Anda di halaman 1dari 32

Konsensus Pedoman Tatalaksana Empiema oleh

The American Association For Thoracic Surgery (AATS)

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan pedoman berbasis bukti (evidence-based


guidelines) pengelolaan empiema oleh The American Association for Thoracic Surgery (AATS).

METODE PENINJAUAN

Komite Pedoman AATS memilih manajemen empiema sebagai topik yang sesuai untuk
pembuatan pedoman klinis, dan ketua (K.Robert Shen, MD, dan Benjamin Kozower, MD, ahli
bedah toraks) ditunjuk dan diminta untuk membentuk Kelompok Kerja Pedoman Pengelolaan
Empiema yang akan membuat pedoman pengelolaan empiema untuk Komite Pedoman AATS
sebelum April 2015. Ketua mengumpulkan kelompok ahli multidisiplin termasuk 5 ahli bedah
toraks, 1 ahli radiologi intervensi, 1 spesialis penyakit menular, dan 1 ahli paru intervensi.
Anggota ditugaskan untuk melakukan pencarian literatur yang komprehensif dan membuat
rekomendasi berdasarkan tinjauan literatur. Anggota juga menilai kualitas bukti yang
mendukung rekomendasi dan menilai profil manfaat-risiko untuk setiap rekomendasi. Tingkat
bukti (LOE) dinilai oleh panel sesuai dengan standar yang diterbitkan oleh Institute of Medicine
(IOM; Gambar 1). Untuk pengembangan pedoman, kami merujuk rekomendasi Pedoman Praktik
Klinik IOM 2011: Standar untuk. Mengembangkan pedoman praktik klinik yang dapat dipercaya
(www.iom.edu/cpgstandards)1 dan mengikuti rekomendasi IOM tanpa keterlibatan pasien.

Tiga telekonferensi terjadwal digunakan untuk menyusun topik yang akan dicakup dan
meninjau ringkasan tinjauan pustaka dan rekomendasi yang diusulkan. Semua pertemuan telah
diagendakan sebelumnya dan berita acara diedarkan. Semua panggilan konferensi direkam oleh
staf AATS untuk meningkatkan transkripsi catatan. Sebuah konferensi tatap muka selama 1 hari
kemudian diadakan untuk secara resmi melakukan pemungutan suara pada rekomendasi akhir
untuk disampaikan kepada Anggota Dewan AATS dan meninjau naskah akhir. Semua
rekomendasi tunduk pada pemungutan suara. Penerimaan dokumen akhir membutuhkan
persetujuan lebih dari 75% dari setiap rekomendasi.

1
Rekomendasi berikut ini didasarkan pada bukti terbaik yang tersedia. Jika bukti
berkualitas tinggi kurang, kami menyajikan pendapat ahli terbaik berdasarkan praktik terbaik.
Ringkasan eksekutif dari rekomendasi ini disiapkan untuk publikasi pada The Journal of
Thoracic & Cardiovascular Surgery. Pedoman yang lebih ekstensif disiapkan untuk publikasi
secara online dengan data tambahan dan daftar referensi yang lengkap.

PENDAHULUAN

Empiema thoracis, dari bahasa Yunani, didefinisikan sebagai ''nanah di dada.'' Penyebab
empiema yang paling umum adalah pneumonia bakterialis dan efusi parapneumonia. Penyebab
empiema lainnya antara lain karsinoma bronkogenik, ruptur esofagus, trauma tumpul dada atau
trauma tusuk, mediastinitis dengan ekstensi ke pleura, kista kongenital pada jalan napas dan
esofagus yang terinfeksi, ekstensi dari sumber di bawah diafragma, infeksi tulang belakang leher
dan toraks, serta pasca operasi. Empiema adalah penyakit kuno yang terus menjadi masalah
klinis penting. Meskipun penggunaan antibiotik secara luas dan vaksin pneumokokus tersedia,
empiema tetap menjadi komplikasi pneumonia yang paling umum dan penyebab penting
morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Ada sekitar 1 juta pasien dirawat di rumah sakit di
Amerika Serikat setiap tahun dengan pneumonia. Dari mereka yang dirawat di rumah sakit 20%
hingga 40% mengalami efusi parapneumonia, dan 5% hingga 10% dari efusi parapneumonia ini
berkembang menjadi empiema (sekitar 32.000 pasien per tahun di Amerika Serikat).2 Sekitar 15%
dari pasien meninggal, dan 30 % membutuhkan drainase rongga pleura.3,4

Insiden empiema berkurang secara signifikan selama awal abad ke-20.5 Pada era
preantibiotik, empiema merupakan komplikasi dari 5% kasus pneumonia, tetapi dengan
perkembangan dan penggunaan antibiotik secara luas pada tahun 1940-an, tingkat empiema
turun menjadi 2%6; Namun, tren ini berubah pada tahun 1990-an, dan kejadian empiema di
Amerika Serikat terus meningkat.

PRESENTASI KLINIS

Rekomendasi

1. Kelas I: Efusi pleura harus diselidiki pada semua pasien yang datang dengan tanda dan gejala
pneumonia atau sepsis yang tidak dapat dijelaskan (LOE B).

2
2. Kelas I: Kegagalan pengobatan pneumonia komunitas (CAP) atau nosokomial (HAP)
berespons terhadap terapi antibiotik yang tepat secara klinis harus segera diselidiki untuk
mengidentifikasi adanya efusi pleura (LOE B).

Penjelasan. Analisis cairan pleura bersifat wajib karena presentasi klinis pasien dengan
komplikasi efusi parapneumonik dan pasien dengan efusi sederhana tidak berbeda. Dalam uji
coba terkontrol acak, median durasi gejala sebelum presentasi adalah 2 minggu. 7 Infeksi
anaerobik rongga pleura dapat muncul secara tersembunyi dengan tampilan hilangnya nafsu
makan dan penurunan berat badan yang signifikan, dan lebih berisiko terjadi pada pasien dengan
kebersihan gigi yang buruk dan berisiko aspirasi.8-11

Faktor risiko munculnya komplikasi efusi parapneumonik dan empiema pada pasien yang
dirawat karena pneumonia komunitas (CAP) antara lain riwayat penggunaan alkohol atau obat
suntik.12 Kegagalan respon klinis terhadap terapi antibiotik yang sesuai menunjukkan telah
terjadinya infeksi rongga pleura.

PENCITRAAN

Rekomendasi

1. Kelas I: USG pleura (US) dan rontgen dada konvensional (CXR) harus rutin dilakukan dalam
evaluasi infeksi rongga pleura, sebagai modal diagnostik maupun panduan untuk intervensi
pleura (LOE B).

2. Kelas IIa: Computed tomography (CT) dada harus dilakukan jika diduga ada infeksi rongga
pleura (LOE B).

Penjelasan

Rontgen dada. Rontgen dada konvensional merupakan modalitas pencitraan yang paling banyak
tersedia untuk identifikasi infeksi rongga pleura. Diperlukan minimal 175 mL cairan pleura
untuk menumpulkan sudut kostofrenikus pada foto posteroanterior, namun efusi yang lebih kecil
dapat diidentifikasi pada foto lateral. 13 Efusi yang lebih kecil dan terlokalisasi dapat tampak
sebagai gambaran opak berbentuk lentikular pada pleura, yang terlihat pada foto posteroanterior
tetapi mungkin sulit dibedakan dari konsolidasi parenkim. Ilmu yang terdahulu menyarankan

3
untuk mengambil foto lateral dekubitus pada efusi pleura dengan tebal > 1 cm diukur dari dinding
dada lateral,harus diambil sampelnya. Namun efusi parapneumonik kompleks sering terlokalisasi
dan jarang berlapis, sehingga mungkin tidak terlihat pada rontgen dada konvensional. Dalam
penelitian terbaru yang melibatkan 61 pasien dengan efusi parapneumonik terbukti melalui CT-
Scan, foto rontgen dada konvensional anteroposterior, posteroanterior, dan lateral melewatkan
sekitar 10% efusi pleura, pada sebagian besar kasus karena koeksistensi dengan konsolidasi lobus
bawah.14 Meskipun berguna sebagai langkah pertama dalam investigasi infeksi rongga pleura,
rontgen dada konvensional harus dikombinasikan dengan pencitraan tambahan.

USG Pleura. USG Pleura dalam dekade terakhir telah menjadi dasar untuk evaluasi efusi pleura.
USG Pleura setidaknya sama efektifnya dengan rontgen dada lateral dekubitus untuk
mengidentifikasi efusi pleura kecil dan lebih baik daripada rontgen dada dalam memperkirakan
volume efusi; tidak terhalang oleh konsolidasi yang berdekatan atau struktur intratoraks. 15
Ketersediaan USG bedside, dapat dilakukan secara kompeten oleh non- radiolog, menjadikannya
alat yang ideal untuk memandu thorasentesis yang aman dan efektif. 16-18 USG Pleura juga dapat
dilakukan bedside , memungkinkan evaluasi cepat di unit gawat darurat atau unit perawatan
intensif.19-21 Beberapa pola ultrasonografi yang berkaitan dengan karakteristik cairan pleura telah
dijelaskan dalam penelitian yang melibatkan 320 pasien. Efusi pleura kompleks berseptum,
kompleks non-septum, dan ekogenik biasanya eksudatif, dan efusi ekogenik homogen
merupakan perdarahan atau empiema. Efusi transudatif bersifat anekoik, tetapi efusi anekoik
dapat bersifat eksudatif pada 27% kasus. Penebalan pleura juga menunjukkan efusi pleura
eksudatif.21 Dua penelitian menunjukkan bahwa peningkatan septasi yang dinilai melalui USG
toraks dapat memprediksi keluaran klinis.22,23

Computed tomography. CT kontras dengan fase jaringan adalah alat pencitraan yang berharga
dalam penilaian infeksi rongga pleura. Selain itu, pemeriksaan ini memungkinkan penilaian
kelainan parenkim secara terperinci dan mengungkap penyebab infeksi rongga pleura, seperti
karsinoma bronkogenik, benda asing endobronkial, atau ruptur esofagus. Empiema terlokalisasi
biasanya berbentuk lentikuler dan berhubungan dengan kompresi parenkim paru yang berdekatan,
dan umumnya dapat dibedakan dari abses paru pada pleura. 24,25 Empiema berhubungan dengan
penebalan pleura parietal pada 86% dan peningkatan tangkapan kontras (enhancement) pleura
pada 96% pasien.26 Penebalan dan peningkatan tangkapan kontras pleura viseral dan parietal

4
yang bersamaan dapat menunjukkan gambaran ''tanda pleura terbelah (split pleura sign),'' yang
terlihat pada 68% kasus empiema. 26 Atenuasi yang tinggi dari jaringan adiposa ekstrapleural di
dinding dada menunjukkan adanya empiema dan menyingkirkan efusi transudatif.26-29 Adanya
gelembung udara tanpa intervensi pleura sebelumnya khas untuk infeksi rongga pleura dan
mungkin menunjukkan resistensi terhadap drainase tabung dada saja.30 Ketebalan cairan pleura 2
sampai 2,5 cm (cutoff) disarankan untuk thoracentesis, karena efusi yang lebih kecil
kemungkinan akan sembuh dengan antibiotik saja.31,32

Positron emission tomography (PET) dan magnetic resonance imaging (MRI). PET
tampaknya tidak bermanfaat dalam diagnosis infeksi rongga pleura, karena tidak dapat
membedakan antara inflamasi dan efusi pleura secara akurat.33-35 MRI mungkin dapat menjadi
alternatif untuk CT. MRI berguna dalam membedakan transudat dari eksudat dan memungkinkan
penilaian perluasan ke jaringan lunak, seperti pada perluasan ke dinding dada atau tulang
belakang.36

LABORATORIUM DAN ANALISIS CAIRAN PLEURAL

Rekomendasi

1. Kelas I: Adanya nanah, pewarnaan Gram atau kultur positif cairan pleura menegakkan
diagnosis empiema, yang harus ditatalaksana dengan selang torakostomi diikuti dengan
intervensi pembedahan jika memungkinkan (LOE B).

2. Kelas I: pH pleura <7,2 pada pasien dengan dugaan infeksi rongga pleura memprediksi telah
terjadi komplikasi, dan pemasangan selang torakostomi harus dilakukan diikuti dengan
intervensi pembedahan jika memungkinkan (LOE B).

3. Kelas IIa: LDH cairan pleura> 1000 IU / L, glukosa <40 mg / dL, atau efusi pleura
terlokalisasi menunjukkan bahwa efusi pleura tidak mungkin sembuh dengan antibiotik saja, dan
direkomendasikan pemasangan selang torakostomi (LOE B).

4. Kelas I: Pengambilan spesimen kultur cairan pleura selama prosedur aspirasi atau drainase
bukan yang berasal dari tabung atau selang yang dimasukkan sebelumnya (LOE B). Inokulasikan
cairan pleura yang baru dikeringkan ke dalam vial kultur darah aerob dan anaerob dan wadah
steril untuk pewarnaan gram dan kultur (LOE B).
5
Pemeriksaan Laboratorium. Meskipun analisis cairan pleura menjadi satu-satunya prediktor
terpenting keluaran klinis, namun data laboratorium tertentu telah dikaitkan dengan peningkatan
kemungkinan perkembangan infeksi rongga pleura pada pasien yang dirawat karena CAP dan
harus diselidiki adanya: hipoalbuminemia (<30 g/dL), hiponatremia (<130 mmol/L), dan
peningkatan protein C-reaktif (> 100 mg / L).12 Kultur darah ditemukan positif pada sebagian
kecil pasien dengan infeksi rongga pleura.3

Thorasentesis: Teknik dan pemrosesan sampel. Secara umum tidak ada kemungkinan untuk
memprediksi apakah efusi parapneumonik akan memburuk berdasarkan pencitraan saja dan oleh
karena itu thorasentesis diagnostik diindikasikan pada semua suspek efusi parapneumonik
apabila ketebalan cairan pleura> 1 cm pada rontgen dada dan >2 cm pada CT.37,38 Efusi pleura
yang terlokalisi dan besar cenderung berkaitan dengan perburukan klinis, terlepas dari apapun
hasil analisis cairan pleuranya.39,40 Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa hasil analisis
cairan pleura dapat sangat berbeda dari satu lokula ke lokula lainnya, sehingga membatasi makna
diagnostik analisis cairan pleura dalam kondisi ini.8,41,42

Torasentesis diagnostik harus dilakukan dengan panduan USG untuk mengurangi risiko
pneumotoraks.16-18 Tampilan purulen yang nyata menyingkirkan kebutuhan untuk analisis pH
pleura. pH cairan pleura harus diukur dengan alat analisa gas darah arteri dalam waktu 1 jam dari
pengambilan sampel.43-45 Sisa lidokain, heparin (menurunkan), atau udara dalam jarum suntik
dapat mempengaruhi hasil pH yang bermakna secara klinis.43

Analisis cairan pleura dan biomarker. Secara umum, cairan pleura yang purulen atau
pewarnaan Gram / kultur cairan pleura yang positif menegakkan diagnosis empiema dan harus
segera dilakukan drainase selang torakostomi,38,46,47 meskipun pengecualian dapat terjadi.48 Jika
hal tersebut tidak ditemukan, studi meta-analisis menunjukkan bahwa pH pleura <7,2 adalah
prediktor perburukan perjalanan klinis paling berguna apabila drainase selang dada tidak
memadai.49 Jika pH pleura tidak diukur, nilai glukosa cairan pleura <40 mg / dL menunjukkan
perlunya drainase selang dada segera.38,49 Demikian pula, nilai LDH cairan pleura> 1000 IU / L
juga memprediksi perlunya pemasangan selang torakostomi.38,49 Situasi langka lainnya adalah
infeksi rongga pleura yang disebabkan oleh organisme pemecah urease seperti Proteus sp dapat
menyebabkan peningkatan pH pleura.50

6
Kultur cairan pleura. Spesimen biakan harus diperoleh pada semua kasus empiema bakterialis
akut. Karena 44% biakan dari kateter atau selang yang dipasang sebelumnya tidak akurat, 51
sehingga dianjurkan agar spesimen biakan diperoleh selama prosedur aspirasi atau drainase.
Ketika dikombinasikan dengan kultur laboratorium standar, inokulasi botol kultur BACTEC
(Becton, Dickinson, and Company, Franklin Lakes, NJ) oleh individu yang terlatih dapat
meningkatkan hasil kultur.52,53 Swab sebaiknya tidak digunakan untuk kultur. Jika jumlahnya
sedikit cairan maka cairan diinokulasi ke dalam wadah kultur spesimen standar. Analisis jumlah
sel dan kimiawi cairan pleura harus selalu dilakukan bersama kultur cairan pleura.

EMPIEMA PLEURAL AKUT: PENGOBATAN ANTIBIOTIK

Rekomendasi

1. Terapi antibiotik empiris yang tepat untuk empiema pleura akut mencakup pemahaman
tentang (1) riwayat klinis pasien, (2) pola resistensi antimikroba lokal, (3) formularium
institusional, dan (4) karakteristik farmakologis antibiotik. Rekomendasi meliputi:

a. Kelas IIa: Untuk empiema komunitas: sefalosporin generasi kedua atau ketiga (misalnya,
seftriakson) dengan metronidazol secara parenteral atau aminopenicillin dengan inhibitor b-
laktamase (misalnya, ampisilin / sulbaktam) secara parenteral (LOE C).

b. Kelas IIa: Untuk empiema nosokomial atau pasca prosedur pembedahan: tambahkan
antibiotik yang aktif melawan Staphylococcus aureus yang resisten methicillin dan
Pseudomonas aeruginosa (misalnya, vankomisin, cefepime, andmetronidazole atau
vancomycin dan piperacillin / tazobactam

c. Kelas I: Hindari aminoglikosida dalam pengelolaan empiema (LOE B).

d. Kelas IIa: Antibiotik intrapleural tidak diperlukan (LOE C).

2. Kelas I: Jika memungkinkan, pilih terapi antibiotik berdasarkan hasil kultur (LOE C).

a. Kelas IIa: Pertimbangkan untuk melanjutkan antibiotik empiris yang bekerja pada
bakteri anaerob ketika kultur anaerobik negatif (LOE C).

7
3. Kelas IIb: Durasi terapi antibiotik untuk empiema bakterial akut dipengaruhi oleh organisme,
kecukupan pengendalian infeksi, dan respon klinis (LOE C).

Penjelasan. Pilihan antibiotik empiris harus dipandu oleh riwayat klinis, resistensi antimikroba
lokal dan farmakologis antibiotik. Untuk pasien dengan empiema komunitas di mana risiko
infeksi S.aureus resisten metisilin dan resisten tinggi gram negatif yang rendah, sefalosporin
generasi kedua atau nonpseudomonal (misalnya, seftriakson) atau aminopenicillin dengan
inhibitor b -laktamase (misalnya, ampisilin / sulbaktam) akan bermanfaat melawan organisme
yang paling sering diidentifikasi.54-58 Organisme anaerob harus ditatalaksana secara empiris,
maka perlu penambahan agen seperti metronidazol meskipun ampisilin/sulbaktam aktif melawan
berbagai bakteri anaerob. Klindamisin adalah alternatif metronidazol untuk sebagian besar
infeksi anaerobik saluran cerna bagian atas dan pernapasan.59 Meski hasil kultur positif
monomikroba aerobik, tetap dirasa perlu untuk melanjutkan pengobatan cakupan anaerobik
karena seringnya mikroba anaerob menginfeksi empiema dan adanya kemungkinan kegagalan
kultur.60 Antibiotik empiris dengan aktivitas melawan organisme atipikal biasanya tidak
diperlukan.60,61 Pada infeksi yang didapat di rumah sakit atau pasca operasi, vankomisin, sefepim
dan flagil, atau vankomisin dan piperasilin/tazobaktam (dosis yang memadai untuk
P.aeruginosa) akan menutupi risiko infeksi S.aureus dan Pseudomonas yang resisten terhadap
metisilin. Vankomisin dan meropenem dapat diindikasikan jika ada riwayat atau kecurigaan
spektrum organisme penghasil b-laktamase. Aminoglikosida dinonaktifkan dalam cairan
empiema dan tidak dianjurkan. Tidak ada bukti bahwa pemberian antibiotik langsung ke dalam
rongga pleura meningkatkan klirens mikroba atau keluaran apabila dibandingkan dengan
antibiotik sistemik saja. Dalam banyak kasus empiema yang berkembang perlahan atau kronis,
terapi empiris dapat dilakukan sampai hasil kultur tersedia untuk terapi definitif. Konsultasi
penyakit infeksi dianjurkan untuk membantu diagnosis dan terapi empiema kronis.

Durasi terapi untuk empiema belum diteliti dalam uji coba komparatif. Kisaran 2 sampai
6 minggu terapi antibakteri untuk empiema akut dilaporkan dalam literatur, dan kelompok kerja
ini merekomendasikan minimal 2 minggu dari waktu drainase dan perbaikan gejala. Durasi harus
ditentukan oleh sensitivitas organisme yang menginfeksi, drainase yang adekuat, dan respons
terhadap terapi pada follow-up. Jika pasien telah merespons terapi, telah ada kontrol infeksi,
organisme yang diisolasi rentan terhadap agen yang tersedia secara oral, dan pasien mentolerir

8
asupan oral, maka transisi ke terapi oral dapat dilakukan. Empiema kronis harus ditangani
bersama dengan konsultan penyakit infeksi.

EMPIEMA PLEURA AKUT: DRAINASE PLEURA

Torasentesis

Rekomendasi.
Kelas III tidak bermanfaat: Torasentesis tanpa pemasangan drain pleura tidak direkomendasikan
untuk penatalaksanaan efusi parapenumonik atau empiema (LOE C). Torasentesis adalah alat
yang digunakan dalam pengelolaan efusi pleura tanpa komplikasi dan merupakan langkah yang
direkomendasikan dalam diagnosis komplikasi efusi. Namun pada kondisi infeksi pleura,
drainase pleura dianggap sebagai kunci untuk pengobatan yang adekuat dan torasentesis saja
tanpa pemasangan drain pleura tidak dianjurkan.

Pemasangan Drainase Dengan Panduan Gambar

Rekomendasi.
1. Kelas I: Pemasangan drainase pleura dengan panduan gambar berguna dalam pengobatan
stadium awal empiema septasi minimal (LOE B).

2. Kelas IIa: Pada efusi dengan septum, pemasangan kateter lubang kecil direkomendasikan pada
pasien yang bukan calon pembedahan (LOE C).

3. Kelas I: Pembilasan drainase rutin dianjurkan untuk mencegah oklusi (LOE B).

4. Kelas I: Pemasangan selang Torakostomi harus dikombinasikan dengan follow-up CT yang


ketat untuk memastikan drainase yang adekuat. Adanya cairan yang terus tersisa menandakan
perlunya pemasangan drain tambahan atau manajemen yang lebih agresif (LOE C).

Penjelasan. Drainase materi yang terinfeksi dari rongga pleura merupakan bagian mendasar dari
pengobatan empiema. Secara tradisional, pemasangan selang torakostomi telah dilakukan
dengan kateter lubang besar, tetapi tidak ada konsensus mengenai ukuran drainase yang ideal.
Penelitian awal menggunakan saluran yang lebih kecil yang ditempatkan dengan panduan
pencitraan melaporkan tingkat keberhasilan sekitar 80%, yang relatif menguntungkan

9
dibandingkan dengan tingkat keberhasilan dalam penelitian sebelumnya tentang selang yang
lebih besar.62-66 Penelitian terbaru dan yang banyak dikutip melibatkan 405 pasien;

10
menunjukkan tingkat keberhasilan yang setara dengan penggunaan tabung ≤14-F dan tabung>
14F.67 Namun ukuran tabung dalam penelitian ini tidak diacak; pasien dengan efusi yang lebih
berat atau efusi yang berisi nanah mendapatkan drainase yang lebih besar . Berdasarkan bukti ini,
selang lubang kecil telah menjadi alternatif yang diterima sebagai terapi lini pertama pada pasien
yang menjalani torakostomi selang saja.68

Ahli berpendapat bahwa kateter lubang kecil tidak efektif untuk drainase nanah yang
kental atau efusi dengan septum yang luas. Namun peranan stadium empiema dalam
keberhasilan atau kegagalan penempatan drainase dengan panduan gambar masih belum jelas.
Dalam uji coba tidak buta (unblind), septasi pada temuan sonografi merupakan prediksi dari
pengobatan yang lebih agresif, tetapi secara khusus tidak menunjukkan keberhasilan atau
kegagalan drainase selang pada populasi ini.23 Dalam sebuah penelitian terhadap 103 pasien,
tingkat keberhasilan untuk drainase empiema menggunakan selang lubang kecil yang dipandu
ultrasound lebih besar ketika cairan pleura anekoik secara sonografis, yang menunjukkan
sedikitnya septasi (92%), dibandingkan ketika ada bukti sonografi septasi ekstensif (63%). 69
Namun studi lain tidak menemukan gambaran USG empiema untuk memprediksi keberhasilan
atau kegagalan pemasangan selang drainase.70 Beberapa laporan kasus menggambarkan
keberhasilan penggunaan kateter lubang kecil di 2 pasien dengan komplikasi empiema kronis
yang bukan kandidat untuk operasi.71 Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai peran stadium
empiema terhadap keberhasilan selang torakostomi sebagai terapi lini pertama.

Penyebab utama kegagalan drain adalah oklusi dan terlepas. Oklusi drain lebih sering
terjadi pada empiema dibandingkan dengan efusi pleura tanpa komplikasi atau pneumotoraks,
dengan tingkat oklusi yang dilaporkan biasanya dari 11% sampai 30% dengan satu penelitian
yang relatif besar menunjukkan tingkat penyumbatan 64% di subkelompok empiema. 73 Karena
seringnya terjadi penyumbatan, pembilasan saluran secara rutin perlu dilakukan.68,72,74 Frekuensi
dan volume pembilasan yang ideal tidak ditentukan, namun dalam satu penelitian menyebutkan
pembilasan dengan 20 mL larutan garam steril setiap 6 jam terbukti mengurangi tingkat oklusi. 75
Lepasnya drain juga sering terjadi.75,76 Meskipun posisi drain biasanya dinilai dengan rontgen,
pemeriksaan ini dapat menjadi tidak sensitif dalam mendeteksi malposisi selang. 77 Pada pasien
yang dirawat dengan selang torakostomi, CT-scan lebih baik daripada rontgen dalam
mengidentifikasi lepasnya drain atau cairan pleura yang tidak terdrainase.72 Setiap lokasi yang

11
tidak terdrainase

12
harus ditangani dengan saluran tambahan atau yang lebih besar. Kegagalan untuk mencapai
drainase pleura lengkap atau kegagalan perbaikan klinis mendorong ke pengelolaan yang lebih
agresif, termasuk terapi litik atau pembedahan.

EMPIEMA PLEURA AKUT: TERAPI FIBRINOLITIK INTRAPLEURA

Rekomendasi

Kelas IIa: Fibrinolitik intrapleura tidak dilakukan rutin pada efusi pleura dengan komplikasi dan
empiema stadium awal (LOE A).

Penalaran. Fibrinolitik intrapleural telah digunakan untuk mengelola empiema dan efusi pleura
dengan komplikasi selama 65 tahun terakhir.78 Karena deposisi fibrin dan pembentukan lokulasi
serta adhesi menggambarkan fase empiema fibrinopurulen, tampaknya dapat diterima bahwa
terapi fibrinolitik dapat berhasil mengobati penyakit ini. Ini adalah masalah kesehatan
masyarakat dan pelayanan kesehatan yang sangat penting karena frekuensi empiema terus
meningkat di Amerika Serikat.

Tinjauan sistematis literatur mengidentifikasi 8 percobaan prospektif terkontrol plasebo


menggunakan fibrinolitik sebagai pengobatan empiema dan efusi parapneumonik sejak tahun
1997.80 Tabel 1 menggambarkan ukuran sampel, ukuran selang dada, dan jenis fibrinolitik yang
digunakan dalam 6 uji coba secara acak yang dilakukan sejak tahun 2000.81-85 2 uji coba terbesar
adalah Multicenter Intrapleural Sepsis Trials 1 dan 2 (MIST1 dan MIST2). MIST1 menunjukkan
bahwa streptokinase meningkatkan jumlah drainase cairan pleura tetapi tidak berhubungan
dengan penurunan mortalitas, frekuensi operasi, atau lama rawat inap. MIST2 menunjukkan
bahwa kombinasi aktivator plasminogen intrapleural dan DNase secara statistik dan klinis
meningkatkan drainase pleura dan menurunkan lama rawatan. Selain itu, terdapat penurunan
kebutuhan intervensi bedah pada 3 bulan sebanyak 75%.

Sebuah studi meta-analisis tentang kegunaan terapi fibrinolitik intrapleural yang


diterbitkan pada tahun 2012 menyimpulkan bahwa terapi fibrinolitik berpotensi bermanfaat
dalam pengelolaan efusi parapneumonik dan empiema pada orang dewasa tetapi tidak ada cukup
bukti untuk mendukung penggunaan rutin terapi ini untuk semua pasien dengan efusi

13
parapneumonik/empiema.86 Penulis menyoroti dengan teliti masalah heterogenitas pasien dan
pengobatan yang mengacaukan hasil.

The British Thoracic Society menerbitkan pedoman tentang pengelolaan penyakit pleura
pada tahun 2010.68 Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi penggunaan fibrinolitik
intrapleural rutin pada pasien infeksi pleura. Namun rekomendasi itu disiapkan sebelum uji coba
MIST2 diterbitkan. Pada akhirnya, kesulitan dalam menyatukan informasi yang tersedia terletak
pada heterogenitas pasien yang termasuk dalam penelitian dan berbagai perawatan yang dijalani
untuk mengobati infeksi rongga pleura mereka. Selain itu, titik akhir utama dari kebanyakan
penelitian adalah pengurangan cairan pleura yang terlihat pada foto toraks setelah pemberian
fibrinolitik intrapleural. Untuk membuat pedoman, sangat penting untuk mengetahui hasil jangka
panjang seperti cadangan paru setelah perawatan dan waktu pasien utnuk kembali
beraktivitas/kerja secara penuh. Ada persepsi yang kuat pada sebagian banyak penelitian ini
bahwa intervensi bedah harus dihindari. Di bawah perawatan ahli bedah toraks yang berdedikasi,
tindakan torakoskopi atau intervensi terbuka tetap menjadi standar emas untuk mengobati efusi
pleura dengan komplikasi/empiema dan topik tersebut dibahas secara terpisah dalam pernyataan
ini.

EMPIEMA PLEURA AKUT: PENATALAKSANAAN BEDAH

Rekomendasi

Kelas IIa: Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) harus menjadi pendekatan lini pertama
pada semua pasien dengan empiema akut stadium II (LOE B).

Penalaran. Setelah keputusan untuk pembedah dipilih, pilihan antara operasi terbuka versus
torakoskopi harus dibuat dengan 2 tujuan utama: (1) evakuasi seluruh cairan dan/atau materi
yang berpotensi terinfeksi dan (2) re-ekspansi lengkap paru. Dengan kedua pendekatan tersebut,
pertimbangan teknis utama yaitu akses yang aman, drainase rongga pleura, dan manuver untuk
memungkinkan ekspansi penuh paru (yaitu, pelepasan ligamentum pulmonalis inferior) yang
berujung dengan obliterasi ruang mati di hemitoraks. Menurut definisi, empiema tahap II tidak
memiliki pengelupasan pleura yang terorganisir sehingga dekortikasi formal tidak diperlukan.
Namun dalam praktek klinis, pasien jarang datang dengan empiema tahap II 'murni' melainkan
dengan 'tahap campuran' dengan area fibrinosa pada permukaan pleura.
14
Sejak diperkenalkan, definisi prosedur VATS terus diperdebatkan. Menurut pendapat
kami, ciri pembeda VATS adalah tidak adanya pelebaran tulang rusuk untuk menghindari
retraktor atau instrumen yang memberi tekanan pada serabut neurovaskular interkostal. Dalam
pandangan kami, jumlah atau ukuran sayatan untuk akses port kurang penting dibandingkan
dengan gangguan pada tulang rusuk.

POTENSI MANFAAT VATS DIBANDING TORAKOTOMI TERBUKA

Literatur mendukung berbagai manfaat aplikasi klinis VATS dalam pengobatan penyakit
paru, pleura, esofagus, dan mediastinum.87 Manfaat spesifik yang telah ditunjukkan ketika
membandingkan VATS versus torakotomi pada empiema akut termasuk peningkatan kontrol
nyeri pasca operasi, durasi yang rawatan inap yang lebih pendek, lebih sedikit kehilangan darah,
lebih sedikit gangguan pernapasan, dan pengurangan komplikasi pasca operasi termasuk
mortalitas dalam 30 hari.88 Faktor lain yang mendukung VATS adalah biayanya yang lebih
murah dibandingkan dengan torakotomi terbuka. Meskipun tidak dipelajari secara khusus pada
kasus empiema, 3 analisis data retrospektif besar menunjukkan bahwa VATS menghemat biaya
yang signifikan untuk reseksi paru dan lobektomi dibandingkan dengan torakotomi terbuka. 89-91

POTENSI BAHAYA VATS DIBANDING TORAKOTOMI TERBUKA

Pada sebagian besar pasien, potensi bahaya VATS sebagai intervensi awal relatif kecil,
mengingat profil keamanan keseluruhan dari torakoskopi diagnostik serta mudahnya konversi ke
torakotomi terbuka jika diperlukan. Kemungkinan kontraindikasi terhadap VATS termasuk
ketidakmampuan untuk mentolerir ventilasi satu paru dan koagulopati berat. Kelemahan dari
VATS termasuk peningkatan waktu operasi, peningkatan biaya, kurva pembelajaran yang lebih
curam[steeper learning curve], dan terapi yang tidak lengkap, yang membutuhkan prosedur
tambahan. Akan tetapi, studi yang mendukung penolakan ini, dilakukan sebelum kemajuan
dalam teknologi, industri, pelatihan bedah, dan faktor lainnya yang seiring waktu semakin
membaik.92

15
RINGKASAN BUKTI YANG RELEVAN
Kualitas: Retrospektif, Kohort (LOE B) / Kuantitas: +10 Studi / Konsistensi: Memuaskan

Chambers et al89 meninjau 14 studi untuk membandingkan VATS versus pendekatan


terbuka bagi pasien dewasa dengan empiema. Mayoritas penelitian yang dianalisis adalah
penelitian kohort retrospektif institusi tunggal dengan jumlah pasien yang diteliti mulai dari 48
hingga 420 dan sebagian besar kelompok termasuk campuran empiema stadium II dan stadium
III. Hasil dari penelitian ini konsisten dalam menunjukkan bahwa VATS memberikan hasil klinis
yang lebih baik sebagai pengobatan empiema serta mengurangi lama rawatan, nyeri, dan
morbiditas secara keseluruhan.

Kurangnya data acak terkontrol Tingkat A menyebabkan perlu untuk mempertimbangkan


beberapa keterbatasan pada studi ini. Pertama, stadium empiema yang bervariasi dalam
penelitian yang sama membuat perbandingan langsung menjadi sulit. Mengingat variabilitas
dalam stadium dan presentasi empiema, variasi juga ditemukan dalam deskripsi drainase VATS
versus dekortikasi, pengobatan spesifik untuk empiema tahap II dan III. Dapat dikatakan bahwa
perbandingan sebenarnya dari VATS versus torakotomi terbuka untuk empiema hanya dapat
dibuat jika setiap tindakan bersesuaian dengan stadium penyakit. Dalam prakteknya, presentasi
klinis empiema sering berbeda pada saat pembedahan, sehingga sulit mmengelompokkan
stadium II dan III.

Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah bias masing-masing ahli bedah untuk
melakukan pendekatan terbuka versus VATS dalam studi retrospektif. Sebagaimana dibahas oleh
Duke, ahli bedah dalam penelitian mereka langsung melakukan torakotomi pada pasien dengan
riwayat operasi dada sebelumnya dan empiema sebelum operasi. 93 Konsep '' probabilitas
praprosedur '' untuk konversi menjadi torakotomi terbuka akan mempengaruhi ahli bedah untuk
mempertimbangkan upaya VATS, serta mempengaruhi lamanya waktu torakoskopi yang
ditoleransi sebelum pembukaan. Menariknya dalam studi Tong dkk, 93 ketika populasi pasien
yang membutuhkan konversi untuk operasi terbuka dibandingkan dengan prosedur VATS yang
berhasil, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam faktor pra operasi seperti riwayat prosedur
jantung atau toraks umum sebelumnya. Selain itu, ahli bedah dengan pengalaman VATS yang
lebih sedikit cenderung meninggalkan VATS atau lebih cepat memajukan prosedur torakoskopi
16
menjadi terbuka. Shahin dkk90 mendemonstrasikan kurva pembelajaran departemen mereka
sendiri selama tiga tahun penerapan VATS di institusi mereka. Melihat pengalaman VATS yang
meningkat, kelompok ini memandang VATS sebagai pilihan pertama terapi untuk empiema
akut/dini dan juga stadium lanjut, mengingat nilai diagnosis dan perencanaan prosedural jika
pengobatan definitif tidak tercapai.

PENDAPAT AHLI KLINIS

Salah satu keputusan utama selama prosedur VATS adalah kapan harus mengubahnya
menjadi torakotomi terbuka. Perdarahan yang tidak terkontrol, cedera pada struktur yang tidak
dapat ditangani dengan torakoskopi, dan intoleransi akut ventilasi satu paru merupakan indikasi
untuk konversi torakotomi segera. Sehubungan dengan empiema, 2 faktor tambahan yang
dipertimbangkan untuk konversi torakotomi segera adalah tidak ada kemajuan pembedahan dan
kegagalan untuk mencapai 2 tujuan terapi empiema (evakuasi dan ekspansi). Tingkat konversi
yang dipublikasikan berkisar dari 0% hingga 41%, dengan penelitian terbesar dari Duke, yang
melaporkan tingkat 11,4%.89,93 Tidak ada penelitian hingga saat ini yang menentukan batas waktu
tertentu ahli bedah harus membatalkan VATS dan konversi ke torakotomi. Sebaliknya, sebagian
besar penulis bersikap subjektif dalam menyatakan bahwa torakotomi harus dilakukan jika
VATS tidak berhasil dalam ''waktu tertentu'', sehingga batas waktu konversi tergantung pada
penilaian dari masing-masing ahli bedah.

Empiema dapat digambarkan sebagai penyakit ''trifasik'' karena berkembang melalui 3


stadium dan pendekatan manajemen invasif berupa selang torakostomi, VATS dan torakotomi
terbuka yang bersesuaian. Setelah meninjau literatur yang tersedia tentang pengelolaan tahap II
dan empiema campuran (II/ III), kami merekomendasikan VATS menjadi pendekatan lini
pertama (lihat Gambar 2). Kami meperkirakan peningkatan adopsi VATS sebagai terapi lini
pertama untuk semua tahap empiema, karena banyaknya studi yang dilakukan dan meningkatnya
pengalaman ahli bedah dengan prosedur bedah berbantu video.

EMPIEMA KRONIK

Gambaran Umum

Pada stadium ketiga empiema, cairan kental keruh pada stadium II mulai membentuk

17
jaringan granulasi. Jaringan granulasi dan peradangan yang mendasari proses infeksi
menyebabkan pembentukan lapisan yang menekan permukaan pleura viseral. Kelanjutan proses
ini menyebabkan kontraksi hemitoraks dengan penyempitan ruang interkostal dan pergeseran
mediastinum ke sisi yang sakit.

Prinsip pengobatan tahap kronis ini memerlukan intervensi bedah karena prosedur
drainase pleura tidak lagi efektif pada tahap ini. Perawatan bedah yang efektif termasuk
pengangkatan materi purulen dan debridemen jaringan yang terinfeksi yang diikuti dengan
obliterasi rongga empiema untuk mencegah rekurensi. Pilihan pendekatan ditentukan
berdasarkan kondisi pasien, rongga pleura, dan parenkim paru (Gambar 3).

EMPIEMA KRONIK: DEKORTIKASI

Rekomendasi

1. Kelas IIa: Dekortikasi dilakukan pada pasien dengan empiema kronis yang secara medis dapat
mentolerir operasi toraks mayor (LOE B).

2. Kelas IIb: Tidak ada bukti kuat bahwa kateter epidural tidak dapat digunakan dengan aman
pada pasien empiema kronis dengan risiko rendah abses epidural (LOE C).

Penjelasan. Dekortikasi melibatkan pengelupasan jaringan granulasi dan/atau lapisan fibrosa


yang menutupi pleura viseral dan kadang-kadang pleura parietal untuk memungkinkan ekspansi
serta debridemen jaringan yang terinfeksi. Parenkim paru nekrotik dapat direseksi jika
diperlukan. Terdapat keterbatasan data yang menyarankan kasus mana saja yang membutuhkan
reseksi parenkim, tetapi pasien dengan abses yang menjadi sebagai sumber sepsis atau pasien
dengan gejala lain seperti hemoptisis harus menjalani reseksi.91,94

Reseksi ekstensif harus dihindari sebisa mungkin karena ujung bronkial di daerah yang
terinfeksi rentan membentuk fistul. Jika terdapat fistula bronkopleural (BPF), mereka harus
ditutup jika memungkinkan. Namun dalam kasus di mana paru direseksi atau terdapatnya fistula,
flap otot mungkin sesuai untuk menutup fistula dan/atau mengisi ruang ekspansi inkomplit paru
atau reseksi parenkim. Studi terbatas telah meneliti dampak fungsional dekortikasi empiema
kronis pada fungsi paru dan kinerja.

18
POTENSI MANFAAT ANESTESI EPIDURAL UNUK PENGENDALIAN NYERI PASCA
OPERASI

Penggunaan kateter epidural untuk analgesia sentral meningkatkan pengendalian nyeri


dan fungsional paska operasi toraks. Meski begitu penggunaan kateter epidural pada pasien
dengan empiema umumnya dihindari, mengingat resiko abses epidural. Secara umum, 3 faktor
risiko utama abses epidural adalah gangguan imun, gangguan fisik pada tulang belakang, dan
sumber infeksi definitif.95 Hingga saat ini, belum ada penelitian tentang hubungan abses epidural
dengan penempatan kateter epidural pada pasien empiema.

POTENSI BAHAYA ANESTESIA EPIDURAL UNTUK PENGENDALIAN NYERI


PASCA OPERASI

Salah satu komplikasi yang paling ditakuti dari pemasangan kateter epidural adalah abses
epidural. Angka kejadiannya pada semua populasi berkisar dari 1,1 dalam 100.000 pasien hingga
1 dari 1930 pasien.96 Abses epidural merupakan kejadian yang jarang tetapi konsekuensinya
berat, antara lain syok septik dan paralisis. Studi yang secara khusus meneliti kejadian atau risiko
abses epidural setelah penempatan kateter epidural pada pasien empiema sulit dilakukan,
mengingat insiden abses epidural yang rendah dan keengganan untuk mencoba pemasangan
kateter pada kondisi infeksi rongga pleura.

EMPYEMA KRONIS: PENGISIAN KAVITAS EMPIEMA KRONIS

Rekomendasi

Flap jaringan. Kelas IIa: Flap jaringan berupa flap pedikel otot atau omentum berguna untuk
mengisi kavitas empiema yang terbentuk akibat ekspansi paru yang tidak sempurna atau
menutup fistula bronkopleura (LOE C).

Torakoplasti. Kelas IIb: Torakoplasti dengan reseksi tulang rusuk untuk obliterasi rongga pleura
yang terinfeksi dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu ketika tindakan sebelumnya (flap otot)
gagal (LOE C).

Penjelasan Ekspansi ulang paru yang tidak sempurna atau reseksi parenkim nekrotik

19
memerlukan penempatan flap jaringan (omentum atau otot) untuk mencegah akumulasi kembali
cairan pleura yang terinfeksi. Flap otot juga telah digunakan untuk membantu menutup
91,97,98
fistula.

Setiap otot ekstratoraks dapat digunakan untuk flap pedikel, otot yang umumnya dipakai
adalah serratus anterior, latissimus dorsi, dan pectoralis mayor. Kelompok otot perut bagian
bawah lainnya juga dapat digunakan sebagai flap kompleks apabila otot dinding dada tidak
tersedia. Flap omentum juga dapat digunakan.99-101 Keuntungan potensial dari flap omentum yaitu
penyembuhan luka nya yang baik. Namun pengambilan omentum dapat menyebabkan rongga
perut terinfeksi. Flap otot paling baik ditempatkan pada luka yang relatif bersih. Flap dapat
ditempatkan saat operasi pertama atau melalui teknik toraks terbuka setelah rongga dada di-
debridemen dan jaringan granulasi baru terbentuk.

Tindakan tambahan untuk mengurangi ukuran rongga dada termasuk pleural tenting dan
torakoplasti.91,102 Pengalaman pleural tenting pada pasien dengan empiema non-TB terbatas.
Tindakan yang lebih ekstrem untuk mengurangi ruang rongga pleura melibatkan reseksi bagian
dari beberapa tulang rusuk. Torakoplasti Schede dan versi modern-nya mematikan dan membuat
cacat. Torakoplasti dijadikan cadangan pada kasus ekstrim di mana flap otot atau operasi terbuka
telah gagal

EMPIEMA KRONIK: TINDAKAN PERAWATAN LANJUTAN

Open Thoracic Window

Rekomendasi. Kelas IIa: Jendela toraks terbuka dengan marsupialisasi rongga dada terinfeksi
dengan reseksi beberapa tulang rusuk dan penggantian balutan perlu dilakukan pada pasien
dengan empiema kronis yang secara medis tidak mampu mentolerir dekortikasi dan penempatan
flap jaringan atau pasien empiema kronis dengan fistula bronkopleura (LOE C)

Alat Vacuum-Assisted Closure (VAC).

Rekomendasi. Kelas IIb: VAC luka dapat menjadi alternatif untuk penggantian perban harian
untuk membersihkan rongga pleura kronis. Penempatan VAC harus diperhatikan apabila ada
fistula atau celah pleura viseral yang menyebabkan kebocoran udara yang besar (LOE C).

20
21
Selang Empiema
Rekomendasi. Kelas IIb: Selang drainase dapat dipertimbangkan untuk mengeringkan infeksi
kronis dengan rongga kecil yang terus-menerus terinfeksi atau fistula kecil, terutama pada pasien
yang secara medis tidak dapat mentolerir dekortikasi dan penempatan flap jaringan (LOE C) .

Penjelasan. Pasien dengan empiema kronis sering kali lemah atau mempunyai fistula, yang
menyebabkan empiema menjadi tidak terkontrol. Pasien-pasien ini seringkali tidak dapat
mentolerir dekortikasi ekstensif dengan atau tanpa reseksi parenkim atau penempatan flap
jaringan untuk kontrol fistula. Kehadiran fistula juga dapat menyebabkan rongga terinfeksi
sehingga perlu dikontrol sebelum operasi definitif dengan dekortikasi dan penempatan flap
.91,97,98,104
jaringan

Jendela toraks terbuka memungkinkan pengendalian infeksi dan fistula ini secara definitif
atau sebagai bagian dari rencana operasi bertahap untuk perawatan bedah definitif. Jendela
toraks terbuka dibuat melalui rongga pleura yang terbentuk setelah reseksi ruang tulang rusuk.
Pasien kemudian menjalani penggantian balutan sampai rongga tersebut bersih dan luka mulai
membentuk jaringan granulasi. Studi satu institusi terbaru telah mengevaluasi penempatan
balutan VAC sebagai alternatif untuk penggantian balutan. Dengan memasukkan alat spons
pengisap ke dalam rongga yang terinfeksi, drainase VAC dapat membersihkan jaringan yang
terinfeksi dengan lebih baik dan meningkatkan pembentukan jaringan granulasi, pasien menjadi
lebih nyaman karena kebutuhan untuk penggantian spons VAC yang lebih sedikit.105-107

Penempatan VAC harus dilakukan dengan hati-hati karena kebocoran udara yang
signifikan dapat terjadi akibat fistula bronkopleura atau celah pleura visceral. Dalam kondisi ini,
gangguan pernapasan dapat terjadi akibat proses pengisapan apabila volume paru-paru pasien
signifikan. Pemakaian bahan yang non-adheren untuk menutup kebocoran udara seperti Vaseline
Petrolatum Gauze (Unilever US, Inc, Englewood Cliffs, NJ) atau bahan serupa memungkinkan
penggunaan VAC dalam kondisi ini. Penyelidikan lebih lanjut dari teknologi ini jelas diperlukan.
Mirip dengan jendela toraks terbuka, kateter drainase pleura seperti selang dada dapat
dipertahankan di rongga empiema kronis untuk mengalirkan cairan yang terinfeksi dari rongga
pleura dengan ekspansi paru yang tidak sempurna. Selang ini ditempatkan pada saat dekortikasi
bedah atau sebagai tindakan pertama untuk mendrainase empiema kronis pada pasien yang tidak
22
sehat secara medis.40,71,98,108

23
Infeksi rongga pleura yang luas sebaiknya didrainase dengan jendela toraks terbuka,
terutama jika jaringan terinfeksi sangat parah atau adanya fistula. Hal ini terutama berlaku jika
dekortikasi atau penutupan fistel dengan jaringan tidak memungkinkan.

EMPIEMA PASCA RESEKSI

Empiema Pasca pneumonektomi

Rekomendasi. Kelas I: Intervensi segera untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan adanya


fistula bronkopleura dan menyediakan drainase sepsis direkomendasikan pada pasien yang
dicurigai mengalami empiema pasca pneumonektomi (LOE C).

Kelas IIa: Pendekatan bedah agresif mencakup antibiotik, debridemen serial, penutupan BPF bila
ada, dan obliterasi sisa ruang pleura menggunakan transposisi jaringan vaskularisasi adalah
strategi untuk mengelola empiema pasca pneumonektomi (LOE C).

Penjelasan. Infeksi pada rongga pleura yang kosong setelah pneumonektomi merupakan
komplikasi yang serius dan berpotensi fatal, dengan mortalitas yang dilaporkan sebesar 28%
hingga 50% .109.110 Insiden empiema pasca pneumonektomi adalah 5% setelah pneumonektomi
standar dan 10% setelah selesai completion pneumonectomy.111-113 BPF ditemukan di lebih dari
80% kasus empiema pasca pneumonektomi.

Prioritas pertama pada pasien yang mengalami empiema pasca pneumonektomi adalah
untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya BPF. Fistula harus dianggap ada sampai penentuan
yang akurat dapat dibuat dengan melakukan bronkoskopi fleksibel pada pasien di bawah anestesi
lokal dalam posisi setengah duduk. Jika pasien akut dengan gambaran klinis BPF, pneumonitis
kontralateral, dan gangguan pernapasan, penatalaksanaan awal dimulai dengan drainase darurat
untuk mengendalikan infeksi dan menghentikan aliran ke kontralateral. 114 Pasien sebaiknya
diposisikan pada posisi lateral dekubitus, dengan sisi pneumonektomi menghadap ke bawah
sampai drainase dilakukan. Pada pasien dengan empiema tanpa BPF, penatalaksanaan awal
mengikuti aturan yang telah ditetapkan untuk menangani abses, yaitu drainase pleura yang
adekuat, antibiotik parenteral yang sesuai, pengangkatan jaringan nekrotik dan terinfeksi, dan
obliterasi sisa ruang pleura.115,116

24
Tidak ada studi acak atau prospektif yang menganalisis strategi terbaik untuk mengelola
empiema pasca pneumonektomi, sehingga rekomendasinya didasarkan pada studi retrospektif
satu institusi dan pendapat ahli. Metode perawatan yang paling umum digunakan adalah
modifikasi dari yang awalnya dijelaskan oleh Clagett dan Geraci. 117 Prosedur Clagett adalah
prosedur 2-tahap dengan drainase pleura terbuka, rutin mengganti balutan basah-ke-kering, dan
kemudian, ketika toraks bersih, penutupan dinding dada sekunder dan obliterasi rongga pleura
dengan larutan antibiotik. Jika ada BPF, upaya untuk mencari dan menutup kembali ujung
bronkus yang terbuka harus dilakukan pada saat debridemen ruang empiema. Bahkan jika BPF
berkembang relatif segera setelah pneumonektomi, identifikasi ujung bronkial merupangan
tantangan karena penipisan struktur hilar yang cepat. Mengisi rongga dada dengan sedikit larutan
garam dan meminta ahli anestesi memberi ventilasi dapat membantu mengidentifikasi aliran
gelembung udara yang dapat diikuti ke ujung bronkial.

Prinsip yang sama yang harus diperhatikan untuk meminimalkan kemungkinan


berkembangnya BPF pasca pneumonektomi juga harus diperhatikan dengan hati-hati saat
menutup kembali bronkus: (1) Minimalkan trauma pada ujung bronkus. (2) Pertahankan suplai
darah sampai ke ujung bronkus. (3) Perkirakan dengan cermat tepi bronkus yang dipotong. (4)
Berikan topangan jaringan bronchial yang adekuat dengan jaringan tervaskularisasi. Karena
kegagalan paling sering disebabkan oleh fistula persisten atau berulang, teknik Clagett telah
dimodifikasi untuk memasukkan transposisi flap otot yang bervaskularisasi dengan baik untuk
menutupi dan menopang tepi bekas pneumonektomi demi mencegah iskemia dan nekrosis lebih
lanjut.118 Pada tahun 2006, Zaheer dkk119 melaporkan seri kontemporer pada 84 pasien dengan
empiema pasca pneumonektomi yang dirawat menggunakan teknik Clagett yang dimodifikasi ini.
Sebanyak 84 pasien dengan empiema pasca pneumonektomi ditatalaksana dengan drainase
pleura terbuka, operasi debridemen serial, dan penutupan dada setelah pengisian rongga pleura
dengan larutan antibiotik. BPF ditemukan pada 55 pasien dan ditutup seluruhnya. Flap otot
bervaskularisasi digunakan untuk menopang ujung bronkial pada 60 pasien, 51 dengan BPF dan
9 tanpa BPF. Sebanyak 81% pasien memiliki dinding dada yang sembuh tanpa bukti infeksi
berulang. BPF tetap tertutup pada semua pasien.

Pada tahun 2008, Schneiter dkk120 melaporkan seri kasus 75 pasien dengan empiema
pasca pneumonektomi yang berhasil ditatalaksana di Polandia dan Swiss menggunakan protokol

25
serupa berupa debridemen bedah serial terbuka rongga empiema, penutupan sementara dada
dengan terapi luka tekanan negatif, dan dressing iodine. Jika ada, BPF ditutup dan ditopang
dengan jaringan. Pada 95% pasien, dada bisa ditutup setelah diisi dengan larutan antibiotik.
Empiema pasca pneumonektomi berhasil diobati pada 97,3% pasien, dengan 10 pasien
membutuhkan siklus pengobatan kedua. Angka kematian sembilan puluh hari adalah 4%.

BPF TERKAIT EMPIEMA

Rekomendasi

1. Kelas IIa: Penutupan BPF dilakukan dengan kombinasi penutupan primer dan transposisi
pedikel jaringan lunak dengan vaskularisasi yang baik (LOE C).

2. Kelas IIb: Transposisi omentum lebih disukai daripada flap otot rangka atau jaringan lunak
mediastinum, dan ini harus dilakukan setelah cairan purulen telah terdrainase seluruhnya dan
rongga pleura memiliki permukaan jaringan granulasi (LOE C).

BPF sering berkembang setelah reseksi paru dengan tingkat yang dilaporkan sebesar 28%
di era ketika prosedur dilakukan terutama untuk komplikasi infeksi tuberkulosis dan pada saat
antibiotik yang tersedia kurang efektif. Seterusnya, BPF masih tercatat sebanyak 0,7% hingga
7,5% setelah reseksi paru.121-123 Risiko BPF pasca lobektomi lebih kecil daripada pasca
pneumonektomi.124 Faktor risiko yang dilaporkan untuk BPF termasuk operasi bius umum untuk
penyakit jinak, pneumonektomi kanan, completion pneumonectomy, cadangan paru berkurang,
dan diseksi kelenjar getah bening.124

Sampai saat ini, belum ada studi prospektif yang mengevaluasi strategi pengobatan yang
berbeda untuk mengelola BPF, dan literatur kami saat ini terbatas pada rangkaian kasus
retrospektif satu institusi. BPF terkait Empiema paling sering disebutkan setelah pneumonektomi.
BPF setelah lobektomi lebih jarang dilaporkan.

Alat penutup. Intervensi bronkoskopi untuk mengelola BPF telah dicoba di beberapa pusat
dengan hasil yang bervariasi. Dalam seri yang dibuat oleh Jiang dkk 125 yang mencakup total 58
pasien pneumonektomi, 8 berkembang menjadi BPF. Upaya untuk menutup fistula dengan
embolisasi endoskopi dilakukan pada 5 pasien, tetapi tidak satupun berhasil 125; Namun, beberapa
laporan kasus dan seri kasus telah menggambarkan penggunaan berbagai alat untuk penutupan
26
BPF setelah reseksi paru anatomis. Alat oklusi vaskuler Amplatzer dengan atau tanpa
penambahan bioglue telah berhasil digunakan.126-128 Teknik bronkoskopi lainnya termasuk lem
sianoakrilat, senyawa fibrin, spons gelatin, kauter kimiawi, spigot silikon endobronkial, dan
injeksi ekspander jaringan submukosa telah digunakan. dalam sejumlah kecil kasus.

Fistula terkait dengan pneumonia nektrotikans. BPF yang terkait dengan infeksi toraks
terjadi pada sebagian besar pasien setelah reseksi bedah anatomis. Lebih jarang, fistula terjadi
secara spontan pada pneumonia nekrotikans. Pada anak-anak, fistula pada konsisi ini secara
tradisional telah dikelola dengan pemasangan selang dada yang lama.129 Pendekatan yang lebih
baru untuk situasi ini adalah rotasi satu segmen otot anterior serratus ke dalam rongga dada
untuk menutup fistula pada saat debridemen torakoskopi. Pada 20 pasien anak, median waktu
sampai resolusi demam adalah 2 hari, dan lama rawat pasca operasi adalah 9 hari.130

Pengelolaan rongga toraks residual.

1. Kelas IIb: Penutupan dada primer dilakukan melalui pengisian rongga dada dengan larutan
antibiotik setelah jaringan granulasi terbentuk apabila pasien secara medis sehat untuk menjalani
operasi lagi (LOE B).

2. Kelas IIa: Pembuatan jendela torakostomi terbuka permanen adalah strategi pengobatan yang
dapat diterima untuk pasien yang dirawat karena empiema dengan BPF berulang atau persisten
yang secara medis tidak cocok untuk operasi lagi atau untuk mereka yang menderita kanker
rekuren (LOE C).

Tiga pendekatan umum untuk pengelolaan rongga toraks telah dijelaskan. Yang pertama
adalah torakostomi terbuka permanen. Kedua, setelah infeksi terdrainase secara adekuat, rongga
ditutup dan diisi dengan larutan antibiotik. Pilihan ketiga membutuhkan obliterasi rongga toraks
menggunakan flap otot jaringan lunak atau flap omental dengan atau tanpa penambahan
torakoplasti parsial.

Eloesser131 menciptakan katup flap jaringan lunak satu arah untuk memungkinkan
drainase cairan pleura sambil mencegah masuknya kembali udara. Prosedur ini membutuhkan
reseksi parsial 2 sampai 3 tulang rusuk dan membuat flap jaringan lunak berbentuk U yang
dilipat ke dalam rongga dada. Meskipun orang lain tidak dapat merekapitulasi hasil ini, banyak

27
yang mengadopsi versi modifikasi dari operasi ini dengan flap otot berbentuk U terbalik. Tujuan
dari jendela torakostomi ini adalah untuk memungkinkan drainase dependen ruang pleura dan
menyediakan akses ke rongga dada untuk pembalutan rutin.

Dalam serangkaian kasus besar oleh Puskas dkk,121 31 pasien dirawat karena empiema
dengan BPF setelah pneumonektomi. Pada 16 pasien, rongga toraks diobliterasi pada saat
drainase awal menggunakan omentum otot dengan atau tanpa penambahan torakoplasti parsial.
Kavitas yang tersisa sembuh pada 5 pasien dengan drainase yang memadai dan masih terbuka
pada 9 pasien lainnya pada saat follow up terakhir. Satu pasien mangkir. Prosedur Clagett
dilakukan pada 10 pasien setelah BPF berhasil ditutup. Enam pasien berhasil setelah satu
prosedur Clagett, dan 4 pasien lainnya menjalani 2 sampai 5 prosedur untuk mensterilkan rongga
dada. Dua pasien dapat menjalani penutupan dada secara permanen, satu membutuhkan jendela
torakostomi permanen, dan satu pasien meninggal.121

Drainase permanen rongga toraks yang terinfeksi juga dapat dilakukan dengan membuat
jendela torakostomi terbuka. Ini dapat menjadi solusi drainase permanen untuk rongga yang
terinfeksi atau yang mungkin akan kemudian ditutup dengan flap transposisi otot atau pedikel
omental. Dalam seri retrospektif satu institusi oleh Regnard dkk,122 46 pasien dengan empiema
pasca operasi dirawat dengan jendela torakostomi terbuka. Empat belas dari pasien ini juga
mengalami BPF secara bersamaan. Jendela torakostomi terbuka adalah pengobatan definitif
untuk 10 pasien, tetapi hanya pada satu kasus jendela tertutup secara spontan. Pasien lainnya
mengalami kanker rekuren atau dianggap memiliki risiko operasi dan tidak menjalani penutupan.
Tiga puluh enam pasien menjalani penutupan dengan flap transposisi otot atau omental. Tiga
kematian terjadi dalam 6 bulan pertama. Dua dari kematian ini terkait dengan empiema dan
sepsis rekuren dan satu lagi dengan kanker rekuren. Transposisi flap intratoraks berhasil pada 27
(75%) pasien dan pada 9 pasien lainnya (25%) jendela torakostomi dibuka kembali untuk
drainase infeksi berulang. Terbentuknya BPF saat penatalaksanaan empiema tidak
mempengaruhi keberhasilan drainase dengan torakostomi jendela terbuka atau penutupan
selanjutnya.

Dalam tinjauan retrospektif serupa dari 31 pasien dengan empiema pasca pneumonektomi,
26 di antaranya juga memiliki BPF yang ditangani dengan jendela torakostomi terbuka,
penutupan dilakukan pada 15 pasien dengan transposisi otot dan mereka bebas dari BPF dan
28
infeksi toraks berulang. Faktor-faktor yang berkorelasi dengan keberhasilan penutupan jendela
torakostomi termasuk perkembangan empiema yang lambat dan pembuatan segera jendela
torakostomi setelah identifikasi empiema. Tren yang mendukung penutupan yang berhasil
diamati pada pasien wanita, pneumonektomi sisi kiri, operasi indeks untuk proses infeksi, dan
kemoterapi neoadjuvan, tetapi tidak satupun dari faktor-faktor ini yang signifikan secara
statistik.123

PEDIATRIK

Rekomendasi

1. Kelas I: Torakostomi selang dengan atau tanpa agen fibrinolitik harus diupayakan
sebagai pengobatan awal untuk pasien anak-anak dengan empiema (LOE A).

2. Kelas IIa: Debridemen dan drainase torakoskopi direkomendasikan pada pasien anak-anak
yang tidak merespons terhadap torakostomi selang dan instilasi fibrinolitik (LOE B).

3. Kelas IIa: Debridemen VATS lebih disukai daripada torakotomi terbuka sebagai manajemen
bedah empiema pada populasi anak (LOE C).

Penatalaksanaan pasien anak dengan empiema masih kontroversial. Beberapa


menganjurkan pendekatan konservatif dengan penempatan selang dada dan pengobatan dengan
antibiotik. Yang lain merekomendasikan intervensi bedah yang lebih agresif, dan yang lain
menganjurkan pendekatan dengan instilasi agen fibrinolitik melalui tabung dada. Sebuah meta-
analisis yang meninjau literatur yang ada merangkum 54 studi berbeda yang diterbitkan antara
1981 dan 2004 dengan total 3418 pasien yang ditinjau. 129 Tidak ada studi prospektif yang
tersedia untuk ditinjau pada waktu itu. Pasien yang awalnya diobati dengan terapi nonoperatif (n
= 3418) termasuk antibiotik, torasentesis, atau torakostomi selang memiliki mortalitas sebesar
3,3% dengan tingkat kegagalan pengobatan keseluruhan sebesar 23,6%. Mereka yang tidak
menanggapi pengobatan nonoperatif, 76,7% menjalani torakotomi dan 11,2% menjalani prosedur
VATS. Perawatan tidak spesifik pada kasus-kasus lainnya. Pasien yang diobati dengan agen
fibrinolitik (n = 64) tidak memiliki mortalitas dengan tingkat kegagalan 9,3%. Pasien yang
diobati dengan operasi primer (n = 363) tidak mengalami kematian perioperatif dengan tingkat
kegagalan 2,5%. Selain itu, lama rawat inap pasien yang dirawat dengan operasi primer (10,8

29
hari) lebih rendah dibandingkan pasien yang dirawat dengan terapi medis primer (20,0 hari).
Ketika pendekatan bedah torakotomi versus VATS dibandingkan, pasien yang menjalani
prosedur VATS memiliki tingkat konversi ke torakotomi 1,1% dan tingkat kegagalan 2,8%
dibandingkan dengan pasien yang menjalani torakotomi awal dengan tingkat kegagalan 3,3% .

Baru-baru ini studi acak prospektif multi-institusi membandingkan hasil dari 103 pasien
pediatrik dengan empiema yang dirawat dengan selang torakostomi dan urokinase dengan
prosedur VATS.132 Penelitian ini hanya melibatkan pasien berusia ≤15 tahun yang membutuhkan
drainase selang torakostomi yang juga memiliki bukti sonografik efusi parapneumonik bersepta.
Tujuan dari eksplorasi VATS adalah untuk merusak septasi pleura, drainase cairan purulen, dan
mengirigasi rongga toraks tetapi tidak termasuk upaya untuk dekortikasi komplit paru. Pasien
yang menerima urokinase menerima dosis agen fibrinolitik dua kali sehari selama 3 hari. Tidak
ada perbedaan yang teridentifikasi antara kelompok urokinase dan VATS sehubungan dengan
lama rawat inap pasca perawatan (10 vs 9 hari), total lama rawat inap (14 vs 13 hari), atau lama
demam setelah pengobatan (4 vs 6 hari). Intervensi sekunder diperlukan masing-masing pada 15%
dan 10% dari kelompok VATS dan urokinase.

Tiga studi prospektif acak lainnya juga membandingkan keluaran pasien anak yang
dirawat dengan debridemen VATS dengan torakostomi selang dan fibrinolitik. Tidak ada
kematian di salah satu kelompok perlakuanpun. Hasil utama dalam masing-masing dari 3
penelitian ini adalah lama rawat inap, yang tidak berbeda antara 2 kelompok dalam 2 penelitian
133.134
(6 vs 6 hari dan 6,9 vs 8,8 hari), tetapi lama rawat secara signifikan lebih sedikit di Grup
VATS dalam satu penelitian (5,8 vs 13,3 hari).135

Dua penelitian mengukur lama waktu sampai resolusi demam dan tidak ada perbedaan
dalam satu penelitian (3,1 vs 3,8 hari) (P ¼.46), 133 tetapi berbeda pada penelitian lain (2,8 vs 9,6
hari) (P <0,001).135 Sonnappa dkk134membandingkan biaya debridemen VATS primer versus
torakostomi selang dengan fibrinolitik dan menemukan bahwa meskipun tidak ada perbedaan
dalam lama perawatan di rumah sakit, biaya keseluruhan VATS lebih besar dibandingkan
dengan fibrinolitik (masing-masing $ 11.379 vs $ 9127, P <0,001). 134 Demikian pula, Kurt dkk135
menemukan bahwa pengobatan fibrinolitik lebih murah daripada VATS (masing-masing
$ 7600 vs $ 11.700, P ¼.02), tetapi St. Peter dkk133 tidak menemukan perbedaan biaya antara
VATS dan fibrinolitik ($ 19.714 vs. $ 21.947, masing-masing, P ¼ 312).133.135
30
Ada beberapa perbedaan penting dalam desain penelitian. Dalam studi Kurt dkk, 135 yang
mengevaluasi total 18 pasien, kelompok nonoperatif menerima selang dada dan kemudian
ditatalaksana dengan agen fibrinolitik jika perlu untuk drainase cairan pleura inkomplit. Jika
resolusi efusi tidak adekuat, kateter tambahan ditempatkan untuk instilasi agen fibrinolitik.
Dalam studi Sonnappa dkk134 dan St. Peter dkk, 133
yang masing-masing mencatat 60 dan 36
pasien, agen fibrinolitik diberikan sesuai protokol segera setelah selang dada dipasang.
Perbedaan lain yang penting antara 3 studi ini adalah agen fibrinolitik yang digunakan berbeda
dalam setiap studi.

Sebuah tinjauan sistematis 44 studi retrospektif yang membandingkan strategi


pengobatan yang berbeda. Keluaran dari pasien yang diobati dengan selang dada saja (16 studi,
611 pasien), selang dada dengan fibrinolitik (10 studi, 83 pasien), VATS (22 studi, 449 pasien),
dan torakotomi (13 studi, 226 pasien).136 Tinjauan ini mengidentifikasi lama rawatan di rumah
sakit yang lebih pendek pada pasien yang dirawat dengan VATS atau torakotomi dibandingkan
dengan mereka yang dirawat nonoperatif. Ada juga kecenderungan durasi demam yang lebih
singkat pada pasien yang dirawat dengan operasi. Para penulis menyimpulkan bahwa bukti yang
kuat dalam berbagai penelitian retrospektif ini mendukung perawatan bedah dini untuk pasien
anak dengan empiema.

Dalam tinjauan sistematis oleh Gates dkk,136 lama rawatan pasca operasi pada kelompok
VATS dan torakotomi adalah 10,5 dan 9,9 hari. Ada lebih banyak penelitian tentang keluaran
pasien yang diobati dengan VATS dibandingkan dengan torakotomi, dan ada kecenderungan
publikasi VATS yang lebih banyak dalam beberapa tahun terakhir. Semua studi prospektif acak
lebih banyak membandingkan VATS, daripada prosedur torakotomi dengan selang dada dan
fibrinolitik. Ini menyiratkan perubahan di antara para ahli bedah dari torakotomi terbuka ke
VATS untuk manajemen bedah empiema.

31
32

Anda mungkin juga menyukai