Bab Ii: 2.1 Obstruksi Saluran Kemih 2.1.1 Definisi
Bab Ii: 2.1 Obstruksi Saluran Kemih 2.1.1 Definisi
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Obstruksi saluran kemih atau sering disebut dengan uropati obstruktif, bisa
terjadi pada seluruh bagian saluran kemih, mulai dari kaliks hingga meatus uretra
eksterna. Sistem saluran kemih dibagi menjadi dua bagian besar, yakni bagian
atas yang dimulai dari sistem kalises hingga muara ureter dan bagian bawah, yaitu
bulu-buli dan uretra. Penyebab paling umum terjadinya obstruksi saluran kemih
bagian bawah adalah BPH, batu kantung kemih, striktur uretra dan keganasan
pada vesica urinaria, prostat dan uretra. Sedangkan pada wanita, prolaps organ
seperti vesica urinaria, rectum atau usus melalui vagina dapat menyebabkan
1999). Obstruksi ini dibedakan atas obstruksi akut atau kronik, unilateral atau
bilateral (pada saluran kemih atas, dan parsial atau total. Obstruksi dapat
Kelainan anatomi lebih sering pada anak-anak. Kelaian pada anak-anak yang
7
ureterovesical junction, atresia katup uretra posterior, atresia uretra dan neuropati kandung
kemih yang sering ditemukan. Penyebab obstruksi pada orang dewasa antara lain pembesaran
prostat, tumor, batu saluran kemih, striktur ureter dan fibrosis retroperitoneal yang sering
Obstruksi saluran kemih bisa disebabkan oleh berbagai sebab, yakni karena penyakit
bawaan (congenital) atau didapat (acquired), dan penyakit yang ada di dalam lumen
(intraluminar) atau desakan dari lumen (ekstraluminar) saluran kemih. Obstruksi saluran kemih
sebelah atas mengakibatkan kerusakan saluran kemih (ureter dan ginjal) pada sisi yang terkena,
tetapi obstruksi di saluran kemih bagian bawah akan berakibat pada kedua sistem saluran kemih
bagian atas. Etiologi obstruksi saluran kemih dapat dilihat pada Tabel 2.1. (Basuki, 2011).
Pada penelitian mengenai obstruksi saluran kemih pada 59.064 otopsi dari usia neonatus
sampai geriatric, ditemukan prevalensi hidronefrosis sekitar 3,1 persen (Bell,1950). Tidak ada
perbedaan hidronefrosis antara laki-laki dan perempuan sampai usia 20 tahun. Namun prevalensi
hidronefrosis lebih tinggi pada perempuan usia 20-60 tahun. Ini disebabkan adanya pengaruh
kehamilan dan keganasan pada ginekologi. Sedangkan pada laki-laki prevalensi hidronefrosis
meningkat setelah usia 60 tahun, ini disebabkan oleh pembesaran prostat (Singh, 2012). 78%
kasus urosepsis disebabkan oleh obstruksi saluran kemih (Wagenlehner FM, et al, 2008) dan
angka mortalitas akibat urosepsis mencapai 16,1 % (Ackermann RJ, et al, 1996).
KONGENITAL DIDAPAT
NEOPLASIA INFLAMASI
Kista ginjal Tumor ginjal Tuberkulosis
Kista peripelvik (Wilm/Grawitz) TCC Infeksi
Ginjal Obstruksi PUJ pelvis Echinococcus
(termasuk vasa Mieloma multiple
aberan)
urine disalurkan melalui ureter menuju buli-buli secara intermiten mulai dari kalises,
infundibulum, pelvis, dan ureter atas dorongan gerakan peristaltik otot saluran kemih. Pada saat
ureter proksimal menerima sejumlah urine, otot polos ureter akan teregang dan menimbulkan
Selanjutnya sejumlah urine tersebut akan dialirkan ke distal secara berantai. Gelombang
peristaltik saluran kemih bagian atas dibangkitkan dan dikendalikan oleh sel pacemaker yang
terletak di bagian paling proksimal kalises ginjal. Jumlah pacemaker pada suatu ginjal ditentukan
oleh jumlah kalises minor pada ginjal tersebut. Kontraksi peristaltik dimulai saat sel pacemaker
mengirimkan sinyal untuk memulai aktivitas perstaltik pada sel otot polos saluran kemih bagian
atas. Pada aliran urine normal, frekuensi kontraksi kalises dan pelvis renalis lebih kuat daripada
ureter proksimal, dan akan terjadi hambatan pada saat melewati uretero-pelvic junction (UPJ).
Tekanan ureter pada saat relaksasi adalah 0-5 cm H20, dan pada saat terjadi kontraksi
tekanannya menjadi 20-80 cm H2O. Gelombang peristaltik ureter terjadi 2-6 kali dalam setiap
menit. Pada keadaan normal vesico-ureter junction (VUJ) bertindak sebagai katup satu arah yang
memungkinkan urine mengalir ke buli-buli dan mencegah aliran balik urine ke dalam ureter
Obstruksi saluran kemih akan menyebabkan kerusakan struktur maupun fungsi ginjal
yang tergantung pada lama obstruksi, derajat obstruksi, unilateral atau bilateral, dan adanya
infeksi yang menyertainya. Perubahan yang terjadi pada ke empat variabel pada saat obstruksi
berlangsung dibagi dalam tiga waktu kritis yaitu: Fase I atau akut (0-90 menit), fase II atau
pertengahan (2-5 jam), dan fase III atau lanjut (24 jam) dan fase pascaobstruksi. Dimana tekanan
intrakalises, aliran darah ginjal (RBF), rerata laju filtrasi glomerulus (GFR), dan fungsi tubulus
distalis (DTP) akan semakin memburuk sesuai dengan semakin lamanya waktu kritis. (Siddiqui
Urine yang alirannya terhambat, pada minggu pertama obstruksi akan menyebabkan
dilatasi saluran kemih. Urine akan masuk ke jaringan parenkim ginjal dan menyebabkan edema
ginjal sehingga berat ginjal bertambah, yang selanjutnya mulai terjadi atrofi sel parenkim.
Setelah beberapa minggu, atrofi akan lebih dominan daripada edema sehingga berat ginjal
berkurang. Ginjal akan terlihat berwarna gelap karena terdapat bagian yang mengalami iskemia,
edema sel darah merah, dan nekrosis. Obstruksi yang berlangsung lama akan menyebabkan
kerusakan nefron yang progresif yang dimulai dari penekanan sistem pelvikalises ke dalam
parenkim ginjal. Selanjutnya medula dan kortreks ginjal akan mengalami atrofi. Akibat tekanan
yang terus menerus, akan terlihat kerusakan pada kaliks ginjal yang pada keadaan normal, ujung
proksimal nya berbentuk cekung. Tekanan urine yang terus menerus menyebabkan pelvis dan
kalises ginjal mengalami dilatasi. Secara histopatologis juga terjadi dilatasi dan atrofi tubulus,
pembentukan cast, fibrosis interstisial, dan kerusakan glomeruli. Glomeruli lebih tahan terhadap
proses kerusakan akibat obstruksi dibandingkan tubulus; demikian pula setelah sumbatan
dibebaskan, peyembuhan fungsi glomeruli dan bagian korteks ginjal lebih cepat dari pada
tubulus dan bagian medulla ginjal. Kerusakan medulla ginjal yang parah terjadi karena
kerusakan tubulus kolegentes dan tubulus distalis. Setelah lebih dari 1 minggu, terjadi
percobaan binatang, setelah mengalami obstruksi total selama 4-6 minggu, hanya sebagian kecil
fungsi glomerulus yang dapat kembali normal setelah sumbatan ureter dibebaskan. GFR akan
pulih setelah 28 minggu hingga satu setengah tahun setelah obstruksi total. Faktor lain yang
dapat mempengaruhi penyembuhan pasca-obstruksi adalah adanya infeksi dan iskemia pada
ginjal yang mengalami obstruksi. Jika obstruksi tidak dihilangkan, kematian sel akan terjadi
dalam waktu 15 hari lesi histologis ini akan tetap ada meskipun obstruksi sudah dihilangkan. Hal
inilah yang menjelaskan insufisiensi ginjal yang menetap meskipun sumbatan sudah dihilangkan
Peningkatan tekanan intrapelvik akibat obstruksi akan diteruskan ke sistem kalises ginjal,
sehingga merusak papilla ginjal dan struktur kalises. Pada keadaan normal, kaliks minor
berbentuk konkaf dengan kedua ujungnya tajam, melalui pemeriksaan pielografi intravena (IVU)
perubahannya dapat diamati. Tekanan dari intrapelvis yang diteruskan ke kalises, akan
menyebabkan peregangan kalises dann menimbulkan perubahan pada bentuk kalises minor
ginjal. Perubahan yang terjadi (Gambar 2.1.) adalah: Kedua tepi kaliks menjadi tumpul, Kaliks
menjadi datar (konkavitas menghilang), Kaliks menjadi konveks, dan Semakin lama parenkim
Kecurigaan akan uropati obstruktif akut ditunjukkan dengan munculnya gejala klinis
berupa nyeri kolik pada pinggang yang menjalar sepanjang perjalanan ureter, hematuri
makroskopik (berasal dari batu saluran kemih), gejala gastrointestinal, demam dan menggigil
jika disertai infeksi, perasaan panas pada saat berkemih, dan urine keruh. Nyeri merupakan
manifestasi hiperperistaltik otot saluran kemih bagian atas, yang bisa terjadi mulai dari
infundibulum hingga ureter sebelah distal. Pada pemeriksaan fisis, ginjal yang mengalami
hidronefrosis mungkin teraba pada palpasi (ballotemen) atau terasa nyeri pada saat perkusi (nyeri
ketok CVA). Perlu dicari kemungkinan penyebab obstruksi dari saluran kemih bagian bawah,
yang menyebabkan obstruksi saluran kemih bagian atas, misalkan BPH, striktur uretra, kanker
prostat, kanker buli-buli, kanker serviks, sehingga perlu dilakukan tindakan colok dubur atau
colok vagina. Pada pemeriksaan juga bisa didapatkan buli buli yang membesar, kadang pasien
yakni didapatkannya lekosituria dan eritrosituria. Nitrit dalam urine menunjukkan adanya infeksi
saluran kemih karena bakteri yang menyebabkan infeksi saluran kemih membuat enzim
reduktase yang mengubah nitrat menjadi nitrit. Pemeriksaan produksi urine per hari, pH urine,
berat jenis urine, dan kandungan elektrolit dapat digunakan untuk menilai fungsi tubulus ginjal.
Kenaikan nilai faal ginjal menunjukkan adanya kelainan fungsi ginjal. Pemeriksaan USG
adanya uropati obstruktif. Pada fase awal obstruksi akut, gambaran hidronefrosis sering tidak
terlihat, terutama jika pasien mengalami dehidrasi; sehingga dapat terjadi negatif palsu (false
negative). Nilai negatif palsu pemeriksaan USG pada diagnosis obstruksi saluran kemih ±35%.
IVU (pielografi intravena) sampai saat ini masih dipakai sebagai sarana diagnosis uropati
obstruksi bagian atas. Pielografi intravena dapat menilai faal dan struktur ginjal. Pada obstruksi
akut, terdapat peningkatan opasitas pada foto nefrogram, yang disebabkan oleh kegagalan fungsi
tubulus; dan keterlambatan gambaran pielogram. Dari urogram juga dapat dikenali adanya
penyebab obstruksi, mungkin berupa batu opak; serta kelainan akibat obstruksi mulai dari
kalises, pelvis renalis, dan urteter berupa kaliektasis, hidronefrosis, penipisan korteks, atau
hidrouretero-nefrosis, pemeriksaan ini tidak mungkin dikerjakan pada insufiensi ginjal atau
pasien lain yang tidak memenuhi sarat. Pielografi retrograd dapat secara tepat menggambarkan
dan menentukan letak penyumbatan pada ureter. Pada keadaan tertentu seorang spesialis urologi
dapat menentukan adanya sumbatan, lokasi sumbatan, sekaligus melakukan tindakan terhadap
menunjukkan gangguan fungsi ginjal dan ada atau tidak adanya obstruksi. Pada ginjal yang
fungsi sekresi maupun eksresinya normal (tanpa ada obstruksi pasca renal), kurve renografi
meningkat dan akan mencapai puncaknya, yang kemudian menurun. Namun pada obstruksi
Kolik ureter atau kolik ginjal merupakan nyeri pinggang hebat yang datangnya
mendadak, hilang-timbul (intermitten) yang terjadi akibat spasme otot polos untuk melawan
suatu hambatan. Nyeri hilang timbul ini ditimbulkan sebagai akibat dari teraktivasinya
posisi dari duduk, tidur kemudian berdiri untuk mencari posisi yang dianggap tidak nyeri.
Denyut nadi dan tekanan darah meningkat pada pasien yang sebelumnya normotensi. Sering
dijumpai adanya pernafasan cepat dan grunting terutama pada saat puncak nyeri. Harus
diwaspadai adanya infeksi yang serius atau urosepsis jika disertai demam. Dalam keadaan
dicurigai adanya infeksi serius atau urosepsis, pasien harus secepatnya dirujuk ke tempat
pelayanan urologi karena mungkin memerlukan tindakan drainase urine. Palpasi abdomen dan
perkusi daerah pinggang (Costo Vertebral Angle) akan terasa nyeri. Perasaan nyeri bermula di
daerah pinggang yang kemudian dapat menjalar ke seluruh perut, daerah inguinal, testis, atau
labium. Yang sering menjadi penyebab sumbatan pada umumnya adalah batu, bekuan darah,
atau debris yang berasal dari ginjal dan turun ke ureter Batu kecil yang turun ke pertengahan
ureter biasanya akan menyebabkan penjalaran nyeri ke pinggang sebelah lateral dan seluruh
perut. Obtruksi terjadi pada saluran kemih bagian bawah, pada umumnya disertai dengan
keluhan lain yang mirip dengan gejala iritasi saluran kemih bagian bawah, seperti urgensi dan
Pemeriksaan foto polos perut dapat digunakan untuk mencari adanya batu opak di saluran
kemih, tetapi seringkali tidak tampak batu opak karena tidak disertai persiapan pembuatan foto
yang baik. Ultrasonografi dapat menilai adanya sumbatan pada saluran kemih yang berupa
hidronefrosis. Setelah episode kolik berlalu dan syarat memenuhi, dilakukan foto IVU untuk
mengetahui lokasi dan penyebab obstruksi. Pemeriksaan sedimen urine sering menunjukkan
adanya sel darah merah. Namun pada sumbatan total saluran kemih, 10% kasus tidak dijumpai
adanya sel darah merah pada pemeriksaan sedimen urine. Diketemukannya piuria perlu dicurigai
kemungkinan adanya infeksi, dan didapatkannya kristal pembentuk batu (urat, kalsium oksalat,
atau sistin) dapat diperkirakan jenis batu yang menyumbat saluran kemih (Basuki, 2011).
Manifestasi dari sumbatan total aliran urine pada sistem saluran kemih bagian atas adalah
anuria yaitu berkurangnya produksi urine hingga kurang dari 200 ml dalam 24 jam. Anuria
obstruktif ini terjadi jika terdapat sumbatan saluran kemih bilateral unilateral pada ginjal tunggal.
Selain disebabkan oleh adanya sumbatan di saluran kemih, anuria juga bisa disebabkan oleh
perfusi darah ke jaringan ginjal yang berkurang (disebut sebagai anuria pre renal) atau kerusakan
Pada anamnesis pasien datang dengan keluhan tidak kencing atau kencing hanya sedikit,
yang seringkali didahului oleh keluhan obstruksi yang lain, seperti nyeri di daerah pinggang atau
kolik; dan tidak jarang diikuti dengan demam. Jika didapatkan riwayat adanya kehilangan cairan
dalam jumlah besar, asupan cairan yang berkurang, atau riwayat menderita penyakit jantung,
harus diwaspadai adanya faktor penyebab pre renal. Diperiksa keadaan hidrasi pasien dengan
mengukur tekanan darah, nadi, dan perfusinya. Lebih baik jika dapat dipasang CVP (central
venous pressure) sehingga dapat diketahui keadaan hidrasi pasien dengan tepat dan mudah.
Sering dijumpai pasien datang dengan tanda-tanda uremia yaitu pernafasan asidosis, demam
Palpasi bimanual dan perkusi yang dilakukan di daerah pinggang bertujuan untuk
mengetahui adanya nyeri atau massa pada pinggang akibat hidro atau pionefrosis. Pada colok
dubur atau colok vagina mungkin teraba adanya masa yang dapat dicurigai sebagai karsinoma
buli-buli, karsinoma prostat, atau karsinoma serviks stadium lanjut yang membuntu kedua muara
ureter. Pemeriksaan laboratorium sedimen urine dapat menunjukkan leukosituria atau hematuria,
nitrit dalam urine menunjukkan adanya infeksi saluran kemih karena bakteri yang menyebabkan
infeksi saluran kemih membuat enzim reduktase yang mengubah nitrat menjadi nitrit. Pada
pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan leukositosis, terdapat gangguan faal ginjal, tanda
Foto polos abdomen dilakukan untuk mencari adanya batu opak pada saluran kemih,
atau bayangan pembesaran ginjal. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen harus dilakukan untuk
mengetahui adanya hidronefrosis atau pionefrosis. Melalui tuntunan USG dapat dilakukan
pemasangan kateter nefrostomi secara perkutan dengan anestesi lokal (Wah TM, et al, 2004).
Pada pasien yang mengalami obstruksi total, apalagi disertai penyulit sepsis, nyeri yang
tidak kunjung reda dengan pemberian anti nyeri, dan wanita hamil, obstruksi harus segera
ditanggulangi dengan melakukan nefrostomi perkutan atau pemasangan kateter Double J, hal ini
untuk mencegah terjadinya penyulit obstruksi lebih lanjut (Basuki, 2011). Selanjutnya terapi
ditujukan untuk menemukan lokasi dan menghilangkan penyebab obstruksi. Seringkali pasien
terpaksa menjalani pengangkatan ginjal (nefrektomi), jika struktur dan fungsi ginjal sudah sangat
jelek, apalagi jika disertai dengan adanya pionefrosis. Tentu saja tindakan nefrektomi ini
dilakukan setelah melihat fungsi ginjal kontralateral dan pertirnbangan lain. Jika tidak segera
diatasi, uropati obstruksi akan menimbulkan penyulit berupa uremia, infeksi, dan terjadi SIRS
yang berakhir dengan kematian, oleh karena itu sambil memperbaiki keadaan pasien, secepatnya
dilakukan diversi/ pengeluaran urine (Basuki, 2011). Diversi/ pengeluaran urine sebagai usaha
untuk source control harus dilakukan dalam waktu 12 jam setelah diagnosis sepsis ditegakkan
(Hamasuna R, et al, 2015). Pengeluaran urine dapat dilakukan dengan cara pemasangan kateter
nefrostomi atau kalau mungkin dilakukan pemasangan kateter double J (DJ kateter). Banyak
penulis menyarankan pemasangan stent sebagai tahap pertama yang aman dan efektif untuk
menangani obstruksi ginjal yang terinfeksi (Flukes S, et al, 2014; Hsu, et al, 2016) dan
nefrostomy hanya dilakukan jika diperkirakan akan didapatkan kesulitan akses retrograde ke
ureter atau pada keadaan dimana diperlukan tindakan segera untuk meringankan disfungsi ginjal,
namun penelitian mengenai kualitas hidup pasien tidak menunjukkan kelebihan pemasangan
stent dibandingkan dengan pemasangan kateter nefrostomy, ketika diperlukan pemasangan stent
atau pemakaian kateter nefrostomy jangka panjang, pasien harus dilibatkan dalam pemilihan
prosedur, dan keputusan yang diambil harus disetujui bersama (Hsu, et al, 2016).
dengan tuntunan ultrasonografi atau CT scan dengan anestesi lokal atau dengan operasi terbuka,
yaitu memasang kateter pada kaliks ginjal agar urine atau nanah yang berada pada sistem
pelvikalises ginjal dapat didrainase. Seringkali pasien membutuhkan bantuan hemodialisis untuk
2.2 Urosepsis
Urosepsis merupakan infeksi sistemik berat yang berasal dari fokus infeksi di traktus
urinarius yang dapat menyebabkan bakteremia, syok septic, dan multiple organ failure dengan
angka kematian mencapai 16 - 26% (Ackermann RJ, et al, 1996; Wagenlehner FM, et al, 2008;
Sugimoto, et al, 2014; Leligdowicz, et al, 2014), 78% kasus urosepsis disebabkan oleh obstruksi
saluran kemih (Hofmann, 1990) dimana 80 % nya disebabkan oleh batu (Tambo M, et al, 2014).
produk –produk pathogen dan atau molekul sinyal intrinsic yang kemudian dikenali oleh
receptor dari berbagai sel dalam tubuh (termasuk sistem komplemen, endotel, dan jaringan
adiposa) yang akhirnya memodulasi respon imun melalui berbagai mediator dan biomarker
inflamasi (CRP, PCT, dan sebagainya) yang pada akhirnya menimbulkan reaksi berbagai organ
(gambar 2.2) (Dreger, et al, 2015). Urosepsis ditandai dengan adanya infeksi atau dugaan infeksi
saluran kemih dan adanya minimal 2 tanda systemic inflammatory response syndrome (SIRS)
Alkalosis respiratorik PaCO2 ≤ 32 mmHg (< 4,3 kPa), 5. Leukositosis ≥ 12/nL atau leucopenia ≥
4/nl atau shift to the left. Kultur urine merupakan merupakan metode yang sangat spesifik untuk
mendeteksi, mengkonfirmasi serta mendiagnosis adanya infeksi bakteri pada infeksi saluran
Aikawa N, et al pada tahun 2005 membandingkan kultur darah dengan prokalsitonin, dan
mendapatkan sensitifitas PCT sebesar 70,2% sementara kultur darah 42,6 % dan ketepatan
diagnostic prokalsitonin dihitung dari sensitifitas dan sensitifitas nya adalah 75,4 %. Penelitian
Nieuwkoop CV,et al pada tahun 2010 menunjukkan pengurangan penggunaan kultur darah
sampai 40% untuk mendeteksi 97% bakteremia dengan menggunakan kadar serum prokalsitonin.
calcitonin (Sugimoto, et al, 2013) saat ini dianggap sebagai biomarker yang menjanjikan dalam
usaha menentukan tingkatan infeksi dan dapat membedakan infeksi bakteri dari infeksi virus dan
penyebab peradangan non spesifik lainnya. PCT di induksi di dalam plasma pasien yang
mengalami infeksi bakteri berat, infeksi jamur, atau sepsis. PCT bereaksi lebih cepat
dibandingkan CRP baik dalam masa peningkatan ataupun penurunan peradangan, PCT
meningkat dalam enam jam sejak awal stimulus sementara CRP tidak meningkat secara
signifikan sebelum 12 jam setelah onset. PCT secara primer mendeteksi infeksi sistemik, tidak
terinduksi oleh infeksi bakteri lokal, infeksi virus, penyakit auto imun maupun alergi (Meisner
M, et al, 1999; Ko YH, et al, 2016). Mayoritas dari baktermia pada infeksi saluran kemih
disebabkan oleh bakteri gram negatif, dimana tingginya jumlah bakteri akan mempengaruhi
jumlah lipopolisakarida bebas dan endotoksin yang pada akhirnya mempengaruhi kadar serum
prokalsitonin (Nieuwkoop CV, et al, 2010). Konsentrasi PCT berhubungan dengan tingkat
keparahan disfungsi organ multiple yang merupakan akibat dari inflamasi sistemis yang
ditimbulkan oleh infeksi (Meisner, et al, 1999; Matthiaou, et al, 2012). PCT efektif untuk
mengidentifikasi etiologi bakteri dan tingkat keparahan infeksi (Lee, 2013). Namun beberapa
pasien mengalami perburukan kondisi umum hanya dalam waktu satu hari, dan memerlukan
tindakan intervensi emergensi, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kadar serum prokalsitonin
meningkat secara signifikan pada pasien dengan infeksi saluran kemih yang mengalami
obstruksi, dibandingkan dengan pasien infeksi saluran kemih tanpa obstruksi, menunjukan
potensi prokalsitonin sebagai biomarker yang berguna bagi klinisi untuk cepat mengambil
keputusan dalam menentukan waktu yang tepat untuk melakukan tindakan intervensi pada pasien
dengan infeksi saluran kemih dengan obstruksi (Sugimoto K, et al 2013). Penggunaan PCT
diharapkan dapat mengurangi biaya yang digunakan untuk pemeriksaan kultur darah dan urine,
serta mengurangi lama perawatan di rumah sakit, yang pada akhirnya mengurangi keseluruhan
biaya medis.
Leukosit adalah sel darah putih yang membentuk komponen darah dan merupakan bagian dari
sistem kekebalan tubuh dimana infeksi akan meng aktivasi sistem komplemen yang memicu
respons pro inflamasi yang salah satunya akan menstimulasi pembentukan netrofil granulosit.
Meskipun WBC banyak dijadikan patokan utuk mendiagnosis infeksi akut, pemeriksan
laboratorium ini bukan merupakan marker inflamasi yang spesifik dan tidak dapat diandalkan
untuk membedakan infeksi bakteri dari infeksi virus dan penyebab peradangan non spesifik
lainnya.
enzim reduktase yang mengubah nitrat menjadi nitrit. Nitrit urine juga dapat dijadikan tanda
adanya infeksi bakteri pada traktus urinarius. Namun Kontaminasi pada sampel, obtruksi total
saluran kemih bagian atas, dan keberadaan bakteri nitrit negatif dapat menyebabkan salah