Anda di halaman 1dari 4

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR VERNAKULAR DI NUSA TENGGARA

TIMUR HINGGA MASA KINI


Kasus Studi : Gedung Kantor Walikota Kupang, NTT
Oleh :
Efraim Desprinto Lalu ( 2017841008 )

PENGANTAR
Sejarah perkembangan arsitektur mencakup dimensi ruang dan waktu yang sukar ditentukan
batasnya. Dan untuk mempermudah di dalam mempelajarinya, suatu karya arsitektur
dibedakan menurut ciri-ciri bentuk dan karakter arsitektural dalam kurun waktu tertentu.
Pengelompokan-pengelompokan perkembangan arsitektur antara lain adalah: primitif,
tradisional, klasik barat, dan modern. Kebudayaan sangat mempengaruhi perkembangan
arsitektur, mencakup interaksi antar kebudayaan manusia dengan alam, dalam hal ini termasuk
iklim, topografi, dan faktor lingkungan lainnya. Oleh karena itu dalam mempelajarinya, dibagi
ke dalam periode, tempat, siapa, atau masyarakat mana yang membangun.

Tidak dapat dipungkiri arsitektur vernakular merupakan sebuah potensi serta prospek yang
sangat baik untuk digunakan sebagai salah satu sumber baru dalam perancangan arsitektur
masa kini. Pengembangan arsitektur vernakular sebagai sumber atau patokan perancangan
tersebut paling tidak dapat mengangkat derajat arsitektur yang kita miliki (arstektur lokal)
sejajar dengan arsitektur klasik Yunani dan klasik Romawi yang memberikan pengaruh hingga
beberapa abad sampai pada masa revolusi industri diakhir abad 18 yang menjadi momentum
awal dari gerakan modernisme di hampir seluruh bidang (Teknologi, Sosial, Ekonomi dan
Budaya).

Dengan kata lain pengembangan arsitektur vernakular paling tidak menjadi salah satu alternatif
baru dalam pengembangan arsitektur masa kini di Indonesia pada umumnya dan di Nusa
Tenggara Timur khususnya. Perkembangan arsitektur di Indonesia dewasa ini tentunya sejalan
dengan kebudayaan lokal yang secara terus menerus mengalami perubahan. Ini secara tidak
langsung berdampak pada perkembangan arsitektur vernakular yang berada di Nusa Tenggara
Timur yang dalam perkembangannya selalu mengalami proses transformasi baik dari bentuk,
ragam hias, hingga nilai yang dibawa dari kebudayaan lokal menyesuikan dengan zaman.
Contoh kasus yang diambil adalah Gedung Kantor Walikota Kupang yang menjadi simbol
pimpinan tertinggi dalam pemerintahan wilayah kota tentunya harus mengandung nilai–nilai
budaya lokal setempat.

1
PEMBAHASAN
Studi Kasus yang diambil adalah gedung Kantor Walikota Kota Kupang, NTT.

Gambar 1. Gedung Kantor Walikota Kota Kupang, NTT


Sumber : https://kupang.antaranews.com/berita
Bangunan ini dilihat dari fasad atau tampilannya lahir dari transformasi bentuk arsitektur
vernakular daerah NTT yaitu penggabungan bentuk lokal Lopo (Timor), Rumah Ende Lio, dan
Rumah Sumba. Penggabungan ini tentunya juga turut seta membawa nilai-nilai lokal dari
ketiga arsitektur tersebut.

Pada bagian atap bangunan terdiri dari beberapa bentuk atap, pada bagian entrance memiliki
bentuk atap bulat yang mencirikan salah satu bentuk atap tradisional suku setempat (Timor)
yaitu Lopo rumah khusus bagi kaum laki-laki yang dalam filosofi masyarakat sukunya adalah
merupakan tempat untuk menerima tamu.

Pada bagian atap berikut yang ada di bangunan adalah Atap jenis sa’o yaitu jenis rumah adat
suku Ende – Lio. Atap berikut ini berada pada pada ruang kerja dan ruang rapat walikota dan
wakil walikota. Filosofi Sa’o merupakan rumah adat masyarakat suku yang mengandung
filosofi segala bahwa rencana, kesepakatan, putusan, rancangan, bahkan gagasan baru pun
selalu berawal dari sa'o ria. Sebagaimana tradisi yang diwariskan, pelaksanaan ritual apa pun
secara prosedural keadatan justru harus diadakan di sa'o ria, diprakarsai oleh mosalaki sebagai
pemimpin.

Gambar 2. Transformasi Bentuk pada atap Gedung Kantor Walikota Kota Kupang, NTT
Sumber : Jeni Messakh, 2014

2
Gedung kantor ini memiliki satu atap yang paling besar dan tinggi, memberi kesan
monumental. Rumah Adat ini biasanya disebut uma bakulu (rumah besar) atau uma
mbatangu (rumah menara). Rumah adat ini bukan hanya sekedar sebagai rumah tinggal
digunakan juga untuk fungsi – fungsi sosial bagi masyarakat suku setempat. Rumah adat
ini dengan menara yang tinggi memperlihatkan bahwa memiliki nilai spiritual yang
tinggi karena bagi masyarakat sumba bagian atap tertinggi itulah tempat bersemayam
para dewa.

Kolom merupakan elemen struktur vertikal


pada bangunan yang menopang beban dari atap
dan lantai atas. Selain sebagai dukungan
struktur, kolom juga memiliki fungsi estetis
yakni sebagai elemen ragam hias pada sebuah
bangunan. Empat tiang kolom tengah pada
void, diambil konsep lokal dari uma batanggu
(sumba), yang mengandung makna peran dan
fungsi manusia dalam masyarakat dimana
manusia sebagai penjunjung sang pencipta,
sebagai orang tua dan juga sebagai pekerja,
artinya mampu menempatkan diri dalam
Gambar 3. 4 Buah Kolom Utama Gedung Kantor
kehidupa sosial masyarakat.
Walikota Kota Kupang, NTT
Sumber : Jeni Messakh, 2014
Detail dan Ornamentasi
Atap menara (toko uma/ kawuku uma) bagi masyarakat suku Sumba, merupakan satu
kepercayaan bahwa pada bagian atas yang tertinggi itulah tempat berdiamnya sang
pencipta yang dalam kepercayaan masyarakat Sumba adalah marapu (sang pencipta). Pada
setiap rumah (uma batanggu) pada penyelesaian bumbungan pasti ada akhiran yang berbentuk
sebuah tanda pada kedua sisi (ujung) bumbungan.

Sao’ria sendiri sebenarnya tidak memiliki ornamen pada penyelesaian bumbungan dan tidak
memiliki makna tertentu terhadap bumbungan seperti halnya uma batanggu. Ornamen yang
dipasang pada bumbungan atap gedung kantor walikota Kupang, berupa ornamen mirip tanduk
kerbau itu hanya merupakan ornamen tambahan sebagai simbol bagi mosalaki (kepala suku).

Gambar 4. Transformasi Bentuk ornamen pada atap Gedung Kantor Walikota Kota Kupang, NTT
Sumber : Jeni Messakh, 2014

3
Ornamen lain berupa ragam hias (relief/ ukiran) yang terdapat pada bagian dalam Kantor
walikota, adalah ragam hias yang diambil dari motif tenun ikat suku Sumba (pada void) dan
suku Timor (pada kolom). Relief dengan motif tenun yang terdapat pada void kantor walikota
Kupang, adalah ragam hias yang ditempatkan untuk memperindah gedung saja, karena
ragam hias ini tidak terdapat dalam ornamen uma batanggu, karena motif ini adalah motif kain
tenun.

Gambar 5. Penggunaan Motif Timor pada Gedung Kantor Walikota Kota Kupang, NTT
Sumber : Jeni Messakh, 2014

Ragam hias pada kolom terdapat di ruang rapat lantai 3 dan ruang tunggu walikota dan wakil
walikota, ragam hias yang ada juga diambil dari motif tenun ikat suku Timor “ Motif Buna”,
motif buna sendiri tidak mempunyai makna khusus seperti halnya motif tenun pada suku
Sumba. Motif buna dalam tenunannya lebih cenderung menggunakan warna-warna yang cerah
dan beragam, melambangkan pulau Timor didiami oleh beragam suku ada. Motif ini juga yang
dipilih untuk menjadi ragam hias dalam kantor walikota, yang merupakan wujud dari
kehidupan sosial masyarakatnya yang terdiri atas berbagai suku bangsa.

KESIMPULAN
Perkembangan arsitektur vernakular di Nusa Tenggara Timur tentunya banyak mengalami
perubahan seiring dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat. Contohnya pada kasus studi
di atas yang telah mengalami transformasi bentuk maupun fungsi sehingga tentunya sangat
berpengaruh kepada bentukan bangunan yang hadir dengan konsep modern, namun tetap
mengusung budaya lokal. Konsep lokal yang masih melekat pada wujud kantor walikota
Kupang yang sudah mengalami transformasi dengan konsep modern, terdapat pada orientasi
bangunan kearah selatan yang dalam kepercayaan suku sumba adalah sebagai arah
keberentungan, keberhasilan dan kemakmuran. Kolom pada void yang juga mengambil
konsep lokal sumba, serta atap sumba menjadi atap yang monumental. Ini menandakan
bahwa perjalanan budaya yang terjadi pada arsitektur lokal di Indonesia ini tidak kalah menarik
dengan yang berada di Eropa.

Daftar Pustaka :

 Messakh, Jeni. (2014). Akulturasi Yang Mengedepankan Lokalitas Dalam Membentuk


Identitas Arsitektur Nusa Tenggara Timur. E-Journal Graduate
 https://kupang.antaranews.com/berita/5400/pemkot-kupang-bangun-taman-kota

Anda mungkin juga menyukai