,4 × 0,25× 35=97,3 m3 /det
Cari nilai tp
tp = 0,6 x tc = 0,6 x 17 menit = 10,2 menit
tb = 8/3 x tp = 8/3 x 10,2 menit = 27,2 menit

2. Diketahui:
A = 35 Ha = 35.000 m3
C = 0,4
Tc = 17 menit
I = 8 cm/jam = 80 mm/jam
Ditanya: waktu berhenti hujan (tp) dengan metoda SCS
Jawab:
Cari nilai S = 1000/N – 10 = 1000/75 – 10 = 3,33
Q=( 1−0,2 S ¿2¿ ¿1+ 0,8 S 2) =¿
Cari nilai tp
tp = 0,6 x tc = 0,6 x 17 menit = 10,2 menit
3. Diketahui :
Luas DAS (A) = 40 Ha = 400.000 m2
Lama Hujan = 6 jam, dimana 3 jam pertama  30.000 m3 runoff
3 jam kedua  25.000 m3 runoff
Ditanya: Laju maximum runoff dan debit runoff
Jawab:
- Tinggi air pada 3 jam pertama
= volume runoff
Luas DAS
= 30.000 m3 / 400.000 m2 = 0,075 m = 7,5 cm
Dikonversikan ke satuan inchi (1 inchi = 2,5 cm)
= 7,5 cm/2,5 cm = 3 UH (unit hidrograf)

- Tinggi air pada 3 jam kedua


= volume runoff
Luas DAS
= 30.000 m3 / 400.000 m2 = 0,0625 m = 6,25 cm
Dikonversikan ke satuan inchi (1 inchi = 2,5 cm)
= 6,25 cm/2,5 cm = 2,5 UH (unit hidrograf)

Buat Tabel UH kemudian di plotkan ke dalam grafik


Jam UH awal UH 3 jam ke 1 UH 3 jam ke 2 Total
(3UH) (2,5UH) Hidrograf
0 0 0 - 0
1 0,5 1,5 - 1,5
2 1 3 - 3
3 1,5 4,5 0 4,5
4 2 6 1,25 7,25
5 1,7 5,1 2,5 7,6
6 1,25 3,75 3,75 7,5
7 1 3 5 8
8 0,7 2,1 4,25 6,35
9 0,3 0,9 3,125 4,025
10 0 0 2,5 2,5
11 1,75 1,75
12 0,75 0,75
13 0 0
14
15

Laju maksimum runoff terjadi pada jam ke 7 sebesar 8 inchi

Unit Hidrograf
9
8
7
6
debit (inchi)

5
4
3
2
1
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 12 13 14
waktu (jam)

UH Awal UH 3 jam ke 1 UH 3 jam ke 2 Total Hidrograf

4. Diketahui:
fc = 1 cm/jam
fo = 10,4 cm/jam
K = 3,06
t = 2 jam
A = 1 ha = 10.000 m2
Ditanya: Volume infitrasi selama t = 2 jam untuk luas 1 Ha
Jawab:
fo−fc
v ( t )=fc .t + . ( 1−e−kt )
K
10,4−1
v ( 2 jam ) =1× 2+ ×(1−2,718−3.06 ×2 )
3,06
10,41−1
v ( 2 jam ) =1× 2+ ×(1−2,718−6,12 )
3,06
v ( 2 jam ) =2+ 3,071×(1−0,00219)
v ( 2 jam ) =2+ 3,071× 0,998
v ( 2 jam ) =5,07 cm=0,0507 m
Volume infiltrasi selama 2 jam untuk luas 1 Ha
Volume = 0,0507 m x 10.000 m2 = 507 m3

5. Analisis grafik hidrograf aliran yang telah dibuat

Unit Hidrograf
10
8
debit (inchi)

6
4
2
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 12 13 14
waktu (jam)

UH Awal UH 3 jam ke 1
UH 3 jam ke 2 Total Hidrograf

Hidrograf adalah kurva yang memberi hubungan antara parameter aliran dan
waktu. Parameter dalam hidrograf dapat berupa kedalaman aliran (elevasi) dan debit
aliran. Sehingga terdapat dua macam hidrograf yaitu hidrograf muka air dan hidrograf
debit (Triatmodjo, 2013). Hidrograf merupakan suatu gambaran aliran sungai dimana
waktu diplotkan di sumbu x dan debit di sumbu y atau respon dari suatu DAS
terhadap curah hujan yang jatuh di DAS tersebut (Rakhecha dan Singh 2009).
Hidrograf juga disebut sebagai rekaman kontinu dari debit (Davie 2008). Hidrograf
memiliki tiga bagian utama yaitu rising limb, crest segment, dan recession
limb/falling limb (Rakhecha dan Singh 2009). Rising limb atau sisi naik hidrograf
adalah keadaan dimana terjadi sisi naik aliran akibat peningkatan volume hujan
berdasarkan waktu, cress segment merupakan puncak aliran yang terjadi pada suatu
DAS pada keadaan hujan, sedangkan falling limb merupakan sisi turun hidrograf
yaitu terjadi penurunan aliran akibat menurunnya volume hujan berdasarkan waktu.
Berdasarkan pada grafik diatas, maka rising limb atau sisi naik hidrograf pada unit
hidrograf awal terjadi pada jam ke 0 sampai 4 , untuk unit hidrograf pada 3 jam kedua
terjadi pada jam ke 3 sampai 7, sedangkan untuk unit hidrograf pada total hidrograf,
rising limb terjadi pada jam ke 0 sampai 7. Puncak atau cresst segment hidrograf pada
unit hidrograf awal dan 3 jam pertama terjadi pada jam ke 4, pada unit hidrograf 3
jam ke dua dan unit total hidrograf terlihat puncak terjadi pada jam ke 7. Sedangkan
penurunan sisi hidrograf atau falling limb terjadi pada jam ke 5 pada UH awal dan
UH 3 jam pertama, dan pada UH 3 jam kedua dan total hidrograf terjadi penurunan
pada jam ke 8.

Referensi:
- Triatmodjo, Bambang. 2013 Hidrologi Terapan Cetakan ke-3. Beta Offset: Yogyakarta.
- Davie Tim. 2008. Fundamental of Hydrology, 2nd ed. New York: Routledge.
- Rakhecha Pukh Raj dan Singh Vijay P. 2009. Applied Hydrometeorology. New Delhi:
Springer.

6. Pengelolaan DAS pada wilayah Banjir


Ketika kejadian banjir di suatu wilayah DAS meningkat secara luas yang
menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi, hal ini sering kali dianggap sebagai satu
hal buruk yang disebut sebagai bencana alam. Hal ini dapat diindikasikan sebagai
ketidakmampuan ekosistem dalam memberikan layanan lingkungan sebagai akibat
telah terjadi degradasi fungsi lingkungan dan daya dukung DAS (Paimin et al., 2010;
Lyytimäki et al., 2008; Papaioannou et al., 2015). Banjir hakekatnya merupakan salah
satu kondisi hidrologi hasil luaran dari suatu DAS yang juga menjadi karakteristik
DAS tersebut (Paimin et al., 2010; Paimin, et al, 2012). Banjir bersifat sebagai
karakteristik alami DAS manakala hanya dipengaruhi oleh faktor alami DAS, namun
dapat bersifat sebagai karakteristik aktual DAS ketika dipengaruhi oleh faktor alami
dan faktor manajemen (Paimin et al., 2010).
Karakteristik DAS sangat penting untuk diketahui dalam pengelolaan DAS.
Hasil karakterisasi tersebut digunakan untuk melakukan diagnosis (identifikasi)
dengan hasil berupa tingkat kerentanan dan potensi yang kemudian dipakai sebagai
dasar klasifikasi DAS dan penyusunan perencanaan pengelolaan DAS (Paimin et al.,
2012). Prediksi keadaan banjir menjadi salah satu karakter yang perlu diketahui untuk
mengetahui respon hidrologi DAS yang terkait kuantitas dan kontinuitas hasil air
(Paimin et al., 2010; Chang, 2009). Oleh karenanya dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 37 tahun 2012 banjir dimasukkan dalam sub kriteria karakteristik DAS untuk
menentukan klasifikasi DAS apakah termasuk DAS yang dipulihkan atau
dipertahankan (Pemerintah Republik Indonesia, 2012). Dengan mengetahui sifat atau
karakteristik suatu DAS, maka pengelolaan DAS akan lebih terarah, efektif dan
efisien. Untuk mengetahui karakteristik DAS tersebut dapat dilakukan dengan analisis
Tipologi DAS. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional (2002), tipologi diartikan sebagai ilmu watak tentang bagian
manusia dalam golongan-golongan menurut corak watak masing-masing. Pengertian
tipologi tersebut diaplikasikan dalam pengelolaan DAS, terutama tipologi banjir,
sebagai karakteristik DAS yang menunjukkan sifat rentan dan potensi suatu DAS
terhadap banjir, baik kerentanan terhadap pasokan air banjir maupun kerentanan
daerah kebanjiran (Paimin et al., 2012).
Informasi ataupun peta areal yang rentan terhadap banjir adalah penting
digunakan untuk memonitor dan mengurangi resiko pencegahan dan penanggulangan
terjadinya banjir (Ho et al., 2013). Dengan mengetahui tingkat kerentanan pasokan air
banjir dapat digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki daerah tangkapan air
terutama bagian hulu DAS. Dengan diketahui daerah rentan bencana banjir atau
kebanjiran maka akan diperoleh pedoman untuk merencanakan dan menerapkan
teknik penanggulangan banjir di bagian hilir, seperti tanggul dan polder. Selain hal
tersebut, peta daerah rawan kebanjiran juga dapat dipergunakan sebagai dasar dalam
melakukan peringatan dini sehingga dampak bencana banjir dapat diperkecil.

Referensi:
- Paimin, Sukresno, & Purwanto. (2010). Sidik cepat degradasi sub daerah aliran sungai. (A.
N. Gintings, Ed.) (2nd ed.). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi.
- Paimin, Pramono, I. B., Purwanto, & Indrawati, D. R. (2012). Sistem perencanaan
pengelolaan daerah aliran sungai. (H. Santoso & Pratiwi, Eds.). Bogor: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
- Papaioannou, G., Vasiliades, L., & Loukas, A. (2015). Multi-criteria analysis framework for
potential flood prone areas mapping. Water Resour Manage, 29, 399–418.
https://doi.org/10.1007/s11269-014-0817-6.
- Ho, L. T. K., Yamaguchi, Y., & Umitsu, M. (2013). Delineation of small-scale landforms
relative to flood inundation in the western Red River delata, northern Vietnam using
remotely sensed data. Natural Hazards, 69(1), 905–917.
- Chang, C. L. (2009). The impact of watershed delineation on hydrology and water quality
simulation. Environ Monit Assess, 148, 159–165. https://doi.org/10.1007/s10661-007-0147-
8
- Indonesia, P. R. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai, Pub. L. No. 5292 (2012). Republik Indonesia.
- Lyytimäki, J., Petersen, L. K., Normander, B., & Bezák, P. (2008). Nature as nuisance?
Ecosystem services and disservices to urban lifestyle. Environmental Sciences, 5(3), 161–
172. https://doi.org/10.1080/15693430802055524

7. Model Infiltrasi Horton, Kostiakov, Philip, dan Green Ampt.


Metode Horton
Model Horton adalah salah satu model infiltrasi yang terkenal dalam
hidrologi. Model Horton menjelaskan bahwa kapasitas infiltrasi berkurang seiring
dengan bertambahnya waktu hingga mendekati nilai yang konstant. Dinyatakan
bahwa penurunan kapasitas infiltrasi lebih dikontrol oleh faktor yang beroperasi di
permukaan tanah dibanding dengan proses aliran di dalam tanah. Faktor yang
berperan untuk pengurangan laju infiltrasi seperti penutupan retakan tanah oleh koloid
tanah dan pembentukan kerak tanah, penghancuran struktur permukaan lahan dan
pengangkutan partikel halus dipermukaan tanah oleh tetesan air hujan (Achmad,
2011).
Horton, (1941) dalam penelitiannya tentang pendekatan menuju interpretasi
fisik kapasitas infiltrasi menyatakan, kapasitas infiltrasi didefinisikan sebagai tingkat
maksimum tanah dalam kondisi tertentu dapat menyerap air yang masuk kedalam
tanah. Kapasitas infiltrasi biasanya disimbolkan f, dan karena f bervariasi sesuai
waktu, terutama ketika bagian awal air masuk ke dalam tanah, kondisi tanah mampu
menyerap air lebih banyak dan semakin bertambahnya waktu tanah semakin jenuh air
sampai waktu tertentu kapasitas infiltrasi semakin menurun hingga mencapai
minimum. Persamaan (1) model kapasitas infiltrasi Horton diberikan dalam
persamaan berikut:
(1)
dimana:
f = laju infiltrasi nyata (cm/jam)
fc = laju infiltrasi tetap (cm/jam)
f0 = laju infiltrasi awal (cm/jam)
k = konstanta geofisik
t = waktu ( t )
e = 2.718281820
Persamaan (1) kapasitas infiltrasi tersebut mengandung tiga parameter: fo,
yaitu laju infltrasi awal dihitung mulai dari awal masuknya air ke dalam lapisan tanah
atau laju infiltrasi pada saat t = 0. fc, kapasitas infiltrasi konstan, dan k, yaitu
konstanta. Istilah "kapasitas infiltrasi" dan "tingkat infiltrasi" kadang-kadang terjadi
bingung. Infiltrasi dapat terjadi kapan saja dari mulai waktu nol sampai dengan
kapasitas. Jika air yang terinfiltrasi kurang dari kapasitas, maka laju infiltrasinya
bukan kapasitasnya. Di sisi lain, jika infiltrasi sedang berlangsung pada tingkat
kapasitas, hal itu disebut sebagai kapasitas, tidak hanya sebagai laju infiltrasi. Dengan
kata lain, mungkin ada yang tak terbatas beragam infiltrasi tapi hanya ada satu
kapasitas pada waktu tertentu untuk tanah tertentu.

Gambar 1. Kurva laju infiltrasi Horton


Persamaan (1) apabila ditransposisikan maka akan menghasilkan persamaan sebagai
berikut:
(2)
Kemudian persamaan (2) tersebut di log-kan menjadi:

Persamaan diatas sama dengan persamaan:

dengan demikian persamaan ini dapat diwakilkan dalam sebuah garis lurus yang

1
mempunyai nilai = . Bentuk dari garis lurus persamaan tersebut di perlihatkan
k log e
dalam gambar 2.

Gambar 2. Hubungan t dan log (fo – fc)

Metoda Phillip (Sudibyakto, 1990)


Model laju infiltrasi (infiltration rate) menurut Philip merupakan persamaan
empiris yang bergantung pada waktu (time dependent equation). Philip mengajukan
model persamaan infiltrasi:
fp = C + Dt-0,5 (1)
dimana fp adalah kapasitas infiltrasi, C dan D adalah konstanta yang dipengaruhi oleh
faktor lahan dan kadar air tanah awal, dan t adalah waktu yang dinyatakan dalam
menit. Infiltrasi kumulatif diperoleh dengan mengintegralkan persamaan (1) untuk
periode tertentu, mulai dari t = 0 sampai dengan t = t, sehingga menghasilkan
persamaan (2) sebagai berikut:
……….(2)
sehingga persamaan infiltrasi kumulatif Philip dapat ditulis sebagai berikut:
F-C.t = 2 Dt-0,5 …………(3)
Proses pengepasan dari persamaan di atas dapat dilakukan dengan
menggunakan data dari dua interval waktu, yaitu t1 dan t2, serta dua nilai dari infiltrasi
kumulatif pada interval tersebut, yaitu F1 dan F2 sehingga:
F1 – Ct1 = 2 Dt10,5 ……………..(4)
F2 – Ct2 = 2 Dt20,5 ……………...(5)
untuk mendapatkan nilai D maka dilakukan eliminasi sehingga didapatkan persamaan
sebagai berikut:

………………. (6)

Nilai D lalu dimasukkan ke dalam persamaan (4) atau (5) hingga diperoleh nilai C.
Nilai C dan D kemudian dimasukkan ke dalam persamaan Philip (Januar dan Noora,
1999).

Metoda Kostiakov (Sudibyakto, 1990)


Model Kostiakov menggunakan pendekatan fungsi power dengan tidak
memasukkan kadar air awal dan kadar air akhir (saat laju infiltrasi tetap) sebagai
komponen fungsi. Fungsi infiltrasi dan laju infiltrasi disajikan pada persamaan (1)
sebagai berikut:
f = Kt-n ………………………. (1)
dimana f adalah laju infiltrasi (mm/menit), t adalah waktu, n adalah konstanta, dan K
adalah konstanta (m.jamn-1).
Infiltrasi kumulatifnya merupakan bentuk integral dari persamaan (1) yaitu
sebagai berikut:
f = K tn dt = K/(n+1).t(n+1) ……………..(2)
dengan menggunakan data infiltrasi kumulatif, hasil pengukuran infiltrometer selama
periode waaktu tertentu, maka semua konstanta pada persamaan (2) dapat dihitung,
sehingga laju infiltrasinya dapat ditetapkan. Persamaan (2) kemudian di log-kan
sehingga didapat persamaan (3) sebagai berikut:
Log f = log [K/(n+1)] + (n+1) log t ………………………………(3)
Persamaan (3) ini bila digambar pada kertas logaritma ganda berupa garis lurus. Dari
persamaan (3) dapat diketahui bahwa (n+1+ adalah kemiringan (slope) dan K/(n+1)
adalah nilai f untuk t = 1 yang merupakan intersep, sehingga K dapat dihitung.
Hasil perhitungan regresi dari komputer dengan menggunakan program
QUATTRO menunjukkan bahwa
Konstanta B dan n tergantung pada karakteristik tanah dan kadar air tanah
awal. Konstanta ini tidak bias ditentukan sebelumnya dan biasanya ditentukan dengan
penarikan sebuah garis lurus pada kertas grafik untuk data empiric atau dengan
menggunakan metoda pangkat terkecil. Karena kesedrhanaannya, metode ini sering
diterapkan pada irigasi permukaan.

Model Green-Ampt
Model infiltrasi Green-Ampt dikembangkan untuk mengetahui tingkah laku
infiltrasi air dalam tanah pada permukaan yang horizontal. Chen dan Young (2006)
telah melakukan modifikasi terhadap persamaan model infiltrasi Green-Ampt pada
permukaan tanah yang memiliki kemiringan tertentu, sehingga model infiltrasi Green-
Ampt dapat diterapkan pada lereng dengan ilustrasi seperti gambar 3.

Gambar 3. Infiltrasi Green-Ampt pada lereng

Persamaan Green-Ampt secara sederhana dapat ditulis sebagai berikut:

………………(1)
dimana, F(t) adalah infiltrasi kumulatif (cm), k adalah koefisien permeabilitas, t
adalah lama hujan, ẞ adalah sudut kemiringan lereng (derajat), ψ adalah suction (cm),
θs adalah kandungan air pada tanah jenuh, dan θi adalah kandungan air awal pada
tanah sebelum terjadi infiltrasi.
Untuk curah hujan stabil (steady rainfall) maka persamaan (1) berubah
menjadi persamaan (2) yaitu sebagai berikut:

…………………………(2)
dimana untuk menghitung waktu atau lama hujan dapat digunakan persamaan (3), (4),
atau (5) sebagai berikut:
untuk F(t) < Fp ………………………….. (3)

sedangkan untuk nilai F(t) = Fp maka dapat digunakan persamaan sebagai berikut:
t = tp ……………………….(4)
dan untuk nilai F(t) > Fpm aka dapat digunakan persamaan sebagai berikut:

…………………… (5)
Nilai Fp dicari dengan menggunakan persamaan (6) serta nilai tp dan ts dapat
diketahui dari persamaan (7) dan persamaan (8) yang ditulis sebagai berikut:
.................................................(6)

..................................................(7)

...................................................(8)

Dimana, Fp adalah jumlah air yang terinfiltrasi sebelum air mulai menggenang di
permukaan tanah (cm), tp adalah waktu yang dibutuhkan air untuk menggenang
(cm/jam), dan ts adalah waktu sebelum infiltrasi mencapai Fp, sedangkan untuk nilai
tebal tanah jenuh (Zf) dapat diketahui dengan persamaan (9) yaitu:
……………………….. (9)

Nilai parameter yang dibutuhkan dalam model infiltrasi Green-Ampt untuk


beberapa jenis tanah disajikan dalam tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Parameter infiltrasi Green-Ampt untuk berbagai kelas tanah (Rawls;
Brakensiek; dan Miller, 1983)

Tekstur Porosita Porositas Porositas Suction Konduktivita


s (ƞ) residu (θt) efektif (θe) head (ψ) s K (cm/jam)
Sand 0,437 0,020 0,417 4,95 11,78
Loamy sand 0.437 0,036 0,401 6.13 2,99
Sandy loam 0.453 0,041 0,412 11,01 1,09
Loam 0,463 0,029 0,434 8,89 0,34
Silt loam 0,501 0,015 0,486 16,68 0,65
Sandy clay 0,398 0,068 0,330 21,85 0,15
loam
Clay loam 0,464 0,155 0,309 20,88 0,10
Silty clay 0,471 0,039 0,432 27,30 0,10
loam
Sandy clay 0,430 0,109 0,321 23,90 0,06
Silty clay 0,470 0,047 0,423 29,22 0,05
Clay 0,475 0,090 0,385 31,63 0,03

Referensi:
Achmad, M. 2011. Buku Ajar Hidrologi Teknik. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Horton, R. E., 1941. The Role of Infiltration in the Hydrologic Cycle. Trans, Am. Geophys.
Union. Vol. 14.pp 446-460.
Sudibyakto. 1990. Model Infiltrasi DAS , Suatu Tinjauan Perbandingan Metodologi. Dari
http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId= 2362. Diakses pada tanggal 26
April 2019.

Anda mungkin juga menyukai