Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obstruksi Saluran Kemih

2.1.1 Definisi

Obstruksi saluran kemih atau sering disebut dengan uropati obstruktif, bisa

terjadi pada seluruh bagian saluran kemih, mulai dari kaliks hingga meatus uretra

eksterna. Sistem saluran kemih dibagi menjadi dua bagian besar, yakni bagian

atas yang dimulai dari sistem kalises hingga muara ureter dan bagian bawah, yaitu

bulu-buli dan uretra. Penyebab paling umum terjadinya obstruksi saluran kemih

bagian bawah adalah BPH, batu kantung kemih, striktur uretra dan keganasan

pada vesica urinaria, prostat dan uretra. Sedangkan pada wanita, prolaps organ

seperti vesica urinaria, rectum atau usus melalui vagina dapat menyebabkan

obstruksi fungsional melalui penekanan uretra atau kinking (Romanzi, et al,

1999). Obstruksi ini dibedakan atas obstruksi akut atau kronik, unilateral atau

bilateral (pada saluran kemih atas, dan parsial atau total. Obstruksi dapat

menyebabkan dilatasi pelvis renalis maupun kaliks, yang dikenal sebagai

hidronefrosis. Hidronefrosis dapat menjadi petanda adanya obstruksi saluran

kemih (Tseng, et al, 2009).

2.1.2 Etiologi Obstruksi Saluran Kemih

Penyebab nefropati obstruksi bervariasi tergantung dengan usia pasien.

Kelainan anatomi lebih sering pada anak-anak. Kelaian pada anak-anak yang

sering ditemukan antara lain obstruksi ureteropelvic junction, obstruksi

7
ureterovesical junction, atresia katup uretra posterior, atresia uretra dan neuropati kandung

kemih yang sering ditemukan. Penyebab obstruksi pada orang dewasa antara lain pembesaran

prostat, tumor, batu saluran kemih, striktur ureter dan fibrosis retroperitoneal yang sering

dijumpai (Ucero, 2010).

Obstruksi saluran kemih bisa disebabkan oleh berbagai sebab, yakni karena penyakit

bawaan (congenital) atau didapat (acquired), dan penyakit yang ada di dalam lumen

(intraluminar) atau desakan dari lumen (ekstraluminar) saluran kemih. Obstruksi saluran kemih

sebelah atas mengakibatkan kerusakan saluran kemih (ureter dan ginjal) pada sisi yang terkena,

tetapi obstruksi di saluran kemih bagian bawah akan berakibat pada kedua sistem saluran kemih

bagian atas. Etiologi obstruksi saluran kemih dapat dilihat pada Tabel 2.1. (Basuki, 2011).

2.1.3 Epidemiologi Obstruksi Saluran Kemih

Pada penelitian mengenai obstruksi saluran kemih pada 59.064 otopsi dari usia neonatus

sampai geriatric, ditemukan prevalensi hidronefrosis sekitar 3,1 persen (Bell,1950). Tidak ada

perbedaan hidronefrosis antara laki-laki dan perempuan sampai usia 20 tahun. Namun prevalensi

hidronefrosis lebih tinggi pada perempuan usia 20-60 tahun. Ini disebabkan adanya pengaruh

kehamilan dan keganasan pada ginekologi. Sedangkan pada laki-laki prevalensi hidronefrosis

meningkat setelah usia 60 tahun, ini disebabkan oleh pembesaran prostat (Singh, 2012). 78%

kasus urosepsis disebabkan oleh obstruksi saluran kemih (Wagenlehner FM, et al, 2008) dan

angka mortalitas akibat urosepsis mencapai 16,1 % (Ackermann RJ, et al, 1996).

Tabel 2.1. Berbagai etiologi obstruksi saluran kemih (Basuki, 2011)

KONGENITAL DIDAPAT
NEOPLASIA INFLAMASI
Kista ginjal Tumor ginjal Tuberkulosis
Kista peripelvik (Wilm/Grawitz) TCC Infeksi
Ginjal Obstruksi PUJ pelvis Echinococcus
(termasuk vasa Mieloma multiple
aberan)

Striktura Kanker Tuberkulosis


Ureterokel ureter (primer / metastasis) Schistosomiasis
Refluks Abses
vesikoureter Ureteritis sistika
Klep ureter Endometriosis
Ureter Ginjal ektopik
Ureter
retrokaval
Prune-belly

Buli-buli Kanker buli-buli Sistitis


Katup uretra BPH Prostatitis
posterior Kanker prostat Abses parauretra
Uretra Fimosis Kanker uretra Stenosis meatus
Hipospadias / Kanker penis uretra ekterna
epispadias

2.1.4 Fisiologi Aliran Urine dari Ginjal ke Dalam Buli-buli

Ginjal memproduksi urine secara berkelanjutan. Setelah diproduksi oleh nefron,

urine disalurkan melalui ureter menuju buli-buli secara intermiten mulai dari kalises,

infundibulum, pelvis, dan ureter atas dorongan gerakan peristaltik otot saluran kemih. Pada saat

ureter proksimal menerima sejumlah urine, otot polos ureter akan teregang dan menimbulkan

rangsangan untuk berkontraksi, sedangkan segmen di bagian distalnya akan relaksasi.

Selanjutnya sejumlah urine tersebut akan dialirkan ke distal secara berantai. Gelombang

peristaltik saluran kemih bagian atas dibangkitkan dan dikendalikan oleh sel pacemaker yang

terletak di bagian paling proksimal kalises ginjal. Jumlah pacemaker pada suatu ginjal ditentukan

oleh jumlah kalises minor pada ginjal tersebut. Kontraksi peristaltik dimulai saat sel pacemaker

mengirimkan sinyal untuk memulai aktivitas perstaltik pada sel otot polos saluran kemih bagian
atas. Pada aliran urine normal, frekuensi kontraksi kalises dan pelvis renalis lebih kuat daripada

ureter proksimal, dan akan terjadi hambatan pada saat melewati uretero-pelvic junction (UPJ).

Tekanan ureter pada saat relaksasi adalah 0-5 cm H20, dan pada saat terjadi kontraksi

tekanannya menjadi 20-80 cm H2O. Gelombang peristaltik ureter terjadi 2-6 kali dalam setiap

menit. Pada keadaan normal vesico-ureter junction (VUJ) bertindak sebagai katup satu arah yang

memungkinkan urine mengalir ke buli-buli dan mencegah aliran balik urine ke dalam ureter

(Robert M.W, 2012).

2.1.5 Patofisiologi Obstruksi Saluran Kemih Bagian Atas

Obstruksi saluran kemih akan menyebabkan kerusakan struktur maupun fungsi ginjal

yang tergantung pada lama obstruksi, derajat obstruksi, unilateral atau bilateral, dan adanya

infeksi yang menyertainya. Perubahan yang terjadi pada ke empat variabel pada saat obstruksi

berlangsung dibagi dalam tiga waktu kritis yaitu: Fase I atau akut (0-90 menit), fase II atau

pertengahan (2-5 jam), dan fase III atau lanjut (24 jam) dan fase pascaobstruksi. Dimana tekanan

intrakalises, aliran darah ginjal (RBF), rerata laju filtrasi glomerulus (GFR), dan fungsi tubulus

distalis (DTP) akan semakin memburuk sesuai dengan semakin lamanya waktu kritis. (Siddiqui

M.M, et al, 2011).

Urine yang alirannya terhambat, pada minggu pertama obstruksi akan menyebabkan

dilatasi saluran kemih. Urine akan masuk ke jaringan parenkim ginjal dan menyebabkan edema

ginjal sehingga berat ginjal bertambah, yang selanjutnya mulai terjadi atrofi sel parenkim.

Setelah beberapa minggu, atrofi akan lebih dominan daripada edema sehingga berat ginjal

berkurang. Ginjal akan terlihat berwarna gelap karena terdapat bagian yang mengalami iskemia,

edema sel darah merah, dan nekrosis. Obstruksi yang berlangsung lama akan menyebabkan

kerusakan nefron yang progresif yang dimulai dari penekanan sistem pelvikalises ke dalam
parenkim ginjal. Selanjutnya medula dan kortreks ginjal akan mengalami atrofi. Akibat tekanan

yang terus menerus, akan terlihat kerusakan pada kaliks ginjal yang pada keadaan normal, ujung

proksimal nya berbentuk cekung. Tekanan urine yang terus menerus menyebabkan pelvis dan

kalises ginjal mengalami dilatasi. Secara histopatologis juga terjadi dilatasi dan atrofi tubulus,

pembentukan cast, fibrosis interstisial, dan kerusakan glomeruli. Glomeruli lebih tahan terhadap

proses kerusakan akibat obstruksi dibandingkan tubulus; demikian pula setelah sumbatan

dibebaskan, peyembuhan fungsi glomeruli dan bagian korteks ginjal lebih cepat dari pada

tubulus dan bagian medulla ginjal. Kerusakan medulla ginjal yang parah terjadi karena

kerusakan tubulus kolegentes dan tubulus distalis. Setelah lebih dari 1 minggu, terjadi

penyembuhan pasca-obstruksi diikuti dengan penyembuhan sebagian fungsi ginjal. Pada

percobaan binatang, setelah mengalami obstruksi total selama 4-6 minggu, hanya sebagian kecil

fungsi glomerulus yang dapat kembali normal setelah sumbatan ureter dibebaskan. GFR akan

pulih setelah 28 minggu hingga satu setengah tahun setelah obstruksi total. Faktor lain yang

dapat mempengaruhi penyembuhan pasca-obstruksi adalah adanya infeksi dan iskemia pada

ginjal yang mengalami obstruksi. Jika obstruksi tidak dihilangkan, kematian sel akan terjadi

dalam waktu 15 hari lesi histologis ini akan tetap ada meskipun obstruksi sudah dihilangkan. Hal

inilah yang menjelaskan insufisiensi ginjal yang menetap meskipun sumbatan sudah dihilangkan

(Harris RH, et al, 1974).

Peningkatan tekanan intrapelvik akibat obstruksi akan diteruskan ke sistem kalises ginjal,

sehingga merusak papilla ginjal dan struktur kalises. Pada keadaan normal, kaliks minor

berbentuk konkaf dengan kedua ujungnya tajam, melalui pemeriksaan pielografi intravena (IVU)

perubahannya dapat diamati. Tekanan dari intrapelvis yang diteruskan ke kalises, akan

menyebabkan peregangan kalises dann menimbulkan perubahan pada bentuk kalises minor
ginjal. Perubahan yang terjadi (Gambar 2.1.) adalah: Kedua tepi kaliks menjadi tumpul, Kaliks

menjadi datar (konkavitas menghilang), Kaliks menjadi konveks, dan Semakin lama parenkim

ginjal tertekan ke perifer sehingga korteks menipis (Basuki, 2011).

Kecurigaan akan uropati obstruktif akut ditunjukkan dengan munculnya gejala klinis

berupa nyeri kolik pada pinggang yang menjalar sepanjang perjalanan ureter, hematuri

makroskopik (berasal dari batu saluran kemih), gejala gastrointestinal, demam dan menggigil

jika disertai infeksi, perasaan panas pada saat berkemih, dan urine keruh. Nyeri merupakan

manifestasi hiperperistaltik otot saluran kemih bagian atas, yang bisa terjadi mulai dari

infundibulum hingga ureter sebelah distal. Pada pemeriksaan fisis, ginjal yang mengalami

hidronefrosis mungkin teraba pada palpasi (ballotemen) atau terasa nyeri pada saat perkusi (nyeri

ketok CVA). Perlu dicari kemungkinan penyebab obstruksi dari saluran kemih bagian bawah,

yang menyebabkan obstruksi saluran kemih bagian atas, misalkan BPH, striktur uretra, kanker

prostat, kanker buli-buli, kanker serviks, sehingga perlu dilakukan tindakan colok dubur atau

colok vagina. Pada pemeriksaan juga bisa didapatkan buli buli yang membesar, kadang pasien

juga datang dalam kondisi anuria (Tseng, T.Y, et al, 2009).

Pemeriksaan laboratorium urinalisis dapat menunjukkan adanya inflamasi saluran kemih,

yakni didapatkannya lekosituria dan eritrosituria. Nitrit dalam urine menunjukkan adanya infeksi

saluran kemih karena bakteri yang menyebabkan infeksi saluran kemih membuat enzim

reduktase yang mengubah nitrat menjadi nitrit. Pemeriksaan produksi urine per hari, pH urine,

berat jenis urine, dan kandungan elektrolit dapat digunakan untuk menilai fungsi tubulus ginjal.

Kenaikan nilai faal ginjal menunjukkan adanya kelainan fungsi ginjal. Pemeriksaan USG

merupakan pemeriksaan penunjang diagnosis yang pertama dilakukan untuk mendiagnosis

adanya uropati obstruktif. Pada fase awal obstruksi akut, gambaran hidronefrosis sering tidak
terlihat, terutama jika pasien mengalami dehidrasi; sehingga dapat terjadi negatif palsu (false

negative). Nilai negatif palsu pemeriksaan USG pada diagnosis obstruksi saluran kemih ±35%.

IVU (pielografi intravena) sampai saat ini masih dipakai sebagai sarana diagnosis uropati

obstruksi bagian atas. Pielografi intravena dapat menilai faal dan struktur ginjal. Pada obstruksi

akut, terdapat peningkatan opasitas pada foto nefrogram, yang disebabkan oleh kegagalan fungsi

tubulus; dan keterlambatan gambaran pielogram. Dari urogram juga dapat dikenali adanya

penyebab obstruksi, mungkin berupa batu opak; serta kelainan akibat obstruksi mulai dari

kalises, pelvis renalis, dan urteter berupa kaliektasis, hidronefrosis, penipisan korteks, atau

hidrouretero-nefrosis, pemeriksaan ini tidak mungkin dikerjakan pada insufiensi ginjal atau

pasien lain yang tidak memenuhi sarat. Pielografi retrograd dapat secara tepat menggambarkan

dan menentukan letak penyumbatan pada ureter. Pada keadaan tertentu seorang spesialis urologi

dapat menentukan adanya sumbatan, lokasi sumbatan, sekaligus melakukan tindakan terhadap

penyebab sumbatannya dengan melakukan ureterorenoskopi (URS). Renografi dapat

menunjukkan gangguan fungsi ginjal dan ada atau tidak adanya obstruksi. Pada ginjal yang

fungsi sekresi maupun eksresinya normal (tanpa ada obstruksi pasca renal), kurve renografi

meningkat dan akan mencapai puncaknya, yang kemudian menurun. Namun pada obstruksi

saluran kemih, kurva nya tidak pernah menurun. (Basuki, 2011).

2.1.6 Kolik Ureter atau Kolik Ginjal

Kolik ureter atau kolik ginjal merupakan nyeri pinggang hebat yang datangnya

mendadak, hilang-timbul (intermitten) yang terjadi akibat spasme otot polos untuk melawan

suatu hambatan. Nyeri hilang timbul ini ditimbulkan sebagai akibat dari teraktivasinya

mekanoreseptor yang mengakibatkan eksitasi serat spinothalamic C. (Travaglini F, et al, 2004).


Secara klinis pasien tampak gelisah, mengeluh nyeri pinggang, selalu ingin berganti

posisi dari duduk, tidur kemudian berdiri untuk mencari posisi yang dianggap tidak nyeri.

Denyut nadi dan tekanan darah meningkat pada pasien yang sebelumnya normotensi. Sering

dijumpai adanya pernafasan cepat dan grunting terutama pada saat puncak nyeri. Harus

diwaspadai adanya infeksi yang serius atau urosepsis jika disertai demam. Dalam keadaan

dicurigai adanya infeksi serius atau urosepsis, pasien harus secepatnya dirujuk ke tempat

pelayanan urologi karena mungkin memerlukan tindakan drainase urine. Palpasi abdomen dan

perkusi daerah pinggang (Costo Vertebral Angle) akan terasa nyeri. Perasaan nyeri bermula di

daerah pinggang yang kemudian dapat menjalar ke seluruh perut, daerah inguinal, testis, atau

labium. Yang sering menjadi penyebab sumbatan pada umumnya adalah batu, bekuan darah,

atau debris yang berasal dari ginjal dan turun ke ureter Batu kecil yang turun ke pertengahan

ureter biasanya akan menyebabkan penjalaran nyeri ke pinggang sebelah lateral dan seluruh

perut. Obtruksi terjadi pada saluran kemih bagian bawah, pada umumnya disertai dengan

keluhan lain yang mirip dengan gejala iritasi saluran kemih bagian bawah, seperti urgensi dan

disuria. (Tseng, T.Y, et al, 2009).

Pemeriksaan foto polos perut dapat digunakan untuk mencari adanya batu opak di saluran

kemih, tetapi seringkali tidak tampak batu opak karena tidak disertai persiapan pembuatan foto

yang baik. Ultrasonografi dapat menilai adanya sumbatan pada saluran kemih yang berupa

hidronefrosis. Setelah episode kolik berlalu dan syarat memenuhi, dilakukan foto IVU untuk

mengetahui lokasi dan penyebab obstruksi. Pemeriksaan sedimen urine sering menunjukkan

adanya sel darah merah. Namun pada sumbatan total saluran kemih, 10% kasus tidak dijumpai

adanya sel darah merah pada pemeriksaan sedimen urine. Diketemukannya piuria perlu dicurigai
kemungkinan adanya infeksi, dan didapatkannya kristal pembentuk batu (urat, kalsium oksalat,

atau sistin) dapat diperkirakan jenis batu yang menyumbat saluran kemih (Basuki, 2011).

2.1.7 Anuria Obstruktif

Manifestasi dari sumbatan total aliran urine pada sistem saluran kemih bagian atas adalah

anuria yaitu berkurangnya produksi urine hingga kurang dari 200 ml dalam 24 jam. Anuria

obstruktif ini terjadi jika terdapat sumbatan saluran kemih bilateral unilateral pada ginjal tunggal.

Selain disebabkan oleh adanya sumbatan di saluran kemih, anuria juga bisa disebabkan oleh

perfusi darah ke jaringan ginjal yang berkurang (disebut sebagai anuria pre renal) atau kerusakan

pada jaringan ginjal (anuria intra renal) (Basuki, 2011).

Pada anamnesis pasien datang dengan keluhan tidak kencing atau kencing hanya sedikit,

yang seringkali didahului oleh keluhan obstruksi yang lain, seperti nyeri di daerah pinggang atau

kolik; dan tidak jarang diikuti dengan demam. Jika didapatkan riwayat adanya kehilangan cairan

dalam jumlah besar, asupan cairan yang berkurang, atau riwayat menderita penyakit jantung,

harus diwaspadai adanya faktor penyebab pre renal. Diperiksa keadaan hidrasi pasien dengan

mengukur tekanan darah, nadi, dan perfusinya. Lebih baik jika dapat dipasang CVP (central

venous pressure) sehingga dapat diketahui keadaan hidrasi pasien dengan tepat dan mudah.

Sering dijumpai pasien datang dengan tanda-tanda uremia yaitu pernafasan asidosis, demam

karena urosepsis atau dehidrasi, serta tanda-tanda ileus (Basuki, 2011).

Palpasi bimanual dan perkusi yang dilakukan di daerah pinggang bertujuan untuk

mengetahui adanya nyeri atau massa pada pinggang akibat hidro atau pionefrosis. Pada colok

dubur atau colok vagina mungkin teraba adanya masa yang dapat dicurigai sebagai karsinoma

buli-buli, karsinoma prostat, atau karsinoma serviks stadium lanjut yang membuntu kedua muara

ureter. Pemeriksaan laboratorium sedimen urine dapat menunjukkan leukosituria atau hematuria,
nitrit dalam urine menunjukkan adanya infeksi saluran kemih karena bakteri yang menyebabkan

infeksi saluran kemih membuat enzim reduktase yang mengubah nitrat menjadi nitrit. Pada

pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan leukositosis, terdapat gangguan faal ginjal, tanda

asidosis, atau hiperkalemia.

Foto polos abdomen dilakukan untuk mencari adanya batu opak pada saluran kemih,

atau bayangan pembesaran ginjal. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen harus dilakukan untuk

mengetahui adanya hidronefrosis atau pionefrosis. Melalui tuntunan USG dapat dilakukan

pemasangan kateter nefrostomi secara perkutan dengan anestesi lokal (Wah TM, et al, 2004).

Pada pasien yang mengalami obstruksi total, apalagi disertai penyulit sepsis, nyeri yang

tidak kunjung reda dengan pemberian anti nyeri, dan wanita hamil, obstruksi harus segera

ditanggulangi dengan melakukan nefrostomi perkutan atau pemasangan kateter Double J, hal ini

untuk mencegah terjadinya penyulit obstruksi lebih lanjut (Basuki, 2011). Selanjutnya terapi

ditujukan untuk menemukan lokasi dan menghilangkan penyebab obstruksi. Seringkali pasien

terpaksa menjalani pengangkatan ginjal (nefrektomi), jika struktur dan fungsi ginjal sudah sangat

jelek, apalagi jika disertai dengan adanya pionefrosis. Tentu saja tindakan nefrektomi ini

dilakukan setelah melihat fungsi ginjal kontralateral dan pertirnbangan lain. Jika tidak segera

diatasi, uropati obstruksi akan menimbulkan penyulit berupa uremia, infeksi, dan terjadi SIRS

yang berakhir dengan kematian, oleh karena itu sambil memperbaiki keadaan pasien, secepatnya

dilakukan diversi/ pengeluaran urine (Basuki, 2011). Diversi/ pengeluaran urine sebagai usaha

untuk source control harus dilakukan dalam waktu 12 jam setelah diagnosis sepsis ditegakkan

(Hamasuna R, et al, 2015). Pengeluaran urine dapat dilakukan dengan cara pemasangan kateter

nefrostomi atau kalau mungkin dilakukan pemasangan kateter double J (DJ kateter). Banyak

penulis menyarankan pemasangan stent sebagai tahap pertama yang aman dan efektif untuk
menangani obstruksi ginjal yang terinfeksi (Flukes S, et al, 2014; Hsu, et al, 2016) dan

nefrostomy hanya dilakukan jika diperkirakan akan didapatkan kesulitan akses retrograde ke

ureter atau pada keadaan dimana diperlukan tindakan segera untuk meringankan disfungsi ginjal,

namun penelitian mengenai kualitas hidup pasien tidak menunjukkan kelebihan pemasangan

stent dibandingkan dengan pemasangan kateter nefrostomy, ketika diperlukan pemasangan stent

atau pemakaian kateter nefrostomy jangka panjang, pasien harus dilibatkan dalam pemilihan

prosedur, dan keputusan yang diambil harus disetujui bersama (Hsu, et al, 2016).

Pemasangan kateter nefrostomi dapat dilakukan secara perkutan menggunakan trocar

dengan tuntunan ultrasonografi atau CT scan dengan anestesi lokal atau dengan operasi terbuka,

yaitu memasang kateter pada kaliks ginjal agar urine atau nanah yang berada pada sistem

pelvikalises ginjal dapat didrainase. Seringkali pasien membutuhkan bantuan hemodialisis untuk

mengatasi penyulit akibat uremia (Wah TM, et al, 2004).

2.2 Urosepsis

Urosepsis merupakan infeksi sistemik berat yang berasal dari fokus infeksi di traktus

urinarius yang dapat menyebabkan bakteremia, syok septic, dan multiple organ failure dengan

angka kematian mencapai 16 - 26% (Ackermann RJ, et al, 1996; Wagenlehner FM, et al, 2008;

Sugimoto, et al, 2014; Leligdowicz, et al, 2014), 78% kasus urosepsis disebabkan oleh obstruksi

saluran kemih (Hofmann, 1990) dimana 80 % nya disebabkan oleh batu (Tambo M, et al, 2014).

Patofisiologi urosepsis adalah infeksi atau trauma menyebabkan pelepasan patogen,

produk –produk pathogen dan atau molekul sinyal intrinsic yang kemudian dikenali oleh

receptor dari berbagai sel dalam tubuh (termasuk sistem komplemen, endotel, dan jaringan
adiposa) yang akhirnya memodulasi respon imun melalui berbagai mediator dan biomarker

inflamasi (CRP, PCT, dan sebagainya) yang pada akhirnya menimbulkan reaksi berbagai organ

(gambar 2.2) (Dreger, et al, 2015). Urosepsis ditandai dengan adanya infeksi atau dugaan infeksi

saluran kemih dan adanya minimal 2 tanda systemic inflammatory response syndrome (SIRS)

yaitu: 1. Suhu ≥ 38ºC atau ≤ 36ºC, 2. Takikardia ≥ 90/menit, 3. Takipnea ≥ 20x/menit, 4.

Alkalosis respiratorik PaCO2 ≤ 32 mmHg (< 4,3 kPa), 5. Leukositosis ≥ 12/nL atau leucopenia ≥

4/nl atau shift to the left. Kultur urine merupakan merupakan metode yang sangat spesifik untuk

mendeteksi, mengkonfirmasi serta mendiagnosis adanya infeksi bakteri pada infeksi saluran

kemih (Sugimoto, et al, 2013).

2.3 Prokalsitonin (PCT)

Aikawa N, et al pada tahun 2005 membandingkan kultur darah dengan prokalsitonin, dan

mendapatkan sensitifitas PCT sebesar 70,2% sementara kultur darah 42,6 % dan ketepatan

diagnostic prokalsitonin dihitung dari sensitifitas dan sensitifitas nya adalah 75,4 %. Penelitian

Nieuwkoop CV,et al pada tahun 2010 menunjukkan pengurangan penggunaan kultur darah

sampai 40% untuk mendeteksi 97% bakteremia dengan menggunakan kadar serum prokalsitonin.

Prokalsitonin (PCT) yang merupakan 13 kDa, 116-amino acid prohormone dari

calcitonin (Sugimoto, et al, 2013) saat ini dianggap sebagai biomarker yang menjanjikan dalam

usaha menentukan tingkatan infeksi dan dapat membedakan infeksi bakteri dari infeksi virus dan

penyebab peradangan non spesifik lainnya. PCT di induksi di dalam plasma pasien yang

mengalami infeksi bakteri berat, infeksi jamur, atau sepsis. PCT bereaksi lebih cepat

dibandingkan CRP baik dalam masa peningkatan ataupun penurunan peradangan, PCT
meningkat dalam enam jam sejak awal stimulus sementara CRP tidak meningkat secara

signifikan sebelum 12 jam setelah onset. PCT secara primer mendeteksi infeksi sistemik, tidak

terinduksi oleh infeksi bakteri lokal, infeksi virus, penyakit auto imun maupun alergi (Meisner

M, et al, 1999; Ko YH, et al, 2016). Mayoritas dari baktermia pada infeksi saluran kemih

disebabkan oleh bakteri gram negatif, dimana tingginya jumlah bakteri akan mempengaruhi

jumlah lipopolisakarida bebas dan endotoksin yang pada akhirnya mempengaruhi kadar serum

prokalsitonin (Nieuwkoop CV, et al, 2010). Konsentrasi PCT berhubungan dengan tingkat

keparahan disfungsi organ multiple yang merupakan akibat dari inflamasi sistemis yang

ditimbulkan oleh infeksi (Meisner, et al, 1999; Matthiaou, et al, 2012). PCT efektif untuk

mengidentifikasi etiologi bakteri dan tingkat keparahan infeksi (Lee, 2013). Namun beberapa

pasien mengalami perburukan kondisi umum hanya dalam waktu satu hari, dan memerlukan

tindakan intervensi emergensi, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kadar serum prokalsitonin

meningkat secara signifikan pada pasien dengan infeksi saluran kemih yang mengalami

obstruksi, dibandingkan dengan pasien infeksi saluran kemih tanpa obstruksi, menunjukan

potensi prokalsitonin sebagai biomarker yang berguna bagi klinisi untuk cepat mengambil

keputusan dalam menentukan waktu yang tepat untuk melakukan tindakan intervensi pada pasien

dengan infeksi saluran kemih dengan obstruksi (Sugimoto K, et al 2013). Penggunaan PCT

diharapkan dapat mengurangi biaya yang digunakan untuk pemeriksaan kultur darah dan urine,

serta mengurangi lama perawatan di rumah sakit, yang pada akhirnya mengurangi keseluruhan

biaya medis.

2.4 White Blood Cell (WBC)

Leukosit adalah sel darah putih yang membentuk komponen darah dan merupakan bagian dari

sistem kekebalan tubuh dimana infeksi akan meng aktivasi sistem komplemen yang memicu
respons pro inflamasi yang salah satunya akan menstimulasi pembentukan netrofil granulosit.

Meskipun WBC banyak dijadikan patokan utuk mendiagnosis infeksi akut, pemeriksan

laboratorium ini bukan merupakan marker inflamasi yang spesifik dan tidak dapat diandalkan

untuk membedakan infeksi bakteri dari infeksi virus dan penyebab peradangan non spesifik

lainnya.

Gambar 2.1. Patofisiologi Urosepsis (modifikasi dari Dreger, et al, 2015

2.5 Nitrit Urine (NU)


Nitrit urine timbul karena bakteri yang menyebabkan infeksi saluran kemih membuat

enzim reduktase yang mengubah nitrat menjadi nitrit. Nitrit urine juga dapat dijadikan tanda

adanya infeksi bakteri pada traktus urinarius. Namun Kontaminasi pada sampel, obtruksi total

saluran kemih bagian atas, dan keberadaan bakteri nitrit negatif dapat menyebabkan salah

interpretasi pada pemeriksaan urinalisa (Papagiannopoulos, et al, 2016).

Anda mungkin juga menyukai