Anda di halaman 1dari 37

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

SPONDILITITS TUBERKULOSIS

Oleh :
Waode Indri Lestari Kalimin, S.Ked
K1A1 15 046

Pembimbing :
dr. Tri Tuti Hendarwati, Sp. OT

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021
SPONDILITITS TUBERKULOSIS
Waode Indri Lestari Kalimin, Tri Tuti Hendarwati

A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
dalam skala global. TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Kira-kira 1/3 penduduk dunia telah terinfeksi dan 1/3 dari beban TB dunia
tersebut ditemukan di Asia Tenggara (WHO, 2010). Indonesia merupakan
salah satu dari 6 negara yang berkontribusi sebanyak 60% kasus TB dunia
(WHO, 2016), dan masih memiliki angka kejadian TB yang cukup tinggi
dengan angka 185 per 100.000 penduduk (WHO, 2013).1,2
Kasus TB ekstra paru mencapai angka 35% dari infeksi pada sistem
muskuloskeletal dan paling sering ditemukan pada tulang belakang, yaitu
sekitar 50% dari seluruh kasus TB sistem muskuloskeletal. Tulang belakang
secara anatomi merupakan susunan vertebra yang dimulai dari C1 (atlas)
sampai Koksigis 2. Struktur ini memiliki berbagai fungsi : memberikan bentuk
tubuh sehingga seseorang bisa duduk tegak, melindungi organ - organ
sekitarnya seperti pembuluh darah besar, saraf, organ toraks, dan organ di
rongga abdomen. Spondilitis TB adalah salah satu TB ekstra paru yang paling
sering ditemukan Berkembangnya TB di tulang belakang berpotensi
meningkatkan morbiditas, termasuk defisit neurologi yang permanen dan
deformitas yang berat. Predileksi penyakit ini terletak pada bagian
torakolumbal, namun tidak menutup kemungkinan bagian yang lain juga
terkena. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Pervical Pott pada tahun
1779.1,4
Pengobatan yang ada dapat mengatasi penyakit ini secara efektif, namun
hanya jika deformitas dan defisit neurologis belum bermanifestasi.
Keterlambatan pengobatan dan perawatan mempengaruhi kualitas hidup
seseorang sehingga dibutuhkan pengetahuan yang cukup untuk mendeteksi
gejala dan tanda sedini mungkin.1,3

2
B. ANATOMI TULANG BELAKANG
Tulang belakang atau spine merupakan penyusun rangkaian tulang belakang
(kolumna vertebralis) yang berfungsi melindungi medulla spinalis dan saraf
tulang belakang, menopang berat tubuh, mempertahankan postur gerak tubuh,
tempat menempelnya rusuk, dan berperan penting dalam melakukan gerakan.
Vertebra dapat mencapai 70 cm yang terdiri dari 33 tulang yang terbagi
menjadi 5 segmen : 7 vertebra servikalis, 12 vertebra torakalis, 5 vertebra
lumbalis, 5 tulang fusi membentuk vertebra sakrum, dan 4 tulang kecil
membentuk vertebra koksigis.
Kolumna vertebralis terlihat lurus ketika dilihat dari anterior atau posterior.
Ketika dilihhat dari samping, kolumna vertebralis berbentuk seperti huruf S
dengan 4 kurvatura. Kurvatura servikal dan lumbal melengkung ke depan
(lordosis), sedangkan kurvaturan torakal dan sakral melengkung ke belakang
(kifosis).

Gambar 1. Anatomi Tulang Belakang Manusia5,8

Tulang vertebra merupakan struktur komplek yang secara garis besar terbagi
atas 2 bagian. Bagian anterior tersusun atas korpus vertebra, diskus
intervertebralis (sebagai artikulasi), dan ditopang oleh ligamentum longitudinal
anterior dan posterior. Sedangkan bagian posterior tersusun atas pedikel,

3
lamina, kanalis vertebralis, serta prosesus tranversus dan spinosus yang
menjadi tempat otot penyokong dan pelindung kolumna vertebrae. Bagian
posterior vertebra antara satu dan lain dihubungkan dengan sendi apofisial
(facet). Stabilitas vertebra tergantung pada integritas korpus vertebra dan
diskus intervertebralis serta dua jenis jaringan penyokong yaitu ligamentum
(pasif) dan otot (aktif).

Gambar 2. Sisi Anterior dan Posterior Segmen Tulang Belakang6

a b

c d

4
e
Gambar 3. a) Tulang Atlas (C1), b) C4, c) T1 disertai tulang rusuk dan
sternum, d) L3, e) Sacrum7

Pada umumnya, semua vertebra memiliki struktur yang sama, berupa korpus
verterba di anterior dan arkus vertebra anterior dan posterior di posterior.
Kedua arkus tersebut menyakut dan membentuk foramen verterbalis (di
sepanjang kolumna vertebralis disebut kanalis vertebralis) yang dilalui medulla
spinalis.
Secara umum terdapat 7 prosesus pada vertebra. Sebuah prosesus spinosus
(proyeksi lateral dari arkus vertebra) dan 2 prosesus transversus (proyeksi
lateral dari arkus vertebra) merupakan tempat perlekaran otot dan ligamen.
Sepasang prosesus artikularis superior dan inferior (proyeksi superior dan
inferior dari perhubungan pedikel – lamina) memungkinkan hubungan antar
vertebra melalui kartilago hialin. Adapun gerakan yang dapat terjadi pada ruas
tulang belakang adalah fleksi – ekstensi, fleksi lateral, dan rotasi.
Vertebra dikelompokan dan dinamai sesuai dengan daerah yang
ditempatinya, yaitu:
a. Vertebra Servikal (C1 – C7)
Vertebra servikal terdiri dari 7 ruas tulang yang berukuran paling kecil
dibanding tulang yang lain. Selain C1 dan C2, memiliki struktur yang sama,
yakni : corpus kecil bentuk persegi panjang yang lebih memanjang ke
samping (oval), arcus besar, procesus spinosus yang pendek dengan ujung
bifida, masing – masing procesus transversus berlubang -lubang karena
banyak foramina untuk lewatnya a. vertebralis (foramen besar dan
triangular).

5
C1 dan C2 memiliki struktur yang sangat berbeda dari lainnya : C1
memiliki foramen vertebralis yang besar dan tidak memiliki korpus maupun
prosessus spinosus. C2 memiliki dens aksis yang digunakan sebagai poros
untuk rotasi atlas, struktur ini tidak dimiliki oleh vertebra servikalis lainnya.
Khusus C7 tidak memiliki ujung bifida dan ukurannya lebih besar
dibandingkan verterbra servikal lainnya. Prosessus C7 menonjol dan dapat
teraba di kulit punggung (vertebra prominen).
b. Vertebra Torakalis (Th1 – Th12)
Vertebra torakalis terdiri dari 12 ruas tulang. Ciri khas dari tulang ini
adalah corpus berbentuk seperti hati, lebar dan lonjong yang disertai facet
(lekukan kecil pada di setiap sisi ruas sebagai tempat penyambungan),
foramen vertebralis bulat (sirkuler), arcus agak kecil, procesus spinosus
panjang dan mengarah ke bawah. Pada Th11 dan Th12, procesus
transversus yang menyokong tulang rusuk strukturnya lebih tebal dan kuat.
c. Vertebra Lumbalis (L1 – L5)
Vertebra lumbalis terdiri dari 5 ruas tulang pinggang. Tulang ini adalah
yang terbesar. Ciri khasnya berupa korpus vertebra yang sangat besar dan
berbentuk seperti ginjal, pedikel dan lamina lebih tebal dan lebih pendek
dibandingkan vertebra lain, procesus spinosus lebar, pendek, datar yang
berbentuk seperti kapak kecil, procesus transversus panjang dan langsing,
foramen vertebralis berbentuk seperti segitiga. Pada L5 menyatu dengan
sakrum dan membentuk sendi lumbosakral.
d. Vertebra Sakralis (S1 – S5)
Vertebra sakralis terdiri dari fusi 5 ruas tulang. Tulang sakrum berbentuk
segitiga membentuk dinding posterior panggul dan terletak pada bagian
bawah kolumna vertebralis, terjepit diantara kedua tulang inominata. Bagian
superior dari sakrum menyatu dengan L5 dan bagian inferior menyatu
dengan koksigis. Tepi anterior dari basis sakrum membentuk promontorium
sakralis, yang menonjol ke kavitas pelvis. Ketika memasuki sakrum, maka
kanalis vertebralis disebut sebagai kanalis sakralis. Dinding kanalis sakralis
berlubang-lubang untuk dilalui saraf sakral.

6
e. Vertebra Kosigis
Vertebra kosigis / tulang tungging / tulang ekor terdiri dari fusi 5 vertebra
yang rudimenter membentuk struktur segitiga.

a b

c d

e f

7
g

h
Gambar 4. Gambaran Radiologi Tulang Vertebra : Foto Polos a) Cervikal AP,
b) Cervikal Lateral, c) Torakal AP, d) Torakal Lateral, e) Lumbal AP, f)
Lumbal Lateral; CT-Scan Cervikal; MRI Lumbal

Fungsi dari kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah


bekerja sebagai pendukung badan yang kokoh sekaligus juga sebagai
penyangga tulang rawan, dan pada sisi arcus memberi fleksibilitas dan
memungkinkan membengkok tanpa patah. Facet berguna untuk meredam
goncangan yang terjadi, seperti saat berlari dan meloncat.

8
Gambar 5. Diskus Intervertebralis7

Permukaan atas dan bawah korpus dilapisi oleh kartilago hialin dan
dipisahkan oleh discus intervertebralis dan fibroblastilaginosa. Tiap discus
memiliki anulus fibrosus di perifer dan nukleus pulposus yang lebih lunak di
tengah yang terletak lebih dekat ke bagian belakang daripada bagian depan
discus. Nukleus pulpsus kaya akan glikosaminoglikan sehingga memiliki
kandungan air yang tinggi, namun kandungan air ini berkurang dengan
bertambahnya usia. Kemudian nukleus bisa mengalami hernia melalui anulus
fibrosus, berjalan ke belakang (menekan medula spinalis) atau ke atas (masuk
ke korpus vertebralis – nodus Schmorl). Diskus vertebra lumbalis dan
servikalis paling tebal, karena ini paling banyak bergerak.

Gambar 6. Pergerakan Facet5

9
Gambar 7. Ligamen Penyokong Tulang Belakang6
Untuk dapat berdiri tergak, tulang belakang ditopang oleh ligamen dan otot
– otot batang tubuh. Berikut adalah ligamen yang ada pada vertebra :
a. Ligamen utama adalah ligamen longitudinal anterior dan posterior yang
membentang dari leher hingga sakrum dan terletak pada bagian anterior dan
posterior korpus vertebra. Kedua ligamen ini berfungsi sebagai stabilisator
pasif pada saat gerakan ekstensi (anterior) dan fleksi (posterior) dan
merupakan ligamen yang tebal dan kuat, sehingga mencegah hiperekstensi
dan hiperfleksi tulang belakang. Ligamen longitudinal posterior
mengandung serabut saraf afferent nyeri sehingga bersifat sensitif dan
banyak memiliki sirkulasi darah.
b. Ligamen flavum terletak antara dua vertebra yang berdekatan, tepatnya di
posterolateral foramen vertebralis. Merupakan ligamen yang mengandung
serabut elastis lebih banyak daripada serabut kolagen jika dibandingkan
dengan ligamen lainnya di vertebra. Elastisitasnya yang tinggi berfungsi
untuk mempertahankan dan mengembalikan postur tegak tubuh setelah
melakukan fleksi (mengontrol gerakan fleksi).
c. Ligamen supraspinosus dan interspinosus merupakan ligamen yang
berperan dalam gerakan fleksi. Ligamen intertransversal merupakan ligamen
yang berfungsi untuk mengontrol gerakan lateralfleksi kearah kontralateral

C. DEFINISI

10
Spondilitits tuberkulosis atau disebut juga Penyakit Pott merupakan infeksi
pada tulang vertebrae yang disebabkan oleh bakteri M. tuberculosis. Infeksi
paling sering mengenai T8 – L3, dan jarang mengenai C1 – C2, dimulai dari
sentral korpus vertebra (anak-anak) atau paradiskus (dewasa) lalu ke anterior.9

D. ETIOLOGI
Spondilitis tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sekunder dari
tuberkulosis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis,
merupakan anggota ordo Actinomicetales dan famili Mycobacteriase. Basil
tuberkel berbentuk batang lengkung sekitar 2-4 µm, pleimorfik, non motil,
gram positif tahan asam (pewarnaan metode Ziehl – Neelsen). Bakteri
memiliki dinding sel yang tebal, terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam
lemak mikolat). Spesies Mycobacterium lainnya, seperti Mycobacterium
africanum, Mycobacterium bovine, ataupun Mycobacterium non tuberkulosis
juga dapat menjadi etiologi spondilitis TB, tetapi lebih banyak ditemukan pada
penderita HIV. Kemampuan Mycobacterium tuberculosis memproduksi niasin
merupakan karakteristik pembeda dengan spesies lain.3,11

11
E. PATOFISIOLOGI
1) Deformitas

Gambar 8. Patomekanisme Spondilitis Tuberkulosis16

Paru - paru merupakan port d’entree > 98% kasus infeksi TB. Bakteri
yang sangat kecil (1-5 µm) terhirup dan mencapai alveolus. Dust cell
memfagosit sebagian besar bakteri. Pada sebagian kecil kasus, makrofag
alveoli tidak mampu menjalankan tugasnya, sehingga bakteri bereplikasi di
dalam makrofag dan menyebabkan makrofag lisis mengeluarkan koloni
bakteri. Lokasi pertama pertumbuhan koloni bakteri di paru - paru disebut
fokus Ghon (fokus primer). Fokus primer akan bergabung dengan
limfadenitis dan limfangitis membentuk kompleks primer.3
Berawal dari fokus primer, bakteri menyebar secara limfogen menuju
kelenjar limfe regional menyebabkan limfangitis dan limfadenitis, dan
secara hematogen menyebabkan timbulnya gejala sistemik yang tidak khas
akibat occult hematogenic spread, yaitu penyebaran secara sporadik dan
sedikit demi sedikit. Gejala baru akan timbul setelah mencapai organ
tertentu, seperti : otak, tulang, ginjal. Jika fokus primer di lobus bawah atau

12
tengah, kelenjar parahilus yang terlibat, apabila fokus primer di apeks paru,
kelenjar paratrakeal terlibat.3,4
Penyebaran hematogen memasuki arteri epifisis atau pleksus vena batson
dari vena paravertebralis sehingga mengenai spongiosa tulang dan
menyebabkan spondilitis TB. Reaksi pertama pada infeksi tuberkulosis di
tulang belakang terjadi pada sistem RES korpus vertebra berupa
penimbunan sel-sel inflamasi, seperti : sel polimorfonuklear (PMN),
makrofag dan monosit. Lipid yang dihasilkan oleh proses fagositosis akan
dikeluarkan melalui sitoplasma makrofag membentuk sel - sel epiteloid
(datia Langhans). Satu minggu kemudian, limfosit akan muncul dan
membentuk cincin yang mengelilingi lesi. Kumpulan sel datia Langhans dan
limfosit akan membentuk nodul yang disebut tuberkel. Tuberkel
berkembang lambat, bersifat osteolisis lokal, dan berada pada tulang
subkondral di bagian superior atau inferior korpus vertebra anterior. Pada
minggu kedua mulai terjadi nekrosis perkijuan di sentral tuberkel tersebut
serta reaksi eksudatif berupa abses dingin (serum, leukosit, jaringan
perkijuan, debris tulang dan bakteri). Abses dingin dapat berpenetrasi dan
menyebar ke berbagai arah.11
Selanjutnya terjadi hiperemia dan osteoporosis berat akibat resorpsi
tulang yang mengakibatkan destruksi korpus vertebra anterior. Destruksi
progresif di anterior akan mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra yang
terinfeksi dan terbentuklah kifosis atau angulasi posterior tulang belakang.
Proses perkijuan yang terjadi akan menghalangi proses pembentukan tulang
dan mengakibatkan segmen tulang yang terinfeksi relatif avaskular,
sehingga terbentuklah sequester tuberkulosis. Infeksi selanjutnya dapat
menembus korteks vertebra, menginfeksi jaringan lunak di sekitarnya dan
membentuk abses paravertebral. Apabila abses paravertebra telah terbentuk,
lesi dapat turun mengikuti alur fasia muskulus psoas dan membentuk abses
psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis. Abses dapat berkumpul dan
mendesak ke arah belakang sehingga menekan medula spinalis dan
mengakibatkan paraplegia Pott yang disebut paraplegia awal. Abses dingin

13
di daerah torakal dapat menembus rongga pleura sehingga terjadi abses
pleura, atau bahkan ke paru bila ada perlekatan paru. Di daerah servikal,
abses dapat menembus dan berkumpul di antara vertebra dan faring. Secara
biologis, infeksi tuberkulosis dapat menyebar dan menginvasi langsung
medula spinalis melalui ligamentum posterior dari korpus vertebra dan
mengakibatkan neuritis.11
2) Perjalanan Penyakit
a) Stadium Implantasi
Terbentuk koloni bakteri dalam jangka waktu 6–8 minggu. Pada
dewasa umumnya terjadi pada area paradiskus dan anak – anak pada area
sentral vertebra.
b) Stadium Destruksi Awal
Ketika stadium implantasi berlanjut, akan terjadi proses destruksi
korpus vertebra serta penyempitan ringan pada diskus yang berlangsung
selama 3–6 minggu.
c) Stadium Destruksi Lanjut
Pada stadium ini vertebra kolaps dan terbentuk abses dingin. Kondisi
ini terjadi pada 2–3 bulan setelah stadium destruksi awal. Dapat pula
terbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebral. Pada saat
inilah terbentuk wedging anterior berupa kifosis atau gibbus akibat
kerusakan korpus vertebra.
d) Stadium Defisit Neurologis
Disebabkan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis
mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan
neurologis lebih mudah terjadi pada regio ini.
e) Stadium Deformitas Residual
Akan terjadi 3–5 tahun setelah munculnya stadium implantasi. Kifosis
atau gibbus bersifat permanen akibat kerusakan masif korpus vertebra
anterior.
3) Kerusakan Saraf

14
Kerusakan medula spinalis akibat spondilitis TB dapat terjadi melalui
kombinasi 4 faktor : penekanan oleh abses dingin, iskemia akibat penekanan
arteri spinalis, terjadi end - arteritis tuberculosis setinggi blokade spinalnya,
dan penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang
rusak.
Dapat disimpulkan bahwa kerusakan saraf dapat dikategorikan ke dalam
5 tahap:
a) Tahap I
Pasien tidak menyadari defisit saraf, namun dokter mendeteksi
ekstensor plantar dan/ klonus pergelangan kaki.
b) Tahap II
Pasien mengalami spastisitas dengan defisit motorik. Skor motorik
tetraplegia 60 - 100, sedangkan pada paraplegia 80 - 100. Kerusakan
sensorik menandakan kompresi kolom lateral.
c) Tahap III
Pasien spastik terbaring di tempat tidur. Skor motorik tetraplegia 0 -
30, sedangkan pada paraplegia 50 - 80. Skor sensorik sama dengan tahap
II.
d) Tahap IV
Pasien terbaring di tempat tidur dengan kehilangan sensorik berat.
Skor motorik tetraplegia 0 dan paraplegia 50. Ada gangguan kedua
sensasi kolom lateral dan posterior.
e) Tahap V
Sama seperti tahap IV dan disertai keterlibatan kandung kemih dan
usus dan/ spasme fleksor tetraplegia / paraplegia.
4) Paraplegi
Biasa terjadi setinggi vertebra Th10. Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh trombosis pada arteri vital yang terletak antara Th8 – L3 atau akibat
intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra Th10,
sedangkan kanalis vertebralis di segmen tersebut relatif kecil. Bila terjadi

15
gangguan neurologis, derajat kerusakan paraplegia dapat dibedakan
menjadi:
a) Derajat 1
Kelemahan pada ekstremitas inferior setelah melakukan aktivitas atau
setelah berjalan jauh. Belum terjadi gangguan sensorik.
b) Derajat 2
Terjadi kelemahan pada ekstremitas inferior tetapi tidak mengganggu
aktivitas harian.
c) Derajat 3
Terdapat kelemahan pada ekstremitas inferior yang membatasi gerak /
aktivitas disertai gangguan sensorik (hipoestesia / anestesia).
d) Derajat 4
Terjadi gangguan saraf sensorik dan motorik disertai gangguan
defekasi dan mikturisi.

F. KLASIFIKASI
Spondilitis tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan Gulhane Askeri Tip
Akademisi (GATA) menjadi 5 kelompok. Sistem klasifikasi ini dibuat
berdasarkan kriteria klinis dan radiologis antara lain: formasi abses, degenerasi
diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital, instabilitas vertebra, dan
defisit neurologis. Sedangkan untuk menilai derajat keparahan, memantau
perbaikan klinis, dan memprediksi prognosis pasien spondilitis TB dengan
adanya cedera medulla spinalis maka American Spinal Injury Association
(ASIA) memodifikasi sistem klasifikasi oleh Frankle.4,12

16
Tabel 1 : Klasifikasi Berdasarkan GATA17

17
Tabel 2 : Klasifikasi Berdasarkan ASIA12

G. DIAGNOSIS
1) Anamnesis
Gejala menyerupai gejala sistemik dari penyakit TB, yaitu: berat badan
menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, demam lama
tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak
sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare disertai benjolan / masa di abdomen dan tanda-
tanda cairan di abdomen, gejala lokal di punggung / pinggang (nyeri,
terbentuk gibbus), bila terbentuk abses dingin retrofaring menimbulkan
gejala disfagia, disfoni, dan dispnea. Apabila abses semakin membesar,
maka dapat semakin mendesak jaringan di sekitarnya hingga turun ke
bawah melalui aponeurosis otot psoas dan berhenti di ruang retroperitoneal
dan teraba pada palpasi abdomen.3
Apabila disesuaikan dengan lokasi tulang belakang, maka dapat
menimbulkan gejala seperti: nyeri occiput / ekstremitas atas (TB servikal);

18
neuralgia interkostalis, rasa tidak nyaman di abdomen (TB torakalis); nyeri
ekstremitas bawah, paraplegi akibat penekanan abses dingin / kerusakan
medula spinalis (TB lumbalis).3
Pada beberapa kasus, spondilitits TB sulit dibedakan dengan penyakit
tulang belakang lain, seperti : osteomyelitits pyogenic dan fungal atau
metastasis tumor ke tulang belakang. Terutama jika hanya ditemukan
gambaran klinis yang tidak khas. Sehingga menjadi penting apabila dalam
anamnesis dapat ditemukan riwayat pengobatan tuberkulosis ataupun kontak
erat dengan pasien tuberkulosis.3
Untuk memudahkan anamnesis, gejala-gela tersebut dapat dieksplorasi
secara berkelompok menjadi gejala sistemik TB, gejala lokal akibat
destruksi vertebra (deformitas, nyeri punggung), dan gejala neurologis
akibat keterlibatan saraf (nyeri ekstremitas, defisit neurologis, lesi UMN).
Seluruh proses itu akan diikuti oleh keluhan keluhan subjektif yang
dirasakan oleh pasien seperti panas, rasa tidak enak badan, menggigil,
nyeri.11

2) Pemeriksaan Fisik

Gambar 9. Gibbus Regio Thoraco-Lumbar Pada Pasien Spinal


Tuberculosis (Kiri). Gambaran MRI Menunjukkan Spinal Tuberculosis
Pada Th10 – Th12. Spinal Tuberculosis Menyebabkan Destruksi, Collapse
Of Vertebrae, And Angulation Of Vertebral Columna (Kanan).13

19
a) Inspeksi
Inspeksi dilakukan saat pasien posisi berdiri, berjalan, duduk, dan
tidur (posisi terkelungkup dan miring ke kanan atau kiri). Pertama
inspeksi umum untuk melihat keadaan umum, gizi, cara berjalan, dan
sebagainya. Selanjutnya, inspeksi lokal dilakukan untuk melihat adanya
gibbus, abses, asimetri tulang.

Gambar 10. Hal Yang Diperhatikan Saat Inspeksi11


b) Palpasi
Pada posisi tengkurap atau duduk, dokter dapat meraba gibbus, abses,
teraba panas atau hangat, nyeri, dan menentukan level vertebra kelainan
ditemukan.

Gambar 11. Palpasi11


c) Gerakan
Minta pasien bungkuk (fleksi anterior), fleksi lateral, dan rotasi
badannya. Pemeriksaan ini dapat menilai dampak proses infeksi pada
gangguan neurologis. Pasien diminta duduk, berdiri, dan berjalan,
kemudian hasilnya dinyatakan dalam skala Frankel.

20
Gambar 12. Rotasi Tulang Belakang11

Tabel 3. Frankel Grading for Spinal Cord Injury11

d) Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan sensorik menilai rabaan halus, kasar, panas, dan dingin.
Hasilnya kemudian dibandingkan atas dan bawah, Apabila ada gangguan,
tentukan level dermatom yang terlibat. Lakukan tes sensasi propioseptif
untuk menentukan apakah pasien dapat menentukan arah gerakan jempol
oleh dokter saat matanya tertutup.

21
Gambar 13. Prosedur Pin Prick Test (kiri) dan Pemeriksaan Sensorik
Per Dermatom Berdasarkan ASIA11

3) Pemeriksaan Penunjang
Prinsip pemeriksaan penunjang pada spondilitis TB ada 2, yaitu :
observasi kerusakan struktur (menggunakan pencitraan dan pemeriksaan
histopatologi) dan melihat dampak sistemik yang ditimbulkan
(menggunakan pemeriksaan laboratorium, biomolekuler, dan mikrobiologi).
a) Uji Tuberkulin (Uji Mantoux)
Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk menentukan adanya
infeksi laten Mycobacterium tuberculosis. Uji Mantoux dilakukan
dengan cara menginjeksikan zat derivat protein tuberkulin yang
dipurifikasi (tuberculine purified protein derivate) sebanyak 0,1 ml
intrakutan ke lengan pasien. Hasil dapat diketahui setelah 48 - 72 jam.
Hasil positif jika indurasi >10 mm. Jika indurasi <5 mm, hasil dikatakan
negatif. Indurasi yang berkisar antara 5 - 9 mm dikatakan meragukan dan
perlu diulang. Hasil dapat menunjukkan positif palsu jika pasien baru
saja memperoleh vaksinasi BCG. Uji Mantoux memiliki keterbatasan
dalam hal sensitifitas dan spesifisitas. Di daerah dengan tingkat
tuberkulosis tinggi, sebanyak 20% dari populasi dapat menunjukkan hasil
negatif pada uji Mantoux. Sensitifitas dari uji Mantoux juga menurun

22
pada pasien dengan immunocompromised.3,11
b) Darah Rutin (CBC)
CBC berfokus pada hitung total limfosit dan limfosit CD4. Kadar
CD4 yang menurun secara signifikan menggambarkan infeksi yang aktif.
Pemeriksaan LED bersifat sensitif tetapi tidak spesifik. LED pada
umumnya akan meningkat sebesar > 20 mm/jam dan akan kembali
normal ketika lesi aktif terkontrol. Pada pasien TB spinal, peningkatan
LED umumnya tidak disertai peningkatan kadar leukosit
(leukositosis).3,11
c) Pemeriksaan Mikrobiologi

Gambar 14. (a) Pewarnaan BTA Positif (bakteri basil warna merah)
(kiri). (b) Koloni bakteri medium MGIT setelah inkubasi 42 hari, koloni
berwarna putih berbentuk butiran kecil hidrofobik yang tumbuh di atas
medium padat dan tampak pula perubahan warna medium cair menjadi
keruh seperti suspensi (tengah). (c) Koloni bakteri dalam medium
Lowenstein-Jensen setelah inkubasi selama 3minggu, koloni berwarna
putih kekuningan seperti butiran dan bergerombol.11

Pada prinsipnya, terdapat 2 jenis pemeriksaan yang dilakukan:


 Kultur
Kultur bakteri Mycobacterium tuberculosis merupakan gold
standard diagnosis spondilitis TB. Kultur bisa dilakukan pada media
tertentu, seperti : Lowenstein-Jensen (media padat) dan Middlebrook
(media cair). Hasil biakan diperoleh setelah 4 – 6 minggu. Kultur
bakteri positif menunjukkan infeksi yang aktif oleh karena minimal
konsentrasi bakteri 103 basil per mL spesimen. Sejalan dengan
pemeriksaan kultur bakteri, maka dilakukan pula pemeriksaan
resistensi antibiotik. Adapun hasil uji resistensi biakan diperoleh 2 – 4

23
minggu sesudahnya. Media yang digunakan adalah medium berbasis
telur seperti media Lowenstein-Jensen dan media berbasis cairan
seperti Bexton-Dikinson dan BACTEC. Sebelum kultur, pasien
dianjurkan berhenti merokok dan konsumsi floroquinolone karena
dapat menghambat pertumbuhan bakteri kultur.
 Pewarnaan Basil Tahan Asam (BTA)
Pemeriksaan mikroskopis BTA menggunakan pewarnaan Ziehl
Neelsen.
d) Pemeriksaan Histopatologi

Gambar 15. Spesimen Spondilitis TB dengan Pewarnaan HE 10

Biopsi tulang dapat bermanfaat pada kasus yang sulit. Pada


pemeriksaan histologi akan ditemukan gambaran khas berupa tuberkel,
nekrosis kaseosa dan formasi sel raksasa. 3
e) Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada tulang belakang sangat mutlak
dilaksanakan untuk melihat kolumna vertebralis yang terinfeksi. Terdapat
2 prinsip pencitraan pada tulang belakang, antara lain membantu
visualisasi kelainan serta melihat kerusakan akibat proses infeksi, antara
lain pada korda spinalis, medula spinalis, pembuluh darah, otot, dan
paravertebral.

24
Gambar 16. Foto Polos Cold Abcess4

Gambar 17. a, b Foto rontgen torakolumbal proyeksi anteroposterior dan


lateral memperlihatkan adanya kehancuran dan kerusakan berat (hampir
90%) pada korpus dan vertebral lumbar L1 dan L2. Tampak kifosis
regional sebesar 36o (kifosis vertebral 57o). c, d Foto MRI setinggi T2
(T2-W1) memperlihatkan kehancuran total tulang belakang lumbar di L1
dan kerusakan parah pada vertebra lumbalis L2. Terlihat gambaran abses
paravertebral pada tingkat L1 dan L2 dan menyebar ke L3 dan L4.11

Terdapat 3 modalitas utama yang digunakan.


1) Foto Polos X-Ray
Modalitas yang paling direkomendasikan, digunakan untuk
skrining pasien suspek spondilitis TB. Kerusakan yang dapat dilihat,
antara lain kompresi, burst atau pecah, pergeseran, gibbus, penekanan
tulang ke kanalis spinalis, abses di daerah paravertebral
(paravertebral abses). Selain itu, dapat mengevaluasi struktur di
posterior vertebra (procesus spinosus dan lamina). Untuk melihat
kelainan digunakan foto proyeksi AP - lateral. Untuk melihat infeksi
pada lumbosakral, foto diambil dari setinggi torakolumbal.

25
Temuan awal pada foto polos adalah gambaran radiolusen,
hilangnya plate margin, destruksi korpus vertebra terutama di anterior,
berkurang / hilangnya ketinggian diskus, erosi lempeng, geode
vertebra, sekuestrasi tulang, massa skeloris dan paravertebral,
kalsifikasi pada paraspinal dapat dicurigai disebabkan TB.
Selanjutnya, infeksi dapat berlanjut hingga ke segmen vertebra
lainnya sehingga tampak beberapa level vertebra terlibat. Pada tahap
akhir, dapat ditemukan sclerosis, ankilosis tulang, kolaps vertebra, dan
pelebaran anterior yang menyebabkan terjadinya kifosis dan gibbus.3,11
2) CT-Scan
Pemeriksaan CT mampu memvisualisasi struktur secara 3 dimensi
serta menggambarkan ekstensi lesi karena resolusinya yang kontras.
Pada modalitas ini akan nampak dekstruksi pada tulang belakang,
osteoporosis, penyempitan kanal yang menekan saraf, abses, dan
deformitas, serta keterlibatan infeksi tulang dan jaringan lunak.
Fase awal penyakit dapat ditemukan massa paraspinal dan abses
yang berada di anterolateral korpus vertebra dan menyebar ke jaringan
dan epidural. Pada pemeriksaan CT, dilakukan deskripsi terhadap
destruksi tulang (fragmentasi, osteolitik, subperiosteal, atau
terlokalisir). Hal tersebut dapat membantu memandu biopsi dan
intervensi perencanaan pembedahan. Pemeriksaan CT scan
diindikasikan bila pemeriksaan foto polos meragukan. Gambaran CT
scan pada spondilitis TB tampak kalsifikasi pada psoas disertai
dengan adanya kalsifikasi periperal. 3,11
3) MRI
MRI dilaksanakan untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular
TB, luas penyakit, dan penyebaran subligamentous dari debris
tuberculous. Dengan pemeriksaan MRI, dapat diperoleh gambaran
lebih detail struktur anatomi dan jaringan lunak yang terkena,
misalnya medula spinalis, ligamentum flavum, diskus intervertebra,
ligamentum longitudinal, dan jaringan lunak lain disekitarnya. MRI

26
mampu melokalisir lokasi lesi dan deteksi awal destruksi tulang. MRI
juga dapat menggambarkan struktur di sekitar tulang belakang, antara
lain pembuluh darah dan perluasan abses ke paravertebral.3

H. Diagnosis Banding
Tabel 4. Diagnosis Banding Spondilitits TB9
Osteitis Piogen Demam lebih cepat timbul
Poliomielitis Paresis / paralisis tungkai, skoliosis
bukan kifosis
Skoliosis Idiopatik Tidak disertai gibus / paralisis
Penyakit Patu-Patu Dengan Tulang belakang bebas penyakit
Empiema
Metastasis Tulang Belakang Tidak mengenai diskus, biasanya
disertai Ca prostat
Kifosis Senilis Kifosis tidak lokal, osteoporosis
seluruh tungkai

I. PENATALAKSANAAN
1) Medikamentosa
Pada spondilitis TB, banyak obat digunakan karena potensi resistensi
terhadap satu agen. Pemilihan kombinasi obat yang rasional didasarkan
pada mekanisme kerja dan toksisitas agen. Rejimen 3 obat selama 6 bulan
isoniazid, rifampisin dan pirazinamid digunakan.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen OAT
untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru dengan TB
ektraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial
dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan atau 2 RHZE (HRZS) fase inisial
dilanjutkan 6 HE fase lanjutan. Pemberian regimen bisa diperpanjang sesuai
dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk kategori II, yaitu kasus
gagal pengobatan, relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial
dilanjutkan 5HRE fase lanjutan atau 2RHZES dilanjutkan 5H3R3E3 fase
lanjutan.
Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan dengan OAT dapat
meningkatkan proses perbaikan tulang. Nerindronat 100 mg pada pemberian

27
pertama, dan 25 mg setiap bulan berikutnya selama 2 tahun telah diuji
dengan hasil yang memuaskan. Nerindrinat dapat menghambat aktivitas
resorpsi osteoklas dan menstimulasi aktivitas osteoblast.
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 3-4 minggu, nyeri dan
atau defisit neurologis masih belum menunjukkan perbaikan setelah
pemberian OAT yang sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau tirah
baring. Dengan berkembangnya penggunaan OAT efektif, terapi
pembedahan relatif ditinggalkan sebagai penatalaksanaan utama spondilitis
TB. Pilihan teknik bedah pada spondilitis sangat bervariasi, tetapi
pendekatan tindakan bedah yang baku dan empiris masih belum ada. Setiap
pasien yang direncanakan operasi, OAT harus diberikan minimal 10 hari
sebelum operasi. 9,11,14
2) Terapi Operatif
Tabel 5. Indikasi Tindakan Operatif Pada Kasus Spondilitis TB3
Indikasi Absolut Indikasi Relatif
a) Paraplegi dengan onset yang terjadi a) Paraplegia berulang yang sering disertai
selama pengobatan konservatif paralisis sehingga serangan awal sering
b) Paraplegia memburuk atau menetap tidak disadari
setelah dilakukan pengobatan b) Paraplegia pada usia tua
konservatif c) Paraplegia yang disertai nyeri akibat
c) Kehilangan kekuatan motorik yang spasme atau kompresi akar saraf
bersifat komplit selama 1 bulan setelah d) Adanya komplikasi seperti batu saluran
dilakukan pengobatan konservatif kemih atau ISK.
d) Paraplegia yang disertai spastisitas yang
tidak terkontrol akibat malignansi dan
imobilisasi tidak mungkin dilakukan
atau adanya risiko terjadi nekrosis akibat
tekanan pada kulit
e) Paraplegia yang berat dengan onset yang
cepat, merupakan tanda trauma, abses
atau trombosis vaskular
f) Paraplegia berat lainnya : paraplegia
flaksid, paraplegia dalam keadaan fleksi,
kehilangan sensoris yang komplit atau
gangguan kekuatan motoris selama lebih
dari 6 bulan.

28
Gambar 18. Tindakan Operatif dilakukan pada pasien dengan Spondilitis
TB disertai paraplegi dan kifosis 45°: a) Preoperatif nampak gambaran
radiologi destruksi pada L3 disertai kompresi medula spinalis, b)
dekompresi posterior dan stabilisasi menggunakan transpedicular screws
and rods disertai posterior interbody fusion, c) Post operatif nampak
perbaikan struktur tulang15

Selama satu minggu sebelum dilakukan prosedur bedah, pasien perlu


diberi obat OAT untuk mencegah timbulnya TB milier. Pilihan tindakan
yang dilakukan antara lain: drainase abses, debridemen, penggantian korpus
vertebra dengan tulang spongiosa / material sintetik, costrotransversectomi,
dekompresi anterolateral dan laminektomi.3,9
3) Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi tulang belakang,
tungkai, seksual, buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) yang
terganggu selama dan sesudah terjadi proses infeksi.

29
a) Rehabilitasi Otot, Rangka, dan Sendi

Gambar 19. Rehabilitasi Otot, Rangka dan Sendi11

Rehabilitasi otot dilakukan dengan tujuan memulihkan massa, tonus,


dan kekuatan otot. Manipulasi yang dilakukan dapat berupa latihan aktif,
latihan pasif, fisioterapi, dan stimulasi aliran listrik arus rendah.
Rehabilitasi rangka dilakukan dengan tujuan penguatan tulang akibat
disuse osteoporotic yang berpotensi ancaman patah tulang. Rehabilitasi
sendi ditujukan untuk mengembalikan keutuhan tulang rawan sendi dan
peregangan kapsul – ligamen sendi, terutama untuk mencegah dan
mengobati OA sekunder.
Pada pasien dengan TB spinal dengan paraplegia, diberikan latihan
ROM sendi pasif untuk kedua anggota gerak bawah. Latihan ini
bertujuan untuk:
 Merangsang sirkulasi darah
 Mempertahankan LGS sendi yang penuh
 Mempertahankan elastisitas otot - otot dan jaringan lunak
 Mencegah atrofi otot.
Latihan ini dapat diberikan pada anggota tubuh yang lumpuh 2 kali
sehari, 10 menit setiap anggota gerak. Gerakan dimulai dari sendi yang
proksimal ke distal termasuk sendi metatarsal. Gerakan dilakukan
berirama dan pelan - pelan untuk mencegah cedera sendi. Selain itu,
untuk mempertahankan dan meningkatkan kekuatan ekstremitas atas,
dapat diberikan latihan penguatan (strengthening exercise).

30
b) Rehabilitasi Vesika Urinaria dan Kolon

Gambar 20. Rehabilitasi Vesika Urinaria dan Kolon11

Rehabilitasi vesika urinaria dilakukan dengan tujuan mengembalikan


fungsi BAK terhadap gangguan retensi dan inkontinensia yang sering
terjadi, sesuai dengan level kerusakan medula spinalis. Penderita dengan
retensi urin dapat dilatih dengan pemasangan kateter nelaton untuk
mengurangi volume urine dalam vesika urinaria. Pada kasus
inkontinensia, penderita dilatih untuk mengenal vesika urinaria yang
penuh dan menjaga kebersihan genitalia yang membuat urin terus
membasahi daerah genitalia. Penderita juga dilatih mengendalikan BAK.
Rehabilitasi kolon dilakukan dengan tujuan mengenalkan dan melatih
BAB secara berkala serta mencegah obstruksi. Penderita dilatih untuk
mengenal obstruksi dan diajarkan bagaimana cara melakukan defekasi
digital dengan bantuan jari.
Pada lesi di atas Th10 - Th11 refleks kandung kemih masih ada.
Berkemih terjadi apabila kandung kemih terasa penuh, maka otot
detrusor akan berkontraksi dan sphincter akan relaksasi. Refleks detrusor
bisa dirangsang dengan menepuk-nepuk paha sebelah dalam, tapping
yang ritmis pada daerah di atas simfisis pubis atau dengan menarik
rambut pubis. Perangsangan ini dilakukan setiap 2 atau 3 jam sekali dan
pasien dianjurkan untuk minum 8 gelas sehari. Pada lesi LMN, refleks
kandung kemih tidak ada sehingga perlu dilakukan kateterisasi.
Kateterisasi yang dianjurkan adalah kateterisasi berkala.

31
Pada pasien dengan gangguan defekasi, pasien diberikan edukasi diet
makanan berserat dan minum yang cukup. Bowel training dilakukan
selama 3 hari dengan cara diberikan laksatif oral selama 3 hari. Setiap
pagi hari, pasien diberikan laksatif suppositoria dan stimulasi rektal dan
evakuasi feses secara manual. Mulai hari ke 4, laksatif perlahan mulai
dihentikan, sementara stimulasi rektal dan evekuasi feses secara manual
tetap dilakukan jika perlu.
c) Rehabilitasi Mobilisasi

Gambar 21. Overhead Trapeze Bar


Dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan
kemampuan berpindah tempat. Latihan dilakukan untuk membantu
pasien latihan sendiri serta merubah posisinya di tempat tidur, dengan
pemasangan overhead trapeze bar atau diberikan semacam kain yang
cukup kuat yang difiksasi di sebelah kaudal pasien. Tali kain ini dapat
menjadi pegangan pasien sewaktu mengangkat tubuhnya. Latihan
pindah/transfer dimulai dari tempat tidur ke kursi roda dan sebaliknya,
kemudian dilanjutkan kegiatan-kegiatan lain sesuai kondisinya. Pada
tahap ini pasien diharapkan melakukan defekasi pada bed side commode
atau di kloset duduk.
Jika kapasitas ambulasi ada, maka latihan jalan dimulai pertama di
parallel bar, kemudian dengan walker dan selanjutnya dengan tongkat
ketiak / crutches di samping latihan dengan kursi roda.
Pasien yang mengalami paraplegia menyebabkan pasien berada dalam
posisi tirah baring. Sehingga disarankan untuk melakukan koreksi posisi

32
tidur / alih baring setiap 2 jam setiap harinya. Selain itu, perlu dilakukan
pemeriksaan kulit menyeluruh dan berkala untuk mencegah ulkus
dekubitus. Sangat penting untuk dilakukan koreksi posisi tidur pada
pasien tirah baring dengan tujuan:
 Mempertahankan posisi koreksi tulang belakang
 Mencegah ulkus dekubitus
 Mencegah kontraktur
 Mencegah timbulnya spastisitas

Gambar 22. Penyangga Eksternal11

Pemberian penyangga spinal eksterna alias spinal orthosis bervariasi


tergantung pada tingkat lesi. Pasien paraplegia memerlukan imobilisasi
dengan menggunakan penyangga untuk membatasi pergerakan tulang
belakang, mengontrol nyeri dan agar destruksi tidak bertambah serta
memakai penyangga ekstremitas inferior agar dapat ambulasi.

33
Tujuan pemberian penyangga spinal:
• Kontrol nyeri dengan mengurangi pergerakan dan menghilangkan
beban pada struktur spinal
• Proteksi struktur pasca trauma atau setelah fusi tulang belakang
• Stabilisasi/koreksi deformitas dengan aplikasi kekuatan dari luar
Stabilisasi dan memperkuat struktur tulang dari luar. Penyangga
eksternal dapat mencegah terjadinya instabilitas tulang berupa
pergerakan tulang ke arah depan, belakang, samping, atau twisting.
Stabilisasi tulang menggunakan penyangga eksternal ini umumnya
dilakukan selama 6 bulan sejak pasien diizinkan rawat jalan.
Jenis imobilisasi yang dilakukan sama seperti imobilisasi pasca
operasi yang dilakukan pasca operasi, yakni penggunaan jaket Minerva
pada daerah servikal, penggunaan body cast jacket untuk fiksasi daerah
torakolumbal dan lumbal bagian bawah, serta penggunaan body jacket
atau korset dari gips untuk fiksasi daerah lumbosakral atau sacral. Untuk
ekstremitas inferior digunakan long leg brace (Knee Ankle Foot Orthosis,
KAFO) yang biasanya digunakan untuk pasien paraparesis atau
paraplegia. Selain itu dapat juga digunakan alat bantu ambulasi lain
seperti cane, crutches, walker, atau kursi roda (wheelchair). Imobilisasi
ini dilakukan setidaknya selama enam bulan. Imobilisasi dilakukan untuk
imobilisasi spinal, mengurangi kompresi yang terjadi pada medulla
spinalis, dan progressi deformitas lebih lanjut.
Keunggulan penyangga eksternal adalah lebih nyaman bagi pasien
karena pemasangannya dilakukan tanpa perlu tindakan invasif.
Sayangnya, penyangga eksternal hanya dapat diberikan jika tidak ada
abses, deformitas vertebra, dan defisit neurologis yang parah.

34
J. PROGNOSIS
Tergantung keparahan penyakit serta komplikasi yang menyertai. Prognosis
yang buruk berhubungan dengan TB milier dan meningitis TB yang bisa
menimbulkan sekuele, di antaranya: tuli, buta, paraplegi, retardasi mental,
gangguan motorik, dll. Prognosis bertambah baik bila pengobatan lebih cepat
dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia < 5 tahun
(30%).3,9

K. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi, keadaan umum pasien yang
memburuk, diseminasi, lesi multipel pada tulang belakang, abses dingin, nyeri,
instabilitas, fraktur patologis, deformitas, kifosis yang progresif akibat
destruksi yang menyebar dari sisi sentral korpus vertebra. Hal ini juga akan
mempermudah terjadinya defisit neurologi seperti paraplegia pada ekstremitas
inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia. Berbagai komplikasi di
atas akan berujung pada permasalahn sosial, ekonomi, dan psikologis pasien.3,11

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Sukamto,A R., Airlangga, P A., Yuliawati, T H. 2019. Karakteristik Pasien


Tuberkulosis Tulang Belakang Di Rsud Dr. Soetomo Surabaya. Majalah
Biomorfologi 29(1):1 – 6.
2. Ismiarto, A F., Tiksnadi, B., Soenggono, A. 2018. Young to Middle-Aged
Adults and Low Education: Risk Factors of Spondylitis Tuberculosis with
Neurological Deficit and Deformity at Dr. Hasan Sadikin General Hospital.
Althea Medical Journal 5(2):69 - 76.
3. Paramarta, I G E., Purniti, P S., Subanada, I B., Astawa, P. 2008. Spondilitis
TB. Sari Pediatri 10 (3):177 – 183.
4. Rasouli, M R., Mirkoohi, M., Vaccaro, A R. 2012. Spinal Tuberculosis :
Diagnosis and Management. Asian Spine Journal 6 (4) : 294 – 308.
5. Highsmith, J M. 2020. Spinal Anatomy Center.
https://www.spineuniverse.com/anatomy diakses pada 20 Desember 2020
6. The Vertebral Column. https://courses.lumenlearning.com/suny-
ap1/chapter/the-vertebral-column/ diakses pada 20 Desember 2020
7. Putz, R., Pabst, R. 2006. Sobotta : Atlas of Human Anatomy Volume 2 14 th
Ed. Jerman : Elsevier.
8. Netter, F H. 2014. Atlas Of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC
9. DEJONG Halaman 993 – 994.
10. Li, T., Liu, T. Jiang, Z., Cui,X., Sun, J. 2016. Diagnosing Pyogenic, Brucella
And Tuberculous Spondylitis Using Histopathology And MRI: A
Retrospective Study. EXPERIMENTAL AND THERAPEUTIC MEDICINE 12
: 2069-2077
11. Rahyussa. 2018. Spondilitis Tuberkulosis Edisi 1. Penerbit Media
Aesculapius : Jakarta.
12. Kusmiati T dan Hapsari P N. Pott’s disease. Jurnal respirasi. 2016 Sept
3;2(3):99 - 109.
13. Garg RK, Dilip SS. Spinal tuberculosis: A review. The Journal of Spinal
Cord Medicine. 2011; 34(5):440 - 454.

36
14. Lee KY. Comparison Of Pyogenic Spondylitis And Tuberculous Spondylitis.
Asian Spine Journal. 2014 Okt;8(2):216 - 223.
15. Alam, MS., Phan, K., Karim, R., Jonayed, S A., Khalid, H., Munir,
Chakraborty, S., Alam, T. 2015. Surgery For Spinal Tuberculosis: A Multi-
Center Experience Of 582 Cases. J Spine Surg 1(1):65-71
16. Koufmann, S H E. 2015. New Issues in Tubercuosis. AnnRheum Dis
2004(63) : 52.
17. Oguz,E., Schirlioglu,A., Altinmakas,M., Ozturk,C., Komuren,M.,
Solakoglu,C., Vaccaro,A.R. 2006. A New Classification and Guide For
Surgical Treatment of Spinal Tuberculosis. SCICOT 2008(32) : 129.

37

Anda mungkin juga menyukai