Anda di halaman 1dari 14

BAB V

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan Suspect Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
eksaserbasi akut dan suspect community acquired pneumonia (CAP) kelas III.

a) Suspect Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) eksaserbasi akut


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang jelas dan
tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti
terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.1 Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK1,4

Gejala Keterangan
Sesak - Progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu)
- Bertambah berat dengan aktivitas
- Persisten (menetap sepanjang hari)
- Pasien mengeluh berupa, “Perlu usaha bernafas, berat,
sukar bernafas, terengah-engah
Batuk Kronis Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak
Batuk Kronis Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan PPOK
Berdahak
Riwayat - Asap rokok
Terpajan Faktor - Debu
Risiko - Bahan kimia di tempat kerja
- Asap dapur

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga
berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang
jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK dapat dipertimbangkan bila timbul tanda dan
gejala seperti yang terlihat pada tabel 2. Indikator tersebut bukan merupakan diagnosis
pasti, tetapi keberadaan beberapa indikator kunci meningkatkan kemungkinan diagnosis
PPOK.

28
Pada kasus

Keseluruhan indikator kunci yang terdapat pada tabel ditemukan juga pada kasus ini, yaitu
adanya sesak nafas yang berlangsung progresif dan bertambah berat dengan adanya
aktivitas sejak 1 tahun yang lalu. Sesak yang dirasakan saat ini tidak hilang dengan
perubahan posisi dan bertambah berat saat muncul keluhan batuk berdahak. Batuk kronis
yang dirasakan berulang kali dan hilang timbul serta terkadang disertai dengan dahak yang
berwarna putih kental dan terkadang tidak disertai dengan dahak sejak 1 tahun yang lalu.
Sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit batuk memberat dengan dahak yang
berwarna putih kental dan dengan frekuensi yang sangat sering dan sebelumnya disertai
dengan deman, serta adanya riwayat terpajan faktor risiko yaitu asap rokok, sehingga
kemungkinan besar diagnosisnya adalah PPOK.

Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat merokok sekitar 2 batang perhari sejak paien
berumur ± 30 tahun. Asap rokok memiliki prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat
rerata penurunan VEP1. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang
dihisap, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (indeks Brinkman).
Berdasarkan indeks Brinkman, maka pada kasus ini pasien dapat dikategorikan sebagai
perokok ringan.4

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, pada pasien juga ditemui gambaran-gambaran


penderita PPOK yaitu dari inspeksi ditemukan adanya barrel chest, penggunaan otot bantu
napas, pelebaran sela iga. Pada palpasi ditemukan adanya vocal fremitus yang melemah dan
sela iga yang melebar. Pada perkusi thorax terdengar adanya suara hipersonor. Pada
auskultasi suara nafas terdengar vesicular melemah dan tidak terdapat rhonki serta
wheezing yang terdapat pada kedua lapang paru, yang terdengar baik pada saat inspirasi
maupun ekspirasi.

Pada pemeriksaan penunjang, dari pemeriksaan lab didapatkan peningkatan PaCO 2 serta
penurunan kadar PaO2 dalam darah, akibat hipoventilasi pada banyak alveoli dan kerusakan

29
dinding alveolus. Pada kasus ini juga dijumpai adanya peningkatan kadar HCO3 - dan base
excess unntuk mempertahankan pH tetap berada dalam rentang normal, sehingga pada
pasien ini tidak mengalami asidosis respiratorik.1

Pada pemeriksaan foto thorax ditemukan adanya gambaran hyperaereted lung, sehingga
kemungkinan besar pasien menderita PPOK. Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan
pada pasien didapatkan gejala-gejala yang mengarahkan ke diagnosis PPOK, yaitu adanya
sesak nafas dan batuk kronis lebih dari 3 bulan. Mengerasnya gejala sesak dan batuk
dengan peningkatan volume sputum tanpa disertai perubahan warna sputum pada pasien ini
sesuai dengan gejala eksaserbasi akut tipe II (eksaserbasi sedang) pada PPOK. Eksaserbasi
akut tipe II pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya dimana terdapat 2 dari 3 gejala eksaserbasi berupa sesak yang bertambah,
peningkatan jumlah sputum dan perubahan warna sputum menjadi purulen. Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka pasien diduga mengalami
PPOK eksaserbasi akut.

Untuk menegakkan diagnosis pasti dari PPOK, pemeriksaan spirometri harus dilakukan.
Nilai VEP1/KVP <0,70 pasca bronkodilator dapat mengkonfirmasi adanya hambatan udara
yang persisten, yang mengarahkan diagnosis ke arah PPOK. Pada pasien ini pemeriksaan
spirometri belum dapat dilakukan dan masih menjadi rencana diagnostik. Tes spirometri
dilakukan ketika pasien sudah dalam keadaan stabil.

b) Suspect Community Acquired Pneumonia (CAP) PSI class III

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan degan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya. Pada kasus ini
diduga pneumonia sebagai faktor penyebab dari timbulnya eksaserbasi.1 Usia lanjut
merupakan risiko tinggi untuk pneumonia, hal ini juga tergantung pada keadaan pejamu
dan berdasarkan tempat mereka berada. Pada orang-orang yang tinggal di rumah sendiri
insiden pneumonia berkisar antara 25-44 per 1000 orang dan yang tinggal di tempat
perawatan 68-114 per 1000 orang. Di rumah sakit pneumonia usia lanjut insidenya tiga kali
lebih tinggi daripada penderita usia muda. Terjadinya pneumonia berhubungan dengan

30
jumlah bakteri yang teraspirasi, penurunan daya tahan tubuh pejamu dan virulensi koloni
bakteri di orofaring.

Pada penderita pneumonia usia lanjut yang berada di rumah, umumnya terdapat
peningkatan koloni gram negatif. Mekanisme tersebut dihubungkan dengan pemakaian
antibiotik dan tubuh yang lemah dengan adanya penyakit kronis. Turunnya daya tahan
tubuh dihubungkan juga dengan imunitas humoral dan imunitas seluler, malnutrisi, perokok
berat dan penyakit sistemik..

Pada pneumonia usia lanjut gejala klinis seperti demam bisa tidak dijumpai pada 20%
kasus dan dapat tanpa diserta batuk produktif disertai dengan perasaan dingin. Pada
pemeriksan fisik, tanda klasik seperti perkusi yang redup, suara napas bronchial ronki basah
tidak selalu dijumpai. Frekuensi pernapasan 33 kali permenit cukup bermakna pada
penderita pneumonia usia lanjut.

Pada sebagian besar penderita didapatkan leukosit yang normal atau sedikit meninggi,
kadang-kadang didapatkan lekositosis. Pada pneumonia usia lanjut diagnosis radiologi
ditegakkan bila didapatkan gambaran infiltrat baru. Tetapi kadang-kadang sulit menilai
gambaran radiologi. Seringkali infiltrat belum terlihat pada 24-48 jam setelah perawatan.
Gambaran radiologi kadang-kadang masih tampak normal pada pneumonia dini dan
pneumonia oleh bakteri gram negatif. Pada pneumonia usia lanjut sering didapatkan
penyakit penyerta seperti PPOK, sehingga pada keadaan ini gambaran radiologi sangat
sukar untuk dinilai.

Pada kasus ini ditemukan adanya peningkatan suhu badan sejak 1 minggu yang lalu
sebelum masuk rumah sakit disertai menggigil, dengan adanya sesak nafas yang bertambah
berat dan peningkatan produksi sputum beberapa hari terakhir dengan kekentalan yang
meningkat, sehingga secara klinis diduga pasien mengalami CAP. Berdasarkan data
laboratorium kadar sel darah putih pada kasus masih dalam batas normal dan dari bukti
radiologis tidak ditemukan adanya infiltrat. Hal ini bisa saja terjadi pada pasien yang lanjut
usia yang mengidap pneumonia, sehingga diagnosis pneumonia masih belum dapat
disingkirkan pada pasien ini.11

31
Tabel 4.2 Pneumonia Severity Index

Berdasarkan tabel di atas, maka pada kasus ini pasien berusia 78 tahun, dengan respiratory
rate lebih dari 33, sehingga skor PSI sebesar 88, dan dapat disimpulkan bahwa pasien
tergolong risiko kelas III, sehingga pasien didiagnosis dengan suspect CAP kelas III.

Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK eksaserbasi adalah untuk meminimalisasi dampak dari
eksaserbasi dan untuk mencegah terjadinya eksaserbasi selanjutnya. Inhalasi Beta 2 agonist
short acting dengan atau tanpa antikolinergik short acting merupakan brokodilator yang
dipilih untuk pengobatan PPOK eksaserbasi. Kortikosteroid sistemik dan antibiotik

32
dikatakan dapat mempersingkat waktu pemulihan, memperbaiki fungsi paru (VEP 1) dan
hipoksemia, dan mengurangi risiko relaps, kegagalan pengobatan dan lamanya
hospitalisasi.
Penatalaksanaan eksaserbasi PPOK pada pasien ini meliputi :
- MRS
- O2 3 Lpm (nasal canule)
- Drip KCL 50 mcg  20 tts/menit setelah itu ganti IVFD NaCl 0,9%
- Nebulizer combivent @6 jam
- Methylprednisolone 2x62,5 mg IV
- Azitromicin 1 x50 mg IV
- Cefotaxim 3x1 gr IV
- Ambroxol syr 3 x 1 C (PO)
- KIE

1. Rawat inap 2
Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat dilakukan di rumah atau di rumah sakit. Pada
eksaserbasi ringan dapat dilakukan penatalaksanaan di rumah. Ada beberapa hal yang
menjadi indikasi untuk rawat inap pada pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan
diagnosis dan penatalaksanaan PPOK (PDPI) antara lain:
- Eksaserbasi sedang dan berat
- Terdapat komplikasi
- Infeksi saluran nafas berat
- Gagal napas akut pada gagal napas kronis
- Gagal jantung kanan
Berdasarkan GOLD 2011 kriteria indikasi rawat inap antara lain:
- Ditandai dengan peningkatan gejala seperti sesak nafas mendadak pada saat
istirahat
- Adanya tanda-tanda fisis seperti sianosis dan edema perifer
- Kegagalan pengobatan eksaserbasi dengan penatalaksanaan awal
- Adanya komplikasi

33
- Eksaserbasi yang sering
- Aritmia yang baru terjadi
- Diagnosis belum pasti
- Usia lanjut
- Keadaan rumah dan lingkungan yang kurang mendukung

Berdasarkan kasus ini, pasien diindikasikan untuk dirawat inap karena pasien diduga
mengalami PPOK eksaserbasi akut derajat sedang. Selain itu pasien juga memiliki usia
yang lanjut sehingga sesuai dengan indikasi di rawat inap. Selain itu berdasarkan skor
PSI yang berjumlah 88, maka pasien diindikasikan untuk dirawat inap.

2. O2 3 liter/menit
Terapi oksigen merupakan langkah utama dalam penanganan PPOK eksaserbasi di
rumah sakit. Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal
yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel.

3. Nebulizer Salbutamol + Ipratropium bromide tiap 6 jam

Ipratropium bromide bekerja dengan memblok efek asetilkolin pada reseptor


muskarinik, menghambat refleks vagal yang menyebabkan kontraksi otot polos jalan
nafas dan mengurangi sekresi mukus tanpa menambah kekentalannya. Sedangkan
Salbutamol merupakan beta2 agonis yang berfungsi untuk merelaksasi otot polos
saluran nafas dengan menstimulasi reseptor Beta2 agonis. Salbutamol merupakan
golongan beta2 agonis yang short acting yang biasanya berefek selama 4-6 jam.
Pemberian secara kombinasi akan memperkuat efek bronkodilatasi selain itu akan
memudahkan bagi penderita karena pemberiannya lebih sederhana.

34
4. Metilprednisolon
Berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dan diharapkan dapat mengurangi gejala
klinis dan perbaikan fungsi ventilasi (pemberian efektif selama 10-14 hari) 4.

5. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang kental. Mukolitik
digunakan untuk mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin. Pada pasien ini diberikan sirup Ambroxol yang
merupakan salah satu golongan obat dari mukolitik.

6. Antibiotik
Antibiotik dapat diberikan pada pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut yang
memiliki 3 gejala kardinal yaitu sesak yang memberat, peningkatan voume sputum, dan
perubahan purulensi sputum. Dapat juga diberikan pada pasien yang memiliki dua
gejala kardinal, dimana perubahan purulensi sputum yang merupakan salah satunya,
atau memerlukan ventilasi mekanikal. Pemberian antibiotik direkomendasikan selama
5-10 hari. Pemilihan terapi antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi bakteri.
Biasanya terapi empirik awal diberikan berupa aminopenicillin dengan atau tanpa asam
klavulanat, macrolide, atau tetracycline. Pada pasien dengan eksaserbasi yang sering,
limatasi aliran udara yang parah, dan/atau eksaserbasi yang memerlukan ventilasi
mekanik, maka kultur sputum harus dilakukan untuk mencegah adanya insensitivitas
dari antibiotik yang disebutkan sebelumnya akibat adanya pathogen yang resisten.

Pada pasien yang diduga mengalami pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris
karena beberapa alasan antara lain:
- penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
- bakteri pathogen yang berhasi diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia
- hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.

35
Berdasarkan hal tersebut, maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara
empiris. Maka pada pasien ini diberikan diberikan Azitromicin 1 x500 mg per oral yang
merupakan golongan macrolide.

7. KIE

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda
dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki
derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma. Tujuan edukasi pada
pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktivitas optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat
diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di
rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling,
karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang
tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat
hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK.

Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit,
tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya

36
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas

Tabel 4.3 Penatalaksanaan Terhadap Ketergantungan dan Pengguna Rokok


Penatalaksanaan terhadap Ketergantungan dan pengguna rokok
1. Ketergantungan rokok merupakan kondisi kronis yang perlu
mendapatkan pengobatan jangka panjang hingga abstinence yang permanen bisa
dicapai
2. Segala pengobatan efektif yang ada untuk ketergantungan
rokok harus ditawarkan pada setiap perokok.
3. Dokter harus menginstituionalisasi identifikasi, dokumentasi,
pengobatan pada setiap pengguna rokok, di setiap kali pertemuan.
4. Konseling yang singkat mengenai berhenti merokok sangat
efektif dan nasihat harus diberikan kepada perokok setiap bertemu dengan pelayan
kesehatan
5. Terdapat hubungan selaras antara intensitas konseling dengan
efektivitas keluarannya.
6. Terdapat 3 tipe konseling yang ditemukan efektif : konseling
praktis, dukungan sosial sebagai bagian dari pengobatan, dan dukungan sosial yang
diluar pengobatan
7. Terapi utama untuk ketergantungan rokok – varenicline.
Buproprion, SR, nicotine gum, nicotine inhaler, nicotine nasal spray, dan nicotine
patch- sangat efektif dan minimal satu harus diresepkan jika tidak ada kotraindikasi.
8. Pengobatan ketergantungan rokok merupakan pengobatan
yang relatif costeffective dibandingkan intervensi terhadap pencegahan medis lainnya.

Pemeriksaan spirometri perlu direncanakan untuk memantau perjalanan penyakit dan


efektivitas obat yang telah diberikan. Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan sputum
gram/kultur untuk mengetahui sensitivitas bakteri terhadap antibiotika sehingga dapat
dipilih antibiotika yang sesuai. Monitoring terhadap sesak nafas, vital sign dan pemeriksaan

37
AGD secara serial dilakukan untuk memantau kondisi pasien dan melihat efektivitas dari
pengobatan yang dilakukan.

38
BAB IV
KESIMPULAN

Penyakit Paru Obstrukti Kronis (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun/ berbahaya.1

Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang persisten, disertai batuk
berdahak, serta batuk kronis yang dialaminya lebih dari 1 tahun. Mengerasnya gejala sesak
dan batuk dengan peningkatan volume sputum tanpa disertai perubahan warna sputum pada
pasien ini dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Hal ini sesuai dengan gejala eksaserbasi akut
tipe II (eksaserbasi sedang) pada PPOK.1,4 Selain itu pasien memiliki riwayat terpajan
faktor risiko yaitu asap rokok yang didapatnya dari pekerjaannya sebagai pedagang,
sehingga kemungkinan besar diagnosisnya mengarah kepada PPOK. Berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik juga ditemui penemuan sesuai pada penderita PPOK yaitu dari inspeksi
ditemukan adanya barrel chest, penggunaan otot bantu nafas, pelebaran sela iga. Pada
palpasi ditemukan adanya vocal fremitus yang melemah dan sela iga yang melebar. Pada
perkusi thorax terdengar adanya suara hipersonor. Pada auskultasi suara nafas terdengar
vesicular melemah dan tidak terdapat rhonki serta wheezing yang terdapat pada kedua
lapang paru, yang terdengar baik pada saat inspirasi maupun ekspirasi.

Pada pemeriksaan penunjang, dari pemeriksaan lab didapatkan peningkatan PaCO 2 serta
penurunan kadar PaO2 dalam darah, akibat hipoventilasi pada banyak alveoli dan kerusakan
dindng alveolus. Pada pemeriksaan foto thorax ditemukan adanya kesan emphysematous
lung. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan maka pasien diduga mengalami PPOK eksaserbasi akut. Untuk memastikan
diagnosis pasti pada pasien diperlukan adanya tes spirometri. Eksaserbasi pada pasien
didiuga akibat adanya Community Acquired Pneumonia (CAP) kelas III, meskipun
gambaran radiologi tidak menemukan adanya infiltrat dan tidak adanya peningkatan WBC,
hal ini bisa saja terjadi khususnya pada usia lanjut yang dimana terjadi penurunan sistem

39
kekebalan tubuh.11 Pemeriksaan sputum gram diperlukan untuk memastikan etiologi dari
faktor pencetus dari eksaserbasi, sehingga dapat diberikan penanganan yang tepat pada
pasien.

Tujuan dari penatalaksanaan PPOK eksaserbasi adalah untuk meminimalisasi dampak dari
eksaserbasi dan untuk mencegah terjadinya eksaserbasi selanjutnya. Inhalasi Beta 2 agonist
short acting dengan atau tanpa antikolinergik short acting merupakan brokodilator yang
dipilih untuk pengobatan PPOK eksaserbasi. Kortikosteroid sistemik dan antibiotik
dikatakan dapat mempersingkat waktu pemulihan, memperbaiki fungsi paru (VEP 1) dan
hipoxemia, dan mengurangi risiko relaps, kegagalan pengobatan dan lamanya hospitalisasi.
Pada pasien ini diberikan terapi antibiotik empiris, sambil menunggu hasil pemeriksaan
bakteriologi.1,14

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease
Revised 2011. National Institutes of Health. National Hearth lung and Blood Institute,
Update 2011
2. World Health Report. Geneva: World Health Organization. Available from URL:
http://www.who.int/whr/2000/en/statistics.htm; 2000.
3. Mathers CD, Loncar D. Projections of global mortality and burden of disease from
2002 to 2030. PLoS Med 2006;3:e442
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. Diagnosis dan Penatalaksanaan
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), Jakarta
5. Steven E, Weinberger, Barbara A, Cockrill, Jess M. 2008. Principles of Pulmonary
Medicine 5th Ed. Saunders Elsevier
6. Lamprecht B., Schirnhofer, Kaiser B, Stunicka M, Buist A, Farming and the prevalence
of non reversible airway obstruction-Result from a population based study. Amerian
Journal of Industrial Medicine 2007;50:421-6
7. Alice M., Robert A., The genetics of chronic obstructive pulmonary disease. Wood and
Stockley Respiratory Research 2006; 7:130  
8. Patel, Gwilt, Gowan. 2005. Respiratory System. 3rd Ed. Mosby Elsevier
9. Abhisshek H, Paul R. The Interpretation of Arterial Blood Gass. Austr Presc 2010;33:
124-9.
10. Fatmah. Respons Imunitas yang rendah pada tubuh manusia usia lanjut. Makara
Kesehatan 2006;10 47-53
11. Ria F. Penatalaksanaan pneumonia bakteri pada usia lanjut. CDK 1995;101:12-15
12. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
National Institutes of Health. National Hearth lung and Blood Institute, Update 2010
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti, Jakarta

41

Anda mungkin juga menyukai