Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

PSIKOSOMATIK

Disusun oleh :

Prizilia Saimima

112016047

Pembimbing :

dr. Dan Hidayat, Sp.KJ

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Periode 4 Desember 2017 – 6 januari 2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Psikosomatik atau dikenal dengan nama lain, psikofisologis merupakan bagian


spesifik dalam bidang psikiatri yang sudah ada selama lebih dari 75 tahun. Secara umum,
gangguan ini digambarkan sebagai satu atau lebih faktor psikologis atau masalah perilaku
yang secara jelas memperburuk perjalanan atau hasil kondisi medis umum. Atau secara
jelas, meningkatkan risiko seseorang mengalami hasil medis yang lebih buruk.

Dalam pandangan kedokteran, psikosomatik adalah interdisiplin beberapa cabang


ilmu kedokteran yang mempelajari penyakit – penyakit psikosomatis, yang sekarang lebih
tertuju kepada penyakit – penyakit psiko-fisologis, memandangnya sebagai suatu gangguan
yang gejalanya lebih disebabkan oleh proses mental dari pada penyebab fisiologis secara
langsung.

Cabang kedokteran ini mempelajari evaluasi dan tata laksana secara terintergrasi
dan melibatkan cabang kedokteran Psikiatri, Neurologi, Bedah, Ginekologi, Kedokteran
Paliatif, Pediatrik, Dermatologi, dan Psikoneuroimunologi, serta Psikologis.

Dan kompetensi dari kedokteran psikosomatis adalah situasi klinis dimana


psikologis merupakan faktor utama yang mempengaruhi kondisi klinis, kepatuhan klinis,
atau hasil pembedahan.

Banyak fenomena dalam dunia kesehatan yang tidak bisa dijelaskan dengan
pengetahuan ilmu kedokteran saja. Bagaimana seseorang yang mengalami penyakit
lambung akut dapat berangsur membaik ketika menjalani puasa Ramadhan; mengapa
seorang penderita HIV/AIDS dapat bertahan hidup lebih lama dari vonis dokter bila tidak
diasingkan, mendapat reaksi yang normal dan tetap berhubungan dengan keluarga mereka.
Mengapa dalam lingkungan fisik yang serba sama kelompok anak ayam dengan induk

2
secara rata-rata tumbuh lebih baik daripada kelompok lain yang tidak mempunyai induk
atau mengapa toxisitas amfetamin yang disuntikkan pada tikus menjadi 10x lipat bila tikus
itu dikurung bersepuluh daripada bila dikurung sendirian.

Hal-hal dan faktor-faktor psikologis serta sosial ini dapat mengganggu manusia
dengan cara yang sama seperti faktor-faktor yang dapat dilihat dengan secara kasat mata.
Faktor-faktor ini hanya dapat dimengerti oleh penderita dilihat sebagai manusia yang
memiliki rumah dan keluarga, yang mengalami kesukaran dan kecemasan, yang
menghadapi kesulitan ekonomi, yang mempunyai masa lalu dan masa yang akan datang,
pekerjaan yang akan dipertahankan atau akan ditinggalkan. Cara orang tersebut
menyelesaikan konfliknya, cara menyesuaikan diri tergantung pada emosi, inteligensi dan
kepribadiannya.

Kegagalan dalam melakukan penyesuaian terhadap berbagai persoalan bukan hanya


menimbulkan gangguan psikis atau mental saja. Gejala gagal dalam melakukan
penyesuaian bisa muncul dalam bentuk gangguan-gangguan yang bersifat ketubuhan/fisik
karena pada dasarnya antara badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan,
sehingga gangguan terhadap salah satu di antananya menimbulkan gangguan pada lainnya.
Inilah yang kemudian sering disebut sebagai gangguan psikosomatik.

Penyakit-penyakit psikosomatik merupakan gangguan kesehatan yang bukan saja


umum dijumpai dalam populasi, tapi sering menimbulkan kesalahpahaman di bidang
medis. Medikasi sering memberi kesembuhan secara cepat, namun bukan berarti
persoalannya menjadi beres karena sering kali penyakit tersebut kambuh kembali berulang-
ulang. Ini berkaitan karena sumbernya bukan pada tubuh yang sakit, melainkan pada
persoalan mental yang belum terselesaikan. Penemuan-penemuan terbaru berkaitan dengan
kerja otak semakin menambah keyakinan akan hubungari yang erat antara fisik dan mental.
OIeh karena itu penyembuhan penyakit-penyakit psikosomatik perlu melibatkan interaksi
fisik mental

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Menurut buku Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psyciatry Behavioral


Sciences/Clinical Pyschiatry edisi 10, Psikosomatis (psikofisologis) adalah kesatuan dari
faktor mental (psiko) dan fisik (soma) dan psikologis yang harus diperhatikan ketika
memikirkan semua keadaan penyakit – penyakit. Menurut buku ajar psikiatri FKUI,
gangguan psikosomatis adalah satu atau lebih faktor psikologis atau masalah perilaku yang
secara jelas memperburuk perjalanan atau hasil kondisi medis umum.

Menurut Wittkower psikosomatis secara luas didefinisikan sebagai usaha untuk


mempelajari interaksi aspek-aspek psikologis dan aspek-aspek fisis semua faal jasmani
dalam keadaan normal maupun abnormal. Ilmu ini mencoba mempelajari, menemukan
interelasi dan interaksi antara fenomena kehidupan psikis (jiwa) dan somatis (raga) dalam
keadaan sehat maupun sakit.

Kedokteran psikosomatik menekankan kesatuan pikiran dan tubuh serta interaksi


antara keduanya. Kedokteran psikomatik menganggap faktor psikologis penting di dalam
timbulnya semua penyakit; meskipun demikian, peranannya di dalam predisposisi,
mulainya, perkembangan, atau perburukan suatu penyakit atau reaksi terhadap penyakit
masih menjadi perdebatan dan bervariasi antar gangguan.

Revisi teks edisi keempat Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM-IV-TR) tidak menggunakan istilah psikosomatik DSM-IV-TR menggambarkan
faktor psikologis yang memengaruhi keadaan medis sebagai "satu atau lebih masalah
psikologis atau perilaku yang memiliki pengaruh dengan cara menghambat dan bermakna

4
terhadap perjalanan dan hasil keadaan medis umum, atau yang meningkatkan risiko
seseorang secara signifikan untuk memperoleh hasil yang merugikan.” Meskipun demikian,
sejumlah kecil orang tidak setuju kalau faktor perilaku atau psikologis memainkan peranan
pada hampir semua keadaan medis.

2.2 ETIOLOGI

Setiap fungsi organis/somatis yang terganggu oleh emosi-emosi yang kuat (yaitu
oleh konflik-konflik dan kecemasan hebat) bisa menjadi basis bagi timbulnya bermacam-
macam gangguan psikosomatis. Ada beberapa penyebab dari gangguan psikosomatis:

1. Stres Umum
Stres ini dapat berupa suatu peristiwa atau situasi kehidupan dimana individu tidak
dapat berespon secara adekuat. Menurut Thomas Holmes dan Richard Rahe, di dalam skala
urutan penyesuaian kembali sosial (social read justment rating scale) menuliskan 43
peristiwa kehidupan yang disertai oleh jumlah gangguan dan stres pada kehidupan orang
rata-rata, sebagai contohnya kematian pasangan 100 unit perubahan kehidupan, perceraian
73 unit, perpisahan perkawinan 65 unit, dan kematian anggota keluarga dekat 63 unit. Skala
dirancang setelah menanyakan pada ratusan orang dengan berbagai latar belakang untuk
menyusun derajat relatif penyesuaian yang diperlukan oleh perubahan lingkungan
kehidupan. Penelitian terakhir telah menemukan bahwa orang yang menghadapi stres
umum secara optimis bukan secara pesimis adalah tidak cenderung mengalami gangguan
psikosomatis, jika mereka mengalaminya mereka mudah pulih dari gangguan.

2. Stres Spesifik Lawan Non Spesifik

Stres psikis spesifik dan non spesifik dapat didefinisikan sebagai kepribadian
spesifik atau konflik bawah sadar yang menyebabkan ketidakseimbangan homeostatis yang
berperan dalam perkembangan gangguan psikosomatis. Tipe kepribadian tertentu yang
pertama kali diidentifikasi berhubungan dengan kepribadian koroner (orang yang memiliki
kemauan keras dan agresif yang cenderung mengalami oklusi miokardium).

3. Variabel Fisiologis

5
Faktor hormonal dapat menjadi mediator antara stres dan penyakit, dan variabel
lainnya adalah kerja monosit sistem kekebalan. Mediator antara stres yang didasari secara
kognitif dan penyakit mungkin hormonal, seperti pada sindroma adaptasi umum Hans
Selye, dimana hidrokortison adalah mediatornya, mediator mungkin mengubah fungsi
sumbu hipofisis anterior hipotalamus adrenal dan penciutan limfoit. Dalam rantai
hormonal, hormon dilepaskan dari hipotalamus dan menuju hipofisis anterior, dimana
hormon tropik berinteraksi secara langsung atau melepaskan hormon dari kelenjar
endokrin lain. Variabel penyebab lainnya mungkin adalah kerja monosit sistem kekebalan.
Monosit berinteraksi dengan neuropeptida otak, yang berperan sebagai pembawa pesan
(messager) antara sel-sel otak. Jadi, imunitas dapat mempengaruhi keadaan psikis dan
mood.

2.3 KLASIFIKASI

Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk faktor psikologis yang memengaruhi


keadaan medis ditunjukkan di dalam Tabel 1. Yang tidak termasuk adalah: (1) gangguan
jiwa klasik yang memiliki gejala fisik sebagai bagian dari gangguan (cth., gangguan
konversi, yaitu gejala fisik ditimbulkan oleh konflik psikologis); (2) gangguan somatisasi,
yaitu gejala fisik tidak didasari oleh patologi organik; (3) hipokondriasis, yaitu pasien
memiliki kepedulian yang berlebihan dengan kesehatan mereka; (4) keluhan fisik yang
sering dikaitkan dengan gangguan jiwa (cth., gangguan distimik yang biasanya memiliki
penyerta somatik, seperti kelemahan otot, astenia, lelah, dan keletihan); serta (5) keluhan
fisik yang dikaitkan dengan gangguan terkait-zat (cth., batuk dikaitkan dengan
ketergantungan nikotin).

Tabel 1

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Faktor Psikologis yang Memengaruhi


Keadaan Medis Umum2

A. Terdapat keadaan medis umum (diberi kode pada Aksis III).


B. Faktor psikologis memengaruhi keadaan medis secara berlawanan dalam satu atau
lebih cara

6
1. faktor memengaruhi perjalanan keadaan medis umum, seperti yang ditunjukkan
oleh hubungan waktu yang erat antara faktor psikologis dan timbulnya atau
memburuknya, atau tertundanya pemulihan, keadaan medis umum
2. faktor mengganggu terapi keadaan medis umum
3. faktor merupakan risiko kesehatan tambahan untuk individu
4. respons fisiologis terkait-stres mencetuskan atau rnemperburuk gejala
keadaan medis umum
Pilih nama berdasarkan sifat faktor psikologis (jika ada lebih dar satu faktor, tunjukkan
yang paling menonjol):

Gangguan mental yang memengaruhi ...[tunjukkan keadaan medis umum]


(cth., gangguan Aksis I seperti gangguan depresif berat menunda pemulihan dari
infark miokardium

Gejala psikologis yang memengaruhi ...[tunjukkan keadaan medis umum]


(cth., gejala depresif rnenunda pemulihan setelah pembedahan; asma yang
diperburuk ansietas)
Ciri kepribadian atau gaya koping yang memengaruhi ...[tunjukkan
keadaan medis umum] (cth., penyangkalan patologis kebutuhan operasi pada
pasien kanker; perilaku tertekan dan bermusuhan yang turut menyebabkan
penyakit kardiovaskular)

Perilaku kesehatan maladaptif yang memengaruhi ...[tunjukkan keadian medis


umum] (cth., makan berlebihan; tidak ada olah raga; seks yang tidak aman)

Respons fisiologis Terkait-Stres yang memengaruhi ...[tunjukkan keadaan


medis umum] (cth., perburukan ulkus karena stres, hipertensi, aritmia, atau
tension headache)

Faktor psikologis lain atau tidak terinci yang memengaruhi ...[tunjukkan


keadaan medis umum] (cth., faktor interpersonal, budaya, atau religius)

7
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright
2000, dengan izin.

Tabel 2

Kriteria Diagnostik ICD-10 untuk Faktor Psikologis dan Perilaku Terkait dengan
Gangguan atau Penyakit Diklasifikasikan di Tempat Lain3

Kategori ini harus digunakan untuk adanya faktor psikologis atau perilaku yang
diperkirakan telah bermanifestasi, atau mempengaruhi, gangguan fisik yang
diklasifikasikan pada bab-bab lain dari ICD-10. Setiap gangguan mental yang dihasilkan
biasanya ringan dan sering berkepanjangan (seperti khawatir, konflik emosional, ketakutan)
dan tidak dengan sendirinya menggunakan salah satu kategori yang dijelaskan dalam
bagian akhir buku ini. Sebuah kode tambahan harus digunakan untuk mengidentifikasi
gangguan fisik. (Dalam kasus yang jarang terjadi di mana gangguan jiwa terbuka
diperkirakan telah menyebabkan gangguan fisik, kode tambahan kedua harus digunakan
untuk mencatat gangguan kejiwaan).

(Dicetak ulang dengan izin dari Organisasi Kesehatan Dunia Klasifikasi Internasional
Gangguan Mental dan Perilaku: Kriteria Diagnostik, Organisasi Kesehatan Dunia, Jenewa,
1993).

Di Indonesia yang menggunakan pedoman diagnostik PPDGJ, gangguan


psikosomatik dapat diklasifikasi dalam 305. Gangguan fisik yang diduga asalnya
psikologik (PPDGJ I) yang kemudian dikonversi menjadi 306. Faktor psikologik yang
mempengaruhi malfungsi fisiologis (PPDGJ II), dan dikonversi kembali di PPDGJ III pada
F45.3. yaitu Disfungsi otonomik somatoform. Kriteria diagnostik dijabarkan sebagai
berikut:

1. adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat, tremor,


muka panas/“flushing”, yang menetap dan mengganggu;
2. gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (gejala tidak

8
khas);
3. preokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenai kemungkinan adanya
gangguan yang serius (sering tidak begitu khas) dari sistem atau organ tertentu,
yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaanpemeriksaan berulang, maupun
penjelasan-penjelasan dari para dokter;
4. tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi dari sistem
atau organ yang dimaksud.
Pada karakter kelima yaitu F45.30 = jantung dan sistem kardiovaskular

F45.31 = saluran pencernaan bagian atas

F45.32 = saluran pencernaan bagian bawah

F45.33 = sistem pernapasan

F45.34 = sistem genito-urinaria

F45.38 = sistem atau organ lainnya

2.4 PATOFISIOLOGI

Ada beberapa gangguan spesifik yang dapat disebabkan oleh gangguan psikis:

2.4.1 Sisem Kardiovaskular

Mekanisme yang terjadi pada psikosomatis dapat melalui rasa takut atau
kecemasan yang akan mempercepat denyutan jantung, meninggikan daya pompa jantung
dan tekanan darah, menimbulkan kelainan pada ritme dan EKG. Kehilangan semangat dan
putus asa mengurangi frekuensi, daya pompa jantung dan tekanan darah.

Gejala-gejala yang sering didapati antara lain: takikardia, palpitasi, aritmia, nyeri
perikardial, napas pendek, lelah, merasa seperti akan pingsan, sukar tidur. Gejala- gejala
seperti ini sebagian besar merupakan manifestasi gangguan kecemasan.

a. Penyakit arteri koroner

9
Penyakit arteri koroner menyebabkan penurunan aliran darah ke jantung yang
ditandai oleh rasa tidak nyaman, tekanan pada dada dan jantung episodik. Keadaan ini
biasanya ditimbulkan oleh penggunaan tenaga dan stres dan dihilangkan oleh istirahat atau
nitrogliserin sublingual.

Flanders Dunbar menggambarkan pasien dengan penyakit jantung koroner sebagai


kepribadian agresif-kompulsif dengan kecenderungan bekerja dengan waktu yang panjang
dan untuk meningkatkan kekuasaan. Meyer Fiedman dan Ray Rosenman mendefinisikan
kepribadian tipe A dengan tipe B. Kepribadian tipe A adalah berhubungan erat dengan
perkembangan penyakit jantung koroner. Mereka adalah orang yang berorientasi tindakan
berjuang keras untuk mencapai tujuan yang kurang jelas dengan cara permusuhan
kompetitif. Mereka sering agresif, tidak sabar, banyak bergerak dan berjuang dan marah
jika dihalangi. Kepribadian tipe B adalah kebalikannya. Mereka cenderung santai, kurang
agresif, kurang aktif berjuang mencapai tujuannya.

b. Hipertensi esensial
Orang dengan hipertensi tampak dari luar menyenangkan, dan patuh walaupun
kemarahan mereka tidak diekspresikan secara terbuka, mereka memiliki kekerasan yang
terhalangi, yang ditangani secara buruk. Mereka tampak memiliki presdiposisi untuk
hipertensi, yaitu bila terjadi stres kronis pada kepribadian kompulsif yang terpresdiposisi
secara genetik yang telah merepresi dan menekan kekerasan, dapat terjadi hipertensi.
Keadaan ini cenderung terjadi pada kepribadian tipe A.

c. Gagal jantung kongestif

Faktor psikologis seperti stres, dan konflik emosional non spesifik, sering kali
bermakna dalam memulai atau eksaserbasi gangguan.

d. Sinkop vasomotor (vasodepressor)

Sinkop vasomotor ditandai oleh kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang


disebabkan oleh serangan vasovagal. Rasa khawatir atau takut akut menghambat impuls
untuk berkelahi atau melarikan diri, dengan demikian menampung darah di anggota gerak

10
bawah, dari vasodilatasi pembuluh darah didalam tungkai. Reaksi tersebut menyebabkan
penurunan pasokan darah ke otak, sehingga terjadi hipoksia otak dan kehilangan
kesadaran.

e. Aritmia jantung

Aritmia yang potensial membahayakan hidup kadang-kadang terjadi dengan luapan


emosional dan trauma emosional.

f. Fenomena Raynaud

Fenomena Raynaud seringkali disebabkan oleh stres eksternal. Fenomena Raynaud


ditandai dengan penyempitan abnormal pembuluh darah lokal. Fenomena Raynaud sering
juga dikaitkan dengan penyakit autoimun (reumatoid arthritis, sistemik lupus eritematosus
dan skleroderma), perubahan hormonal (hipotiroid) dan trauma (frostbite).

g. Jantung Psikogenik

Beberapa pasien adalah bebas dari penyakit jantung tetapi masih mengeluh gejala yang
mengarah ke jantung. Mereka seringkali menunjukkan keprihatinan morbid tentang jantung
mereka dan rasa takut akan penyakit jantung yang meningkat. Rasa takut mereka dapat
terentang dari masalah kecemasan yang dimanifestasikan oleh fobia atau hipokondriasis
parah, sampai pada keyakinan waham bahwa mereka menderita penyakit jantung.

2.4.2 Sistem Pernafasan

a. Asma Bronkialis

Faktor genetik, alergik, infeksi, stres akut dan kronis semuanya berperan dalam
menimbulkan penyakit. Stimuli emosi bersama dengan alergi penderita menimbulkan
konstriksi bronkioli bila sistem saraf vegetatif juga tidak stabil dan mudah terangsang.
Walaupun pasien asma karateristiknya memiliki kebutuhan akan ketergantungan yang
berlebihan, tidak ada tipe kepribadian yang spesifik yang telah diindentifikasi.

11
b. Sindroma Hiperventilasi

Sindroma hiperventilasi disebut juga dispneu nervous (freud), pseudo-asma,


distonia pulmonal (hochrein). Gambaran klinis berupa:

• Parastesia, terutama pada ujung tangan dan kaki

• Gejala-gejala sentral seperti gangguan penglihatan berupa mata kabur yang dikenal
sebagai Blury eyes. Penderita juga mengeluh bingung, sakit kepala dan pusing
• Keluhan pernafasan seperti dispneu, takipneu, batuk kering, sesak dan perasaan
tidak dapat bernafas bebas

• Keluhan jantung. Sering dijumpai kelainan yang menyerupai angina pektoris dan
juga ditemukan pada kelainan fungsional jantungdan sirkulasi

• Keluhan umum, seperti kaki dan tangan dingin yang sangat menganggu, cepat
lelah, lemas, mengantuk, dan sensitif terhadap cuaca.

c. Tuberkulosis

Onset dan perburukan tuberkulosis sering kali berhubungan dengan stres akut dan
kronis. Faktor psikologis mempengaruhi sistem kekebalan dan mungkin mempengaruhi
daya tahan pasien terhadap penyakit.

2.4.3 Sistem Gastrointestinal

a. Penyakit Refluks Gastroesofagus (Gastroesophageal Reflux Disease-GERD)

GERD merupakan gangguan esofagus yang paling lazim ditemukan dan berperan
pada sebagian besar konsumsi antasid yang dijual bebas. Gejala yang dominan adalah nyeri
ulu hati, yang dapat disertai dengan regurgitasi dan nyeri. Berbagai faktor di samping stres
yang tampaknya penting di dalam terjadinya refluks; (I) adanya hernia hiatus, (2)
efektivitas sfingter esofagus bawah untuk menyekat refluks asam lambung; (3) efektivitas
esofagus untuk membersihkan dan menetralkan refluks, (4) kemampuan esofagus untuk
melindungi dirinya dari asam dan pepsin, serta (5) pengosongan lambung yang tertunda
serta hipersekresi asam. Sampai 80 persen pasien dengan GERD memiliki hernia hiatus.

12
Meskipun demikian, 50 persen pasien dengan hernia hiatus tidak memiliki GERD.
Penderitaan psikologis meningkatkan keparahan gejala pada pasien yang rentan terhadap
penyakit ini. Di dalam survei pada penderita GERD, stres yang berlebihan, terlalu banyak
kegairahan, argumen keluarga, dan depresi sementara dirasakan dapat memicu gejala.

b. Penyakit Ulkus Lambung


Ulkus lambung mengacu pada ulserasi mukosa yang meliputi lambung bagian distal
atau duodenum bagian proksimal. Gejala penyakit ulkus lambung mencakup rasa perih atau
nyeri epigastrium seperti terbakar yang terjadi 1 sampai 3 jam setelah makan dan diredakan
dengan makanan atau antasid. Gejala yang menyertai dapat mencakup mual, muntah,
dispepsia, atau tanda perdarahan gastrointestinal seperti hematemesis atau melena.

Teori-teori awal mengidentifikasi kelebihan sekresi asam lambung sebagai faktor


etiologic yang paling penting, tetapi kepentingan infeksi oleh Helicobacter pylori sekarang
diakui. H. pylori merupakan penyebab 95 sampai 99 persen ulkus duodenum dan 70 hingga
90 persen ulkus lambung. Terapi antibiotik yang menargetkan H. pylori memberikan hasil
banyaknya angka penyembuhan daripada terapi antasid dan inhibitor histamin yang
digunakan sendirian.

Studi-studi awal mengenai penyakit ulkus lambung mengesankan bahwa faktor


psikologis memiliki peranan di dalam terbentuknya kerentanan ulkus, diperantarai melalui
peningkatan ekskresi asam lambung yang disebabkan oleh stres psikologis. Studi pada
tawanan perang selama Perang Dunia 11 mendokumentasikan angka pembentukan ulkus
lambung dua kali lebih tinggi daripada kontrol. Faktor psikososial dapat terlibat di dalam
ekspresi klinis gejala, mungkin dengan mengurangi respons imun, yang menimbulkan
kerentanan terhadap infeksi H. pylori.

c. Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif adalah penyakit peradangan usus dengan penyebab yang tidak
diketahui yang terutama mengenai usus besar. Gejala yang dominan adalah diare berdarah.
Manifestasi ekstrakolon dapat mencakup uveitis, iritis, penyakit kulit, dan kolangitis

13
sklerosans primer. Diagnosis ditegakkan terutama dengan kolonoskopi atau proktoskopi.
Reseksi pembedahan pada bagian usus besar atau seluruh usus dapat menghasilkan
penyembuhan pada beberapa pasien. Studi-studi pasien dengan kolitis ulseratif
menunjukkan dominasi ciri obsesif-kompulsif. Mereka rapi, teratur, tepat waktu, dan
memiliki kesulitan untuk mengekspresikan kemarahan. Meskipun demikian, terdapat
variasi yang luas gambaran psikiatrik pasien dengan gangguan ini.

d. Penyakit Crohn

Penyakit Crohn adalah penyakit peradangan usus yang terutama mengenai usus
halus dan kolon. Gejala yang lazim mencakup diare, nyeri abdomen, dan penurunan berat
badan. Penyakit ini prevalensinya lebih kecil dibandingkan dengan kolitis ulseratif.
Perjalanan penyakitnya bersifat kronis, sering dengan periode remisi yang diikuti periode
gejala akut. Satu studi mengenai gejala psikiatrik pada penyakit Crohn sebelum onset gejala
fisik menemukan angka yang lebih tinggi (23 persen) adanya gangguan panik sebelumnya
daripada subjek kontrol dan subjek dengan kolitis ulseratif.

e. Obesitas
Terdapat presdiposisi familial genetika pada obesitas, dan faktor perkembangan
awal ditemukan pada obesitas masa anak-anak. Faktor psikologis adalah penting pada
obesitas hipergrafik (makan berlebihan). Terapi yang dianjurkan adalah pembatasan diet
dan penurunan asupan kalori. Dukungan emosional dan modifikasi perilaku adalah
membantu untuk kecemasan dan depresi yang berhubungan dengan makan berlebihan dan
diet.

Teknik behaviour modification bertujuan untuk mengubah kebiasaan makan, salah


satu programnya terdiri dari (1) deskripsi tingkah laku untuk mengidentifikasi unsur mana
dalam tingkah laku itu yang dapat diubah, (2) pengendalian stimuli yang mendahului
makan, (3) memperlambat proses makan dan (4) menyediakan nilai untuk pengendalian
yang berhasil.

2.4.4 Sistem Muskuloskeletal

14
a. Reumatoid Artritis

Stress psikologis mungkin mempresdiposisikan pasien pada artritis rematoid dan


penyakit autoimun melalui supresi kekebalan. Orang artritik merasa terkekang, terikat dan
terbatas. Karena banyak orang artritik memiliki riwayat aktivitas fisik. Mereka seringkali
memiliki rasa marah yang terekspresi tentang pembatasan fungsi otot-otot mereka, yang
memperberat kekakuan dan imobilitas mereka.

Kriteria diagnostik untuk rasa sakit psikosomatis adalah :

· Saat rasa sakit bersamaan dengan krisis emosional


· Kepribadian yang khusus
· Perbedaan frekuensi pada pria dan wanita
· Hubungan dengan gangguan psikosomatis yang lain
· Riwayat keluarga
· Hilang timbul
· Hilang pada perubahan lingkungan, pergaulan, kebudayaan

b. Nyeri punggung bawah

Nyeri punggung bawah mengenai hampir 15 juta orang Amerika dan merupakan
salah satu alasan utama untuk tidak masuk bekerja dan untuk keluhan cacat yang
dibayarkan pada pekerja oleh perusahaan asuransi. Tanda dan gejala bervariasi antar
pasien, paling sering terdiri atas nyeri yang menyiksa, gerakan terbatas, parestesia, dan
kelemahan atau baal, semuanya dapat disertai oleh ansietas, takut, atau bahkan panik.
Daerah yang paling sering terkena adalah regio lumbal bawah, lumbosakral, dan sakroilika.
Gangguan ini sering disertai dengan sciatica, dengan nyeri yang menjalar ke bawah ke
salah satu atau kedua bokong atau mengikuti distribusi nervus iskiadikus. Meskipun nyeri
punggung bawah dapat disebabkan oleh ruptur diskus intervertebra, fraktur pada punggung,
defek kongenital spinal bawah, atau ketegangan otot ligamentosa, banyak pula penyebab
yang bersifat psikosomatik. Dokter yang memeriksa terutama harus mewaspadai pasien
dengan riwayat trauma punggung minor disertai nyeri berat. Pasien dengan nyeri punggung

15
bawah sering melaporkan bahwa nyeri dimulai pada waktu trauma psikologis atau stres,
tetapi yang lainnya (mungkin 50 persen) merasa nyeri secara bertahap dalam periode waktu
berbulan-bulan. Reaksi pasien terhadap nyeri sangat emosional, dengan ansietas dan
depresi berlebihan. Lebih lagi, distribusi nyeri jarang mengikuti distribusi neuroanatomis
normal dan lokasi serta intensitasnya dapat bervariasi.

Menurut Sarno, patofisiologi yang terlibat adalah vasospasme pembuluh darah yang
mendarahi otot, saraf, atau tendo yang terlibat. Vasospasme diperantarai oleh sistem saraf
otonom, yang sangat sensitif terhadap perubahan emosi, stres emosional kronis, dan afek
yang tidak disadari. Iskemia dan kurangnya oksigen menyebabkan nyeri di area yang
terlibat. Sebuah analogi dapat diberikan pada vasospasme arteria koronaria yang
menyebabkan angina.

Terapi mencakup pemberian edukasi kepada pasien mengenai komponen fisiologis


(vasospasme) dan membantu mereka memahami cara kerja pikiran dan konflik yang
timbul dari afek yang tidak disadari, khususnya kemarahan. Pasien mengerti bahwa pikiran
menggantikan nyeri fisik untuk nyeri emosi sehingga pikiran yang disadari tidak harus
menghadapi konflik. Aktivitas fisik harus dilanjutkan sesegera mungkin, dan terapi seperti
manipulasi spinal dan sesi terapi fisik yang diperintahkan digunakan minimal.

2.4.5 Sistem Endokrin

a. Hipertiroidisme

Hipertiroidisme (tirotoksikosis) adalah suatu sindroma yang ditandai oleh


perubahan biokimiawi dan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari kelebihan hormon
tiroid endogen atau eksogen yang kronis. Gejala medis yang sering muncul berupa
intoleransi panas, keringat berlebihan, diare, penurunan berat badan, takikardi, palpitasi
dan muntah. Gejala dan keluhan psikiatrik yang muncul antara lain ketegangan,
eksitabilitas, iritabilitas, bicara tertekan, insomnia, mengekspresikan rasa takut yang
berlebihan terhadap ancaman kematian.

b. Diabetes Melitus

16
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme dan sistem vaskular, yang
ditunjukkan dengan gangguan penanganan glukosa, lemak, dan protein oleh tubuh.
Gangguan ini terjadi akibat gangguan sekresi atau kerja insulin. Riwayat herediter dan
keluarga penting di dalam onset diabetes; meskipun demikian, onset yang tiba-tiba sering
dikaitkan dengan stres emosional, yang mengganggu keseimbangan homeostatik pada
orang yang memiliki predisposisi gangguan ini. Faktor psikologis yang tampak signifikan
adalah yang mencetuskan perasaan frustrasi, kesepian, dan kesedihan. Pasien dengan
diabetes biasanya harus mempertahankan kendali diet di dalam diabetesnya. Ketika depresi
dan sedih, mereka sering makan dan minum berlebihan sehingga merusak diri sendiri dan
menyebabkan diabetesnya di luar kendali. Reaksi ini terutama lazim pada pasien dengan
diabetes juvenil atau tipe I.

c. Gangguan Endokrin Wanita

Premenstrual syndrome (PMS), ditandai oleh perubahan subjektif mood, rasa


kesehatan fisik, dan psikologis umum yang berhubungan dengan siklus menstruasi. Secara
khusus, perubahan kadar estrogen, progesteron, dan prolaktin dihipotesiskan berperan
penting sebagai penyebab. Gejala biasanya dimulai segera setelah ovulasi, meningkat
secara bertahap, dan mencapai intensitas maksimum kira-kira lima hari sebelum periode
menstruasi dimulai. Faktor psikososial, dan biologis telah terlibat di dalam patogenesis
gangguan.

Penderitaan menopause (menopause distress), adalah suatu keadaan yang terjadi


setelah tidak adanya periode menstruasi selama satu tahun yang disebut menopause.
Banyak gejala psikologis yang dihubungkan dengan menopause, termasuk kecemasan,
kelelahan, ketegangan, labilitas emosional, mudah marah (iritabilitas), depresi, pening, dan
insomnia. Tanda dan gejala fisik adalah keringat malam, muka kemerahan, dan rasa panas
pada tubuh. Keadaan ini kemungkinan berhubungan dengan sekresi luteinizing hormone
(LH). Fungsi yang tergantung pada estrogen hilang secara berurutan, dan wanita mungkin
mengalami perubahan atrofik pada permukaan mukosa, disertai oleh vaginitis, pruritus,
dispareunia, dan stenosis.

17
Wanita mungkin juga mengalami perubahan dalam metabolisme kalsium dan
lemak, kemungkinan sebagai efek sekunder dari penurunan kadar estrogen, dan perubahan
tersebut mungkin disertai oleh sejumlah masalah medis yang terjadi pada tahun-tahun
pasca menopause, seperti osteoporosis dan aterosklerosis koroner.

Keparahan gejala menopause tampaknya berhubungan dengan kecepatan


pemutusan hormon, jumlah deplesi hormon, kemampuan konstitusional wanita untuk
menahan proses ketuaan, kesehatan, dan tingkat aktivitas mereka, serta arti psikologis
ketuaan bagi mereka. Kesulitan psikiatrik yang bermakna secara klinis dapat berkembang
selama siklus kehidupan fase involusional. Wanita yang sebelumnya mengalami kesulitan
psikologis, seperti harga diri yang rendah dan kepuasan hidup yang rendah, kemungkinan
rentan terhadap kesulitan selama menopause.

2.4.6 Sistem Imunitas

a. Penyakit Infeksi
Penelitian klinis menyatakan bahwa variabel psikologis mempengaruhi kecepatan
pemulihan dari mononukleosis infeksius dan influensa. Stres dan keadaan psikologis yang
buruk menurunkan daya tahan terhadap tuberkulosis dan mempengaruhi perjalanan
penyakit. Neurosifilis pada pasien imunokompromais yang mengidap HIV merupakan
penyebab gangguan mental, yang dikarenakan oleh invasi kuman Treponema pallidum ke
parenkim otak. Bagian otak yang terkena terutama lobus frontal, sehingga menimbulkan
perubahan kepribadian, menjadi iritabel, mania, kurang perawatan diri, dan demensia
progresif. Sama halnya dengan neurosifilis, meningitis dan ensefalitis sering timbul pada
penderita HIV. Pada meningitis, dapat timbul keadaan konfusi akut, sakit kepala, gangguan
memori dan demam dengan kaku kuduk. Pada ensefalitis, dapat timbul gejala halusinansi,
psikosis dan perubahan kepribadian. Dengan demikian perkembangan penyakit sangat
dipengaruhi oleh keadaan psikologis orang.

b. Gangguan Alergi

18
Bukti klinis menyatakan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan pencetus
alergi. Asma bronkial adalah contoh utama proses patologis yang melibatkan
hipersensitifitas segera yang berhubungan dengan proses psikososial.

c. Transplantasi Organ
Pengaruh psikososial seperti kehidupan yang penuh dengan stres, kecemasan dan depresi
mempengaruhi sistem kekebalan yang berperan dalam mekanisme penolakan transplantasi
organ.

2.4.7 Sistem Integumen

a. Hiperhidrosis
Hiperhidrosis dipandang sebagai fenomena kecemasan yang diperantarai oleh
sistem saraf otonom. Ketakutan, kemarahan dan ketegangan dapat menyebabkan
meningkatnya sekresi keringat, karena manusia memiliki 2 mekanisme berkeringat yaitu
termal dan emosional. Berkeringat emosional terutama tampak pada telapak tangan,
telapak kaki dan aksila. Berkeringat termal paling jelas pada dahi, leher, punggung tangan
dan lengan bawah.

b. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik (juga disebut eksema atopik atau neurodermatitis) adalah
gangguan kulit kronis yang ditandai dengan pruritus dan peradangan (eksema), yang sering
dimulai sebagai erupsi eritematosa, gatal, dan berbentuk makulopapular. Pasien dermatitis
atopik cenderung lebih cemas dan depresi daripada kelompok kontrol klinis dan bebas-
penyakit. Ansietas atau depresi memperburuk dermatitis atopik dengan menimbulkan
perilaku menggaruk, dan gejala depresif tampak memperkuat persepsi gatalnya. Sejumlah
studi pada anak dengan derrhatitis atopik menemukan bahwa mereka dengan masalah
perilaku memiliki penyakit yang lebih berat. Di dalam keluarga yang mendorong
kemandirian, anak-anak memiliki gejala yang lebih ringan, sedangkan sikap terlalu
melindungi dari orang tua mendorong perilaku menggaruk.

c. Pruritus menyeluruh

19
Pruritus psikogenik menyeluruh tidak memiliki penyebab organik. Kemarahan
yang terekspresi dan kecemasan yang terekspresi merupakan penyebab paling sering,
karena secara disadari atau tidak mereka menggaruk dirinya sendiri secara kasar. Selain
pruritus menyeluruh, pruritus setempat juga dapat terjadi misalnya pruritus ani dan vulva.

d. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit kulit kronik dan kambuhan, dengan lesi
yang ditandai oleh sisik berwarna keperakan dengan eritema homogen yang berkilatan di
bawah sisik. Sulit untuk mengendalikan efek merugikan psoriasis pada kualitas hidup. Hal
ini dapat menimbulkan stres yang pada gilirannya akan memicu lebih banyak psoriasis.
Pasien sering menggambarkan stres oleh karena penyakit akibat kecacatan kosmetik dan
stigma sosial pada psoriasis, bukannya peristiwa kehidupan utama yang menimbulkan stres.
Stres karena psoriasis dapat lebih berhubungan dengan kesulitan psikososial yang ada di
dalam hubungan interpersonal pasien dengan psoriasis daripada dengan keparahan atau ke-
kronisan aktivitas psoriasis.

Studi terkontrol menemukan bahwa pasien psoriatik memiliki tingkat depresi dan
ansietas yang tinggi dan serta komorbiditas yang signifikan dengan serangkaian gangguan
kepribadian, termasuk skizoid, menghindar, pasif-agresif, dan gangguan kepribadian
obsesif-kompulsif. Laporan pasien mengenai keparahan psoriasis berhubungan langsung
dengan depresi dan gagasan bunuh did, serta depresi komorbid menurunkan ambang untuk
pruritus pada pasien psoriasis. Konsumsi alkohol berat (lebih dari 80 gram etanol setiap
hari) oleh pasien psoriasis laki-laki dapat meramalkan adanya hasil terapi yang buruk.

e. Ekskoriasi Psikogenik
Ekskoriasi psikogenik (juga disebut pruritus psikogenik) adalah lesi yang
disebabkan oleh menggaruk atau mencubit sebagai respons terhadap gatal atau sensai kulit
lainnya atau karena dorongan untuk menghilangkan kelainan kulit akjbat dermatosis yang
telah ada sebelumnya, seperti jerawat. Lesi secara khas ditemukan di daerah yang dapat
dicapai oleh pasien dengan mudah (cth., wajah, punggung atas, dan ekstremitas atas serta
bawah) dan diametemya beberapa milimeter serta mengeluarkan cairan, berkrusta, atau

20
berjaringan ikat, dengan kadang-kadang hipopigmentasi atau hiperpigmentasi
pascaperadangan. Perilaku di dalam ekskoriasi psikogenik kadang-kadang menyerupai
gangguan obsesif-kompulsif berupa tindakan berulang, ritualistik, dan mengurangi
tegangan, serta upaya pasien (sering tidak berhasil) untuk melawan ekskoriasi.

2.4.8 Sistem Neurologis

Sakit kepala adalah gejala neurologis yang paling lazim dan merupakan salah satu
keluhan medik yang paling lazim ditemui. Setiap tahun, kira-kira 80 persen populasi
menderita sedikitnya satu kali sakit kepala dan 10 hingga 20 persen pergi ke dokter dengan
sakit kepala sebagai keluhan utama. Sakit kepala juga merupakan penyebab utama absen
dari kerja dan penghindaran aktivitas sosial serta pribadi.

Sebagian besar sakit kepala bukan disebabkan oleh penyakit organik yang
signifikan; banyak orang rentan terhadap sakit kepala pada sail stres emosi. Lebih jauh lagi,
pada banyak gangguan psikiatri, termasuk gangguan ansietas dan depresif, sakit kepala
sering menjadi gejala yang menonjol. Pasien dengan sakit kepala sering dirujuk ke psikiater
oleh dokter umum dan neurologis setelah pemeriksaan biomedis yang ekstensif, yang
sering meliputi MRI kepala. Sebagian besar pemeriksaan untuk keluhan sakit kepala umum
memberikan hasil negatif, dan hasil demikian dapat membuat frustrasi bagi pasien serta
dokter. Dokter yang tidak benar-benar mengetahui kedokteran psikologis dapat berupaya
menenangkan pasien tersebut dengan mengatakan pada mereka bahwa tidak ada penyakit.
Tetapi penenangan mereka dapat memiliki efek sebaliknya—dapat meningkatkan ansietas
pasien dan bahkan meningkat menjadi perdebatan mengenai apakah nyeri tersebut
sesungguhnya atau hanya khayalan. Stres psikologik biasanya memperburuk sakit kepala,
walaupun penyebab primer yang mendasarinya adalah fisik atau psikologis.

a. Migrain (Vaskular) dan Cluster Headaches


Sakit kepala migrain (vaskular) adalah gangguan paroksismal yang ditandai dengan
sakit kepala unilateral berulang, dengan atau tanpa gangguan visual dan gastrointestinal
(cth., mual, muntah, dan fotofobia) terkait. Sakit kepala ini mungkin disebabkan oleh
gangguan fungsi sirkulasi kranial. Migrain dapat dicetuskan oleh estrogen, yang dapat

21
menjadi penyebab prevalensi yang tinggi pada perempuan. Stres juga merupakan pencetus,
dan banyak orang dengan migrain bersifat terlalu terkontrol, perfeksionis, dan tidak dapat
mengekspresikan kemarahan. Cluster headache dikaitkan dengan migrain, gangguan ini
unilateral, terjadi sampai delapan kali dalam sehari, dan disertai miosis, ptosis, serta
diaforesis.

b. Tension (Muscle Contraction) Headache


Stres emosional sering disertai dengan kontraksi lama pada otot leher dan kepala,
yang selama beberapa jam dapat menyempitkan pembuluh darah dan mengakibatkan
iskemia. Nyeri tumpul, kadang-kadang merasa seperti ikatan yang mengencang, sering
dimulai pada suboksipital dan dapat menyebar di seluruh kepala. Kulit kepala dapat nyeri
bila disentuh, dan sebaliknya dengan migrain, sakit kepala ini biasanya bilateral dan tidak
disertai dengan prodromata, mual, atau muntah. Tension headache dapat bersifat episodik
atau kronis dan perlu dibedakan dengan sakit kepala migrain, terutama dengan atau tanpa
aura.

Tension headache sering dikaitkan dengan ansietas dan depresi dan dapat terjadi pada kira-
kira 80 persen orang selama periode stres emosional. Kepribadian yang tegang, lekas
gugup, dan kompetitif terutama rentan terhadap gangguan irii. Pada keadaan awal, orang
tersebut dapat diterapi dengan agen antiansietas, relaksan otot, dan pijat atau pemberian
panas di kepala dan leher; antidepresan dapat diresepkan jika ada depresi yang mendasari.
Psikoterapi merupakan terapi yang efektif bagi orang yang mengalami tension headache
kronis. Belajar menghindari atau menghadapi tegangan dengan lebih baik adalah
pendekatan pengelolaan jangka panjang yang paling efektif. Biofeedback dengan
menggunakan feedback elektromiogram (EMG) dari otot frontal ke temporal dapat
membantu beberapa pasien. Latihan relaksasi dan meditasi juga bermanfaat bagi beberapa
pasien.

2.4.9 Psikonkologi

Psiko-onkologi ingin mempelajari dampak kanker pada fungsi psikologis dan


peranan variabel psikologis serta perilaku pada risiko dan ketahanan kanker. Tonggak riset

22
psiko-onkologi adalah studi intervensi yang berupaya untuk memengaruhi perjalanan
penyakit pada pasien dengan kanker. Studi penting oleh David Spiegel menemukan bahwa
perempuan dengan kanker payudara metastatik yang menerima psikoterapi kelompok
mingguan bertahan rata-rata 18 bulan lebih lama daripada pasien kontrol secara acak yang
diberikan perawatan rutin. Sementara studi ini membutuhkan replikasi, tidak terdapat
keraguan bahwa bahkan jika ketahanan hidup tidak bertambah, kualitas hidup menjadi
meningkat. Pada studi lain, pasien dengan melanoma maligna yang menerima intervensi
kelompok terstruktur menunjukkan kekambuhan kanker lebih rendah yang secara statistik
bermakna serta angka kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang tidak
mendapatkan terapi tersebut. Pasien melanoma maligna yang menerima, intervensi
kelompok juga menunjukkan sel limfosit granular dan natural killer (NK) yang lebih
banyak, juga indikasi meningkatnya aktivitas sel NK, yang mengesankan adanya
peningkatan respons imun. Studi lain menggunakan intervensi perilaku kelompok
(relaksasi, guided imagery, dan pelatihan biofeedback) untuk pasien dengan kanker
payudara, yang menunjukkan aktivitas sel NK serta respons mitogen limfosit yang lebih
tinggi daripada kontrol.

Karena protokol terapi baru pada banyak kasus memiliki kanker yang mengalami
transformasi dari yang tidak dapat disembuhkan menjadi sering kronis dan sering menjadi
penyakit yang dapat disembuhkan, aspek psikiatrik kanker—reaksi pada diagnosis maupun
terapi—semakin penting. Sedikitnya separuh dari satu juta orang dengan kanker di Amerika
Serikat pada tahun 1987 masih hidup lima tahun kemudian. Baru-baru ini, perkiraan 3 juta
orang yang bertahan dari kanker tidak memiliki bukti adanya penyakit ini.

Kira-kira setengah dari semua pasien kanker memiliki gangguan jiwa. Kelompok
terbesar adalah mereka dengan gangguan penyesuaian (68 persen), dan gangguan depresif
berat (13 persen) serta delirium (8 persen) adalah diagnosis berikutnya yang paling sering.

Ketika seseorang mengetahui bahwa ia memiliki kanker, reaksi psikologisnya


mencakup rasa takut mati, cacat, dan ketidakmampuan; rasa takut diabaikan dan hilangnya
kemandirian; rasa takut akan gangguan hubungan, fungsi peran, dan kedudukan keuangan;

23
serta penyangkalan, ansietas, kemarahan, serta rasa bersalah. Meskipun pikiran dan
keinginan bunuh diri sering ada pada orang dengan kanker, insiden bunuh diri yang
sebenarnya hanya sedikit lebih tinggi dari populasi umum. Psikiater harus membuat
pengkajian yang teliti mengenai masalah medis dan psikiatrik pada setiap pasien. Perhatian
khusus harus diberikan pada faktor keluarga, khususnya, konflik di dalam keluarga yang
sebelumnya telah ada, pengabaian keluarga, dan kelelahan keluarga.

2.5 DIAGNOSIS

24
D a l a m
J
-

III, gangguan yang dideskripsikan sebagai psikosomatik pada klasifikasi lain dapat
ditemukan adalah F45.- (gangguan somatoform), F50.- (gangguan makan), F52.- (disfungsi
seksual), F54.- (faktor psikologis atau perilaku yang berhubungan dengan gangguan atau
penyakit YDK). Hal khusus yang penting untuk diperhatikan adalah kategori F54.-
(kategori 316 dalam ICD-9) dan mengingat agar menggunakannya untuk menyatakan
adanya hubungan antara gangguan fisik, yang diberi kode di tempat lain dalam ICD-10,
dengan penyebab emosional. Contoh penggunaan kategori ini, antara lain : asma (F54 plus
J45.-), dermatitis dan ekzema (F54 plus L23-L25), tukak lambung (F54 plus K25.-), kolitis
mukosa (F54 plus K58.-), kolitis ulserosa (F54 plus K51.-), dan urtikaria (F54 plus L50.-).

2.6 PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi adalah kesembuhan, maksudnya adalah resolusi gangguan,


reorganisasi gangguan, rerganisasi kepribadian, adaptasi yang lebih matang, meningkatkan
kapasitas fisik dan okupasi serta proses penyembuhan, perbaikan penyakit, mengurangi
secondary gain terhadap kondisi medisnya, serta menjadi patuh dengan pengobatan.

2.6.1 Aspek Psikiatrik

25
Terapi gangguan psikosomatik dari pandangan psikiatrik merupakan suatu tugas
yang sulit. Psikiater harus memusatkan terapi pada pemahaman motivasi dan mekanisme
fungsi yang terganggu serta membantu pasien menyadari sifat penyakit mereka serta kaitan
pola adaptif yang merugikan tersebut. Tilikan ini harus menghasilkan pola perilaku yang
berubah dan lebih sehat.

Pasien dengan gangguan psikosomatik biasanya lebih enggan menghadapi masalah


emosional daripada pasien dengan masalah psikiatrik lain. Pasien psikosomatik mencoba
menghindari tanggung jawab untuk penyakitnya dengan mengisolasi organ yang sakit serta
datang ke dokter untuk didiagnosis dan disembuhkan. Mereka mungkin memuaskan
kebutuhan infantil untuk dirawat secara pasif, sambil menyangkal kalau mereka dewasa,
dengan semua stres dan konflik yang ada.

2.6.2 Aspek Medis

Terapi internis gangguan psikosomatik harus mengikuti peraturan


pengelolaan medis yang telah ditegakkan. Umumnya, internis harus menghabiskan
sebanyak mungkin waktu dengan pasien dan mendengarkan banyak keluhan dengan
simpatik; mereka harus bersikap menenangkan dan suportif. Sebelum melakukan prosedur
yang memanipulasi fisik—terutama jika menyakitkan, seperti kolonoskopi—internis harus
menjelaskan pada pasien apa yang akan dihadapi. Penjelasan akan menghilangkan ansietas
pasien, membuat pasien lebih kooperatif, dan akhirnya memudah kan pemeriksaan.

Sikap pasien terhadap minum obat juga dapat memengaruhi hasil terapi
psikosomatik. Contohnya, pasien dengan diabetes yang tidak menerima penyakitnya dan
memiliki impuls merusak diri yang tidak mereka sadari dapat dengan sengaja tidak
mengendalikan diet mereka, akibatnya akan mengalami koma hiperglikemik. Pasien lain
menggunakan penyakit mereka sebagai hukuman untuk rasa bersalah atau sebagai cara
untuk menghindari tanggung jawab. Terapi pada kasus seperti ini hams berusaha membantu
pasien meminimalkan rasa takut mereka dan berfokus pada perawatan diri sendiri serta
pembentukan kembali citra tubuh yang sehat.

26
2.6.3 Perubahan Perilaku

Peran penting psikiater dan dokter lain yang bekerja dengan pasien psikosomatik
adalah memobilisasi pasien untuk mengubah perilaku dengan cara yang mengoptimalkan
proses penyembuhan. Hal ini memerlukan perubahan umum gaya hidup (cth., berlibur) atau
perubahan perilaku spesifik (cth., berhenti merokok). Terjadi atau tidaknya ini bergantung
pada ukuran besar kualitas hubungan antara dokter dan pasien. Kegagalan dokter
menciptakart rapport yang baik menyebabkan ketidakefektivan untuk membuat pasien
berubah.

Rapport adalah perasaan disadari dan spontan mengenai responsivitas yang


harmonis antara pasien dan dokter. Rapport mengesankan pengertian dan kepercayaan di
antara keduanya. Dengan rapport, pasien merasa diterima, meskipun mereka dapat berpikir
aset mereka melebihi kewajiban mereka. Yang sering, dokter adalah orang yang dapat
diajak bicara oleh pasien mengenai hal-hal yang tidak dapat ia bicarakan dengan orang lain.
Sebagian besar pasien merasa bahwa mereka dapat percaya pada dokter, terutama psikiater
untuk menyimpan rahasia. Kepercayaan ini tidak boleh dikhianati. Perasaan yang diketahui,
dimengerti seseorang, dan menerimanya adalah sumber kekuatan yang dapat
memungkinkan pasien memulai perilaku yang sehat, seperti mengikuti Alcoholics
Anonymous (AA) atau mengubah kebiasaan makan.

2.6.4 Jenis Terapi Lain

Psikoterapi Kelompok dan Terapi Keluarga. Pendekatan kelompok memberikan


kontak interpersonal dengan orang lain yang menderita penyakit yang sama dan
memberikan dukungan untuk pasien yang takut akan ancaman isolasi dan pengabaian.
Terapi keluarga memberikan harapan perubahan hubungan antar anggota keluarga yang
sering mengalami stres dan bersikap bermusuhan pada anggota keluarga yang sakit.

Teknik Relaksasi. Edmund Jacobson pada tahun 1983 mengembangkan suatu


metode yang dinamakan relaksasi otot progresif untuk mengajarkan relaksasi tanpa
menggunakan instrumentasi seperti yang digunakan di dalam biofeedback. Pasien diajari

27
untuk merelaksasikan kelompok otot seperti yang terlibat di dalam "tension headache".
Ketika mereka menghadapi dan menyadari situasi yang menyebabkan tegangan pada otot
mereka, pasien dilatih untuk relaksasi. Metode ini adalah suatu tipe desensitisasi sistematik
—suatu tipe terapi perilaku

Herbert Benson pada tahun 1975 menggunakan konsep yang dikembangkan dari
meditasi transcendental, di sini pasien dipertahankan pada perilaku yang lebih pasif,
memungkinkan relaksasi terjadi dengan sendirinya. Benson menciptakan tekniknya dari
berbagai praktik dan agama Timur, seperti yoga. Semua teknik ini memiliki kesamaan
posisi nyaman, lingkungan yang damai, pendekatan pasif, dan citra mental yang
menyenangkan tempat seseorang dapat berkonsentrasi

Hipnosis. Hipnosis efektif untuk menghentikan merokok dan menguatkan


perubahan diet. Hipnosis digunakan dalam kombinasi dengan perumpamaan yang tidak
disukai (cth., rokok terasa menjijikkan). Beberapa pasien menunjukkan angka relaps yang
cukup tinggi dan dapat memerlukan pengulangan program terapi hipnotik (biasanya tiga
hingga empat sesi).

Biofeedback. Neal Miller pada tahun 1969 mempublikasikan tulisan pelopornya


"Learning of Visceral and Glandular Response", yang melaporkan bahwa pada hewan,
berbagai respons viseral yang diatur oleh sistem saraf otonom involuntar dapat dimodifikasi
dengan pencapaian pembelajaran melalui operant conditioning yang dilakukan di
laboratorium. Hal ini membuat manusia mampu mempelajari cara mengendalikan respons
fisiologis involuntar tertentu (disebut biofeedback), seperti vasokonstriksi pembuluh darah,
irama jantung, dan denyut jantung. Perubahan fisiologis ini tampak memainkan peranan
yang bermakna di dalam perkembangan dan terapi atau penyembuhan gangguan
psikosomatik tertentu. Studi seperti itu, faktanya, mengonfirmasi bahwa pembelajaran yang
disadari dapat mengendalikan denyut jantung dan tekanan sistolik pada manusia.

Biofeedback dan teknik-teknik terkait telah berguna pada tension headache, sakit
kepala migrain, dan penyakit Raynaud. Meskipun teknik biofeedback awalnya memberikan

28
hasil yang menyokong di dalam menerapi hipertensi esensial, terapi relaksasi telah
menghasilkan efek jangka-panjang yang lebih signifikan daripada biofeedback.

Acupressure dan Akupuntur. Acupressure dan akupuntur adalah teknik


penyembuhan Cina yang disebutkan di dalam teks medis kuno pada tahun 3000 SM.
Keyakinan dasar pengobatan Cina adalah keyakinan bahwa energi vital (qi atau chi)
mengalir sepanjang jalur khusus (meridian), kira-kira memiliki 350 titik (acupoints), yang
manipulasinya memperbaiki ketidakseimbangan dengan merangsang atau membuang
hambatan terhadap aliran energi. Konsep fundamental lainnya adalah gagasan mengenai
dua medan energi yang berlawanan (yin dan yang), yang harus seimbang untuk memper-
tahankan kesehatan. Di dalam acupressure, acupoints dimanipulasi dengan jari; di dalam
akupuntur, jarum perak atau emas yang steril (berdiameter rambut manusia) dimasukkan ke
dalam kulit dengan kedalaman yang bervariasi (0,5 mm hingga 1,5 cm) dan diputar atau
ditinggalkan di tempatnya selama berbagai periode waktu untuk memperbaiki setiap
ketidakseimbangan qi. Teknik akupuntur telah digunakan pada hampir semua gangguan
yang disebutkan di bagian ini dengan hasil yang beragam.

2.6.5 Terapi Spesifik

Sistem kardiovaskular. Pada penyakit arteri koroner, untuk menghilangkan


ketegangan psikis yang berhubungan dengan penyakit, klinisi menggunakan obat
psikotropika, contohnya diazepam. Terapi yang digunakan untuk membantu melindungi
terhadap aritmia akibat emosi adalah psikotropika dan obat penghambat Beta seperti
propanolol. Pengobatan psikofarmaka ditujukan bila terdapat gejala yang menonjol pada
penyakit jantung psikogenik. Obat antiansietas dapat digunakan bila kecemasan yang
timbul berat. Derivat benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan sedasi, menghilangkan
rasa cemas, dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan rasa cemas.

Sebagai antiansietas, klordiazepoksid dapat diberikan secara oral atau bila sangat
diperlukan, suntikan dapat diulang 2-4 jam dengan dosis 25-100 mg sehari dalam 2 atau 4
pemberian. Dosis diazepam adalah 2-20 mg sehari; pemberian suntikan dapat diulang tiap
3-4 jam. Klorazepam diberikan secara oral 30 mg sehari dalam dosis terbagi.

29
Klordiazepoksid tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg. Diazepam berbentuk tablet 2 dan 5
mg. Diazepam tersedia sebagai larutan untuk pemberian rektal pada anak dengan kejang
demam.

Terapi medis harus suportif dan menentramkan, dengan suatu penekanan psikologis
untuk menghilangkan stres psikis, kompulsivitas dan ketegangan. Psikoterapi supotif dan
dan teknik perilaku (biofeedback, meditasi, terapi relaksasi) telah dilaporkan berguna dalam
pengobatan.

Sistem Pernapasan. Pasien asmatik harus diterapi dengan melibatkan berbagai


disiplin ilmu antara lain menghilangkan stres, penyesuaian diri, menghilangkan alergi serta
mengatur kerja sistem saraf vegetatif dengan obat-obatan. Pada penderita tuberkulosis,
faktor psikologis mempengaruhi sistem kekebalan dan mungkin mempengaruhi daya tahan
pasien terhadap penyakit. Psikoterapi suportif adalah berguna karena peranan stres dan
situasi psikososial yang rumit.

Sistem gastrointestinal. Pada penyakit Crohn terapi mencakup penggunaan agen


antibiotik, obat imunosupresan, dan kortikosteroid. Penggunaan obat psikotropika umum
dalam pengobatan berbagai gangguan GI. Pengobatan pada pasien dengan penyakit GI
dipersulit oleh gangguan motilitas lambung dan penyerapan, dan metabolisme berkaitan
dengan gangguan GI yang mendasarinya. Efek GI pada obat psikotropika dapat digunakan
untuk efek terapi dengan gangguan GI fungsional. Sebuah contoh dari efek samping
menguntungkan dari penggunaan TCA untuk mengurangi motilitas lambung pada IBS
dengan diare. Psikotropika efek samping GI, bagaimanapun, dapat memperburuk gangguan
GI. Sebuah contoh dari efek samping potensial yang merugikan akan meresepkan sebuah
TCA untuk mengobati pasien depresi dengan refluks gastroesophageal.

Terapi obat psikotropika yang rumit oleh penyakit hati akut dan kronis. Sebagian
besar agen psikotropika dimetabolisme oleh hati. Banyak dari agen dapat dikaitkan dengan
hepatotoksisitas. Ketika perubahan akut pada tes fungsi hati terjadi dengan TCA,
carbamazepine, atau antipsikotik, mungkin perlu untuk menghentikan obat. Selama periode
penghentian, lorazepam atau lithium dapat digunakan, karena mereka diekskresikan oleh

30
ginjal. Terapi electroconvulsive (ECT) juga dapat digunakan pada pasien dengan penyakit
hati, meskipun ahli anestesi perlu hati-hati memilih agen anestesi dengan risiko minimal
untuk hepatotoksisitas.

Psikoterapi bisa menjadi komponen kunci dalam pendekatan melangkah perawatan


untuk pengobatan IBS dan gangguan GI fungsional. Beberapa model yang berbeda dari
psikoterapi telah digunakan. Ini termasuk jangka pendek, berorientasi dinamis, psikoterapi
individu, psikoterapi suportif, hipnoterapi, teknik relaksasi, dan terapi kognitif.

Sistem neurologis. Migrain dan cluster headache paling baik diterapi selama
periode prodromal dengan ergotamine tartrate (Cafergot) dan analgesik. Pemberian
propranolol atau verapamil (Isoptin) profilaktik berguna jika sakit kepala sering terjadi.
Sumatriptan (Imitrex) diindikasikan untuk terapi jangka pendek migrain dan dapat
menghentikan serangan. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) juga berguna untuk
profilaksis. Psikoterapi untuk menghilangkan efek konflik dan stres serta teknik perilaku
tertentu (cth., biofeedback) telah dilaporkan berguna.

2.6.6 Psikofarmaka

Terapi penyakit psikosomatik pada dasarnya harus dilakukan dengan beberapa cara.
Komponen-komponen yang harus dibedakan, ialah:
1. Terapi somatik
Hanya bersifat somanya saja dan pengobatan ini bersifat simtomatik.
2. Psikoterapi dan sosioterapi
Pengobatan dengan memperhatikan faktor psikisnya atau kepribadian secara
keseluruhan.
3. Psikofarmakoterapi
Pengobatan psikosomatik dengan menggunakan obat-obat psikotrop yang bekerja
pada sistem saraf sentral. Tiga golongan senyawa psikofarmaka:
1. obat tidur (hipnotik)
2. obat penenang minor
3. obat penenang mayor (neuroleptik)

31
4. antidepresan.
Efek samping yang timbul dari penggunaan obat-obat psikofarmaka:
a) Mudah terjadi ketergantungan psikologis dan fisis, mungkin terjadi ketergantungan
obat.
b) Depresi atau kehilangan sifat menahan diri dapat terjadi, yang akhirnya dapat
menimbulkan kekacauan pikir.
c) Semua depresan sistem saraf sentral merupakan kontraindikasi pada payah paru
(asma, emfisema, dispnea oleh sebab-sebab lain).
d) Gangguan psikomotorik
e) Lekas marah, kegelisahan dan anksietas serinng terjadi bila obat dihentikan.
Hipnotik sebaiknya diberikan dalam jangka waktu pendek, 2-4 minggu cukup,
walaupun sering timbul insomnia pantulan (rebound), bila pengobatan dihentikan. Oleh
karena itu obat diberikan hanya beberapa malam saja tiap minggu. Yang dianjurkan
senyawa-senyawa benzodiazepin berkhasiat pendek, yaitu:
- Nitrozepam (Dumolid, Mogadon)
- Flurazepam (Dalmadorm)
- Triazolam (Halcion)
Pada insomnia dengan kegelisahan (ansietas), digunakan senyawa-senyawa fenotiazin,
yaitu:
- Tioridazin (Melleril)
- Prometazin (Phenergan).

Obat Penenang Minor. Diazepam (valium) digunakan untuk ansietas, agitasi,


spasme otot, delirium tremens hingga pada epilepsy. Pengobatan dengan benzodiazepin
hanya diberikan pada ansietas hebat, dan maksimal 2 bulan sebelum dicoba dihentikan.
Karena berakumulasinya benzodiazepin berkhasiat panjang, hingga khasiat obat berkurang.
Obat Penenang Mayor. Kegagalan fungsi otak menimbulkan gangguan-gangguan
kelakuan berupa rasa takut, penderitaan batin, atau menimbulkan kegelisahan, keluyuran,
kegaduhan, agresi hingga kekerasan karena halusinasi dan khayalan. Hal ini bisa diatasi
dengan menggunakan sedatif walaupun pemberian sedatif tidak dianjurkan karena sering

32
timbul imobilitas. Yang paling sering digunakan ialah senyawa fenotiazin dan butirofenon,
antara lain Klorpromazin (Largactil), Tioridazin (Melleril), dan Haloperidol (Serenace,
Haldol).
Gejala-gejala psikosomatik sering ditemukan pada depresi. Depresi sering
merupakan komplikasi penyakit fisis. Yang dianjurkan ialah senyawa-senyawa trisiklik dan
tetrasiklik, yaitu Amitriptilin (Laroxyl), Imipramin (Tofranil), Mianserin (Tolvon), dan
Maprotilin (Ludiomil).
Golongan benzodiazepin umumnya bermanfaat pada gangguan ansietas, yaitu pada
ansietas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder - GAD) obat pilihannya ialah
Buspiron. Pada ansietas panik, obat pilihannya ialah alprazolam namun ada beberapa
penelitian anksietas panik dapat diobati dengan antidepresan golongan SSRI (Selective
Serotonin Re-uptake Inhibitor).
Obsessive Compulsive Disorder (OCD) ialah varian gangguan cemas namun obat
yang efektif untuk gangguan ini adalah golongan antidepresan misalnya Klomipramin
maupun golongan SSRI seperti Sertralin, Paroksetin, Fluoksetin, dan sebagainya.11
Fobia juga varian gangguan cemas dan berespons baik pada pengobatan
antidepresan. Misalnya fobia sosial membaik dengan pemberian Moklobemid (golongan
RIMA-Reversible Inhibitory Monoamine Oksidase type A). Gangguan campuran ansietas-
depresi juga memberikan perbaikan dengan obat-obat antidepresan. Beberapa obat
antidepresan yang baru seperti telah disebut di atas antara lain:
- Golongan SSRI : sertralin, paroksetin, fluoksetin, fluvoksamin
- Golongan RIMA : moklobemid
- Tianeptine

Penggunaan psikofarmaka hendaknya bersama-sama dengan psikoterapi yang efektif


sehingga hasilnya akan lebih baik.

33
BAB III

PENUTUP

Psikosomatik, berdasarkan DSM-IV-TR, merupakan faktor psikologis yang


memengaruhi keadaan medis sebagai satu atau lebih masalah psikologis atau perilaku yang
memiliki pengaruh dengan cara menghambat dan bermakna terhadap perjalanan dan hasil
keadaan medis umum, atau yang meningkatkan risiko seseorang secara signifikan untuk
memperoleh hasil yang merugikan. Proses psikosomatik berawal dari emosi yang terdapat
di otak dan disalurkan melalui susunan saraf otonom vegetatif ke alat-alat viseral yang
banyak dipersarafi oleh saraf-saraf otonom vegetatif, seperti kardiovaskular, traktus
digestivus, respiratorius, sistem endokrin dan traktus urogenital. Stres akan merubah
neurotransmiter, respon imun dan endokrin yang akan mempengaruhi saraf-saraf otonom
vegetatif dan menimbulkan gangguan spesifik pada alat-alat viseral. Manifestasi klinis dari
gangguan psikosomatis terdiri dari suatu kondisi medis umum dan faktor psikologis yang
merugikan mempengaruhi kondisi medis umum. Terapi tidak hanya ditujukan kepada
penyakit, tetapi gangguan psikologis yang diderita. Pemahaman motivasi, membantu pasien
menyadari sifat penyakit dan mobilisasi pasien untuk mengubah perilaku dapat
mengoptimalkan proses penyembuhan pasien.

34
Daftar Pustaka

1. Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press;
2004.h.339-71

2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock: buku ajar psikiatri klinis. Edisi ke-2.
Jakarta: EGC; 2010.h.387-97.

3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins;
2007.h.814-28.

4. Budihalim S, Sukatman D. Buku ajar ilmu penyakit dalam : Psikosomatis. Jilid II.
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.h.591-2.

5. Lestari, Wiradinata I, Alfian M. Gangguan psikosomatis dan penatalaksanaannya.


Diunduh
darihttp://www.ziddu.com/download/9082971/A17_Gangguan_Psikosomatis_Penat
alaksanan.pdf.html. 23 Desember 2017

6. Arsyad Z, Syahbuddin S. Buju ajar ilmu penyakit dalam: Aspek psikosomatis


obesitas. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006.h.657-8.

7. Chuang L. Mental disorders secondary to general medical conditions. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/294131-overview#aw2aab6b3. 23 desember
2017

8. Htay TT. Premenstrual dysphoric disorder. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/293257-overview#a0101. 23 desember 2017

9. Noorhana SW. Buku ajar psikiatri: Faktor psikologik yang mempengaruhi kondisi
medis (d/h gangguan psikosomatik). Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h.287-64.

10. Arozal W., Gan S. Psikotropik. Dalam: Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008.h.
169-71.
11. Budihalim S, Sukatman D, Mudjadid E. Psikofarmaka dan psikosomatik. Diunduh
dari http://www.energibiosel.org/psikosomatik.html. 23 desember 2017

Anda mungkin juga menyukai