1. Mimesis
Proyek 1: Fasilitas Eduwisata Kopi di Bali (tidak terbangun)
Berangkat dari fungsi bangunan yang digunakan sebagai galeri, workshop, kafe,
serta toko souvenir yang berfokus kepada kopi, perancang menggunakan pendekatan
mimesis dari biji kopi sebagai pengekspresian bentuk simbolik mengenai bangunan itu
sendiri.
Dikarenakan penggunaan bentuk
simbolik dari biji kopi ini, denah
bangunan akan terpengaruh sehingga
denah akan berbentuk oval. Hal ini
selanjutnya akan mempengaruhi
peletakkan tata ruang hingga sirkulasi
dalam bangunan.
Fungsi bangunan yang akan digunakan sebagai pusat kebudayaan akhirnya menjadi
pendekatan awal desain bangunan, yang berfokus kepada kebudayaan tionghoa peranakan.
Kebudayaan yang diambil sendiri ialah bentuk naga, yang sangat erat kaitannya dengan
tionghoa peranakan. Pada budaya tionghoa peranakan, naga sendiri dianggap sebagai
pembawa berkat dan kemakmuran, sehingga umumnya lambang atau symbol naga dapat
dengan mudah ditemukan pada arsitektur Cina. Oleh karena itulah bangunan meniru
bentuk naga, dengan berfokus kepada ciri naga yang panjang dan melingkar-lingkar
dengan kepala di bagian atas. Konsep naga juga secara tidak langsung turut diadopsi dalam
zoning bangunan, dengan “kepala naga” memiliki hirarki tertinggi. Hirarki tertinggi pada
bangunan sendiri berupa galeri, yang merupakan fungsi utama dalam site, sedangkan
hirarki terendah berupa ruang-ruang publik yang terletak pada “ekor naga”.
Proyek 3: Teater IMAX Keong Emas (Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur)
Teater Keong Emas yang berada di TMII merupakan salah satu arsitektur
biomimikri. Biomimikri sendiri merupakan salah satu jenis pendekatan mimesis yang
meniru dari makhluk hidup (bio: kehidupan; mimikri:mimesis: imitasi/tiruan). Dalam
kasus proyek kali ini, makhluk hidup yang ditiru sendiri adalah keong. Bentuk teater yang
mengambil bentuk keong ini, secara tidak langsung juga menghasilkan ciri serupa dengan
keong, yakni dalam hal memantulkan suara. Seperti yang kita ketahui, cangkang keong
maupun kerang memiliki ciri dapat menghasilkan suara ketika ditiup angin, dimana suara
ini dihasilkan oleh gema yang terjadi didalam cangkang tersebut. Oleh karena itulah,
bangunan benar-benar tampak hidup, layaknya keong, terlebih lagi dengan fungsi
bangunan yang juga terkait dengan akustik.
2. Akulturasi
Proyek 1: Sasana Temu Budaya Jawa-Jepang di Surakarta (tidak terbangun)
Karena menggunakan pendekatan akulturasi,
konsep yang ada jauh lebih dalam daripada
pendekatan mimesis. Hal ini dapat dicontohkan
dengan proyek ini, dimana perancang
mempertimbangkan budaya dari kedua kultur,
salah satunya ialah ruangan untuk minum teh di
Jepang dan juga pendopo di Jawa, dimana
perancang berusaha menggabungkan kedua hal ini.
Tidak hanya itu, begitupun dengan bentuk rancangan arsitektur secara fisik. Dapat
terlihat bahwa terdapat penggunaan elemen dari masing-masing budaya, yang kemudian
disatukan dan menghasilkan bentuk yang baru. Salah satunya ialah penggabungan bentuk
atap joglo khas Jawa dengan sistem atap yang bertumpuk khas Jepang.
Proyek 2: Selasar Sunaryo Art Space (Bandung, Jawa Barat)
Pada Selasar Sunaryo Art Space, akulturasi yang digunakan ialah akulturasi antara
arsitektur Sunda dengan arsitektur modern. Akulturasi antara keduanya sendiri dapat
ditinjau melalui rumah adat sunda dan juga bahasa arsitektur modern.
Terdapat 3 karakteristik utama
yang terdapat pada lansekap
kampung adat Sunda, yaitu
elemen air, elemen hutan
keramat, dan kontur tanah yang
berundak. Elemen air ditandai
dengan kolam-kolam yang
diletakkan di depan massa galeri
utama dan galeri sayap. Elemen
hutan keramat terdapat pada area
tidak terbangun di dekat mushola, dan ditandai dengan banyaknya ditanami pohon bambu
di berbagai titik lansekap Selasar Sunaryo, sebagaimana pohon bambu merupakan pohon
yang banyak ditemukan di lansekap Jawa Barat. Serta suasana kontur yang berundak,
ditekankan dengan penempatan massa bangunan yang disesuaikan dengan tinggi kontur,
serta sirkulasi sepanjang lansekap yang berundak. Namun, cara menyusun ketiga elemen
tersebut dilakukan dengan gaya modern dan tidak membawa fungsi atau makna lansekap
kampung Sunda. Selain itu terdapat pula berbagai hal hasil akulturasi pada elemen-elemen
bangunan lainnya yang dapat terlihat pada tabel.
Proyek 3: P-House (Salatiga, Jawa Tengah)
2. Elemen badan.
Unsur arsitektur lokal sangat kuat pada
badan bangunan, terutama pada zonasi dan
pembagian ruang serta aktivitas.
Pengaturan alur publik ke privat disusun
dari luar ke dalam, dimana area paling luar
merupakan taman, area tengah area
keluarga, makan dan dapur, sedangkan
area paling dalam adalah kamar tidur.
Prinsip kelokalan yang serupa dengan
material dan konstruksi atap juga
ditemukan pada kolom bangunan yang
menggunakan bambu. Elemen arsitektur
modern ditemukan pada bukaan yang
menggunakan kaca dan rangka besi.
3. Elemen kaki.
Fundamen lantai bangunan menggunakan
material masif yang menyerupai karakter
fundamen rumah tradisional Jawa. Penggunaan
fundamen ini mendukung konsep tradisional yaitu
penentuan hierarki menggunakan perbedaan
ketinggian level lantai bangunan. Namun, yang
membedakan dengan rumah tradisional Jawa
adalah pada rumah tradisonal Jawa hierarki tertinggi pada ruang ibadah, sedangkan pada
P House terdapat pada kamar tidur. Material yang digunakan cukup berbeda karena
menggunakan beton ekspose cetak sedangkan pada rumah tradisonal menggunakan batu
alam. Fundamen lantai untuk mendefinisikan perbedaan ruang.
4. Sintesis
Proyek 1: Fasilitas Penunjang Kampung Wisata Kerajinan Keramik Dinoyo di
Kota Malang
1. Dalam merancang, kita dapat menggunakan beragam jenis pendekatan, namun sudah pasti
pendekatan yang tidak bisa kita lewatkan adalah pendekatan sintesis, yakni pendekatan
yang muncul dari hasil analisis yang kita lakukan. Terlepas dari melakukan pendekatan
secara mimesis ataupun akulturasi, sintesis selalu disertakan (proyek 2 akulturasi turut
menyebutkan pendekatan sintesis pada tabelnya).
2. Walaupun contoh-contoh diatas hanya disertakan pada salah satu jenis pendekatan, bukan
berarti contoh tersebut tidak menggunakan pendekatan lainnya. Hal ini dikarenakan
berbagai pendekatan dapat digunakan dalam merancang, dimana semakin lengkap dan
dalam pendekatan yang dilakukan, bangunan yang dihasilkan tentunya akan jauh lebih
konteks dan nilai arsitekturalnya lebih tinggi, karena mempertimbangkan beragam macam
aspek, yang tidak hanya fungsional namun juga memiliki nilai seni yang tinggi.
LAMPIRAN