Anda di halaman 1dari 10

KEARIFAN TRADISIONAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA

PERIKANAN DI ACEH PADA ERA OTONOMI KHUSUS

Sulaiman
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
E-mail: st_aceh@yahoo.co.id

Abstract

Reformation in Indonesia give implication for Aceh, which is the authority in the form of
implementation of fisheries management based on traditional wisdom. Those statement above are
trying to answer the question of this traditional wisdom in the era of special autonomy. The
important finding is critical condition of fisheries resources which is caused by a disregard pattern of
traditional management wisdom. It is recommended that policy makers doing holistic approach to
fisheries management.

Keywords: Fishing, Traditional Wisdom, Aceh

Abstrak

Reformasi di Indonesia turut berimplikasi bagi Aceh, yakni kewenangan pelaksanaan pengelolaan
perikanan berdasarkan kearifan tradisional. Paparan ini menjawab persoalan kearifan tradisional pada
era otonomi khusus. Temuan pentingnya adalah kondisi kritis sumberdaya perikanan, turut disebabkan
pola pengelolaan yang mengenyampingkan kearifan tradisional. Direkomendasikan agar pengambil
kebijakan melakukan pendekatan holistik dalam pengelolaan perikanan.

Kata Kunci: Perikanan, Kearifan Tradisional, Aceh

Pendahuluan Kewenangan daerah yang lebih luas yang


Proses reformasi yang berlangsung di In- diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
donesia tahun 1998, menjadi momentum pen- 1999, adalah bentuk terbukanya kran dari de-
ting bagi lahirnya otonomi daerah di Indonesia. sentralisasi yang mulai berlangsung di Indo-
Terjadinya reformasi menyebabkan terbukanya nesia. Hal ini tercermin dari filosofi lahirnya
kran demokratisasi dalam masyarakat. Dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yakni:
adanya reformasi yang memungkinkan lahirnya pertama, sistem pemerintahan Negara Kesatu-
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang an Republik Indonesia menurut Undang-Undang
Pemerintahan di Daerah. Undang-undang ter- Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada
sebut yang memungkinkan berbagai kearifan Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Dae-
tradisional memungkinkan untuk dilaksanakan. rah; kedua, penyelenggaraan Otonomi Daerah
Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak bisa dipisahkan prinsip-prinsip demokrasi,
telah memberikan kewenangan yang lebih luas peran serta masyarakat, pemerataan dan ke-
bagi daerah dalam pengelolaan perikanan da- adilan, serta potensi dan keanekaragaman Dae-
lam wilayah Negara Kesatuan Republik Indo- rah; ketiga, Otonomi Daerah tidak bisa dipisah-
nesia.1 kan dari perkembangan keadaan, baik di dalam
maupun di luar negeri, serta tantangan per-
saingan global.
1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ju-
Sulaiman, 2010, Konsep Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan Berbasis Kearifan Lokal Di Aceh Pada Masa ga telah masuk dalam hal kondisi keberagaman
Otonomi Daerah, Makalah Lokakarya 8 Tahun Otonomi yang ada di daerah-daerah. Bagi Aceh, kenyata-
Daerah, Malang: Universitas Brawijaya, hlm. 2.
Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan … 297

an ini dikonkritkan dengan lahirnya Undang-Un- 1998 menurun menjadi 13, kemudian terus me-
dang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyeleng- nurun menjadi 9 jenis.2
garaan Keistimewaan Aceh. Dalam Undang-Un- Secara umum, gejala tersebut juga tam-
dang tersebut ditegaskan mengenai kewenang- pak mengglobal. United Nation for Food and
an daerah dalam mengatur dan mengembang- Agriculture menyebutkan kondisi perikanan
kan penyelenggaraan keistimewaan yang meli- dunia saat ini terbagi dalam tiga kondisi, yakni
puti agama, adat, pendidikan, dan peran ulama setengah dari persediaan ikan laut telah se-
dalam pengambilan kebijakan. penuhnya dieksploitasi, seperempat bagian te-
Dua undang-undang tersebut, menjadi lah dieksploitasi secara berlebihan, dan seka-
dasar kewenangan yang cukup penting dalam rang ini hanya seperempat bagian saja yang
hal pengelolaan perikanan berbasis kearifan masih tersisa. Seperempat bagian yang tersisa
tradisional. Dengan demikian, kearifan tradisio- tersebut juga ada di Aceh.3 Dengan pola pe-
nal yang dalam masyarakat tertentu menjadi manfaatan sumber daya perikanan di Aceh
bagian penting dalam pengelolaan perikanan, sebagaimana disebutkan di atas, maka di Aceh
adalah bagian tak terpisahkan dari semangat sekalipun sudah tampak kondisi kritis yang se-
pelimpahan kewenangan pengelolaan perikanan yogianya mesti segera dicarikan solusinya. Hal
itu sendiri. ini sangat penting bagi masa depan perikanan
Bagi Aceh sendiri lahir Undang-Undang Aceh itu sendiri.4
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Kondisi kritis tersebut, tidak terjadi de-
Nanggroe Aceh Darussalam, kemudian Undang- ngan sendirinya. Kondisi kritis tersebut terkait
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerin- dengan pola pengelolaan perikanan yang di-
tahan Aceh. Undang-Undang Pemerintahan terapkan. Indonesia termasuk dalam salah satu
Aceh mempertegas kewenangan Aceh dalam hal negara yang di awal tahun 1970-an mengguna-
pengelolaan perikanan. Pertama, kewenangan kan pola memosisikan pembangunan semata-
mengelola sumberdaya alam yang hidup di laut mata diorientasikan untuk meraih pertumbuhan
Aceh. Kedua, secara eksplisit menyebut kewe- ekonomi.5 Pola ini dominan digunakan negara di
nangan pemeliharaan hukum adat laut, sebagai dunia yang penguasaan dan pengelolaan sum-
bagian penting dari konsep kearifan lokal yang berdaya didominasi oleh negara hanya menge-
hidup dan berkembang dalam masyarakat pesi- jar pertumbuhan ekonomi semata. Di sisi lain,
sir Aceh. Dalam hal ini, kemudian ditegaskan dalam masyarakat lokal umumnya memiliki ke-
dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2010 tentang Peri- arifan lingkungan. Eugen Ehrligh – pelopor so-
kanan, yang menyebutkan bahwa dalam penge- ciological jurisprudence – menyebutnya sebagai
lolaan perikanan di Aceh memperhatikan hu- hukum yang hidup dalam masyarakat (living
kum adat laut. law).
Namun demikian dalam era otonomi khu- Tarik-menarik antara kepentingan ekono-
sus tersebut, dunia dihantui oleh kondisi peri- mi dan sosial budaya di negara ini, kentara ter-
kanan Aceh yang kritis. Dengan potensi peri- jadi. Di satu pihak daerah memiliki kewenangan
kanan tangkap 127 ribu ton pertahun, sekarang mengelola sumberdaya sekaligus kewenangan
ini Samudra Hindia (pantai Barat) menunjukkan
tanda-tanda overfishing, sedangkan Selat Mala- 2
Razali AR, 2009, Profil Perikanan Tangkap Aceh, Banda
ka (pantai Timur) telah over fishing sejak tahun Aceh: Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, hlm. 5.
3
2001. Kondisi ini dapat menurunkan produktivi- John Kurien, 2009, Suara Panglima Laot, Banda Aceh:
FAO, hlm. 4.
tas ikan dan hasil tangkapan laut, serta perila- 4
Sulaiman, “Model Pengelolaan Perikanan Berbasis
ku destuktif serta illegal fishing mengancam Hukum Adat Laot Di Lhok Rigaih Kabupaten Aceh Jaya”,
Jurnal Masalah-masalah Hukum Undip No. 71 Maret
populasi ikan sehingga jumlah dan ukuran ikan 2011, hlm. 79.
5
hasil tangkapan menurun. Sebagai perbanding- I. Nyoman Nurjaya, “Kearifan Lokal dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam”, Jurnal Ilmiah VIII (40) tahun 2007,
an, 15 jenis ikan dominan pada 1989, pada http://www.akhirnyaterbitjuga.com, diakses tanggal
30 November 2010.
298 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 11 No. 2 Mei 2011

menjalankan hukum adat laut, di sisi lain kon- memberi warna serta mempengaruhi citra ling-
sep kearifan lokal yang disebut dengan hukum kungannya dalam wujud sikap dan perilaku
adat laut selalu tidak bisa berdaya di tengah terhadaap lingkungannya. Hakikat yang terkan-
konsep pemanfaatan sumberdaya daya yang dung di dalamnya adalah memberi tuntunan
hanya berorientasi pada ekonomi semata.7 Pa- kepada manusia untuk berperilaku yang serasi
dahal pola kearifan lokal umumnya menempat- dan selaras dengan irama alam semesta, se-
kan kapasitas budaya, sistem pengetahuan dan hingga tercipta keseimbangan hubungan antara
teknologi, religi, tradisi, dan modal sosial (eti- manusia dengan alam lingkungannya.
ka dan kearifan lingkungan, norma-norma dan Kearifan tradisional ditemui dalam ma-
institusi hukum) sebagai sesuatu yang penting syarakat hukom adat laot di Aceh. Tatanan ini
dalam rangka memanfaatkan sumberdaya.8 ditemui dalam 147 Lhok di seluruh Aceh. Dalam
Kapasitas budaya tersebut yang digunakan un- kaitan ini, lhok adalah sebuah batasan wilayah
tuk menyeimbangkan antara pemanfaatkan dan kuala atau teluk. Jumlah 147 Lhok tersebut ter-
penangkapan dan potensi yang diperkirakan. letak di 17 Kabupaten/Kota dari 22 Kabupa-
Konsep tersebut sebenarnya tujuan keberlan- ten/kota di Aceh. Kearifan tersebut sudah ter-
jutan dan kelestarian sebagai pertimbangan bagi ke dalam ketentuan adat yang umum, dan
penting masyarakat lokal dalam memanfaatkan yang berlaku secara spesifik. Ketentuan adat
sumberdaya. Konsep dimana pembangunan ti- yang umum disepakati di seluruh kawasan. Se-
dak boleh hanya diorientasikan untuk sekedar dangkan yang berlaku spesifik, tergantung dari
mengejar target/rate/kuantitas pertumbuhan daerah masing-masing yang memiliki karak-
ekonomi, dengan mengabaikan dimensi proses- teristik tersendiri.
nya.10 Berdasarkan latar belakang tersebut, tu- Secara umum, sistem aturan terbagi da-
lisan ini ingin menelusuri pola kearifan lokal lam lima lingkup sistem tatanan tradisional
dalam pengelolaan perikanan di Aceh, perkem- yang mengatur pengelolaan perikanan, yakni
bangan pelaksanaannya, serta konsep kearifan pantang laot, adat laot, adat pemeliharaan
tradisional dalam pengelolaan perikanan yang lingkungan, adat kenduri laot, dan adat barang
bisa digunakan sebagai konsep bagi masyarakat hanyut. Dalam kehidupan masyarakat hukom
lainnya adat laot, dikenal hari-hari yang menjadi pan-
tang melaut, antara lain: hari kenduri laot (3
Pembahasan hari), hari Jumat (1 hari), hari raya Idul Fitri (3
Kearifan Tradisional di Laut Aceh hari), hari raya Idul Adha (3 hari), hari kemer-
Kearifan lokal dalam konsepnya merupa- dekaan 17 Agustus (1 hari), dan 26 Desember
kan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pe- sebagai peringatan tsunami (1 hari). Ketika sua-
mahaman atau wawasan serta adat kebiasaan tu kapal nelayan terjadi kerusakan di laut,
atau etika yang menuntun perilaku manusia maka kapal lainnya yang berada di sekitarnya
dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis- harus datang dan menolong. Demikian juga bila
nya. Menurut Nurjaya, kearifan tradisional ber- terjadi kecelakaan di laut, seluruh kapal akan
pangkal pada sistem nilai dan religi yang dianut membantu dan mencari nelayan bila ada yang
dalam komunitasnya.12 Ajaran agama dan ke- hilang.
percayaan masyarakat lokal menjiwai dan Hukom adat laot melarang segala jenis
alat yang bisa merusak lingkungan, seperti
6
Sulaiman, “Pelaksanaan Hukom Adat Laot dalam pemboman, peracunan, pembiusan, penyetru-
Pengelolaan Perikanan di Aceh”, Jurnal Mondial Ilmu-
Ilmu Sosial Dan Kemasyarakatan 11 (19) Januari-Juni man, dan sebagainya. Di samping itu, larangan
2009, Universitas Syiah Kuala Aceh, hlm. 46. juga berlaku terhadap penebangan berbagai
7
I. Nyoman Nurjaya, VIII (40) tahun 2007, op. cit.
8
I Nyoman Nurjaya, “Pembangunan Hukum Negara dalam pohon di pinggir pantai seperti arun (cemara),
Masyarakat Multikultural, Perspektif Hukum Progresif”, pandan, ketapang, bakau, dan pengambilan te-
Jurnal Hukum Progresif 3 (2) Oktober 2007, PDIH
UNDIP, hlm. 13. rumbu karang. Hukom adat laot juga melarang
11
I. Nyoman Nurjaya, op. cit.
Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan … 299

pengambilan berbagai hewan dan tumbuhan kuat, antara lain teori living law dari Eugene
yang dilindungi atau yang termasuk dalam Ehrlich, yaitu aturan-aturan hukum yang hidup
pengawasan peneliti lingkungan. Mengenai te- dari tatanan normatif, yang dikontraskan de-
muan barang hanyut di laut, nelayan yang me- ngan hukum negara.19
nemukan harus menyerahkan kepada Panglima Indonesia sendiri tidak bisa mengingkari
Laot setempat untuk mengurus atau menyerah- kebhinnekaan sosial dan budaya serta kemaje-
kan ke lembaga yang berwenang. mukan normatif yang secara nyata hidup, di-
Terhadap berbagai kearifan tersebut, ju- anut, dan dioperasikan masyarakat lokal di ber-
ga disusun sejumlah sanksi yang umumnya bagai kawasan di Indonesia, terutama komu-
diputuskan oleh lembaga peradilan adat, yakni nitas-komunitas masyarakat adat yang memiliki
menyita seluruh hasil tangkapan dan diserahkan sistem hukum sendiri (self regulation) yang
ke lembaga keagamaan, serta larangan melaut dikenal sebagai hukum adat.1920 Dengan kata
selama 3 hingga 7 hari. Berdasarkan ketentuan lain, bangsa Indonesia sendiri tidak bisa di-
awal yang sudah disebutkan di bagian sebe- pisahkan dari nilai-nilai tradisional. Pancasila
lumnya, maka kearifan tersebut adalah legal sendiri menunjukkan bahwa nilai-nilai yang
secara yuridis-formal. Dalam kajian antropologi hendak dijadikan dasar untuk mengatur ke-
hukum, kondisi seperti ini sesungguhnya bisa hidupan berbangsa dan bernegara adalah nilai-
digolongkan ke dalam bentuk apa yang disebut- nilai yang terdapat, tumbuh dan berkembang
kan Griffith sebagai pluralisme hukum yang pada rakyat dan masyarakat Indonesia, seperti
lemah. Griffith membedakan pluralisme hukum musyawarah, gotong royong, komunalis, dan
yang lemah dengan yang kuat. Pluralisme hu- magis religius, serta menghargai kebhinnekaan
kum yang lemah (weak legal pluralism) adalah (pluralisme).
bentuk lain dari sentralisme hukum. Dalam hal Pluralisme hukum inilah yang memung-
ini hukum negara tetap dipandang sebagai kinkan adanya penghargaan terhadap hukum
superior, sedangkan hukum yang lain disatukan lokal (local law)–yang dalam istilah Simarmata—
dalam hirarki di bawah hukum negara.18 Tak bisa disamakan dengan hukum rakyat (folk
pelak, apa yang diatur dalam ola kearifan tradi- law). Istilah hukum lokal sekaligus mengandung
sional perikanan di Aceh adalah bagian dari hukum adat, kebiasaan, dan hukum agama. Ada
pluralisme hukum yang lemah ini. Sementara banyak istilah hukum lokal: hukum tradisional,
pluralisme hukum yang kuat (strong legal plu- hukum adat (customary law), hukum asli (in-
ralism) memandang fakta adanya kemajemukan digenous law), hukum rakyat. Masalah yang
tatanan hukum yang terdapat di semua (kelom- muncul dengan istilah seperti ”adat” dan ”tra-
pok) masyarakat. Semua sistem hukum yang disional” adalah, bahwa istilah itu lebih menun-
dipandang sama kedudukannya dalam masyara- juk masa lalu yang seolah tidak berubah, mes-
kat, tidak terdapat hierarki yang menunjukkan kipun pada kenyataannya segala jenis hukum
sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang senantiasa berubah. Bahkan di beberapa tem-
lain. Griffiths sendiri memasukkan pandangan pat perubahan sangat cepat.23
beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang

19
Brian Tamanaha, 1993, “The Folly of the Concept of
18
Pluralisme hukum merupakan konsep tanding terhadap Legal Pluralism”, Paper The XIth International Congress
sentralisme hukum yang menganggap hukum Negara of Commission on Folk Law and Legal Pluralism, New
adalah satu-satunya. Dalam konstalasi Indonesia pada Zealand: Law Faculty, Victoria University of Wellington,
masa kolonial, hukum bumi putra hanya bisa berlaku p. 24-25.
20
berdasarkan ketentuan kolonial. Artinya Negara Lihat Farida Patittingi, “Peranan Hukum Adat Dalam
memiliki otoritas penuh untuk menentukan ukuran yang Pembinaan Hukum Nasional Dalam Era Globalisasi”,
disebut hukum dan memiliki kekuasaan untuk Majalah Ilmu Hukum Amanna Gappa XI (13) Januari-
memastikan bahwa kebiasaan maupun hukum adat Maret 2003, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin,
dapat menjadi hukum. Bernard Steny, “Pluralisme hlm. 411
23
Hukum: Antara Perda Pengakuan Masyarakat Adat dan Keebet von Benda-Beckmann, 2005, Pluralisme Hukum,
Otonomi Hukum Lokal”, Jurnal Pembaruan Desa dan Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis,
Agraria, III (III) 2006, hlm. 84-85 Jakarta: HuMa dan Ford Foundation, hlm. 24.
300 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 11 No. 2 Mei 2011

Suasana pluralisme hukum (bila kemudian Perkembangan Pelaksanaan Kearifan Tradi-


kita gunakan konsep Hooker) adalah situasi sional
khusus ketika hukum negara “mengakui” bebe- Era otonomi khusus adalah batasan dari
rapa bentuk “hukum adat”.24 Hal demikian ter- suatu durasi waktu, dimana negara sudah
lihat dalam konstitusi negara Indonesia. Dalam menempatkan daerah pada posisi penting
Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 diatur bahwa: dalam kebangunan Negara Kesatuan Republik
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan- Indonesia. Dalam era tersebut, kewenangan
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- untuk menjalankan pola kearifan lokal sudah
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan terbuka lebar.
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Sebelumnya, bila kita melihat perubahan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia konsep otonomi sebelumnya, dapat dilihat da-
yang diatur dalam undang-undang”. Kalimat lam beberapa Undang-Undang sebagai berikut.
dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 menun- Pertama. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,
jukkan betapa negara merasa memiliki sekalian yang mengatur mengenai pembentukan badan
kekuasaan dan kekuatan untuk menemukan apa perwakilan rakyat daerah yang dipilih dan ber-
yang terjadi di NKRI ini, termasuk apakah hu- sama-sama kepala daerah bertugas menjalan-
kum adat masih berlaku atau tidak. Hukum kan pemerintahan daerah; kedua, Undang-Un-
adat itu beranyaman dan berkelindan kuat de- dang Nomor 22 Tahun 1948 menentukan batas-
ngan budaya setempat.25 batas wewenang daerah, dimana ditegaskan
Berbagai macam norma yang hidup dalam mengenai kewenangan daerah untuk memaju-
komunitas, terutama sekali yang berhubungan kan daerahnya. Dalam era ini dikenal daerah
dengan hak dan kewajiban sumberdaya alam istimewa; ketiga, Undang-Undang Nomor 1 Ta-
yang mengelilingi mereka. Mereka mewarisi hun 1957, daerah diberi keleluasaan untuk me-
hal-hal tersebut dari leluhur mereka. Menurut ngatur rumah tangganya sendiri dan daerah
Titahelu, mereka menganggap sumberdaya istimewa.
alam tidak semata-mata untuk memenuhi man- Keempat, Undang-Undang Nomor 18 Ta-
faat ekonomi ataupun sekedar memenuhi kebu- hun 1965, memberi harapan mengenai konsep
tuhan sehari-hari, tetapi pada saat tertentu otonomi daerah yang lebih nyata; kelima,
juga mempunyai nilai budaya, spritual, sosial, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, mulai di
politik, dan ekologis.26 Hal ini dimungkinkan kenal mengenai konsep otonomi yang nyata dan
karena masyarakat adat memandang dirinya bertanggung jawab; keenam, Undang-Undang
sebagai bagian integral dari komunitas ekologis, Nomor 22 Tahun 1999 yang merupakan pintu
sarat dengan moralitas ekologis.27 Konsep inilah bagi konsep desentralisasi yang sebenarnya
yang kemudian membawa pengaruh terhadap yang mulai dijalankan di Indonesia; ketujuh,
konsepsi kesejahteraan, sebagaimana diama- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, mem-
nahkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, bahwa perbaiki beberapa konsep yang dianggap tidak
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung sesuai dengan semangat otonomi daerah, yang
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergu- dikaitkan dengan kesejahteraan rakyat; dan ke-
nakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. delapan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008, menambahi kekurangan yang ada dalam
Undang-Undang sebelumnya, terutama berkait-
an dengan perubahan-perubahan baru dalam
24
John Griffiths, 2005, Memahami Pluralisme Hukum, bidang hukum dan politik yang terkait dengan
Sebuah Deskripsi Konseptual,Jakarta: HuMa dan Ford pemerintahan daerah. Amandemen Undang-Un-
Foundation, hlm. 81.
25
Satjipto Rahardjo, 2006, Negara Hukum yang dang Dasar 1945 merupakan bagian penting
Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Press, yang sangat berpengaruh dalam otonomi dae-
hlm. 111.
26
Rikardo Simarmata, 2005, hlm. 198. rah itu sendiri. Da-lam masa terakhir, konsep
27
A. Sonny Keraf, 2002, hlm. 284.
Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan … 301

kearifan lokal dalam pengelolaan perikanan be- adat di Aceh. Kemudian dalam Pasal 11 ayat (2)
nar-benar terbuka lebar. Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelo-
Hukom adat laot di Aceh mendapat pe- laan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan juga
ngakuan dalam peraturan perundang-undangan. disebutkan bahwa dalam pengelolaan sumber-
Masyarakat hukum adat laot diakui dalam daya perikanan, Pemerintah Provinsi mengakui
perundang-undangan di Indonesia. Pasal 18B keberadaan Lembaga Panglima Laot dan hukum
ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa “negara adat laot yang telah ada dan eksis dalam ke-
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan hidupan masyarakat nelayan di Provinsi.
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tra- Pascatsunami yang melanda Aceh dan
disionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perdamaian antara Pemerintah dan Gerakan
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Aceh Merdeka, lahir Undang-Undang Nomor 11
negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. De-
dengan undang-undang”. Di Aceh, pengakuan ngan undang-undang tersebut memberikan
ini antara lain bisa dilihat dalam Peraturan landasan hukum baru yang makin menguatkan
Daerah Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pembi- kedudukan kearifan lokal dalam hukum
naan dan Pengembangan Adat-istiadat, Kebia- nasional. Sebenarnya bila kita melihat konsep
saan Masyarakat beserta Lembaga Adat Provinsi hukum terhadap kearifan lokal, dengan jelas
Daerah Istimewa Aceh. Peraturan Daerah me- disebutkan bahwa kenyataan kearifan lokal ha-
nempat hukom adat laot pada posisi adat yang rus menjadi bagian atau pertimbangan dalam
dikenal dan diatur di Provinsi Daerah Istimewa dalam kegiatan penangkapan ikan dan pembu-
Aceh. didayaan ikan (Pasal 6 Undang-Undang Nomor
Aceh, dalam era reformasi mendapat sta- 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-
tus khusus dengan Undang-Undang Nomor 44 Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perika-
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistime- nan; Pasal 162 ayat (2) huruf e Undang-Undang
waan Aceh. Dalam undang-undang juga meng- Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
atur mengenai penyelenggaraan kehidupan Aceh).
adat. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang Berdasarkan undang-undang terakhir, ke-
tersebut, dibentuk Peraturan Daerah Nomor 7 mudian secara lebih konkret ditegaskan dalam
Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidup- Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang
an Adat. Pada tahun 2000, Gubernur Aceh me- Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat-Istiadat.
nerbitkan Surat Keputusan Nomor: 523/315/ Dalam Pasal 10 ayat (1) huruf (f) dijelaskan
2000 tentang Pengukuhan Panglima Laot Aceh, bahwa pembinaan dan pengembangan kehidup-
sebagai lembaga yang melaksanakan hukom an adat dan adat istiadat dapat dilakukan
adat laot. Keputusan tersebut kemudian diper- dengan “perlindungan hak masyarakat adat,
barui dengan Keputusan Gubernur Provinsi yang meliputi tanah, rawa, hutan, laut, sungai,
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 523.11/012/ danau, dan hak-hak masyarakat lainnya”.
2005 (tertanggal 8 Maret 2005) tentang Pe- Semua pengaturan dan pertimbangan
ngukuhan Panglima Laot Aceh. Dalam kepu- yang tersebut di atas, oleh ketentuan lainnya
tusan tersebut disebutkan bahwa Panglima Laot juga diperjelas sedemikian rupa. Dalam peng-
merupakan bagian penting dalam rangka me- aturannya, hukum adat dan/atau kearifan lokal
nyukseskan pembangunan perikanan. yang dijadikan pertimbangan dalam pengelo-
Otonomi yang lebih luas kembali diberi- laan perikanan adalah yang tidak bertentang-
kan Pemerintah melalui Undang-undang Nomor an dengan hukum nasional. Bunyi penjelasan
18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi ini kurang lebih sama dengan pengaturan dalam
Aceh dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh Da- Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Keten-
russalam. Dalam undang-undang ini juga me- tuan Pokok Agraria. Dalam konteks hukom adat
ngakui keberadaan hukum adat dan lembaga
302 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 11 No. 2 Mei 2011

laot, jelas tidak bertentangan dengan hukum mendukung teraktualisasinya berbagai ketentu-
nasional. an perundang-undangan yang mengatur penge-
Pola semacam ini sudah tepat, karena da- lolaan berbasis kearifan tradisional. Komponen
lam sejarahnya, pengelolaan perikanan di Aceh substansi merupakan ketentuan yang dibuat
dimulai dengan inisiatif yang muncul dari dan digunakan untuk megatur perilaku manu-
masyarakat lokal dengan menggunakan pema- sia. Komponen kultur menyangkut dengan nilai-
haman yang mereka punya (pengetahuan lokal) nilai, sikap, dan pola perilaku warga. Budaya
dan kemudian dilembagakan dengan mengguna- hukum berhubungan dengan sikap dan perilaku.
kan sistem hukum adat, salah satunya adalah Makanya dalam sistem hukum, budaya hukum
adat laot.28 Konsep tersebut merupakan konsep menjadi faktor penentu yang penting. Cita-cita
pengelolaan berbasis pengetahuan tradisional.29 hukum, tujuan pembangunan hukum, tidak da-
Praktek seperti ini, bisa ditandai salah satunya pat dicapai dengan mengabaikan peranan dan
adalah sudah berlangsung turun-temurun.30. Pa- sumbangan budaya hukum.
radigma seperti ini bertransformasi, terutama Gambaran di atas, dalam konteks yang le-
dari legal centralism ke legal pluralism.31 Ben- bih luas, bisa dipersandingkan dengan teori
tuk pengelolaan tersebut di atas, menempatkan pembangunan hukum Mochtar Kusumaatmaja
posisi pemerintah penting.32 Posisi tersebut ke- yang terbangun dari teori orientasi kebijaksa-
mudian diimplementasikan dalam pengelolaan naan Mc. Dougal dan Laswell dan teori hukum
perikanan di Aceh dengan berusaha me;libatkan pragmatis Pound.35 Menurut teori tersebut, hu-
masyarakat dan lembaga adat dalam pelaksana- kum turut ditentukan oleh proses,36 yang dalam
annya.33 konteks teori tersebut, hukum dapat didayagu-
nakan sebagai alat pembaruan dan pembangun-
Kearifan Tradisional dalam Pengelolaan Per- an masyarakat.37 Namun demikian tingkat ke-
ikanan berhasilannya belum diuji padahal perubahan
Peraturan yang mengatur tentang ke- sistem sentralisasi ke otonomi telah menimbul-
harusan kearifan lokal dalam pengelolaan pe- kan dampak mendasar terhadap perkembangan
rikanan Aceh, pada kenyataannya tidak bisa sistem hukum.38
dijalankan serta-merta. Harus ada keterpaduan Perubahan sistem tersebut kemudian di-
dengan berbagai pihak lain yang terlibat dalam implementasikan dalam konsep pengelolaan
pengelolaan perikanan. Dalam sistem hukum, bersama perikanan sebagai model pengelolaan
dikenal tiga komponen yang saling terkait, yak- yang memadukan antara manajemen (modern)
ni struktur, substansi, dan kultur.34 komponen dari Pemerintah dengan manajemen tradisional
struktur berupa kelembagaan dalam rangka dari masyarakat lokal. Proses pembentukan ma-
najemen terpadu dapat ditempuh melalui dua
28
M. Adli Abdullah, dkk, 2006, op. cit, hlm. 18. langkah, yakni: pertama, pemerintah secara
29
Lucky Adrianto dkk, “Adopsi Pengetahuan Lokal Dalam formal mengakui peraturan informal yang hidup
Pengelolaan Perikanan Di Indonesia” Paper Workshop on
Customary Knowledge, Mataram, Indonesia, 2-4 di tengah masyarakat, baik secara tradisional
Agustus 2009. sudah ada maupun yang baru dibentuk oleh
30
A. Sonny Keraf, 2002, hlm. 289.
31
Rahmat Safa’at, “Transformasi Paradigma Hukum
Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Perspektif Global:
35
dari Legal Centralism ke Legal Pluralism”, Jurnal Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Hukum, Masyarakat,
Hukum Progresif, Vol. 3 No. 2/Oktober 2007, hlm. 122. dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Binacipta,
32
Victor PH Nikijuluw, 2002, Rezim Pengelolaan hlm. 5 – 10.
36
Sumberdaya Perikanan, Pustaka Cidesindo, Jakarta. Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum
33
Mella Ismelina FR, “Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung:
dan Kelautan menuju Sustainable Development”, Binacipta, hlm. 11.
37
Jurnal Syiar Madani (FH Unisba), Vol. VII No. 3 Mochtar Kusumaatmadja2000, Konsep-Konsep Hukum
November 2005, hlm. 327. dalam Pembangunan, Bandung: Alumni,hlm 13 dan hlm.
34
Lawrence M. Friedman, The Legal System; A Social 74.
38
Science Perspective, Russel Sage Foundation, New Romli Atmasasmita, 2003,Menata Kembali Masa Depan
York, 1975, pp. 16. Pembangunan Hukum Nasional, Majalah Hukum
Nasional No 1/2003, Jakarta: BPHN, hlm 1.
Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan … 303

masyarakat (neo-tradisional); kedua, pemerin- batasi jumlah tangkapan bagi setiap pelaku
tah menyerahkan sebagian wewenangnya kepa- berdasarkan kuota. Salah satu formulasi dari
da masyarakat dalam penegakan aturan yang pembatas input itu adalah territorial use right
dibuat oleh Pemerintah.39 yang menekankan penggunaan fishing right
Pengelolaan bersama perikanan tersebut, (hak memanfaatkan sumberdaya perikanan)
pada akhirnya bertujuan untuk menghindari dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi
lahirnya ”tragedi bersama”. “Tragedi bersama” yang jelas. Pola fishing right system ini me-
(tragedy of commons) adalah istilah yang mun- nempatkan fishing right yang berhak melaku-
cul dari sebuah artikel yang dimuat di Jounal kan kegiatan perikanan di suatu wilayah,
Sciences, Edisi 162: 1243-48 tahun 1968, “The sementara yang tidak memiliki fishing right
Tragedy of the Commons”. Teori ini dimulai da- tidak diizinkan beroperasi di wilayah itu. Selain
ri peringatan seorang pakar biologi pada tahun diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan
1968, Garret Hardin, tentang ”akan terjadinya perikanan, juga diatur kapan dan dengan alat
dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang
dimanfaatkan bersama – common-pool resour- menjurus pada bentuk pengkaplingan laut ini
ces (CPRs), seperti fishing ground, ekosistem menempatkan perlindungan kepentingan nela-
terumbu karang, teluk, danau, hutan, air ta- yan kecil yang beroperasi di wilayah pantai-
nah, dan sebagainya.” Oleh Ostrom kemudian pesisir serta kepentingan kelestarian fungsi
dikemukakan dua persoalan penting CPRs, Per- sumberdaya sebagai fokus perhatian.41
tama, pengambilan seseorang atas resource Berdasarkan referensi tersebut, kemudian
unit (RU) dari CPRs bersifat mengurangi pe- pengelolaan bersama perikanan berusaha
luang orang lain untuk mengambil RU yang mengkombinasi tipe rejim kepemilikan sumber-
sama. Kedua, kesulitan mengontrol akses atas daya oleh pemerintah dan masyarakat. Bagai-
CPRs tersebut. Artinya, seseorang mengalami mana pun, manajemen pengelolaan bersama
kesulitan untuk membatasi akses orang lain dibutuhkan. Konsep sebagaimana disebutkan di
atas CPRs itu.40 atas, pada kenyataannya sudah berjalan di
Sebenarnya dalam pengelolaan perikanan empat kabupaten pesisir pantai barat, yaitu
dikenal dua bentuk regulasi. Pertama, open yaitu Aceh Besar (Kawasan Bina Bahari di Lam-
access adalah regulasi yang membiarkan nela- puuk), Aceh Jaya (Kawasan Ramah Lingkungan
yan menangkap ikan dan mengeksploitasi sum- di Lhok Rigaih dan Kawasan Peudhiet Laot di
berdaya hayati lainnya kapan saja, di mana Meureuhom Daya), Aceh Barat (Kawasan Peuj-
saja, berapa pun jumlahnya, dan dengan alat roh Laot di Meureubo dan Langgong), dan Na-
apa saja. Regulasi ini mirip “hukum rimba” dan gan Raya (Kawasan Beujroh Laot di Lhok Kuala
“pasar bebas”. Regulasi inilah yang berpotensi Trang, lhok Kuala Tadu, Lhok Kuala Tripa, lhok
tragedy of commons baik berupa kerusakan Babah Lueng dan lhok Kuala Seumanyam). Hing-
sumberdaya kelautan dan perikanan maupun ga saat ini, komponen ini telah bekerja dalam
konflik antarnelayan. Kedua, controlled access meningkatkan pemahaman tentang pelestarian
regulation adalah regulasi terkontrol yang da- perikanan melalui pengelolaan bersama kepada
pat berupa (1) pembatasan input (input restric- para stakeholders yang terdiri dari masyarakat
tion), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah pesisir, panglima laot, dan pemerintah.
jenis kapal, dan jenis alat tangkap, (2) pemba- Namun demikian ada satu hal yang harus
tasan output (output restriction), yakni mem- diingatkan, bahwa model pengelolaan bersama
perikanan bukan sebagai ruang untuk menghan-
39
Sudirman Saad, “Pluralisme Hukum dan Masalah curkan kehidupan adat. Proses ini tidak boleh
Lingkungan: Kasus Penangkapan Ikan di Danau Tempe,
Sulawesi Selatan”, dalam EKM Masinambow, 2003,
41
Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta: Yayasan Anonimious, 2007, Dokumen Analisis Kebijakan
Obor Indonesia, hlm. 195. Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
40
Aceng Hidayat, “Tragedi Bersama Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh: WI,
Indonesia”, Sinar Harapan, 16 Februari 2008). WWF, Both Ends, IUCN, dan Oxfam, hlm. 7.
304 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 11 No. 2 Mei 2011

menghancurkan berbagai akivitas adat laot Adrianto, Lucky dkk. Adopsi Pengetahuan Lokal
yang berlangsung, misalnya pemberian sanksi Dalam Pengelolaan Perikanan Di Indo-
dalam pengelolaan bersama, tidak boleh menis- nesia. Paper Workshop on Customary
Knowledge, Mataram, Indonesia, 2-4
bikan ada kearifan dalam peradilan adat di laot Agustus 2009;
di wilayah pesisir.
Anonimious. 2007. Dokumen Analisis Kebijakan
Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan
Penutup Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh
Simpulan Darussalam. Banda Aceh: WI, WWF, Both
Berdasarkan bahasan tersebut di atas, Ends, IUCN, dan Oxfam;
ada beberapa simpulan penting. Pertama, da- AR, Razali. 2009. Profil Perikanan Tangkap
lam masyarakat Aceh, pola kearifan tradisional Aceh. Banda Aceh: Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh;
dalam pengelolaan perikanan dikenal dengan
istilah hukom adat laot, yang berlaku dalam Atmasasmita, Romli. 2003. “Menata Kembali
Masa Depan Pembangunan Hukum Na-
masyarakat yang mendiami 147 Lhok di seluruh
sional”. Majalah Hukum Nasional No 1/
Aceh. Masyarakat hukom adat laot memiliki ke- 2003. Jakarta: BPHN;
arifan dalam lima lingkup tatanan tradisional, Benda-Beckmann, Keebet von. 2005. Pluralisme
yakni pantang laot, adat laot, adat pemeli- Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan
haraan lingkungan, adat kenduri laot, dan adat Perdebatan Teoritis. Jakarta: HuMa dan
barang hanyut. Kedua, konsep masyarakat hu- Ford Foundation;
kum adat laot merupaan konsep trandisional FR, Mella Ismelina. “Pengelolaan Sumberdaya
yang dalam negara dengan pengertian modern Pesisir dan Kelautan menuju Sustainable
Development”. Jurnal Syiar Madani, Vol.
juga diakui dengan peraturan perundang-un-
VII No. 3 November 2005;
dangan. Dalam hal ini, negara mengakui dan
Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal Sys-
menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
tem; A Social Science Perspective. New
laot dan hak tradisionalnya karena masih hidup York: Russel Sage Foundation;
dan berkembang dalam masyarakat. Ketiga,
Griffiths, John. 2005. Memahami Pluralisme
konsep kearifan lokal, dalam era otonomi dae- Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual.
rah mendapat mendapat posisi penting dalam Jakarta: HuMa dan Ford Foundation;
pengelolaan perikanan di Indonesia. Namun de- Hidayat, Aceng. “Tragedi Bersama Perikanan
mikian, tarik-menarik kepentingan tetap ter- Indonesia”, Sinar Harapan, 16 Februari
jadi, antara lain dengan membedakan konsep 2008;
kearifan dengan pembangunan pada umumnya. Kurien, John. 2009. Suara Panglima Laot. Ban-
da Aceh: FAO;
Rekomendasi Kusumaatmadja, Mochtar. 1986. Hukum, Ma-
Pengambil kebijakan dalam rangka pelak- syarakat, dan Pembinaan Hukum Nasio-
nal. Bandung: Binacipta;
sanaan kearifan tradisional, tidak hanya ter-
paku pada landasan yuridis-formal semata. -------. 1986. Pembinaan Hukum Dalam Rangka
Pembangunan Nasional. Bandung: Bina-
Pengambil kebijakan yang mementingkan lan- cipta;
dasan yuridis-formal, seyogianya menjadikan
-------. 2000. Konsep-Konsep Hukum dalam
kearifan tradisional sebagai bahan baku yang Pembangunan. Bandung: Alumni;
penting dalam rangka penyusunan berbagai
Masinambow, EKM. 2003. Hukum dan Kema-
peraturan perundang-undangan yang terkait. Di jemukan Budaya. Jakarta: Yayasan Obor
samping itu, sudah seyogianya pola pemecahan Indonesia;
masalah tertentu melalui pendekatan yang Nikijuluw, Victor PH. 2002. Rezim Pengelolaan
holistik. Sumberdaya Perikanan. Jakarta: Pustaka
Cidesindo;
Daftar Pustaka Nurjaya, I Nyoman. “Kearifan Lokal dan Penge-
lolaan Sumberdaya Alam”. Jurnal Ilmiah
Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan … 305

Vol. VIII No. 40 2007, http://www.akhir- baruan Desa dan Agraria, Vol. 3 No. 3
nyaterbitjuga.com, diakses tanggal 30 2006;
November 2010; Sulaiman, “Pelaksanaan Hukom Adat Laot da-
-------. “Pembangunan Hukum Negara dalam lam Pengelolaan Perikanan di Aceh”, Jur-
Masyarakat Multikultural, Perspektif Hu- nal Mondial Ilmu-Ilmu Sosial dan Kema-
kum Progresif”. Jurnal Hukum Progresif syarakatan Vol. 11 No.19 Januari-Juni
Vol. 3 No.2 Oktober 2007; 2009, Universitas Syiah Kuala Aceh;
Patittingi, Farida. “Peranan Hukum Adat Dalam -------. “Model Pengelolaan Perikanan Berbasis
Pembinaan Hukum Nasional Dalam Era Hukum Adat Laot Di Lhok Rigaih Kabu-
Globalisasi”. Majalah Ilmu Hukum Aman- paten Aceh Jaya”. Jurnal Masalah-masa-
na Gappa Vol. XI No. 13 Januari-Maret lah Hukum No. 71 Maret 2011;
2003, FH UNHAS; -------. 2010. Konsep Pengelolaan Sumberdaya
Rahardjo, Satjipto. 2006. Negara Hukum yang Perikanan Berbasis Kearifan Lokal Di
Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Aceh Pada Masa Otonomi Daerah. Ma-
Genta Press; kalah Lokakarya 8 Tahun Otonomi Dae-
Safa’at, Rahmat. “Transformasi Paradigma Hu- rah, Malang: Universitas Brawijaya;
kum Pengelolaan Sumberdaya Alam da- Tamanaha, Brian. 1993. The Folly of the Con-
lam Perspektif Global: dari Legal Central- cept of Legal Pluralism. Paper The XIth
ism ke Legal Pluralism”. Jurnal Hukum International Congress of Commission on
Progresif, Vol. 3 No. 2/Oktober 2007; Folk Law and Legal Pluralism, New
Steny, Bernard. “Pluralisme Hukum: Antara Zealand: Law Faculty, Victoria University
Perda Pengakuan Masyarakat Adat dan of Wellington.
Otonomi Hukum Lokal”. Jurnal Pem-

Anda mungkin juga menyukai