Anda di halaman 1dari 106

PENGARUH KETERAMPILAN KEWIRAUSAHAAN

TERHADAP KINERJA USAHA PERTANIAN ORGANIK

ALDILA MAWANTI ATHIRAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Keterampilan


Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha Pertanian Organik adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2019

Aldila Mawanti Athirah


NRP H351160251
RINGKASAN

ALDILA MAWANTI ATHIRAH. Pengaruh Keterampilan Kewirausahaan


terhadap Kinerja Usaha Pertanian Organik. Dibimbing oleh RACHMAT
PAMBUDY dan DWI RACHMINA.

Kewirausahaan di sektor pertanian menjadi isu yang penting di Indonesia,


dimana tantangan pertumbuhan ekonomi ke depan adalah pengangguran dan
kemiskinan. Adanya kewirausahaan dalam sektor pertanian dapat menciptakan
dan menyediakan produk bernilai tambah atau inovasi baru, mewujudkan
masyarakat lebih kreatif, mandiri dan mampu mengembangkan usaha pertanian ke
arah bisnis. Kemampuan petani untuk memiliki kapasitas sebagai wirausahatani
adalah dengan memiliki keterampilan kewirausahaan. Pertumbuhan wirausahatani
yang berkualitas akan diiringi dengan kesadaran akan peningkatan keterampilan
yang sesuai dengan bidang usahanya. Saat ini kita dihadapkan dengan inovasi
pengembangan pertanian kreatif yang mengacu pada 3 (tiga) pilar pembangunan
berkelanjutan, yaitu memanfaatkan sumber daya alam (natural resources) secara
optimal, menggunakan kemajuan teknologi yang ramah lingkungan mengarah
kepada produk hijau (green product), serta memperhatikan tanggung jawab sosial
terhadap pengembangan masyarakat (community development). Sistem pertanian
organik termasuk dalam pilar pembangunan berkelanjutan. Usaha pertanian
organik memiliki hubungan dengan kewirausahaan melalui aktivitas usahatani
yang dilakukan dalam satu proses siklus (teknik usahatani, produksi, pengolahan,
pemasaran). Proses siklus tersebut membutuhkan keterampilan kewirausahaan
yang nantinya akan meningkatkan kinerja usaha. Petani harus mampu menerapkan
keterampilan kewirausahaan di setiap aktivitas usahatani organik yang sesuai
dengan standar pertanian organik. Standar organik tersebut sebagai acuan dalam
aktivitas usahatani organik dan memudahkan petani untuk mengidentifikasi
keterampilan kewirausahaan apa saja yang dibutuhkan dalam mengelola pertanian
organik.
Hal tersebut menjadi dasar dari penelitian pengaruh keterampilan
kewirausahaan terhadap kinerja usaha pertanian organik. Dengan demikian, tujuan
dari penelitian adalah untuk (1) menganalisis tingkat keterampilan kewirausahaan
petani organik, (2) menganalisis kinerja usaha pertanian organik, dan (3)
menganalisis pengaruh keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja usaha
petanian organik. Sebanyak 30 petani padi organik, diambil dengan teknik sensus.
Data analisis dengan SEM-PLS (Structural Equation Model-Partial Least Square)
dengan bantuan software R.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan profesi, keterampilan
manajemen dan keterampilan peluang berada dalam kategori sangat tinggi.
Sedangkan keterampilan kerjasama dan jaringan, dan keterampilan strategi berada
dalam kategori tinggi. Seluruh keterampilan kewirausahaan yang dimiliki petani
organik berada dalam kategori keterampilan tingkat tinggi (entrepreneurial skills).
Kinerja usaha pertanian organik yang terdiri dari produktivitas usahatani berada
dalam kategori sedang, penjualan, dan keuntungan usahatani dalam kategori
menguntungkan. Keterampilan kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja usaha pertanian organik. Kinerja usaha tergantung pada
keterampilan kewirausahaan dan faktor individu serta faktor lingkungan. Indikator
yang paling dominan mempengaruhi keterampilan kewirausahaan adalah faktor
lingkungan. Petani organik dapat meningkatkan kinerja usaha pertanian organik
dengan memperluas jaringan usaha dan merefleksi usahatani dengan memiliki
rencana jangka panjang. Selain itu, dibutuhkan dukungan pemerintah dalam hal
kebijakan atau aturan yang menyediakan lokasi khusus untuk pertanian organik.
Sehingga pertanian organik tidak terkontaminasi oleh pertanian konvensional.
Petani organik juga membutuhkan dukungan lembaga, promosi, dan pemasaran
yang memadai dan tepat sasaran yang sesuai dengan kebutuhan petani organik.

Kata kunci: keterampilan kewirausahaan, pertanian organik, PLS dengan R


SUMMARY

ALDILA MAWANTI ATHIRAH. The Effect of Entrepreneurial Skills on


Organic Farming Performance. Supervised by RACHMAT PAMBUDY and
DWI RACHMINA.

Entrepreneurship in the agricultural sector is an important issue in


Indonesia, where the challenges of future economic growth are unemployment
and poverty. Entrepreneurship in the agricultural sector can create and provide
value-added products or new innovations, realize a more creative, independent
society and be able to develop agricultural businesses. The ability of farmers to
have capacity as entrepreneurs is to have entrepreneurial skills. The quality of
entrepreneurial growth will be accompanied by awareness of the improvement of
skills in accordance with the field of business. At present, we are faced with the
innovation of creative agricultural development which refers to three pillars of
sustainable development, namely use natural resources optimally, using
environmentally friendly technological advancements leading to green products,
and paying attention to social responsibility for community development. Organic
farming systems are included in the pillars of sustainable development. Organic
farming business has a relationship with entrepreneurship through farming
activities carried out in a cycle process (farming techniques, production,
processing, marketing). The cycle process requires entrepreneurial skills which
will improve business performance. Farmers must be able to apply entrepreneurial
skills in every organic farming activity that complies with organic farming
standards. These organic standards serve as a reference in organic farming
activities and make it easier for farmers to identify what entrepreneurial skills are
needed in managing organic farming.
The lack of entrepreneurial skills in the application of organic farming can
be an obstacle in improving business performance. Every farmer who conducts
farming has different skills, whether in the form of basic skills or in the stage of
entrepreneurial skills. This difference can affect the business performance of
farmers (de Wolf and Schoorlemmer 2007). This is the basis of the study of the
influence of entrepreneurial skills on the performance of organic farming
businesses. Thus, the purpose of this study was to (1) analyze the level of
entrepreneurial skills of organic farmers, (2) analyze the performance of organic
farming businesses, and (3) analyze the influence of entrepreneurial skills on the
performance of organic farming businesses. A total of 30 organic paddy farmers,
taken by census technique. Data analysis with SEM-PLS (Structural Equation
Model-Partial Least Square) with software R.
The results of the study indicate that professional skills, management skills
and opportunity skills are in a very high category. Whereas cooperative and
networking skills, and strategy skills are in the high category. All entrepreneurial
skills possessed by organic farmers are in the entrepreneurial skills. The
performance of organic farming business consisting of farming productivity is in
the medium category, sales, and farming profits in the profitable category.
Entrepreneurial skills have a positive and significant effect on organic farming
performance. Business performance depends on entrepreneurial skills and
individual factors and environmental factors. The most dominant indicator of
influencing entrepreneurial skills is environmental factors. Organic farmers can
improve organic farming performance by expanding their business networks and
reflecting farming by having long-term plans. In addition, government support is
needed in terms of policies or rules that provide specific locations for organic
farming. So that organic farming is not contaminated by conventional farming.
Organic farmers also need adequate and targeted institutional support, promotion
and marketing that is suitable for the needs of organic farmers.

Keywords: entrepreneurial skills, organic farming, PLS with R


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH KETERAMPILAN KEWIRAUSAHAAN
TERHADAP KINERJA USAHA PERTANIAN ORGANIK

ALDILA MAWANTI ATHIRAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sains Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Burhanuddin, MMDr Ir Drajat
Martianto, MS
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
limpahan rahmat dan kasih sayangNya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini
dengan judul “Pengaruh Keterampilan Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha
Pertanian Organik”. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak dapat diselesaikan
dengan baik tanpa dukungan banyak pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr Ir Rachmat Pambudy, MS dan Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, M Si
selaku komisi pembimbing atas kontribusi yang sangat besar dan arahan yang
sangat berharga selama penyusunan tesis ini.
2. Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku dosen evaluator pada pelaksanaan
kolokium proposal penelitian atas segala arahan dan masukan dalam
pelaksanaan awal penelitian.
3. Bapak Dr Ir Burhanuddin, MM dan Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku
dosen penguji utama dan penguji wakil program studi pada sidang tesis yang
telah disusun atas segala kritik dan saran dalam penyempurnaan tesis ini.
4. Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku ketua program studi dan Bapak
Dr Ir Suharno, MAdev selaku wakil ketua program studi sains agribisnis yang
terus memberikan arahan serta dukungan moril kepada penulis.
5. Ibu Indah Kusuma Wardhani, SPt M Si selaku ketua Bappeda Kabupaten
Ngawi dan Bapak Kastam, SP selaku penanggung jawab Komunitas Ngawi
Organik Center beserta staf yang telah membantu selama pengumpulan data.
6. Yuni Sulistiyawati, S AB, Dewi Matiawaty Utami, S Pi dan Yusuf selaku
staff kependidikan sains agribisnis yang telah membantu administrasi penulis
dalam menyelesaikan tesis ini .
7. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah memberikan
bantuan dana pendidikan selama menempuh sekolah pascasarjana IPB.
8. Ayu Anisa Amir, Yuniati Malik, Muhammad Arna Ramadhan dan Siswanto
atas waktu, dukungan dan kerjasamanya yang telah diberikan selama
pengumpulan data, pengolahan data hingga tahap penyelesaian tesis.
9. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua atas segala doa,
kesabaran juga kasih sayangnya serta keluarga yang selama ini mendukung
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
10. Seluruh teman-teman Pondok Putri Jayawijaya, White House, MSA 7, Kost
PCH, Mentoring Pasca IPB yang selalu memberikan dukungan dan semangat
dalam proses penyelesaian tesis ini.
11. Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,
namun telah banyak turut memberikan sumbangan saran dan bantuan serta
doa selama penulis kuliah di IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2019

Aldila Mawanti Athirah


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
Ruang Lingkup Penelitian 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Pertanian Konvensional dan Pertanian Organik 7
Keterampilan Kewirausahaan 8
Pengaruh Keterampilan Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha 9
3 KERANGKA PEMIKIRAN 11
Kerangka Pemikiran Teoritis 11
Konsep Keterampilan Kewirausahaan 12
Konsep Kinerja Usaha 16
Keterampilan Kewirausahaan dan Kinerja Usaha 17
Konsep Pertanian Organik 18
Hipotesis Penelitian 21
Kerangka Pemikiran Operasional 21
4 METODE PENELITIAN 23
Lokasi dan Waktu Penelitian 23
Metode Pengumpulan Data 24
Metode Penentuan Sampel 24
Metode Analisis Data 24
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 34
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 34
Agribisnis Pertanian Organik di KNOC 35
Karakteristik Responden 37
Karakteristik Usahatani 39
Keterampilan Kewirausahaan Petani Organik 41
Kinerja Usaha Pertanian Organik 49
Indikator Keterampilan Kewirausahaan 55
Indikator pada Faktor Individu dan Faktor Lingkungan 58
Indikator Kinerja Usaha Pertanian Organik 61
Pengaruh Faktor Individu, Faktor Lingkungan, dan Keterampilan
Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha 62
Pengaruh Faktor Individu terhadap Keterampilan Kewirausahaan 66
Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Faktor Individu 67
Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Keterampilan Kewirausahaan 67
Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kinerja Usaha 68
Pengaruh Keterampilan Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha 69
6 KESIMPULAN DAN SARAN 70
Kesimpulan 70
Saran 71
DAFTAR PUSTAKA 71
LAMPIRAN 78
RIWAYAT HIDUP 90
DAFTAR TABEL
1 Perbandingan luas area organik menurut status sertifikasi tahun 2015 3
2 Kategori dan indikator entrepreneurial skills 14
3 Standar nasional Indonesia untuk sistem pangan organik 18
4 Tujuan utama dan persyaratan rinci dari the common objectives and
requirements of organic standards 19
5 Penentuan kategori jumlah skor berdasarkan persentase kategori
jawaban responden 23
6 Perbandingan dasar penggunaan SEM-lisrel dan SEM-PLS 27
7 Variabel laten eksogen dan endogen 29
8 Jenis beras yang dijual KNOC berdasarkan berat dan harga tahun 2018 36
9 Karakteristik petani responden berdasarkan usia 37
10 Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan 38
11 Karakteristik petani responden berdasarkan pengalaman usahatani
organik 38
12 Karakteristik usahatani responden berdasarkan luas penguasaan lahan
organik 39
13 Karakteristik usahatani responden berdasarkan kepemilikan lahan
organik 40
14 Karakteristik usahatani responden berdasarkan gagasan penanaman 40
15 Tingkat keterampilan profesi petani organik 41
16 Tingkat keterampilan manajemen petani organik 42
17 Tingkat keterampilan peluang petani organik 43
18 Tingkat keterampilan jaringan petani organik 44
19 Tingkat keterampilan strategi petani organik 45
20 Tingkat keterampilan kewirausahaan petani organik 46
21 Tingkat penerapan pertanian organik 49
22 Tingkat produktivitas usahatani padi organik per musim 50
23 Hasil penjualan per hektar per musim usahatani padi organik KNOC
tahun 2017-2018 (dalam ribuan) 51
24 Biaya per hektar per musim usahatani padi organik tahun 2017-2018 52
25 Rata-rata produksi dan penerimaan per hektar per musim pada
usahatani padi organik tahun 2017-2018 (dalam ribuan) 53
26 Variabel reflektif manifest yang tidak valid berdasarkan nilai loading
factor 63
27 Evaluasi uji reliabilitas dan validitas model pengukuran variabel laten
pada pertanian organik 64
28 Nilai R2 variabel laten endogen 64
29 Nilai t statistik pada uji bootstrap 65
DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan area pertanian organik di Indonesia tahun 2012-2015 3
2 Lima konsep dasar entrepreneurial skills of farmer 14
3 Model umum dari perilaku kewirausahaan dan kinerja bisnis 17
4 Kerangka pemikiran operasional penelitian 23
5 Model PLS pengaruh keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja
usaha pertanian organik 33
6 Hasil analisis model awal PLS 62
7 Hasil analisis model akhir PLS 63

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner penelitian keterampilan kewirausahaan 78
2 Nilai produktivitas, penjualan, dan keuntungan usaha padi organik 84
3 Hasil uji validasi variabel manifest berdasarkan nilai loading factor 84
4 Diagram path model t-value 86
5 Syntax R pengaruh keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja usaha
pertanian organik 87
6 Dokumentasi penelitian 88
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kewirausahaan di sektor pertanian menjadi isu yang penting di Indonesia,


dimana tantangan pertumbuhan ekonomi kedepan adalah pengangguran dan
kemiskinan. Sektor pertanian termasuk sektor usaha padat karya yang menyerap
banyak tenaga kerja sehingga sektor pertanian menjadi solusi dari tantangan
tersebut. Pertanian menjadi peluang untuk mendorong kewirausahaan masyarakat
Indonesia, dimana penduduk Indonesia notabenenya bekerja sebagai petani.
Selain menekan angka pengangguran dan kemiskinan, adanya kewirausahaan
dalam sektor pertanian dapat menciptakan dan menyediakan produk bernilai
tambah atau inovasi baru, mewujudkan masyarakat lebih kreatif, mandiri dan
mampu mengembangkan usaha pertanian ke arah bisnis.
Pertanian adalah bisnis yang unik, menciptakan kesempatan kerja,
berinteraksi dengan alam, teknologi, pasar dan masyarakat. Jika pengelolaannya
dikelola dengan baik dan dijadikan peluang bisnis, maka akan meningkatkan
perekonomian keluarga, masyarakat dan sangat berperan terhadap pertumbuhan
perekonomian nasional. Namun, usaha pertanian semakin menantang dengan
variasi harga komoditas yang semakin banyak, ketidakpastian yang terus berlanjut
dengan pola cuaca dan tantangan penurunan syarat perdagangan. Pada saat yang
sama, permintaan akan hasil pertanian sangat penting dan memberikan
kesempatan besar bagi pertanian Indonesia. Tersedianya sumberdaya manusia
petani yang memiliki keterampilan kewirausahaan yang kuat, diharapkan
menjadikan sektor pertanian menjadi usaha yang produktif dan menguntungkan.
Kebutuhan akan keterampilan kewirausahaan pertanian yang lebih baik telah
diidentifikasi sebagai elemen penting bagi petani Indonesia. Untuk menghadapi
tantangan usahatani diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga
dapat mempertahankan keberlanjutan usaha dan meningkatkan kinerja usaha.
Selama ini kinerja usaha ditentukan oleh keterampilan teknis dan
keterampilan manajemen dalam aktivitas usahatani. Mayoritas petani Indonesia
masih mengandalkan kedua keterampilan tersebut sehingga status kewirausahaan
petani masih dalam kategori juru tani dan manajer usahatani. Juru tani yang
berperan mengelola, melaksanakan, dalam memelihara tanaman yang diusahakan.
Sedangkan manajer usahatani lebih menekankan kepada administrasi dalam
usahataninya. Hal ini menunjukkan masih rendahnya keterampilan petani dalam
hal keterampilan kewirausahaan. Keterampilan kewirausahaan atau yang lebih
dikenal dengan entrepreneurial skills merujuk pada status kewirausahaan petani
sebagai wirausahatani (entrepreneur farmer). Di era milenials ini, Indonesia
membutuhkan sosok wirausahatani dalam kuantitas dan kualitas yang memadai.
Entrepreneur farmer merupakan petani yang memiliki wawasan luas dan
keterampilan kewirausahaan. Petani sebagai wirausahatani lebih mengutamakan
pengembangan usahataninya di masa akan datang agar memperoleh keuntungan
bisnis yang maksimal.
Keterampilan kewirausahaan menggambarkan individu yang mengetahui
bagaimana melakukan sesuatu dalam bisnis dan di sisi lain, menggambarkan tugas
dan aktivitas yang perlu diketahui individu tentang bagaimana menjalankan bisnis.
2

(Vesala dan Pyysiäinen 2008). Keterampilan kewirausahaan sangat diperlukan


sebagai kualifikasi kompetensi dalam mencapai kegiatan yang berhubungan
dengan bisnis pertanian. Tanpa keterampilan kewirausahaan dalam mengelola
usaha pertanian, seorang petani tidak akan maksimal dalam meningkatkan kinerja
usahatani. Semakin ketatnya persaingan dalam dunia usaha pertanian,
mengharuskan petani untuk lebih meningkatkan kinerja usahanya yang lebih
berorientasi terhadap bisnis.
Kemampuan petani untuk memiliki kapasitas sebagai entrepreneur farmer
adalah dengan memiliki keterampilan kewirausahaan. Pertumbuhan entrepreneur
farmer yang berkualitas akan diiringi dengan kesadaran akan peningkatan
keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang usahanya. Kemampuan
kewirausahaan petani tercermin dalam entrepreneurial skills yang dimiliki oleh
seorang entrepreneur farmer. Entrepreneural skill terdiri dari: professional skills,
management skills, opportunity skills, cooperation/networking skills, dan strategy
skills. Entrepreneurial skills penting dimiliki petani dalam pengelolaan
usahataninya karena turut berperan dalam mendirikan, menjalankan dan
mengembangkan keuntungan usaha. Hal demikian berkaitan dengan kinerja usaha
(de Wolf dan Schoorlemmer 2007).
Saat ini kita dihadapkan dengan inovasi pengembangan pertanian kreatif
yang mengacu pada 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu
memanfaatkan sumber daya alam (natural resources) secara optimal,
menggunakan kemajuan teknologi yang ramah lingkungan mengarah kepada
produk hijau (green product), serta memperhatikan tanggung jawab sosial
terhadap pengembangan masyarakat (community development). Sistem pertanian
organik termasuk dalam pilar pembangunan berkelanjutan. Konsep dan metode
organik secara umum dapat diartikan sebagai cara bercocok tanam tanpa
menggunakan pupuk dan pestisida sintetis. Semua bahan-bahan yang digunakan,
dari media tanam, pupuk, hingga pestisida, terbuat dari bahan alami sehingga
tanaman menghasilkan bahan pangan yang sehat. Tantangannya adalah petani
membutuhkan keterampilan khusus dalam mengelola setiap sistem pertanian
organik dari hulu hingga hilir sesuai dengan standar pertanian organik.
Keterampilan tersebut berupa keterampilan kewirausahaan. Hal ini dikarenakan
sistem pertanian organik merupakan sebuah inovasi teknologi yang penerapannya
membutuhkan masa transisi untuk mengubah sistem konvensional menjadi sistem
organik.
Seiring berjalannya waktu, pertumbuhan pasar organik semakin pesat baik
pasar domestik maupun pasar internasional. Pasar produk organik dunia
meningkat 20 persen per tahun. Berdasarkan data Research Institute of Organic
Agriculture; International Federation of Organik Agriculture Movements (FiBL;
IFOAM 2017), Amerika Serikat merupakan pasar organik terbesar di dunia
sebesar EUR 35.9 M, diikuti dengan Jerman (EUR 8.6 M), Perancis (EUR 5.5 M)
dan Tiongkok (EUR 4.7 M). Pertumbuhan pasar produk organik di dunia akan
memberikan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan pertanian organik
dalam pemenuhan pasar organik dunia. Selain itu yang menjadi pendorong
pertanian organik adalah semakin meningkatnya jumlah konsumen produk yang
aman dan menyehatkan serta meluasnya gerakan “green consumer”. Kesadaran
konsumen Indonesia untuk mengonsumsi pangan organik cukup tinggi sekitar 94
persen responden sudah pernah mengonsumsi pangan organik, naik 1 persen
3

dibanding tahun 2015 (93 persen). Berbagai alasan melatarbelakangi pilihan


konsumen untuk mengonsumsi organik, 94 persen memilih alasan kesehatan,
sisanya karena menjaga lingkungan dan mengikuti tren (Aliansi Organis Indonesia
2016).

140
120 119.379

100
Luas Area (Ha)

80 77.570 72.320
65.840
60
40
20
0
2012 2013 2014 2015
Tahun

Gambar 1 Pertumbuhan area pertanian organik di Indonesia tahun 2012-2015


Sumber : Aliansi Organis Indonesia 2016

Perkembangan luas area organik di Indonesia tahun 2012-2015 mengalami


fluktuasi. Area pertanian organik yang termasuk di dalamnya adalah lahan
konversi meliputi area yang disertifikasi, dalam proses sertifikasi, tanpa sertifikasi
dan Penjaminan Mutu Organik (PAMOR). Menurut Aliansi Organis Indonesia
(AOI) pada Gambar 1 luas lahan pertanian organik Indonesia pada 2015 adalah
119 379 Ha, meningkat 65 persen dari 2014 seluas 72 320.85 Ha. Pada tahun
2015 tampak kenaikan luas lahan organik Indonesia. Berbagai program
diluncurkan pemerintah, salah satunya Program 1000 Desa Organik yang
diluncurkan Kementerian Pertanian yang ditargetkan terpenuhi pada tahun 2020,
seperti yang dilansir beberapa media cetak dan online tanah air. Jumlah tersebut
merupakan luas area pertanian organik yang terdiri dari area yang telah
disertifikasi pihak ketiga dalam proses sertifikasi, PAMOR, dan tanpa sertifikasi
pada Tabel 1. Luasan ini didominasi oleh area tanpa sertifikasi (149 896.03 Ha)
sebesar 57.4 persen.

Tabel 1 Perbandingan luas area organik menurut status sertifikasi tahun 2015
Tipe Area Pertanian Organik Luas (Ha) Persen (%)
Area disertifikasi 79 833.83 30.57
Area dalam proses sertifikasi 31 381.44 12.02
Area dengan sertifikasi PAMOR 36.00 0.01
Area tanpa sertifikasi 149 896.03 57.39
Total 261 147.30 100.00
Sumber: Aliansi Organis Indonesia 2016
4

Data dari Aliansi Organis Indonesia (2016) menemukan bahwa


permasalahan yang ada pada pertanian organik terkait dengan masih banyaknya
area tanpa sertifikasi organik di Indonesia. Masalah ini dikarenakan terdapat
beberapa produsen yang sertifikat organiknya dibekukan atau dicabut dengan
berbagai alasan terutama karena sudah tidak mengikuti kaidah-kaidah organik
yang diacu oleh lembaga sertifikasi. Hal ini berkaitan dengan kualitas petani
organik yang memiliki keterampilan dan pengetahuan rendah dalam
pengaplikasian teknologi pertanian organik. Sistem pertanian menjadi lebih
produktif dan menguntungkan ketika kualitas sumber daya manusia meningkat,
terutama dalam bentuk kapasitas petani untuk berinovasi dan menyesuaikan
sistem pertanian yang mereka lakukan.
Keberhasilan dan kegagalan suatu inovasi teknologi dapat disebabkan oleh
berbagai faktor yaitu keterampilan teknis dan manajemen petani (Rogers 2003 dan
Soekartawi 1988). Namun, adanya kesesuaian antara tingkat kerumitan inovasi
dengan keahlian petani dapat menjadi salah satu pendukung sebuah inovasi lebih
cepat dan dapat diterapkan oleh petani (Indraningsih 2017). Kurangnya
keterampilan kewirausahaan dalam penerapan sistem pertanian organik dapat
menjadi penghambat dalam peningkatan kinerja usaha. Menurut Rougoor et al.
(1998), Sadjudi (2009), dan Nugroho (2010) menyatakan bahwa kewirausahaan
berpengaruh terhadap kinerja usaha. Petani tidak hanya mengetahui keterampilan
teknis dan keterampilan manajemen dalam berusahatani tetapi juga mampu
menerapkan keterampilan kewirausahaan dalam setiap aktivitas usahatani. Setiap
petani yang melakukan usahatani memiliki keterampilan yang berbeda-beda, baik
berupa keterampilan dasar atau sudah dalam tahap keterampilan kewirausahaan.
Perbedaan ini dapat mempengaruhi kinerja usaha petani (de Wolf dan
Schoorlemmer 2007). Sehingga, perlu dilakukan penelitian untuk mengenai
pengaruh keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja usaha khususnya dalam
sistem pertanian organik.

Perumusan Masalah

Keterampilan kewirausahaan pertanian menjadi perhatian utama dalam


penelitian ini. Hal ini muncul karena permasalahan yang dialami petani Indonesia
yang hanya mengandalkan keterampilan teknis dan keterampilan manajemen
dalam aktivitas usahatani. Usahatani yang baik adalah usahatani yang mampu
bertahan dan berkelanjutan dalam menghasilkan keuntungan yang optimal. Untuk
mencapai hal tersebut, dibutuhkan keterampilan kewirausahaan dalam
berusahatani. Keterampilan kewirausahaan mampu mengelola bisnis secara
inovatif, kreatif dan berdaya saing. Di zaman milenial ini, petani dituntut untuk
berinovasi namun tetap menjaga keseimbangan makhluk hidup. Konsumen sudah
mulai cerdas dalam hal memilih produk pertanian yang berkualitas dan aman
untuk dikonsumsi. Petani di Indonesia diharapkan mampu menangkap peluang
tersebut.
Saat ini, salah satu pertanian yang menjadi perhatian konsumen dan bahkan
dunia adalah pertanian organik. Pertanian organik muncul atas dampak dari
pertanian masa lalu yang memproduksi sebanyak-banyaknya untuk pemenuhan
pangan. Hal ini menimbulkan persoalan pertanian secara keseluruhan. Persoalan
5

tersebut bukan lagi berada pada tataran bertani sebagai unit usaha, namun sudah
meluas ke persoalan sosial, dan kebudayaan bertani itu sendiri. Pertanian organik
memberi insentif dalam melestarikan dan membangun pengetahuan petani
tradisional/pribumi tentang pertanian dan ekosistem lokal. Penerapan langkah-
langkah inovatif ini tidak merugikan petani, seringkali karena petani terlebih
dahulu harus berinvestasi dalam proses belajar. Dengan kapasitas inovasi yang
rendah, petani harus meluangkan waktu untuk mempelajari keragaman praktik
yang lebih banyak (UNEP dan UNCTAD 2008). Proses pembelajaran tersebut
terbentuk dari interaksi keterampilan yang dimiliki petani. Interaksi skill dapat
menunjang pengembangan keterampilan kewirausahaan. Petani mengembangkan
keterampilan kewirausahaan mereka terutama melalui proses belajar sambil
melakukan aktivitas usahatani karena rendahnya pendidikan formal yang dimiliki
petani. Perubahan perspektif sangat penting untuk dipelajari dan hal itu akan
terjadi ketika petani mengubah perspektif mereka setelah terpapar dengan gagasan
baru dan berbagai cara untuk melakukan sesuatu (Vesala dan Pyysiäinen 2008).
Sistem pertanian organik adalah suatu bentuk sistem usahatani yang inovatif
dimana diperlukan keterampilan yang berbeda dari sistem usaha konvensional.
Petani harus mampu menerapkan keterampilan kewirausahaan di setiap aktivitas
usahatani organik yang sesuai dengan standar pertanian organik. Standar organik
tersebut sebagai acuan dalam aktivitas usahatani organik dan memudahkan petani
untuk mengidentifikasi keterampilan kewirausahaan apa saja yang dibutuhkan
dalam mengelola pertanian organik.
Salah satu kendala dalam pengembangan kewirausahaan adalah lemahnya
kualitas sumberdaya manusia yang berkaitan dengan keterampilan kewirausahaan.
Seharusnya, dengan adanya pertanian organik dapat dijadikan peluang
penumbuhan wirausahatani yang potensial di pedesaan. Lebih dari 35 juta tenaga
kerja nasional atau 26.14 juta rumah tangga masih menggantungkan hidupnya
pada sektor pertanian (Renstra 2015). Hal ini menjadi potensi tenaga kerja
pertanian sehingga aktivitas kewirausahaan pertanian yang banyak dilakukan pada
skala pedesaan atau rural entrepreneur menjadi penting (Henderson 2006;
McElwee 2005; Pichardo et al. 2012). Sumberdaya petani tersedia dalam jumlah
yang sangat memadai, namun demikian kuantitas petani tersebut belum diimbangi
dengan kualitas kewirausahaan yang dimiliki. Masih banyak usaha pertanian
rakyat yang motif usahanya belum sesuai dengan paradigma bisnis modern, tidak
sedikit petani melakukan kegiatan usahataninya masih berorientasi semi komersial,
bahkan beberapa diantaranya bersifat subsisten. Hal ini menunjukkan bahwa
petani masih belum benar-benar memandang pertanian sebagai bisnis. Proses
transformasi petani dari yang semula memiliki orientasi dalam usaha dengan
motif usaha tradisional (semi komersial atau subsisten) menjadi paradigma bisnis
modern (komersial) atau memiliki jiwa wirausaha, memerlukan kesadaran dan
kesukarelaan dari petani itu sendiri.
Usaha pertanian organik memiliki hubungan dengan kewirausahaan melalui
aktivitas usahatani yang dilakukan dalam satu proses siklus (teknik usahatani,
produksi, pengolahan, pemasaran). Proses siklus tersebut membutuhkan
keterampilan kewirausahaan yang nantinya akan meningkatkan kinerja usaha.
Kemampuan keterampilan kewirausahaan seorang petani menjadi elemen bagi
cepat lambatnya proses pembelajaran kewirausahaan yang dilakukan seorang
petani. Inovasi yang dilakukan pada setiap aktivitas usahataninya juga memiliki
6

kemungkinan pengaruh dalam proses pembelajaran. Keterampilan kewirausahaan


berpengaruh terhadap kinerja usaha yang akan membantu petani dalam
mendirikan, menjalankan dan mengembangkan keuntungan bisnis (de Wolf dan
Schoorlemmer 2007). Semakin tinggi keterampilan kewirausahaan yang dimiliki
petani maka akan semakin meningkatkan kinerja usaha. Berdasarkan uraian
tersebut peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam pengaruh keterampilan
kewirausahaan petani terhadap kinerja usaha pertanian organik. Berikut beberapa
permasalahan yang muncul :
1. Bagaimana tingkat keterampilan kewirausahaan petani organik?
2. Bagaimana kinerja usaha pertanian organik?
3. Apakah keterampilan kewirausahaan berpengaruh terhadap kinerja usaha
pertanian organik?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya penting


untuk melakukan penelitian tentang pengaruh keterampilan kewirausahaan
terhadap kinerja usaha pertanian organik dengan tujuan:
1. Menganalisis tingkat keterampilan kewirausahaan petani organik.
2. Menganalisis kinerja usaha pertanian organik.
3. Menganalisis pengaruh keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja usaha
petanian organik.

Manfaat Penelitian

Hasil penulisan yang telah dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat


sebagai: (1) keilmuan dan pengajaran kewirausahaan pertanian, (3) informasi
dalam mengidentifikasi keterampilan kewirausahaan yang dimiliki petani organik,
dan (4) nilai khasanah keilmuan dalam pengukuran keterampilan kewirausahaan,
kinerja usaha pertanian organik dan pengaruhnya terhadap kinerja usaha pertanian
organik.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada petani organik dalam hal keterampilan


kewirausahaan. Model yang akan dibangun pada penelitian ini terbatas pada
keterampilan kewirausahaan yang terdiri dari lima keterampilan, yakni
keterampilan profesi, keterampilan manajemen, keterampilan peluang,
keterampilan kerjasama/jaringan, dan keterampilan strategi. Kelima keterampilan
kewirausahaan tersebut akan dilihat pengaruhnya terhadap kinerja usaha pertanian
organik.
7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pertanian Konvensional dan Pertanian Organik

Pertanian konvensional adalah pertanian yang juga dikenal sebagai


pertanian revolusi hijau. Revolusi hijau adalah sebuah program untuk memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat. Program ini diharapkan dapat mencapai
swasembada atau kecukupan pangan dengan menggunakan varietas unggul untuk
berproduksi tinggi, pestisida kimia, pupuk kimia dan penggunaan mesin-mesin
pertanian untuk mengolah tanah dan memanen hasil pertanian. Seiring
berjalannya waktu, kemampuan Indonesia dalam berswasembada pangan tidak
bertahan lama. Tanpa kita sadari jika penggunaan teknologi dan input pertanian
yang berbasis kimiawi tersebut merusak lingkungan. Permasalahan yang dihadapi
banyak petani adalah kesehatan dan kesuburan tanah yang semakin menurun. Hal
ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yaitu tanah cepat kering, retak-retak bila
kurang air, lengket bila diolah, lapisan olah dangkal, asam dan padat, produksi
sulit meningkat bahkan cenderung menurun. Kondisi ini semakin buruk karena
penggunaan pupuk kimia terus meningkat dan penggunaan pestisida untuk
mengendalikan organisme pengganggu tanamanpun meningkat. Perilaku
usahatani lebih tertuju pada cara memupuk tanaman, bukan cara memupuk tanah
agar tanah menjadi subur, sehingga dapat menyediakan sekaligus memberikan
banyak nutrisi pada tanaman. Penelitian yang dilakukan oleh Pretty dan Ball
(2001) mengatkan bahwa konsekuensi negatif dari penggunaan pupuk kimia dan
pestisida yang lebih tinggi menimbulkan pengurangan produktivitas tanaman dan
penurunan kualitas sumber daya alam.
Dampak yang ditimbulkan pertanian konvensional memberikan perhatian
besar akan keberlanjutan pertanian di masa depan. Pertanian organik adalah solusi
untuk masalah ketergantungan input kimia dan juga untuk mencapai keberlanjutan
sektor pertanian dalam jangka panjang. Penelitian Cavigelli et al. (2009)
membandingkan kinerja ekonomi jangka panjang antara metode pertanian organik
dan pertanian konvensional di kawasan Atlantik tengah. Perbandingan dilakukan
untuk organic grain dan forage. Dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
pada tingkat harga premium hasil bersih (net return) pertanian organik adalah 2.4
kali lebih tinggi dari pada hasil pertanian konvensional; sebaliknya risiko
pertanian organik adalah 1.7 lebih rendah dibanding pertanian konvensional.
Kelebihan metode bertani organik yang lain adalah dalam jangka panjang hasil
produksinya meningkat dan sebaliknya, biaya produksi menurun. Hasil penelitian
yang telah diuraikan tersebut menjadi informasi bahwa dibutuhkan waktu transisi.
Hasil penelitian Beban (2008) yang membahas isu tentang pertanian organik
sebagai sebuah strategi pembangunan untuk pemberdayaan petani skala kecil di
Kamboja, menyatakan bahwa tujuan petani bergabung dengan inovasi sistem
pertanian organik adalah terutama untuk meningkatkan kesehatan dan mengurangi
biaya input pertanian. Penelitian ini juga menunjukkan manfaat yang diperoleh
petani setelah ikut serta dalam pertanian organik adalah; petani merasa
kesehatannya meningkat, ketahanan pangan meningkat, meningkatkan pendapatan,
dan petani memiliki kontrol atas mata pencahariannya. Beban (2008) juga
8

mengungkapkan faktor utama yang menentukan dampak dari inovasi pertanian


organik adalah; tingkat sumberdaya individu, kekuatan kelompok tani, kebijakan
dan nilai-nilai dari organisasi pendukung.
Secara umum, beberapa hasil penelitian mengatakan bahwa pertanian organik
memberikan keuntungan yang lebih besar dan berpengaruh nyata terhadap
pendapatan petani (da Costa 2012 dan Rahmawati et al. 2012). Pertanian organik
memberikan hasil yang positif terhadap para petani. Mereka merasakan manfaat
pertanian organik karena mampu mendongkrak pendapatan 20-30 persen
(Mayrowani et al. 2010). Secara umum, banyak penelitian yang mengevaluasi
manfaat ekonomi dari pertanian organik. Sehingga dapat merekomendasikan
penerapannya sebagai sistem produksi yang lebih menguntungkan (Offermann
dan Nieberg 2000, Canavari et al. 2004, Bolwig et al. 2009, Argiles dan Brown
2010). Manfaat ekonomi adalah salah satu faktor pendorong utama untuk
mengkonversi pertanian organik yang bersertifikat (Cobb et al. 1999, Pimentel et
al. 2005, Kerselaers et al. 2007, Bolwig et al. 2009). Tersedianya informasi
tentang manfaat konversi ke pertanian organik, petani akan mengadopsi teknologi
ini karena berbagai manfaat yang diperoleh (Parrott dan Elzakker 2003).

Keterampilan Kewirausahaan

Keterampilan kewirausahaan adalah konsep hubungan yang mengacu pada


individu maupun aktivitas. Di satu sisi, menggambarkan individu yang
mengetahui bagaimana melakukan sesuatu dalam bisnis. Di sisi lain,
menggambarkan tugas dan aktivitas yang perlu diketahui individu tentang
bagaimana menjalankan bisnis. Harus ditekankan bahwa konsep keterampilan
kewirausahaan menjelaskan tentang individu (Vesala dan Pyysiäinen 2008).
Hasil wawancara pakar yang dilakukan di enam negara, yang dilaporkan
dalam studi percontohan, menunjukkan lima kategori keterampilan. Dalam sebuah
studi oleh de Wolf dan Schoorlemmer (2007) meneliti tentang keterampilan
kewirausahaan petani di tiga divisi usaha pertanian yaitu pertanian konvensional,
pertanian bernilai tambah dan pertanian diversifikasi. Hasil menunjukkan bahwa
terdapat lima keterampilan kewirausahaan yang dibutuhkan petani agar sukses
dalam bisnis diantaranya: keterampilan profesi (keterampilan produksi
tanaman/hewan, keterampilan teknis); keterampilan manajemen (mengelola
keuangan dan keterampilan administrasi, keterampilan mengelola sumber daya,
keterampilan mengelola pelanggan, keterampilan perencanaan umum);
keterampilan peluang (mengenali peluang bisnis, orientasi pasar dan pelanggan,
kesadaran akan ancaman, keterampilan inovasi, keterampilan manajemen resiko);
keterampilan kerjasama/jaringan (keterampilan kerjasama dengan petani lain dan
perusahaan, keterampilan jaringan, keterampilan kerjasama, keterampilan
kepemimpinan) dan keterampilan strategi (keterampilan menerima dan
memanfaatkan umpan balik, keterampilan refleksi, keterampilan mengawasi dan
evaluasi, keterampilan konseptual, keterampilan strategi perencanaan,
keterampilan strategi pengambilan keputusan, keterampilan mengatur tujuan).
Hasil penelitian Littunen (2000) menunjukkan bahwa keterampilan kewirausahaan
adalah suatu proses belajar, yang pada gilirannya mempengaruhi karakteristik
personal dari pengusaha.
9

Beberapa penelitian yang berfokus pada keterampilan kewirausahaan petani


telah dilakukan oleh Kodithuwakku dan Rosa (2002) yang telah mewawancarai 49
petani padi di Srilanka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani yang sukses
adalah petani yang mempunyai kemampuan dalam mengelola sumber daya
melalui jaringan dan mereka mampu menangkap peluang yang ada. Mereka
memulai dalam mengembangkan bisnisnya dengan cara mengelola lahan
pertanian padi. Mereka memiliki keterampilan manajemen yang baik dan mereka
mampu menggabungkan keterampilan-keterampilan yang ada. Pada umumnya
ketidaksuksesan petani komersil disebabkan karena rendahnya managerial skills
(bagian dari marketing skills). Sebagian besar karena kesalahan manajemen yang
disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menangani alokasi sumber daya yang
efisien.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Pyysiäinen et al. (2006) yang
menganalisis kasus petani susu perah di Finlandia. Petani tersebut
mendiversifikasi ke pembuatan keju, tetapi bisnis keju tersebut berhenti.
Kegagalan disebabkan karena kurangnya keterampilan kewirausahaan dalam hal
kerjasama/jaringan. Pada kasus ini, petani belum mampu menyesuaikan
keterampilan yang dimiliki dalam mengelola bisnis keju. Keterampilan yang
dimiliki masih pada tahapan konvensional sementara dalam bisnis keju
dibutuhkan keterampilan yang erat dengan orientasi pasar. Sehingga, keterampilan
kewirausahaan sebagai keterampilan meta-level dan maknanya beragam yang
harus disesuaikan dengan bentuk kegiatan usaha. Penafsiran ini menyiratkan
bahwa adanya perbedaan dalam bentuk kegiatan usaha antara subsektor. Menurut
Lans et al. (2004), meneliti petani tanaman hias yang mempunyai inovasi di setiap
rantai nilai. Hal ini berarti bahwa pada usaha budidaya tanaman hias, petani tidak
hanya sebagai produsen bahan pokok tetapi petani yang memberikan nilai tambah
dalam aktivitas usaha tani.
Semua penelitian yang dikemukakan memberikan dukungan kesimpulan
umum bahwa kewirausahaan dapat diidentifikasi melalui pendekatan konsep
keterampilan kewirausahaan. Keterampilan kewirausahaa dalam studi
kewirausahaan pada bisnis pertanian dapat diukur melalui penilaian diri dengan
pengukuran kuesioner dan analisis statistik (Vesala dan Pyysiäinen 2008).
Analisis statistik yang berdasarkan respon pada pertanyaan terstruktur tidak
mengungkap lebih banyak, maka dibutuhkan studi wawancara secara kualitatif.
Pada penelitian Sa‟adah et al. (2015) dalam mengukur tingkat perilaku petani
organik menggunakan skor. Hal ini juga dilakukan Ningsih (2014) dalam
mengukur tingkat keterampilan kewirausahaan dan karakteristik wirausaha
menggunakan analisis deskriptif dan skor.

Pengaruh Keterampilan Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha

Keterampilan kewirausahaan merupakan kunci pengembangan aktivitas


kewirausahaan petani dalam menerapkan inovasi yang saat ini banyak diterapkan
melalui program-program kebijakan di negara-negara khususnya di Eropa.
Program ESoF (Entrepreneurial Skills of Farmer) yang diterapkan di Eropa,
merupakan salah satu bagian dari proyek pengembangan kewirausahaan di sektor
pertanian bagi negara-negara EU (Europe Unity) yang saat ini banyak diteliti
keberhasilannya oleh para pembuat kebijakan dan akademisi. Beberapa hasil
10

penelitian tersebut menyatakan bahwa keterampilan kewirausahaan merupakan


inti dari pengembangan kewirausahaan, khususnya bagi perbaikan kualitas
sumberdaya manusia (petani).
Kinerja usaha (business performance) adalah merujuk pada tingkat
pencapaian atau prestasi dari perusahaan dalam periode waktu tertentu (Suci
2009). Kinerja perusahaan dapat dilihat dari tingkat penjualan, tingkat keuntungan,
pengembalian modal, tingkat turn over dan pangsa pasar yang diraihnya (Jauch
dan Glueck 1988). Ardiana et al. (2010) mengatakan bahwa peningkatan
kompetensi yang mencakup keterampilan pengusaha dalam berbisnis dapat
meningkatkan kinerja usaha agar mampu bersaing baik secara lokal maupun
global. Samir dan Larso (2011) juga mengatakan bahwa pengusaha yang memiliki
keterampilan dalam berbisnis berpotensi untuk menghasilkan pendapatan ekonomi
guna mencapai daya saing global serta untuk perbaikan kinerja usaha. Sejalan
dengan Azis et al. (2014) yang mengemukakan bahwa kemampuan pengusaha
dapat meningkatkan kinerja bisnis sehingga dapat mengurangi tingkat
pengangguran di suatu daerah. Keh, Nguyen, dan Ng (2007) menjelaskan kaitan
antara kinerja bisnis dan pendapatan, dimana kinerja adalah keinginan untuk
tumbuh yang tercermin dalam pendapatan. Kinerja petani yang kurang optimal
dalam pengelolaan saprotan, manajemen usaha, permodalan, dan pemasaran hasil
mengakibatkan peningkatan pendapatan tidak tercapai. Berdasarkan beberapa
penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa keterampilan pengusaha berperan
penting dalam meningkatkan kinerja usaha.
Lerner et al. (1997) mempelajari keterampilan bisnis sebagai satu variabel
yang mempengaruhi keberhasilan usaha kecil. Keterampilan bisnis tersebut
mengacu pada keterampilan dalam hal pembentukan dan penanganan ide dengan
banyak orang. Man et al. (2002) mengemukakan bahwa pengusaha harus
mengawasi peluang dan sumber daya yang ada dan memiliki kemampuan untuk
mengintegrasikan tersebut. Penelitian yang dilakukan Putra (2014) tentang
pengaruh keterampilan wirausaha terhadap kinerja usaha UMKM di kota Bekasi,
mengemukakan salah satu solusi untuk meningkatkan kinerja usaha adalah dengan
meningkatkan keterampilan berwirausaha. Jenis penelitian yang digunakan adalah
deskriptif verifikatif dan metode yang digunakan adalah explanatory survey.
Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan nilai perhitungan yang diperoleh
melalui analisis regresi sederhana diperoleh temuan bahwa terdapat pengaruh kuat
yang signifikan dari keterampilan berwirausaha terhadap kinerja usaha. Dalam
meningkatkan kinerja usaha, para pelaku UMKM harus senantiasa meningkatkan
keterampilan berwirausaha dalam menjalankan usahanya agar usaha yang
dijalankan mendapatkan hasil yang memuaskan.
Sejalan dengan penelitian Irawan dan Mulyadi (2016) mengenai
keterampilan kewirausahaan terhadap keberhasilan usaha distro. Hasil yang
diperoleh dalam penelitian melalui analisis regresi sederhana menyatakan bahwa
keterampilan wirausaha memiliki pengaruh sebesar 74.2 persen terhadap
keberhasilan usaha. Dari hasil penelitian terhadap pengujian hipotesis dapat
diketahui bahwa keterampilan wirausaha memiliki pengaruh positif terhadap
keberhasilan usaha. Peneliti merekomendasikan upaya yang harus dilakukan
distro anggota komunitas Kreative Independent Clothing Community (KICC) di
11

Kota Bandung untuk mencapai keberhasilan usaha dengan memperhatikan


keterampilan wirausaha yang dimiliki oleh distro dan memaksimalkannya agar
berhasil dalam menjalankan usahanya.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan Muharastri (2013) yang mengukur
pengaruh kompetensi kewirausahaan terhadap kinerja usaha peternakan melalui
korelasi Kendall Tau (τ) test dan Kendall W test. Kompetensi kewirausahaan
mencakup keterampilan kewirausahaan. Hasil menunjukkan bahwa kompetensi
kewirausahaan dengan kinerja usaha peternak sapi perah tidak memiliki hubungan
nyata positif. Berbeda halnya dengan penelitian Ramadhan (2017) menggunakan
analisis Structural Equation Modeling (SEM). Variabel kompetensi kewirausahaan
berpengaruh terhadap kinerja usaha. Kompetensi managerial peternak lebih
berpengaruh terhadap peningkatan variabel kompetensi kewirausahaan peternak
dengan nilai koefisien pengaruh (γ) sebesar 0.78. Hal ini menunjukkan peningkatan
kompetensi managerial seperti peningkatan terhadap kemampuan operasional,
kemampuan pengelolaan SDM, kemampuan pemasaran, kemampuan pengelolaan
keuangan, serta kemampuan bernegosiasi dan berkomunikasi dapat meningkatkan
kompetensi kewirausahaan pada diri peternak.
Kinerja adalah konsep multidimensional yang terbentuk dari financial
performance dan non financial performance (Rauch et al. 2009). Begitu pula
yang dilakukan Arisena et al. (2014) yang memaparkan kinerja suatu usahatani
tidak hanya dilihat dari segi produksi maupun pendapatan, tapi juga dapat dilihat
dari peningkatan aset yang dimiliki petani serta kepuasan petani melakoni
pekerjaannya. Nursiah (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kinerja
usaha dapat dilihat dari segi persepsi pelaku usaha, persepsi mereka terhadap
pendapatan yang mereka peroleh, keuntungan, perluasan wilayah pemasaran serta
ketahanan usaha yang mereka jalankan. Jauch dan Glueck (1988) mengatakan
bahwa kinerja bisnis dapat dilihat dari tingkat penjualan, profitabilitas, tingkat
pengembalian modal, tingkat omset dan memperoleh pangsa pasar, senada yang
dikemukakan oleh Purwaningsih dan Kusuma (2015) bahwa kinerja usaha dapat
diukur, yakni: 1) pertumbuhan penjualan; 2) pertumbuhan modal; 3) penambahan
tenaga kerja; 4) pertumbuhan pasar dan pemasaran; dan 5) pertumbuhan
keuntungan/laba.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Pada perumusan masalah diajukan beberapa pertanyaan penelitian yang


mendasari dilakukannya penelitian ini. Dari hasil telaah literatur yang disajikan
pada bagian tinjauan pustaka, didapatkan jawaban-jawaban dari hasil studi
empiris dengan kesimpulan yang berbeda-beda. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan kesamaan hasil satu sama lain, namun tidak sedikit yang
memberikan hasil saling bertentangan. Oleh karena itu, pada bagian ini akan
dijelaskan teori-teori yang berhubungan dengan penelitian sebagai arahan dalam
penelitian dan penyajian hasil sekaligus pembanding bagi hasil-hasil penelitian
empiris. Teori-teori tersebut antara lain mengenai konsep kewirausahaan, konsep
12

keterampilan kewirausahaan dan kinerja usaha, konsep pertanian organik, serta


teori lainnya yang sesuai dengan topik penelitian. Teori-teori tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut.

Konsep Keterampilan Kewirausahaan


Penelitian pengelolaan pertanian, isu-isu manajemen strategi dan
keunggulan kompetitif sangat relevan dengan konsep kewirausahaan. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dikaji oleh Poppe dan Meijl (2004), perbedaan
kinerja ekonomi antara pertanian memiliki perbedaan cukup besar berdasarkan
keunggulan kompetitif sumberdaya berwujud dan tidak berwujud sebagai faktor
strategis penting. Hal ini diikuti dengan penelitian selanjutnya yang dilakukan
oleh Porter (1980), perbedaan ini dapat dikaitkan dengan penggunaan strategi
yang menghasilkan keunggulan kompetitif, baik dari segi biaya rendah atau
diferensiasi. Teori keunggulan kompetitif berbasis sumber daya menekankan
sumber daya yang nyata dan tidak berwujud sebagai faktor strategis yang penting.
Perspektif ini menunjukkan peran petani individu sebagai wirausahawan yang
menggunakan strategi dan sumber daya, seta keuntungan normal sebagai tujuan
pertanian yang berperan sebagai elemen penting dalam pertanian.
Kewirausahaan adalah konsep yang lebih fleksibel dan juga dapat
digunakan sebagai perspektif untuk menganalisis dan membandingkan usaha dan
aktor bisnis. Konsep kewirausahaan dapat digunakan untuk menganalisis
bagaimana bisnis dan aktivitas bisnis berasal, dijalankan dan dikendalikan.
Bahkan dalam perluasan skala produksi primer dibutuhkan inovasi mengenai cara
pelaksanaan dan pengelolaan bisnis. Kewirausahaan merujuk pada tujuan
ekonomi dalam meningkatkan keuntungan dan mengoptimalisasi efisiensi
ekonomi atau daya saing. Sedangkan pengertian kewirausahaan menurut
penelitian dalam proyek Uni Eropa adalah digunakan untuk menjelaskan
fenomena dari nilai daya cipta dalam bisnis baru maupun yang sudah ada (Vesala
dan Pyysiäinen 2008). Kewirausahaan memiliki pengertian yang beragam. Hal ini
didukung oleh McElwee (2005) mengatakan bahwa kewirausahaan adalah sebuah
konsep yang harus didefinisikan dengan jelas dikarenakan begitu banyak
tingkatan interpretasi yang ada pada tinjauan pustaka.
Beberapa elemen kunci dari konsep kewirausahaan yang digunakan pada
penelitian Uni Eropa terdiri dari kewirausahaan berhubungan dengan manusia dan
aktivitasnya; aktivitas kewirausahaan fokus pada ketika memulai,
mengembangkan dan meneruskan bisnis; pengusaha harus mampu menemukan
cara dalam menciptakan dan mengembangkan bisnis. Konsep inilah sebagai
literatur pokok dari kewirausahaan (McElwee 2005). Terdapat kesamaan dengan
penelitian yang dilakukan Rudmann (2008) yaitu konsep kewirausahaan tidak
hanya berhubungan dengan strategi persaingan akan tetapi menyangkut hal
kepribadian kewirausahaan sebagai pengaruh tingkah laku dan kesuksesan
kewirausahaan. Kewirausahaan dapat didekati dengan bantuan konsep
keterampilan kewirausahaan. Penggunaan konsep ini menyiratkan bahwa
meskipun petani sebagai individu yang dipandang sebagai pusat atau unsur pokok
kewirausahaan, tetapi juga berfokus pada kegiatan dan tugas individu,
karakteristik petani seperti sifat kepribadian atau mentalitas yang berlebihan. Titik
13

awal semacam ini bukanlah yang paling umum dalam studi kewirausahaan,
namun memiliki keuntungan dalam memperkenalkan perubahan dan pembelajaran
dalam kewirausahaan seseorang.
Penelitian ini berfokus pada keterampilan kewirausahaan “entrepreneurial
skills” sebagai kebutuhan dalam kepribadian kewirausahaan. Entrepreneurial
skills dapat dibedakan kedalam dua grup; (1) personal attitudes dan karakteristik,
dan (2) skills yang berhubungan dengan basic farm management, business
development dan strategic farm planning management. Bastia dalam de Wolf dan
Schoorlemmer (2009) mengatakan bahwa skills secara spesifik dibutuhkan untuk
setiap personal dan karakteristik bisnis yang berbeda, sehingga dibutuhkan skill
tertentu dalam pengembangan kewirausahaan bagi pertanian dan petani. Skills
didefinisikan menurut de Wolf et al. (2007) dalam dua kalimat: “(1) Skills are
related to task and activities. For example, a farmer need certain skills to be able
to...deal with customers/...grow crops/...identify business opportunities etc. (2)
Skills can be developed by learning and experience, exluding traits and
personality characteristics”.
Kegiatan wirausaha membutuhkan beragam keterampilan. Ada empat
kategori keterampilan kewirausahaan menurut Lichtenstein dan Lyons (2001),
Lyons (2002), (2003). Keempat kategori tersebut adalah technical skills,
managerial skills, entrepreneurial skills, dan personal maturity skills.
Lichtenstein dan Lyons (2001) telah mengembangkan sebuah sistem dan metode
untuk mengelola pengembangan perusahaan regional dan pengusaha yang disebut
sebagai Entrepreneurial Development System (EDS). Smith (2005) menggunakan
sistem ini sebagai dasar untuk memilih sistem pengembangan wirausaha di
lingkungan menengah Amerika. Sistem ini dibangun berdasarkan tiga dasar
pemikiran: 1) kesuksesan tertinggi dalam berwirausaha membutuhkan penguasaan
seperangkat keterampilan; 2) keterampilan ini dapat dikembangkan dan 3)
pengusaha tidak semua terjun ke kewirausahaan pada tingkat keterampilan yang
sama (Lyons dan Lyons 2002). Konsep keterampilan kewirausahaan tersebut,
umumnya digunakan pada perusahaan atau ventures.
Konsep keterampilan kewirausahaan merupakan turunan dari elemen
kapasitas kewirausahaan yang dikembangkan oleh Argyle (1990) dalam Varga
(2010), de Wolf dan Schoorlemmer dalam Rudmann (2008). Konsep ini
merupakan hasil penelitian-penelitian dari program ESoF (Entrepreneur Skill of
Farmer) (EC 2006). Konsep ini menitikberatkan pada pemahaman keterampilan
kewirausahaan yang dimiliki oleh seorang petani untuk menjadi seorang
wirausaha (McElwee 2005). Perkembangan teori ini dilakukan berdasarkan pada
hasil penelitian-penelitian yang dilakukan pada program ESoF
“Developing the Entrepreneurial Skills of Farmers” di European Union pada
tahun 2005-2008. Konsep entrepreneurial skills berdasarkan research project
ESoF oleh de Wolf dan Schoorlemmer (2007) dijelaskan pada Gambar 2.
14

Kompleks, keterampilan
tingkat tinggi:
Keterampilan Mendirikan, menjalankan +
Peluang mengembangkan keuntungan
bisnis
(contoh: menemukan pasar
Keterampilan kewirausahaan
untuk produknya sendiri atau
Keterampilan Keterampilan mengembangkan produk
Strategi Jaringan baru untuk pasar yang ada)

Keterampilan tingkat
rendah:
Keterampilan dasar “melakukan” pertanian
Keterampilan Keterampilan
Manajemen profesi (contoh: memerah
susu sapi, manajemen
keuangan)

Gambar 2 Lima konsep dasar keterampilan kewirausahaan petani


Sumber : de Wolf dan Shoorlemmer 2007

Berdasarkan konsep model keterampilan kewirausahaan petani dapat


dijelaskan bahwa lima keterampilan yang menjadi komponen penting agar
dimiliki petani untuk menjadi seorang wirausaha adalah keterampilan profesi,
keterampilan manajemen, keterampilan peluang, keterampilan kerjasama/jaringan,
dan keterampilan strategi. Menurut Argyle (1990) dalam Varga (2010)
menyatakan bahwa keterampilan kewirausahaan dapat dimodelkan dalam bentuk
piramida, yang menunjukkan tingkatan keterampilan yang berbeda-beda. Varga
(2010) dan Rudman et al. (2009) menyatakan bahwa model piramida
wirausahatani pada tingkat keterampilan dasar merupakan kebutuhan
keterampilan yang harus dicapai untuk mengembangkan tingkatan keterampilan
selanjutnya. Sehingga tanpa minimum tingkatan keterampilan pada model
piramida terbawah, keterampilan yang berada paling atas tidak dapat
dikembangkan dengan sempurna.
Keterampilan kewirausahaan yang menjadi tingkatan keterampilan dasar
menurut de Wolf dan Schoorlemmer (2007) dikategorikan menjadi (1)
keterampilan profesi, dan (2) keterampilan manajemen. Sebagai sintesis dari
penelitian tersebut bahwa keterampilan profesi dan manajemen adalah persyaratan
dasar bagi petani. Keterampilan sebagai stimuli atau pendorong untuk
membangkitkan semangat, meningkatkan kemampuan personal petani terutama
dalam hal komunikasi, manajemen, melakukan inovasi, mengembangkan jaringan
usaha, merangsang kreativitas dan ide, meningkatkan kemampuan untuk
menangkap peluang bisnis dan merealisasikannya. Sedangkan keterampilan
peluang, kerjasama/jaringan, dan strategi dalam keterampilan kewirausahaan
petani dapat dikategorikan sebagai tingkatan keterampilan yang tinggi/kompleks
sehingga ketiga keterampilan tersebut layak disebut sebagai keterampilan
kewirausahaan.
Keterampilan tersebut dipandang sebagai keterampilan wirausaha yang
sepatutnya dimiliki petani. Petani yang mempelajari keterampilan kewirausahaan
tidak menyiratkan bahwa keterampilan lain dianggap tidak relevan atau tidak
15

penting. Keterampilan tersebut dibutuhkan untuk menemukan cara dan strategi


dalam meningkatkan keuntungan bisnis, merealisasikan peluang bisnis dan
mengembangkan bisnis agar tetap berkelanjutan. Upaya dalam membandingkan
keterampilan yang ada pada literatur penelitian dapat dianggap sebagai bagian
dari kualitas yang dimiliki seorang pengusaha (Man et al. 2002 dan European
Commission 2006). Secara lebih jelas kategori keterampilan kewirausahaan petani
dapat diklasifikasikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kategori dan indikator keterampilan kewirausahaan


Keterampilan Kategori keterampilan
No. Indikator keterampilan
Kewirausahaan Pertanian kewirausahaan
1. Keterampilan Keterampilan profesi 1)Keterampilan produksi
pembelajaran, tanaman
Keterampilan fisik 2)Keterampilan teknis
2. Keterampilan membaca, Keterampilan 1)Keterampilan manajemen
Keterampilan matematika, manajemen keuangan dan administrasi
Komunikasi informasi, 2)Keterampilan sumber daya
Keterampilan teknologi, manusia
Keuangan dan administrasi 3)Keterampilan mengelola
konsumen
4)Keterampilan rencana
umum
3. Perencanaan persepsi Keterampilan peluang 1)Mengenali peluang bisnis
peluang 2)Orientasi pasar dan
konsumen
3)Kesadaran akan
keterampilan yang dimiliki
4)Keterampilan manajemen
resiko
5)Keterampilan inovasi
4. Pengumpulan informasi, Keterampilan 1)Keterampilan dalam
Keterampilan komunikasi kerjasama/jaringan bekerjasama dengan petani
dan keterampilan bahasa dan perusahaan
asing 2)Keterampilan jaringan
3)Keterampilan kerjasama
dalam kelompok
4)Keterampilan
kepemimpinan
5. Kreativitas, Keterampilan strategi 1)Keterampilan menerima
Orientasi hasil, dan memanfaatkan umpan
Keterampilan berpikir balik
logis, Keterampilan 2)Keterampilan refleksi
menyelesaikan masalah, 3)Keterampilan pengawasan
Keterampilan analisis dan dan evaluasi
umpan balik 4)Keterampilan konseptual
5)Keterampilan strategi
6)Keterampilan pengambilan
keputusan
7)Keterampilan penetapan
tujuan usaha
Argyle (1990) dalam de Wolf dan de Wolf dan Schoorlemmer
Varga (2009) Schoorlemmer (2007) (2007); Rudmann (2008)
Sumber: de Wolf dan Schoorlemmer 2007
16

Konsep Kinerja Usaha


Kinerja merupakan gambaran mengenai hasil yang sudah dicapai dalam
melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya. Menurut Riyanti
(2003) kinerja usaha dapat dijadikan ukuran keberhasilan, penilaian dari kinerja
usaha dapat menjadi masukan untuk perbaikan atau peningkatan kinerja suatu
organisasi.
Menurut Drucker (1993) menyatakan bahwa kinerja usaha mempunyai lima
dimensi yaitu dimensi fisiologis, dimensi psikologis, dimensi sosial, dimensi
ekonomi, dan dimensi keseimbangan. Dimensi fisiologis mempunyai gambaran
bahwa manusia dapat bekerja dengan baik apabila bekerja dengan berbagai
macam tugas sesuai dengan kemampuan fisiknya. Dimensi psikologis mempunyai
gambaran bahwa apabila sesorang memperoleh kepuasan dari pekerjaannya akan
memberikan kinerja yang baik dibandingkan dengan mereka yang tidak
menikmati pekerjaannya. Dimensi sosial mempunyai gambaran bahwa bekerja
merupakan hubungan sosial dengan pekerja lainnya. Dimensi ekonomi
mempunyai gambaran bekerja merupakan suatu kebutuhan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Dimensi keseimbangan adalah sesuatu yang diperoleh dari
pekerjaan dengan kebutuhan hidup akan memberikan semangat kepada seseorang
untuk berusaha lebih baik dan rajin dalam mencapai keseimbangan hidupnya.
Selanjutnya konsep kinerja usaha dikonseptualisasikan dengan menggunakan lima
dimensi yang diusulkan oleh Hisrich and Brush (1985). Dimensi ini meliputi
peningkatan penerimaan, kenaikan keuntungan, kemampuan menghadapi
persaingan, ekspansi usaha dan prestasi usaha. Variabel kinerja usaha yang paling
sering digunakan meliputi keberlangsungan usaha, penambahan tenaga kerja, dan
profitabilitas (Srinivasan et al. 1994).
Setiap pekerjaan memiliki standar kinerja masing-masing, sehingga sebuah
kinerja dapat dikatakan baik ketika mampu memenuhi atau melebihi standar yang
telah ditetapkan sebelumnya. Standar yang dimaksud adalah standar teknologi
inovasi dan standar prosedur operasional usaha. Penerapan standar yang baik akan
memberikan kinerja usaha yang baik pula. Menurut Fatchiya et al. (2016) bahwa
penerapan teknologi inovasi pertanian berperan dalam meningkatkan
produktivitas usahatani. Hal ini juga sejalan dengan Arifin (2000) yang
mengatakan bahwa salah satu jalan untuk meningkatkan perekonomian di
pedesaan adalah melalui inovasi teknologi khususnya teknologi pertanian.
Studi yang dilakukan oleh Bititci et al. (2000) menjelaskan bahwa kinerja
suatu bisnis dapat diukur dari tingkat penjualan, biaya penjualan, aset yang
dimiliki, citra merek dan aset tetap yang dimiliki oleh perusahaan. Amstrong
(2004) menambahkan kinerja usaha dapat diukur berdasarkan pendapatan,
penjualan, output, produktivitas, biaya, penerimaan layanan, reaksi pelanggan,
adanya keberlangsungan dan pertumbuhan usaha. Berdasarkan kajian teoritis dan
empiris sebelumnya, kinerja usaha dalam pertanian organik yang dianggap
penting dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penerapan pertanian organik
Penerapan pertanian organik adalah sejauhmana petani organik menerapkan
aturan pertanian organik di setiap aktivitas usahatani yang tertuang dalam standar
pertanian organik dan Standard Operational Procedure (SOP).
17

2. Produktivitas
Produktivitas merupakan istilah dalam kegiatan produksi sebagai
perbandingan antara luaran (output) dengan masukan (input). Produktivitas dapat
digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan suatu usaha dalam menghasilkan
produk. Sehingga semakin tinggi perbandingannya, berarti semakin tinggi produk
yang dihasilkan.
3. Penjualan
Penjualan adalah jumlah hasil panen yang dijual kepada konsumen.
Penjualan ini menunjukkan seberapa besar petani menjual hasil panen kepada
konsumen.
4. Keuntungan
Keuntungan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penerimaan
dikurangi dengan biaya tetap dan biaya variabel selama satu kali panen.
Keuntungan sering juga diartikan sebagai pendapatan usahatani yang diterima
oleh petani.
Delmar (1996) menggambarkan model umum perilaku kewirausahaan dan
kinerja usaha yang dapat dilihat pada Gambar 3. Pada model ini terdapat empat
komponen utama yaitu individu, lingkungan, kewirausahaan dan kinerja. Kinerja
ditentukan oleh perilaku wirausaha dan respons dari lingkungan, karena bisnis
akan berjalan apabila terdapat permintaan akan barang dan jasa yang ditawarkan
oleh perusahaan.

Individu
Perilaku
Kinerja Bisnis
Kewirausahaan
Lingkungan

Gambar 3 Model umum dari perilaku kewirausahaan dan kinerja bisnis


Sumber: Delmar (1996)

Perilaku kewirausahaan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh


wirausaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Komponen ini dibentuk oleh
individu dan lingkungan. Individu mencakup kemampuan, pengalaman dan
motivasi, sedangkan komponen lingkungan meliputi lingkungan individu dan
lingkungan eskternal seperti dukungan pemerintah. Individu dipengaruhi oleh
lingkungan dan lingkungan juga berpengaruh terhadap kinerja. Dapat disimpulkan
bahwa kinerja bisnis tergantung pada perilaku kewirausahaan dan faktor individu
serta faktor lingkungan. Teori Delmar (1996) digunakan dalam penelitian ini pada
keterampilan kewirausahaan.

Keterampilan Kewirausahaan dan Kinerja Usaha


Petani yang belum dan kurang mempunyai jiwa kewirausahaan senantiasa
kesulitan mengelola dan mengembangkan diversifikasi usaha secara produktif
ditengah potensi sumberdaya lokal yang melimpah. Untuk itu, tidak dapat
dipungkiri kewirausahaan memang mempunyai fungsi penting sebagai motor
penggerak petani dalam mengembangkan usaha pertanian, sehingga kinerja petani
18

tidak lagi hanya diukur melalui teknik budidaya saja (Dumasari 2014). Menurut
Krisnamurthi (2001) kewirausahaan dipandang bukan hanya sekedar sebagai
pengetahuan praktis, tetapi lebih cenderung pada suatu gaya hidup dan prinsip-
prinsip tertentu yang akan mempengaruhi kinerja usaha, jika konsep ini dimiliki
oleh semua pelaku pertanian, maka dapat dipastikan pertanian akan lebih
berkembang dan tumbuh dengan pesat.
Peningkatan kinerja petani dalam usaha integrasi tanaman dan ternak
dipengaruhi oleh faktor sumberdaya manusia (SDM), sebagaimana yang
diungkapkan oleh Pambudy dan Dabukke (2010) pengembangan SDM pertanian
atau pengusahatani (wirausaha-agribisnis) merupakan prioritas yang perlu
diperhatikan, sebab SDM pertanian tersebut yang merencanakan, melaksanakan
dan menanggung risiko produksi, juga memutuskan untuk mengadopsi atau
menunda penerapan suatu teknologi untuk mendapatkan nilai tambah. Selain itu
pentingnya peran sumberdaya manusia dalam pencapaian keunggulan kompetitif
juga diungkapkan oleh Krisnamurthi (2001), yaitu faktor manusia menjadi faktor
yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian keunggulan kompetitif, karena
pada manusia akan diperoleh kreativitas dan inovasi, pada manusia juga melekat
kemampuan dan keberanian serta sikap memanfaatkan peluang dan mengatasi
kesulitan. Penguasaan dan pemanfaatan teknologi serta inovasi juga akan terletak
pada manusia, disamping kemampuan untuk mendapatkan modal, informasi dan
jaringan usaha.
SDM yang berkualitas dan terampil sangat dibutuhkan dalam menjalankan
usaha. SDM tersebut berupa keterampilan kewirausahaan yang berpengaruh
terhadap kinerja bisnis. Hal ini dikemukakan oleh de Wolf dan Schoommer dalam
Rudmann (2008) yang membedakan antara keterampilan kewirausahaan tinggi
dan rendah. Keterampilan kewirausahaan yang kompleks/tinggi dapat mendirikan,
menjalankan dan mengembangkan bisnis yang menguntungkan seperti
menemukan pasar untuk produknya atau mengembangkan produk baru untuk
pasar yang telah tersedia. Sedangkan keterampilan kewirausahaan yang
basic/rendah hanya mampu melakukan usahatani seperti memerah susu sapi,
mengatur keuangan.

Konsep Pertanian Organik


Pertanian organik adalah sistem produksi yang menopang kesehatan tanah,
ekosistem dan manusia. Ini bergantung pada proses ekologi, keanekaragaman
hayati, siklus yang disesuaikan dengan kondisi setempat, dan bukan penggunaan
input dengan efek buruk. Pertanian organik menggabungkan tradisi, inovasi dan
sains untuk memberi manfaat bagi lingkungan bersama dan mempromosikan
hubungan yang adil dan kualitas hidup yang baik untuk semua pihak yang terlibat
(IFOAM 2004). Prinsip-prinsip pertanian organik berfungsi untuk menginspirasi
gerakan organik dalam keanekaragaman pertanian. Pertanian organik didasarkan
pada prinsip kesehatan, prinsip ekologi, dan prinsip keadilan. Sistem pertanian
organik telah ditemukan memiliki manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi
(Pimentel et al. 2005). Sistem pertanian organik harus memenuhi kaidah standar
organik yang telah ditetapkan dalam penentuan persyaratan untuk produksi,
konversi, penanganan, penyimpanan, pengolahan dan pengemasan. Hal ini juga
dikemukakan oleh Elzakker dan Eyhon (2010) bahwa untuk memastikan
19

kepatuhan terhadap standar, petani menjalani sistem verifikasi, dimana mereka


dipantau setiap tahun oleh lembaga sertifikasi independen. Hal ini dibutuhkan
keterampilan kewirausahaan dalam memenuhi standar pertanian organik.
Proses dalam penerapan pertanian organik dibutuhkan waktu konversi atau
disebut sebagai tahapan masa transisi dari sistem konvensional ke organik. Pada
masa transisi dari sistem konvensional ke organik menyebabkan menurunnya
produktivitas dalam jangka waktu lebih dari tiga tahun (Herawati et al. 2014).
Pertanian transisi adalah pertanian organik yang berasal dari lahan konvensional
yang sedang dalam peralihan. Pada fase transisi petani biasanya akan mengalami
kerugian sehingga hasil pertanian pada masa transisi cenderung menurun drastis
dibandingkan dengan pola pertanian konvensional. Kegiatan yang dapat dilakukan
pada masa transisi tersebut misalnya mengurangi takaran penggunaan pupuk
kimia dalam dosis rendah terutama pada tanah yang miskin unsur hara. Kemudian
seiring berjalannya waktu dalam proses pembangunan kesuburan tanah melalui
penggunaan pupuk organik yang berkesinambungan maka penggunaan pupuk
kimia berkadar hara tinggi dapat dikurangi dan digantikan seluruhnya oleh pupuk
organik (Geovannucci, 2007).
Semakin tingginya kesadaran masyarakat Indonesia akan kebutuhan hidup
sehat dan munculnya berbagai penyakit baru telah memicu berbagai produksi
bahan makanan kembali menggunakan proses alami atau „back to nature‟. Tidak
sedikit pula petani di Indonesia yang kemudian beralih menggunakan metode
yang kita sebut pertanian organik. Pertanian organik mendapatkan popularitas
sebagai salah satu pilihan yang dapat meningkatkan ekonomi pedesaan dan
produksi makanan sehat secara berkelanjutan. Tentunya, memberikan kontribusi
untuk pencapaian SDGs (Sustainable Development Goals) nomor satu, dua dan
nomor tujuh dalam menghilangkan kemiskinan, kelaparan dan meningkatkan
kelestarian lingkungan. Organik adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa
suatu produk telah diproduksi sesuai dengan standar sistem pangan organik dan
disertifikasi oleh lembaga sertifikasi organik yang telah terakreditasi. Produk
organik adalah suatu produk yang dihasilkan sesuai dengan standar sistem pangan
organik termasuk bahan baku pangan olahan organik, bahan pendukung organik,
tanaman dan produk segar tanaman, ternak dan produk peternakan, produk olahan
tanaman, dan produk olahan ternak (termasuk non pangan). Produk tanaman
adalah semua hasil yang berasal dari tanaman yang masih segar dan tidak
mengalami proses pengolahan (No.64/Permentan/OT.140/5/2013).
Ketentuan mengenai kaidah-kaidah pertanian organik yang diterapkan di
Indonesia adalah sesuai dengan Standar Nasional Indonesia untuk Sistem Pangan
Organik yaitu SNI 6729:2016 (No 64/Permentan/OT.140/5/2013). SNI 6729:2016
mencantumkan tata cara dan aturan penggunaan bahan yang dilarang,
diperbolehkan, dan yang diperbolehkan secara terbatas pada lampiran A dan B.
Aturan penggunaan bahan yang diterbitkan bisa berbeda antar negara produsen.
Sebagai contoh, di Indonesia dan beberapa negara yang mayoritasnya beragama
Islam melarang penggunaan pupuk yang berasal dari kotoran babi dan manusia.
Adapun Standar Nasional Indonesia untuk Sistem Pangan Organik tahun 2016
dapat dilihat pada Tabel 3.
20

Tabel 3 Standar nasional Indonesia untuk sistem pangan organik


No. Standar Pangan Organik
1. Tanaman Segar dan Produk Tanaman
Manajemen produksi tanaman:
 Konversi
 Pemeliharaan manajemen organik
 Produksi paralel dan produksi terpisah
 Pencegahan kontaminasi
 Pengelolaan lahan, kesuburan tanah dan air
 Pemilihan tanaman dan varietas
 Manajemen ekosistem dan keanekaragaman dalam produksi tanaman
 Pengelolaan organisme pengganggu tanaman (OPT)
Ternak dan Produk Ternak
Prinsip Umum
Sumber/asal ternak
Masa Konversi
Nutrisi
Perawatan Kesehatan
Pemeliharaan dan Pengangkutan Ternak
Kandang Ternak
Mamalia
Pengelolaan Kotoran
2. Penanganan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan dan pengemasan
 Manajemen pascapanen
 Pengemasan
 Penyimpanan dan Pengangkutan
3. Pelabelan dan klaim
4. Ketelusuran dan dokumentasi rekaman
5. Produk organik asal pemasukan
6. Persyaratan bahan lain yang tidak terdapat pada lampiran
7. Sertifikasi
8. Inspeksi
Sumber: Standar Nasional Indonesia 2016

Standar organik juga diatur oleh badan standar organik internasional yaitu
Federasi Internasional Gerakan Pertanian Organik (IFOAM) merupakan
organisasi internasional yang memberikan dukungan penuh terhadap sistem
pertanian organik dan demokratis. IFOAM mendukung gerakan pertanian dunia
dengan mengimplementasikan standar pertanian organik pada organisasi petani
dan badan-badan sertifikasi multinasional, memastikan kredibilitas dan
kelangsungan sistem pertanian organik, keberlanjutan ekonomi dan sosial. Norma
IFOAM adalah dasar Sistem Jaminan Organik IFOAM terdiri dari tiga dokumen:
The Common Objectives and Requirements of Organic Standards (COROS) -
IFOAM Standards Requirements; The IFOAM Standard for Organic Production
and Processing; dan The IFOAM Accreditation Requirements for Bodies
Certifying Organic Production and Processing. Adapun standar yang berlaku saat
ini berdasarkan pada norma IFOAM tahun 2014 ditunjukkan pada Tabel 4.
21

Tabel 4 Tujuan utama dan persyaratan rinci dari the common objectives and
requirements of organic standards
No. The Common Objectives and Requirements of Organic Standards
1. Pengelolaan Organik bersifat Jangka Panjang, Ekologis dan Berbasis
Sistem
2. Kesuburan Tanah Bersifat Jangka Panjang dan Berbasis Biologis
3. Masukan Sintetis pada semua Tahap Rantai Produk Organik terhadap
Bahan Kimia Berbahaya yang Terus-Menerus Dihindari/Diminimalkan
4. Pencemaran dan Degradasi Unit Produksi/Pengolahan dan Lingkungan
Sekitar dari Kegiatan Produksi/Pengolahan Diminimalkan
5. Teknologi Tertentu yang Tidak Terbukti, Tidak Wajar dan Berbahaya
Dikeluarkan dari Sistem
6. Integritas Organik Dipertahankan Sepanjang Rantai Pasok
7. Identitas Organik Disediakan dalam Rantai Pasok
Sumber : IFOAM 2014

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka dapat disusun hipotesis penelitian


sebagai berikut:
1. Petani organik diduga memiliki keterampilan kewirausahaan dan tingkat
keterampilan kewirausahaan yang dimiliki petani organik diduga tinggi atau
disebut sebagai entrepreneurial skills.
2. Kinerja usaha pertanian organik diduga tinggi dalam hal penerapan
pertanian organik, produktivitas, penjualan, dan keuntungan usaha.
3. Keterampilan kewirausahaan diduga mempengaruhi kinerja usaha. Semakin
tinggi keterampilan kewirausahaan yang dimiliki petani maka akan semakin
meningkatkan kinerja usaha pertanian organik.

Kerangka Pemikiran Operasional

Kewirausahaan berfokus pada penerapan hal-hal baru dari sebuah kegiatan


usaha. Penerapan hal baru dalam kegiatan usaha ini dapat dilakukan dengan
menciptakan barang dan jasa baru atau yang sudah ada kemudian
memasukkannya pada pasar baru. Saat ini, muncul pembaharuan berupa
perubahan paradigma pembangunan pertanian menuju sistem pertanian yang
berkelanjutan, tidak eksploratif dan ramah lingkungan. Pembaharuan ini berbeda
sekali dengan sistem bertani yang telah dilakukan oleh petani-petani kita selama
ini (selama ini petani telah terbiasa dengan sistem pertanian yang cenderung
eksploratif, menggunakan input-input kimiawi yang tidak ramah lingkungan).
Tingginya tingkat serangan hama pada tanaman menyebabkan petani bergantung
pada pestisida kimia dalam melakukan pengendalian hama di lahannya. Untuk
dapat menghadapi perubahan paradigma pembangunan pertanian dibutuhkan
adanya perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan serta teknologi yang
dapat diterapkan petani sebagai pelaku utama dalam sektor pertanian. Petani tidak
hanya dituntut berubah pengetahuan, sikap dan keterampilannya, namun juga
22

harus memutuskan untuk menerapkan dan mengimplementasikan inovasi tersebut


serta menyesuaikannnya dengan kondisi lingkungan usahataninya (kemampuan
adaptasi) melalui keterampilan kewirausahaan.
Keterampilan kewirausahaan digunakan untuk mengelola sistem pertanian
organik yang memiliki peluang inovasi dan pengembangan aktivitas
kewirausahaan. Sehingga, petani membutuhkan specific skill untuk melaksanakan
kegiatan multiatribut aktivitas usahataninya. Peluang tersebut sudah selayaknya
disambut dengan baik, mengingat Indonesia memiliki cukup banyak sumber daya
alam dan sumber daya manusia. Selain itu, permintaan akan produk organik dari
masa ke masa akan terus meningkat seiring dengan kesadaran manusia akan
pentingnya kesehatan dan kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi peluang pasar
pertanian organik sehingga petani organik dapat meningkatkan ekonomi dalam
berusaha tani. Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah bahwa petani
yang memiliki kemampuan keterampilan kewirausahaan yang tinggi akan
memiliki peluang untuk meningkatkan kinerja usaha dalam aktivitas usahataninya
sehingga mampu mengembangkan aktivitas bisnis dan menjadi aktor entrepreneur
farmer.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah petani organik memiliki
keterampilan kewirausahaan dan sejauhmana tingkat keterampilan kewirausahaan
yang dimiliki petani organik, apakah keterampilan yang dimiliki tergolong rendah
(level of basic skills) atau tinggi (level of entrepreneurial skills). Entrepreneurial
skills yang diukur meliputi lima variabel skills menurut de Wolf dan
Schoorlemmer dalam Rudmann (2008) yang merupakan kategori keterampilan
petani, yaitu keterampilan profesi, keterampilan manajemen, keterampilan
peluang, keterampilan kerjasama/jaringan dan keterampilan strategi. Kelima
variabel ini akan dianalisis penerapannya dalam pertanian organik serta
pengaruhnya terhadap kinerja usaha pertanian organik. Kinerja usaha pada
penelitian ini diadaptasi dari Fatchiya et al. (2016), Amstrong (2004), Rudmann
(2008), de Wolf dan Schoorlemmer (2007), Wahyuningsih (2015); Sapar (2006);
Dirlanudin (2010); Riyanti (2003) bahwa kinerja usaha diukur dengan penerapan
teknologi pertanian organik, produktivitas, penjualan, dan keuntungan. Pada
akhirnya pemahaman tentang pengaruh keterampilan kewirausahaan terhadap
kinerja usaha dalam pertanian organik akan membentuk petani sebagai aktor
petani wirausaha (entrepreneur farmer). Secara keseluruhan, kerangka
operasional yang menjadi tujuan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
23

Peluang Kewirausahaan Pertanian Organik dan


Petani sebagai Pelaku Bisnis di Sektor Pertanian

Umumnya kinerja usaha ditentukan oleh keterampilan teknis dan


keterampilan manajemen

Status kewirausahaan petani masih dalam tahap juru tani dan manajer
usahatani

Dibutuhkannya spesific skill dan kewirausahaan berupa keterampilan


kewirausahaan dalam mengelola
pertanian organik

Keterampilan Kewirausahaan Petani :

1. Keterampilan profesi
Tingkat dasar atau
2. Keterampilan manajemen tingkat tinggi/
3. Keterampilan peluang entrepreneurial skills
4. Keterampilan jaringan/kerjasama
5. Keterampilan strategi

Kinerja Usaha:

1. Penerapan pertanian organik


2. Produktivitas
3. Penjualan
4. Keuntungan

Pengaruh keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja usaha pertanian


organik

Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional penelitian

4 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Komunitas Ngawi Organik Center (KNOC) yang


berlokasi di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan
daerah tersebut sudah menerapkan sistem pertanian organik yang telah
tersertifikasi organik dan sebagai pusat budidaya pertanian organik di Kabupaten
Ngawi. Pengambilan dan pengolahan data dilakukan pada bulan April hingga Mei
2018. Analisis data hingga pelaporan hasil penelitian dilakukan pada bulan Juni
hingga November 2018.
24

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan


pengamatan. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengamatan
mendalam. Pengumpulan data melalui wawancara dilakukan dalam bentuk
wawancara langsung kepada petani dan melihat langsung kegiatan sistem
pertanian organik untuk mendapatkan data secara akurat.

Metode Penentuan Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah semua petani padi organik yang ada di
Komunitas Ngawi Organik Center (KNOC). Sampel responden yang digunakan
dalam penelitian ini adalah petani padi organik yang diambil dengan teknik sensus.
Jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini 30 petani padi organik. Untuk
analisis Partial Least Square (PLS) besar sampel minimal yang direkomendasikan
berkisar antara dari 30-100 (Ghozali 2014).

Metode Analisis Data

Data dan informasi yang diperoleh selanjutnya akan diolah untuk dilakukan
analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan
dengan analisis non parametik deskriptif untuk mendeskripsikan keterampilan
kewirausahaan dan sistem pertanian organik. Sedangkan data kuantitatif
menggunakan pembobotan dengan menurunkan indikator dari lima variabel
keterampilan kewirausahaan dan analisis usahatani pertanian organik. Data
tersebut diolah dengan bantuan program microsoft excel 2010 dan dianalisis
dengan analisis Structural Equation Modelling (SEM) pendekatan Partial Least
Square (PLS) dengan bantuan program software R untuk mengetahui pengaruh
keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja usaha pertanian organik.

Analisis Pengukuran Keterampilan Kewirausahaan


Untuk menjawab tujuan pertama, keterampilan kewirausahan yang dimiliki
petani organik dengan mendeskripsikan keterampilan kewirausahaan melalui
wawancara mendalam sesuai fenomena keterampilan kewirausahaan petani
organik di lapangan. Kemudian diukur melalui lima variabel skills yaitu:
ketrampilan profesi, keterampilan manajemen, keterampilan peluang,
keterampilan kerjasama/jaringan, dan keterampilan strategi. Tingkat keterampilan
kewirausahaan petani dalam sistem pertanian organik menggunakan skor yang
telah diolah sebagai kriteria keterampilan kewirausahaan petani berdasarkan
konsep de Wolf dan Schoorlemmer 2007, standar SNI 2016. Adapun indikator
dari lima variabel keterampilan dan kriteria setiap variabel dijelaskan pada Tabel
2 dan di dalam kuesioner penelitian.
Cara perhitungan persentase (%) tingkat keterampilan kewirausahaan dari
masing-masing indikator kelima keterampilan kewirausahaan oleh seluruh petani
responden adalah sebagai berikut:

Total skor
Persentase skor keterampilan kewirausahaan = x 100%
Total skor maksimum
25

Dimana:
Total skor = ∑ (b x r)
Total skor maksimum = (bm x r x jk)

Keterangan:
b = bobot (1-4)
r = responden (30 orang)
bm = bobot maksimum (4)
jk = jumlah masing-masing indikator keterampilan kewirausahaan

Setelah diketahui persentase jawaban responden, kemudian hasil


perhitungan dikelompokkan berdasarkan kategori jawaban yang telah ditentukan
pada Tabel 5. Perhitungan persentase skor ini digunakan untuk memudahkan
dalam menentukan kategori jawaban keterampilan kewirausahaan responden.
Jumlah indikator yang digunakan setiap keterampilan berbeda menyebabkan
perbedaan jumlah skor tertinggi pada setiap keterampilan kewirausahaan.

Tabel 5 Penentuan kategori jumlah skor berdasarkan persentase kategori jawaban


responden
Persentase Kategori Jawaban
No Kategori Skor
(%)
1 0-25 Sangat Rendah
2 26-50 Rendah
3 51-75 Tinggi
4 76-100 Sangat Tinggi

Analisis Pengukuran Kinerja Usaha Pertanian Organik


Untuk mengukur kinerja usaha pertanian organik, terdiri dari tiga kinerja
usaha yaitu penerapan teknologi pertanian organik, produktivitas dan keuntungan.
Pertama, penerapan pertanian organik diukur menggunakan Standar Nasional
Indonesia (SNI) 6729:2016. Adapun indikator dari standar pertanian organik
dijelaskan pada Tabel 3. Cara perhitungan persentase (%) tingkat penerapan
pertanian organik dari masing-masing indikator standar pertanian organik oleh
seluruh petani responden adalah sebagai berikut:

Total skor
Persentase skor penerapan pertanian organik = x 100%
Total skor maksimum

Dimana,
Total skor = ∑ (b x r)
Total skor maksimum = (bm x r x jk)

Keterangan:
b = bobot (1-4)
r = responden (30 orang)
bm = bobot maksimum (4)
jk = jumlah masing-masing indikator penerapan pertanian organik
26

Kedua, tolak ukur produktivitas padi organik dalam penelitian ini


menggunakan rata-rata produktivitas sentra padi organik di Tasikmalaya tahun
2005-2012. Produktivitas usahatani organik diukur menggunakan rumus jumlah
produksi padi organik dalam ton dibagi dengan luas lahan dalam ha sebagai
berikut:

umlah produksi (ton)


Produktivitas usahatani organik=
uas lahan (ha)

Ketiga, penjualan padi organik diukur menggunakan rumus jumlah penjualan


gabah kering panen (GKP) dikalikan dengan harga gabah. Penjualan padi organik,
dilihat dari hasil penjualan gabah kering panen yang dimiliki petani. Cara
perhitungan penjualan gabah organik sebagai berikut:

Penjualan= Jumlah penjualan (ton) x harga (Rupiah)

Keempat, keuntungan usahatani diukur menggunakan rumus selisih dari


penerimaan usahatani dengan biaya total usahatani dan menggunakan analisis R/C
rasio. Jika penerimaan usahatani lebih besar (menunjukkan koefisien positif)
maka kegiatan usahatani mengalami keuntungan. Sebaliknya jika koefisien
usahatani menunjukkan koefisien negatif, maka kegiatan usahatani dikatakan rugi.
Sebelum menghitung keuntungan usahatani perlu diketahui terlebih dahulu besar
penerimaan dan biaya usahatani. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara
produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dinotasikan sebagai
berikut (Soekartawi et al. 1986) :

TR = Py.Y

Keterangan:
TR = Total Penerimaan (Rupiah)
Py = Harga output (Rupiah/kg)
Y = Jumlah output (kg)

Penerimaan usahatani pada penelitian ini merupakan penerimaan total atau


pendapatan kotor usahatani (gross farm income), yaitu nilai semua output yang
diterima pada jangka waktu tertentu. Penerimaan terbagi menjadi penerimaan
tunai dan penerimaan non tunai atau penerimaan diperhitungkan. Penerimaan
tunai merupakan nilai uang yang diterima dari hasil penjualan produk usahatani.
Penerimaan non tunai diperoleh dari nilai produk yang tidak dijual, digunakan
untuk konsumsi rumah tangga petani, untuk pembayaran, atau digunakan untuk
lainnya. Sehingga, penjumlahan dari penerimaan tunai dan penerimaan non tunai
merupakan penerimaan total.
Output yang dihasilkan dalam penelitian usahatani padi pada penelitian ini
adalah Gabah Kering Panen (GKP). Sehingga, penerimaan akan diperoleh dari
hasil perkalian jumlah produksi GKP dengan harga jual GKP pada usahatani
organik. Jumlah produksi akan dikonversikan ke dalam satu hektar agar mudah
dalam melakukan perbandingan antara GKP hasil usahatani organik. Penerimaan
usahatani organik juga akan dikonversikan ke dalam satu hektar. Biaya
27

merupakan nilai korbanan atau faktor produksi yang dikeluarkan untuk


menghasilkan output pada waktu tertentu. Data biaya dikelompokkan menjadi dua
bagian yaitu biaya tunai dan biaya tidak tunai (biaya diperhitungkan). Pengeluaran
total usahatani merupakan semua faktor produksi yang habis terpakai dalam satu
siklus produksi baik biaya secara tunai maupun tidak tunai. Pernyataan ini
dinotasikan sebagai berikut (Soekartawi et al. 1986) :

TC = Ctunai + Cnon-tunai
Keterangan:
TC = Biaya Total (Rupiah)
Ctunai = Biaya tunai (Rupiah)
C non-tunai = Biaya diperhitungkan (Rupiah)

Dari penerimaan total dan total biaya akan diperoleh keuntungan, dimana
keuntungan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya yang
dikeluarkan, atau dengan kata lain pendapatan usahatani meliputi pendapatan
kotor atau penerimaan total dan pendapatan bersih. Pendapatan kotor/penerimaan
total adalah nilai produksi keseluruhan sebelum dikurangi biaya produksi.
Keuntungan ekonomis (economic profit atau pure profit) diperoleh ketika
penerimaan usahatani melebihi jumlah total explicit dan implict (opportunity) cost.
Konsep keuntungan ini selanjutnya disebut keuntungan normal (normal profits)
karena setiap sumberdaya usahatani dihargai sebagai opportunity cost. Sehingga
keuntungan selanjutnya usaha dapat dirumuskan sebagai berikut:

π = TR-TC

Keterangan:
π = Keuntungan (Rupiah)
TR = Total Penerimaan (Rupiah)
TC = Biaya Total (Rupiah)

Keuntungan yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis dengan menghitung


nilai R/C rasio. Analisis R/C rasio menunjukkan besarnya penerimaan yang
diperoleh dari setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan atau menunjukkan
produktifitas biaya. Karena penerimaan besar belum tentu menggambarkan tingkat
efisiensi yang lebih besar pula. Pada penelitian ini akan diperhitungkan nilai R/C
rasio atas biaya total pada usahatani padi organik. Perhitungan R/C rasio sebagai
berikut :

Penerimaan Total
R/C rasio =
Total iaya

Analisis Pengukuran Pengaruh Keterampilan Kewirausahaan terhadap


Kinerja Usaha
Tujuan ketiga dicapai dengan menganalisis pengaruh tingkat keterampilan
kewirausahaan terhadap kinerja usaha menggunakan Partial Least Square (PLS).
Data yang telah diperoleh selanjutnya akan diolah dan dianalisis dengan analisis
deskriptif. Sedangkan data kuantitatif diolah dengan bantuan program microsoft
28

excel 2013 dan dianalisis dengan Structural Equation Model (SEM) menggunakan
pendekatan PLS. Alat analisis ini diperkenalkan oleh Herman Wold yang sering
disebut soft modeling. PLS merupakan metode analisis yang powerfull karena
dapat diterapkan pada semua skala data tidak membutuhkan banyak asumsi. Data
tidak harus berdistribusi normal (indikator dengan skala kategori, ordinal, interval
sampai ratio dapat digunakan pada model yang sama) dan ukuran
sampel tidak harus besar. PLS selain dapat digunakan sebagai konfirmasi teori
juga dapat digunakan untuk membangun hubungan yang belum ada landasan
teorinya atau untuk pengujian proposisi.
Pemodelan PLS merupakan teknik statistik untuk menguji dan
mengestimasi hubungan kausal dengan menggunakan kombinasi data statistik dan
asumsi kausal yang memiliki kemampuan untuk menganalisis pola hubungan
antara variabel laten dan variabel manifestnya, variabel laten yang satu dengan
lainnya serta kesalahan pengukuran secara langsung. Variabel laten merupakan
variabel yang tidak dapat diukur secara langsung, diperlukan adanya variabel
manifest dalam pengukurannya. Sedangkan variabel manifest merupakan variabel
yang dapat diukur secara langsung. Penggunaan analisis PLS memungkinkan
untuk melakukan konfirmasi maupun eksploratori model, sehingga dapat
digunakan untuk tujuan penelitian pengujian teori maupun pengembangan teori.
PLS juga dapat digunakan untuk pemodelan struktural dengan manifest yang
bersifat reflektif ataupun formatif. Model reflektif dikembangkan berdasarkan
pada classical test theory yang mengasumsikan bahwa variasi skor pengukuran
laten merupakan fungsi dari true score ditambah error. Ciri-ciri model indikator
reflektif adalah:
1. Arah hubungan kausalitas seolah-olah dari konstruk ke indikator
2. Antar indikator diharapkan saling berkorelasi (memiliki internal
consitency reliability)
3. Menghilangkan satu indikator dari model pengukuran tidak akan merubah
model
Sedangkan konstruk dengan indikator formatif dapat dinyatakan tepat
bahwa jika η menggambarkan suatu variabel laten dan x adalah indikator, maka
η= x. Oleh karena itu, pada model formatif, variabel laten seolah-olah dipengaruhi
(ditentukan) oleh indikatornya. Jadi arah hubungan kausalitas seolah-olah dari
indikator ke variabel laten. Ciri-ciri model indikator formatif adalah:
1. Arah hubungan kausalitas seolah-olah dari indikator ke konstruk
2. Antar indikator diasumsikan tidak berkorelasi (tidak diperlukan uji
konsistensi internal atau alpha cronbach)
3. Menghilangkan satu indikator berakibat merubah makna dari konstruk
4. Kesalahan pengukuran diletakkan pada tingkat konstruk (zeta)
Metode SEM-PLS sudah terdapat dalam program komputer seperti R,
SmartPLS, XLSTAT PLS-PM dan Visual PLS. Penelitian ini menggunakan
software R. R adalah suatu sistem untuk analisis data yang termasuk kelompok
software statistik tidak memerlukan lisensi yang dikenal dengan freeware.
Kelebihan dari R menurut Rosadi (2016) adalah:
1. Protability. Jika user pernah mempelajari software ini, mereka bebas untuk
mempelajari dan menggunakannya sampai waktu kapanpun (berbeda
misalnya dengan lisensi software yang bersifat student version).
29

2. Multiplatforms. R bersifat multiplatform operating systems, lebih


kompatibel disbanding software statistika manapun yang pernah ada.
Dengan demikian, jika user memutuskan untuk berpindah system operasi,
maka penyesuaian akan relative mudah untuk dilakukan.
3. General dan Cutting-edge. Berbagai metode analisis statistic (metode-
metode klasik mempunyai metode-metode baru) telah diprogramkan ke
dalam bahasa R. Saat ini CRAN (Comprehensive R Achieve Networks)
tersedia sebanyak 7394 paket/library tambahan untuk R. Dengan demikian,
software ini dapat digunakan untuk berbagai macam analisis statistika,
baik pendekatan klasik maupun pendekatan statistic modern.
4. Programmable. User dapat memprogramkan metode baru atau
mengembangkan modifikasi dari fungsi-fungsi analisis statistika yang
telah ada dalam sistem R.
5. Bahasa berbasis analisis matriks. Bahasa R sangan baik untuk melakukan
programming dengan berbasis matriks (seperti halnya dalam bahasa
MATLAB atau GAUSS).
6. Fasilitas grafik yang relatif baik.
Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam analisis dengan partial least
square menurut Ghozali (2014) adalah sebagai berikut:
1. Merancang model struktural (inner model )
2. Mendifinisikan model pengukuran (outer model)
3. Membuat diagram jalur untuk memvisualisasikan hubungan antara
indikator dengan konstruknya, serta antar konstruk yang akan
mempermudah melihat model secara keseluruhan
4. Mengkonversi diagram jalur ke sistem persamaan
5. Estimasi model, melalui tiga bentuk pemilihan weigthing, yaitu factor
weigthing scheme, centroid weigthing scheme dan path weigthing scheme
6. Mengevaluasi model, baik model pengukuran maupun model struktural
7. Intepretasi model berdasarkan kepada hasil model yang dibangun.
PLS tidak mengansumsikan adanya distribusi tertentu untuk estimasi
parameter, maka teknik parametrik untuk menguji signifikansi tidak diperlukan.
Model evaluasi PLS berdasarkan pada pengukuran prediksi yang mempunyai sifat
nonparametrik.
a. Outer Model. Ada tiga metode yang digunakan untuk mengevaluasi outer
model dengan indikator refleksif yaitu convergent validity dari indikatornya
dan composite reliability untuk blok indikator. Sedangkan outer model
dengan indikator formatif dievaluasi berdasarkan pada subtantive content-nya
yaitu dengan membandingkan besarnya bobot relative (outer weight) dan
melihat signifikansi dari ukuran bobot tersebut (Chin 1998 dalam Ghozali
2014).
b. Inner Model. Model struktural atau inner model dievaluasi dengan melihat
persentase variance yang dijelaskan oleh nilai R2 (R-square) untuk variabel
endogen serta melihat besarnya koefisien jalur strukturalnya (Ghozali 2014).
30

Tabel 6 Perbandingan dasar penggunaan SEM-lisrel dan SEM-PLS


No Kriteria SEM-lisrel SEM-PLS
1. Tujuan orientasi taksiran orientasi prediksi
2. Asumsi parameter parametrik nonparametrik
3. Pendekatan Covarian varian
4. Jumlah sampel minimal 200-800 minimal 30-100
5. Hubungan variabel laten Reflektif reflektif dan formatif
dan indikator
6. Kompleksitas model digunakan untuk ukuran digunakan untuk
kompleksitas model ukuran
kecil kompleksitas model
besar
7. Kebutuhan teori didasari teori yang kuat fleksibel
8. Uji kecocokan model alat pengujian alat pengujian
kecocokan kecocokan
model beragam model terbatas
9. Kekuatan taksiran Konsisten konsisten ketika
jumlah
sampel meningkat
Sumber : Ghozali 2014

Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan konsep yang memiliki nilai dan dapat diukur.
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian terdiri dari variabel laten dan
variabel manifest sebagai indikator laten. Pengukuran atas variabel dilakukan
berdasarkan teori yang telah terbukti secara empiris dan penelitian terdahulu,
sehingga dapat diimplementasikan di lapangan serta mampu diukur dengan baik.
Kewirausahaan adalah kemampuan seseorang untuk mengubah gagasan
menjadi tindakan. Ini mencakup kreativitas, inovasi dan pengambilan risiko, serta
kemampuan untuk merencanakan dan mengelola usaha untuk mencapai tujuan.
Hal ini dipandang penting untuk mendorong inovasi, daya saing dan pertumbuhan
ekonomi. Membina semangat kewirausahaan mendukung terciptanya usaha baru
dan pertumbuhan usaha. Keterampilan kewirausahaan memberi manfaat terlepas
dalam melihat masa depan dalam memulai usaha. Keterampilan kewirausahaan
berhubungan dengan karakteristik atau sifat kewirausahaan petani yang
dituangkan dalam mengelola usaha.
Kinerja dapat dijadikan sebagai ukuran tingkat keberhasilan dalam
melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai, salah satunya
dalam kegiatan usahatani. Kinerja usaha dapat diukur melalui penerapan pertanian
organik, produktivitas, penjualan, dan keuntungan. Kinerja usaha yang digunakan
dalam mengukur pengaruh keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja usaha
pertanian organik tidak menggunakan penerapan pertanian organik. Hal ini
dikarenakan penerapan pertanian organik termasuk di dalam keterampilan
kewirausahaan petani organik.
31

Tabel 7 Variabel laten dan variabel manifest pertanian organik


Variabel Laten Variabel Manifest Defenisi Operasional
Laten eksogen Keterampilan produksi tanaman Keterampilan dalam memproduksi
Keterampilan (KPT) tanaman organik
Profesi (KPRO) Keterampilan teknis (KT) Keterampilan teknis dalam mengelola
usahatani

Laten eksogen Keterampilan keuangan (KKEU) Keterampilan dalam mengelola


Keterampilan Keterampilan administrasi (KA) keuangan
Manajemen Keteranpilan manajemen SDM Keterampilan dalam mengelola
(KMAN) (KMSDM) administrasi
Keterampilan mengelola Keterampilan dalam mengelola
konsumen (KMK) sumber daya manusia
Keterampilan rencana umum Keterampilan dalam mengelola
(KRU) konsumen/pelanggan
Keterampilan dalam rencana umum

Laten eksogen Keterampilan mengenali peluang Keterampilan dalam mengenali


Keterampilan bisnis (KMPB) peluang bisnis
Peluang (KPEL) Keterampilan orientasi pasar dan Keterampilan dalam orientasi pasar
konsumen (KOPK) dan pelanggan
Keterampilan menyadari skill Keterampilan dalam menyadari akan
(KMS) skill yang dimiliki petani
Keterampilan dalam manejemen
Keterampilan manajemen resiko resiko
(KMR)
Keterampilan Inovasi (KI) Keterampilan dalam berinovasi

Laten eksogen Keterampilan bekerjasama antara Keterampilan dalam bekerjasama


Keterampilan petani dan perusahaan (KBPP) dengan sesama petani dan perusahaan
Jaringan/Kerjasama Keterampilan jaringan (KJ) Keterampilan dalam menjalin jaringan
(KJAR) Keterampilan kerjasama Keterampilan dalam bekerja sama
(KKER) dalam kelompok
Keterampilan dalam kepemimpinan
Keterampilan kepemimpinan
(KKEP)
Laten eksogen Keterampilan menerima dan Keterampilan menerima dan
Keterampilan memanfaatkan umpan balik memanfaatkan umpan balik
Strategi (KSTR) (KMMUB)
Keterampilan merefleksi Keterampilan dalam merefleksi
usahatani (KMU) usahatani
Keterampilan pengawasan dan
evaluasi (KPE) Keterampilan dalam pengawasan dan
Keterampilan konseptual evaluasi
(KKON) Keterampila konseptual
Keterampilan strategi (KS) Keterampilan dalam mengelola
strategi usaha
Keterampilan pengambilan Keterampilan dalam pengambilan
keputusan (KPK) keputusan
Keterampilan penetapan tujuan Keterampilan penetapan tujuan
usaha (KPTU) usahatani
32

Variabel Laten Variabel Manifest Defenisi Operasional


Laten eksogen Pendidikan (PEND) Tingkat pendidikan formal dan pola
Faktor Individu pikir
Pengalaman penerapan pertanian Pengalaman dan kekonsistenan
organik (PPPO) penerapan pertanian organik
Motivasi (MOTIV) Keinginan petani dalam menjalankan
usahanya
Kepemilikan sarana dan Tingkat kepemilikan petani akan
prasarana (KSPRA) sarana (bahan baku) dan prasarana
(alat produksi)
Skala dan Kepemilikan Usaha Luas penguasaan lahan dan
(SKU) kepemilikan lahan

Laten eksogen Ketersediaan input Kemudahan dalam mendapatkan


Faktor Lingkungan bahan input
Penyuluhan dan pelatihan Perhatian pemerintah berupa
penyuluhan dan pelatihan
Bantuan permodalan Bantuan dari pemerintah dalam bentuk
modal maupun sarana produksi
Promosi dan pemasaran Dukungan pemerintah dalam kegiatan
promosi dan pemasaran
Kondisi lingkungan usaha Kondisi lingkungan usahatani organik
Harga input dan output Harga input dan output usahatani
organik
Dukungan lembaga Dukungan lembaga terkait usahatani
organik

Laten endogen Produktivitas (PROD) Produksi pertanian organik per satuan


Kinerja Usaha lahan yang digunakan dalam
(KINUS) berusahatani organik
Penjualan (PENJ) Jumlah penjualan hasil panen
Keuntungan (KEUNT) Terpenuhinya segala kebutuhan hidup
petani melalui pendapatan usahatani
Sumber : de Wolf dan Schoorlemmer (2007); Rudmann (2008); Bititci et. al (2000); Amstrong
(2004); Wahyuningsih (2015); Sapar (2006); Dirlanudin (2010); Riyanti (2003)

Model persamaan structural yang dibangun dalam penelitian ini,


menunjukkan bagaimana keterampilan kewirausahaan (X) mempengaruhi kinerja
usaha (Y) dalam usaha pertanian organik. Berdasarkan identifikasi variabel-
variabel yang telah dilakukan, maka diagram lintas model pengaruh keterampilan
kewirausahaan terhadap kinerja usaha pertanian organik dapat dilihat pada
Gambar 5.
33

Gambar 5 Model PLS pengaruh keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja


usaha pertanian organik
Sumber: diadaptasi dari konsep de Wolf dan Schoorlemmer (2007) dan model Delmar (1996)
34

Pengembangan model ini (Gambar 5) bertujuan untuk merumuskan


hipotesis dalam menduga variabel keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja
usaha pertanian organik. Model ini menduga bahwa keterampilan kewirausahaan
berpengaruh terhadap kinerja usaha pertanian organik. Model ini dibangun pada
dasarnya dengan menggunakan empat variabel laten, yakni keterampilan
kewirausahaan (KKWU), faktor individu (FI), faktor lingkungan (FL), dan kinerja
usaha (KINUS).
Variabel KKWU, FI, FL dan KINUS bersifat unidimensional dimana
variabel tersebut dapat dibentuk langsung dari variabel manifestnya dengan arah
indikator reflektif. Variabel faktor individu (FI) dan faktor lingkungan (FL) dapat
mempengaruhi keterampilan kewirausahaan (KKWU) secara langsung serta
mempengaruhi kinerja usaha (KINUS) secara tidak langsung. Pada model ini
terdapat empat komponen utama yaitu individu, lingkungan, kewirausahaan dan
kinerja. Kinerja ditentukan oleh keterampilan wirausaha dan respons dari
lingkungan, karena bisnis akan berjalan apabila terdapat permintaan akan barang
dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan. Keterampilan kewirausahaan
merupakan tugas dan aktivitas yang dilakukan oleh wirausaha untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Komponen ini dibentuk oleh individu dan lingkungan.
Individu mencakup kemampuan, pengalaman dan motivasi, sedangkan komponen
lingkungan meliputi lingkungan individu dan lingkungan eskternal seperti
dukungan pemerintah. Individu dipengaruhi oleh lingkungan dan lingkungan juga
berpengaruh terhadap kinerja. Dapat disimpulkan bahwa kinerja bisnis tergantung
pada keterampilan kewirausahaan dan faktor individu serta faktor lingkungan.

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Komunitas Ngawi Organik Center (KNOC) merupakan organisasi


masyarakat yang membentuk sebuah komunitas para petani padi yang
menerapkan teknologi organik pada usahatani padi. Kemudian membentuk suatu
kluster atau komunitas gabungan para petani padi organik yang sekaligus
ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Ngawi sebagai pusat budidaya padi
organik di Kabupaten Ngawi. KNOC memperoleh legalitas berdiri sebagai sebuah
lembaga masyarakat pada tanggal 30 Juli 2012 dengan bukti surat Nomor
84/KNOC/2012/PN Ngw. Sekretariat KNOC berada di Jalan Makan Sambi Desa
Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi.
Hal yang menjadi dasar terbentuknya KNOC pada tahun 2011 adalah
adanya beberapa program pemerintah yang terhenti dan tidak berkelanjutan
seperti program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) tahun 1989 – 1999, program
Pelatihan Agensi Hayati (PAT) tahun 2000, program Partisipasi Irigasi Sektor
Projek dan lain sebagainya. Kemudian penggunaan pupuk kimia yang ditambah
secara bertahap oleh petani ketika produksinya menurun berdampak pada
kerusakan ekologi tanah. Secara bertahap kondisi tersebut berkaitan dengan
naiknya Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), hingga dampak terhadap semua
ekosistem disekitarnya. Akhirnya dengan menggunakan empat pilar yaitu
35

pembudidayaan tanaman sehat dan ramah, pemanfaatan musuh alami dengan


menjaga ekosistem, pengamatan pada tanaman secara rutin, dan mencetak petani
menjadi ahli Pengendali Hama Penyakit Terpadu, KNOC mulai didirikan.
Aspek ketersediaan sumber daya manusia, sebagian besar petani belum
memperhatikan pola hidup yang sehat karena kurangnya pengetahuan. Atas latar
belakang tersebut terbentuknya KNOC diharapkan sebagai organisasi yang
dimiliki masyarakat dan dikelola oleh masyarakat sendiri yang dapat mengatasi
masalah yang ada demi kesejahteraan hidup dirinya dan tetap melestarikan alam
sekitar. Arah dan tujuan KNOC dalam pengembangan pertanian yang ramah
lingkungan (organik) juga sebagai bentuk persiapan menghadapi pasar global.
Persiapan yang dilakukan sejak berdirinya KNOC diharapkan mampu menjadi
wadah persiapan para petani yang mandiri dan tidak bergantung pada produk
pabrikan seperti pupuk dan pestisida.
KNOC juga hadir dalam bentuk satu kesatuan agribisnis yang meliputi
kegiatan dari hulu sampai hilir. Pada subsistem hulu KNOC berperan sebagai
penyedia sarana produksi seperti benih, pupuk organik, mikro organisme lokal
(MOL), dan agen hayati. Subsistem budidaya KNOC berperan sebagai pengawas
kegiatan petani dalam melaksanakan kegiatan budidaya melalui sistem
pengawasan Internal Control System (ICS). Pada subsistem pengolahan hasil,
KNOC berperan menampung hasil panen petani anggota sesuai dengan harga
kontrak. Proses pasca panen pada sub sistem hilir, KNOC memproses gabah
menjadi beras dan dikemas serta ditambahkan label yang kemudian dipasarkan ke
berbagai daerah. KNOC juga berperan sebagai penyuluh dan pemberi
pendampingan pada subsistem penunjang.
Penerapan pertanian organik menjadi komitmen KNOC dengan diterimanya
sertifikat organik dari Lembaga Organik Seloliman (LeSOS). Sertifikat pertama
yang diterima dengan nomor registrasi 056-LSPO-005-IDN-08-13. KNOC telah
memenuhi syarat secara konsisten mampu memenuhi Pedoman SNI Pangan
Organik 6729-2010 dan dokumen Internal Control System (ICS) pada tanggal 5
Agustus 2013. Melalui sertifikat tersebut KNOC dapat melakukan bimbingan
terhadap petani untuk menerapkan usahatani padi organik dan mendaftarkan
lahannya agar memperoleh sertifikasi lahan organik SNI, sehingga hasil panen
dari lahan tersebut dapat terjamin sebagai padi organik yang tersertifikasi.
Sertifikat organik kedua yang juga dikeluarkan oleh LeSOS pada tanggal 12 Juli
2014 diberikan kepada KNOC karena telah mampu memproduksi kompos, agen
hayati, MOL yang mengacu pada peraturan Sistem Mutu dan ICS. Sehingga
melalui sertifikat ini produk dan sarana produksi KNOC dapat digunakan untuk
budidaya pertanian padi organik. Sertifikat organik ketiga dikeluarkan pada
tanggal 23 September 2015 yang berlaku sampai 24 Juli 2018. KNOC sebagai
lembaga yang telah memiliki sertifikasi organik, tentu menjadi bukti bahwa
KNOC telah menjadi organisasi yang berpengalaman dan mapan (Pemkab Ngawi
2010).

Agribisnis Pertanian Organik di KNOC

Agribisnis merupakan suatu sektor ekonomi modern dan besar dari


pertanian primer yang mencakup paling sedikit empat subsistem, yaitu (Saragih,
1998) : subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), subsistem usahatani
36

(on-farm agribusiness), subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) dan


subsistem jasa layanan pendukung. (1) Subsistem agribisnis hulu di KNOC
berupa pupuk kompos organik, benih organik (varietas sintanur, merah dan hitam),
pupuk cair berupa MOL (Mikro Organisme Lokal), pestisida cair berupa agen
hayati (Beauveria bassaiana Spp, Verticilium Spp, dan Trichoderma Spp). Input
organik yang digunakan petani merupakan produksi dari KNOC. Peran KNOC
pada subsitem hulu adalah memproduksi input-input diantaranya: benih, pupuk
kompos, MOL, dan agen hayati. Benih yang digunakan petani padi organik
diperoleh dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, Subang Jawa
Barat. Benih kemudian dibudidayakan sendiri oleh salah satu petani anggota
KNOC, sehingga ketersediaan benih dapat dipenuhi oleh KNOC. Pupuk kompos
yang diproduksi KNOC selain dijual kepada petani anggota, pupuk kompos juga
dijual untuk petani non anggota. Namun produksi MOL dan agen hayati hanya
dikhususkan kepada petani padi anggota. Seluruh bahan baku yang digunakan
untuk menghasilkan input diperoleh dari sumber daya yang juga berasal dari
KNOC. Sehingga KNOC juga telah menerapkan sistem pertanian integrasi pada
ternak, ikan, dan tanaman.
(2) Subsistem usahatani berupa pembenihan, pengairan, penanaman,
perawatan, pemupukan, pengendalian hama penyakit, dan panen. Proses budidaya
memerlukan waktu 3 hingga 3,5 bulan atau 90 hingga 105 hari. Proses budidaya
padi antara lain diawali dengan pembenihan. Proses pembenihan diawali dengan
persiapan lahan pembenihan, kemudian penaburan benih padi. Pada pertanian
organik, bibit padi yang digunakan adalah bibit yang berumur lima belas hari
bertujuan untuk memperbanyak anakan padi setelah ditanam di lahan. Proses
selanjutnya adalah pengairan, pengairan pertanian organik harus memperhatikan
asal sumber air yang didapat. Sumber air pertanian harus terhindar dari
kontaminasi pestisida dan pupuk kimia agar keadaan organik tetap terjaga. Proses
selanjutnya penanaman bibit di lahan. Setelah penanaman padi dilakukan
perawatan padi dengan penyiangan rumput di lahan, dalam bahasa Jawa istilahnya
matun. Selama proses budidaya padi dilakukan penyiangan dua kali. Lalu
dilakukan pemupukan tanaman padi menggunakan pupuk kompos yang dilakukan
tiga kali selama satu musim tanam. Proses berikutnya adalah pengendalian hama
menggunakan MOL dan agen hayati yang disemprotkan ke lahan minimal lima
kali dalam satu kali musim tanam. Proses terakhir adalah panen, panen padi oleh
petani anggota KNOC bersifat borongan yaitu dengan ketentuan upah borongan
10:1 hasil panen. Misalkan hasil panen satu hektar lahan adalah 10 ton gabah,
maka upah borongan 1 ton gabah. Setelah panen, petani anggota KNOC akan
menjual gabahnya ke KNOC dengan harga gabah putih Rp 5 000/kg, gabah merah
Rp 5 200/kg, dan gabah hitam Rp 6 000/kg.
(3) Subsistem agribisnis hilir atau pasca panen merupakan kondisi padi
setelah panen hingga menjadi beras yang dibeli langsung oleh konsumen.
Manajemen KNOC memiliki keunggulan berupa adanya sistem spesialisasi
pegawai untuk berbagai bagian mulai dari pengeringan, pemrosesan gabah hingga
menjadi beras, dan pemasaran. Selain itu KNOC mampu memainkan peran untuk
mengatur jadwal tanam dan jenis padi yang ditanam kepada seluruh perani padi
organik yang menjadi anggotanya. Namun demikian, sistem spesialisasi kerja
yang dilaksanakan di KNOC belum maksimal secara penuh. Kendala yang
menyebabkan adalah masih adanya beberapa orang yang merangkap bagian
37

pekerjaan di KNOC. Proses pasca panen padi hingga penjualan beras organik ke
konsumen yang dilakukan oleh KNOC adalah beli, jemur, giling, grading, kemas
dan jual. Pihak KNOC menjual beras dalam kemasan 1 kg dan 2 kg. Adapun
rincian beras yang dijual dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8 Jenis beras yang dijual KNOC berdasarkan berat dan harga tahun 2018
Jenis Beras Berat (kg) Harga (Rp)
Beras merah 1 17 500
Beras merah 2 34 000
Beras putih 1 16 500
Beras putih 2 33 000
Beras hitam 1 25 000
Beras brown 1 18 500
Beras mixed 1 18 500

Pemasaran yang dilakukan oleh KNOC yaitu offline dan online. Untuk jenis
offline dipasarkan ke kios, swalayan, pedagang besar, pameran, dan konsumen
perorangan. Sedangkan untuk jenis online melalui e-commerce (Bukalapak dan
Tokopedia) dan media sosial dengan merek cap ratu agung.
(4) Subsistem jasa layanan pendukung seperti perkreditan, asuransi,
transportasi, pergudangan, penyuluhan, kebijakan pemerintah, dan lain-lain.
KNOC mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat dan juga mendapatkan
bantuan keuangan dan transportasi pemasaran dari BI (Bank Indonesia). Saat ini
KNOC juga sebagai pusat pelatihan pertanian dan perdesaan swadaya (P4S).

Karakteristik Responden

Karakteristik responden adalah gambaran sifat-sifat yang ada pada petani


sebagai hasil dari pembawaan dari diri sendiri dan lingkungannya. Karakteristik
yang beragam dapat berupa karakter demografis, karakter sosial, bahkan karakter
kondisi ekonomi petani itu sendiri. Karakter-karakter tersebut yang membedakan
tipe perilaku petani pada situasi tertentu. Karakteristik yang diamati dalam
penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman usahatani. Usia
responden merupakan lama responden hidup hingga penelitian dilakukan, usia
produktif petani akan mempengaruhi proses adopsi suatu inovasi baru serta
keaktifan mencari informasi. Petani pada umur nonproduktif akan cenderung sulit
menerima inovasi, sebaliknya seseorang dengan usia produktif akan lebih mudah
dan cepat menerima inovasi. Tingkat pendidikan yang cukup tinggi juga akan
mempengaruhi sikap petani dalam menerima inovasi. Sedangkan pengalaman
usahatani akan berpengaruh pada keberanian petani mengambil resiko.

Usia
Usia petani akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik dalam mengelola
usaha yang ditekuninya. Kemampuan kerja seorang petani akan bertambah sampai
pada tingkat umur tertentu, kemudian akan menurun. Badan Pusat Statistik (BPS)
membedakan usia produktif menjadi dua kategori yaitu usia sangat produktif 15
sampai 49 tahun dan usia produktif 50 sampai 64 tahun. Sedangkan usia
nonproduktif berada pada usia lebih dari 64 tahun. Usia produktif petani akan
38

mempengaruhi proses adopsi suatu inovasi baru serta keaktifan mencari informasi.
Petani pada umur nonproduktif akan cenderung sulit menerima inovasi,
sebaliknya seseorang dengan usia produktif akan lebih mudah dan cepat
menerima inovasi. Petani padi organik berdasarkan kategori usia dapat dilihat
pada Tabel 9.

Tabel 9 Karakteristik petani responden berdasarkan usia


Usia (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)
15-49 10 33.33
50-64 13 43.33
65-70 6 20.00
>70 1 3.34
Jumlah 30 100.00

Petani responden pada penelitian ini masih tergolong pada kelompok usia
produktif. Tabel 9 menunjukkan bahwa sebaran usia petani organik didominasi
petani dengan usia 50 sampai 64 tahun dengan presentase 43.33 persen. Begitupun
dengan usia sangat produktif juga berkontribusi dalam pertanian organik sebesar
33.33 persen. Berdasarkan hasil wawancara, petani organik usia muda mulai
tertarik dan turut melakukan usahatani organik.

Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan memengaruhi kemampuan petani dalam
mengambil keputusan dan menyerap pengetahuan. Pendidikan dapat
mempengaruhi petani mengembangkan keterampilan dalam hal keterampilan
presentasi, teknik berdiskusi dan keterampilan analisis. Pendidikan memberikan
dasar teori yang membantu dalam praktek di lapangan (Wolf dan Schoorlemmer,
2007). Petani padi organik berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada
Tabel 10.

Tabel 10 Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan


Pendidikan Terakhir Jumlah (Orang) Persentase (%)
SD/sederajat 11 36.67
SMP/sederajat 3 10.00
SMA/sederajat 12 40.00
Perguruan Tinggi 4 13.33
Jumlah 30 100.00

Hasil penelitian pada Tabel 10 menunjukkan bahwa usahatani padi organik


didominasi oleh petani dengan pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas
(SMA) dengan presentase 40.00 persen. Walaupun presentase pendidikan Sekolah
Dasar juga hampir mendominasi sebesar 36.67 persen. Namun, menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan petani padi organik tergolong tinggi. Tingginya tingkat
pendidikan petani padi organik berpengaruh pada tingginya daya tangkap
pengetahuan dan informasi para petani saat mendapatkan materi penyuluhan atau
pelatihan. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap tingkat adopsi teknologi
39

di kalangan petani padi organik. Tingginya tingkat pendidikan formal


menyebabkan para petani padi organik banyak yang mengadopsi teknologi
pertanian organik.

Pengalaman Penerapan Usahatani Organik


Pengalaman penerapan usahatani organik akan menggambarkan
kemampuan petani dalam mengatasi permasalahan berdasarkan pengalaman yang
dialami petani selama menerapkan pertanian organik. Kecekatan petani bertindak
dan berpikir cepat dalam mengambil keputusan juga berdasarkan pengalaman
yang pernah dilalui selama menjadi petani organik. Pengalaman penerapan
usahatani organik juga akan menunjukkan kekonsistenan petani dalam
menerapkan usahatani organik, dimana penerapannya membutuhkan masa transisi.
Tabel 11 menunjukkan sebaran pengalaman penerapan usahatani padi organik.

Tabel 11 Karakteristik petani responden berdasarkan pengalaman penerapan


usahatani padi organik
Pengalaman Penerapan Usahatani Jumlah (Orang) Persentase (%)
Padi Organik (Tahun)
1 12 40.00
2 1 3.33
3 8 26.67
>3 9 30.00
Jumlah 30 100.00

Persentase tertinggi berada pada pengalaman penerapan usahatani padi


organik usia 1 tahun sebesar 40.00 persen, diikuti oleh responden usia >3 tahun
sebesar 30.00 persen, 2 tahun 3.33 persen dan 3 tahun 26.67 persen (Tabel 11).
Secara keseluruhan para petani telah memiliki pengalaman dalam penerapan
usahatani padi organik selama dua atau lebih dari dua tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagian besar petani organik di KNOC merupakan petani yang tergolong
memiliki pengalaman yang sesuai standar pertanian organik. Sebagian besar
petani telah melewati masa transisi dalam berusahatani padi organik. Pertanian
transisi adalah pertanian organik yang berasal dari lahan konvensional yang
sedang dalam peralihan. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) sistem
pertanian organik (2016) bahwa periode konversi tanaman semusim selama 2
tahun.

Karakteristik Usahatani

Karakteristik usahatani adalah ciri-ciri dari usahatani yang dijalankan oleh


petani. Karakteristik ini penting bagi petani dalam membuat keputusan untuk
usahataninya. Pada penelitian ini terdapat tiga karakteristik usahatani yang perlu
di deskriptifkan, yakni luas lahan yaitu luas penguasaan lahan persawahan yang
dimiliki oleh petani responden hingga saat ini. Status kepemilikan lahan adalah
informasi yang menggambarkan kepemilikan lahan serta gagasan penanaman,
yaitu asal mula gagasan dalam memilih usahatani padi organik.
40

Luas Penguasaan Lahan


Luas penguasaan lahan menjadi penting dalam kegiatan usahatani. Hal ini
akan mempengaruhi pendapatan dan produktivitas petani. Luas lahan yang diolah
petani sangat menentukan besar kecilnya hasil produksi. Luas penguasaan petani
responden menurut hasil penelitian dapat dilihat dalam Tabel 12.

Tabel 12 Karakteristik usahatani responden berdasarkan luas penguasaan lahan


padi organik
Luas Lahan (Hektar) Rataan Jumlah (Orang) Persentase (%)
(Hektar)
0.01-0.25 0.16 13 43.34
0.26-0.50 0.36 10 33.33
0.51-1.00 1.00 7 23.33
Jumlah 30 100.00

Berdasarkan Tabel 12, persentase terbesar kepemilikan luas lahan yang


diusahakan oleh petani padi organik yaitu pada luas lahan 0.01 sampai dengan
0.25 hektar dengan persentase 43.34. Hal ini menunjukkan luas penguasaan lahan
petani padi organik masih tergolong sempit. Hal ini dikarenakan adanya
ketimpangan distribusi penguasaan lahan yang pada umumnya disebabkan oleh
dua faktor yang saling terkait, yakni adanya sistem warisan yang memecah-bagi
dimana lahan yang diwariskan dibagikan kepada pihak-pihak yang memiliki hak
waris. Dengan sistem tersebut maka kepemilikan lahan petani dari satu generasi
ke generasi semakin sempit, hingga berdampak pada kecenderungan petani untuk
menjual lahan yang dimilikinya sehingga akan semakin banyak petani skala kecil
atau bahkan tidak memiliki lahan. Faktor yang kedua adalah penumpukan
pemilikan lahan pada sekelompok petani kaya. Pada umumnya petani kaya
berinvestasi dengan membeli lahan terutama dari petani yang berlahan sempit.

Kepemilikan Lahan
Kepemilikan lahan adalah hak milik atas lahan untuk menggunakannya,
mengolahnya dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu di permukaan tanah.
Status kepemilikan lahan bagi petani pemilik akan membayar biaya pajak setiap
tahun, sedangkan bagi petani dengan status sewa harus membayar tunai secara
sewa. Petani dengan status bagi hasil harus membagi hasil panen dengan pemilik
sawah dengan proporsi 1:3, dimana satu bagian untuk pemilik dan tiga bagian
untuk petani penggarap. Berikut adalah tabel karakteristik responden berdasarkan
kepemilikan lahan.

Tabel 13 Karakteristik usahatani responden berdasarkan kepemilikan lahan padi


organik
Status Kepemilikan Jumlah (Orang) Persentase (%)
Milik 22 73.33
Sewa 4 13.33
Bagi Hasil 4 13.33
Jumlah 30 100.00
41

Karakteristik responden pada usahatani padi organik di lokasi penelitian


pada Tabel 13 menunjukkan bahwa petani dengan status lahan hak milik
tergolong tinggi dengan persentase sebesar 73.33 persen. Petani yang memiliki
lahan hak milik berani mengambil keputusan untuk menanam padi organik. Hal
ini dikarenakan lahan milik tidak berisiko jika ditanam dengan sistem organik.
Petani hanya membayar pajak setiap tahunnya dengan biaya terjangkau. Selain itu,
petani merasakan kualitas tanah dari lahan miliknya semakin baik selama
ditanami padi organik.

Gagasan Penanaman
Gagasan penanaman merupakan alasan petani melakukan penanaman
pertanian organik. Keinginan petani organik menanam padi organik didasari oleh
keinginan sendiri, melihat petani lain, melihat media massa baik koran, TV
maupun internet, dan program pemerintah. Tabel 14 menunjukkan gagasan
penanaman petani padi organik.

Tabel 14 Karakteristik usahatani responden berdasarkan gagasan penanaman


Alasan Usahatani
Jumlah (Orang) Persentase(%)
Padi Organik
Inisiatif Sendiri 3 10.00
Melihat Petani Lain 21 70.00
Melihat Media Massa 0 0.00
Program Pemerintah 6 20.00
Jumlah 30 100.00

Tabel 14 memperlihatkan bahwa alasan petani responden menanam padi


organik dikarenakan melihat petani lain dengan persentase 70.00 persen. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa usahatani organik memberikan hasil yang baik,
tidak hanya dari kualitas tanah tetapi juga nilai jual tinggi. Sehingga petani
mendapatkan penghasilan yang tinggi dan berdampak pada keikutsertaan petani
lain untuk beralih ke pertanian organik.

Keterampilan Kewirausahaan Petani Organik

Keterampilan kewirausahaan petani dicerminkan oleh lima variabel laten,


yaitu keterampilan profesi, keterampilan manajemen, keterampilan peluang,
keterampilan jaringan/kerjasama, dan keterampilan strategi. Keterampilan
kewirausahaan merupakan tahapan tertinggi dalam kewirausahaan. Berawal dari
tahu, mampu bersikap dan terampil. Selain itu, tahapan terampil memiliki
tingkatan kategori yaitu tingkatan dasar (basic entrepreneurial skills) dan
tingkatan tinggi (entrepreneurial skills). Keterampilan kewirausahaan dipahami
sebagai keterampilan tingkat tinggi yang tidak hanya mampu mendirikan dan
menjalankan bisnis pertanian namun juga mampu mengembangkan bisnis tersebut
(de Wolf dan Schoorlemmer, 2007).
42

Keterampilan Profesi
Keterampilan profesi berhubungan dengan keterampilan petani dalam
memahami proses biologi tanaman dalam hal memproduksi tanaman secara
organik. Namun juga, petani perlu memahami keterampilan teknis dalam
penerapan teknologi modern dan informasi dan teknologi (IT). Indikator dari
keterampilan profesi adalah keterampilan produksi tanaman dan keterampilan
teknis. Hasil perhitungan keterampilan kewirausahaan, keterampilan profesi
disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Tingkat keterampilan profesi usahatani organik pada petani padi organik
Bobot Keterampilan Profesi Petani
Variabel Manifest
Jumlah Skor Persentase
Keterampilan Profesi
Skor Maksimum (%)
Keterampilan produksi tanaman 444 480 92.50
Keterampilan teknis 289 360 80.28
Total Skor 733 840 87.26

Tingkat keterampilan profesi petani organik dapat dilihat dari dua hal yakni
keterampilan produksi tanaman dan keterampilan teknis. Keterampilan produksi
tanaman dicirikan dalam hal: (1) memilih/mensortir benih berkualitas baik,
dikelola/ditangani secara baik dan mandiri sehingga daya hidupnya (viabilitas)
tetap terjaga; (2) jerami dibiarkan lapuk dalam penyiapan lahan, menggunakan
pupuk, mol dan agen hayati organik, menanam tanaman penyangga dan
menggunakan sekam di sumber irigasi, memisahkan penggunaan alat dan bahan
non organik; (3) efisien dalam pemberian pupuk kompos, mol, agen hayati; dan
(4) waktu panen pagi menjelang siang. Sedangkan keterampilan teknis dicirikan
dalam hal: (1) mengetahui, menerapkan dan terampil dalam pembuatan pupuk
kompos, MOL dan agen hayati; (2) menggunakan alsintan modern lebih banyak
dibanding alsintan tradisional; dan (3) memiliki hp dan akses internet serta
terampil dalam mengakses internet.
Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa umumnya keterampilan profesi
berada pada kategori sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat nilai kecenderungan
petani organik yang sudah mampu memproduksi tanaman secara organik sebesar
92.50 persen dan kemampuan teknik sebesar 80.28 persen. Permasalahan umum
yang terdapat dalam keterampilan produksi tanaman adalah tanaman
terkontaminasi bahan non organik melalui udara sedangkan keterampilan teknis
adalah memiliki hp namun tidak memiliki akses internet.

Keterampilan Manajemen
Keterampilan manajemen berhubungan dengan petani sebagai manager
dalam mengelola keuangan, administrasi, sumber daya manusia, dan perencanaan
umum usahatani. Kriteria penilaian keterampilan manajemen terdiri dari lima
keterampilan yaitu keterampilan keuangan, keterampilan administrasi,
keterampilan SDM, keterampilan mengelola konsumen, dan keterampilan rencana
umum. Hasil perhitungan keterampilan kewirausahaan, keterampilan manajemen
disajikan pada Tabel 16.
43

Tabel 16 Tingkat keterampilan manajemen usahatani organik pada petani padi


organik
Bobot Keterampilan Manajemen Petani
Variabel Manifest Keterampilan
Jumlah Skor Persentase
Manajemen
Skor Maksimum (%)
Keterampilan keuangan 287 360 79.72
Keterampilan administrasi 204 240 85.00
Keterampilan manajemen SDM 223 240 92.92
Keterampilan mengelola
165 240 65.41
konsumen
Keterampilan rencana umum 227 240 94.58
Total Skor 1098 1320 83.18

Keterampilan keuangan dicirikan dalam hal: (1) tersedia catatan keuangan


setiap musim tanam, lengkap dan update; (2) memiliki tabungan dan investasi
usahatani di masa akan datang; dan (3) disimpan dalam 5 tahun. Keterampilan
administrasi dicirikan dalam hal: (1) ada catatan riwayat penggunaan lahan selama
5 tahun dan (2) ada data inventaris selama 5 tahun. Keterampilan manajemen
SDM dicirikan dalam hal: (1) menjadi pengurus inti, berkontribusi dan aktif
(mengemukakan pendapat, menghadiri rapat) dalam komunitas petani organik dan
kelompok tani dan (2) lebih tiga kali mengikuti pelatihan pertanian organik.
Keterampilan mengelola konsumen dicirikan dalam hal: (1) berkomunikasi
langsung/bernegosiasi dengan konsumen, mengajak ke lahan usahatani organik,
penjualan dilakukan secara mandiri dan (2) mengetahui semua konsumen dan
memenuhi permintaan konsumen secara kualitas, kontinuitas, dan kuantitas.
Keterampilan rencana umum dicirikan dalam hal: (1) merencanakan semua
kegiatan usahatani: persiapan lahan, penggunaan input, pergiliran tanaman dan (2)
merencanakan jumlah biaya yang dikeluarkan, hasil produksi, penjualan,
keuntungan dan usahatani organik berkelanjutan.
Berdasarkan Tabel 16 diketahui bahwa umumnya keterampilan manajemen
berada pada kategori sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat nilai kecenderungan
petani organik dalam keterampilan keuangan sebesar 79.72 persen, keterampilan
administrasi sebesar 85.00 persen, keterampilan manajemen SDM 92.92 persen,
keterampilan mengelola konsumen 65.41 persen, dan keterampilan rencana umum
94.58 persen. Permasalahan umum yang terdapat dalam keterampilan manajemen
yaitu pada keterampilan mengelola konsumen adalah petani tidak berhubungan
langsung/bernegosiasi dengan konsumen, hanya menggunakan perantara
komunitas petani organik dan hanya sebagian kecil mengetahui konsumen namun
memenuhi permintaan konsumen secara kualitas, kuantitas, dan kontinuitas.
Selain itu juga permasalahan di keterampilan keuangan adalah catatan keuangan
disimpan hanya dalam satu tahun, keterampilan administrasi adalah tersedia
catatan inventaris hanya disimpan satu tahun.
44

Keterampilan Peluang
Keterampilan peluang adalah keterampilan menangkap peluang dalam
usahatani. Keterampilan peluang terdiri dari keterampilan mengenali peluang
bisnis, keterampilan orientasi pasar dan konsumen, keterampilan menyadari skill,
keterampilan manajemen resiko, dan keterampilan inovasi. Hasil perhitungan
keterampilan kewirausahaan, keterampilan peluang disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Tingkat keterampilan peluang usahatani organik pada petani padi


organik
Bobot Keterampilan Peluang Petani
Variabel Manifest
Jumlah Skor Persentase
Keterampilan Peluang
Skor Maksimum (%)
Keterampilan mengenali
169 240 70.41
peluang bisnis
Keterampilan orientasi pasar
199 240 82.91
dan konsumen
Keterampilan menyadari skill 210 240 87.50
Keterampilan manajemen
286 360 79.44
resiko
Keterampilan inovasi 291 360 80.83
Total Skor 1155 1440 80.20

Keterampilan mengenali peluang bisnis dicirikan dalam hal: (1) melakukan


pencarian informasi konsumen organik, perkembangan pasar, dan meningkatkan
pengetahuan pertanian organik dan (2) berpartisipasi dalam jaringan sosial dan IT
serta melakukan komunikasi dengan stakeholder pertanian organik. Keterampilan
orientasi pasar dan konsumen dicirikan dalam hal: (1) semua hasil panen dijual ke
pasar dan sesuai dengan permintaan konsumen organik dan (2) selalu menjaga
kualitas produk (kadar air gabah kurang dari 21 persen). Keterampilan menyadari
skill dicirikan dalam hal: (1) menyadari kualitas keterampilan yang dimiliki,
memahami kekuatan, kelemahan dan (2) lebih dari 3 kali dalam setahun
mengikuti pelatihan dan penyuluhan pertanian. Keterampilan manajemen resiko
dicirikan dalam hal: (1) tidak pernah gagal, ada pengendalian oleh pemilik; (2)
tetap berproduksi walaupun kadar air gabah rendah dan produksi meningkat dan
(3) optimis lebih banyak untung dibanding rugi. Keterampilan inovasi dicirikan
dalam hal: (1) ya, melakukan lebih dari satu perubahan; (2) berpikir kreatif dan
problem solver; dan (3) ya, memiliki ide sendiri dan bersikap terbuka dengan hal-
hal baru. Berdasarkan Tabel 17 diketahui bahwa keterampilan peluang berada
pada kategori sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat nilai kecenderungan petani
organik lebih dari 75.00 persen. Selain itu juga terdapat indikator keterampilan
peluang yaitu keterampilan mengenali peluang bisnis berada pada kategori tinggi.
Nilai kecenderungan petani organik dalam keterampilan mengenali peluang bisnis
sebesar 70.41 persen. Permasalahan umum pada keterampilan peluang adalah
tidak melakukan pencarian informasi konsumen organik dan perkembangan pasar,
namun petani hanya meningkatkan pengetahuan pertanian organik.
45

Keterampilan Kerjasama dan Jaringan


Keterampilan kerjasama dan jaringan adalah kemampuan menjalin jaringan
dan kerjasama dalam usahatani. Keterampilan kerjasama dan jaringan berupa
memperluas koneksi relasi dan sinergi. Keterampilan kerjasama dan jaringan
tersebut terdiri dari keterampilan bekerjasama dengan petani dan perusahaan,
keterampilan jaringan, keterampilan kerjasama dalam kelompok, dan
keterampilan kepemimpinan. Hasil perhitungan keterampilan kewirausahaan,
keterampilan jaringan disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Tingkat keterampilan kerjasama dan jaringan usahatani organik pada


petani padi organik
Bobot Keterampilan Kerjasama dan
Variabel Manifest
Jaringan Petani
Keterampilan Kerjasama dan
Jumlah Skor Persentase
Jaringan
Skor Maksimum (%)
Keterampilan bekerjasama
184 240 76.66
dengan petani dan perusahaan
Keterampilan jaringan 179 240 74.58
Keterampilan kerjasama
154 240 64.17
dalam kelompok
Keterampilan kepemimpinan 259 360 71.94
Total Skor 776 1080 71.85

Keterampilan bekerjasama dengan petani dan perusahaan dicirikan dalam


hal: (1) melakukan pertemuan dan komunikasi, bernegosiasi dengan stakeholder
pertanian organik dan (2) menjalin kerjasama dengan sesama petani, komunitas
pertanian organik, dan ritel/perusahaan. Keterampilan jaringan dicirikan dalam
hal: (1) bergabung, aktif dan berkontribusi dalam komunitas petani
organik/kelompok tani/gapoktan dan (2) memiliki lebih dari tiga jaringan atau
relasi dalam usahatani organik. Keterampilan kerjasama dalam kelompok
dicirikan dalam hal: (1) saling percaya, saling bekerjasama dengan hasil produksi
meningkat dan (2) bersikap tanpa pamrih, saling memiliki, melakukan interaksi
sosial yang cukup intensif dan teratur dan ada umpan balik. Keterampilan
kepemimpinan dicirikan dalam hal: (1) Tidak ada kesalahan, produksi dilakukan
pemilik sendiri; (2) ya, selalu dibayar tunai dengan pembeli dan (3) tidak ada
komplain, produk yang dihasilkan berkualitas.
Berdasarkan Tabel 18 diketahui bahwa, keterampilan kerjasama dan
jaringan: keterampilan bekerjasama dengan petani dan perusahaan berada pada
kategori sangat tinggi sebesar 76.66 persen. Sedangkan keterampilan jaringan,
keterampilan kerjasama dalam kelompok dan keterampilan kepemimpinan berada
pada kategori tinggi dengan masing-masing persentase sebesar 74.58 persen,
64.17 persen dan 71.94 persen. Permasalahan umum yang terdapat dalam
keterampilan kerjasama dan jaringan yaitu pada keterampilan jaringan adalah
hanya memiliki dua jaringan/relasi dalam usahatani organik, keterampilan
kerjasama dalam kelompok adalah masih ada ketidakpercayaan menjalin
kerjasama dalam kelompok, dan keterampilan kepemimpinan adalah ada
komplain, pembeli diberi pengertian dan transparansi.
46

Keterampilan Strategi
Keterampilan strategi adalah kemampuan merumuskan strategi dalam
usahatani. Strategi tersebut terdiri dari keterampilan menerima dan memanfaatkan
umpan balik, keterampilan merefleksi usahatani, keterampilan pengawasan dan
evaluasi, keterampilan konseptual, keterampilan strategi, keterampilan
pengambilan keputusan dan keterampilan penetapan tujuan usaha. Hasil
perhitungan keterampilan kewirausahaan keterampilan strategi disajikan pada
Tabel 19.

Tabel 19 Tingkat keterampilan strategi usahatani organik pada petani padi organik
Bobot Keterampilan Strategi Petani
Variabel Manifest
Jumlah Skor Persentase
Keterampilan Strategi
Skor Maksimum (%)
Keterampilan menerima dan
188 240 78.33
memanfaatkan umpan balik
Keterampilan merefleksi
265 360 73.61
usahatani
Keterampilan pengawasan dan
182 240 75.83
evaluasi
Keterampilan konseptual 166 240 69.17
Keterampilan strategi 161 240 67.08
Keterampilan pengambilan
169 240 70.42
keputusan
Keterampilan penetapan tujuan
379 480 78.96
usaha
Total Skor 1510 2040 74.02

Keterampilan menerima dan memanfaatkan umpan balik dicirikan dalam


hal: (1) menerima saran dan masukan dari sesama petani, tenaga kerja, kelompok
tani dan pembeli, ada perubahan dan berhasil dan (2) intens meminta umpan balik,
perbaikan meningkat. Keterampilan merefleksi usahatani dicirikan dalam hal: (1)
merefleksi usahatani setiap musim/hari, belajar banyak dari pengalaman,
penghasilan meningkat; (2) belajar dari kegiatan usahatani sebelumnya dan
berhasil dan (3) mengidentifikasi fakta di lapangan, dan menemukan solusi yang
tepat. Keterampilan pengawasan dan evaluasi dicirikan dalam hal: (1) turut
langsung dalam mengelola usahatani secara keseluruhan dan melakukan
pencegahan masalah dan (2) peduli dan memperoleh informasi tentang faktor
pendukung dan penghambat, dan memenuhi indikator kinerja. Keterampilan
konseptual dicirikan dalam hal: (1) sepenuhnya menggunakan organik dan tidak
terkontaminasi dengan bahan non organik dan (2) membuat sendiri input organik
secara mandiri dan terjamin keorganikannya. Keterampilan strategi dicirikan
dalam hal: (1) menyisakan keuntungan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari,
keberlangsungan usahatani, dan untuk pengembangan usaha dan (2) mendapatkan
peningkatan skill dari proses belajar, punya rencana dan sudah dijalankan.
Keterampilan pengambilan keputusan dicirikan dalam hal: (1) menetapkan tujuan
dan mengidentifikasi masalah, berhasil mengatasi masalah dan (2)
memperhitungkan konsekuensi (positif dan negatif) dan mempersiapkan alternatif
keputusan. Keterampilan penetapan tujuan dicirikan dalam hal: (1) ada target,
47

target keuntungan; (2) tidak ada yang terbuang hasil panen, sudah ada
pengendalian; (3) menjaga kualitas produk organik; dan (4) selalu mencatat
pengeluaran dan penerimaan tunai maupun non tunai.
Berdasarkan Tabel 19 diketahui bahwa keterampilan strategi: keterampilan
menerima dan memanfaatkan umpan balik, keterampilan pengawasan dan
evaluasi, dan keterampilan penetapan tujuan usaha berada pada kategori sangat
tinggi. Hal ini dapat dilihat nilai kecenderungan petani organik lebih dari 75.00
persen. Sedangkan keterampilan merefleksi usahatani, keterampilan konseptual,
keterampilan strategi, dan keterampilan pengambilan keputusan berada pada
kategori tinggi. Masing-masing persentase sebesar 73.61 persen, 69.17 persen,
67.08 persen dan 70.42 persen.
Permasalahan umum yang terdapat dalam keterampilan strategi yaitu pada
keterampilan merefleksi usahatani adalah jarang melakukan refleksi dan belajar
dari pengalaman sebelumnya, mengulang kesalahan lagi, dan tiba masa tiba akal;
keterampilan konseptual adalah memahami konsep pertanian organik namun
masih bergantung kepada komunitas pertanian organik dalam penyediaan input
usahatani; keterampilan strategi adalah menyisakan keuntungan hanya untuk
mencukupi kehidupan sehari-hari, belajar dari proses yang didapatkan, memiliki
rencana jangka panjang tetapi hanya keinginan saja; dan keterampilan
pengambilan keputusan adalah menetapkan tujuan namun tidak mengidentifikasi
masalah, memperhitungkan konsekuensi (hanya positif), tidak mempersiapkan
alternatif keputusan.
Setelah masing-masing keterampilan kewirausahaan dideskripsikan,
kemudian dilakukan penghitungan persentase skor terhadap bobot keterampilan
kewirausahaan yang telah diperoleh dari hasil wawancara di lapangan. Hasil
keseluruhan persentase skor keterampilan kewirausahaan petani organik dapat
dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Tingkat keterampilan kewirausahaan petani padi organik


Persentase Tingkat Keterampilan
Keterampilan Kewirausahaan
(%) Kewirausahaan
Keterampilan profesi 87.26 Sangat Tinggi
Keterampilan manajemen 83.78 Sangat Tinggi
Keterampilan peluang 80.20 Sangat Tinggi
Keterampilan kerjasama dan jaringan 71.85 Tinggi
Keterampilan strategi 74.02 Tinggi

Pada Tabel 20 menunjukkan bahwa keterampilan profesi, keterampilan


manajemen dan keterampilan peluang berada dalam kategori sangat tinggi.
Sedangkan keterampilan kerjasama dan jaringan dan keterampilan strategi berada
dalam kategori tinggi. Dilihat dari hasil skor menunjukkan seluruh keterampilan
kewirausahaan yang dimiliki petani organik berada dalam kategori
entrepreneurial skills. Keterampilan profesi mendapatkan nilai presentase
tertinggi (87.26) dan keterampilan kerjasama/jaringan mendapatkan presentase
terendah (71.85) dari kelima keterampilan kewirausahaan.
Keterampilan kewirausahaan yang memiliki persentase skor sangat tinggi
adalah keterampilan profesi, keterampilan manajemen dan keterampilan peluang.
Indikator dari keterampilan profesi adalah keterampilan dalam memproduksi
48

tanaman organik dan keterampilan teknis. Petani organik dapat melakukan


produksi tanaman organik sesuai dengan standar organik dan terampil dalam
pembuatan bahan input organik serta penggunaan teknologi modern.
Keterampilan ini didapatkan setelah bergabung dalam komunitas petani organik,
dimana semua petani organik mendapatkan pelatihan secara berkala dalam
budidaya organik. Penggunaan teknologi modernpun banyak digunakan dalam
proses budidaya sedangkan penggunaan teknologi informasi hanya sebatas untuk
menelfon dan mengirim/menerima pesan tanpa memiliki akses internet.
Keterampilan kewirausahaan yang memiliki persentase skor sangat tinggi
adalah keterampilan manajemen. Namun, sebagian besar petani organik tidak
berhubungan langsung/bernegosiasi dengan konsumen, hanya menggunakan
perantara komunitas petani organik dan hanya sebagian kecil mengetahui
konsumen namun memenuhi permintaan konsumen secara kualitas, kuantitas, dan
kontinuitas. Selain itu, petani kurang memperhatikan pencatatan keuangan dan
administrasi usahatani, mereka hanya mengingat-ingat biaya ril yang dikeluarkan
dalam usahataninya. Jumlah pendapatan yang diperoleh petani dalam satu musim
tanam, mungkin menurut mereka mendapatkan keuntungan tetapi apabila
dilakukan pencataan yang lebih rinci ternyata petani tersebut mengalami kerugian.
Hal ini disebabkan petani tidak memperhitungkan semua biaya, seperti misalnya
biaya non tunai (biaya tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat, dan lain-lain).
Sedangkan keterampilan mengelola sumber daya manusia/tenaga kerja, konsumen
dan perencanaan umum sudah baik. Adanya komunitas ngawi organik center
merupakan wadah untuk meningkatkan keterampilan sumber daya manusia/tenaga
kerja, keterampilan melayani konsumen dan turut mengawasi dalam perencanaan
umum usahatani organik. Sehingga secara keseluruhan keterampilan manajemen
dalam kategori sangat tinggi.
Keterampilan kewirausahaan yang juga memiliki skor sangat tinggi adalah
keterampilan peluang. Petani sudah terampil dalam mengembangkan usahatani
organik secara berkelanjutan. Umumnya petani organik belum melewati masa
transisi/konversi dalam hal melakukan budidaya dan menjalankan usahatani
organik. Namun masih terdapat permasalahan pada keterampilan mengenali
peluang bisnis yaitu sebagian besar petani organik tidak melakukan pencarian
informasi konsumen organik dan perkembangan pasar, hanya meningkatkan
pengetahuan pertanian organik.
Keterampilan kerjasama dan jaringan dan keterampilan strategi memiliki
persentase skor tinggi. Secara keseluruhan petani organik sudah terampil dalam
keterampilan kerjasama dan jaringan. Namun masih terdapat permasalahan pada
keterampilan menjalin jaringan, kerjasama dalam kelompok dan kepemimpinan.
Sebagian besar petani hanya memiliki 2-3 jaringan dalam usahatani organik.
Selain itu, petani organik kurang kerjasama dalam kelompok. Mereka masih
memiliki rasa ketidakpercayaan sesama kelompok, sehingga timbul kecurigaan
dalam usahatani organik. Sedangkan masalah pada keterampilan kepemimpinan
adalah ada komplain, pembeli diberi pengertian dan transparansi. Pada
keterampilan strategi, sebagian petani organik jarang melakukan refleksi, jarang
belajar dari pengalaman sebelumnya, mengulang kesalahan lagi. Beberapa petani
mengidentifikasi fakta di lapangan, namun tidak menemukan solusi yang tepat,
menyisakan keuntungan hanya untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.
Permasalahan lain adalah umumnya petani memahami konsep pertanian organik
49

namun masih bergantung kepada komunitas pertanian organik dalam penyediaan


input usahatani, belajar dari proses yang didapatkan, memiliki rencana jangka
panjang tetapi hanya keinginan saja.

Kinerja Usaha Pertanian Organik

Kinerja usaha pertanian organik menggambarkan tingkat capaian hasil


seorang petani organik dalam menjalankan usahataninya. Kinerja usaha setiap
petani organik berbeda-beda tergantung dari keterampilan kewirausahaan, skala
usaha dan pengelolaan yang dilakukan oleh petani organik. Pada penelitian ini
kinerja yang diukur adalah penerapan pertanian organik, produktivitas dan
keuntungan yang diperoleh petani organik dalam satu musim tanam.

Penerapan Pertanian Organik


Kinerja penerapan pertanian organik dinilai dengan mengukur tingkat
penerapan pertanian organik berdasarkan standar nasional indonesia (SNI) 6729:
2016. Perhitungan skor dari pembobotan akan dijadikan dasar untuk mengukur
penerapan pertanian organik. Skor yang diperoleh merupakan hasil persentase dari
skor jawaban setiap kriteria dari indikator penerapan pertanian organik. Adapun
indikator penerapan pertanian organik berdasarkan SNI yang digunakan pada
penelitian ini dikondisikan dengan indikator di lapangan adalah tanaman segar
dan produk tanaman, manajemen produksi tanaman, penanganan, pengangkutan,
penyimpanan, dan pengemasan, pelabelan dan klaim, ketertelusuran dan
dokumentasi rekaman, produk organik asal pemasukan, persyaratan bahan lain
yang tidak terdapat pada lampiran, sertifikasi dan inspeksi. Pada Tabel 21 dapat
dilihat tingkat penerapan pertanian organik.

Tabel 21 Tingkat penerapan pertanian organik


Bobot Penerapan Pertanian Organik
No. Penerapan Pertanian Organik Jumlah Skor Persentase
Skor Maksimum (%)
1. Tanaman segar dan produk tanaman, manajemen produksi tanaman:
 Konversi 96 120 80.00
 Pemeliharaan manajemen
120 120 100
organik
 Produksi paralel dan produksi
47 120 39.16
terpisah
 Pencegahan kontaminasi 47 120 39.16
 Pengelolaan lahan, kesuburan
112 120 93.33
tanah dan air
 Pemilihan tanaman dan varietas 120 120 100
 Manajemen ekosistem dan
keanekaragaman dalam 95 120 79.17
produksi tanaman
 Pengelolaan organisme
114 120 95.00
pengganggu tanaman
50

Bobot Penerapan Pertanian Organik


Penerapan Pertanian Organik Jumlah Skor Persentase
No.
Skor Maksimum (%)
2. Penanganan, pengangkutan, penyimpanan dan pengemasan:
 Manajemen pascapanen 120 120 100
 Pengemasan 44 120 36.67
 Penyimpanan dan
117 120 97.50
Pengangkutan
4. Pelabelan dan klaim 87 120 72.50
5. Ketertelusuran dan dokumentasi
66 120 55.00
rekaman
6. Produk organik asal pemasukan 109 120 90.83
7. Persyaratan bahan lain yang tidak
116 120 96.67
terdapat pada lampiran
8. Sertifikasi 120 120 100
9. Inspeksi 120 120 100
Total Skor 1650 2040 80.88

Pada Tabel 21 menunjukkan bahwa tingkat penerapan pertanian organik


secara keseluruhan dalam kategori sangat tinggi dengan persentase 80.88 persen.
Tingginya penerapan pertanian organik ini dikarenakan semua petani organik
bergabung dalam Komunitas Ngawi Organik Center (KNOC). Petani organik
dengan mudah mendapatkan informasi dan pelatihan terkait penerapan pertanian
organik. Indikator konversi, pemeliharaan manajemen organik, pengelolaan lahan,
kesuburan tanah dan air, pemilihan tanaman dan varietas, manajemen ekosistem
dan keanekaragaman, penggunaan organisme pengganggu tanaman, manajemen
pascapanen, penyimpanan dan pengangkutan, pelabelan dan klaim, produk
organik asal pemasukan, persyaratan bahan lain yang tidak terdapat pada lampiran,
sertifikasi dan inspeksi berada pada kategori sangat tinggi. Sedangkan pada
indikator ketertelusuran dan dokumentasi rekaman berada pada kategori tinggi
dengan persentase 72.50. Beberapa petani melakukan pencatatan atau menyimpan
dokumentasi, namun tidak lengkap dan tidak tersimpan minimal 5 tahun. Data
tertulis dan dokumen yang menerangkan tentang semua jenis barang, kuantitas
dan penerima/pembeli barang yang terjual harus disimpan. Data tertulis atau
dokumentasi harus disimpan sehingga memungkinkan bagi lembaga sertifikasi
dan otoritas untuk menelusuri asal, sifat dan kuantitas semua bahan yang dibeli,
serta penggunaan bahan tersebut. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat
diminimalisir dengan bergabungnya petani organik dalam Komunitas Ngawi
Organik Center (KNOC). Pihak KNOC membantu dalam pencatatan administrasi
dan dokumentasi dalam usahatani organik.
Namun pada indikator produksi paralel dan produksi terpisah, pencegahan
kontaminasi, dan pengemasan berada dalam kategori rendah dengan masing-
masing persentase 39.16 persen, 39.16 persen, dan 36.67 persen. Indikator
produksi paralel dan produksi terpisah adalah perlakuan yang harus
memperhatikan pembatas, penanganan, pengemasan, penyimpanan yang jelas
sehingga tidak terjadi pencampuran antara produk organik dan non-organik.
Untuk mencegah resiko kontaminasi pada produksi paralel dan terpisah harus
memperhatikan upaya pencegahan kontaminasi. Produksi pararel (pararel
production) adalah pada suatu unit lahan ditanami oleh tanaman sejenis (misal
51

padi), namun belum semua blok yang ada di unit tersebut telah berstatus organik.
Produksi terpisah (split production) adalah pada suatu unit lahan ditanami oleh
beberapa jenis tanaman (berbeda), namun belum semua jenis tanaman tersebut
berstatus organik. Kendala yang terjadi di lapangan adalah belum semua lahan
usahatani organik ditanam secara organik. Tanaman konvensional saling
berdekatan dengan tanaman organik, sehingga terjadi kontaminasi air dan udara.
Untuk mencegah kontaminasi air, petani melakukan fertilisasi dengan sekam yang
dimasukkan dalam karung dan di simpan di sumber air.
Untuk pencegahan kontaminasi udara, beberapa petani tidak melakukan
pencegahan. Petani hanya saling mengingatkan ke petani konvensional dalam hal
penyemprotan pestisida agar tidak mengarahkan ke lahan organik. Sementara
dalam standar pertanian organik untuk mencegah kontaminasi udara tanaman
semusim adalah menanam tanaman penyangga (buffer zone) dengan lebar
minimal 2 meter dan dikelola secara organik. Tanaman penyangga tidak dapat
diklaim sebagai tanaman organik. Tanaman penyangga harus terdiri dari varietas
yang berbeda sehingga dapat dibedakan dengan tanaman yang diajukan untuk
sertifikasi. Bentuk zona penyangga (buffer zone) yang lain dapat berupa parit,
jalan, dan sejenisnya selebar minimal 3 meter. Serta membuat barrier/penghalang
berupa pagar hidup yang lebih tinggi dari tanaman yang diajukan untuk sertifikasi.
Umumnya petani organik melakukan pencegahan kontaminasi udara dengan
mananam tanaman penyangga.
Indikator selanjutnya yang memperoleh persentase rendah adalah
pengemasan. Hal ini dikarenakan sebagian besar petani tidak melakukan
pengemasan secara mandiri karena tidak memiliki alat pengemasan modern.
Pengemasan dilakukan oleh pihak KNOC dengan menggunakan alat pengemasan
modern dan bahan kemasan yang digunakan dapat di daur ulang. Namun ada
beberapa petani organik melakukan pengemasan secara mandiri, bahan kemasan
yang digunakan dapat di daur ulang namun kemasan yang masih tradisional.
Permasalahan-permasalahan dalam penerapan pertanian organik masih dapat
ditolerir oleh lembaga sertifikasi organik dikarenakan kondisi lingkungan
setempat. Adapun kegiatan usahatani organik yang paling menyalahi aturan
lembaga sertifikasi organik adalah memberikan pestisida pada tanaman organik.

Produktivitas
Kinerja produktivitas dinilai dengan mengukur jumlah hasil panen yang
dihasilkan petani organik. Variasi jumlah produksi setiap petani organik yang
berbeda-beda dipengaruhi oleh luas lahan dan kesuburan tanah. Berdasarkan
penelitian Herawati et al. (2014) menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas padi
organik di Tasikmala dari 2005-2012 mencapai 7.68 ton per hektar. Pada Tabel 22
dapat dilihat produktivitas padi organik (ton/ha) dalam satu musim tanam.

Tabel 22 Tingkat produktivitas usahatani padi organik KNOC per musim tahun
2017-2018
Produktivitas padi Rataan Persentase
Kategori Jumlah Petani
organik (ton/ha) (ton/ha) (%)
1-5 3.97 Rendah 3 10.00
>5-7 6.06 Sedang 19 63.33
>7 7.79 Tinggi 8 26.67
52

Tingkat produktivitas petani padi organik pada Tabel 22 menunjukkan >5-7


ton/ha/musim tergolong sedang dengan presentase 63.33 persen. Kondisi ini
menunjukkan bahwa unsur organik yang dipakai belum maksimal dalam
memperbaiki struktur tanah dan hara. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
lahan sawah padi organik berdekatan dengan lahan sawah padi konvensional
sehingga terkontaminasi melalui udara dan air. Penelitian yang dilakukan
Sugiyanta dan Aziz dalam Dewan Guru Besar IPB (2016) mengatakan bahwa
lahan yang dapat dijadikan lahan pertanian organik adalah lahan yang bebas
cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida. Lahan yang bebas polusi
(udara maupun air), baik yang bersumber dari polusi industri maupun areal
pertanian lainnya yang menggunakan asupan kimiawi. Jika struktur tanah dan hara
sudah baik dan didukung oleh lingkungan yang organik, maka akan meningkatkan
produktivitas hasil panen. Penelitian selanjutnya oleh Seufert (2012) mengenai
peluang pertanian organik untuk pembangunan pertanian berkelanjutan
mengatakan bahwa pertanian organik dapat meningkatkan produktivitas usahatani
petani kecil. Tingginya produktivitas akan mempengaruhi banyaknya keuntungan
yang diterima petani organik.

Penjualan
Penjualan pada penelitian ini diukur dengan melihat hasil penjualan yang
diperoleh dari usahatani organik. Penjualan diperoleh dari jumlah penjualan gabah
kering panen dikalikan dengan harga gabah. Variasi jumlah penjualan setiap
petani organik yang berbeda-beda dipengaruhi oleh hasil panen dan jumlah
anggota dalam keluarga. Rincian hasil penjualan per hektar per musim usahatani
padi organik dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Hasil penjualan per hektar per musim usahatani padi organik KNOC
tahun 2017-2018 (dalam ribuan)
Jumlah Gabah Kering Panen Harga (Rp) Hasil Penjualan (Rp)
(ton)
5.24 5 171 27 146

Berdasarkan Tabel 23, hasil penjualan gabah kering panen organik sebesar
Rp 27 146 000/ha/musim. Akses untuk menjual gabah kering panen oleh petani
cukup mudah. Berdasarkan fakta yang terlihat di lapangan terjadi bahwa
penjualan langsung dijual ke KNOC. Selanjutnya, penanganan sepenuhnya
dilakukan oleh KNOC yang memang memiliki konsep manajemen pemasaran dan
tenaga yang profesional akan tetapi petani tidak boleh terlibat disana sehingga
penjualan dapat tertangani dengan baik oleh pihak KNOC. Semua hal ini sudah
tertuang di dalam kontrak kerja yang disepakati di awal sebelum berproduksi
antara petani padi organik dan pihak KNOC sehingga sifatnya mengikat untuk
kedua belah pihak.

Keuntungan
Kinerja keuntungan diukur dengan melihat tingkat pendapatan bersih yang
diperoleh dari usahatani organik secara keseluruhan. Keuntungan diperoleh dari
penerimaan dikurangi dengan biaya usahatani. Penerimaan diperoleh dari
penerimaan tunai yaitu nilai uang yang diterima petani dari jumlah output yaitu
53

GKP (gabah kering panen) yang dikalikan dengan harga jual dan penerimaan non
tunai yaitu nilai uang dari gabah yang dikonsumsi petani. Biaya usahatani juga
terbagi atas biaya tunai dan biaya non tunai. Biaya tunai merupakan biaya yang
dikeluarkan petani secara nyata dan dalam bentuk uang. Sedangkan biaya non
tunai adalah biaya yang tidak dikeluarkan secara tunai namun tetap
diperhitungkan. Komponen biaya tunai pada usahatani padi organik terdiri dari
biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap pada usahatani padi organik terdiri dari
biaya sewa lahan, pajak, iuran desa, iuran irigasi, sewa traktor dan sewa mesin
panen. Selain itu terdapat biaya variabel yaitu benih, kompos, bbm/listrik, bagi
hasil, upah tenaga kerja luar keluarga (TKLK), upah angkut pupuk, dan
transportasi panen. Biaya transportasi panen dihitung berdasarkan jarak lokasi
lahan dengan lokasi penyimpanan gabah. Bagi petani anggota KNOC, GKP
langsung disimpan di lumbung KNOC. Adapun komponen biaya non tunai pada
usahatani padi organik terdiri dari biaya MOL, agen hayati, penyusutan alat
pertanian, dan upah tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Rincian biaya per
hektar per musim usahatani padi organik dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Biaya per hektar per musim usahatani padi organik KNOC tahun
2017-2018 (dalam ribuan)
Komponen Biaya Rupiah (Rp) Persentase (%)
Biaya Tunai
Biaya Tetap 3 093 16.07
Biaya Variabel
Benih 286 1.48
Kompos 1 461 7.59
BBM/Listrik 80 0.41
TKLK 5 897 30.64
Bagi Hasil 942 4.89
Upah Angkut Pupuk 494 2.56
Transportasi panen 235 1.22
Total Biaya Tunai 12 488 64.89
Biaya Non Tunai
Benih 117 0.60
Kompos 1 414 7.34
MOL 580 3.01
Agen Hayati 73 0.37
Penyusutan alat 3 013 15.65
TKDK 1 557 8.09
Total Biaya Non Tunai 6 754 35.11
Total Biaya 19 242 100.00

Berdasarkan Tabel 24 diketahui bahwa rata-rata presentase biaya terbesar


pada usahatani organik terdapat pada biaya tenaga kerja luar keluarga yang
merupakan biaya tunai. Presentase biaya tenaga kerja luar keluarga menjadi tinggi
dikarenakan kegiatan pada usahatani padi organik membutuhkan kerja yang lebih
intensif. Kemudian persentase biaya terbesar selanjutnya adalah biaya tetap yang
merupakan biaya tunai. Biaya penyusutan alat dalam biaya non tunai juga
memberikan persentase tinggi. Sebagian besar petani organik memiliki alat dan
mesin pertanian modern. Tenaga kerja dalam keluarga dalam biaya non tunai juga
memberikan persentase tinggi.
54

Biaya tunai lebih besar dikeluarkan oleh petani organik. Petani padi organik
mencurahkan lebih banyak untuk upah TKLK dan biaya tetap. Oleh karena itu
proporsi kebutuhan uang secara tunai lebih banyak dikeluarkan oleh petani padi
organik. Namun, petani padi organik perlu mempertimbangkan ketersediaan input
untuk pupuk, MOL dan pestisida organik. Meskipun jumlah untuk pupuk, MOL
dan pestisida organik belum pernah mengalami keterbatasan persediaan. Petani
organik juga mempertimbangkan jarak antara lahan sawah yang diusahakan
dengan lokasi KNOC. Jarak yang relatif jauh akan membutuhkan lebih banyak
waktu dan tenaga untuk mendistribusikan kebutuhan pupuk, MOL dan pestisida
organik serta hasil panen.
Keberhasilan pada usahatani padi organik diukur menggunakan analisis
penerimaan dan pendapatan usahatani. Penerimaan pada usahatani padi organik
diperoleh dari nilai uang yang diterima petani dari jumlah output produksi yaitu
GKP (gabah kering panen) yang dikalikan dengan harga jual. Keuntungan
digunakan untuk mengukur seberapa besar nilai yang diterima petani terhadap
biaya-biaya yang telah dikeluarkan baik secara tunai maupun non tunai.
Penerimaan dan keuntungan usahatani padi organik dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25 Rata-rata produksi dan penerimaan per hektar per musim pada usahatani
padi organik KNOC tahun 2017-2018 (dalam ribuan)
Keterangan Padi Organik
Jumlah produksi (kg) 6 315
Harga (Rp) 5 171
Penerimaan tunai (Rp) 27 146
Penerimaan non tunai (Rp) 1 197
Total penerimaan (Rp) 28 344
Biaya tunai (Rp) 12 488
Biaya non tunai (Rp) 6 754
Biaya total (Rp) 19 242
Keuntungan (Rp) 9 102
R/C rasio 1.47

Keuntungan merupakan salah satu cara untuk mengukur keberhasilan suatu


usaha. Setiap usaha yang dijalankan akan selalu mengharapkan keuntungan
maksimal. Berdasarkan Tabel 25 dapat dilihat bahwa keuntungan rata-rata yang
diterima sebesar Rp 9 102/ha/musim. Harga jual padi organik ditetapkan oleh
pihak KNOC, harga rata-rata Rp 5 171. Tinggi rendahnya harga padi organik
dipengaruhi oleh kadar air gabah saat panen. Kadar air gabah organik 19 persen
hingga kurang dari sama dengan 21 persen akan dibeli dengan harga Rp 5 000/kg
untuk gabah beras putih dan Rp 5 200/kg untuk gabah beras merah, sedangkan
untuk gabah beras hitam dengan harga Rp 6 000/kg. Jika kadar air gabah padi
organik saat panen lebih dari 21 persen maka harga jual akan menurun sesuai
dengan presentase kenaikan kadar air yang terukur. Adanya toleransi batas kadar
air gabah yang diterima dikarenakan akan memengaruhi jumlah rendemen beras
ketika digiling.
Jika dibandingkan dengan padi konvensional dimana tingkat produktivitas
dan biaya yang sama, harga yang diberikan untuk padi organik merupakan harga
premium. Sedangkan harga padi konvensional sekitar Rp 4 500 di musim kemarau
55

dan antara Rp 3 200/kg - Rp 3 800/kg di musim penghujan. Hasil penerimaan padi


organik lebih tinggi dan lebih menguntungkan. Hal ini berimplikasi pada nilai R/C
rasio diperoleh 1.47 (R/C rasio > 1) maka usahatani padi organik menguntungkan dan
layak untuk diusahakan. Penelitian Cavigelli et al. (2009) bahwa kelebihan metode
bertani organik yang lain adalah, dalam jangka panjang hasil produksinya
meningkat dan sebaliknya, biaya produksi menurun. Secara umum, beberapa hasil
penelitian mengatakan bahwa pertanian organik memberikan keuntungan yang
lebih besar dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani (da Costa 2012).
Pertanian organik memberikan hasil yang positif terhadap para petani. Secara
umum, banyak penelitian yang mengevaluasi manfaat ekonomi dari pertanian
organik. Sehingga dapat merekomendasikan penerapannya sebagai sistem
produksi yang lebih menguntungkan (Offermann dan Nieberg 2000, Canavari et
al. 2004, Bolwig et al. 2009, Argiles dan Brown 2010). Manfaat ekonomi adalah
salah satu faktor pendorong utama untuk mengkonversi pertanian organik yang
bersertifikat (Cobb et al. 1999, Pimentel et al. 2005, Kerselaers et al. 2007,
Bolwig et al. 2009).

Indikator Keterampilan Kewirausahaan

Model awal pada PLS menunjukkan dua puluh indikator yang


merefleksikan keterampilan kewirausahaan. Tiga indikator yang tidak
merefleksikan keterampilan kewirausahaan (faktor loading < 0.5) (Gambar 6).
Ketiga indikator yang tidak memenuhi faktor loading akan dikeluarkan dalam
model sedangkan indikator yang memenuhi faktor loading akan diikutsertakan
dalam model. Indikator yang valid merefleksikan keterampilan kewirausahaan
adalah keterampilan profesi: keterampilan teknis (KT); keterampilan manajemen:
keterampilan administrasi (KA), keterampilan keuangan (KKEU), keterampilan
mengelola konsumen (KMK), keterampilan manajemen sumber daya manusia
(KMSDM), dan keterampilan rencana umum (KRU); keterampilan peluang:
keterampilan inovasi (KI), keterampilan mengenali peluang bisnis (KMPB),
keterampilan manajemen resiko (KMR), keterampilan menyadari skill (KMS),
dan keterampilan orientasi pasar dan konsumen (KOPK); keterampilan jaringan:
keterampilan bekerjasama petani dan perusahaan (KBPP), keterampilan,
keterampilan jaringan (KJ), keterampilan kepemimpinan (KKEP), dan
keterampilan kerjasama (KKER); keterampilan strategi: keterampilan konseptual
(KKON), keterampilan menerima dan memanfaatkan umpan balik (KMMUB),
keterampilan merefleksi usahatani (KMU), keterampilan pengambilan keputusan
(KPK), keterampilan penetapan tujuan usaha (KPTU), dan keterampilan strategi
(KS). Analisis secara lebih detail terhadap masing-masing indikator adalah
sebagai berikut:

1) Keterampilan Profesi
Model awal menunjukkan indikator keterampilan kewirausahaan pada
keterampilan profesi adalah keterampilan teknis (KT). Variabel indikator
keterampilan teknis dianalisis dengan melihat kondisi dalam pembuatan pupuk
kompos, mikro organisme lokal (MOL), dan agen hayati. Selain itu, penggunaan
alat dan mesin pertanian dan alat komunikasi dan akses internet. Penggunaan
56

komunikasi elektronik juga menjadi penting dalam mengelola bisnis pertanian


(Kahan 2013). Informasi teknis dan pasar semakin banyak melalui layanan
komunikasi elektronik berbasis online. Secara keseluruhan, keterampilan teknis
petani padi organik sebesar 80.28 persen dalam kategori sangat tinggi.
Berdasarkan hasil PLS (Gambar 6) nilai faktor loading keterampilan teknis
sebesar 0.880 dinyatakan valid. Maka dapat diartikan bahwa manifest
keterampilan teknis yang merupakan keterampilan profesi paling besar
membentuk keterampilan kewirausahaan. Hasil ini menunjukkan bahwa
keterampilan teknis sangat dibutuhkan petani organik. Dengan kata lain, semakin
terampil keterampilan teknis petani organik, semakin kuat pembentukan karakter
wirausaha dalam dirinya.

2) Keterampilan Manajemen
Indikator keterampilan kewirausahaan pada keterampilan manajemen yang
memenuhi standar loading faktor adalah keterampilan administrasi (KA),
keterampilan keuangan (KKEU), keterampilan mengelola konsumen (KMK),
keterampilan manajemen sumber daya manusia (KMSDM), dan keterampilan
rencana umum (KRU). Secara keseluruhan, keterampilan administrasi petani
organik sebesar 85.00 persen, keterampilan keuangan 79.72 persen, keterampilan
manajemen SDM 92.92 persen, dan keterampilan mengelola konsumen 65.41.
Secara umum keterampilan manajemen berada pada kategori sangat tinggi. Hal ini
didukung oleh Komunitas Ngawi Organik (KNOC) yang melakukan pengecekan
secara berkala dan menyediakan format pendataan keuangan dan administrasi.
Selain itu, pihak KNOC juga aktif dalam kelompok tani, pengelolaan konsumen
melalui perantara KNOC dan merencanakan semua kegiatan usahatani.
Berdasarkan hasil PLS (Gambar 6) nilai faktor loading keterampilan manajemen
yang paling besar membentuk keterampilan kewirausahaan adalah keterampilan
keuangan (KKEU) sebesar 0.849. Adapun variabel indikator keterampilan
keuangan adalah catatan keuangan setiap musim tanam, perencanaan keuangan
dan investasi usahatani di masa depan yang dicatat dengan lengkap dan disimpan
dalam lima tahun. Hasil ini menunjukkan bahwa keterampilan keuangan sangat
dibutuhkan petani organik. Dengan kata lain, semakin terampil petani organik
dalam mengelola keterampilan keuangan, semakin kuat pembentukan
keterampilan kewirausahaan dalam dirinya. Penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Kodithuwakku dan Rosa (2002) pada petani padi di Srilanka
menunjukkan bahwa petani memulai mengembangkan bisnisnya dengan cara
mengelola lahan pertanian padi. Mereka memiliki keterampilan manajemen yang
baik dan mereka mampu menggabungkan keterampilan-keterampilan yang ada.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ketidaksuksesan sebagian besar petani
komersil karena kesalahan manajemen yang disebabkan oleh ketidakmampuan
untuk menangani alokasi sumber daya yang efisien.

3) Keterampilan Peluang
Model awal PLS menunjukkan semua indikator keterampilan
kewirausahaan pada keterampilan peluang merefleksikan keterampilan
kewirausahaan. Adapun indikator keterampilan kewirausahaan pada keterampilan
peluang adalah keterampilan inovasi (KI), keterampilan mengenali peluang bisnis
(KMPB), keterampilan manajemen resiko (KMR), keterampilan menyadari skill
57

(KMS), dan keterampilan orientasi pasar dan konsumen (KOPK). Secara


keseluruhan, keterampilan inovasi petani organik sebesar 80.83 persen,
keterampilan mengenali peluang bisnis 70.41 persen, keterampilan manajeme
resiko 79.44 persen, keterampilan menyadari skill 87.50 persen dan keterampilan
orientasi pasar dan konsumen 82.91. Keterampilan peluang petani padi organik di
lokasi penelitian berada dalam kategori sangat tinggi. Berdasarkan hasil PLS
(Gambar 6) nilai faktor loading keterampilan peluang yang paling besar
membentuk keterampilan kewirausahaan adalah keterampilan mengenali peluang
bisnis (KMPB) sebesar 0.871. Adapun variabel indikator keterampilan mengenali
peluang bisnis adalah pencarian informasi konsumen organik dan perkembangan
pasar, pengetahuan pertanian organik, berpartisipasi dalam jaringan sosial dan IT
serta melakukan komunikasi dengan stakeholder pertanian organik. Menurut
Kahan (2013) menyatakan bahwa untuk memastikan bisnis pertanian berkembang
dan dapat beradaptasi dalam menghadapi perubahan, wirausahatani perlu
menangkap setiap peluang dan manfaatkan yang terbaik.

4) Keterampilan Jaringan
Semua Indikator keterampilan kewirausahaan pada keterampilan jaringan
memenuhi standar faktor loading yaitu keterampilan bekerjasama petani dan
perusahaan (KBPP), keterampilan, keterampilan jaringan (KJ), keterampilan
kepemimpinan (KKEP), dan keterampilan kerjasama (KKER). Secara keseluruhan,
keterampilan bekerjasama dengan petani dan perusahaan berada pada kategori
sangat tinggi sebesar 76.66 persen. Sedangkan keterampilan jaringan,
keterampilan kerjasama dalam kelompok dan keterampilan kepemimpinan berada
pada kategori tinggi dengan masing-masing persentase sebesar 74.58 persen,
64.17 persen dan 71.94 persen. Secara umum keterampilan manajemen berada
pada kategori tinggi. Berdasarkan hasil PLS (Gambar 6) nilai faktor loading
keterampilan jaringan yang paling besar membentuk keterampilan kewirausahaan
adalah keterampilan kepemimpinan (KKEP) sebesar 0.883. Adapun variabel
indikator keterampilan kepemimpinan adalah hubungan antara pemilik usaha,
tenaga kerja dan pembeli. Hasil ini menunjukkan bahwa keterampilan
kepemimpinan sangat dibutuhkan petani organik. Dengan kata lain, semakin
terampil petani organik dalam memimpin usahatani organik, semakin kuat
pembentukan keterampilan kewirausahaan dalam dirinya. Penelitian Kahan
(2013) mengatakan bahwa keterampilan kepemimpinan merupakan elemen
penting dari keterampilan kerjasama/jaringan.

5) Keterampilan Strategi
Indikator keterampilan kewirausahaan pada keterampilan manajemen yang
memenuhi standar loading faktor adalah keterampilan konseptual (KKON),
keterampilan menerima dan memanfaatkan umpan balik (KMMUB), keterampilan
merefleksi usahatani (KMU), keterampilan pengambilan keputusan (KPK),
keterampilan penetapan tujuan usaha (KPTU), dan keterampilan strategi (KS).
Secara keseluruhan, keterampilan strategi: keterampilan menerima dan
memanfaatkan umpan balik, keterampilan pengawasan dan evaluasi, dan
keterampilan penetapan tujuan usaha berada pada kategori sangat tinggi. Hal ini
dapat dilihat nilai kecenderungan petani organik lebih dari 75.00 persen.
Sedangkan keterampilan merefleksi usahatani, keterampilan konseptual,
58

keterampilan strategi, dan keterampilan pengambilan keputusan berada pada


kategori tinggi. Masing-masing persentase sebesar 73.61 persen, 69.17 persen,
67.08 persen dan 70.42 persen. Secara umum keterampilan manajemen berada
pada kategori tinggi. Berdasarkan hasil PLS (Gambar 6) nilai faktor loading
keterampilan strategi yang paling besar membentuk keterampilan kewirausahaan
adalah keterampilan pengambilan keputusan (KPK) sebesar 0.893. Adapun
variabel indikator keterampilan pengambilan keputusan adalah menetapkan tujuan,
identifikasi masalah, memperhitungkan konsekuensi positif dan negatif, dan
mempersiapkan alternatif keputusan.. Hasil ini menunjukkan bahwa keterampilan
pengambilan keputusan sangat dibutuhkan petani organik. Dengan kata lain,
semakin terampil petani organik dalam mengambil keputusan, semakin kuat
pembentukan keterampilan kewirausahaan dalam dirinya. Menurut Kahan (2013)
menyatakan bahwa keterampilan strategis diperlukan agar petani memposisikan
pertanian mereka untuk masa depan, pemikiran yang besar. Petani yang memiliki
strategi dapat membantu petani dalam membuat pilihan yang tepat. Selain itu,
membantu petani dalam menentukan keputusan jangka pendek yang konsisten
dengan tujuan jangka panjang.

Indikator pada Faktor Individu dan Faktor Lingkungan

Model awal PLS menunjukkan beberapa indikator yang tidak merefleksikan


konstruk faktor individu dan faktor lingkungan (faktor loading < 0.5), sehingga
indikator-indikator tersebut dikeluarkan dari model (Gambar 6). Sedangkan
indikator yang memenuhi faktor loading akan diikutsertakan dalam model.
Indikator yang valid merefleksikan faktor individu adalah pendidikan (PEND),
motivasi (MOTIV), ketersediaan sarana dan prasarana (KSPRA), dan status dan
kepemilikan usaha (SKU), dan faktor lingkungan adalah ketersediaan input
(KINP), bantuan permodalan (BTPM), promosi dan pemasaran (PRPM), SERTA
dukungan lembaga (DL). Berikut penjelasan beberapa indikator pada faktor
individu dan lingkungan yang diikutsertakan dari model :

Faktor Individu
Faktor individu (FI) yaitu faktor penyebab keterampilan kewirausahaan
yang melekat pada pribadi petani organik yang sifatnya dapat diubah oleh hasil
usaha individu itu sendiri. Indikator yang digunakan dalam faktor individu yang
memenuhi standar loading faktor adalah pendidikan (PEND), motivasi (MOTIV),
ketersediaan sarana dan prasarana (KSPRA), dan skala dan kepemilikan usaha
(SKU).

Pendidikan
Indikator tingkat pendidikan (PEND) memiliki nilai faktor loading 0.875
(Gambar 6). Hasil ini mengakibatkan indikator pendidikan dapat merefleksikan
faktor individu. Fakta di lapangan mendukung hasil estimasi tersebut, dimana
responden petani organik telah memiliki standar pendidikan formal yang tinggi
yakni 53.33 persen telah menyelesaikan studi SMA dan perguruan tinggi. Selain
itu 76.67 persen mengatakan pendidikan untuk mendapatkan
pekerjaan/penghasilan, namun 76.67 persen petani organik hanya sesekali
59

berkomunikasi dan menyampaikan ide/pendapat dalam usahatani. Walaupun


demikian, temuan ini menunjukkan bahwa tingkatan pendidikan menjadi sebuah
acuan perbandingan untuk mencerminkan keterampilan kewirausahaan. Soemanto
(2006) menjelaskan bahwa terdapat beberapa fakta kehidupan yang akhirnya
menuntut masyarakat untuk lebih mementingkan pendidikan dalam kehidupan
mereka. Fakta-fakta yang dimaksud yakni meningkatnya kebutuhan hidup,
melajunya pertumbuhan penduduk, berubahnya pola-pola kehidupan manusia,
berubahnya dunia pekerjaan, tantangan dalam pertumbuhan ekonomi, dan
menipisnya sumber-sumber ekonomi masyarakat pedesaan. Fakta-fakta tersebut
juga sedikit banyaknya dialami pula oleh responden, sehingga pendidikan telah
menjadi perhatian penting bagi mereka.

Motivasi
Indikator selanjutnya yang merefleksikan konstruk faktor individu adalah
motivasi (MOTIV). Nilai faktor loading indikator motivasi adalah 0.657 (Gambar
6). Hasil di lapangan turut menjelaskan temuan tersebut yaitu 80 persen responden
menjalankan usahatani organik untuk meningkatkan keuntungan dan 73.33 persen
melakukan usahatani organik atas inisiatif sendiri. Sangat banyak petani organik
yang memiliki keinginan tinggi terhadap pencapaian keuntungan dan didasari oleh
keinginan sendiri. Hal inilah yang menyebabkan indikator motivasi dapat
membentuk faktor individu.

Ketersediaan Sarana dan Prasarana (KSPRA)


Nilai faktor loading pada satu indikator yang merefleksikan konstruknya
sebesar 0.916. Indikator tersebut adalah ketersediaan sarana dan prasarana
(KSPRA). Berdasarkan hasil PLS (Gambar 6) nilai faktor loading faktor
ketersediaan sarana dan prasarana yang paling besar membentuk faktor individu.
Temuan di lapangan menunjukkan keseluruhan petani organik telah memiliki
sarana dan prasarana memadai. Sarana dan prasarana yang masih tergolong
mudah dan murah menyebabkan petani organik terbilang tidak sulit dalam
pemenuhannya. Keberadaan sarana dan prasarana dalam menjalankan usaha
pertanian organik sangatlah penting, bahkan adanya kekurangan sarana atau
prasarana dapat menghambat bahkan memberhentikan proses usahatani. Sebagai
contoh salah satu responden yang berusahatani padi organik tidak akan melakukan
kegiatan produksi apabila segala sarana dan prasarana belum terpenuhi seperti
benih, pupuk kompos, mikro organisme lokal, traktor dan lainnya. Kekurangan
sarana dan prasarana tersebut akan menghentikan usahatani organik karena
kekurangan tersebut tidak dapat digantikan dengan sarana dan prasarana lainnya.
Pentingnya sarana dan prasarana dalam menjalankan kegiatan usahatani organik
menyebabkan pemenuhan sarana dan prasarana mampu mempengaruhi
keterampilan kewirausahaan yang terbentuk pada petani organik.

Skala dan Kepemilikan Usaha


Indikator selanjutnya yang merefleksikan konstruk faktor individu adalah
status dan kepemilikan usaha (SKU). Nilai faktor loading indikator status dan
kepemilikan usaha adalah 0.843 (Gambar 6). Hasil di lapangan turut menjelaskan
temuan tersebut yaitu 73.33 persen responden memiliki skala usaha 0.01-0.5
hektar dan 66.67 persen responden kepemilikan usaha adalah milik sendiri.
60

Mayoritas responden pada penelitian ini tergolong petani kecil, namun


kepemilikian usahatani organik adalah milik sendiri. Pelaku usaha sudah merasa
cukup dengan skala usaha yang ada, dan dengan skala usaha yang dimiliki
peternak mampu efisien dalam melakukan aktivitas usaha. Walaupun demikian
seluruh responden memiliki tujuan jangka panjang untuk memperluas skala
usahatani organik. Hal inilah yang menyebabkan indikator skala dan kepemilikan
usaha dapat membentuk faktor individu.

Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan (FL) merupakan variabel laten eksogen yang
menggambarkan kondisi diluar diri petani organik. Indikator yang digunakan
dalam faktor lingkungan yang memenuhi standar faktor loading adalah
ketersediaan input (KINP), bantuan permodalan (BTPM), promosi dan pemasaran
(PRPM), dan dukungan lembaga (DL). Indikator-indikator tersebut adalah:

Ketersediaan Input
Indikator ketersediaan input (KI) merefleksikan konstruk faktor lingkungan.
Indikator ketersediaan input memiliki nilai faktor loading 0.682 (Gambar 6). Hasil
di lapangan turut menjelaskan temuan tersebut yaitu 50 persen responden
mengatakan input tersedia setiap saat yang cukup namun masih tergantung pada
kelompok tani/KNOC. Selanjutnya 50.00 persen mengatakan input tersedia setiap
saat yang cukup dan dihasilkan secara mandiri. Selain itu, 100 pesen petani
organik mengatakan bahwa tersedia informasi input dan terjaminnya kualitas dan
kuantitas input. Pentingnya ketersediaan input dalam usahatani organik inilah
yang menyebabkan indikator ketersediaan input dapat mempengaruhi
pembentukan faktor lingkungan.

Bantuan Permodalan
Indikator bantuan permodalan memiliki nilai faktor loading sebesar 0.799
(Gambar 6) membuktikan bahwa indikator bantuan permodalan mampu
merefleksikan konstruk faktor lingkungan. Status kepemilikan modal oleh
reponden yakni pribadi, 86.67 persen responden yang tidak ada penyaluran modal
dari pemerintah/modal sendiri. Hanya terdapat tiga responden yang memiliki
modal bantuan dari pemerintah maupun swasta. Fakta ini menunjukkan bahwa
belum terdapat sentuhan nyata dalam bentuk bantuan modal dari pemerintah,
sedangkan 93.33 persen petani organik mendapatkan bantuan pengadaan sarana
produksi. Kemudian 100 persen responden mengatakan adanya penyaluran
permodalan yang mudah dari pemerintah memberikan peluang pengembangan
usaha. Bantuan modal tentunya dapat meringankan beberapa permasalahan yang
dihadapi petani organik salah satunya meningkatkan skala usaha mereka.

Promosi dan Pemasaran


Indikator promosi dan pemasaran memiliki nilai faktor loading sebesar
0.842 (Gambar 6) membuktikan bahwa indikator promosi dan pemasaran mampu
merefleksikan konstruk faktor lingkungan. Variabel indikator promosi dan
pemasaran dianalisis dengan ketersediaan informasi promosi dan pemasaran dan
bantuan dalam menyebarkan informasi dan pemasaran produk. Sebanyak 93.33
persen petani organik mengatakan bahwa tidak ada penyediaan informasi promosi
61

dan pemasaran. Namun, sebanyak 93.33 petani organik mendapatkan bantuan


dalam menyebarkan informasi dan pemasaran produk melalui KNOC. Walaupun
petani mendapatkan bantuan promosi dan pemasaran melalui KNOC, petani
menginginkan untuk dilibatkan dalam promosi dan pemasaran.

Dukungan Lembaga
Indikator selanjutnya yang merefleksikan konstruk faktor lingkungan adalah
dukungan lembaga (DL). Nilai faktor loading indikator dukungan lembaga adalah
0.855. Berdasarkan hasil PLS (Gambar 6) nilai faktor loading dukungan lembaga
yang paling besar membentuk faktor lingkungan. Temuan di lapangan
menunjukkan 100.00 persen petani organik telah memiliki dukungan lembaga
usaha organik berupa komunitas organik. Sebanyak 93.33 persen responden
menyatakan dukungan lembaga hanya pada budidaya dan input usaha organik.
Petani organik membutuhkan dukungan lembaga yang membantu dalam
subsistem hulu hingga hilirisasi usahatani organik. Keberadaan dukungan
lembaga dalam menjalankan usaha pertanian organik sangatlah penting.
Pentingnya dukungan lembaga dalam menjalankan kegiatan usahatani organik
mampu membentuk faktor lingkungan petani organik.

Indikator Kinerja Usaha Pertanian Organik

Model awal PLS menunjukkan semua indicator merefleksikan konstruk


kinerja usaha, sehingga indikator-indikator tersebut diikutsertakan dalam model
(Gambar 6). Pada konstruk kinerja usaha terdiri dari tiga indikator. Ketiga
indikator tersebut adalah produktivitas (PROD), penjualan (PENJ), dan
keuntungan (KEUNT). Analisis secara lebih detail terhadap masing-masing
indikator adalah sebagai berikut:

Produktivitas
Indikator selanjutnya yang merefleksikan konstruk kinerja usaha adalah
produktivitas (PROD). Nilai faktor loading indikator produktivitas adalah 0.703
Gambar 6). Hasil perhitungan produktivitas padi organik menunjukkan bahwa 50
persen responden memperoleh produktivitas 0 – 6.17 ton/ha dan 50 persennya
sebesar 6.18 – 9.33 ton/ha. Temuan di lapangan menunjukkan sebagian
produktivitas menyamai produktivitas padi konvensional dan sebagian lagi telah
melebihi produktivitas padi konvensional.

Penjualan
Indikator penjualan memiliki nilai faktor loading sebesar 0.911 (Gambar 6)
membuktikan bahwa indikator penjualan mampu merefleksikan konstruk kinerja
usaha. Temuan di lapangan menunjukkan 50 persen petani organik memperoleh
hasil penjualan Rp 0 – 27 231 000 dan 50 persennya sebesar Rp 27 232 000 –
43 680 000. Pentingnya hasil penjualan dalam menjalankan kegiatan usahatani
organik mampu membentuk kinerja usaha.
62

Keuntungan
Indikator keuntungan memiliki nilai faktor loading sebesar 0.929 (Gambar
6) membuktikan bahwa indikator keuntungan mampu merefleksikan konstruk
kinerja usaha. Berdasarkan hasil PLS (Gambar 5) nilai faktor loading keuntungan
yang paling besar membentuk kinerja usaha. Hasil perhitungan usahatani padi
organik menunjukkan bahwa 50 persen responden memperoleh keuntungan
Rp 0 – Rp 8 212 000 dan 50 persennya sebesar Rp 8 213 000 – Rp 28 848 000.
Keuntungan usaha yang diperoleh petani organik telah mampu memenuhi
kebutuhan usaha dan kebutuhan hidup petani.

Pengaruh Faktor Individu, Faktor Lingkungan, dan Keterampilan


Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha

Tahapan pertama dalam analisis PLS adalah evaluasi model pengukuran


(outer model). Model pengukuran menunjukan bagaimana variabel manifest
merepresentasi variabel laten untuk diukur. Evaluasi model pengukuran dilakukan
terhadap konstruk yang direfleksikan oleh indikator-indikator didalamnya.
Berdasarkan hasil olahan PLS didapatkan model awal yang dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Hasil analisis model awal PLS


63

Gambar 5 menjelaskan bahwa hasil evaluasi model pengukuran pada tahap


awal. Penilaian model pengukuran dilakukan dengan membandingkan loading factor
dengan nilai standarnya yaitu 0.5. Penilaian model outer reflektif dilakukan dengan
membandingkan loading factor dengan nilai standarnya.
Berdasarkan hasil evaluasi pengukuran pada model awal, diperoleh
beberapa variabel yang tidak memenuhi kriteria sebagai variabel indikator yang
merefleksikan konstruknya. Oleh karena itu perlu dilakukan perlakuan untuk
memperbaiki validitas dan reliabilitas model. Perbaikan model dilakukan dengan
menghilangkan variabel indikator yang tidak memenuhi kriteria kelayakan model
pengukuran. Dari hasil evaluasi model pengukuran model awal penelitian dapat
diketahui beberapa variabel indikator yang memiliki nilai loading factor (λ)
kurang dari 0.5 atau dikategorikan tidak valid akan dikeluarkan dari model.
Adapun nilai loading factor dari variabel manifest yang dikategorikan valid atau
tidak valid di rincikan pada Tabel 26.

Tabel 26 Variabel reflektif manifest yang tidak valid berdasarkan nilai loading
factor
Variabel Laten Variabel Manifest Loading Factor
Keterampilan Keterampilan produksi tanaman 0.40
Kewirausahaan (KKWU) Keterampilan rencana umum 0.46
Keterampilan pengawasan dan
0.45
evaluasi
Faktor Individu (FI) Pengalaman penerapan pertanian
-0.22
organik
Faktor Lingkungan (FL) Harga 0.21
Kondisi lingkungan usaha 0.25
Penyuluhan dan pelatihan 0.12
Keterangan : valid, jika loading factor ≥ 0.5

Berdasarkan Tabel 26 variabel-variabel yang tidak valid akan dikeluarkan


dan tidak diikutkan sertakan pada uji selanjutnya. Variabel manifest tersebut tidak
signifikan merefleksikan variabel latennya. Maka perlu dilakukan estimasi tahap
kedua untuk memperbaiki model tanpa melibatkan variabel-variabel yang tidak
valid tersebut. Model akhir yang didapatkan disajikan pada Gambar 7.
64

Gambar 7 Hasil analisis model akhir PLS

Hasil analisis model akhir PLS memperlihatkan variabel-variabel manifest


yang valid dalam mengukur variabel latennya. Model hasil respesifikasi juga
menunjukkan hasil yang reliable. Hal ini terlihat pada nilai CR (communality) ≥
0.5 yang artinya variabel yang digunakan dalam mengukur variabel latennya
mempunyai realibilitas yang cukup dipercaya mengukur konstruknya. Menurut
Hair et al. (2014) realibilitas menunjukkan sejauhmana suatu alat ukur dapat
dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat ukur dipakai dua kali untuk
mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten,
maka alat pengukur tersebut reliable. Nilai CR (communality) secara detail dapat
dilihat pada Tabel 27.

Tabel 27 Evaluasi uji reliabilitas dan validitas model pengukuran variabel laten
pada pertanian organik
Variabel Laten Communality Katerangan
Keterampilan Kewirausahaan 0.63 Baik
Faktor Individu 0.69 Baik
Faktor Lingkungan 0.67 Baik
Kinerja Usaha 0.73 Baik
Keterangan : Reliable dan valid, jika communality ≥ 0.50

Berdasarkan Tabel 27, diperoleh bahwa variabel keterampilan profesi,


keterampilan manajemen, keterampilan peluang, keterampilan jaringan,
keterampilan strategi dan keterampilan kewirausahaan memiliki nilai reliabilitas
65

baik. Hal ini dikarenakan semua variabel laten memiliki nilai di atas 0.50.
Berdasarkan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap konstruk telah
memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang baik.
Tahapan kedua yaitu evaluasi model sktruktural pengaruh keterampilan
kewirausahaan terhadap kinerja usaha. Tujuan dari evaluasi model struktural
(inner model) yaitu untuk melihat hubungan antar variabel laten dengan
konstruknya. Hasil yang diperoleh dapat dilihat dari estimasi koefisien jalur serta
tingkat signifikan. Evaluasi model pengukuran yang telah dilakukan akan
menghasilkan model akhir pengaruh keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja
usaha petani organik dengan indikator yang valid dan reliabel. Selanjutnya
dilakukan evaluasi model struktural yang bertujuan melihat hubungan antar
variabel laten dengan melihat hasil estimasi koefisien parameter jalur dan tingkat
signifikansinya. Evaluasi inner model atau analisis structural model dilakukan
untuk memastikan bahwa model struktural yang dibangun robust dan akurat
(Ghozali dan Latan 2015).
Evaluasi model struktural dapat dilakukan dengan melihat nilai R2 pada
variabel endogen dan nilai estimasi koefisien parameter jalur (Ghozali dan Latan
2015). Evaluasi model struktural pertama dilakukan dengan melihat R2 pada
variabel laten endogen yang digunakan dalam model. Nilai R2 variabel laten
endogen dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28 Sebaran nilai R2 pada evaluasi model struktural


Variabel Laten Endogen R2
Kinerja Usaha 0.084
Keterampilan Kewirausahaan 0.793

R2 model PLS dapat dievaluasi dengan melihat Q2 predictive relevance


untuk model variabel. Q2 mengukur seberapa baik nilai observasi yang dihasilkan
oleh model dan juga estimasi parameternya. Nilai Q2 lebih besar dari 0 (nol)
memperlihatkan bahwa model mempunyai nilai predictive relevance, sedangkan
nilai Q2 kurang dari 0 (nol) memperlihatkan bahwa model kurang memiliki
predictive relevance. Namun, jika hasil perhitungan memperlihatkan nilai Q2 lebih
dari 0 (nol), maka model layak dikatakan memiliki nilai prediktif yang relevan,
dengan rumus sebagai berikut: Q2 =1 - (1-R12 ) (1-R22 ). Dari Tabel 28 tersebut
dapat dihitung nilai kesesuaian model terhadap data yang ada dengan mencari
nilai Q2 sebagai berikut:

Q2 = 1 – (1 – 0.084) (1 - 0.793)
= 1 – 0.189612
= 0.81

Nilai Q2 adalah 81 persen yang artinya model hasil analisis dapat


menjelaskan 81 persen terhadap fenomena yang dikaji. Sedangkan sisanya
merupakan error dari model, yaitu 19 persen dijelaskan oleh variabel lain yang
belum terdapat di dalam model. Model ini layak dikatakan memiliki nilai prediktif
yang relevan. Selanjutnya dilakukan overall fit index dengan menggunakan
goodness of fit (indeks GoF). Indeks ini dikembangkan untuk mengevaluasi model
pengukuran dan model struktural. Di samping itu juga, GoF memberikan
66

pengukuran sederhana untuk keseluruhan dari prediksi model. Hasil uji GoF
didapat dari perkalian nilai akar rata-rata communalities dengan nilai akar rata-
rata R2, yang ditujukan dari Tabel 27 dan 28. Kelayakan nilai GoF didasarkan
pada kriteria 0.10: kecil; 0.25: medium; dan 0.36: besar (Ghozali dan Latan 2015).
Nilai GoF model pada penelitian ini diperoleh dengan rumus:

GOF = √̅̅̅̅̅̅ x ̅̅̅̅


= √0. 8 x 0.
= 0.55

Nilai GoF yang dihasilkan sebesar 0.55 (GoF besar) berarti model struktural
pada penelitian ini baik (good fit), sehingga pemilihan model sudah tepat untuk
menjelaskan pengaruh keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja usaha
pertanian organik. Tahap selanjutnya adalah pengujian hipotesis yang dilakukan
dengan uji signifikansi dua arah (negatif atau positif) berdasarkan nilai estimasi
koefisien parameter jalur.
Uji terakhir pada model struktural yaitu uji signifikan dengan menggunakan
nilai t statistik dari hasil uji bootstrap pada PLS. Hasil uji nantinya dapat
mengetahui apakah variabel eksogen berpengaruh nyata terhadap variabel
endogen pada model dalam penelitian ini, serta sifat dan besarnya pengaruh yang
diberikan. Tabel 29 menjelaskan temuan nilai t statistik dari uji bootstrap PLS :

Tabel 29 Nilai t statistik pada uji bootstrap


Hubungan Koefisien Pengaruh T statistik
FI->KKWU 0.390 3.709*
FL->FI 0.654 7.111*
FL->KKWU 0.585 5.783*
FL->KINUS -0.488 1.067*
KKWU->KINUS 0.528 1.230*
* = Signifikan pada taraf 0.15 ( ≥ 1.05)

Pengaruh Faktor Individu terhadap Keterampilan Kewirausahaan

Hasil analisis PLS menunjukkan bahwa pada penelitian ini keterampilan


kewirausahaan dipengaruhi oleh faktor individu yang terdapat pada petani
organik. Hal ini dijelaskan berdasarkan nilai t hitung lebih besar daripada t-tabel
(3.70 > 1.05) (Tabel 29). Selain itu, nilai koefisien pengaruh 0.390 menunjukkan
hubungan pengaruh yang diberikan oleh faktor individu kepada keterampilan
kewirausahaan bersifat positif. Apabila terjadi peningkatan satu persen faktor
individu pada petani organik maka menyebabkan terjadi peningkatan pula pada
keterampilan kewirausahaan petani organik sebesar 39 persen. Oleh karena itu,
indikator pada faktor individu yakni ketersediaan pendidikan, motivasi, sarana dan
prasarana, dan skala dan kepemilikan usaha mampu mempengaruhi keterampilan
kewirausahaan petani organik dalam menjalankan usahatani organik.
67

Fakta di lapangan menjelaskan tingkat pendidikan petani organik sebesar


40.00 persen berpendidikan SMA. Menurut responden pendidikan sangat penting
untuk mencari pendapatan/penghasilan sebesar 76.67 persen dan sisanya 23.33
persen responden mengatakan pendidikan merupakan pondasi untuk
berwirausaha. Petani organik tersebut memiliki pendidikan yang baik, sehingga
berpengaruh terhadap keterampilan kewirausahaan.
Motivasi sendiri tercermin dari keinginan petani dalam menjalankan
usahatani organik. Umumnya petani organik melakukan usahatani organik karena
untuk meningkatkan keuntungan dan atas dasar inisiatif sendiri. Selain itu,
kepemilikan sarana dan prasarana juga mampu mempengaruhi secara positif
terhadap keterampilan kewirausahaan. Petani organik sudah memiliki sarana dan
prasarana modern namun sebagian besar disewa dan harganyapun terjangkau.
Semakin memadai sarana dan prasarana yang dimiliki oleh petani organik maka
akan meningkatkan keterampilan kewirausahaan. Selanjutnya, skala dan
kepemilikan usaha petani organik. Sebagian besar petani organik memiliki luas
lahan 0.01-0.25 ha dan milik sendiri. Walaupun petani organik dalam kategori
petani kecil, namun mereka berkeinginan kuat untuk mengembangkan pertanian
organik secara berkelanjutan. Peningkatan produksi di lahan yang sempit secara
bertahap yakni sedikit namun tetap ada lebih berdampak baik terhadap
peningkatan keterampilan kewirausahaan. Oleh karena itu, pengembangan usaha
pada petani organik tidak dipaksakan untuk terjadi dalam waktu singkat, namun
tetap diperlukan perkembangan usaha secara bertahap setiap melakukan kegiatan
produksi. Hasil PLS menunjukkan ketersediaan sarana dan prasarana dan
pendidikan mendominasi terbentuknya keterampilan kewirausahaan.

Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Faktor Individu

Faktor individu positif dan signifikan dipengaruhi faktor lingkungan dengan


koefisien pengaruh sebesar 0.654 yang berarti setiap peningkatan satu persen
faktor lingkungan maka akan meningkatkan faktor individu sebesar 65.00 persen
dengan t hitung 7.11 dimana lebih besar dari t tabel (1.05). Hal ini mengandung
makna bahwa semakin kuat lingkungan yang dicerminkan oleh ketersediaan input,
bantuan permodalan, promosi dan pemasaran serta dukungan lembaga antar petani
organik, maka akan semakin kuat tingkat karakteristik individu petani organik.
Pengaruh faktor lingkungan yang positif terhadap faktor individu ini disebabkan
karena petani organik telah banyak mendapatkan dukungan baik dari lingkungan
sekitar maupun dari pemerintah namun yang dominan pada dukungan lembaga
dan promosi serta pemasaran. Faktor individu yang dirasakan oleh petani organik
dari faktor lingkungan adalah ketersediaan sarana dan prasarana yang terjangkau
dan pendidikan.

Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Keterampilan Kewirausahaan

Berdasarkan Tabel 29, faktor lingkungan berpengaruh positif dan signifikan


terhadap keterampilan kewirausahaan. Koefisien pengaruh sebesar 0.585 dengan t
hitung 0.57 dimana lebih besar dari t tabel (1.05). Faktor lingkungan diukur
berdasarkan indikator ketersediaan input, bentuan permodalan, promosi dan
pemasaran, dan dukungan lembaga. Variabel faktor lingkungan yang dominan
68

adalah dukungan lembaga dengan nilai 0.90. Hal ini menunjukan bahwa
dukungan lembaga yang diberikan oleh pemerintah sangat berpengaruh dalam
kegiatan usahatani organik. Dukungan lembaga yang diberikan oleh pemerintah
berupa KNOC sangat berpengaruh terhadap keterampilan kewirausahaan.
Sebagian besar petani organik mengaku telah mendapatkan banyak pelatihan yang
diselenggarakan oleh KNOC dan mereka memiliki semangat yang tinggi untuk
menghadiri pelatihan tersebut karena banyaknya informasi yang didapatkan.
Tujuan dari pelatihan yang diadakan KNOC adalah sebagai wadah bagi pelaku
usaha dalam mendapatkan berbagai informasi mengenai proses usahatani organik.
Adapun bentuk pelatihan yang diberikan yaitu pelatihan pembuatan kompos,
mikro organisme lokal (MOL), dan agen hayati. Bentuk lain pelatihan yang
pernah diberikan adalah pelatihan manajemen keuangan dari Bank Indonesia (BI).

Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kinerja Usaha

Hasil analisis PLS pada penelitian ini menunjukan bahwa faktor lingkungan
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja usaha dengan koefisien
pengaruh -0.488. Jika ditinjau dari kondisi data, hal ini dikarenakan petani organik
menginginkan kinerja usaha tinggi, tetapi keadaan faktor lingkungan rendah,
dengan kata lain peningkatan faktor lingkungan tidak diikuti dengan peningkatan
kinerja usaha. Jika dilihat dari kondisi di lapangan, hal ini sesuai dengan kondisi
bahwa secara umum faktor lingkungan dalam hal ketersediaan input, bantuan
permodalan, promosi dan pemasaran serta dukungan lembaga antar petani organik,
sampai dengan saat ini dirasakan belum cukup memadai, dan belum mendukung
terbentuknya kinerja usaha petani organik.
Faktor lingkungan yang mendominasi adalah dukungan lembaga dan
promosi serta pemasaran. Dukungan lembaga yang hanya sebatas di subsistem
input dan budidaya organik. Petani membutuhkan dukungan dalam hal hilirisasi
produk seperti akses pasar. Penelitian Muljaningsih (2012) yang melakukan
penelitian minat wirausaha pengolahan pangan organik pada perempuan tani
bahwa kendala yang dirasakan perempuan tani adalah akses pasar. Hal ini yang
menjadi hambatan untuk mengembangkan usahanya. Oleh karena itu perlu
dukungan dari pihak pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM)
maupun nongoverment organisation (NGO). Di Indonesia pasar organik
diakomodir oleh AOI (Aliansi Organik Indonesia). Namun perannya perlu dibantu
LSM lain yang peduli pada kelestarian lingkungan dan pengentasan kemiskinan.
Faktor lingkungan selanjutnya adalah promosi dan pemasaran. Petani
mendapatkan bantuan dalam promosi dan pemasaran produk melalui KNOC.
Walaupun petani mendapatkan bantuan promosi dan pemasaran melalui KNOC,
petani menginginkan untuk dilibatkan dalam promosi dan pemasaran. Hasil
penelitian United Nation (2007) tentang kewirausahaan perempuan bahwa sifat
perempuan yang peka dan ulet, serta tidak mudah menyerah dapat dijadikan
modal sosial dalam menggapai usaha organik yang sukses. Namun untuk
mencapai kondisi tersebut, perempuan perdesaan perlu ada bantuan jejaring
pemasaran.
Indikator ketersediaan input petani oganik tersedia setiap saat namun masih
tergantung pada kelompok tani/KNOC. Petani berharap ketersediaan input
dihasilkan secara mandiri tanpa bergantung kepada KNOC untuk menghemat
69

biaya input usahatani seperti pupuk kompos. Untuk bantuan permodalan,


sebanyak 86.67 persen petani menggunakan modal sendiri dalam usahatani
organik. Artinya tidak ada penyaluran modal dari pemerintah. Ada bantuan berupa
subsidi pupuk, MOL, dan agen hayati organik, namun hanya di awal
bergabungnya petani dalam KNOC. Saat ini pupuk organik dikenakan biaya
sebesar Rp 10.000 per karung dengan berat 15 kg. Selain itu, jika ada bantuan
berupa bibit, alat, dan mesin usahatani prosesnya sulit. Secara keseluruhan dapat
dikatakan bahwa, faktor lingkungan belum menunjukkan keberpihakan yang besar,
serta kurang mampu memahami kebutuhan serta persoalan yang dihadapi petani,
sehingga bantuan yang sudah pernah diberikan dirasakan belum sesuai dengan
kebutuhan petani.

Pengaruh Keterampilan Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha

Variabel laten keterampilan kewirausahaan berpengaruh positif terhadap


kinerja usaha dengan koefisien pengaruh sebesar 0.528 dan t-hitung 1.23 maka
pengaruhnya signifikan pada taraf nyata 15%. Dengan demikian peningkatan
keterampilan kewirausahaan akan meningkatkan kinerja usaha petani organik. Hal
tersebut dapat dijelaskan bahwa dengan keterampilan profesi, keterampilan
manajemen, keterampilan peluang, keterampilan kerjasama/jaringan, dan
keterampilan strategi dalam menjalankan usahatani organik pada akhirnya akan
berpengaruh pada peningkatan kinerja usaha. Kinerja usaha akan meningkat
seiring dengan meningkatnya keterampilan kewirausahaan serta didukung oleh
adanya faktor individu dan faktor lingkungan. Penelitian Vesala dan Pyysiäinen
(2008) mengatakan bahwa perkembangan keterampilan kewirausahaan
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Dimana kedua faktor tersebut dapat
menjadi faktor penghambat ataupun peningkatan keterampilan kewirausahaan.
Berdasarkan penjelasan keterampilan kewirausahaan sebelumnya bahwa
petani padi organik yang memiliki keterampilan profesi dan keterampilan
manajemen sangat relevan disebut sebagai petani yang memiliki keterampilan
kewirausahaan tingkat dasar (basic skill). Sedangkan keterampilan peluang,
keterampilan kerjasama dan jaringan, dan keterampilan strategi dapat disebut
sebagai petani yang memiliki tingkatan skill yang tinggi/kompleks
(entrepreneurial skills). Hal ini sejalan dengan penelitian de Wolf dan
Schoorlemmer (2007) yang menyatakan bahwa keterampilan peluang,
keterampilan kerjasama dan jaringan, dan keterampilan strategi dalam
keterampilan kewirausahaan petani dapat dikategorikan sebagai tingkatan
keterampilan yang tinggi/kompleks. Keterampilan tinggi atau disebut sebagai
keterampilan kewirausahaan berpengaruh terhadap kinerja usaha yang akan
membantu petani dalam mendirikan, menjalankan dan mengembangkan
keuntungan bisnis.
Kinerja usaha petani organik dijelaskan oleh produktivitas, penjualan, dan
keuntungan. Keuntungan memberikan kontribusi terbesar pada kinerja usaha
dengan faktor loading sebesar 0.929. Secara umum petani memperoleh
keuntungan yang lebih banyak dibandingkan dengan usahatani konvensional.
Namun, petani berharap dukungan dari lembaga komunitas organik juga
mengikutsertakan petani dalam kegiatan promosi dan pemasaran untuk
mendapatkan keuntungan yang maksimal. Hal ini sesuai dengan penelitian
70

Giovannucci (2007) bahwa pendekatan berbasis organisasi/perusahaan dengan


pertanian kontrak dapat mencapai sejumlah persyaratan dengan memberi petani
pengetahuan dan masukan yang diperlukan petani. Selain itu juga membantu
memenuhi rantai keterkaitan yang diperlukan agar berhasil membawa produk ke
pasar. Namun, organisasi/perusahaan bisa tidak konsisten memberikan layanan ini
dengan cara yang optimal bagi petani. Organisasi/perusahaan jelas memiliki
insentif laba dan yang dapat didahulukan daripada kesejahteraan petani dan sukses
jangka panjang. Model ini ketika berlaku di daerah miskin memupuk
ketidakberuntungan yang merata dimana sebagian besar petani bekerja dengan
sedikit efisiensi skala produksi, petani yang lemah organisasi, dan orientasi pasar
yang terbatas, akibatnya mereka hanya menerima sebagian dari manfaat organik.
Penjualan juga menyumbang faktor loading besar yaitu 0.911. Pelaku
organik telah dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari melalui usahatani organik,
mengalokasikan pendapatan mereka ke modal selanjutnya agar usaha semakin
berkembang, serta dapat mengurangi beban hutang yang selama menjalankan
usahatani organik ini. Peningkatan penjualan dapat terjadi apabila produksi
ditingkatkan untuk mengembangkan pertanian organik secara berkelanjutan. Oleh
karena itu dibutuhkan dukungan dari pemerintah dalam penyediaan modal serta
sarana dan prasarana yang dapat menunjang keberlangsungan usaha.
Indikator selanjutnya dalam kinerja usaha adalah produktivitas. Pada
penelitian Herawati et al. (2014) menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas padi
organik di Tasikmalaya dari 2005-2012 mencapai 7.68 ton per hektar.
Produktivitas padi organik di lokasi penelitian dalam kategori sedang. Masih
terdapat beberapa petani padi organik berada pada masa transisi. Namun dengan
seiringnya waktu petani tersebut akan melewatinya dan mendapatkan
produktivitas yang maksimal.

6 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian keterampilan kewirausahaan pada petani


organik dapat disimpulkan bahwa :
1. Keterampilan kewirausahaan petani organik pada keterampilan profesional,
keterampilan manajemen, dan keterampilan peluang berada dalam kategori
sangat tinggi. Sedangkan keterampilan kewirausahaan pada keterampilan
jaringan dan keterampilan strategi berada dalam kategori tinggi. Hasil skor
menunjukkan seluruh keterampilan kewirausahaan yang dimiliki petani
organik berada dalam kategori entrepreneurial skills.
2. Kinerja usaha pertanian organik yang terdiri dari produktivitas pertanian
organik berada dalam kategori sedang, penjualan dan keuntungan
pertanian organik berada dalam kategori menguntungkan.
71

3. Keterampilan kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap


kinerja usaha pertanian organik. Kinerja usaha tergantung pada
keterampilan kewirausahaan dan faktor individu serta faktor lingkungan.
Indikator yang paling dominan mempengaruhi keterampilan
kewirausahaan adalah faktor lingkungan.

Saran

Berdasarkan kesimpulan maka dirumuskan beberapa saran baik untuk


peningkatan kinerja usaha pertanian organik maupun untuk penelitian selanjutnya
yang relevan dengan topik penelitian. Adapun saran yang dapat disampaikan
adalah sebagai berikut:
1. Kendala yang dihadapi petani yang berhubungan dengan keterampilan
kewirausahaan adalah memperluas jaringan usaha dan merefleksi
usahatani dengan memiliki rencana jangka panjang.
2. Dibutuhkan dukungan pemerintah dalam hal kebijakan atau aturan yang
menyediakan lokasi khusus untuk pertanian organik. Sehingga pertanian
organik tidak terkontaminasi oleh pertanian konvensional.
3. Petani organik membutuhkan dukungan lembaga, promosi, dan pemasaran
yang memadai untuk meningkatkan kinerja usaha.

DAFTAR PUSTAKA

[AOI] Aliansi Organis Indonesia. 2016. Statistik Pertanian Organik Indonesia


2016. Bogor (ID): Aliansi Organis Pertanian.
Ardiana IDKR, Brahmayanti IA, Subaedi. 2010. Kompetensi SDM UKM dan
Pengaruhnya terhadap Kinerja UKM di Surabaya. Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan. 12(1):42-55.
Argiles JM, Brown ND. 2010. A comparison of the economic and
environmental performance of conventional and organic farming: evidence
from financial statements. Agricultural Economics Review. 11(1):69-86.
Arifin B. 2000. Pembangun Pertanian: Paradigma, Kinerja dan Opsi Kebijakan.
Jakarta (ID): Pustaka Indef.
Arisena GMK, Mustadjab MM, Setiawan B, Koestiono D. 2014. The Influence of
Environment and Entrepreneurship Factors Toward the Farming
Performance. Journal of Economics and Sustainable Development. 5(9):49-
55.
Amstrong M. 2009. Armstrong’s Handbook of Performance Management. Fourth
Edition. London: Kogan Page.
Azis MA, Harafah LM, Balaka MY, Rostin. 2014. Entrepreneurship and its
Impact on Business Performance Improvement and Poverty Reduction (An
empirical Study Micro Business IndustriaL Sector in Kendari). International
Journal of Humanities and Social Science Invention. 3(10):55-65.
Bititci US, Turner T, Begemann C. 2000. Dynamics of performance measurement
systems. International Journal of Operations & Production Management.
20(6):692-704.
72

Bolwig S, Gibbon P, Jones S. 2009. The Economics of smallholder of organic


contract farming in tropical Africa. World Development. 37(6):1094-1104.
Canavari M, Ghelfi R., Olson K, Rivaroli S. 2004. A comparative profitability
analysis of organic and conventional farms in Emilia Romagna and in
Minnesota. 9th Joint Conference on Food, Agriculture and Environment.
Cavigelli MA, Hima BL, Hanson JC, Teasdale JR, Conklin AE, Lu Y. 2009.
Long-term economic performance of organic and conventional field crops in
the mid-Atlantic region. Renewable Agriculture and Food Systems.
24(2):102–119.
Cobb D, Feber R, Hopkins A, Stockdale , O‟Riordan T, Clements , Firbank ,
Goulding K, Jarvis S, Macdonald D. 1999. Integrating the environmental
and economic consequences of converting to organic agriculture: Evidence
from a case study. Land Use Policy. 16(4):207-221.
Cushon I. 2008. Risk Management in Prairie Organic Agriculture, Putting risk
management into practice. Moose Creek Organic Farm Inc. Oxbow,
Saskatchewan Manitoba Agronomist Conference. 2008 December 9-10.
da Costa A. 2012. Can Organic Farming Enhance Livelihoods for India's Rural
Poor? [Internet]. [diunduh 2018 Mar 6]. Tersedia pada:
http://www.guardian.co.uk/globaldevelopment/povertymatters/2012/mar/15/
organic-farming-indiaruralpoor.
Dirlanudin. 2010. Perilaku Wirausaha dan Keberdayaan Pengusaha Kecil Industri
Agro [Tesis]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor.
Delmar F. 1996. Entrepreneurial Behavior and Business Performance. [Disertasi].
Stockholm (SE): Ekonomiska Forknings Institute.
Dewan Guru Besar IPB. 2016. Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia.
Bogor (ID): IPB Press.
de Wolf P, Schoorlemmer H. 2007. Exploring the significance of entrepreneurial
skills in agriculture. Switzerland (CH): Research Institute for Organic
Agriculture (FIBL).
de Wolf P, McElwee G, Schoorlemmer H. 2007. The European Farm
Entrepreneur: A comparative perspective. International Journal of
Entrepreneurship and Small Business. 4(6):679-692.
Dumasari. 2014. Kewirausahaan Petani dalam Pengelolaan Bisnis Mikro di
Pedesaan. Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan. 3(3):196-202.
Drucker PF. 1993. Innovation and Entrepreneurship. New York (US):
HaperCollins Publisers Inc.
[EC] European Commision. 2006. Communication from the commision to the
council, the european parliament, the european aconomic and social
committee and the committee of the regions: putting knowledge into
practice: a board-based innovation strategy for the EU. [Internet]. [diunduh
2017 Sep 20]. Tersedia pada: http://ec.europa.eu/
Fatchiya A, Amanah S, Kusumastuti YI. 2016. Penerapan Inovasi Teknologi
Pertanian dan Hubungannya dengan Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Petani. Jurnal Penyuluhan. 12(2):190-197.
[FiBL; IFOAM] Research Institute of Organic Agriculture; International
Federation of Organik Agriculture Movements. 2017. The World of Organic
Agriculture, Statistics & Emerging Trends 2017. Frick (CH): Die Deutsche
Bibliothek.
73

Ghozali I. 2014. Structural Equation Modeling : Metode Alternatif dengan Partial


Least Squares (PLS): Edisi 4. Semarang (ID): Badan Penerbit Undip.
Ghozali I, Latan H. 2015. Partial Least Squares : Konsep, Teknik dan Aplikasi
menggunakan program SmartPLS 3.0 Edisi 2. Semarang (ID): Badan
Penerbit Undip.
Giovannucci D. 2007. Organic Farming as A Tool for Productivity and Poverty
Reduction in Asia. International Fund for Agricultural Development; 2007
March 13-16; Seoul, Korea Selatan.
Hair JF, William CB, Barry JB, Rolph EA. 2014. Multivariate Data Analysis (7th
ed). United State of America (US): Pearson.
Henderson J. 2006. Understanding Rural Entrepreneurs at The County Level:
Data Challenges. [catatan penelitian]. Federal Reserve Bank of Kansas City
Omaha Branch.
Herawati N K, Hendrani J, dan Nugraheni S N. 2014. Viabilitas Pertanian
Organik Dibandingkan dengan Pertanian Konvensional. [Laporan Akhir].
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Universitas
Katolik Parahyangan.
Hisrich R, Brush CG, 1985. Women and minority entrepreneurs: A comparative
analysis. Frontiers of Entrepreneurial Research. 566-586.
[IFOAM] International Federation of Organik Agriculture Movements. 2004.
IFOAM training manual for organic agriculture in the Tropics. Bonn (DE):
Research Institute for Organic Agriculture (FIBL).
[IFOAM] International Federation of Organik Agriculture Movements. 2014. The
IFOAM Norms for Organic Production and Processing. Germany (DE):
IFOAM.
Indraningsih KS. 2017. Strategi Diseminasi Inovasi Pertanian dalam Mendukung
Pembangunan Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 35(2):107-123.
Irawan H dan Mulyadi A. 2016. Pengaruh Keterampilan Wirausaha Terhadap
Keberhasilan Usaha. Journal of Business Management and
Enterpreneurship Education. 1(1):213-223.
Jauch LR dan Glueck WF. 1988. Business Policy and Strategic Management.
New York (US): McGraw Hill.
Kahan D. 2013. Entrepreneurship in Farming. Rome (IT): Food and Agriculture
Organization of The United Nations.
Keh HT, Nguyen TTM, Ng HP. 2007. The Effects of Entrepreneurial Orientation
and Marketing Information on the Performance of SMEs. Journal of
Business Venturing. 22(4):592-611.
Kerselaers E, Cock LD, Lauwers L, Huylenbroeck GV. 2007. Modeling farm
level economic potential for conversion to organic farming. Agriculture
Systems. 94(3):671-682.
Kodithuwakku SS, Rosa P. 2002. The Entrepreneurial Process and Economic
Success in A Constrained Environment. Journal of Business Venturing.
17(5):431-465.
Krisnamurthi B. 2001. Agribisnis. Bogor (ID): Yayasan Pengembangan Sinar
Tani.
Lans T, Wesselink R, Biemans Harm JA, Mulder M. 2004. Work-related lifelong
learning for entrepreneurs in the agri-food sector. International Journal of
Training and Development. 8(1):73-89.
74

Lans T, Bergevoet R, Mulder M, van Woerkum C. 2005. Indentification and


measurement of competences of entrepreneurs in agribusiness. In M.
Batterink, R. Cijsouw, M. Ehrenhard, H. Moonen & P. Terlouw (Eds.),
Selected papers from the 8th ph.D. Conference on business economics,
management and organisation science. pp 81-95.
Lerner M, Brush C, Hisrich R. 1997. Israeli women entrepreneurs: An
examination of factors affecting performance. Journal of Business
Venturing. 12(4):315-339.
Lichtenstein GA, Lyons TS. 2001. The Entrepreneurial Development System:
Transforming Business Talent and Community Economies. Economic
Development Quarterly. 15(1):3-20.
Littunen H. 2000. Enterpreneurship and Characteristics of the Enterpreneurial
Personality. International Journal of Enterpreneurial Behaviour &
Research. 6(6):295-309.
Lyons TS, Lyons JS. 2002. Assessing entrepreneurship skills: the key to effective
enterprise development planning?. 44th Annual Conference of the
Association of Collegiate Schools of Planning, Baltimore, MD.
Lyons TS. 2002. The Entrepreneurial League System: Transforming Your
Community’s Economy through Enterprise Development. Washington DC
(US): The Appalachian Regional Commission.
Lyons TS. 2003. Policies for Creating an Entrepreneurial Region. Main Streets of
Tomorrow: Growing and Financing Rural Entrepreneurs. 97-106.
Man TWY, Lau T, Chan KF. 2002. The competitiveness of small and medium
enterprises. A 74 conceptualization with focus on entrepreneurial
competencies. Journal of Business Venturing. 17(2):123-142.
McElwee G. 2005. Developing entrepreneurial skills of farmers. A Literature
Review of Entrepreneuship in Agriculture. [laporan penelitian].
Entrepreneurial Skill of Farmers. University of Lincoln.
Muharastri Y. 2013 Karakteristik Wirausaha, Kompetensi Kewirausahaan dan
Kinerja Usaha Peternakan Sapi Perah di KTTSP Kanai Bogor [Tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Muljaningsih S, Soemarno, Hadiwidjojo D, Mustadjab MM. 2012. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Minat Wirausaha Pengolahan Pangan Organik pada
Perempuan Tani di Desa Wonokerto, Bantur, Malang. Wacana. 15(2): 12-18.
Mungara E, Indradewa D, Rogomulyo R. 2013. Analisis Pertumbuhan dan Hasil
Padi Sawah (Oryza sativa L.) pada Sistem Pertanian Konvensional, Transisi
Organik, dan Organik. Vegetalika. 2(3):1-12.
Ningsih DL. 2014. Model Pengembangan Kewirausahaan Petani dan Faktor yang
Mempengaruhi Adopsi Inovasi Sistem Pertanian Terintegrasi Padi Ternak
Ruminansia. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nugroho I. 2010. Entrepreneurial Characteristics of Local People in Ecotourism
Economic Activity in Bromo Tengger Semeru National Park. Internasional
simposium: Social Responsibility, Entrepreneurship and the Common Good;
2010 January 7-8; France.
Nursiah T. 2015. Perilaku Kewirausahaan Pada Usaha Mikro Kecil Tempe di
Bogor Jawa Barat. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
75

Offermann F, Nieberg H. 2000. Economic performance of organic farms in


Europe. Hohenheim: University of Hohenheim/Department of Farm
Economics.
Pages ER, Markley DM. 2004. Center For Rural Entrepreneurship,
Understanding The Environment For Entrepreneurship In Rural North
Carolina. Carolina (GB): Entrepreneur Work Colsulting.Inc.
Pambudy R, Frans BM Dabukke. 2010. Tantangan dan Agenda Masa Depan
Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Indonesia. Dalam Refleksi
Agribisnis 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih. Bogor (ID). IPB Press.
Pemkab Ngawi 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ngawi.
Pemerintah Kabupaten Ngawi. Ngawi.
Pichardo RD, Gonzalec CC, Hernandez PL, McElwee G. 2012. From Farmers to
Entrepreneurs: The Importance Of Collaborative Behavior. The Journal of
Entrepreneurship. 21(1):91-116.
Pimentel D, Hepperly P, Hanson J, Douds D, Seidel R. 2005. Environmental,
energetic and economic comparisons of organic and conventional farming
systems. BioScience. 55(7):573-583.
Poppe KJ, Meijl HV. 2004. Adjustment and Differences in Farm Performance. A
Farm Management Perspective from The Netherlands. Report 2.04.09. The
Hague: LEI.
Porter ME. 1980. Competitive Strategy. Techniques for Analyzing Industries and
Competitors. New York (US): Free Press.
Pretty J, Ball A. 2001. Agricultural Influences on Carbon Emissions and
Sequestration: A Review of Evidence and the emerging Trading Options,
Occasional Paper. Centre for Environment and Society and Department of
Biological Sciences. University of Essex, United Kingdom.
Purwaningsih R, Kusuma DF. 2015. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kinerja Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan Metode Structural
Equation Modeling. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi. 7-12.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. 2016. Outlook
Komoditas Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian.
Putra NP. 2014. Pengaruh Keterampilan Wirausaha terhadap Kinerja Usaha
(Survey pada Pelaku UMKM di daerah Narogong, Kota Bekasi) [Skripsi].
Bandung (ID): UPI.
Pyysiäinen J, McElwee G. 2000. Developing The Entrepreneurial skills of
Farmers; Some Myths Explored. [Internet] University of Helskinki.
[diunduh 2017 Sep 20]. Tersedia pada:
https://openair.rgu.ac.uk/bitstream/10059/208/1/Anderson12.pdf
Pyysiäinen J, Anderson A, McElwee G, Vesala KM. 2006. Developing The
Entrepreneurial Skills of Farmers: Some myths explored. International
Journal of Entrepreneurial Behaviour and Research. 12(1):21-39.
Rauch A, Johan W, Lumpkin GT. 2009. Entrepreneurial orientation and business
performance: An assessment of past research and suggestions for the future.
Entrepreneurship Theory and Practice. 33(3):761-787.
Ramadhan RP. 2017. Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Dan Kompetensi
Kewirausahaan Peternak Terhadap Kinerja Usaha Peternakan Ayam Ras
Pedaging Di Kabupaten Bogor [Tesis]. Bogor (ID): IPB.
76

Renstra [Rencana Strategis Kementerian Pertanian]. 2015. Rencana Strategis


Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019. Jakarta (ID): Kementerian
Pertanian.
Riduwan. 2010. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Edisi Kedelapan. Jakarta
(ID): Alfabeta.
Riyanti BPD. 2003. Kewirausahaan dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian.
Jakarta (ID): Grasindo.
Rougoor, Carin W, Ger T, Ruud BMH, Renhema JA. 1998. How to Define and
Study Farmers‟ Manajemen Capacity: Theory and Use in Agriculture
Economics. Agriculture Economics. 18(1998):261-272.
Rogers, EM. 2003. Diffusion of Innovations. Fifth Edition. New York (US): The
Free Press.
Rosadi D. 2016. Analisis Statistika dengan R. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Rudmann C. (Ed.). 2008. Entrepreneurial Skills and their Role in Enhancing the
Relative Independence of Farmers: Results and Recommendations from the
Research Project Developing Entrepreneurial Skills of Farmers. Research
Institute of Organic Agriculture. Frick, Switzerland (CH): Research Institute
for Organic Agriculture (FiBL).
Sa‟adah, Kholifatus S, Widjayanthi . 2015. Tingkat Penerapan Pertanian
Organik dan Pola Perilaku Komunitas Petani Sayur Organik di Kecamatan
Trawas Kabupaten Mojokerto. Journal of Social and Agricultural
Economics. 8(2):25-39.
Sadjudi. 2009. Pengaruh Kewirausahaan Terhadap Kinerja Usahatani Tembakau
di Kecamatan Gantiwarno Kabupaten Klaten. Jurnal Aplikasi Manajemen.
7(2):401-410.
Samir A, Larso D. 2011. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
UKM Catering di Kota Bandung. Jurnal Manajemen Teknologi. 10(2):162-
185.
Sapar. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Kewirausahaan
Pedagang KakiLima [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Seufert, V. 2012. Organic Agriculture as an Opportunity for Sustainable
Agricultural Development. Invite student presentation at McGill Conference
on Global Food Security, Monteal, October 02, 2012. Research to Practice
Policy Briefs, Policy Briefs.
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta (ID): UI Press.
Soekartawi, Soeharjo A, Dillon JL, Hardaker JB . 1986. Ilmu Usahatani dan
Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID): Lembaga
Penerbit Universitas Indonesia.
Soemanto Wasty. 2006. Pendidikan Wiraswasta. Jakarta [ID]. PT. Bumi Aksara.
Suci RP. 2009. Peningkatan Kinerja Melalui Orientasi Kewirausahaan,
Kemampuan Manajemen dan Strategi Bisnis (Studi pada Industri Kecil
Menengah Bordir di Jawa Timur). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan.
11(1):46-58.
Smith WL. 2005. Choosing an entrepreneurial development system: the concept
and the challenges. International Journal of Management and Enterprise
Development. 2(3/4):349-359.
77

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2016. Sistem Pertanian Organik. Jakarta (ID):
Badan Standardisasi Nasional.
Srinivasan R, Woo CY, Cooper AC. 1994. Performance determinants for male
and female entrepreneurs. Babson Entrepreneurship Research Conference
1994. Cambridge, MA: Babson College.
[UN] United Nation. 2007. Developing Women’s Entrepreneurship and E-
Business in Green Cooperatives in The Asian and Pacific Region. New
York: ESCAP.
[UNEP; UNCTAD] United Nations Environment Programme; United Nations
Conference on Trade and Development. 2008. Organic Agriculture and
Food Security in Africa. New York and Geneva: United Nations Publication.
van Elzakker B, Eyhon F. 2010. The organic business guide: Developing value
chains with smallholders. Bonn (DE): IFOAM.
Varga E. 2009. Comparison of Agricultural Entrepreneurial Skills levels in the
Countries of the European Union. [Disertasi]. Hungary (HUN): University
of Kaposvár.
Vesala KM, Pyysiäinen J (Eds). 2008. Understanding Entrepreneurial Skills in
the Farm Context. Frick, Switzerland (CH): Research Institute of Organic
Agriculture (FiBL).
Wahyuningsih D. 2015. Pengaruh Perilaku Kewirausahaan terhadap Kinerja
Usaha Bawang Goreng di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. [Tesis].
Indonesia (ID): Institut Pertanian Bogor.
78

LAMPIRAN
79

Lampiran 1 Kuesioner penelitian keterampilan kewirausahaan

1. Keterampilan Profesional:
1.1. Keterampilan Produksi Tanaman (KPT)
Pembobotan Nilai
Kode
1 2 3 4
KPT Tidak Kurang Memilih/mensortir benih Memilih/mensortir
1 memilih/mensortir memilih/mensortir benih berkualitas baik namun benih berkualitas baik,
benih berkualitas berkualitas baik tidak dikelola/ditangani
baik. Benih yang sehingga hasil semaian mengelola/menangani secara baik dan
didapatkan langsung tersebut ditanam secara baik sehingga ada mandiri sehingga daya
disemai walaupun tidak tumbuh beberapa daya hidupnya hidupnya (viabilitas)
dengan baik tidak terjaga tetap terjaga
KPT Penyiapan lahan Penyiapan lahan dengan Jerami dibiarkan lapuk Jerami dibiarkan lapuk
2 dengan cara cara pembakaran jerami, dalam penyiapan lahan, dalam penyiapan
pembakaran jerami, sebagian kecil menggunakan pupuk, mol lahan, menggunakan
menggunakan menggunakan racun dan agen hayati organik, pupuk, mol dan agen
pupuk, pestisida dan kimia pabrikan, tanaman terkontaminasi hayati organik,
racun kimia tanaman terkontaminasi melalui udara, menanam tanaman
pabrikan, tanaman melalui udara dan air, menggunakan sekam di penyangga dan
terkontaminasi tidak terkontak dengan sumber irigasi, tidak menggunakan sekam
melalui udara dan alat dan bahan non terkontak dengan alat dan di sumber irigasi,
air, tekontak dengan organik bahan non organik memisahkan
alat dan bahan non penggunaan alat dan
organik bahan non organik
KPT Tidak memberikan Ala kadarnya dalam Belebihan/kekurangan Efisien dalam
3 pupuk kompos, mol, pemberian pupuk dalam pemberian pupuk pemberian pupuk
agen hayati kompos, mol, agen kompos, mol, agen hayati kompos, mol, agen
hayati hayati
KPT Tidak Waktu panen terlalu Waktu panen terlalu Waktu panen pagi
4 mempersiapkan pagi/sore sehingga kadar siang/terik menjelang siang
waktu panen air padi tinggi

1.2. Keterampilan Teknis (KT)


Pembobotan Nilai
Kode
1 2 3 4
KT 1 Tidak mengetahui, Mengetahui dan Mengetahui, menerapkan Mengetahui,
tidak menerapkan menerapkan pembuatan dan terampil dalam menerapkan dan
dan tidak terampil pupuk kompos, MOL, agen pembuatan pupuk terampil dalam
dalam pembuatan hayati namun tidak kompos, MOL namun pembuatan pupuk
pupuk kompos, terampil dan masih belum terampil dalam kompos, MOL dan
MOL, agen hayati menggunakan input kimia pembuatan agen hayati agen hayati
dalam usahataninya
KT 2 Masih menggunakan Sudah menggunakan Sebagian menggunakan Menggunakan alsintan
alsintan tradisional alsintan modern namun alsintan tradisional dan modern lebih banyak
lebih banyak menggunakan modern dibanding alsintan
alsintan tradisional tradisional
KT 3 Tidak memiliki hp Memiliki hp namun tidak Memiliki hp dan akses Memiliki hp dan akses
dan akses internet memiliki akses internet internet namun tidak internet serta terampil
terampil dalam dalam mengakses
mengakses internet internet
80

2. Keterampilan Manajemen:
2.1. Keterampilan Keuangan (KKEU)
Pembobotan Nilai
Kode
1 2 3 4
Tidak ada catatan Tersedia catatan keuangan Tersedia catatan Tersedia catatan
keuangan setiap musim hanya pada saat musim keuangan hanya pada keuangan setiap
KKEU
tanam : keseluruhan biaya tanam tertentu dan tidak saat musim tanam musim tanam dan
1
pengeluaran usahatani, lengkap tertentu namun lengkap lengkap
laba rugi, data produksi
Tidak ada perencanaan Ada perencanaan keuangan Memiliki tabungan Memiliki tabungan
keuangan dan perencanaan dan perencanaan investasi namun belum ada dan investasi usahatani
KKEU
investasi usahatani di masa usahatani di masa akan investasi usahatani di di masa akan datang
2
akan datang datang namun tidak masa akan datang
memiliki tabungan
KKEU Tidak menyimpan catatan disimpan dalam 1 tahun Disimpan dalam 3 tahun Disimpan dalam 5
3 keuangan tahun

2.2. Keterampilan Administrasi (KA)


Kode Pembobotan Nilai

1 2 3 4
KA 1 Tidak ada catatan riwayat Ada catatan riwayat Ada catatan riwayat Ada catatan riwayat
penggunaan lahan selama 5 penggunaan lahan selama 1 penggunaan lahan penggunaan lahan
tahun tahun selama 3 tahun selama 5 tahun
KA 2 Tidak ada data inventaris Ada data inventaris selama Ada data inventaris Ada data inventaris
selama 5 tahun 1 tahun selama 3 tahun selama 5 tahun

2.3. Keterampilan dalam Mengelola Sumber Daya Manusia (KMSDM)


Kode Pembobotan Nilai

1 2 3 4
KMSDM Tidak bergabung Menjadi anggota namun Menjadi anggota, Menjadi pengurus inti,
1 dalam komunitas kurang berkontribusi dan berkontribusi dan aktif berkontribusi dan aktif
petani organik dan kurang aktif (mengemukakan pendapat, (mengemukakan pendapat,
kelompok tani (mengemukakan menghadiri rapat) dalam menghadiri rapat) dalam
pendapat, menghadiri komunitas petani organik komunitas petani organik
rapat) dalam komunitas dan kelompok tani dan kelompok tani
petani organik dan
kelompok tani
KMSDM Tidak pernah Hanya sekali mengikuti Tiga kali mengikuti Lebih tiga kali mengikuti
2 mengikuti pelatihan pelatihan pertanian pelatihan pertanian organik pelatihan pertanian organik
pertanian organik organik

2.4. Keterampilan dalam Mengelola Konsumen (KMK)


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KMK Tidak berhubungan Tidak berhubungan Berhubungan Berkomunikasi
1 langsung/bernegosiasi langsung/bernegosiasi langsung/bernegosiasi langsung/bernegosiasi
dengan konsumen, dengan konsumen, hanya dengan konsumen, dengan konsumen,
menggunakan perantara menggunakan perantara menggunakan perantara mengajak ke lahan
tengkulak komunitas petani organik komunitas petani usahatani organik,
organik penjualan dilakukan secara
mandiri
KMK Tidak mengetahui Hanya sebagian kecil Mengetahui sebagian Mengetahui seluruh
2 konsumen dan tidak mengetahui konsumen besar konsumen dan konsumen dan memenuhi
memenuhi permintaan dan memenuhi memenuhi permintaan permintaan konsumen
konsumen secara permintaan konsumen konsumen secara secara kualitas, kontinuitas,
kualitas, kuantitas, dan secara kualitas, kualitas, kuantitas, dan dan kuantitas
kontinuitas kuantitas, dan kontinuitas
kontinuitas
81

2.5. Keterampilan dalam Rencana Umum


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KRU 1 Tidak merencanakan Merencanakan persiapan Merencanakan Merencanakan semua
persiapan lahan, lahan namun tidak persiapan lahan dan kegiatan usahatani:
penggunaan input, merencanakan pergiliran tanaman, persiapan lahan,
pergiliran tanaman penggunaan input dan namun tidak dengan penggunaan input,
pergiliran tanaman penggunaan input pergiliran tanaman
KRU 2 Tidak merencanakan Merencanakan jumlah Merencanakan jumlah Merencanakan jumlah
jumlah biaya yang biaya yang dikeluarkan, biaya yang biaya yang
dikeluarkan, hasil hasil produksi, namun dikeluarkan, hasil dikeluarkan, hasil
produksi, penjualan, tidak untuk penjualan, produksi, penjualan produksi, penjualan,
keuntungan dan keuntungan dan dan keuntungan keuntungan dan
usahatani organik usahatani organik tidak namun usahatani usahatani organik
tidak berkelanjutan berkelanjutan organik belum berkelanjutan
berkelanjutan

3. Keterampilan Peluang:
3.1 Keterampilan dalam Mengenali Peluang Bisnis (KMPB)
Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KMPB Tidak melakukan Tidak melakukan Mengetahui Melakukan
1 pencarian informasi pencarian informasi perkembangan pasar dan pencarian informasi
konsumen organik dan konsumen organik dan meningkatkan konsumen organik,
perkembangan pasar, perkembangan pasar, pengetahuan pertanian perkembangan
tidak meningkatkan namun meningkatkan organik namun tidak pasar, dan
pengetahuan pertanian pengetahuan pertanian melakukan pencarian meningkatkan
organik organik informasi konsumen pengetahuan
organik pertanian organik
KMPB Tidak berpartisipasi Berpartisipasi dalam Berpartisipasi dalam Berpartisipasi dalam
2 dalam jaringan sosial jaringan sosial namun jaringan sosial dan jaringan sosial dan
dan IT serta tidak tidak berpartisipasi melakukan komunikasi IT serta melakukan
melakukan dalam jaringan IT dan dengan stakeholder komunikasi dengan
komunikasi dengan tidak melakukan pertanian organik namun stakeholder
stakeholder pertanian komunikasi dengan tidak berpartisipasi pertanian organik
organik stakeholder pertanian dalam jaringan IT
organik

3.2 Keterampilan dalam Orientasi Pasar dan Konsumen


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KOPK Semua hasil usahatani Sebagian besar hasil Sebagian kecil hasil panen Semua hasil panen
1 organik untuk usahatani organik usahatani organik dijual ke pasar
konsumsi rumah untuk dikonsumsi dan dikonsumsi dan sebagian dan sesuai dengan
tangga dan jarang sebagian kecil hasil besar dijual ke pasar permintaan
mengalami surplus panen dijual ke pasar konsumen organik
KOPK Tidak menjaga Kadar air gabah tinggi Selalu menjaga kualitas Selalu menjaga
2 kualitas gabah (lebih dari 21 persen) produk (kadar air gabah kualitas produk
kurang dari 21 persen) (kadar air gabah
namun kadang mengalami kurang dari 21
kadar air gabah tinggi persen)

3.3 Keterampilan dalam Menyadari akan Skill yang Dimiliki Petani


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KMS 1 Tidak pernah Memikirkan sepintas Menyadari kualitas Menyadari kualitas
menyadari kualitas mengenai kualitas keterampilan yang keterampilan yang
keterampilan yang keterampilan yang dimiliki, memahami dimiliki, memahami
dimiliki, tidak dimiliki, namun kurang kekuatan, namun tidak kekuatan,
memahami kekuatan, yakin dalam memahami memahami kelemahan kelemahan
kelemahan kekuatan, kelemahan
KMS 2 Tidak ada upaya untuk 1-2 kali dalam setahun 3 kali dalam setahun Lebih dari 3 kali
memperbaiki dan mengikuti pelatihan dan mengikuti pelatihan dan dalam setahun
meningkatkan penyuluhan pertanian penyuluhan pertanian mengikuti pelatihan
keterampilan dalam dan penyuluhan
berusahatani pertanian
82

3.4 Keterampilan dalam Manajemen Resiko


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KMR 1 Pernah gagal, hanya Pernah gagal, mengetahui Pernah gagal, tetapi Tidak pernah gagal, ada
pasrah dan tidak penyebab tetapi tidak tahu mengetahui penyebab dan pengendalian oleh
mencari tahu penyebab penanganannya penanganannya pemilik
dan penanganannya
KMR 2 Berhenti produksi Tetap berproduksi Tetap berproduksi Tetap berproduksi
sementara jika kadar walaupun kadar air gabah walaupun kadar air gabah walaupun kadar air
air gabah rendah rendah namun produksi rendah dan produksi tetap gabah rendah dan
turun produksi meningkat
KMR 3 Sumber Wajar dalam usaha pasti Jika rugi dapat ditutupi Optimis lebih banyak
matapencaharian dan ada risiko kerugian dengan keuntungan untung dibanding rugi
satu-satunya keahlian sesudah atau sebelumnya

3.5 Keterampilan dalam Berinovasi


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KI 1 Tidak melakukan perubahan, Tidak ada perubahan, Ya, melakukan satu Ya, melakukan lebih dari
usahatani masih tradisional tidak mengikuti perubahan satu perubahan
perkembangan teknologi
KI 2 Berpikir statis, tidak mampu berpikir dinamis, kurang berpikir kreatif, sebagian berpikir kreatif dan
memecahkan masalah yang mampu memecahkan besar mampu problem solver
ada di lapangan masalah di lapangan memecahkan masalah di
lapangan
KI 3 Tidak melakukan perubahan Tidak, hanya Ya, tetapi hanya Ya, memiliki ide sendiri
dan bersikap tertutup dengan menggunakan mesin siap duplikasi melihat yang dan bersikap terbuka
hal-hal baru pakai sudah ada dengan hal-hal baru

4. Keterampilan Jaringan
4.1 Keterampilan Bekerjasama dengan Petani dan Perusahaan (KBPP)
Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KBPP Tidak ada pertemuan dan Ada pertemuan namun Ada pertemuan Ada pertemuan,
1 komunikasi dengan tidak berkomunikasi dan berkomunikasi, komunikasi, dan
perusahaan pertanian tidak bernegosiasi bernegosiasi dengan bernegosiasi dengan
organik dengan perusahaan perusahaan pertanian perusahaan pertanian
pertanian organik organik bukan berbadan organik berbadan hukum
hukum
KBPP Tidak menjalin Bekerjasama dengan Bekerjasama dengan Menjalin kerjasama
2 kerjasama dengan sesama petani namun sesama petani dan dengan sesama petani,
sesama petani, tidak dengan komunitas komunitas petani organik komunitas pertanian
komunitas pertanian petani organik dan namun tidak dengan organik, dan perusahaan
organik, dan perusahaan perusahaan berbadan perusahaan berbadan berbadan hukum
berbadan hukum hokum hukum

4.2 Keterampilan Jaringan


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KJ 1 Tidak (bergabung, aktif, Bergabung namun pasif Bergabung dan aktif Bergabung, aktif dan
berkontribusi) dalam dan tidak berkontribusi namun tidak berkontribusi berkontribusi dalam
komunitas petani dalam komunitas petani (menjadi pengurus inti) komunitas petani
organik/kelompok organik/kelompok organik/kelompok
tani/gapoktan tani/gapoktan tani/gapoktan
KJ 2 Hanya memiliki 1 jaringan Memiliki 2 jaringan Memiliki 3 jaringan dalam Memiliki lebih dari 3
dalam usahatani organik dalam usahatani organik usahatani organik jaringan dalam usahatani
organik
83

4.3 Keterampilan Kerjasama dalam Kelompok (KK)


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KKER Tidak saling percaya, Masih ada Saling percaya, saling Saling percaya, saling
1 tidak bekerja sama ketidakpercayaan bekerjasama dengan bekerjasama dengan
antara petani organik dalam menjalin hasil produksi tetap hasil produksi
kerjasama meningkat
KKER Bersikap pamrih, tidak Pernah ada sikap Bersikap tanpa Bersikap tanpa
2 saling memiliki, tidak pamrih, tidak saling pamrih, saling pamrih, saling
melakukan interaksi memiliki, tidak adanya memiliki, melakukan memiliki, melakukan
sosial dan tidak adanya umpan balik namun interaksi sosial namun interaksi sosial yang
umpan balik melakukan interaksi jarang adanya umpan cukup intensif dan
sosial balik teratur da nada umpan
balik

4.4 Keterampilan Kepemimpinan


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KKEP Pernah ada kesalahan, Pernah ada kesalahan, Tidak ada kesalahan, Tidak ada kesalahan,
1 tenaga kerja potong gaji tenaga kerja diarahkan produksi dilakukan produksi dilakukan
atau diberhentikan agar tidak terjadi lagi pemilik dan tenaga pemilik sendiri
kerja
KKEP Tidak menjaga hubungan Ya, jika ada masalah Ya, tetapi dibayar Ya, selalu dibayar
2 baik dengan pembeli keuangan transparan kredit (non tunai) atau tunai
penundaan
pembayaran
KKEP Ada komplain, tetapi Ada komplain, Tidak ada komplain, Tidak ada komplain,
3 pembeli tidak ditanggapi pembeli diberi pembeli sudah produk yang
pengertian dan mengerti dihasilkan berkualitas
transparansi

5. Keterampilan Strategi
5.1. Keterampilan menerima dan memanfaatkan umpan balik (KMMUB)
Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KMMUB Tidak menerima saran Jarang menerima saran Menerima saran dan Menerima saran dan
1 dan masukan dari dan masukan dari masukan dari sesama masukan dari sesama
sesama petani, tenaga sesama petani, tenaga petani, tenaga kerja, petani, tenaga kerja,
kerja, kelompok tani kerja, kelompok tani kelompok tani dan kelompok tani dan
dan pembeli dan pembeli pembeli, ada pembeli, ada
perubahan tapi gagal perubahan dan berhasil
KMMUB Tidak ada umpan balik Jarang meminta Intens meminta umpan Intens meminta umpan
2 terhadap pembeli umpan balik terhadap balik namun tidak ada balik, perbaikan
pembeli dan peningkatan meningkat
mengabaikannya

5.2 Keterampilan Merefleksi Usahatani (KMU)


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KMU Tidak melakukan Jarang refleksi, dan Hanya merefleksi Merefleksi usahatani
1 refleksi usahatani, tidak jarang belajar dari dalam semusim, setiap musim/hari,
belajar dari pengalaman pengalaman belajar dari belajar banyak dari
usahatani sebelumnya, pengalaman pengalaman,
mengulang kesalahan sebelumnya namun penghasilan meningkat
lagi hasil tetap
KMU Tidak meningkatkan Kemampuan usahatani Belajar dari kegiatan Belajar dari kegiatan
2 kemampuan dalam mengalir seiringnya usahatani sebelumnya usahatani sebelumnya
usahatani organik waktu namun masih gagal dan berhasil
KMU Tidak memikirkan fakta Tiba masa tiba akal Mengidentifikasi fakta Mengidentifikasi fakta
3 yang terjadi di lapangan di lapangan, namun di lapangan, dan
dan tidak mencari solusi tidak menemukan menemukan solusi
dari masalah tersebut solusi yang tepat yang tepat
84

5.3 Keterampilan Pengawasan dan Evaluasi (KPE)


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KPE 1 Tidak turut langsung Jarang memantau langsung Turut langsung dan dibantu Turut langsung dalam
dalam mengelola usahatani, mendelegasikan oleh tenaga kerja mengelola usahatani
usahatani, tidak seluruh kegiatan kepada secara keseluruhan dan
melakukan pencegahan tenaga kerja melakukan
jika menemukan masalah pencegahan masalah
KPE 2 Tidak memperoleh Bersikap cuek terhadap Peduli dan memperoleh Peduli dan
informasi tentang faktor informasi tentang faktor informasi tentang faktor memperoleh informasi
pendukung dan pendukung dan pendukung dan tentang faktor
penghambat, tidak penghambat, juga terhadap penghambat, namun belum pendukung dan
memenuhi indikator indikator kinerja memenuhi indikator penghambat, dan
kinerja kinerja memenuhi indikator
kinerja

5.4 Keterampilan Konseptual (KKON)


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KKON Masih menggunakan Mencampur input kimia Sepenuhnya menggunakan Sepenuhnya
1 input kimia dan organik dalam usaha organik namun masih menggunakan organik
tani terkontaminasi dengan dan tidak
bahan non organik terkontaminasi dengan
bahan non organik
KKON Tidak memahami Memahami konsep Membuat sendiri input Membuat sendiri input
2 konsep pertanian pertanian organik namun organik secara mandiri organik secara mandiri
organik namun masih bergantung kepada namun tidak terjamin dan terjamin
mendapatkan informasi komunitas pertanian keorganikannya keorganikannya
dari kelompok organik dalam penyediaan
tani/komunitas organik input usahatani

5.5 Keterampilan Strategi (KS)


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KS 1 Tidak menyisakan Menyisakan keuntungan Menyisakan keuntungan Menyisakan keuntungan
keuntungan hanya untuk mencukupi untuk mencukupi untuk mencukupi
kehidupan sehari-hari kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan sehari-hari,
keberlangsungan usahatani keberlangsungan
usahatani, dan untuk
pengembangan usaha
KS 2 Mengikuti proses Belajar dari proses yang Mendapatkan peningkatan Mendapatkan
dengan berjalannya didapatkan, memiliki skill dari proses belajar, peningkatan skill dari
waktu dan tidak rencana jangka panjang punya rencana tapi gagal proses belajar, punya
memiliki rencana tetapi hanya keinginan saja rencana dan sudah
jangka panjang dijalankan

5.6 Keterampilan Pengambilan Keputusan (KPK)


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KPK 1 Tidak menetapkan Menetapkan tujuan namun Menetapkan tujuan, dan Menetapkan tujuan dan
tujuan, tidak tidak mengidentifikasi mengidentifikasi masalah, mengidentifikasi
mengidentifikasi masalah gagal mengatasi masalah masalah, berhasil
masalah mengatasi masalah
KPK 2 tidak memperhitungkan memperhitungkan memperhitungkan
memperhitungkan konsekuensi (hanya konsekuensi (positif dan konsekuensi (positif dan
konsekuensi (positif positif), tidak negatif), tidak negatif),
dan negatif), tidak mempersiapkan alternatif mempersiapkan alternatif mempersiapkan
mempersiapkan keputusan keputusan alternatif keputusan
alternatif keputusan
85

5.7 Keterampilan Penetapan Tujuan Usaha (KPTU)


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KPTU Tidak ada target Ya, target minimal Ya, target produksi Ya, target keuntungan
1 usaha yang penting produksi berkualitas
usaha tetap berjalan
KPTU Tidak Banyak yang terbuang Hanya sedikit yang Tidak ada yang
2 memperhatikan terbuang terbuang, sudah ada
hasil panen yang pengendalian
terbuang
KPTU Tidak menjaga Tidak, karena Menjaga namun masih Menjaga kualitas
3 kualitas produk terkontaminasi melalui terkontaminasi melalui produk organik
organik air dan udara udara
KPTU Tidak pernah Tidak mencatat namun Mencatat dan Selalu mencatat
4 memikirkan jumlah memperhitungkan memperhitungkan pengeluaran dan
yang dikeluarkan pengeluaran dan pengeluaran dan penerimaan tunai
dan penerimaan penerimaan tunai penerimaan tunai namun maupun non tunai
tunai maupun non maupun non tunai tidak untuk non tunai
tunai

Lampiran 2 Nilai produktivitas, penjualan, dan keuntungan usaha padi organik

2.1 Produktivitas (ton/ha)


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
PROD 0-5.68 ton/ha 5.69-6.17 ton/ha 6.18-7.06 ton/ha 7.07-9.33 ton/ha

2.2 Penjualan (Rp) (dalam ribuan)


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
PENJ 0-20 735 20 736-27 231 27 232-32 576 32 577-43 680

2.3 Keuntungan (Rp) (dalam ribuan)


Kode Pembobotan Nilai
1 2 3 4
KEUNT 0-3 010 3 011-8 212 8 213-16 158 16 159-28 848

Lampiran 3 Hasil uji validasi variabel manifest berdasarkan nilai loading factor

digraph "aldila.semPLS"
{rankdir=LR;
size="8,8";
node [fontname="Helvetica" fontsize=14 shape=box];
edge [fontname="Helvetica" fontsize=10];
center=1;
"KKWU" [shape=ellipse]
"KINUS" [shape=ellipse]
"KKWU" -> "KBPP" [label="lam_1_1=0.624"];
"KKWU" -> "KJ" [label="lam_1_2=0.854"];
"KKWU" -> "KKEP" [label="lam_1_3=0.875"];
86

"KKWU" -> "KKER" [label="lam_1_4=0.761"];


"KKWU" -> "KA" [label="lam_2_1=0.786"];
"KKWU" -> "KKEU" [label="lam_2_2=0.851"];
"KKWU" -> "KMK" [label="lam_2_3=0.829"];
"KKWU" -> "KMSDM" [label="lam_2_4=0.597"];
"KKWU" -> "KRU" [label="lam_2_5=0.464"];
"KKWU" -> "KI" [label="lam_3_1=0.697"];
"KKWU" -> "KMPB" [label="lam_3_2=0.880"];
"KKWU" -> "KMR" [label="lam_3_3=0.658"];
"KKWU" -> "KMS" [label="lam_3_4=0.619"];
"KKWU" -> "KOPK" [label="lam_3_5=0.838"];
"KKWU" -> "KPT" [label="lam_4_1=0.408"];
"KKWU" -> "KT" [label="lam_4_2=0.888"];
"KKWU" -> "KKON" [label="lam_5_1=0.859"];
"KKWU" -> "KMMUB" [label="lam_5_2=0.780"];
"KKWU" -> "KMU" [label="lam_5_3=0.830"];
"KKWU" -> "KPE" [label="lam_5_4=0.454"];
"KKWU" -> "KPK" [label="lam_5_5=0.893"];
"KKWU" -> "KPTU" [label="lam_5_6=0.740"];
"KKWU" -> "KKON" [label="lam_5_7=0.859"];
"FI" -> "KSPRA" [label="lam_6_1=0.921"];
"FI" -> "MOTIV" [label="lam_6_2=0.649"];
"FI" -> "PEND" [label="lam_6_3=0.874"];
"FI" -> "PPPO" [label="lam_6_4=-0.220"];
"FI" -> "SKU" [label="lam_6_5=0.848"];
"FL" -> "BTPM" [label="lam_6_6=0.827"];
"FL" -> "DL" [label="lam_6_7=0.904"];
"FL" -> "HRG" [label="lam_6_8=0.210"];
"FL" -> "KINP" [label="lam_6_9=0.607"];
"FL" -> "KLU" [label="lam_6_10=0.250"];
"FL" -> "PP" [label="lam_6_11=0.125"];
"FL" -> "PRPM" [label="lam_6_12=0.856"];
"KINUS" -> "KEUNT" [label="lam_7_1=0.929"];
"KINUS" -> "PROD" [label="lam_7_2=0.703"];
"KINUS" -> "PENJ" [label="lam_7_3=-0.911"];
"FI" -> "KKWU" [label="beta_1_6=0.368"];
"FL" -> "FI" [label="beta_2_6=0.643"];
"FL" -> "KKWU" [label="beta_3_6=0.618"];
"FL" -> "KINUS" [label="beta_4_6=-0.557"];
"KKWU" -> "KINUS" [label="beta_5_6=0.591"];
87

Lampiran 4 Diagram path model t-value

Lampiran 5 Syntax R pengaruh keterampilan kewirausahaan terhadap kinerja


usaha pertanian organik

library(semPLS)
#data
data.aldila<-read.csv("F:/INNALLAHA MA'ANA/Semangat
Thesis/OLAH DATA/Koding Penelitian KeLIMA.csv", header
= T, sep = ";")
View(data.aldila)
#structural model
source.sm<-c("KPRO","KMAN","KPEL","KJAR","KSTR","KKWU")
target.sm<-
c("KKWU","KKWU","KKWU","KKWU","KKWU","FI","FL","KINUS")
aldila.sm<-cbind(source.sm,target.sm)
#measurement model
source.mm<-c("KKWU","KKWU",
"KKWU","KKWU","KKWU","KKWU","KKWU",
"KKWU","KKWU","KKWU","KKWU","KKWU",
"KKWU","KKWU","KKWU","KKWU",
"KKWU","KKWU","KKWU","KKWU","KKWU","KKWU","KKWU",
"KINUS","KINUS","KINUS",
"FI","FI","FI","FI","FI",
88

"FL","FL","FL","FL","FL","FL","FL","FL","FL"
target.mm<-c("KPT","KT",
"KKEU","KA","KMSDM","KMK","KRU",
"KMPB","KOPK","KMS","KMR","KI",
"KBPP","KJ","KKER","KKEP",
"KMMUB","KMU","KPE","KKON","KS","KPK","KPTU",
"PENJ","PROD","KEUNT",
"KSPRA","MOTIV",
"PEND","PPPO","SKU","BTPM","DL",
"HRG","KINP","KLU","PP","PRPM")
aldila.mm<-cbind(source.mm,target.mm)
#model
aldila<-
plsm(data=data.aldila,strucmod=aldila.sm,measuremod=ald
ila.mm)
#semPLS credit
aldila.semPLS<-
sempls(model=aldila,scale=TRUE,wscheme="A",data=data.al
dila,maxit=300)
#path diagram
pathDiagram(aldila.semPLS,file="aldilaPLS_terbaru1",edg
e.labels="both",output.type="graphics",digits=3,graphic
s.fmt="pdf")
#gof
rSquared(aldila.semPLS)
qSquared(aldila.semPLS)
communality(aldila.semPLS)
rSquared2(aldila.semPLS)
gof(aldila.semPLS)
#bootstrap
set.seed(123)
aldila.Boot<-
bootsempls(aldila.semPLS,nboot=100,start="ones",verbose
=TRUE)
summary(aldila.Boot,type="perc",level=0.85)

Anda mungkin juga menyukai