Anda di halaman 1dari 6

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dalam tiga tahun konflik agraria terus

meningkat. Tahun ini, terjadi 198 kasus, dengan areal konflik 963.411 hektar, melibatkan
141.915 keluarga. Angka ini, melesat dari 2011, sebanyak 163 kasus, dengan 22 warga
tewas dan 2010, sebanyak 106 konflik.

Idham Arsyad Sekretaris Jenderal KPA dalam laporan akhir tahun, mengatakan, catatan
kriminalisasi dan kekerasan petani sepanjang tahun ini, 156 petani ditahan, 55 orang
mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 tertembak, dan tercatat tiga orang tewas.

Dari 198 kasus ini, katanya, sekitar 90 kasus di sektor perkebunan (45%); 60 sektor
pembangunan infrastruktur (30%); 21 sektor pertambangan (11%); 20 sektor kehutanan
(4%). Lalu, lima sektor pertanian tambak atau pesisir (3%) dan dua sektor kelautan dan
wilayah pesisir pantai (1 %).

Konflik-konflik ini, tersebar di 29 provinsi. Terbanyak di Jawa Timur 24 kasus dan Sumatera
Utara 21 kasus. “Disusul, Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan masing-masing 13
kasus, Riau dan Jambi masing-masing 11 kasus, sisanya tersebar di provinsi lain di
Indonesia,” katanya di Jakarta, Jumat(28/12/12).

Sementara itu, sejak 2004-2012, sepanjang pemerintahan SBY terjadi 618 konflik agraria di
seluruh Indonesia, dengan areal 2.399.314,49 hektar. “Ada lebih dari 731.342 keluarga
harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan,” ujar dia.

Keadaan ini, menjadi cerminan ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat, tindakan


intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan
militer dalam penanganan konflik maupun sengketa agraria. Konflik ini, kata Idham,
melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat yang mengakibatkan 941
orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, dan 63 luka serius akibat peluru aparat. “Korban
meninggal 44 orang di wilayah-wilayah konflik itu selama periode 2004 – 2012.”

Menurut dia, konflik era SBY terus meningkat karena reforma agraria baru sebatas buku
dan iklan kampanye.  “Tahun 2007, pemerintahan ini pernah berjanji reforma agraria lewat
program pembaruan agraria nasional (PPAN). Faktanya, sampai sekarang belum
memenuhi janji itu sebagaimana dimandatkan konstitusi UUD 1945 dan Undang-undang
Pokok Agraria 1960.”

Pengamatan KPA, persoalan pelik agraria di Indonesia karena tumpang tindih UU berkaitan
agraria dari pertanahan, hutan, tambang, perkebunan, mineral batu bara dan migas. UU ini,
tidak mengacu kepada konstitusi UUD 1945 dan UUPA 1960.  “Akibatnya, terjadi tumpang
tindih kewenangan di bidang agraria. Ini mengakibatkan tanah-tanah yang ditempati
masyarakat, khusus masyarakat kecil di pedesaan dan pedalaman, jadi tidak terlindungi,
rentan aksi-aksi perampasan tanah yang dilegalkan atas nama pembangunan dan
investasi,” ucap Idham. Kondisi ini akhirnya mengakibatkan akses dan hak masyarakat
terhadap tanah dan sumber-sumber agraria lain yang tersedia menjadi tertutup.

Parahnya, persoalan ini, alih-alih diselesaikan pemerintah dan DPR. Justru, dibuat berbagai
regulasi yang malah berpotensi kuat menambah rumit tumpang-tindih perundang-undangan
di negeri ini. “Seperti perumusan RUU Pertanahan dan RUU Hak-hak Atas Tanah.”

Tahun 2012, DPR mengesahkan operasionalisasi UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang diusulkan pemerintah. Lalu,
dibuat Perpres 71/2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum. Lewat dua kebijakan ini, pembebasan tanah dalam skala luas untuk
kepentingan pembangunan infrastruktur dan investasi makin mulus dan cepat terlaksana.
“Tidak mengherankan jika konflik agraria dalam proses pengadaan tanah untuk infrastruktur
meningkat drastis sepanjang tahun ini,” katanya.

Tak hanya itu, sepanjang 2012 Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal dalam UU
sektoral yang dianggap bertentangan dengan konstitusi seperti UU Kehutanan dan UU
Migas. Tahun ini pula, terdapat kebijakan pertanahan cukup menarik perhatian, yakni
pergantian Kepala BPN, dari Joyo Winoto kepada mantan Jaksa Agung Hendarman
Supandji.

Sejak awal, KPA ragu terhadap kapasitas dan komitmen Kepala BPN baru dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan pelik agraria. “Keragauan ini terbukti. Karena sampai
sekarang BPN makin menjauh dari usaha sungguh-sungguh menjalankan redistribusi tanah
kepada rakyat kecil dan penyelesaian konflik pertanahan.”

Selain itu, pelaksanaan PP No.11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah


Terlantar yang sempat diharapkan menjadi pemicu redistribusi tanah-tanah yang banyak
diterlantarkan perusahaan-perusahaan berjalan bak siput. Sampai saat ini, dari 4.8 juta
hektar tanah yang diindikasikan terlantar oleh BPN, baru 37.224 hektar ditetapkan sebagai
tanah terlantar. “Belum sejengkal pun tanah-tanah itu diredistribusikan kepada rakyat
melalui skema PP Tanah Terlantar ini.” Belum lagi,  penertiban hak guna usaha (HGU)
perusahaan-perusahaan perkebunan baik swasta atau BUMN yang bermasalah dan
diterlantarkan tetap tak tersentuh PP ini.
Perayaan Lebaran ketupat warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa
Karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang, kemarin, berubah menjadi horor.
Kejadian penyerangan pada Desember 2011 terulang. Satu orang tewas, empat
orang lainnya kritis, dan puluhan rumah terbakar akibat penyerangan, Minggu, 26
Agustus 2012.

Korban tewas diketahui bernama Hamamah, 45 tahun. Dia meninggal akibat


sabetan senjata tajam dari kelompok penyerang. Sedangkan korban kritis bernama
Tohir, Mat Siri, Abdul Wafi, dan ibunda ustad Tajul Muluk. “Padahal ibunda ustad
Tajul bukan penganut Syiah," kata Zain, anak salah seorang korban kritis, Tohir.
Tajul Muluk adalah pemimpin Syiah di Nangkernang yang kini mendekam di
penjara setelah divonis dua tahun bui karena penodaan agama.

Adapun korban kritis akibat sabetan senjata tajam dan lemparan batu. Kini mereka
tengah dirawat di RSUD Sampang dan mendapat pengawalan ketat aparat
kepolisian. "Untuk yang luka ringan, saya tidak tahu mereka dirawat atau tidak,"
kata Zain kepada Tempo.

Zain, yang merupakan pengajar di pesantren Syiah, menuturkan bahwa


penyerangan terjadi mulai pukul 08.00. Saat itu, sebagian besar warga Syiah
sedang merayakan Lebaran ketupat. Tiba-tiba, dari arah sebelah timur yang
tertutupi perbukitan, muncul ratusan orang. Mereka menyebar dengan berjalan
melintasi persawahan sambil mengacungkan celurit dan berteriak. "Sekarang bukan
hanya rumahnya, tapi orangnya juga harus habis," tutur Zain, menirukan teriakan
itu.

Melihat itu, Zain bersama beberapa warga Syiah, termasuk korban tewas,
bersembunyi di salah satu bagian rumah Tajul Muluk, yang selamat dari amuk
massa dalam penyerangan sebelumnya. "Mereka tidak langsung duel, tapi
melempari kami dulu dengan batu," kata Zain.
Akibat lemparan batu itu, sejumlah orang Syiah mengalami cedera. Salah satunya
Hamamah, yang akhirnya tewas dibantai. "Kami sembunyi dalam sungai, kami
selamat setelah polisi datang," tutur Zain.

Meski selamat, Zain mengaku kecewa terhadap aparat kepolisian karena baru tiba
di lokasi pukul 15.00 atau delapan jam setelah penyerangan. "Semua rumah
jemaah Syiah dibakar pakai bensin, sekitar 50 rumah, termasuk rumah saya,"
katanya.

Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Hilman
Thayib memastikan korban tewas akibat kerusuhan Sampang berjumlah satu
orang. Hilman menuturkan kronologi yang berbeda dengan Zain. Menurut Hilman,
awalnya, sebanyak 20 anak warga Syiah yang menumpang minibus dihadang 30
sepeda motor. Mereka kemudian dipaksa pulang dan dilarang belajar di pesantren
Syiah yang ada di luar Sampang.

"Saat itu, terjadi keributan dan perkelahian hingga menimbulkan satu korban
meninggal bernama Hamamah," kata Hilman.

Pasca-penyerangan, polisi menerjunkan ratusan personel di lokasi kejadian dan


dibantu personel dari Komando Distrik Militer setempat. Seluruh warga Syiah juga
diungsikan ke Gelanggang Olahraga Sampang.
Sengketa lahan di Riau yang belum terselesaikan pemerintah sepanjang tahun 2008 seluas
200.586.10 hektar. Sengketa lahan tersebut memicu konflik antara masyarakat dengan
sejumlah perusahaan dan pemerintah.

Direktur Sustainable Social Development Partnership (Scal Up) Riau, Ahmad Zazali,
mengungkapkan itu kepada detikcom, Selasa (20/01/2008) di Pekanbaru.

Data Scal Up menyebut, akibat sengketa lahan ini, pada tahun 2008 telah terjadi 96 kasus
konflik. Konflik lahan ini tertinggi pada sengketa lahan masyarakat dengan industri perkebunan
kelapa sawit mencapai 29 konflik yang memperebutkan sekitar 58.105 hektar lahan. "Sebagian
lagi konflik antara masyarakat dengan pemerintah dalam menempati kawasan konservasi," kata
Zazali.

Data Scal Up, menyebut, untuk sengkete lahan antara masyarakat dengan pemerintah
misalnya terjadi di kawasan konservasi di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Dari 38.576
hektare sekitar 7.600 hektare lahannya dicaplok masyarakat. Hingga kini penyelesaian kasus
tersebut belum jelas. Pemerintah belum bisa mengeluarkan masyarakat yang bermukim di
dalam areal wilayah konservasi gajah tersebut.

Begitu juga dengan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim yang memiliki luas 6.150
hektar, hanya tersisa 1.900 hekatar saja masih lestari. Selebihnya sudah dicaplok masyarakat
untuk perkebunan kelapa sawit.

"Kami memprediksi perebutan lahan pada 2009 akan lebih meningkat lagi. Hal itu bisa dilihat
dari migrasi penduduk yang lebih besar dari berbagai daerah tetangga," kata Zazali.

Zali juga menyebut, dengan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah
perusahaan akibat krisis global, salah satu pendukung meningkatnya konflik lahan. Sebab para
pekerja yang di PHK kembali ke kampung halamannya untuk mengelola lahan yang justru
statusnya sudah dikuasai pihak lain.
"Karena itu kita menyarankan kepada pemerintah untuk mengidentifikasi kepemilikan hak ulayat
di Riau. Ini juga mengantisipasi klaim dari hak hak ulayat yang tidak jelas," ujar Zazali.

Karena itu, Scale Up juga meminta Pemerintah Provinsi Riau, untuk segera merivisi Tata
Ruang Wilayah Riau yang saat ini belum selesai dilakukan sejak 2001 lalu. Pemerintah juga
diminta untuk membuat protokol penyelesaian konflik lahan. Termasuk membentuk lembaga
independen menangani masalah ini.

"Kalau semua sudah dilakukan, maka dengan sendirinya akan mengeliminir terjadinya konflik
lahan," kata Zali

Anda mungkin juga menyukai