Anda di halaman 1dari 18

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyamuk Aedes Aegypti

Menurut Marcellus (2007) dalam Hartomo (2008) nyamuk Aedes aegypti

mempunyai peranan penting dalam bidang kesehatan yaitu sebagai vektor DBD.

DBD disebabkan oleh virus dan terdapat di daerah tropik. Cara penularannya

adalah setiap kali nyamuk menusukkan kanalnya (ujung moncongnya) ke kapiler

darah manusia untuk menghisapnya, maka nyamuk segera mengekskresikan air

liurnya yang mengandung anti koagulan (zat anti pembekuan darah) supaya darah

mudah disedot yang juga mengandung virus dengue, sehingga air liur yang

tercemar virus tadi menular ke manusia yang menjadi korban gigitannya. Bila

penderita digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah ikut terhisap masuk ke

dalam lambung nyamuk, selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar

diberbagai jaringan tubuh dan siap untuk ditularkan kepada orang lain.

Menurut Christophers, 1960 cit. Lenhart et al (2005) dalam Ambarita

(2008) nyamuk Ae. aegypti adalah nyamuk yang sangat mampu beradaptasi dan

berkembang biak pada kontainer (highly adapted container breeder). Nyamuk Ae.

aegypti menyukai tempat-tempat penampungan yang berair jernih dan terlindung

dari sinar matahari langsung sebagai tempat perkembangbiakan. Tempat-tempat

perkembangbiakan seperti itu umumnya banyak dijumpai di dalam rumah dan

sekitarnya (Hidayat et al., 1997). Selain itu juga nyamuk ini lebih menyukai

habitat dengan sedikit bahan organik sebagai sumber makanan pada saat stadium

larva.

8
9

B. Klasifikasi (Taxonomi) Aedes aegypti

Klasifikasi Aedes aegypti adalah sebagai berikut :

Golongan : animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : insecta
Ordo : Diptera
Famili : culicidae
Subfamili: culicinae
Genus : aedes
Spesies : Aedes sp

C. Siklus Hidup Nyamuk

Lebih dari 50% fauna yang menghuni muka bumi adalah serangga. Selama

ini kehadiran beberapa jenis serangga telah mendatangkan manfaat bagi manusia,

misalnya lebah madu, ulat sutera, serangga penyerbuk atau musuh alami hama

tanaman. Meskipun demikian, tidak sedikit serangga yang justru membawa

kerugian bagi kehidupan manusia dan nyamuk (Kardinan, 2003).

Kehadiran nyamuk sering dirasakan menganggu kehidupan manusia, dari

gigitannya yang menyebabkan gatal hingga perannya sebagai vektor (penular)

penyakit-penyakit berbahaya bagi manusia, misalnya penyakit kaki gajah, malaria

dan demam berdarah (dengue haemorrhagic fever). Penyakit demam berdarah

disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Virus

penyebab penyakit demam berdarah ini diturunkan kepada keturunannya (telur)

(Kardinan, 2003).

Nyamuk demam berdarah mengalami metamorfosis sempurna

(holometabola), dari telur, larva (jentik), pupa, hingga imago (dewasa). Selama
10

bertelur, seekor nyamuk betina mampu meletakkan 100-400 butir telur. Biasanya,

telur-telur tersebut diletakkan dibagian yang berdekatan dengan permukaan air,

misalnya di bak yang airnya jernih dan tidak berhubungan langsung dengan tanah

(Kardinan, 2003).

D. Morfologi Nyamuk aedes sp

1. Telur Nyamuk

Nyamuk betina meletakkan telunya diatas permukaan air, menempel pada

dinding perindukannya. Rata-rata setiap bertelur, nyamuk betina meletakkan 100

butir telur (safar, 2009).

Telur berwarna hitam seperti sarang tawon, diletakkan satu demi satu

dipermukaan atau sedikit dibawah permukaan air dalam jarak 2 cm dari dinding

tempat perindukan. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan pada suhu -20C

sampai 420C. Namun bila kelembaban terlampau rendah, maka telur akan menetas

dalam waktu 4hari. Dalam keadaan optimal perkembangan telur sampai menjadi

nyamuk dewasa berlangsung selama sekurang-kurangnya 9 hari (Iskandar, 1985).

Menurut Soedomo (1971) dalam Novelani (2007), semakin lama telur

yang disimpan dalam keadaan kering maka akan menunjukkan kemampuan daya

tetas telur rendah. Telur yang disimpan selama 12 minggu, masih menunjukkan

kemampuan untuk menetas walaupun sangat rendah.

Kemampuan bertahan memberikan keuntungan bagi kelangsungan hidup

spesies tersebut selama kondisi iklim yang tidak menguntungkan (WHO, 2003).

Berdasarkan pengamatan dilaboratorium Institut Pertanian Bogor (IPB) oleh

Agustina (2006) dalam Novelani (2007), telur yang disimpan selama dua minggu
11

sudah mulai mengkerut dan kering. Walau penetasan telur yang disimpan juga

lebih lama dibandingkan dengan waktu penetas telur yang masih dalam keadaan

segar (baru) dan kondisi juga lebih baik.

2. Larva

Telur menetas menjadi larva setelah 7 hari. Posisi nyamuk Aedes aegypti

tersebut berada dalam air. Larva menjadi sangat aktif, yakni membuat gerakan

keatas dan kebawah jika air terguncang. Namun jika sedang istirahat, jentik akan

diam dan tuuhnya membentuk sudut terhadap permukaan air. Jentik akan

mengalami empat kali proses pergantian kulit (instar). Proses ini menghabiskan

waktu 7-9 hari. Setelah ini jentik berubah menjadi pupa (Kardinan, 2003).

3. Kepompong (Pupa)

Menurut Kettle (1984) dalam Kurnida (2001), bentuk pupa merupakan

fase tanpa makan dan sangat sensitif terhadap pergerakan air. Stadiun ini hanya

berlangsung 2-3 hari tetapi dapat diperpanjang sampai 10 hari pada suhu rendah,

dibawah suhu 1000C tidak ada perkembangan.

Kepompong (pupa) berbentuk seperti koma. Bentuknya lebih besar namun

lebih ramping dibandingkan larva. Pupa aedes aegypti berukuran lebih kecil

dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain (Depkes RI, 2007).

Menurut sungkar (2005) dalam putri (2008), pupa terdiri atas sefalotoraks,

abdomen dan kaki pengayuh. Sefalotoraks mempunyai sepasang corong

pernafasan berbentuk segitiga. Pada bagian distal abdomen ditemukan sepasang

kaki pengayuh yang lurus dan runcing. Jika terganggu, pupa akan bergerak cepat
12

untuk menyelam selama beberapa detik kemudian muncul kembali ke permukaan

air.

4. Nyamuk Dewasa

Nyamuk jantan dan betina dewasa memiliki perbandingan 1:1, nyamuk

jantan keluar terlebih dahulu dari kepompongnya, baru disusul nyamuk betina dan

nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang nyamuk sampai betina

keluar dari kepompong. Setelah nyamuk betina keluar, maka nyamuk jantan akan

langsung mengawini nyamuk betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya,

nyamuk betina hanya kawin sekali saja. Selama perkembangan telur tergantung

kepada beberapa faktor yaitu temperatur, kelembaban dan spesies dari nyamuk.

Sedangkan umur nyamuk betina bisa mencapai 10 hari (Dirjen P2M & PLP 2004,

Hadi 2001 dan Dinkes Prov Jateng 2006).

E. Kebiasaan Hidup (Bionomik) Aedes aegypti

Pengetahuan tentang bionomik vektor sangat diperlukan dalam

perencanaan pengendaliannya. Bionomik adalah bagian dari ilmu biologi yang

menerangkan pengaruh anatara organisme hidup dengan lingkungannya

Pengetahuan bionomik nyamuk meliputi stadium pradewasa (telur, jentik, pupa)

dan stadium dewasa. Hal ini menyangkut tempat dan waktu nyamuk meletakkan

telur, perilaku perkawinan, perilaku menggigit jarak terbang (fight range) dan

perilaku istirahat (resting habit) dari nyamuk dewasa dan faktor-faktor lingkungan

seperti suhu, kelembaban, iklim, curah hujan, yang mempengaruhi kehidupan

nyamuk. Kebiasaan hidup/ bionomik dari nyamuk Aedes aegypti tersebut, terdiri

dari:
13

1. Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)

Nyamuk Aedes aegypti betina bersifat anthropofilik, karenanya lebih

menyukai darah manusia daripada darah binatang. Nyamuk Aedes aegypti betina

menghisap darah dengan tujuan mematangkan telur dalam tubuhnya. Nyamuk

Aedes aegypti hidup di dalam dan sekitar rumah sehingga makanan yang

diperoleh semuanya sudah tersedia. Boleh dikatakan bahwa nyamuk betina sangat

menyukai darah manusia (anthropofilik) dari pada darah binatang. Kebiasaan

menghisap darah terutama pada pagi hari jam 08.00 – 12.00 dan sore hari jam

15.00 – 17.00. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah

– pindah berkali - kali dari satu indiviu ke individu yang lain (Soegijanto, 2006).

Hal ini disebabkan pada siang hari orang sedang aktif, sehingga nyamuk yang

menggigit seseorang belum tentu kenyang. Orang tersebut sudah bergerak,

nyamuk terbang menggigit orang lagi sampai cukup darah untuk pertumbuhan

dan perkembangan telurnya. Pada nyamuk perkotaan lebih suka menggigit pada

waktu siang hari (90%) dan waktu malam (10%). Nyamuk desa hanya menggigit

siang saja. Kejadian tersebut kemungkinan juga sinar lampu di perkotaan ikut

mempengaruhi kebiasaan menggigit (Hasan, 2006).

2. Kebiasaan/ perilaku Istirahat (Resting Habit)

Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab, dan

tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar

mandi, kamar kecil, maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar

rumah, di tumbuhan, atau di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan,

permukaan istirahat yang mereka suka adalah di bawah furnitur, benda yang
14

tergantung seperti baju dan korden, serta di dinding. Kebiasaan hinggap istirahat,

lebih banyak di dalam rumah, yaitu benda-benda yang bergantungan, berwarna

gelap, dan tempat-tempat lain yang terlindung, juga di dalam sepatu. Keadaan

inilah yang menyebabkan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi (Ditjen

PPM&PL. 2001).

3. Kebiasaan Berkembangbiak (Breeding Habit)

Tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti adalah penampungan

air bersih di dalam rumah ataupun berdekatan dengan rumah, dan air bersih

tersebut tidak bersentuhan langsung dengan tanah (Ditjen PPM&PL, 2002).

Tempat perkembangbiakan tersebut berupa:

a. Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat menampung air guna keperluan

sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC dan ember.

b. Bukan tempat penampungan air (non TPA) yaitu tempat - tempat yang biasa

digunakan untuk menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari

seperti tempat minum hewan piaraan, kaleng bekas, ban bekas, botol, pecahan

gelas, vas bunga dan perangkap semut.

c. Tempat penampungan air alami (TPA alami/ natural) seperti lubang pohon,

lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon

pisang dan potongan bambu.

4. Jarak Terbang

Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa

dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang

nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak, dengan
15

demikian penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk

mempertahankan cadangan air di dalam tubuh dari penguapan maka jarak terbang

nyamuk menjadi terbatas.

Aktifitas dan jarak terbang nyamuk dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: faktor

eksternal dan faktor internal. Eksternal meliputi kondisi luar tubuh nyamuk

seperti kecepatan angin, temperatur, kelembaban dan cahaya. Adapun faktor

internal meliputi suhu tubuh nyamuk, keadaan energi dan perkembangan otot

nyamuk. Meskipun Aedes aeegypti kuat terbang tetapi tidak pergi jauh-jauh,

karena tiga macam kebutuhannya yaitu tempat perindukan, tempat mendapatkan

darah, dan tempat istirahat ada dalam satu rumah. Keadaan tersebut yang

menyebabkan Aedes aegypti bersifat lebih menyukai aktif di dalam rumah,

endofilik. Apabila ditemukan nyamuk dewasa pada jarak terbang mencapai 2 km

dari tempat perindukannya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh angin atau

terbawa alat transportasi.

5. Lama hidup

Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya

delapan hari. Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, hal ini

menyebabkan risiko penyebaran virus semakin besar (Supartha, 2008).

F. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kehidupan Vektor

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor adalah

faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik seperti curah hujan, temperatur, dan

evaporasi dapat mempengaruhi kegagalan telur, larva dan pupa nyamuk menjadi
16

imago. Demikian juga faktor biotik seperti predator, parasit, kompetitor dan

makanan yang berinteraksi dalam kontener sebagai habitat akuatiknya pradewasa

juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya menjadi imago. Keberhasilan

itu juga ditentukan oleh kandungan air kontainer seperti bahan organik, komunitas

mikroba, dan serangga air yang ada dalam kontainer itu juga berpengaruh

terhadap siklus hidup Aedes aegypti. Selain itu bentuk, ukuran dan letak kontener

(ada atau tidaknya penaung dari kanopi pohon atau terbuka kena sinar matahari

langsung) juga mempengaruhi kualitas hidup nyamuk. Faktor curah hujan

mempunyai pengaruh nyata terhadap flukstuasi populasi Aedes aegypti. Suhu juga

berpegaruh terhadap aktifitas makan, dan laju perkembangan telur menjadi larva,

larva menjadi pupa dan pupa menjadi imago. Faktor suhu dan curah hujan

berhubungan dengan evaporasi dan suhu mikro di dalam kontainer (supartha,

2008).

G. Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti

Beberapa usaha pencegahan dan pengendalian terhadap serangan nyamuk

demam berdarah tidak akan berjalan efektif jika dilakukan secara simultan dan

terpadu. Jika salah satu lingkungan saja tidak ikut berpartisifasi, lingkungan

tersebut bisa menjadi sumber infeksi serangan nyamuk demam berdarah. Usaha-

usaha pencegahan dan pengendalian secara kimiawin pengendalian secara

mekanis, dan pengendalian secara biologis (kardinan, 2003).


17

1. Pengendalian lingkungan

Pengendalian lingkungan merupakan cara terbaik untuk mengontrol

vektor karena hasilnya dapat bersifat permanen. Contonhnya seperti

membersihkan tempat-tempat hidup vektor.

2. Pengendalian biologi

Pengendalian biologi ditujukan untuk mengurangi pencemaran

lingkungan akibat pemakaian insektisida yang berasal dai bahan-bahan

beracun. Contoh pendekatan ini adalah pemeliharaan ikan.

3. Pengendalian genetik

Dalam pendekatan ini, ada beberapa teknik yang dapat digunakan,

diantaranya steril technique, citoplasmic incompatibility, dan choromosomal

translocatian (Chandra, 2006).

4. Pengendalian secara mekanis

Cara ini bisa dilakukan dengan mengubur kaleng-kaleng atau wadah-

wadah sejenis yang dapat menampung air hujan dan membersihkan

lingkungan yang potensial dijadikan sebagai sarang nyamuk demam berdarah,

misalnya semak belukar dan got. Pengendalian secara mekanis lain yang bisa

dilakukan adalah pemasangan perangkap nyamuk, baik menggunakan cahaya,

lem, atau raket pemukul (Kardinan, 2003).

5. pengendalian vektor secara kimia

a. Insektisida

Insektisida bersal dari nama latin Insectum yang mempunyai arti

potongan, keratin, atau segmen tubuh, seperti kita lihat pada bagian tubuh
18

serangga. Insektisida umumnya dapat menimbulkan efek terhadap sistem

saraf.

b. Pembagian insektisida

Insektisida dibagi berdasarkan jalan masuknya ketubuh serangga :

1) Racun lambung dan racun perut (stomach poison)

Racun lambung atau racun perut adalah insektisida yang

membunuh serangga sasaran jika termakan dan masuk kedalam organ

pencernaannya. Selanjutnya cairan tersebut terserap kedalam dinding

saluran pencernaan makanan dan dibawa oleh cairan tubuh serangga

ketempat insektisida tersebut aktif (misalnya kesaluran saraf serangga).

Contok insektisida jenis ini adalah lugenuron, fosfamidon,

teflubenzuron, tiodikarb, dan trifumuron.

2) Racun kontak

Racun kontak merupakan insektisida yang masuk kedalam

tubuh seranggga sasaran lewat kulit (kutikula) dan transportasikan

kedalam tubuh serangga tempat insektisida tersebut aktif bekerja

(misalnya susunan saraf). Serangga tersebut mati bila bersingungan

langsung (kontak) dengan insektisida tersebut. Contoh insektisida yang

memiliki efek sebagai racun kontak yang kuat diantaranya zosiksikloti,

bromo propilat, primifos metal, popagit, piretrum, resmentrin,

tebupirimfos, dan tetrenmetrin.


19

3) Racun inhalasi (fumigant)

Istilah racun inhalasi (fumigant) digunakan untuk membedakan

dengan racun pernapasan dalam arti yang lain. Racun inhalasi

merupakan racun yang bekerja lewat sistem pernapasan. Insektisida

akan mati bila insektisida dalam jumlah yang cukup masuk kedalam

pernapasan serangga dan selanjutnya ditranportasikan ketempat racun

tersebut bekerja. Sedangkan racun pernapasan adalah insektisida yang

mematikan serangga karena mengganggu kerja organ pernapasan

(misalnya menghentikan kerja otot yang mengatur ernapasan), sehingga

mati akibat tidak bisa bernapas.

Umumnya racun inhalasi diaplikasikan sebagai fumigansia.

Beberapa contohnya adalah etilen bromide, tidak menghasilkan kulit

baru sehingga srangga akan mati dalam beberapa hari karena proses

pergantian kulitnya terganggu, umumnya insektisida dari kelompok

tiourea.

4) Racun metabolisme

Racun ini membunuh serangga dengan mengintervensi proses

pergantian kulitnya. Contoh insektisida dengan mode of oction ini yaitu

deafentiuron yang mengganggau respirasi sel dan bekerja di

mitokondria.

5) Racun fisik (racun non spesifik)

Racun fisik membunuh serangga dengan sasaran yang tidak

spesifik sebagai contohnya debu inert yang bisa menutupi lubang-


20

lubang pernapasan serangga sehingga mati lepas karena kekurangan

oksigen. Debu yang hygrokopis (misalnya bubuk karbon atau tanah

diatom) bisa membunuh serangga karena debu yang menempel di kulit

serangga akan menyerap cairan tubuh berlebihan.

6) Insektisida nabati

Penggunaan insektisida kimia sintetis merupakan masalah yang

sangat perlu dipertimbangkan terutama dampak residu terhadap

lingkungan, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya serta

senyawa-senyawa liar. Salah satu komponen dalam budi daya organik

adalah pemanfaaatan pestisida nonkimiawi sintetis baik berupa

insektisida hayati maupun nabati untuk mengendalikan serangga (Sarja,

2007).

H. Perangkap telur (Ovitrap)

1. Pengertian Ovitrap

Ovitrap (singkatan dari oviposition trap) adalah perangkat untuk

mendeteksi kehadiran Ae aegypti dan Ae albopictus pada keadaan densitas

populasi yang rendah dan survey larva dalam skala luas tidak produktif (misalnya

BI < 5), sebaik pada keadaan normal. Secara khusus, ovitrap digunakan untuk

mendeteksi infestasi nyamuk ke area baru yang sebelumnya telah dieliminasi

(Sayono, 2008)

Ovitrap standar berupa gelas kecil bermulut lebar dicat hitam bagian

luarnya dan dilengkapi dengan bilah kayu atau bambu (pedel) yang dijepitkan

vertikal pada dinding dalam. Gelas diisi air setengahnya hingga ¾ bagian dan
21

ditempatkan di dalam dan di luar rumah yang diduga menjadi habitat nyamuk

Aedes aegypti. Ovitrap memberikan hasil setiap minggu, namun temuan baru

dapat memberikan hasil tiap 24 jam. Pedel diperiksa untuk menemukan dan

menghitung jumlah telur yang terperangkap. Telur ditetaskan untuk menentukan

spesies nyamuk Aedes aegypti (WHO, 2004).

Ovitrap memiliki beberapa bagian, antara lain : media ovitrap, kasa

penutup, ovistrip dan atraktan. Berbagai penelitian modifikasi ovitrap telah

dilakukan.

a. Media Ovitrap

Salah satu tempat perkembangbiakan nyamuk berupa kaleng bekas

(DEPKES RI, 2010). Sebuah penelitian mengenai kaleng bekas telah dilakukan

dan hasilnya penggunaan Lethal Ovitrap (LO) dari kaleng bekas memiliki dampak

positif dapat menurunkan indeks-indeks jentik secara signifikan. Hal ini

membuktikan bahwa kaleng bekas berpotensi untuk dikembangkan sebagai alat

pengendalian vektor DBD yang produktif dan aplikatif (Sayono, 2010).

b. Bahan Media Untuk Bertelur (Ovistrip)

Ovistrip memiliki pengaruh dalam mengundang nyamuk, penelitian yang

pernah dilakukan antara kain tetron warna merah, kain kantong terigu, kertas

saring, dan karet ban warna merah, hasilnya pada ovistrip kain tetron warna merah

yang paling banyak terdapat telur nyamuk (Hartomo, 2008).

c. Kasa Penutup

Warna kasa penutup autocidal ovitrap tidak memiliki pengaruh dalam

mengundang nyamuk dalam meletakkan telur (Santoso, 2010)


22

2. Lama pemasangan ovitrap

Lama pemasangan ovitrap dilakukan selama lima hari dikarenakan waktu

yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur, mulai dari nyamuk

menghisap darah sampai telur dikeluarkan, biasanya antara 3-4 hari. Jangka waktu

tersebut disebut 1 siklus gonotropik (gonotropic cycle) (Depkes RI, 2010). Tidak

semua nyamuk akan bertelur pada hari ke-3 maupun ke-4 dan untuk memperoleh

hasil yang maksimal pada penelitian ini diberi tambahan waktu selama 1 hari.

I. Zat Atraktan

Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik atau dapat mengundang

serangga (nyamuk) untuk menghampiri baik secara kimiawi maupun visual

(fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa ammonia, CO2, asam

laktat, actenol dan asam lemak. Zat atau senyawa tersebut berasal dari bahan

organik atau merupakan hasil proses metabolisme makhluk hidup, termasuk

manusia. Atraktan fisika dapat berupa getaran suara dan warna, baik warna tempat

atau cahaya (Weinzierl, 2005). Atraktan dapat digunakan untuk mempengaruhi

perilaku, memonitor atau menurunkan populasi nyamuk secara langsung, tanpa

menyebabkan cedera bagi binatang lain dan manusia, dan tidak meninggalkan

residu pada makanan atau bahan pangan (Sayono, 2008)

Efektifitas penggunaannya membutuhkan pengetahuan prinsip-prinsip

dasar biologi serangga. Serangga menggunakan petanda kimia (semiochemicals)

yang berbeda untuk mengirim pesan. Hal ini analog dengan atau bau yang

diterima manusia. Penggunaan zat tersebut ditandai dengan tingkat sensitivitas

dan spesifisitas yang tinggi. Sistem reseptor yang mengabaikan atau menyaring
23

pesan-pesan kimia yang tidak relevan disisi lain dapat mendeteksi pembawa zat

dalam konsentrasi yang sangat rendah. Deteksi suatu pesan kimia merangsang

perilaku-perilaku tak teramati yang sangat spesifik atau proses perkembangan

(Sayono, 2008).

1. Air Rendaman Jerami

Ovitrap dengan penambahan air rendaman jerami (hay infusion) 10%

terbukti dapat menghasilkan telur terperangkap 8 kali lebih banyak dibanding

versi aslinya. Air rendaman jerami dibuat dari satu kilogram jerami kering,

dipotong dan direndam dalam satu liter air selama 7 hari. Air rendaman disaring

agar bersih kemudian satu liter air rendaman jerami ditambah dengan sembilan

liter aquades untuk mendapatkan air rendaman jerami dengan konsentrasi 10%.

Air rendaman jerami menghasilkan CO2 dan ammonia, suatu senyawa yang

terbukti mempengaruhi saraf penciuman nyamuk Aedes sp (Polson, 2002). Air

rendaman jerami mengandung ammonia 3,74 mg/l, CO2 total 23,5 mg/l, asam

laktat 18,2 mg/l. Octenol 1,6 mg/l dan asam lemak 17,1 mg/l (Purnamasari, 2010).

Tabel 1. Komposisi Kimia Jerami

Bagian %Abu %SIO2 %Holo %lignin %Pentosa

Selulosa
Batang 14,5 9,60 66,80 16,21 25,04
Pucuk 10,16 8,46 61,46 12,65 25,57
Kelopak 23,55 18,01 59,99 6,39 21,04
Daun 26,76 23,38 58,92 11,18 19,20
Sumber : Pengembangan Industri Papan Semen Pulp, BPPI, ir. Muchji

Dari tabel 1 terlihat bahwa kurang lebih 60% dari jerami terdiri atas

selulosa. Selulosa merupakan suatu gologan karbohidrat disakarida yang terdiri

dari dua molekul glukosa yang berikatan. Tempat istirahat (resting place) yang
24

paling di gemari Aedes aegypti adalah vegetasi yang ditemukan tumbuh di sekitar

tempat perindukan yang tidak secara langsung terkena oleh pancaran sinar

matahari.

Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta memilih

darah manusia untuk mematangkan telurnya. Sedangkan nyamuk jantan tidak bisa

menggigit dan menghisap darah melainkan hidup dari sari bunga tumbuh-

tumbuhan.

J. Kerangka Teori

Nyamuk Dewasa
(Aedes aegypti)
25

Tempat Untuk
Berkembang Biak

Di Dalam Rumah diLuar Rumah

Ovitrap
(perangkap Telur)
- Media kaleng
- Media tempurung
- Media bambu

Air Rendaman
Jerami sebagai
Atraktan

Keberadaan Larva
Aedes Aegypti

Gambar 1 : Proses Perkembang Biakan Nyamuk

Anda mungkin juga menyukai