Anda di halaman 1dari 2

Mata Kuliah : Masalah Lingkungan Binaan

Dosen M.K : Dr. Y. Basuki Dwisusanto

Mahasiswa : Efraim Desprinto Lalu ( 2017 841008 )

Articel :

1. The Politics of Architecture and Urbanism in Postcolonial Lagos, 1960–1986

Setelah kolonialisme, pemerintah Nigeria berusaha untuk menampilkan Lagos ke mata dunia,
sebagai kota yang kuat dan independen. Di satu sisi, pemerintahan mengacu pada pembangunan
menggunakan modernisme tropis Eropa yang berguna untuk membedakan Lagos yang independen
dari Lagos kolonial. Di sisi lain, pemerintah memprakarsai sejumlah skema perumahan yang
menunjukkan ketergantungan Nigeri terhadap budaya modernisasi Eropa dengan berhasil meniru
model-model desain Eropa. Namun, terlepas dari visi ganda modernisme dan modernitas, Kota
Lagos ternyata tidak dibuat seperti yang diharapkan oleh para elit pemerintah dan arsitek.
Perdagangan informal, perumahan ilegal pada akhirnya juga tetap menimbulkan gelombang kriminal
yang meningkat.

Meskipun cerita tentang postkolonial Lagos ada dalam banyak hal tentang visi orang Lagos, ini juga
merupakan cerita tentang kurangnya pilihan dan batasan penglihatan. Ketika mengemukakan
identitas arsitekturalnya sendiri, pemerintah Nigeria tidak memiliki pilihan untuk mengembangkan
bahasa arsitektural baru. Demikian pula, budaya ekonomi informal dan kota ilegal dibentuk oleh
orang-orang Lagos, namun tidak dipilih oleh mereka. Itu adalah kelanjutan dari pola ekonomi
kolonial yang membuat Lagos menjadi kota dengan urbanisasi dan rendah modal.

2. Paradoxes of Urban Housing Informality in the Developing World

Ketidakmampuan pemerintah dalam menghasilkan solusi efektif untuk mengatasi informalitas yang
telah menyebabkan munculnya permukiman ilegal di negara berkembang yang sebagian terlepas
dari peraturan resmi yang ada. Sehingga pada akhirnya, telah menyebabkan munculnya sejumlah
paradoks ketika informal dianggap dari perspektif hukum standar. Salah satu yang paling menonjol
dari paradoks ini menganggap penghukuman pekerjaan tanah ilegal di satu sisi, sekaligus
mendukung kemungkinan memperoleh akses ke properti dengan menggunakan strategi yang sama
di sisi lain. Artinya, pemerintah yang berhadapan dengan penduduk tanah ilegal dapat mengusir
penghuni informal, namun mungkin juga memformalkan kepemilikan mereka dan memasukkan
permukiman ini ke dalam struktur hukum kota.

Paradoks lain memandang fakta bahwa saat kejadian ilegal di lapangan merupakan pelanggaran hak
kepemilikan secara disengaja, namun pada saat bersamaan mendukung konsep kepemilikan pribadi.
Permukiman yang diakibatkan oleh pendudukan tanah ilegal, bukan sekedar tindakan menentang
sistem hukum, sebenarnya mendukung sistem hak kepemilikan pribadi dan menghasilkan sistem
alternatif hak semacam itu tanpa adanya pengakuan resmi. Oleh karena itu, permukiman ini,
terlepas dari ilegalitas mereka, mendorong kepemilikan pribadi sebagai prinsip substantif .
3. The Paradigm of Legalization - a Paradox or the Logic of Development

Sejumlah besar masyarakat harus melanggar hukum sehingga dapat memberikan akses untuk
mendapatkan tanah dan perumahan di perkotaan, namun mereka harus tinggal dalam beberapa
kasus dan kondisi yang sangat genting, seperti kurangnya akses terhadap air dan sanitasi, biasanya di
daerah pinggiran. Proses ini memiliki banyak implikasi sosial, politik, ekonomi dan lingkungan yang
serius serta perlu dihadapkan oleh pemerintah dan masyarakat sipil. Secara luas diakui bahwa
legalitas perkotaan harus dikaitkan tidak hanya dengan dinamika sistem politik, namun berdasarkan
sifat tatanan hukum, terutama regulasi perkotaan dan kebijakan administrasi pertanahan, serta
dengan sikap masyarakat dalam menghormati hukum Informalitas sangat terkait dengan fase
perkembangan historis dan, terlepas dari kenyataan bahwa inti masalahnya adalah sama (default
legalitas), hal itu dapat diwujudkan dalam berbagai situasi dan dalam berbagai bentuk.

Contoh Kasus Di Indonesia ( DKI Jakarta )

Salah satu penyebab mulculnya permukiman ilegal di Jakarta adalah akibat dari tingginya arus
urbanisasi dari desa ke kota serta banya dari mereka yang hanya bermodalkan tekad yang membara,
namun tak memiliki keterampilan yang memadai sehingga mereka harus mati-matian bekerja untuk
hidup di kota besar ini. Mereka, khususnya para pendatang, tak mampu membeli tempat tinggal
yang layak dan akhirnya menempati permukiman tanpa izin dan melanggar peraturan daerah. Demi
menyambung hidup, mereka terpaksa tinggal di gubug-gubug di bantaran kali, dibawah jembatan, di
pinggir rel kereta dan wilayah kumuh lainnya. Ironisnya, hal ini juga dimanfaatkan oleh oknum-
oknum yang tidak bertanggung-jawab dengan membangun rumah-rumah petak liar yang disewakan
kepada warga tak mampu. Lebar sungai menjadi menyempit dikarenakan daerah pinggiran sungai
dibuat untuk tempat tinggal. Sungai menjadi kotor dan menimbulkan penyakit dikarenakan sungai
dibuat menjadi tempat membuang sampah.

Semakin luasnya kawasan permukiman kumuh di Jakarta disebabkan oleh tidak tegasnya aparat
dalam menindak tegas warga yang tidak memiliki izin. Ketidaktegasan itu bisa disebabkan karena
alasan tidak tega, atau malah memang adanya permainan oknum yang mengambil keuntungan
dibalik adanya kawasan permukiman kumuh ini. Para oknum tersebut bermain dengan aparat
pemerintahan setingkat kelurahan/kecamatan agar mereka “dilindungi” dari sanksi yang bisa
dikenakan. Karena hal-hal tersebut, permukiman kumuh ini terus ada dan persoalannya menjadi
berlarut-larut.

Jika dilihat dari sisi penegakan peraturan, mereka yang tinggal di permukiman kumuh tak berizin
harus di relokasi ke tempat lain seperti rusunawa. Mereka dapat diberikan tempat tinggal yang layak
dengan biaya sewa yang rendah agar mereka tak lagi menjadi beban bagi kota Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai