Anda di halaman 1dari 4

Pendidikan Menurut Aliran Idealisme Idealisme adalah aliran filsafat yang menganggap bahwa

pengetahuan adalah sesuatu yang muncul dan terlahir dari kejadian di dalam jiwa manusia. Kejadian
tersebut bersumber dari transendensi kesadaran.Kenyataan dan pengenalan atas realitas terletak di
luar konsepsi idealisme. Konsentrasi idealisme tertuju pada afirmasi terhadap ontologi kesadaran
dan problem yang muncul di dalamnya. Konsep filsafat menurut aliran idealisme terdiri dari
metafisika-idealisme, humanologi-idealisme, epistemologi-idealisme, dan aksiologi-idealisme. Dalam
konteks filsafat pendidikan, idealisme memberi sumbangsih yang besar. Kaum idealis percaya bahwa
manusia merupakan bagian dari alam spiritual kesadaran. Setiap individu berkesadaran mempunyai
potensi spiritual dan transendensi. Konsekuensinya, pendidikan dituntut dapat memperkenalkan
konsep spiritual dan transendensi dalam kehidupan manusia. Pendidikan harus menenkankan
kesesuaian batin antara manusia dengan alam semesta. Pendidikan merupakan pejalanan menuju
pribadi manusia yang ideal. Pendidikan harus berorientasi pada tujuan, bukan hanya sebagai alat
untuk mencapai tujuan. Idealisme mengimpikan terciptanya manusia dengan watak terbaik.
Implikasi filsafat pendidikan menurut Power (1982) adalah sebagai berikut : (1) Tujuan: untuk
membentuk karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikansosial; (2)
Kurikulum: pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis untuk
memperoleh pekerjaan; (3) Metode: diutamakan metode dialektika, tetapi metode lain yang efektif
dapat dimanfaatkan; (4) Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan
kemampuan dasarnya; (5) Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan
melalui kerja sama dengan alam. Implikasi tersebut dapat ditransformasikan dalam suatu
kesimpulan bahwa, pada hakikatnya setiap manusia dilahirkan dengan bakat dan potensi masing-
masing. Bakat dan potensi tersebut merupakan kodarat alam yang bersifat transenden. Bagi
idealisme, pendidikan harus diarahkan untuk membimbing manusia menuju kepribadian positif.
Pendidikan bukan hanya sekedar metode transfer pengetahuan. Proses pengajaran dalam
pendidikan harus disadari sebagai suatu pengembangan potensi manusia, dan harus dapat
memediasi pengenalan manusia terhadap fenomena kebenaran ideal yang tidak terbatas hanya
dalam dunia imanensi. Pendidikan Menurut Aliran Realisme Realisme adalah sebuah pandangan
tentang eksistensi dari objek yang mengacu pada objek dalam dunia nyata. Bagi realisme, objek-
objek dalam realitas diangap berdiri terpisah dengan keberadaan sang subjek. Objek dianggap
menampakkan diri kepada subjek. Realisme sangat menekankan pentingnya eksistensi alat indra.
Melalui alat indra realitas dapat dikenali dan diinterpretasi. Realisme menekankan bahwa kenyataan
adalah sesuatu yang bersifat lahiriah dan empiris. Dalam konteks filsafat pendidikan, realisme dibagi
dalam tiga hal yaitu realisme kemanusiaan (humanistic realism), realisme sosial (social realism), dan
realisme indrawi (sense realism). Realisme kemanusiaan meyakini bahwa sesuatu yang tidak terlepas
dari pusat kehidupan ini adalah kemanusiaan. Realisme kemanusiaan mempelajari solusi yang
presentif untuk setiap masalah kehidupan. Karena itu, kemanusiaan harus dipelajari dan harus
diwujudakan dengan cara mempelajarinya. Tujuan realisme kemanusiaan adalah untuk menguasai
alam dan sosial melalui pengetahuan yang lebih maju dan lebih luas dari pengetahuan manusia
sebelumnya. Realisme sosial berasumsi bahwa objek-objek realitas yang menampakkan diri kepada
manusia juga berasal dari hubungan sosial. Sasaran realisme sosial adalah untuk mencapai
kehidupan manusia yang bahagia dan sejahtera dengan cara mengikuti dan memenuhi tuntutan
kebutuhan yang berasal dari hubungan sosial. Bagi realisme sosial, pendidikan harus dapat
mendukung efisiensi pekerjaan manusia. Sementara realisme inderawi adalah aliran realisme yang
mengedepankan bahwa pengetahuan tentang realitas hanya dapat dikenali melalui alat indera,
bukan dari kata-kata (bookish). Bagi realisme inderawai, pendidikan harus mengadopsi metode
observasi dan hubungan antara alat indera dengan objek eksternal. Pendidikan harus menyediakan
kesempatan bagi manusia untuk melakukan observasi dan belajar tentang fenomena natural. Dalam
konteks realisme,peserta didik dituntut untuk dapat menguasai pengetahuan yang handal dan
terpercaya. Dibutuhkan kedisiplinan sebagai metode mencapai esensi dalam belajar. Disiplin mental
dan moral dibutuhkan guna memperoleh hasil yang baik. Sedangkan pendidik dituntut untuk dapat
menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar, dan dengan keras menuntut prestasi
peserta didik menguasai bahan ajar yang sumbernya pengetahuan realistis. Pendidikan Menurut
Aliran Neo Positivisme Aliran positivisme dipelopori oleh Auguste Comte. Ia mengusahakan adanya
re-organize masyarakat yang dicapai melalui science. Positivisme mengandung pengertian bahwa
segala pengetahuan kemasyarakatan harus berdasarkan pada segalanya yang dapat diobservasi
berdasarkan fakta-fata real dan teruji secara metodologis. Positivisme mereduksi alam sebagai
mekanisme yang deterministik dan mekanistik. Sementara neo-positivisme atau biasa disebut
positivisme logis, merupakan kelanjutan dan penegasan terhadap aliran positivisme. Neo-positivisme
mengusahakan adanya keketatan dalam ilmu pengetahuan dan menerapkan prinsip-prinsip
metodologi saintifik kesegala bidang keilmuan termasuk filsafat. Neo-positivisme menuntut adanya
kepastian metodologis dengan alat bantu kalkulasi matematik dan statistik. Prinsip utama aliran neo-
positivisme menyatakan bahwa fakta-fakta yang dapat diobservasi adalah syarat bagi
dimungkinkannya pengetahuan. Fakta-fakta tersebut harus teruji melalui rasionalitas dengan
metode matematis dan logico-linguistic. Aliran ini menolak teologi dan metafisika. Pendidikan yang
neo-positivistik menekankan pentingnya metode empiris-eksperimental dan menuntut adanya
objektivitas dalam setiap kajiannya. Objektivitas adalah sasaran pendidikan yang diajukan guna
menekan dominasi subjektivitas peneliti. Ralitas sebagai objek kajian harus bisa dimengerti secara
rasional oleh peneliti atau peserta didik. Pendidikan harus mampu menjadi sarana bagi
dijalankannya metode ilmiah. Tujuan pendidikan neo-positifistik adalah memperoleh pengetahuan
sejati melalui metode ilmiah dan verifikasi. Aliran ini sangat mendominasi sistem pendidikan yang
sedang berjalan dewasa ini. Ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial memakai metode
ilmiah dalam memahami rtealitas. Melalui metode ilmiah, kebenaran dapat tercapai. Namun
kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran tentatif yang dapat gugur jika ditemukan kebenaran
baru yang lebih ajeg. Konsekuensinya, proposisi-proposisi metafisik tidak mendapat tempat. Kajian
ilmu yang memfokuskan diri pada problem metafisika dan teologi dipisahkan dalam kelompok ilmu-
ilmu filsafat dan humaniora. Metafisika dianggap non-sense dan tidak dapat dibuktikan secara
empiris. Pendidikan neo-positivistik selalu menuntut adanya pengujian secara matematis. Manusia
dan alam direduksi sebagai objek kajian yang dapat diukur secara matematis. Pragmatisme
Pendidikan Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah
segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau
hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Kebenaran objektif dari pengetahuan bukan sesuatu yang
dianggap penting, namun bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu
lah yang lebih penting. Dasar pragmatisme adalah logika pengamatan. Apa yang ditampilkan pada
manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain.
Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Pragmatisme tidak mau terjebak
dalam kalimat-kalimat metafisika. Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan.

Pragmatisme menggagas konsep pendidikan menjadi tiga, yaitu: konsep realitas, konsep
pengetahuan, dan konsep nilai. Konsep realitas menyatakan bahwa, manusia sebagai makhluk fisik
yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan akan menyesuaikan dirinya dengan
perubahan dan perkembangan realitas. Konsep pengetahuan menyatakan bahwa, tujuan berpikir
adalah kemajuan hidup. Akal pikiran selalu aktif untuk mencari kebenaran yang terkandung dalam
pengetahuan. Pengetahuan yang dianggap benar adalah pengetauan yan bermanfaat. Sementara
konsep nilai menyatakan bahwa nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan yang dapat
dimengerti sebagai wujud perilaku manusia. Nilai dianggap bersifat relatif. Suatu perilaku,
pengetahuan, nilai, dan ide dikatakan benar bila mengandung kebaikan dan bermanfaat bagi
manusia. Pragmatisme pendidikan diorientasikan pada teori problem solving yang terdiri dari lima
langkah: 1) Merasakan adanya masalah. 2) Menganalisis masalah dan menyusun hipotesis-hipotesis
yang mungkin. 3) Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah. 4) Memilih dan menganalisis
hipotesis. 5) Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen. Dengan
demikian, pragmatisme pendidikan selalu memuat tujuan praktis yang mengandung kebermanfaat
dan nilai guna pagi kehidupan. Segalanya yang tidak mengandung nilai guna disingkirkan dan
dianggap tidak layak digolongkan dalam kurikulum pendidikan. Pendidikan Transformatif Pendidikan
adalah usaha yang dialogis untuk memanusiakan manusia. Secara ffilosofis dipahami sebagai
penyadaran akan realita, manusia yang hidup, nilai-nilai pembebasan disulap dan sengaja didistorsi
menjadi pendidikan yang sukses melakukan proyek “dehumanisasi dan alienasi. Kenyataannya
sampai sekarang praktik pendidikan kita sesuai dengan yang dijelaskan oleh Freire. Bahwa seorang
guru (pendidik) telah terjebak pada pola “pendidikan gaya bank”. Gaya pendidikan seperti menjadi
usaha yang mekanis, sebab siswa direduksi menjadi tumpukan bejana kosong, diisi oleh ilmu-
pengetahuan yang bersumber dari guru. Siswa sebagai objek dan menjadi “sesuatu” yang ditentukan
dan pasif. Menurut Allen J. Moore, konsep Freire yang dirumuskan dalam konteks Amerika Latin
tidak bisa diterapkan begitu saja dalam konteks yang berbeda sebab situasinya dan
permasalahannya tidak sama. Namun jika bandingkan konteks di Amerika Latin memiliki banyak
kemiripan dengan konteks di Indonesia. Ini merupakan permasalahan antara sang penguasa atau
pemilik tanah dengan kaum proletar yang disebut dengan feodalisme. Pendidikan transformatif
mencoba menyibak kenyataan bahwa, kurikulum pendidikan pada dasarnya bukanlah sesuatu yang
bersifat statis. Setiap pembelajar dapat mentransformasikan pengetahuan yang dimilikinya untuk
lebih disempurnakan. Transformasi pendidikan memungkinkan adanya perubahan dan
penyempurnaan pengetahuan. Manusia dianggap sebagai makhluk individu yang bersosialisasi
dalam masyarakat dan mampu menciptakan perubahan dalam dirinya. Pendidikan digunakan
sebagai jalan memperoleh pengetahuan yang lebih luas dalam menangkap makna kehidupan demi
keberlangsungan perkembangan sejarah kehidupan manusia. Pendidikan Konservatif Pendidikan
konservatif bertujuan untuk memertahankan nilai sosial budaya yang sudah mapan pada saat itu.
Pendidikan konservatif bersifat anti liberalism. Dalam memertahankan nilai budaya, konservatisme
dapat bersifat pro status quo namun relevan dengan nilai budaya yang dituju. Pendidikan dipahami
sebagai suatu usaha pembentukan manusia (menjadi lebih manusia). Pendidikan konservatif
mengacu pada nilai budaya yang sudah mapan. Nilai positif pendidikan konservatif dapat lebih
menjamin keutuhan suatu budaya yang dipertahanakan, memberi kemapanan dan menghindari
konflik. Dengan dibatasinya kebebasan dalam kurikulum proses pendidikan dapat diharapkan dapat
dijalankan dengan lebih teratur. Kurikulum dibuat guna mengajarkan ilmu-ilmu yang lebih bersifat
praktis kebergunaan nilai budaya saat itu dibanding ilmu-ilmu yang dapat memicu penolakan
terhadap nilai konservatisme tersebut. Nilai negatif pendidikan konservatiff dapat dipandang dari
sudut pandang liberal, yaitu bahwa model ini menekan kebebasan peserta didik. Pendidikan
konservatif selalu berorientasi pada kejayaan dan kemapanan sistem yang berlaku di masa lalu.
konservatisme tidak membuka diri dan tidak bersifat dinamis. Ia cenderung statis. Konsekuensinya
perkembangan pengetahuan tidak dapat berjalan lebih cepat. Manusia dituntut untuk selalu
menganggap yang telah berlaku dalam masa lalu dan sesuai dengan nilai dan norma dalam
masyarakat sebagai kebenaran. kebenaran itu harus dipertahankan dan tidak dapat tergantikan.
Konservatif selalu bereaksi terhadap suatu pembaruan dan revolusi. Reaksi tersebut dibarengi
tuntutan untuk tetap bertahan dengan sistem yang sudah ada, yang telah jelas-jelas sudah dikenali
masyarakat umum. Spekulasi-spekulasi tentang perbaikan pengetahuan dimasa depan tidak diberi
ruang yang luas oleh paham ini. Kada akhirnya, konservatif mengajak manusia menjadi manusia yang
bereferensi terhadap kebenaran dan kejayaan masa lalu. referensi tersebut tidak terkritisi, namun
harus terafirmasi. Hal tersebut dimaksudkan agar pendidikan tetap berjalan dalam sistem yang ajeg
dan tidak tergoyahkan oleh pandangan-pandangan baru yang belum tentu benar.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/taurahida/pendidikan-dan-filsafat-
pendidikan_55105a30a33311cf39ba7f65

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/taurahida/pendidikan-dan-filsafat-
pendidikan_55105a30a33311cf39ba7f65

Anda mungkin juga menyukai