Anda di halaman 1dari 72

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI UMUR 21 TAHUN DENGAN


KELUHAN NYERI PERUT

Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Komprehensif


di RS PKU Muhammadiyah Mayong

Disusun Oleh :

Adib Priambudi
H2A012026P

Pembimbing :

dr. Ali Rohmad

KEPANITERAAN KOMPREHENSIF

RS PKU MUHAMMADIYAH MAYONG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti
kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah1.. Ikterus menjadi tampak secara klinis
pada anak-anak dan orang dewasa jika kadar bilirubin dalam serum mencapai 2-
3mg/dl. Pada neonatus kadar yang lebih tinggi mungkin ditemukan tanpa bukti
ikterus. Ikterus mungkin disertai dengan kencing warna gelap atau tinja akholik
(warna terang).2

Adanya ikterus yang mengenai hampir seluruh organ tubuh menunjukkan


terjadinya gangguan sekresi bilirubin. Ikterus dapat dibedakan menjadi tiga yaitu
ikterus pre hepatik, ikterus hepatik, dan ikterus post hepatik3

Ikterus pre hepatik terjadi karena adanya kerusakan RBC atau intravaskular
hemolisis, seperti pada anemia hemolitik menyebabkan terjadinya pembentukan
bilirubin yang berlebih. Bilirubin yang tidak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam
air sehingga tidak diekskresikan dalam urin dan tidak tidak terjadi bilirubinia tetapi
peningkatan urobilinogen. Hal ini menyebabkan warna urin dan feces menjadi
gelap4.

Ikterus hepatik terjadi di dalam hati karena penurunan pengambilan dan


konjugasi oleh hepatosit sehingga gagal membentuk bilirubin terkonjugasi. Hal ini
disebabkan oleh rusaknya sel hepatosit, hepatitis akut atau kronis, dan pemakaian
obat. Gangguan konjugasi bilirubin dapat disebabkan oleh defisiensi glukoronil
transferase sebagai katalisator4.

Ikterus post hepatik terjadi karena penurunan sekresi bilirubin terkonjugasi


sehingga mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi
bersifat larut dalam air, sehingga diekskresikan ke dalam urin melalui ginjal. Faktor
yang dapat menyebabkan gangguan sekresi adalah berupa faktor fungsional atau

2
obstruksi duktus choledocus yang disebabkan oleh cholelitiasis, infestasi parasit,
tumor hati, dan inflamasi yang mengakibatkan fibrosis4.

Pada banyak pasien ikterus dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
teliti ditambah dengan pemeriksaan laboratorium yang sederhana, diagnosis dapat
ditegakkan. Namun tidak jarang diagnosis pasti masih sukar ditetapkan, sehingga
perlu dipikirkan berbagai pemeriksaan lanjutan. Diagnosis ikterus bedah atau
obstruksi bilier umumnya dapat ditegakkan dengan anamnesis lengkap, pemeriksaan
fisik yang teliti serta tes laboratorium. Walaupun demikian, sarana penunjang
imaging yang non-invasifseperti ultrasonografi; CT Scan abdomen dan pemeriksaan
yang invasif seperti percutaneous transhepatic cholangiography (PTC), endoscopic
retrograde cholangiopancreatography (ERCP) sering diperlukan untuk menentukan
letak, kausa dan luas dari lesi obstruksinya. Dengan kemajuan yang pesat di bidang
endoskopi gastrointestinal maka ERCP dan PTC telah berkembang dari satu
modalitas dengan tujuan diagnosis menjadi tujuan terapi pada ikterus bedah5.

3
BAB II

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. A
Umur : 21 tahun
Agama : Islam
Alamat : Buaran Mayong Jepara
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Suku : Jawa
No. CM :-
Tanggal Masuk : 15 Maret 2019
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 15 Maret 2019 ja, 11.30 WIB
Keluhan utama: Nyeri perut
A. Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak ± 14 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri
perut. Nyeri dirasakan di ulu hati dan kanan atas. Nyeri terus-menerus dan
mengganggu aktivitas. Pasien juga mengeluh badannya lemas. Pasien lebih
nyaman dalam posisi berbaring.. Keluhan lain pasien merasakan perut mual
muntah 2-3x/hari sejak 3 hari yang lalu, perut terasa sebah, dan mata dan
badan kuning kurang lebih 3 hari SMRS. nafsu makan menurun. Tidak
terdapat keluhan seperti demam, pusing, nyeri kepala, batuk, berkeringat di
malam hari, nyeri dada, dada berdebar, kebas (-), lemah anggota gerak (-),
BAK warna seperti teh , tidak ada nyeri saat BAK, BAB lancar berwarna
kuning seperti biasa, tidak ada darah.

4
B. Riwayat Penyakit Dahulu:
 Darah tinggi : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Kolesterol : disangkal
 Opname : disangkal
 Sakit kuning : disangkal
 Alergi makanan dan obat : disangkal
 Penyakit ginjal : disangkal
 Riwayat transfusi darah : disangkal
 Operasi : disangkal
C. Riwayat Penyakit Keluarga:
 Sakit serupa : disangkal
 Darah tinggi : disangkal
 Kencing manis : disangkal
 Penyakit kuning : disangkal
 Penyakit ginjal : disangkal
D. Riwayat Pribadi
Pasien makan 3 kali sehari, suka mengonsumsi makanan yang

berlemak.. Konsumsi alkohol (-). Riwayat penggunaan jarum suntik


disangkal. Pasien jarang berolahraga.
E. Riwayat Sosial Ekonomi:
Pasien saat ini bekerja di perusahaan swasta. Pembayaran dengan
BPJS.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 15 Maret 2019 jam 11.30
WIB.
A. Keadaan Umum : Tampak lemah
B. Kesadaran : Compos mentis
C. GCS :15

5
D. Tanda Vital
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 86 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 37,90C
BB : 60 kg
TB : 160 cm
IMT : 23,43 kg/m2 (Normoweight)
E. Status generalis
1. Kepala : Bentuk mesocephal
2. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (+/+), mata cekung (-/-),
perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor (±3mm), reflek cahaya (+/
+) normal
3. Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
4. Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
5. Mulut
Bibir kering (-), bibir sianosis (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-)
6. Leher
Simetris, trachea di tengah, KGB membesar (-), tiroid membesar (-),
nyeri tekan (-)
Thoraks

1. Paru
Dextra Sinistra
Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada datar datar
Hemithorak simestris
Retraksi ICS - -

6
Penggunaan otot bantuan - -
nafas
2. Palpasi
Stem fremitus normal normal
Ekspansi dada simetris
Nyeri tekan (-) (-)
Pelebaran ICS (-) (-)

3. Perkusi Pekak di ICS VI parasternal normal

4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan (-) (-)
Belakang
1. Inspeksi
Bentuk dada Dalam batas normal Dalam batas normal
Hemithorak simetris
2. Palpasi
Stem fremitus normal normal
Nyeritekan (-) (-)
Pelebaran ICS (-) (-)

3. Perkusi
Suara lapang paru Pekak di ICS IV dan V Redup ICS III-V
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan (-) (-)

2. Cor
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : ictus cordis teraba 2 cm lateral di ICS 5 linea midclavikula
sinistra kuat angkat, pulsus parasternal (-), pulsus epigastrium (-)
 Perkusi :
 Batas kanan bawah jantung : ICS V linea sternalis dextra

7
 Batas atas jatung : ICS II linea parasternal sinistra
 Batas pinggang jantung :ICS III linea parasternal sinistra
 Batas kiri bawah jantung :ICS V linea midclavicularis
sinistra
 Konfigurasi jantung : kesan dalam batas normal
 Auskultasi : reguler
 Suara jantung murni: SI,SII (normal) reguler.
 Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-)
F. Abdomen
 Inspeksi : Perut cembung, distensi (+), kulit seperti warna
sekitar, spider angioma (-), venectasi (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Perkusi :

Redup Timpani Redup

Redup Timpani Redup

Redup Redup Redup

pekak sisi (-), pekak alih (-)


 Palpasi :
 Nyeri tekan (+) hipocondriaka dextra, epigastrium
 Hepar : tidak teraba dan sulit dinilai
 Limpa : tidak teraba dan sulit dinilai
 Ginjal : sulit dinilai
G. Ekstremitas
Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
CRT < 2 detik < 2 detik
Kekuatan 555 555

8
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah lengkap
15 Maret 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Lengkap (WB EDTA)
Lekosit 6,4 103/ul 4,8-11
Eritrosit 6,07 106 /ul 4,5-5,9
Hemoglobin 16,3 g/dl 14,0-16,0
Hematokrit 56,6 % 40-48
MCV 93,4 fL 82-95
MCH 28,5 pg 27-31
MCHC 30,5 g/dl 32-37
Trombosit 180 103/ul 150-440
Diff Count
Eosinofil % 1-3
Basofil % 0-1
Batang % 2-6
Segmen 69 % 50-70
Limfosit 25 % 20-40
Monosit 6, % 2-10

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


Kimia Klinik
Bilirubin Total 8,38 mgdl 0,1-1,2
Bilirubin Direct 2,87 mg/dl 0,0-0,2
Albumin 2,9 g/dl 3,5-5,3
GDS 50 70-150
SGOT 155 20-60
SGPT 494 20-60
KERATININ 0,5 0,6-1,3
SEROLOGI
HBSAg Non Non Reaktif
Reaktif

2. Pemeriksaan USG Abdomen


Kesan : Lien VU ginjal dbn Hepar tidak membesar, struktur homogen,
densitas meningkat, difus pada hepar, tajam.

9
10
V. RESUME
Seorang Laki-laki usia 21 tahun Sejak ± 14 hari sebelum masuk
rumah sakit, pasien mengeluh nyeri perut. Nyeri dirasakan di ulu hati dan
kanan atas. Nyeri terus-menerus dan mengganggu aktivitas. Pasien juga
mengeluh badannya lemas. Pasien lebih nyaman dalam posisi berbaring..
Keluhan lain pasien merasakan perut mual muntah 2-3x/hari sejak 3 hari
yang lalu, perut terasa sebah, dan mata dan badan kuning kurang lebih 3 hari
SMRS. nafsu makan menurun. Tidak terdapat keluhan seperti demam,
pusing, nyeri kepala, batuk, berkeringat di malam hari, nyeri dada, dada
berdebar, kebas (-), lemah anggota gerak (-), BAK warna seperti teh , tidak
ada nyeri saat BAK, BAB lancar berwarna kuning seperti biasa, tidak ada
darah.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium diapatka kenaikan pada SGOT
155 SGPT 494, Bilirubin total 8,38 dan Bilirubin direk 2,87, HbSAg Non
Reaktif

VI. DAFTAR MASALAH


1. Nyeri Perut ulu hati dan kanan Atas
2. Mual Muntah
3. Lemas
VII. USULAN PENUNJANG
1. Seromarker
IgM Anti HAV
IgG Anti HBc
Anti HcV
VIII. DIAGNOSIS
Ikterik ec Suspek Hepatitis Akut
IX. DIAGNOSIS BANDING
1. Hepatitis B
2. Serosis Hepatik

11
3. Pankreatitis akut
4. Kolangitis
5. Kolesistisis
6. Koledokolitiasis
7. Kolelitiasis
X. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Inf NaCl 0,4% 20 tpm
Inj Omz 2 x 40 mg
Inj Vit K 1x1
Sukralfat syr 3x2
UDCA 3.1
Sistenol 3x1
Hepamax 3x1
2. Non Medikamentosa
Bed Rest Total
Diet TKTP
Diet Lunak
Roborantia (perbaikan iunitas tubuh dengan makan asupan yg bergizi)
XI. PROGNOSIS
Qua ad Vitam : dubia ad bonam
Qua ad Sanam : dubia ad bonam
Qua ad Fungsionam : dubia ad bonam

12
FOLLOW UP
Tanggal Subjektif Objektif Analisis Perencanaan
15/3/19 - nyeri TD 100/60mmHg Suspek  Inf RL 20 tpm
perut ulu N 64x/menit Hepatitis  Inj Omeprazol
hati dan RR 24x/menit 4mg/12 jam
kanan atas S 36,7 oC  Sanmol 3.1
- Mual Mata : CA -/-, SI  Sukralfat 3.2
muntah 2- +/+ cth
3x/hari Thx  Program USG
- Paru : Sn Abdomen
vesikuler +/
+, ronki -/-,
wheezing -/-
- Jantung : S1
dan S2 reg,
M (-), G (-)
Abd : supel, NT (+)
ulu hati dan kanan
atas, NTE (+)
timpani
Eks : akral hangat
(+/+)
Ikterik pada
ujung kuku,
badan kunng
Lab :
 SGOT 494
 SGPT 155
 Bilirubin

13
total 8,38
 Bilirubin
direk 2,87
 HbsAg non
reaktif

16/3/19 - nyeri TD 100/60mmHg  Inf NaCl 0,4%


20 tpm
perut ulu N 64x/menit
 Inj Omz 2 x
hati dan RR 24x/menit 40 mg
kanan atas S 36,7 oC  Inj Vit K 1x1
 Sukralfat syr
- Mual Mata : CA -/-, SI 3x2
muntah +/+  UDCA 3.1
 Sistenol 3x1
Thx
 Hepamax 3x1
- Paru : Sn  Sucralfat 3x2
vesikuler +/ cth
+, ronki -/-,  Antasida 3x1
wheezing -/- cth
- Jantung : S1
dan S2 reg,
M (-), G (-)
Abd : supel, NT (+)
ulu hati dan kanan
atas, NTE (+)
timpani
Eks : akral hangat
(+/+)
Ikterik pada
ujung kuku,
badan kunng
Lab :

14
 SGOT 494
 SGPT 155
 Bilirubin
total 8,38
 Bilirubin
direk 2,87

HbsAg non reaktif

17/3/19 - nyeri TD 100/60mmHg Kesan Obat lanjut


perut ulu N 64x/menit Hepatitis
hati dan RR 24x/menit Akut
kanan atas S 36,7 oC
berkurang Mata : CA -/-, SI
- Mual +/+
(+)muntah Thx
(-) - Paru : Sn
vesikuler +/
+, ronki -/-,
wheezing -/-
- Jantung : S1
dan S2 reg,
M (-), G (-)
Abd : supel, NT (+)
ulu hati dan kanan
atas, NTE (+)
timpani
Eks : akral hangat
(+/+)
Ikterik pada

15
ujung kuku,
badan kunng
Lab :
 SGOT 494
 SGPT 155
 Bilirubin
total 8,38
 Bilirubin
direk 2,87

HbsAg non reaktif


USG Abdomen :

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

16
Istilah jaundice berasal dari bahasa Perancis jaune yang berarti
“kuning” atau ikterus dari bahasa yunani icteros menunjukkan pewarnaan
kuning pada kulit, sklera atau membran mukosa sebagai akibat penumpukan
bilirubin yang berlebihan pada jaringan. Ikterus atau jaundice menandakan
adanya peningkatan produksi bilirubin atau eliminasi bilirubin dari tubuh
yang tidak efektif.1,2
Penumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan pigmentasi
kuning dalam plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada
jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin
serum akan menumpuk kalau produksinya dari heme melampaui
metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi dan
klirens dapat terjadi akibat pelepasan prekursor bilirubin secara berlebihan
ke dalam aliran darah atau akibat proses fisiologi yang mengganggu ambilan
(uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini7.
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila
ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L)
atau sekitar 2 kali batas atas kisaran normal. Kadar bilirubin serum normal
adalah sebagai berikut. Bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin:
0.3-1.0 mg/dL5.
Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang
tinggi terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan
tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada
ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia
adalah warna urin yang gelap yang terjadi akibat eksresi bilirubin lewat
ginjal dalam bentuk bilirubin glukoronid. Pada ikterus yang mencolok, kulit
dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian bilirubin yang beredar
menjadi biliverdin7.

17
Gambar 1. Sklera ikterus

B. ANATOMI HEPAR DAN KANDUNG EMPEDU


1. Hepar
Hepar terdiri dari dua lobus besar, yaitu lobus kanan dan kiri, yang
mengisi kavitas abdominis bagian kanan atas dan tengah, tepat di bawah
diafragma. Sel-sel hepar memiliki banyak fungsi, salah satunya fungsi
pencernaan yaitu menghasilkan empedu. Empedu memasuki duktus
koledokus minor yang disebut kanalikuli empedu pada sel-sel hepar,
yang kemudian akan bergabung menjadi saluran yang lebih besar dan
akhirnya bersatu membentuk duktus hepatikus, yang akan membawa
empedu keluar dari hepar. Duktus hepatikus akan bersatu dengan duktus
sistikus biliaris untuk membentuk duktus koledokus komunis, yang akan
membawa empedu kedalam duodenum8.
Empedu sebagian besar tersusun atas air dan memiliki fungsi
ekskretorik, yaitu membawa bilirubin dan kelebihan kolesterol ke dalam
usus untuk dikeluarkan bersama feses. Fungsi pencernaan empedu
dilakukan oleh garam empedu, yang akan mengemulsikan lemak di
dalam intestinum tenue. Emulsifikasi berarti pemecahan lemak yang
berukuran besar menjadi molekul yang berukuran kecil. Proses ini
bersifat mekanik, bukan kimiawi. Produksi empedu dirangsang oleh

18
hormon sekretin yang diproduksi oleh duodenum ketika makanan
memasuki intestinum tenue8.

Gambar 1. Anatomi hepar9

2. Kandung Empedu
Vesica biliaris atau kandung empedu adalah suatu kantong dengan
panjang sekitar 7,5 – 10 cm, yang terletak pada permukaan bawah lobus
kanan hepar. Empedu di dalam duktus hepatikus, hepar akan mengalir
melalui duktus sistikus ke dalam vesika biliaris, yang akan menampung
empedu sampai ia dibutuhkan kedalam usus halus. Kandung empedu
juga akan meningkatkan konsentrasi empedu dengan mengabsorbsi air.
Ketika makanan yang mengandung lemak memasuki duodenum mukosa
duodenum akan mensekresikan hormon kolesistokinin. Hormon ini akan
merangsang kontraksi otot polos pada dinding vesika biliaris, yang akan
mendorong empedu memasuki duktus sistikus, lalu kedalam duktus
koledokus komunis dan berlanjut kedalam duodenum8.

19
Gambar 2. Anatomi Kandung Empedu10

C. METABOLISME BILIRUBIN NORMAL


Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :
a. Produksi
Bilirubin adalah produk akhir metabolisme protoporfirin besi
atau heme, yang sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25%
dari heme di hepar (enzim sitokrom, katalase dan heme bebas),
mioglobin otot serta eritropoesis yang tidak efektif di sumsum
tulang. Sekitar 80-85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit
tua dalam sistem monosit makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit
adalah 120 hari. Setiap hari dihancurkan sekitar 50 ml darah dan
menghasilkan 250-350 mg bilirubin. Pemecahan heme menghasilkan
biliverdin yang akan diubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi.
Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak dan tidak larut dalam
air, sehingga tidak dapat diekskresi dalam empedu atau urin.11,12
b. Transportasi
Bilirubin tak terkonjugasi (indirek) berikatan dengan albumin
dalam suatu kompleks larut air, kemudian diangkut oleh darah ke sel-

20
sel hati. Setiap molekul albumin mampu mengikat satu molekul
bilirubin. Artinya pada kadar bilirubin serum normal, semua bilirubin
yang dibawa ke dalam hati berikatan dengan albumin, dengan
sejumlah kecil bilirubin bebas yang berdifusi ke jaringan lain11.
c. Liver Uptake
Bilirubin tak terkonjugasi yang telah berikatan dengan
albumin dalam suatu kompleks larut-air, kemudian diangkut oleh
darah ke sel-sel hati. Ambilan oleh sel hati memerlukan dua protein
hati yaitu yang diberi simbol sebagai protein Y dan Z.11,12
d. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin indirek dikonjugasi oleh enzim
glukoronil transferase dalam retikulum endoplasma. Bilirubin
terkonjugasi tidak larut dalam lemak, tetapi larut dalam air dan dapat
diekskresi dalam empedu dan urin.dalam air. Didalam hati kira-kira
80% bilirubin terdapat dalam bentuk bilirubin direk (terkonjugasi
atau bilirubin II)11.
e. Ekskresi
Langkah terakhir dalam metabolisme bilirubin hati adalah
transport bilirubin terkonjugasi melalui membran sel ke dalam
empedu melalui suatu proses aktif. Bilirubin tak terkonjugasi tidak
diekskresi ke dalam empedu, kecuali setelah proses fotooksidasi atau
fotoisomerisasi. Bakteri usus mereduksi bilirubin II menjadi
serangkaian senyawa yang disebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat-
zat ini menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10-20%
urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah
kecil diekskresi dalam urin11.

21
Gambar 2. Fisiologi Bilirubin

D. PATOFISIOLOGI IKTERUS
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat
terjadi:
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati
3. Gangguan konjugasi bilirubin

22
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor
intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau
mekanik
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga
mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama
mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi11.
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah
merah merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang
berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus
hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal,
tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati.
Akibatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah meningkat.
Meskipun demikian kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/100 ml
pada penderita hemolitik berat, dan ikterus yang timbul bersifat ringan,
berwarna kuning pucat. Karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut
dalam air, maka tidak dapat diekskresikan ke dalam kemih, dan
bilirubinuria tidak terjadi. Tetapi pembentukan urobilinogen menjadi
meningkat (akibat.peningkatan beban bilirubin terhadap hati peningkatan
konjugasi dan ekskresi), yang lanjutnya mengakibatkan peningkatan
ekskresi dalam feses dan kemih. Kemih dan feses dapat berwarna
gelap11.
Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah
hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada anemia sel sabit), sel darah
merah abnormal (sferositosis herediter), antibodi dalam serum (Rh atau
inkompatibilitas transfusi atau sebagian akibat penyakit hemolitik
autoimun), pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma
(pembesaran limpa dan peningkatan hemolisis). Sebagian kasus ikterus
hemolitik dapat diakibatkan oleh peningkatan destruksi sel

23
darah merah atau prekursornya dalam sumsum tulang (talasemia, anemia
pernisiosa, porfiria). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif11.
Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin secara berlebihan
yang berlangsung kronik mengakibatkan pembentukan batu empedu
yang banyak mengandung bilirubin; di luar itu, hiperbilirubinemia ringan
umumnya tidak membahayakan. Pengobatan langsung ditujukan untuk
memperbaiki penyakit hemolitik. Akan tetapi, kadar bilirubin tak
terkonjugasi yang melebihi 20 mg/100 ml pada bayi dapat
mengakibatkan kern ikterus11.
2. Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat albumin oleh
sel-sel hati dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan
mengikatkannya pada protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah
terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-
sel hati: asam flavaspidat (dipakai untuk mengobatl cacing pita),
novobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi
penyebab dihentikan. Dahulu, ikterus neonatal dan beberapa kasus
sindrom Gilbert dianggap disebabkan oleh defisiensi protein penerima
dan gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan
kasus demikian, telah ditemukan defisiensi glukoroniltransferase
sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi
bilirubin11.
3. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( <12,9 mg/100
ml) yang mulai terjadi pada hari kedua sampai kelima lahir
disebut ikterus fisiologis pada neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini
disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoroniltransferase.
Aktivitas glukoronil transferase biasanya meningkat beberapa hari

24
setelah lahir sampai sekitar minggu kedua, dan setelah itu ikterus akan
menghilang11.
Ketika bilirubin yang tak terkonjugasi pada bayi baru lahir
melampaui 20 mg/100 ml, terjadi suatu keadaan yang disebut kern
ikterus. Keadaan ini dapat timbul bila suatu proses hemolitik (seperti
eritroblastosis fetalis) terjadi pada bayi baru lahir dengan defisiensi
glukoronil transferase normal. Kern ikterus atau bilirubin ensefalopati
timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada daerah basal
ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak diobati maka akan
terjadi kematian atau kerusakan neurologik berat. Tindakan pengobatan
yang saat ini dilakukan pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi adalah dengan fototerapi. Fototerapi berupa pemberian sinar
biru atau sinar fluoresen (gelombang yang panjangnya 430 sampai 470
nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini menyebabkan
perubahan struktural bilirubin (foto-isomerisasi) menjadi isomer isomer
yang larut dalam air, isomer ini akan diekskresikan dengan cepat ke
dalam empedu tanpa harus dikonjugasi terlebih dahulu11.
Ada tiga kondisi herediter yang menyebabkan defisiensi progresif
dari glukoronil transferase: sindrom Gilbert dan sindrom Crigler-Najjar
tipe I dan tipe II. Sindrom Gilbert merupakan suatu penyakit familial
ringan yang ditandai oleh hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan ( <5
mg/1 00 ml) dan ikterus. Beratnya ikterus dapat berubah- ubah, dan
sering kali menjadi lebih buruk jika penderita puasa lama, infeksi,
operasi dan terlalu banyak minum alkohol. Awitannya paling sering
terjadi semasa remaja. Sindrom Gilbert adalah keadaan yang cukup
sering timbul dan dapat menyerang sampai 5% penduduk pria. Tes
fungsi hati normal, demikian juga kadar urobilinogen kemih dan feses.
Tidak ada bilirubinuria. Penelitian mengungkapkan bahwa penderita-
penderita ini mengalami defisiensi parsial glukoroniltransferase.

25
Keadaan ini dapat diobati dengan fenobarbital, yang merangsang
aktivitas enzim glukoronil transferase11.
Sindrom Crigler-Najjar tipe I merupakan gangguan herediter yang
jarang, penyebabnya adalah gen resesif, dengan akibat glukoronil
transferase tidak ada sama sekali sejak lahir. Karena konjugasi bilirubin
tidak dapat terjadi, maka empedu jadi tidak berwarna dan kadar bilirubin
tak terkonjugasi melampaui 20 mg/100 ml, sehingga menyebabkan kern
ikterus. Fototerapi dapat mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
untuk sementara waktu, tetapi biasanya bayi akan meninggal pada tahun
pertama kehidupannya. Sindrom Crigler-Najjar tipe II adalah bentuk
yang lebih ringan dari penyakit ini, diturunkan oleh suatu gen dominan,
di mana defisiensi glukoronil transferase hanya ringan. Kadar bilirubin
tak terkonjugasi dalam serum lebih rendah (6 sam pai 20 mg/100 ml) dan
ikterus dapat tidak terlihat sampai masa remaja. Fenobarbital yang
mening katkan aktivitas glukoronil transferase sering kali dapat
menghilangkan ikterus pada penderita ini11.

4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi


Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-
faktor fungsional maupun obstruktif, terutama mengakibatkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Karena bilirubin terkonjugasi larut
dalam air, maka bilirubin ini dapat diekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubinuria dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen
feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga feses terlihat
pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti
kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase
alkali dalam serum, AST, kolesterol, dan garam-garam empedu.
Peningkatan garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal
pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia
terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan dengan

26
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari
kuning-jingga muda atau tua sampai kuning-hijau bila terjadi obstruksi
total aliran empedu. Perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus
kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus obstrukfif. Kolestasis
dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel hati, kanali kuli, atau
kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu di luar hati).
Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan biokomia yang sarna11.
Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah penyakit
hepatoselular di mana sel parenkim hati mengalami kerusakan akibat
virus hepatitis atau berbagai jenis sirosis. Pada penyakit ini,
pembengkakan dan disorganisasi sel hati dapat menekan dan
menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyakit hepatoselular biasanya
menyebabkan gangguan pada semua fase metabolisme bilirubin-
Pengambilan, konjugasi, dan ekskresi, tetapi karena ekskresi biasanya
yang paling terganggu, maka yang paling menonjol adalah
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab kolestasis intrahepatik yang
lebih jarang adalah pemakaian obat-obat tertentu, dan ganguan herediter
Dubin-Johnson serta sindrom Rotor. Pada keadaan ini, terjadi gangguan
transfer bilirubin melalui membran hepatosit. Obat yang sering
menimbulkan gangguan ini adalah halotan (anestetik), kontrasepsi oral,
estrogen, steroid anabolik, isoniazid, dan klorpromazin11.
Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu
empedu, biasanya pada ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput
pankreas dapat pula menyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari
luar; juga karsinoma ampula Vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah
striktur yang timbul pasca peradangan atau setelah operasi, dan
pembesaran kelenjar limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik seperti
hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat duktus hepatikus kanan atau
kiri11.

27
Berikut merupakan tabel gambaran khas ikterus hemolitik,
hepatoseluler, dan obstruktif:
GAMBARAN HEMOLITIK HEPATOSELULER OBSTRUKTIF
Warna kulit Kuning pucat Oranye kuning muda Kuning hijau
atau tua muda atau tua
Warna Urine Normal (atau Gelap (bilirubin Gelap (bilirubin
gelap dengan terkonjugasi) terkonjugasi)
urobilin)
Warna feses Normal atau Pucat (lebih sedikit Warna dempul
gelap (lebih sterkobilin) (tidak ada
banyak sterkobilin)
sterkobilin)
Proritus Tidak ada Tidak menetap Biasanya menetap
Bilirubin serum Meningkat meningkat meningkat
indirect (tak
terkon- jugasi)
Bilirubin serum Normal meningkat Meningkat
direct
(terkonjugasi)
Bilirubin urine Tidak ada Meningkat Meningkat
Urobilinogen meingkat Sedikit meningkat menurun
urine

E. PENYAKIT TERKAIT GANGGUAN BILIRUBIN


a. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
Hemolisis. walaupun hati yang normal dapat memetabolisme
kelebihan bilirubin, namun peningkatan konsentrasi bilirubin pada
keadaan hemolisis dapat melampaui kemampuannya. Pada keadaan
hemolisis yang berat konsentrasi bilirubin jarang lebih dari 3-5 mg/dL (>
51-86 umol/L) kecuali kalau terdapat kerusakaan hati juga. Namun
demikian kombinasi hemolisis yang sedang dan penyakit hati yang
ringan dapat mengakibatkan ikterus yang lebih berat.

28
Sindrom Gilbert. Gangguan yang bermakna adalah
hiperbilirubinemia indirek (tak terkonjugasi), yang menjadi penting
secara klinis, karena keadaan ini sering disalahartikan sebagai penyakit
hepatitis kronis. Patogenesisnya belum dapat dipastikan. Adanya
gangguan (defek) yang kompleks dalam proses pengambilan bilirubin
dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5 mg/dL (34-86 umol/L) yang
cenderung naik dengan berpuasa dan keadaan stres lainnya. Karenanya
mungkin ada hubungannya dengan sindrom Crigler-Najjar tipe II.
Telah dilaporkan bahwa Sindrom Gilbert dapat berkontribusi
terhadap terjadinya percepatan ikterus neonatal, terutama pada kasus
peningkatan hemolisis akibat penyakit seperti defisiensi Glukosa-6-
phosphate dehidrogenase. Situasi ini bisa sangat berbahaya jika tidak
cepat diobati karena kadar bilirubin yang tinggi menyebabkan kecacatan
neurologis ireversibel dalam bentuk kernikterus.13
Gejala yang tampak pada penderita antara lain merasa lelah
sepanjang hari (fatigue), penurunan konsentrasi, kehilangan nafsu
makan, sakit perut, berat badan turun, gatal-gatal (tanpa ruam), dll. tetapi
penelitian ilmiah menemukan ada pola yang jelas antara gejala yang
merugikan terkait dengan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi
pada orang dewasa14.
Orang dengan Sindrom Gilbert memiliki peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi, sedangkan bilirubin terkonjugasi biasanya dalam kisaran
normal dan kurang dari 20% dari total. Kadar bilirubin yang dilaporkan
dari 20 pM sampai 90 pM (1,2-5,3 mg / dL) [21] dibandingkan dengan
jumlah normal <20 pM. Pasien akan memiliki rasio bilirubin tak
terkonjugasi / terkonjugasi (indirect / direct) yang lebih tinggi
dibandingkan mereka yang tanpa Sindrom Gilbert. Tingkat bilirubin total
sering lebih meningkat jika sampel darah diambil setelah berpuasa
selama dua hari dan cepat dapat digunakan untuk diagnosis15.

29
Sindrom gilbert dapat dengan mudah dibedakan dengan hepatitis
dengan tes faal hati yang normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin,
dan fraksi bilirubin indirek yang dominan. Hemolisis dibedakan dengan
tidak terdapatnya anemia atau retikulositosis. Histologi hati normal.
Pasien harus diyakinkan bahwa tidak ada penyakit hati.
Sindrom Crigler-Najjar. Penyakit yang diturunkan dan jarang ini
disebabkan oleh karena adanya keadaan kekurangan glukuro-
niltransferase, dan terdapat dalam 2 bentuk. Pasien dengan penyakit
autosom resesif tipe I (lengkap=komplit) mempunyai hiperbilirubinemia
yang berat dan biasanya meninggal pada umur 1 tahun. Pasien dengan
penyakit autosom resesif tipe II (sebagian=parsial) mempunyai
hiperbilirubinemia yang kurang berat (> 20 mg/dL, <342 umol/L) dan
biasanya bisa hidup sampai masa dewasa tanpa kerusakan neurologik.
Fenobarbital, yang dapat merangsang kekurangan glukuronil transferase,
dapat mengurangi kuning.

b. Hiperbilirubinemia Konjugasi
 Hiperbilirubinemia Konjugasi Non-Kolestasis
Sindrom Dubin-Johnson. Penyakit autosom resesif ditandai dengan
ikterus yang ringan dan tanpa keluhan. Kerusakan dasar terjadinya
gangguan ekskresi berbagai anion organik seperti juga bilirubin, namun
ekskresi garam empedu tidak terganggu. Berbeda dengan sindrom
Gilbert hiper-bilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin terkonjugasi dan
empedu terdapat dalam urin.
Hati mengandung pigmen sebagai akibat bahan seperti melanin,
namun gambaran histologi normal. Nilai aminotransferase dan fosfatase
alkali normal. Oleh karena sebab yang belum diketahui gangguan yang
khas ekskresi korpoporfirin urin dengan rasio reversal isomer I; III
menyertai keadaan ini.

30
Gangguan ekskresi empedu bilirubin glukuronidase disebabkan oleh
mutasi pada kanalikular multidrug resistance protein 2 (MRP2).
Kelainan pigmen gelap pada hati karena metabolit epinefrin polimerisasi,
bukan bilirubin16.
Sindrom Rotor. Penyakit yang jarang ini menyerupai sindrom
Dubin-Johnson, tetapi hati tidak mengalami pigmentasi dan perbedaan
metabolik lain yang nyata ditemukan.
 Hiperbilirubinemia Konjugasi Kolestasis
Kolestasis Intrahepatik. Istilah kolestasis lebih disukai untuk
pengertian ikterus obstruktif sebab obstruksi yang bersifat mekanis tidak
perlu selalu ada. Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja
dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampula Vater. Untuk
kepentingan klinis, membedakan penyebab sumbatan intrahepatik atau
ekstrahepatik sangat penting. Penyebab paling sering kolestatik
intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena
alkohol dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering
adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma
metastatik dan penyakit-penyakit lain yang jarang.
Virus hepatitis, alkohol, dan keracunan obat (drug induced hepatitis),
dan kelainan autoimun merupakan penyebab yang tersering. Peradangan
intrahepatik mengganggu transport bilirubin konjugasi dan menyebabkan
ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan
dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut.
Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada tahap
awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik dan menahun dan mengakibatkan
gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati. Tidak
jarang penyakit hati menahun juga disertai gejala kuning, sehingga
kadang-kadang didiagnosis salah sebagai penyakit hati akut. (IPD)
Hepatitis virus akut. Merupakan suatu infeksi sistemik terutama
mengenai hati. Secara klinik tampak rasa tidak enak badan, ,mual,

31
muntah, diare dan sedikit demam diikuti dengan urine warna gelap,
ikterus dan nyeri hepatomegali; mungkin secara subklinik diketahui
berdasarkan kenaikan kadar aspartat dan alanin aminotransferase (AST
dan ALT). Hepatitis B mungkin berkaitan dengan fenomena kompleks
imun, termasuk artritis, penyakit seperti serum sickness,
glomerulonefritis dan vaskulitis seperti poliartritis nodosa. Penyakit
seperti hepatitis mungkin penyebabnya tidak hanya oleh virus
hepatotropik (A,B,C,D,E) tetapi juga oleh virus-virus lainnya (Epstein-
Barr, CMV, coxsackievirus, dll), alkohol, obat-obatan, hipotensi dan
iskemia dan penyakit traktus biliaris.

Gambar 3. Perbedaan gambaran klinis Hepatitis Virus

Hepatitis A (HAV) Penyakit infeksi akut pada hati yang disebabkan


oleh virus hepatitis A (HAV). Virus picorna 27-nm dengan untaian
tunggal genom RNA. Akibat sembuh dalam 6-12 bulan, biasanya tanpa

32
gejala sisa; sebagian kecil akan tampak satu atau dua gambaran klinik
dan serologik; pada beberapa kasus, timbul kolestasis yang jelas
menunjukkan terjadinya sumbatan biliaris; jarang bersifat fatal (hepatitis
fulminan), tidak ada karier kronis.
Gejala awal infeksi hepatitis A biasanya sering dianggap influenza,
tapi pada beberapa penderita, terutama anak-anak, tidak menunjukkan
gejala sama sekali. Gejala biasanya muncul 2 sampai 6 minggu (masa
inkubasi) setelah infeksi awal17. Gejala biasanya berlangsung kurang dari
2 bulan, meskipun beberapa orang bisa sakit selama 6 bulan: kelelahan,
demam mual muntah kehilangan nafsu makan, menguningnya kulit dan
mata karena hiperbilirubinemia, garam empedu yang disaring dari aliran
darah dan diekskresikan dalam urin, memberikan warna kuning gelap,
tinja berwarna tanah liat18.
Meskipun HAV diekskresikan dalam tinja menjelang akhir masa
inkubasi, diagnosis spesifik dibuat oleh deteksi antibodi IgM HAV-
spesifik dalam darah. Antibodi IgM hanya muncul dalam darah
menyusul infeksi hepatitis akut A. Hal ini terdeteksi satu sampai dua
minggu setelah infeksi awal dan berlangsung sampai 14 minggu.
Antibodi IgG dalam darah muncul berarti tahap akut penyakit sudah
selesai dan penderita akan kebal terhadap infeksi selanjutnya. Antibodi
IgG HAV juga ditemukan dalam darah orang tervaksinasi dan tes untuk
kekebalan terhadap virus didasarkan pada deteksi antibodi ini 19. Selama
infeksi tahap akut, enzim hati alanin transferase (ALT) muncul dalam
darah yang nilainya jauh lebih tinggi dari normal. Enzim berasal dari sel-
sel hati yang telah dirusak oleh virus20.
Epidemiologi penularan fekal-oral; endemik di negara-negara kurang
berkembang; epidemi yang ditularkan melalui makanan dan air; wabah
pada pusat-pusat perawatan, tempat tinggal. Pencegahan setelah paparan:
imun globulin 0,02 mL/kg IM dalam 2 minggu pada kontak dalam
rumah tangga (bukan kontak biasa di tempat kerja). Sebelum paparan:

33
vaksin HAV tidak aktif 1mL IM (dosis satuan tergantung pada
formulasi); setengah dosis pada anak-anak; ulangan pada 6-12 bulan;
sasaran pada wisatawan, calon tentara, perawat hewan, petugas
perawatan, pekerja laboratorium, penderita dengan penyakit hati kronis,
terutama hepatitis C.

Gambar 3. Skema gambaran klinis dan laboratorium HAV


Hepatitis B (HBV) Merupakan penyakit infeksi peradangan hati
yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV). Hepadna virus 42-nm
dengan selubung permukaan luar (HbsAg), inti nukleokapsid dalam
(HbcAg), DNA polimerase dan sebagian ulir ganda DNA genome dari
3200 nukleotida. Bentuk sirkulasi HbcAg adalah HbeAg, suatu petanda
replikasi virus dan kemampuan infeksi. Serotip banyak dan heterogen
genetik.

34
Gambar4. Sekma gambaran klinis dan laboratories khas HBV
Virus ini ditularkan melalui paparan darah atau cairan tubuh seperti
air mani dan cairan vagina, sedangkan DNA virus telah terdeteksi dalam
air liur, air mata, dan urin dari karier kronis. Infeksi perinatal merupakan
rute utama infeksi pada daerah endemik (terutama negara berkembang)21.
Infeksi akut virus hepatitis B dikaitkan dengan hepatitis viral akut.
Penyakit yang diawali dengan sakit secara menyeluruh, kehilangan nafsu
makan, mual, muntah, nyeri di seluruh tubuh, demam ringan, urin
berwarna gelap, dan kemudian berkembang menjadi ikterus22.
Infeksi kronis virus hepatitis B dapat bersifat asimtomatik atau
mungkin berhubungan dengan peradangan kronis hati (hepatitis kronis),
yang dapat mengarah ke sirosis setelah beberapa tahun. Jenis infeksi ini
dapat meningkatkan insiden karsinoma hepatoseluler (kanker hati).
Pasien karier kronis dianjurkan untuk menghindari mengkonsumsi
alkohol karena akan meningkatkan risiko mereka terkena sirosis dan
kanker hati. Virus hepatitis B telah dikaitkan dengan perkembangan
glomerulonefritis membranosa (GNM)23.
Kemungkinan sembuh > 90%, hepatitis fulminan (<1%), hepatitis
kronis atau karier (hanya 1-2% imunokompeten pada orang dewasa;
lebih tinggi pada neonatus, usia lanjut, gangguan imunologik), sirosis,
dan karsinoma hepatoselular (terutama setelah infeksi kronis yang
dimulai pada bayi atau awal masa kanak-kanak).
Diagnosis HbsAg dalam serum (infeksi akut atau kronis); IgM anti-
HBc (awal anti HBc mengindikasi adanya infeksi akut atau baru saja
terjadi infeksi). Tak lama setelah munculnya HBsAg, antigen lain yang
disebut antigen e hepatitis B (HBeAg) akan muncul. Secara tradisional,
kehadiran HBeAg dalam serum host dikaitkan dengan replikasi virus
tingkat yang jauh lebih tinggi dan meningkatkan infektivitas, namun
varian dari virus hepatitis B tidak menghasilkan 'e' antigen, sehingga
aturan ini tidak selalu berlaku. Jika imunitas host mampu melawan

35
infeksi, akhirnya HBsAg akan menjadi tidak terdeteksi dan akan diikuti
oleh antibodi IgG terhadap antigen permukaan hepatitis B dan antigen
inti, (anti-HBs dan anti HBc IgG). Waktu antara penghapusan HBsAg
dan munculnya anti-HBs disebut periode jendela. Seseorang dengan
HbsAg negatif tetapi anti-HBs positif berarti telah sembuh dari
penyakitnya atau telah divaksinasi sebelumnya24. Individu dengan
HBsAg positif selama setidaknya enam bulan dianggap sebagai
pembawa hepatitis B. Pembawa virus mungkin mengidap hepatitis B
kronis, yang akan tercermin dengan peningkatan serum alanine
aminotransferase (ALT) dan peradangan pada hati, seperti yang
digambarkan pada pemeriksaan biopsi25. Tes yang paling sensitif adalah
mengetahui HBV DNA dalam serum; umumnya tidak diperlukan untuk
diagnosis rutin.
Epidemiologi perkutan (tusukan jarum), seksual atau penularan
perinatal. Endemik di sub-Sahara Afrika dan Asia Tenggara, dimana
hampir 20% penduduk terkena infeksi, biasanya pada waktu usia muda.
Pencegahan setelah orang yang belum divaksinasi terpajan: globin
imun hepatitis B (HBIg) 0,06 mL/kg BB secara IM segera setelah
tertusuk jarum terinfeksi sampai 14 hari setelah pajanan seksual disertai
serangkaian vaksinasi. Pada paparan perinatal (ibu HbsAg+) HBIg 0,05
mL pada paha segera setelah lahir dengan vaksinasi dimulai pada 12 jam
pertama kehidupan. Sebelum paparan: vaksin hepatitis B rekombinan IM
(dosis tergantung pada formulasi untuk dewasa atau untuk anak-anak dan
hemodialis); pada 0; 1; dan 6 bulan; suntikan pada deltoid bukan pada
bokong. Ditargetkan untuk kelompok risiko tinggi (misalnya pekerja
kesehatan, individu dengan pasangan seksual banyak, pengguna obat IV,
pasien hemodialisis, hemofilia, kontak rumah tangga dan kontak seksual
dari karier HbsAg, individu bepergian ke daerah endemik, anak-anak
yang tidak divaksinasi <18 tahun). Sekarang dianjurkan vaksinasi secara
menyeluruh pada seluruh anak di Amerika Serikat.

36
Hepatitis C (HCV) disebabkan oleh virus mirip flavi virus dengan
genom RNA yang terdiri dari >9000 nukleotida (mirip dengan virus
demam kuning, virus dengue), heterogenitas genetik. Periode inkubasi 7-
8 minggu. Infeksi virus ini sering kali tanpa gejala, tetapi infeksi kronis
dapat menyebabkan jaringan parut hati dan akhirnya menjadi sirosis,
yang umumnya terlihat setelah beberapa tahun kemudian. Dalam
beberapa kasus, orang-orang dengan sirosis akan berkembang menjadi
gagal hati, kanker hati atau varises esofagus dan lambung yang
mengancam jiwa26.
Perjalanan klinis sering secara klinis ringan dan menjadi nyata
karena peningkatan secara fluktuasi kadar serum aminotransferase; >
50% cenderung kronis, penyakit menuju ke sirosis pada > 20%. Infeksi
hepatitis C menyebabkan gejala akut pada 15% kasus. Gejala umumnya
ringan dan samar-samar, termasuk nafsu makan menurun, kelelahan,
mual, nyeri sendi, dan penurunan berat badan. Sebagian besar kasus
infeksi akut tidak berhubungan dengan gejala ikterus27.
Sekitar 80% dari mereka yang terkena virus berkembang menjadi
infeksi kronis. Kebanyakan tanpa gejala selama beberapa dekade awal
infeksi, meskipun hepatitis C kronis dapat dikaitkan dengan gejala
kelelahan. Hepatitis C menahun menjadi penyebab utama sirosis dan
kanker hati. Sekitar 10-30% orang berkembang menjadi sirosis lebih dari
30 tahun. Sirosis lebih sering pada mereka yang mempunyai infeksi
tambahan hepatitis B atau HIV, pecandu alkohol, dan orang-orang jenis
kelamin laki-laki. Mereka yang berkembang menjadi sirosis memiliki
risiko 20 kali lipat lebih besar menjadi karsinoma hepatoseluler.
Hepatitis C adalah penyebab dari 27% kasus sirosis dan 25% karsinoma
hepatoseluler di seluruh dunia28.
Sirosis hati dapat menyebabkan hipertensi portal, asites (akumulasi
cairan di perut), mudah memar atau pendarahan, varises (vena
membesar, terutama di perut dan kerongkongan), ikterus, dan sindrom

37
gangguan kognitif dikenal sebagai ensefalopati. Hal ini merupakan
indikasi untuk dilakukannya transplantasi hati29.
Diagnosis menggunakan Anti-HCV dalam serum. Sekarang
imunoassay generasi ketiga memasukkan protein dari inti, bagian NS3
dan NS5. Indikator yang paling sensitif infeksi HCV adalah HCV RNA.

Gambar5. Gambaran laboatorium yang khas selama hepatitis C


akutmenjadi kronis. CV RNA adalah pertama kali diketahui,didahului
kenaikan ALT dan timbulnya anti-HCV

Hepatitis C kronis didefinisikan sebagai infeksi dengan virus


hepatitis C yang bertahan selama lebih dari enam bulan berdasarkan
kehadiran RNA-nya. Infeksi kronis biasanya tanpa gejala selama
beberapa dekade pertama. Paling sering ditemukan setelah pemeriksaan
enzim hati yang meningkat atau pada pemeriksaan rutin kelompok risiko
tinggi. Tetapi tes ini tidak dapat membedakan antara infeksi akut dan
kronis30.
Epidemiologi HCV berperan > 90% pada kasus transfusi yang
berkaitan dengan hepatitis. Penggunaan obat IV berperan > 50% dari
kasus-kasus hepatitis C yang dilaporkan. Sedikit adanya bukti tentang
penularan melalui seksual atau perinatal. Pencegahan jangan gunakan
donor darah yang dibayar, melakukan tes darah dari donor untuk anti-
HCV. Anti-HCV diketahui dari imunoassay enzim dalam darah donor

38
dengan ALT normal sering memberikan positif palsu (30%); hasilnya
sebaiknya dipastikan melalui pemeriksaan HCV RNA dalam serum.
Hepatitis D (HDV, Delta agent) virus RNA 37-nm defektif yang
memerlukan HBV untuk replikasinya; baik sama-sama menginfeksi
dengan HBV atau superinfeksi karier HBV kronik. Makin memperberat
infeksi HBV (percepatan hepatitis kronis menjadi sirosis; terkadang
hepatitis fulminan akut).
Diagnosis Anti-HDV dalam serum (hepatitis D akut-sering titernya
rendah, sementara; hepatitis D kronis pada titer yang lebih tinggi, terus
menerus). Epidemiologi endemik di antara karier HBV di daerah
Mediterania Basin, menyebar terutama bukan melalui perkutan. Pada
daerah bukan endemik (misalnya Eropa Utara, Amerika Serikat) HDV
tersebar secara perkutan antara HbsAg+ pengguna obat IV atau melalui
transfusi pada hemofilia dan yang sedikit di antara HbsAg+ pria
homoseksual.
Hepatitis E (HEV) disebabkan oleh agen 29 sampai 32 nm diduga
berkaitan dengan calicivirus. Penularan secara enteral dan epidemi
melalui air terjadi hepatitis di India, sebagian Asia, Afrika dan Amerika
Tengah. Penyakit sembuh sendiri dengan angka kematian tinggi pada
wanita hamil (10-20%)7.
Alkohol bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan
sekresinya, dan mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alkohol secara
terus-menerus bisa menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan
sirosis dengan berbagai tingkat ikterus. Perlemakan hati merupakan
penemuan yang sering, biasanya dengan manifestasi yang ringan tanpa
ikterus, tetapi kadang-kadang bisa menjurus ke sirosis. Hepatitis karena
alkohol biasanya memberi gejala ikterus sering timbul akut dan dengan
keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada nekrosis sel hati ditandai
dengan peningkatan transaminase yang tinggi.

39
Sirosis Hepatis Merupakan konsekuensi dari penyakit hari kronis
yang ditandai dengan penggantian jaringan hati dengan jaringan fibrotik,
jaringan parut, dan nodul regeneratif (benjolan yang terbentuk sebagai
hasil regenerasi jaringan yang telah rusak. Penyakit ini mengarah ke
hilangnya fungsi hati. Sirosis umumnya disebabkan oleh alkoholisme,
hepatitis B, hepatitis C, dan penyakit fatty liver, namun tidak menutup
kemungkinan oleh penyebab yang lainnya. Beberapa kasus didapatkan
idiopatik31.
Hati memainkan peran penting dalam sintesis protein (misalnya,
albumin, faktor pembekuan dan komplemen), detoksifikasi dan
penyimpanan (misalnya vitamin A). Selain itu, hati berpartisipasi dalam
metabolisme lipid dan karbohidrat. Sirosis sering didahului oleh hepatitis
dan fatty liver (steatosis). Jika penyebabnya dihilangkan pada tahap ini,
perubahan tersebut masih reversibel. Patologis khas sirosis adalah
pengembangan jaringan parut yang menggantikan parenkim normal,
menghalangi aliran darah portal melalui organ dan mengganggu fungsi
normal. Penelitian terbaru menunjukkan peran penting dari sel stelat,
jenis sel yang biasanya menyimpan vitamin A, dalam perkembangan
sirosis. Kerusakan parenkim hati menyebabkan aktivasi sel stelat, yang
menjadi kontraktil (disebut myofibroblast) dan menghalangi aliran darah
dalam sirkulasi. Di samping itu, teraktivasi juga TGF-β1, yang mengarah
ke respon fibrosis dan proliferasi jaringan ikat. Garis-garis jaringan
fibrosa yang memisahkan nodul-nodul hati, yang akhirnya menggantikan
arsitektur hati seluruh, yang menyebabkan penurunan aliran darah
sistemik. Limpa menjadi padat, yang menyebabkan hipersplenisme dan
peningkatan penyerapan trombosit. Hipertensi portal bertanggung jawab
atas komplikasi yang paling parah sirosis32.
Kolestatis Ekstrahepatik. Penyebab paling sering pada kolestasis
ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus dan kanker pankreas.
Penyebab lainnya yang relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi

40
terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus,
pankreatitis atau pseudocyst pankreas dan kolangitis sklerosing.
Kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya
sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanis empedu
Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu
(yang terpenting bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi
sistemik dan kegagalannya untuk masuk usus halus untuk ekskresi.
Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan
kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering
berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna
usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi selalu
diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun
sebenarnya hubungan belum jelas sehingga patogenesis gatal masih
belum bisa diketahui dengan pasti.
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K,
gangguan ekskresi garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan
hipoprotrombinemia. Pada keadaan kolestasis yang berlangsung lama
(primary biliary cirrhosis), gangguan penyerapan Ca dan vitamin D dan
vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan
osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid
mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati
dan esterifikasi yang berkurang dalam darah turut berperan; Konsentrasi
trigliserida tidak terpengaruh.
Kolelitiasis Diartikan adanya batu di kantong empedu disebut juga
dengan Gallstone. Jika batu empedu bermigrasi turun ke saluran
empedu, kondisi tersebut disebut sebagai koledokolitiasis.
Koledokolitiasis itu sendiri sering dikaitkan dengan obstruksi saluran
empedu yang dapat menyebabkan penyakit ascending cholangitis. Batu
empedu yang bermigrasi ke tingkat ampula Vater dapat menghambat

41
sistem eksokrin pankreas, yang selanjutnya dapat mengakibatkan
pankreatitis.
Epidemiologi satu juta kasus baru kolelitiasis setiap tahun di
Amerika Serikat. Faktor predisposisi mencakup demografik/genetik
(prevalensi meningkat pada Indian Amerika Utara), obesitas, berat badan
turun, hormon seks wanita, usia, penyakit ileum, kehamilan,
hiperlipidemia tipe IV dan sirosis.
Batu empedu kolesterol terbentuk ketika empedu mengadung terlalu
banyak kolesterol dan tidak diimbangi dengan jumlah garam empedu.
Selain konsentrasi kolesterol yang tinggi, ada dua faktor yang pe dalam
menyebabkan batu empedu. Yang pertama adalah seberapa sering dan
seberapa baik kontraksi kandung empedu, pengosongan yang tidak
lengkap dan tidak sering dapat mengakibatkan overconcentrated dan
berkontribusi dalam pembentukan batu empedu. Hal ini dapat
disebabkan oleh resistensi yang tinggi terhadap aliran empedu dari
kantong empedu karena geometri internal yang rumit dari duktus
sistikus. Faktor kedua adalah adanya protein dalam hati dan empedu
yang mendorong atau menghambat kristalisasi kolesterol menjadi batu
empedu. Selain itu, peningkatan kadar hormon estrogen, sebagai akibat
dari kehamilan atau terapi hormon, atau penggunaan kontrasepsi oral
kombinasi yang mengandung estrogen dapat meningkatkan kadar
kolesterol dalam empedu dan juga mengurangi gerakan kantong empedu,
sehingga memicu pembentukan batu empedu33.
Gejala dan tanda batu empedu adalah “tenang” yaitu terdapat pada
penderita tanpa gejala. Gejala terdapat jika batu menimbulkan inflamasi
atau obstruksi duktus sistikus atau duktus biliaris komunis. Gejala
utama: (1) kolik biliaris – sakit hebat terus menerus pada kuadran kanan
atas di epigastrium yang mulainya mendadak; sering terdapat 30-90
menit setelah makan, berakhir sampai beberapa jam dan terkadang
menjalar ke skapula kanan atau punggung; (2) mual, muntah. Pada

42
pemeriksaan fisik mungkin normal atau tampak nyeri epigastrium atau
pada kuadran kanan atas (RUG).
Laboratorium terkadang, ringan dan sedikit peningkatan bilirubin
(<85 µmol/L (<5 mg/dL)) diikuti dengan kolik biliaris. Pencitraan hanya
10% batu kolesterol adalah radio-opak. Ultrasonografi adalah tes
diagnosis yang terbaik. Kolesistogram oral telah digantikan dengan
ultrasonografi tetapi mungkin berguna untuk menilai duktus sistikus
apakah masih paten dan fungsi pengosongan kandung empedu masih
berfungsi

43
Gambar 6. Evaluasi Diagnosis duktus biliaris
Pengobatan meliputi pengangkatan batu menggunakan ERCP
(endoscopic retrograde cholangiopancreatography). Biasanya, kantong
empedu ini kemudian diangkat dengan operasi yang disebut
kolesistektomi, untuk mencegah terjadinya obstruksi saluran empedu di
masa mendatang atau komplikasi lain34.

44
Kolesistitis akut radang akut kandung empedu biasanya disebabkan
oleh sumbatan duktus sistikus karena batu yang terjebak. Reaksi radang
ditimbulkan oleh: (1) radang mekanis karena tekanan dalam lumen
meningkat; (2) radang kimia dari pelepasan lisolesitin; (3) radang
bakteri, yang memegang peran dalam 50-58% pasien dengan kolesistitis
akut. Etiologi 90% batu; 10% bukan batu. Kolesistitis bukan batu
berkaitan dengan kejadian komplikasi yang lebih tinggi dan berkaitan
dengan penyakit yang akut (misalnya luka bakar, trauma, pembedahan
besar), puasa, hiperalimentasi yang menyebabkan stasis kandung
empedu, vaskulitis, karsinoma kandung empedu atau karsinoma duktus
biliaris komunis, beberapa infeksi kandung empedu (Leptospira,
Streptococcus, Salmonella, atau Vibrio cholerae), tetapi pada > 50%
kasus tidak ditemukan penjelasan yang mendasar.
Gejala dan tanda berupa (1) serangan kolik biliaris (nyeri kuadran
kanan atas atau nyeri epigastrium) yang progresif memburuk; (2) mual,
muntah, tidak nafsu makan; dan (3) demam. Pemeriksaan yang khas
adanya ketegangan pada kuadran kanan atas; teraba massa pada kuadran
kanan atas ditemukan pada 20% pasien. Murphy’s sign timbul jika
inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi kuadran kanan atas,
menimbulkan sakit yang makin hebat atau saat diminta menahan
inspirasi.
Kolesistitis biasanya didiagnosis dengan riwayat gejala di atas, serta
temuan pemeriksaan:
1. Demam (biasanya ringan pada kasus tanpa komplikasi)
2. Nyeri kuadran kanan atas dengan atau tanpa tanda Murphy
3. Ortner’s Sign: Nyeri ketuk pada tepi lengkung iga kanan
4. Georgievskiy - Myussi's sign (phrenic nerve sign): Nyeri ketika
penekanan pada tepi sternokleidomastoid
5. Boas’s Sign: Peningkatan sensitivitas bawah skapula kanan (juga
karena iritasi saraf frenikus)35

45
Nilai laboratorium menandakan kenaikan alkali fosfatase, dapat
disertai kenaikan bilirubin yang tinggi (meskipun ini dapat menunjukkan
kelainan koledokolitiasis), dan mungkin disertai dengan kenaikan hitung
sel darah putih. CRP (C-Reactive Protein) sering meningkat. Tingkat
kenaikan nilai-nilai laboratorium mungkin tergantung pada tingkat
peradangan kandung empedu itu sendiri. Pasien dengan kolesistitis akut
mungkin nilai laboratoriumnya bisa terlihat abnormal sedangkan pada
kolesistitis kronis nilai-nilai laboratorium sering kali normal.
USG adalah modalitas sensitif dan spesifik untuk diagnosis
kolesistitis akut, sensitivitas mencapai 88% sedangkan spesifitas
mencapai 80%. Kriteria diagnostik kandung empedu didapatkan
penebalan dinding sebesar > 3mm. Batu empedu bukan merupakan
kriteria diagnostik untuk kolesistitis sebab dapat terjadi dengan atau
tanpa batu. Sensitivitas dan spesifitas temuan CT scan berada pada
kisaran 90-95%. CT scan lebih sensitif dibandingkan ultrasonografi
dalam penggambaran respon inflamasi pericholecystic dan melokalisir
abses pericholecystic, gas pericholecystic, dan permukaan luar lumen
kandung empedu. CT scan tidak bisa melihat kalsifikasi kandung
empedu dan menilai Murphy’s Sign.
Hepatobiliary scintigraphy dengan teknesium-99m DISIDA
(bilirubin) analog juga sensitif dan akurat untuk diagnosis kolesistitis
kronis dan akut. Teknik ini juga dapat menilai kemampuan ejeksi
kandung empedu dan penurunan kemampuan ejeksi kandung empedu
dapat dikaitkan dengan kolesistitis kronis. Namun, karena kebanyakan
pasien dengan nyeri kuadran kanan atas tidak memiliki kolesistitis,
evaluasi primer biasanya dilakukan dengan modalitas yang dapat
mendiagnosa penyebab lain juga36.
Diagnosis banding termasuk pankreatitis akut, apendiksitis,
pielonefritis, penyakit ulkus peptikum, hepatitis dan abses hepar.

46
Komplikasi berupa empiema, hidrops, gangren, perforasi, ileus batu
empedu, kandung empedu porselen.
Koledokolitiasis / kolangitis etiologi pada penderita dengan
kolelitiasis, aliran batu empedu ke dalam duktus hepatikus komunis
terjadi pada 10-15%; usia yang makin bertambah. Pada kolesistektomi,
batu yang tidak diketahui akan tertinggal pada 1-5% penderita.
Gejala dan tanda koledokolitiasis mungkin sebagai penemuan yang
tidak sengaja, kolik biliaris, obstruktif ikterus, kolangitis, atau
pankreatitis. Kolangitis biasanya memberi gejala demam, nyeri kuadran
kanan atas dan ikterus (trias Charcot).
Laboratorium menunjukkan peningkatan serum bilirubin, alkali
fosfatase dan aminotransferase. Leukositosis biasanya mengikuti
kolangitis; kultur darah sering positif. Amilase meningkat pada 15%
kasus. Pencitraan diagnosis biasanya dibuat melalui kolangiografi, baik
sebelum operasi melalui endoscopic retrograd cholangiopancreatography
(ERCP) atau intraoperatif pada saat kolesistektomi. Ultrasonografi
mungkin memperlihatkan duktus biliaris melebar tetapi tidak sensitif
untuk mengetahui batu pada duktus biliaris komunis.
Diagnosis banding berupa kolesistitis akut, kolik ginjal, viskus
perforasi, pankreatitis. Komplikasi kolangitis, obstruktif ikterus,
pankreatitis yang diinduksi oleh batu empedu dan sirusi bilier sekunder.

Ikterus neonatorum. adalah menguningnya sklera, kulit, atau


jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini
merupakan tanda penting penyakit hati atau kelainan fungsi hati, saluran
empedu, dan penyakit darah. Bila kadar bilirubin darah melebihi 2 mg%
maka ikterus akan terlihat. Namun pada neonatus masih belum terlihat
meskipun kadar bilirubin mencapai 5 mg % (Markum, 2005)
Macam ikterus
1. Ikterus fisiologis

47
Ikterus fisiologi adalah keadaan dimana hiperbilirubin karena faktor
fisiologis yang merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru
lahir.
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirect tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup
bulan dan 12,5% untuk neonatus lebih bulan
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari
d. Ikterus menghilang 10 hari pertama
2. Ikterus patologis
a. Ikterus dalam 24 jam pertama
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau
melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan
c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari
d. Ikterus menetap setelah 2 minggu pertama
e. Kadar bilirubin direct melebihi 1 mg%
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik
Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap baru lahir,
karena hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih
banyak dan berumur lebih pendek
1. Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim
glukoronil transferase, ligan dalam protein belum adekuat)
2. Siklus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim
beta glukoronidase di usus dan belum ada nutrien.
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan
oleh mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang
dinamakan Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama
seperti Mud fever,Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal
fever, Infectious jaundice, Field fever, Cane cutter dan lain-lain3,4.
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak
ditemukan di negara beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira

48
interrogansdengan berbagai subgrup yang masing-masing terbagi lagi
atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih binatang
piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun
binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia bisa
terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka
atau erosi dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah
terjemar oleh air kemih binatang yang terinfeksi leptospira7.
Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab
ikterus, disamping itu hemoglobinuria dapat ditemukan pada awal
perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum terjadinya ikterus. Namun
akhir-akhir ini ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien
leptospirosis dengan ikterus. Tampaknya hemolisis hanya terjadi
pada kasus leptospirosis berat dan mungkin dapat menimbulkan ikterus
pada beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi,
namun nekrosis sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT hanya
sedikit meningkat.
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis
berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan
merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada leptospirosis
ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak
jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada
tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah
bakteri leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan nutrisi
penderita serta kecepatanmemperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis
adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.
Drug Induced Liver Injury. Ada 3 tahap mekanisme drug induced
liver injury. Pertama langsung melalui stress sel, penghambatan aktivitas
mitokondria dan reaksi imun spesifik. Kedua, initial injury akan
mengaktivasi mitochondrail permeability transition (MPT) melalui

49
intrinsic pathway. Intrinsic pathway mencakup stressor kaskade dan
protein pro apoptosis. Selain itu, MPT juga dapat melalui reseptor
kematian ekstrinsic pathway yang diaktivasi oleh reaksi imun setelah
sensitasi oleh TNF. Sitokin yang merangsang aktivasi sensivitas ini.
Ketiga MPT akan menyebabkan nekrosis atau apoptosis tergantung dari
ketersediaan ATP. Di pengaktivasian kaspase inisiator hepatositesis
tidak langsung melalui pathway apoptosis, tetapi amplifikasi melalui
faktor proapoptosis yang mengaktivasi MPT, yang kemudian akan
langsung menyebabkan apoptosis yang tetap diaktivasi dengan adanya
ketersediaan ATP. Nekrosis terjadi jika tidak ada ATP yang diperlukan
untuk konsumsi energi apoptosis pathway

50
Gambar 7. Patofisiologi Drug liver Injury

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS IKTERUS


Untuk menegakkan diagnosis ikterus dapat dilakukan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Namun, sebelum
dilakukan anamnesis, identifikasi pasien mencakup Nama, umur, dan jenis
kelamin jangan dilupakan. Umur dan jenis kelamin sering memberikan
petunjuk kearah kemungkinan tercapainya diagnosis. Misalnya hepatitis

51
viral akut tipoe A ditemukan terutama pada anak-anak dan usia muda.
Penyakit akndung empedu lebihbanyak dijumpai pada usia pertengahan dan
pada wanita. Sebaliknya, sirosis hati ataau hepatoma lebih banayk pada
kaum pria.
a. Anamnesis terkait ikterus
Anamnesis yang terinci perlu untuk mengetahui bagaimana mulainya
penyakit. Anamnesis terkait ikterus tetap berpedoman pada 7 butir
anamnesis (Sacred seven) dan 4 pilar utama (Fundamental four).
Anamnesis sangat penting untukmenggali riwayat penyakit dan
membantu pengakan diagnosis sebelum ditunjang oleh pemeriksaan fisik
dan penunjang5. Berikut adalah anamnesis terkait ikterus berdasarkan
sacred seven:
1. Onset dan kronologis
Penting untuk mengetahui kapan mulai terjadinya ikterus dan
kronologis terjadinya ikterus.dimana pertama kali muncul dan
didahului oleh apa. Apabila riwayat penyakit kuning telah
berlangsung alma sedangkan keadaan pasien berlangsung abik,dapat
mengarah pada kemungkinan penyakti bawaan seperti sindrom
Gilbert, Rotor, atau Dubin Johnson.
Bila ikterus disebabkan obstruksi seperti kista koleidokus
atau kolelitiasis, penderita mengalami kolik hebat secara tiba-tiba
tanpa sebab yang jelas. Keluhan nyeri perut di kanan atas dan
menusuk ke belakang. Penderita tampak gelisah dan kemudian ada
ikterus disertai pruritus.
2. Lokasi
Penting untuk mengetahui letak dimana saja terjadi ikterus.
Apakah di sclera, palmar, atau di seluruh tubuh.hal ini penting untuk
menentukan derajat suatu penyakit dengan gejala ikterus
3. Kualitas

52
Lokasi munculnya ikterus menunjukkan derajat kadar
bilirubin yag ada didalam tubuh. Kualitas keluhan juga dapat digali
melalui gejala lain yang menyertai, sebab adanya ikterus biasanya
disertai dengan gejala sistemik lainnya.
4. Kuantitas
Penting utnuk menanyakan sejauh mana luas daerah tubuh
yang menjadi ikterus, untuk mengetahui derajat penyakit.
5. Faktor Peringan
Dakktor peringan penting untuk mengetahu apakah ikterus
yang terjadi merupakan ikterus patologis, fisiologis, akibat
mengonsumsi obat tertentu atau makanan tinggi karoten, seperti
wortel. Apabila ikterus disebabkan karena mengonsumsi zat tertentu
atau obat tertentu, maka dengan penghentian konsumsi, gejala ikterus
dapat berkurang.
6. Faktor pemberat
Faktor pemberat terkait ikterus misalnya apakah keluhan
memberat dengan konsumsi makanan berlemak, dengan penggunaan
obat tertentu, atau apabila pasien beraktivitas. Hal ini dapat membantu
mengarahkan ke diagnosis pasti. Bila dengan makanan berlemak
pasien menjadi semakin mengeluh sakit maka ada kemungkinan
kolestitis.
7. Gejala/keluhan yang menyertai
Penting untuk mengetahui gejala atau keluhan lain yang
menyertai, karena hal tersebut dapat membantu untuk penegakan
diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding yang lain. Misalnya
adakah gejala predormal seperti lemas, tidak nafsu amkan, mual,
mencret, nyeri ulu hati, myalgia, meriang atau menggigil yang timbul
beberapa hart sebelum kulit berwarna kulit. Jika ada maka hepatitis
viral aktif harus dicurigai. Jika periode praikterus berlangsung lebih

53
lama atau lebih dari beberapa minggu atau bulan,maka curiga kearah
subacute hepatic necrosis.
Adanya keluhan sakit perut / kolik dan disertai gangguan
pencernaan lama sebelumnya, yang diperberat oleh makan makanan
berlemak disertai rasapenuh,kembung dna panas di perut serta
mungkin sukar buang air besar, maka diagnosis mengarah ke
penyakit batu di saluran empedu37.
Adanya demam dan menggigil biasanya terdapat pada
penyakit kolangitis, namun harus diingat bahwa keadaan ini pun dapat
ditemukan pada fase predormal hepatitis viral akut,hepatitis karena
obat dan leptospirosis11.
Pada hepatitis gejala awal muncul secara mendadak seperti
demam, mual, muntah, tidak mau makan, dan nyeri perut. Ikterus
dapat tidak kentara pada anak kecil muda sehingga hanya dapat
terdeteksi dengan uji laboratorium. Bila terjadi, ikterus dan urin
berwarna gelap biasanya terjadi setelah gejala-gejala sistemik. Selain
itu juga bisa didapatkan ada riwayat ikterus pada keluarga, teman
sekolah, teman bermain, atau jika anak atau keluarga telah berwisata
ke daerah endemik.2,12
Adanya ikterus tanpa keluhan (painless jaundice) harus
dipkirkan kearah ikterus obstruktif karena tumor pancreas. Keluhan
gatal-gatal yang menyertai ikterus dapat mengarahkan kepada
sumbatan di saluran empedu terutama oleh tumor,sedangkan jika
keadaan ini ditemukan pada wanita yang sedang hamil, perlu
dipikirkan mengenai ikterus berulang pada wanita hamil.
Keluhan air seni yang berwarna gelap merupakan tanda
permulaan ikterus. Warna tinja juga perlu mendapat perhatian,
misalnya warna yang acholic pada pasien ikterus obstruktif
ekstrahepatik.

54
Sedangkan anamnesis mengenai ikterus yang berpedoman dengan
fundamental four yaitu:
1. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyait sekarang penting untuk mengetahui hal-hal
terkait alasan utama yang menyebabkan pasien memeriksakan diri
atau dibawa keluarganya ke dokter atau rumah sakit. Keluhan utama
merupakan titik tolak penelusuran informasi mengenai penyakit yang
diderita pasien dan riwayat penyakit sekarang berdasarkan sacred
seven di atas. Pada pasien ikterus dapat ditanyakan apakah memiliki
riwayat penyakti lain seperti Hipertensi, Diabetes Mellitus,
Osteoarthritis, tumor, sedang dalam pengobatan suatu penyakit dan
lain-lain5.
2. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu penting untuk mengetahui hal-hal
terkait keluhan seputar apakah dulu pernah mengalami sakit yang
sama seperti saat ini, riwayat pengobatan, riwayat operasi, kecelakaan
serta riwayat alergi obat. Bila pasien pernah melakukan berbagai
pemeriksaan sebelumnya, bisa dicantumkan di sini. Seperti misalnya
hasil pemeriksaan darah atau pun foto rontgen (berdasarkan
keterangan dokter yang memeriksa). Pada pasien ikterus perlu
ditanyakan apakan pernah menderita penyakit kuning
sebelumnya,kontak dengan pasien kuning, mengonsumsi jamu-
jamuan jangka panjang, obat-obatan steroid, anabolik, kontrasepsi
oral, obat anti-tuberkulosis dan lain-lain2. Apakah pasien pernah
dioperasi terutama operasi kandung empedu (mengarah pada
kemungkinan striktur atau batu yang tertinggal).
3. Riweyat penyakit keluarga
Hal ini terkait apakah ada keluarga atau kerabat dekat yang
pernah mengalami gangguan yang sama atau penyakit keturunan
yang lain. Pada pasien bayi dan anak-anak, perlu juga diceritakan

55
riwayat kehamilan dan kelahiran. Pada pasien ikterus penting untuk
mengatahui apakah pasien pernah kontak dengan keluarga yang
pernah sakit kuning sebelumnya atau adakah keluarganya yang sejak
lahir memiliki sakit kuning2,5.
4. Riwayat sosial ekonomi
Yaitu pertanyaan mengenai tempat bekerja, pola makan
setiap hari, lingkungan sekolah atau rumah, aktivitas olahraga, dan
gaya hidup atau kebiasaan. Pada pasien ikterus penting untuk
mengetahui adanya kebiasaan merokok, mengonsumsi alkohol.
riwayat memakai tato, transfusi, termasuk penyalahgunaan obat-obat
terlarang (narkoba) maupun aktifitas seksual. Pada pasien ikterus
juag perlu ditanyakan apakah kontak dengan bintang pengerat
seperti tikus (mengarah pada leptospirosis), keadaan kebersihan
lingkungan pasien (sanitasi rumah), dan lain-lain11.
b. Pemeriksaan fisik terkait ikterus
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menunjukkan tanda objektif dari
suatu gejala yang dikeluhkan apsien dan untuk mengonfirmasi hasil
anamnesis pada pasien. Ikterus dapat dilihat pada sklera atau kulit.
Klinikus harus mencatat apakah penderita tampak sehat atau sakit, atau
apakah penderita tampak iritabel atau lemah. Hal ini akan memberi
indikasi apakah terdapat ensefalopati, infeksi atau penyakit metabolik.
Dismorfisme sangat berharga untuk mencari penyebab kolestasis. Popok
bisa diperiksa untuk melihat adanya tinja dempul dan urine gelap38.
Kepala.
1. Sklera ikterus. Tentukan warnanya apakah memberi kesan
kekuningan (yellownish jaundice) atau kehijauan (greenish jaundice)
atau hanya sub ikterus. Kesan yellownish jaundice menandakan
ikterus berasal dari kelainan intrahepatik, Greenish jaundice
menandakan ikterus berasal dari kelainan ekstrahepatik.

56
2. Tanda-tanda anemia. Anemia disertai ikterus perlu dipikirkan anemia
hemolitik.
3. Sianosis perioral Menunjukkan adanya kelainan pada cor atau
pulmo. Sering pada cardiac sirrosis
4. Fetor hepatikum. Menandakan banyak amoniak dalam tubuh yang
merupakan tanda kegagalan fungsi hati. Paling sering pada koma
hepatikum.
Leher
1. Tentukan JVP apakah meningkat. Menunjukkan bendungan sistemik /
portal. Misal pada cardiac sirrosis.
2. KGB teraba membesar . Menunjukkan adanya infeksi. Hepatitis dapat
dengan pembesaran KGB
Thorax
1. Tentukan batas paru-hepar, apakah ada peranjakan hati
2. Cari kemungkinan adanya ginekomastia dan spider nevi. Merupakan
salah satu stigmata SH.
3. Pulmo : Adakah kelainan
4. Cor : Adakah kelainan seperti gagal jantung
Abdomen
 Inspeksi: cari adanya : Massa, Acites, Venektasi. Kelainan-kelainan ini
sering pada SH dan hepatoma.
Kandung empedu yang membesar seperti ditemukan pada ikterus
obstruktif, dapat teraba sebagai masa yang bulat rata; jika tidak sakit
mungkin disebabkan oleh tumor di bagian kepala pancreas1,2.
Ascites yang menyertai ikterus,umumnya disebabkan oleh sirosis
hati. Dengan pungsi diagnostic dapat mudah dilihat apakah caciran
asites transudat, eksudat atau hemoragik11.
 Auskultasi : Cari kemungkinan terdapat bruit pada massa yang tampak.
Bruit (+) pada massa hepar menunjukkan Hepatoma.

57
 Perkusi: Cari kemungkinan redup yang dapat menunjukkan
kemungkinan adanya massa atau pembesaran organ.
1. Nilai adanya acites dengan shifting dullness
2. Cari kemungkinan adanya nyeri ketok pada regio hepar, kendung
empedu, epigastrium
 Palpasi :
1. Tentukan konsistensi abdomen
2. Adakah Hepatomegali. Tentukan besar dan konsistensi, tepi tajam /
tumpul, permukaan licin-rata / berbenjol-benjol, nyeri tekan (NT)
 Massa hati dgn tepi tajam, permukaan licin dan rata,
konsistensi keras, NT (+) : Hepatitis
 Massa hati dgn tepi tajam, permukaan berbenjol-benjol dan
rata, konsistensi keras, NT (+) : Hepatoma
 Massa hati dengan tepi tumpul, permukaan licin dan berbenjol,
fluktuasi (+), konsistensi lunak, NT (+) : Abses Hepar
Pada hati yang membesar, auskultasi perlu dilakukan untuk
mendengar bising arteri yang menunjukkan adanya
hipervaskularisasi oleh tumor. Jika didengar venous hum di bawah
prosesus xyphoideus, daerah epikardium lebih baik jika disertai
kolateral di dinding perut perlu dipikirkan adanya ekmungkinan
hipertensi portal
3. Adakah Splenomegali. Tentukan dalam batas schuffner, serta nilai
ruang troube
Limpa yang membesar mempunyai arti yang sangat penting.
Jika tidak ada tanda hemolitik maka ikterus dengan splenomegali
lebih mengarah ke penyakit hati kronik sebagai penyebabnya5.
4. Nilai Murphy sign
Ekstremitas

58
1. Oedem. Tentukan Pitting / non-pitting; Pitting oedem dapat
menunjukkan hipoalbuminemia sebagai kegagalan sintesis hati serta
retensi Na dan air sebagai akibat dari hipertensi porta. Sering pada SH
2. Clubbing finger, Sianosis; Sering pada cardiac sirrosis.
3. Adakah Eritema palmaris
4. Adakah Liver nail. ( kuku berwarna putih dengan ujung kuku
berwarna merah jambu, biasanya bilateral dan masih dapat ditembus
cahaya )
5. Adakah Kontraktur dupuytren  ( kontraktur fleksi jari-jari akibat
fibrosis fasia palmaris; Kontraktur dupuytren dan liver nail dapat di
temukan pada SH.

Gambar 8. gambaran makroskopik hepar. kiri: Hepar normal,.


tengah:fatty liver, kanan: sirosis hepatis

c. Pemeriksaan laboratorium terkait ikterus


1.) Tes fungsi hati
a.) Ekskresi empedu
 Bilirubin serum direk (terkonjugasi), meningkat bila terjadi
gangguan ekskresi bilirubin terkonjugasi. Nilai normalnya 0,1-
0,3 mg/dl

59
 Bilirubin serum indirek (tidak terkonjugasi), meningkat pada
keadaan hemolitik. Nilai normalnya 0,2-0,7 mg/dl.
 Bilirubin serum total, meningkat pada penyakit hepatoseluler.
Nilai normalnya 0,3-1,0 mg/dl11.
b.) Protein
Albumin merupakan protein utama serum yang hanya
disintesis di retikulum endoplasma hepatosit. Fungsi utamanya
adalah untuk mempertahankan tekanan koloid osmotik
intravaskuler dan sebagai pembawa berbagai komponen dalam
serum, termasuk bilirubin, ion-ion inorganik (contohnya kalsium),
serta obat-obatan. Penurunan kadar albumin serum dapat
disebabkan karena penurunan produksi akibat penyakit parenkim
hati. Nilai normalnya 3,2-5,5 g/dl11,39.
c.) Enzim serum
 Aspartate aminotransferase (AST) atau Serum Glutamic
Oxaloasetic Transaminase (SGOT), Alanine aminotransferase
(ALT) atau Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT),
dan Lactic Dehydrogenase (LDH) adalah enzim intrasel yang
terutama berada di jantung, hati, dan jaringan skelet yang
dilepaskan dari jaringan yang rusak. Apabila ada kerusakan
pada jaringan-jaringan tersebut maka akan terjadi kenaikan
kadar enzim ini dalam serum. Nilai normal SGOT 5-35
unit/ml dan SGPT 5-35 unit/ml. 1,39.
 Alkaline Phosphatase
Alkaline phosphatase dibentuk dalam tulang, hati, ginjal, usus
halus, dan disekresikan ke dalam empedu. Kadarnya
meningkat pada obstruksi biliaris, penyakit tulang, dan
metastasis hati. Nilai normalnya 30-120 IU/L atau 2-4 unit/dl.
 Gamma-glutamyltransferase (γGT)

60
γGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada saluran
empedu dan hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada
pankreas, lien, otak, mammae, dan usus dengan kadar tertinggi
pada tubulus renal. γGT merupakan indikator yang paling
sensitif untuk mendeteksi adanya penyakit hepatobilier. Kadar
γGT tertinggi ditemukan pada obstruksi hepatobilier.
Peningkatan kadar γGT pada kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik bervariasi dan tidak dapat digunakan untuk
membedakan di antara keduanya39.

2.) Pencitraan
a.) Ultrasonografi (USG)
USG perlu dilakukan untuk menentukan penyebab obstruksi.
Yang perlu diperhatikan adalah :
 Besar, bentuk dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk
kandung empedu yang normal adalah lonjong dengan ukuran 2
– 3 x 6 cm, dengan ketebalan sekitar 3 mm. Bila ditemukan
dilatasi duktus koledokus dan saluran empedu intrahepatal
disertai pembesaran kandung empedu menunjukan ikterus
obstrusi ekstrahepatal bagian distal. Sedangkan bila hanya
ditemukan pelebaran saluran empedu intrahepatal saja tanpa
disertai pembesaran kandung empedu menunjukkan ikterus
obstruksi ekstrahepatal bagian proksimal artinya kelainan
tersebut di bagian proksimal duktus sistikus.
 Ada tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai
densitas tinggi disertai bayangan akustik (acustic shadow), dan
ikut bergerak pada perubahan posisi, hal ini menunjukan
adanya batu empedu.
 Bila tidak ditemukan tanda-tanda dilatasi saluran empedu
berarti menunjukan adanya ikterus obstruksi intra hepatal38.

61
Gambar 9. USG batu empedu
b.) Computed Tomography (CT) Scan
CT Scan dilakukan untuk melihat adanya dilatasi duktus
intrahepatik yang disebabkan oleh oklusi ekstrahepatik dan duktus
koledokus akibat kolelitiasis. CT scan menyediakan evaluasi yang
baik dari seluruh saluran empedu karena dapat menentukan
anatomi lebih baik daripada ultrasonografi. CT scan mungkin
modalitas pencitraan awal dalam beberapa kasus40.

Gambar10. hasil CT scan abdomen


c.) Magnetic Resonance Imaging (MRI)

62
MRI menghasilkan gambar yang sebanding dengan kualitas
CT scan tanpa paparan pasien terhadap radiasi pengion. Setelah
pemberian agen kontras yang cocok, pencitraan dari saluran
empedu bisa lebih terperinci40.

Gambar 11. a.Pencitraan MRI b. Pencitraan MRI sirosis hepar


hepar

d.) Endoskopi retrograde cholangiopancreatography (ERCP)


ERCP berguna dalam kasus dimana obstruksi bilier diduga
kuat. Ini adalah investigasi pilihan untuk mendeteksi dan
mengobati batu saluran empedu umum dan juga berguna untuk
membuat diagnosis kanker pankreas. Kondisi lain yang mungkin
berguna ERCP termasuk primary sclerosing cholangitis dan
adanya kista koledukus40.

63
Gambar 12. gambaran pencitraan ERCP
e.) Biopsi hati
Banyak penderia membutuhkan biopsy hati untuk
menegakkan diagnosis pasti. Biopsy dapat dilakukan perkutan,
dengan atau tanpa arahan ultrasonografi atau melalui pembedahan.
Selain untuk pemeriksaan histopatologi untuk melihat gambaran
spesifik, specimen biopsy hati dapat digunakan untuk pemeriksaan
secara kuantitatif kandungan besi dan tembaga40.

64
Gambar 13. TeknikBiopsi hepar. Jarum Biopsi biasanya diinsersikan
di sela iga 7-9. Jaringan hasilbiopsi diletakkan di kaca objek
untukdilihat histopatologinya
Pemeriksaaan laboratorium yang terpenting adalah menilai
peningkatan bliruin. Beberapa penyakit terkait ikterus memiliki tanda
yang khas pada hasil pemeriksaan laboratorium.
 Pada rasio bilirubin direk dan bilirubin total, jika rasio kurang
dari 15% maka cenderung ke proses hemolitik sindrom
Gilbert.
 Peningkatan bilirubin yang tidak terlalu tinggi (<10mg/dl)
biasa ditemukan pada batu kandung empedu.
 Penngkatan bilirubin sekitar 15 mg/dl atau ebih tinggi biasa
ditemukan pada hepatitis akut,
 Peningkatan bilirubin hingga 25 mg/dl atau elbih dapat
mengarah pada kolestatis ekstrahep[atik.
 Peningkatan bilirubin yang lebih tinggi dapat mengarah pada
hepatitis fulminan
Pada kejadian peningkatan bilirubin direct perlu diperiksa
transaminase, alkali fosfatase, albumin, globulin, dan γGT
untuk membedakan keadaan hepatoseluler dan kolestasis.
Kadar transaminase yang tinggi sekali menyokong adanya
penyakithepatoseluler. Danya penyumbatan ekstrahepatk
biasanya disertai dengan peningkatan alkali fosfatase dan
kolesterol..
Perlu diperhatikan bahwa kelainan faal hati dak spesifik
sehingga interpretasi kelainan laboratorium harus dilakukan
hati-hati dengan melihat keluhan dan gejala-gejala secara
keseluruhan.

65
Gambar 14. A. Hasil biopsi hepar b. Hasil biopsi heparpada Hepatitis B
norrmal

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terhadap anak dengan ikterus pada gangguan sistem
hepatobilier tergantung dari penyebabnya.
a. Ikterus Intrahepatik yang disebabkan oleh hepatitis
Tidak ada pengobatan antivirus spesifik untuk HAV. Infeksi akut
dapat dicegah dengna pemberian immunoglobulin dalam 2 minggu
setelah terinfeksi atau menggunakan vaksin. Penderita hepatitis A
biasanya dirawat jalan, tetapi 13% penderita memerlukan rawat inap

66
dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi dengan kesulitan masukan per
oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal, koagulopati, dan
ensefalopati12.
b. Ikterus Obstruktif yang disebabkan oleh kista koledukus dan kolelitiasis
 Penatalaksanaan non-bedah
- Terapi suportif dan diet
Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada
pasien yang hanya mengalami intoleransi terhadap makanan
berlemak dan mengeluhkan gejala gastrointestinal ringan Diet yang
diterapkan segera setelah suatu serangan yang akut biasanya
dibatasi pada makanan cair rendah lemak.
- Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat
(chenodiol, chenofalk) telah digunakan untuk melarutkan batu
empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari
kolesterol.. Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis
kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi
getah empedu. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke
dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu
kandung empedu dalam 24 jam. Kelemahan teknik ini hanya
mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang
radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi
mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya
kembali batu kandung empedu37.
 Penatalaksanaan bedah
Sampai saat ini pembedahan masih merupakan baku emas
dalam penanganan kolelitiasis. Pada dasarnya penatalaksanaan
penderita ikterus obstruksi bertujuan untuk menghilangkan penyebab
obstruksi atau mengalihkan aliran empedu. Bila penyebabnya adalah
batu di kandung empedu dilakukan kolesistektomi yaitu mengangkat

67
kandung empedu beserta seluruh batu. Bila ditemukan dilatasi duktus
koledokus lebih dari 5 mm dilakukan eksplorasi duktus koledokus.
Semua batu dibuang sebersih mungkin. Usaha selanjutnya ialah
mencegah batu rekuren dengan menghilangkan sumber pembentuk
batu antara lain dengan cara diet rendah kolesterol, menghindari
penggunaan obat-obatan yang meningkatkan kolesterol, mencegah
infeksi saluran empedu. Bila letak batu sudah pasti hanya dalam duktus
koledokus, dapat dilakukan sfingterotomi / papilotomi untuk
mengeluarkan batunya38.
c. Terapi nutrisi
Pada pasien ikterus bisa terjadi malnutrisi yaitu malnutrisi protein,
malabsorpsi lemak, anoreksia dan defisiensi vitamin larut lemak. Terapi
yang diberikan adalah diet TKTP dengan penambahan 50% kalori dari
biasanya.
H. KOMPLIKASI
1. Pruritus
Pruritus merupakan morbiditas yang penting dan sering terjadi baik
pada kolestasis intrahepatik maupun ekstrahepatik. Daerah predileksinya
meliputi seluruh bagian tubuh dengan daerah telapak tangan dan kaki,
permukaan ekstensor ekstremitas, wajah, telinga, dan trunkus superior
memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi. Mekanisme terjadinya
pruritus masih belum diketahui secara pasti. Deposit garam empedu di
kulit diketahui memiliki efek pruritogenik secara langsung. Namun sudah
dibuktikan bahwa teori ini tidak benar. Sebagai tambahan,
hiperbilirubinemia indirek tidak dapat menyebabkan pruritus39.
Teori lain menyatakan bahwa pruritus pada kolestasis disebabkan
karena konsentrasi garam empedu yang tinggi di hati menyebabkan
kerusakan hati sehingga terjadi pelepasan substansi yang bersifat
pruritogenik (misalnya histamine) 39.
2. Hiperlipidemia dan Xantoma

68
Hiperlipidemia dan xantoma merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada kolestasis intrahepatik. Pada kolestasis terjadi gangguan
aliran empedu yang akan menyebabkan meningkatnya kadar lipidoprotein
di sirkulasi sehingga terjadi hiperkolesterolemia (kolesterol serum
mencapai 1000-2000 mg/dl). Hal ini menyebabkan akan terdepositnya
kolesterol di kulit, membrane mukosa, dan arteri39.
3. Sirosis dan Gagal Hati
Sirosis dan gagal hati dapat terjadi pada pasien yang mengalami
keterlambatan diagnosis sehingga fungsi hati sudah tidak dapat
dipertahankan lagi39.
I. PROGNOSIS
Prognosis ikterus karena gangguan system hepatobilier tergantung penyakit
dasarnya.
 Pada kolelitiasis prognosisnya adalah baik. Jeda waktu antara deteksi
batu pada pasien asimtomatik dan pengembangan gejala ini diperkirakan
terjadi lebih dari 10 tahun38.
 Pada kista koledukus prognosis setelah eksisi biasanya sangat baik.
Pasien perlu tindak lanjut seumur hidup karena peningkatan resiko
kolangiokarsinoma, bahkan setelah eksisi komplit kista41.
 Hepatitis A prognosisnya sangat baik. Pada kebanyakan pasien, infeksi
HAV adalah self-limited, dan bisa sembuh sempurna. Bahkan, banyak
kasus tidak menunjukkan gejala. Kecuali dalam pengaturan hepatitis
fulminan, gejala sisa jarang terjadi. Hepatitis fulminan akibat HAV
jarang dan memiliki tingkat mortalitaskira-kira 0,4%. Infeksi HAV yang
kambuh terjadi pada sekitar 10% dari pasien kira-kira1-4 bulan setelah
episode awal dan akhirnya dapat sembuh sepenuhnya41.
 Hepatitis B akut 90% memiliki kemungkinan yang baik dan bisa
sembuh sempurna. Meskipun tingkat mortalitas untuk kebanyakan kasus
hepatitis B rendah, pasien yang dirawat di rumah sakit dengan hepatitis
B akut memiliki tingkat mortalitas 1%42.

69
 Pada Hepatitis C lebih dari 80% dari individu yang terinfeksi akut akan
mengalami hepatitis kronis. Kebanyakan pasien yang terinfeksi kronis
dengan virus hepatitis C tetap asimtomatik dan tidak memiliki penyakit
hepar yang signifikan42.
Hepatitis kronis yang aktif, yang dapat dilihat pada hepatitis B virus
(HBV) atau virus hepatitis C (HCV), tidak terjadi pada infeksi HAV.
Kondisi carrier kronis tidak terlihat dengan infeksi HAV41

DAFTAR PUSTAKA
1. Callahan JM. 2005. Ikterus dalam Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.
Hal 461-472.
2. Balistreri WF. 2000. Manifestasi Penyakit Hati dalam Ilmu Kesehatan Anak
Nelson Vol. 2. Jakarta: EGC. Hal. 1386-1387.
3. Sulaiman A. 2006. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 422-425
4. Sylvia AP, Lorraine MW. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses
Penyakit. Jakarta: EGC. 475:480
5. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI / RSCM. 2007. Diagnosis dan
Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Jakarta: FKUI.
6. Hasan, R., Alatas, H., 2000, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 3,
Cetakan 9, Jakarta, hal 1102-1105
7. Pratt S, Kaplan MM. Jaundice. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. 2005. Harrison’s Principles of
Internal Medicine Vol.1.16th ed. USA, Mc GrawHill, p.240
8. Scanlon VC. 2007. Buku Ajar Anatomi & Fisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hal.350-353.
9. Netter FH. 2006. Atlas of Human Anatomy 4th Edition. Philadelphia:
Saunders Elsevier.
10. Lindseth GA. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas
dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Hal. 481-485.
11. Martiza, Iesje. 2011. Ikterus dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi
Jilid 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Hal. 263-284.

70
12. Bancroft JD, Kreamer B, Gourley GR. 1998. "Gilbert syndrome accelerates
development of neonatal jaundice". Journal of Pediatrics 132 (4): 656–60.
13. Olsson R, Bliding A, Jagenburg R, Lapidus L, Larsson B, Svärdsudd K,
Wittboldt S. 1988. "Gilbert's syndrome—does it exist? A study of the
prevalence of symptoms in Gilbert's syndrome". Acta Med
Scandinavia 224 (5): 485–490
14. Bosma PJ, Chowdhury JR, Bakker C, Gantla S, de Boer A, Oostra BA,
Lindhout D, Tytgat GN, Jansen PL, Oude Elferink RP, et al. 1995. "The
genetic basis of the reduced expression of bilirubin UDP-
glucuronosyltransferase 1 in Gilbert's syndrome".New England Journal of
Medicine 333 (18): 1171–5.doi:10.1056/NEJM199511023331802
15. Kumar, Vinay. 2007. Robbins Basic Pathology. Elsevier. p. 639
16. Stapleton JT. 1995. "Host immune response to hepatitis A virus". J. Infect.
Dis.171 (Suppl 1): S9–14.
17. Musana KA, Yale SH, Abdulkarim AS 2004. "Tests of Liver Injury". Clin
Med Res2 (2): 129–31. doi:10.3121/cmr.2.2.129
18. Coopstead, Lee-Ellen C. 2010. Pathophysiology. Missouri: Saunders.
pp. 886–887.
19. Terrault N, Roche B, Samuel D. 2005. "Management of the hepatitis B virus
in the liver transplantation setting: a European and an American
perspective". Liver Transpl. 11 (7): 716–32. doi:10.1002/lt.20492
20. Gan SI, Devlin SM, Scott-Douglas NW, Burak KW. 2005. "Lamivudine for
the treatment of membranous glomerulopathy secondary to chronic hepatitis
B infection".Canadian journal of gastroenterology = Journal canadien de
gastroenterologie 19 (10): 625–9.
21. Zuckerman AJ. 1996. "Hepatitis Viruses". In Baron S, et al.. Baron's
Medical Microbiology (4th ed.). University of Texas Medical Branch.
22. Chu CM, Liaw YF. 2007. "Predictive factors for reactivation of hepatitis B
following hepatitis B e antigen seroconversion in chronic hepatitis
B". Gastroenterology133 (5): 1458–65. doi:10.1053/j.gastro.2007.08.039
23. Ryan KJ, Ray CG (editors), ed. 2004. Sherris Medical Microbiology (4th
ed.). McGraw Hill. pp. 551–2\
24. Wilkins, T; Malcolm JK; Raina D; Schade RR. 2010. "Hepatitis C: diagnosis
and treatment". American family physician 81 (11): 1351–7.
25. Rosen, HR. 2011. "Clinical practice. Chronic hepatitis C infection". The
New England Journal of Medicine 364 (25): 2429–
38.doi:10.1056/NEJMcp1006613

71
26. Ozaras, R; Tahan, V. 2009. "Acute hepatitis C: prevention and
treatment". Expert review of anti-infective therapy 7 (3): 351–
61. doi:10.1586/eri.09.8
27. Alter, MJ. 2007. "Epidemiology of hepatitis C virus infection"(PDF). World
journal of gastroenterology : WJG 13 (17): 2436– 41
28. "Liver Cirrhosis". Review of Pathology of the Liver.
http://www.meddean.luc.edu/lumen/MedEd/orfpath/cirhosis.htm
29. Iredale JP. 2003. "Cirrhosis: new research provides a basis for rational and
targeted treatments". BMJ 327 (7407): 143–7
30. Al-Atabi, SB Chin . 2010.Experimental investigation of the flow of bile in
patient specific cystic duct models M. Journal of biomechanical
engineering,265:67
31. Vivian McAlister, Eric Davenport, and Elizabeth Renouf. 2007.
"Cholecystectomy Deferral in Patients with Endoscopic
Sphincterotomy. Cochrane Database of Systematic Reviews .4: CD006233.
32. Shea JA, Berlin JA, Escarce JJ, et al. 1994. "Revised estimates of diagnostic
test sensitivity and specificity in suspected biliary tract disease". Arch.
Intern. Med. 154 (22): 2573–81. doi:10.1001/archinte.154.22.2573
33. Strasberg, S. M. 2008. "Acute Calculous Cholecystitis". New England
Journal of Medicine 358 (26): 2804–2811. doi:10.1056/NEJMcp0800929
34. Lissauer, Tom. 2009. Liver Disorders in Illustrated Textbook of Paediatrics
3rd edition. Philadelphia: Mosby Elsevier. Hal. 337-345

72

Anda mungkin juga menyukai