DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2014
Hormat saya,
Penulis
DAFTAR GAMBAR
Sindroma Guillain-Barre dikarakteristikkan sebagai onset akut adri gangguan saraf perifer dan
kranial. Tanda dan gejala termasuk kelemahan dengan progresivitas yang cepat dan simetris serta
hilangnya refleks tendon. Plasmapheresis atau infus intravena human gamma globulin dini
meningkatkan perbaikan dan mengurangi insiden disabilitas jangka panjang. dari Pada kasus ini
dilaporkan seorang pria, 50 tahun, datang ke RSUP.H.Adam Malik Medan dengan keluhan
utama lemah seluruh anggota gerak. Dari pemeriksaan neurologis ditemukan tetraparesis flaksid,
penurunan refleks biseps/trisep dan APR/KPR, hipoestesi pada Th4-Th5 kebawah dan
inkontinensia urin dan alvi. Dari pemeriksaan lumbal punksi ditemukan level protein dan jumlah
sel normal. Penderita didiagnosa dengan Sindroma Guillain-Barre dan direncanakan untuk
dilakukan plasma exchange.
The Guillain-Barre Syndrome is characterized by acute onset of peripheral and cranial nerve
dysfunction. Symptoms and signs include rapidly progressive and symetrical weakness with loss
of tendon reflexes. Early plasmapheresis or intravenous infusion of human gamma globulin
accelerate recovery and diminished the incidence of long term neurologic disability. This is a
case report of male, 50 years, admitted to RSUP.H.Adam Malik Medan with major complain is
weakness in all extremities. From neurologic examination we found flaccid tetraparesis,
decreases in biseps/ triseps and APR/KPR reflex on all extremities, hypoestesia in Th4-Th5, and
incontinence urine et alvi From lumbar puncture we found level protein and cell were normal.
The patient diagnosed as Guillain-Barre Syndrome and planned to receive plasma exchange.
11111 11111
EID : EIS :
11111 11111
II.5. DIAGNOSA
Diagnosa Fungsional : Tetraparese tipe LMN + Hipestesia setinggi Th 4-5
ke bawah + Inkontinensia urin + Inkontinensia alvi
Diagnosa Anatomis : Saraf perifer
Diagnosa Etiologis : Autoimun
Diagnosa Banding : 1. Sindroma Guillain Barre
2. Miopati
3. Myelitis transversalis
II.9. PENATALAKSANAAN
• Bed Rest
• Diet MB TKTP
• O2 face mask 6-8L/i
• Inj. Dexamethasone 1 ampul/6 jam tapering off
• Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
• Total Plasma Exchange
• Fisioterapi
II.10. PROGNOSA
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad malam
III.3 ETIOLOGI
Sindroma Guillain Barre telah dihubungkan dengan infeksi virus dan bakteri yang
mendahuluinya, pemberian vaksin tertentu serta penyakit sistemik lainnya 7. Penyakit ini
dianggap sebagai penyakit paska infeksi yang diperantarai sistem imun yang menyerang saraf
perifer 1. Sindroma Guillain Barre sering terjadi paska infeksi pernafasan atau penyakit
saluran cerna tetapi telah dilaporkan suatu infeksi spesifik seperti cytomegalovirus, Epstein-
Barr virus, enterovirus, Campylobacter jejuni, mycoplasma dan paska imunisasi.5
Agen pencetus yang paling sering teridentifikasi adalah C.jejuni (13-39% kasus),
cytomegalovirus (5-22%), Epstein-barr virus (1-13% kasus) dan Mycoplasma pneumonia (5%
kasus). Seluruh kuman ini memiliki sekuens karbohidrat (antigen) yang menyerupai jaringan
saraf tepi.6
Dikutip dari : Gooch C, Fatimi T. Autoimmune Neuropathies Guillain-Barre Syndrome. In: Brust JCM, ed.
Current Diagnosis and Treatment in Neurology. New York. Mc Graw-Hill; 2007. P.302-4
III.5 PATOGENESIS
Organ penginfeksi menyebabkan respon imun humoral dan selular. Respon imun
humoral terjadi sebagai hasil dari aktivasi komplemen di bagian luar dari plasmalemma sel
Schwann. Respon imun seluler melibatkan makrofag dan sel T yang menyerang myelin sehat
di saraf perifer dan kranial, menyebabkan blok konduksi dari impuls saraf.9
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai suatu penyakit autoimmune,
dimana sistem imun secara “keliru” menyerang myelin atau akson, saraf pembawa signal dari
dan menuju otak. Kekeliruan serangan imun ini dapat timbul akibat permukaan C. jejuni
mengandung polisakarida yang menyerupai glikokunjugat jaringan saraf manusia. Kemiripan
ini disebut “ molecular mimicry “, yang didefinisikan sebagai pengenalan ganda oleh reseptor
sel-B atau sel-T dari suatu struktur mikroba dan suatu antigen host, dan merupakan
mekanisme dimana infeksi mencetuskan reaksi silang antibodi atau sel-T yang dapat
menyebabkan penyakit autoimun.3
Sel T memegang peranan penting pada penyakit SGB, dimana sel T help merupakan
prasyarat yang penting untuk maturasi sel B dan produksi antibodi. Pada penderita SGB, sel T
dijumpai di saraf perifer.10
Dikutip dari : Kasper Dl, fauci AS, Longo DL, et al.editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
16th. New York : Mc Graw Hill. 2005
REQUIRED
1. Progressive weakness of 2 or more limbs due to neuropathy
2. Areflexia
3. Disease course _4 weeks
4. Exclusion of other causes [e.g.vasculitis (polyarteritis nodosa, systemic lupus
erythematosus, Churg-Strauss syndrome), toxins (organophosphates, lead), botulism,
diphtheria, porphyria, localized spinal cord or cauda equina syndrome]
SUPPORTIVE
1. Relatively symmetric weakness
2. Mild sensory involvement
3. Facial nerve or other cranial nerve involvement
4. Absence of fever
5. Typical CSF profile (acellular, increase in protein level)
6. Electrophysiologic evidence of demyelination
Source: Modified from AK Asbury, DR Cornblath: Ann Neurol 27:S21, 1990.
Dikutip dari : Kasper Dl, fauci AS, Longo DL, et al.editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th.
New York : Mc Graw Hill
III.9 PENATALAKSANAAN
III.9.1 Terapi Suportif
Manajemen awal meliputi :1,7
• Pertahankan ABC jalur intravena dan bantuan ventilasi sesuai indikasi
• Intubasi harus dilakukan pada pasien yang mengalami gagal nafas. Indikator klinis
untuk intubasi mencakup hipoksia, penurunan fungsi respirasi yang cepat, batuk yang
lemah, dan dicurigai aspirasi.
• Pasien dengan SGB harus dimonitor ketat untuk perubahan tekanan darah, denyut
jantung dan aritmia lainnya.
- Jarang dibutuhkan pengobatan untuk takikardi
- Atropin direkomendasikan untuk bradikardi simtomatik
- Karena labilnya disautonomia, hipertensi sebaiknya ditangani dengan obat
short acting seperti beta blocker atau nitroprusside
- Hipotensi akibat disauotonomia biasanya menunjukkan respon terhadap cairan
intravena dan posisi telentang
- Alat pacu jantung sementara mungkin dibutuhkan pada pasien dengan blok
jantung derajat dua atau derajat tiga.
Dikutip dari : Winer JB. Treatment of Guillain-Barre Syndrome. Q J Med 2002; 95: 717-21
1. Intravenous immunoglobulin
Saat ini IVIG merupakan pilihan terapi untuk SGB. Dosis total standar untuk suatu
pemberian IVIG adalah 2gr/kg. Secara konvensional diberikan 0,4g/kg/hari selama 5 hari.2
Intravenous immunoglobulin (IVIG) bekerja dengan menetralisir antibodi myelin yang
melalui antibodi anti-idiotypic, menurunkan sitokin proinflamasi seperti interferon-gamma
(INF-gamma), juga menghambat kaskade komplemen dan memicu remielinisasi.7
Pada prakteknya pemberian IVIG relatif lebih mudah dan aman dibandingkan PE,
sehingga umumnya IVIG merupakan pengobatan yang lebih dipilih. Namun terdapat situasi
dimana PE lebih dipilih atau diindikasikan, misalnya :2,15
- Adanya kontraindikasi penggunaan IVIG
- Intoleransi atau efek samping yang serius pada penggunaan IVIG
- IVIG tidak tersedia sedang PE tersedia
2. Plasma Exchange
Albumin digunakan pada PE saat plasma pasien ditukar dengan subsitusi plasma.
Dapat menghilangkan autoantibodi dan kompleks imun dari serum. Plasma exchange
diberikan bersamaan dengan albumin (50 ml/kg) selama periode 10 hari dan terbukti
III.10 PROGNOSA
Diperkirakan 85% pasien SGB mencapai perbaikan fungsional penuh dalam waktu 6-
12 bulan, maksimal sampai 18 bulan setelah onset. Sekitar 7-15% mengalami sekuele
neurologis yang permanen. Angka mortalitas kurang dari 5%, dengan sepsis, emboli paru, dan
cardiac arrest sebagai penyebabnya.6
Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor prognostic buruk SGB antara lain :6
1. Umur ≥ 60th
2. Kecepatan perburukan klinis
3. Amplitudo konduksi saraf rendah pada saat stimulasi distal
4. Penggunaan ventilator yang lama.
Secara umum “poor long term prognosis” secara langsung berhubungan dengan
beratnya penyakit pada episode akut dan keterlambatan onset terapi spesifik.
Pada kasus ini telah dirawat seorang laki-laki yang didiagnosa dengan Sindroma
Guillain-Barre berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologi dan
pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama lemah pada keempat anggota gerak. Dari
anamnese didapati bahwa lemah keempat anggota gerak telah dialami penderita sejak 1
minggu sebelum masuk RS HAM, berlangsung secara perlahan-lahan. Awalnya rasa kebas
pada kedua tungkai yang kemudian dikuti dengan rasa lemah namun os masih dapat berjalan
dengan bantuan orang lain sejak 2 minggu yang lalu. Keesokan harinya memberat sehingga os
tidak dapat berjalan. Rasa lemah ini terasa menjalar sampai ke lengan tiga hari kemudian yang
juga disertai dengan rasa kebas dan semakin memberat sehingga os tidak dapat menggerakkan
kedua lengan dan tungkai sejak 1 minggu terakhir. Sesak nafas dialami os sejak 1 hari yang
lalu. Riwayat demam dijumpai, disertai batuk.
Dari pemeriksaan neurologis didapatkan; tetraparesis tipe LMN, penurunan reflek
fisiologis pada keempat ekstremitas, hipoestesia setinggi Th4-5 ke bawah dan inkontinensia
urine dan inkontinensia alvi.
Saat masuk os didiagnosa banding dengan miopati dan myelitis transversalis. Miopati
disingkirkan karena pada kasus ini kelemahan diawali pada bagian distal terlebih dahulu.
Sedangkan myelitis transversalis yang menyebar keatas (asending) disingkirkan karena pada
kasus ini tidak dijumpai peningkatan refleks dan tidak ada refleks patologis.
Dari hasil pemeriksaan lumbal punksi dijumpai kadar protein serta jumlah sel normal.
Pada kasus ini os dikonsulkan ke ICU karena mengalami kesulitan bernafas akibat
kelemahan otot-otot pernafasan. Pasien menjalani plasma exchange dan terlihat kemajuan
kondisi pasien dengan meningkatnya kekuatan motorik dan menurunnya kesulitan bernafas.
V. PERMASALAHAN
VII. SARAN