Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN MENTAL

HOME CARE

Oleh :
Kelompok 5
Nailul Aizza R. NIM 132310101032
Insiyah Noriza NIM 132310101037
Dema Novita H. NIM 132310101033
Popi Dyah Putri K NIM 132310101035
Windi Noviani NIM 132310101036
Yulince Atanay NIM 132310101040
Rizka Agustien W. NIM 132310101041

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Data Riset


Kesehatan Dasar 2013 mencatat Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia
mencapai 1,7 per mil. Artinya, 1-2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia
mengalami gangguan jiwa berat. Hal ini diperburuk dengan minimnya
pelayanan dan fasilitas kesehatan jiwa di berbagai daerah Indonesia sehingga
banyak penderita gangguan kesehatan mental yang belum tertangani dengan
baik.

Semakin pesatnya usaha pembangunan, modernisasi dan industrialisasi


di sebuah negara mengakibatkan semakin kompleknya masyarakat, maka
banyak muncul masalah-masalah sosial dan gangguan atau disorder mental di
kota-kota besar. Makin banyaklah warga masyarakat yang tidak mampu
melakukan penyesuaian diri dengan cepat terhadap macam-macam perubahan
sosial. Mereka itu mengalami banyak frustasi, konflik-konflik terbuka atau
eksternal dan internal,ketegangan batin dan menderita gangguan mental.

Seseorang yang memiliki kesehatan mental yang baik sekalipun tidak


dari kecemasan dan perasaan bersalah. Mereka tetap mengalami kecemasan
dan perasan berasalah tetapi tidak dikuasai oleh kecemasan dan perasaan
bersalah itu. Mereka sanggup menghadapi masalah masalah biasa dengan
penuh keyakinan diri dan dapat memecahkan masalah masalah tersebut tanpa
adanya gangguan yang hebat pada struktur dirinya. Dengan kata lain,
meskipun ia tidak bebas dari konflik dan emosinya tidak selalu stabil, namun
ia dapat mempertahankan harga dirinya. Keadaan yang demikian justru
berkebalikan dengan apa yang terjadi pada orang yang mengalami kesehatan
mental yang buruk.
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Untuk mengetahui pengertian gangguan mental

1.2.2 Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan gangguan mental.

1.2.3 Untuk mengetahui klasifikasi dari gangguan mental.

1.2.4 Untuk mengetahui bagaimana penganan serta pencegahan dari


gannguan mental

1.1 Tujuan

1.1.1 Mengetahui pengertian gangguan mental.


1.1.2 Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan gangguan mental.
1.1.3 Mengetahui klasifikasi dari gangguan mental.
1.1.4 Mengetahui bagaimana penganan serta pencegahan dari gannguan
mental

1.2 Manfaat

Mahasiswa mengetahui bagaimana seseorang dengan gangguan mental serta


penanganan dan pencegahan dari gangguan mental.
BAB 2. Pembahasan

2.1 Pengertian

Gangguan mental dimaknakan sebagai tidak adanya atau


kekurangannya dalam hal kesehatan mental. Pengertian ini sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Kaplan dan Sadock, 1994 yang menyatakan
gangguan mental itu “as any significant deviation from an ideal state of
positive mental health” artinya penyimpangan dari keadaan ideal dari suatu
kesehatan mental merupakan indikasi adanya gangguan mental. Pengertian
lain gangguan mental dimaknakan sebagai adanya penyimpangan dari norma-
norma perilaku, yang mencakup pikiran, perasaan, dan tindakan. Gangguan
mental atau penyakit kejiwaan adalah pola psikologis atau perilaku yang pada
umumnya terkait dengan stres atau kelainan mental yang tidak dianggap
sebagai bagian dari perkembangan normal manusia.

2.2 Epidemiologi
Data WHO (2006) mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia
mengalami gangguan jiwa, dimana panik dan cemas adalah gejala paling
ringan (Maramis, 2006). Empat jenis penyakit langsung yang dapat
ditimbulkan yaitu depresi, penggunaan alkohol, gangguan bipolar, dan
skizofrenia (Irmansyah, 2008). Untuk tahun 2008 diperkirakan terjadi
peningkatan morbiditas gangguan jiwa sekitar 50 juta atau 25 persen dari 220
juta penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa. Artinya, satu dari
empat penduduk Indonesia mengidap penyakit jiwa dari tingkat paling ringan
sampai berat (Hawari, 2008). Data di atas menunjukkan bahwa peningkatan
morbiditas gangguan jiwa di Indonesia menunjukkan penyebab yang sama
dengan morbiditas dunia dimana depresi menjadi salah satu penyebab yang
harus diwaspadai sebagai pemicu awal terjadinya gangguan jiwa yang lebih
berat.

2.3 Etiologi

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit mental,


diantaranya:

1. Faktor genetik (keturunan): di dalam keluarga yang mempunyai sejarah


penyakit mental berisiko lebih tinggi dibanding populasi yang tidak ada
sejarah penyakit mental.

2. Gangguan bahan kimia dalam otak: bila bahan kimia dalam otak yang
dikenali sebagai neurotransmitter tidak berfungsi dengan baik gejala
penyakit mental akan muncul. Sebagai contohnya:
a. Schizophrenia: Penghasilan dopamin secara berlebihan.
b. Kemurungan: Paras serotonin terlalu rendah.
c. Mania: Paras serotonin meningkat secara melampau.
d. Kebimbangan: terdapat gangguan di dalam pengeluaran dan fungsi
noradrenalin.

3. Serangan virus: dalam penelitian ada penyakit akibat virus telah dikaitkan
dengan kemunculan penyakit mental.
4. Sejarah hidup yang getir. Misalnya kehilangan orang tua semasa kecil,
terlalu banyak ejekan dari teman-teman, dibully secara keterlaluan, dll.

5. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah: Faktor kemiskinan, dll.

2.4 Tanda dan gejala

1. Alam perasaan (affect) tumpul dan mendatar. Gambaran alam perasaan ini
dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
2. Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn). Tidak mau bergaul atau
kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).
3. Delusi atau Waham yaitu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal)
meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak
rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya. Sering berpikir
atau melamun yang tidak biasa (delusi).
4. Halusinasi yaitu pengelaman panca indra tanpa ada rangsangan misalnya
penderita mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya
padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikan itu.
5. Merasa depresi, sedih atau stress tingkat tinggi secara terus-menerus.
6. Kesulitan untuk melakukan pekerjaan atau tugas sehari-hari walaupun
pekerjaan tersebut telah dijalani selama bertahun-tahun.
7. Paranoid (cemas atau takut) pada hal-hal biasa yang bagi orang normal
tidak perlu ditakuti atau dicemaskan.
8. Suka menggunakan obat hanya demi kesenangan.
9. Memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri.
10. Terjadi perubahan diri yang cukup berarti.
11. Memiliki emosi atau perasaan yang mudah berubah-ubah.
12. Terjadi perubahan pola makan yang tidak seperti biasanya.
13. Pola tidur terjadi perubahan tidak seperti biasa.
14. Kekacauan alam pikir yaitu yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya,
misalnya bicaranya kacau sehingga tidak dapat diikuti jalan pikirannya.
15. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.
16. Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam.
17. Sulit dalam berpikir abstrak.
18. Tidak ada atau kehilangan kehendak (avalition), tidak ada inisiatif, tidak
ada upaya usaha, tidak ada spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-
apa dan serba malas dan selalu terlihat sedih.

2.5 Klasifikasi

DSM, pada tahun 1994 telah diterbitkan edisi keempat, sebagai


penyempurnaan dari klasifikasi gangguan mental pada edisi sebelumnya.
Klasifikasi gangguan mental menurut DSM IV adalah sebagai berikut (APA,
1994).
1. Gangguan yang biasanya ddiagnosis pertama kali pada masa bayi, masa kanak-kanak,
atau masa remaja Retardasi Mental
2. Delirium, Demensia, Amnestik dan Gangguan Kognitif lainnya
3. Gangguan yang Berhubungan dengan Penggunaan Zat (alhokol, kafein, kokain, dll)
4. Skizofrenia dan gangguan psikotik lain
5. Gangguan mood (perasaan), Depresif dan Bipolar
6. Gangguan Somatoform
7. Gangguan kecemasan
8. Gangguan Buatan (factitous)
9. Gangguan Dissosiatif
10. Gangguan Seksual dan Identitas Gender
11. Gangguan makan, dan tidur
12. Gangguan Kepribadian (paranoid, skizotipal, schizoid, antisosial, narsisistik, dll)
2.6 Penanganan

1. Psikofarmakologi
Penanganan penderita gangguan jiwa dengan cara ini adalah dengan
memberikan terapi obat-obatan yang akan ditujukan pada gangguan fungsi
neuro-transmitter sehingga gejala-gejala klinis tadi dapat dihilangkan.
Terapi obat diberikan dalam jangka waktu relatif lama, berbulan bahkan
bertahun.

2. Psikoterapi
Terapi kejiwaan yang harus diberikan apabila penderita telah diberikan
terapi psikofarmaka dan telah mencapai tahapan di mana kemampuan
menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik.
Psikoterapi ini bermacam-macam bentuknya antara lain psikoterapi
suportif dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi
agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya.

Psikoterapi Re-eduktif dimaksudkan untuk memberikan pendidikan


ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu,
psikoterapi rekonstruktif dimaksudkan untuk memperbaiki kembali
kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh
seperti semula sebelum sakit, psikologi kognitif, dimaksudkan untuk
memulihkan kembali fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat) rasional
sehingga penderita mampu membedakan nilai- nilai moral etika.
Psikoterapi perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku
yang terganggu menjadi perilaku yang mampu menyesuaikan diri,
psikoterapi keluarga dimaksudkan untuk memulihkan penderita dan
keluarganya (Maramis, 1990)

3. Terapi Psikososial

Dengan terapi ini dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi


dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri
tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban keluarga.
Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap
mengkonsumsi obat psikofarmaka( Hawari, 2007).

4. Terapi Psikoreligius

Terapi keagamaan ini berupa kegiatan ritual keagamaan seperti


sembahyang, berdoa, mamanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah
keagamaan, kajian kitab suci. Menurut Ramachandran dalam
Yosep( 2007), telah mengatakan serangkaian penenelitian terhadap pasien
pasca epilepsi sebagian besar mengungkapkan pengalaman spiritualnya
sehingga semua yang dirasa menjadi sirna dan menemukan kebenaran
tertinggi yang tidak dialami pikiran biasa merasa berdekatan dengan
cahaya illahi.

5. Rehabilitasi
Program rehabilitasi penting dilakukan sebagi persiapan penempatan
kembali kekeluarga dan masyarakat. Program ini biasanya dilakukan di
lembaga (institusi) rehabilitasi misalnya di suatu rumah sakit jiwa. Dalam
program rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain; dengan terapi
kelompok yang bertujuan membebaskan penderita dari stress dan dapat
membantu agar dapat mengerti jelas sebab dari kesukaran dan membantu
terbentuknya mekanisme pembelaan yang lebih baik dan dapt diterima
oleh keluarga dan masyarakat, menjalankan ibadah keagamaan bersama,
kegiatan kesenian, terapi fisik berupa olah raga, keterampilan, berbagai
macam kursus, bercocok tanam, rekreasi (Maramis, 1990). Pada umumnya
program rehabilitasi ini berlangsung antara 3-6 bulan.

2.7 Pencegahan

1. Jaga kesehatan fisik

Olahraga serta kebiasaan makan yang sehat bukan hanya berguna untuk
kesehatan jasmani semata, tapi juga untuk kesehatan mental Anda.
2. Jaga otak selalu bekerja

Jika otak Anda dibiarkan tidak mendapatkan rangsangan yang menantang,


lambat laun akan mati, dan itu adalah awal depresi berkepanjangan yang
dapat menimbulkan gangguan mental yang serius.

Belajar bahasa baru keterampilan baru, memilih hobi yang menantang,


bermain catur, puzzle, dan sejenisnya dapat membantu otak Anda tetap
mendapat tantangan agar selalu memiliki kemampuan memecahkan
masalah sepanjang kehidupan.

3. Mengendalikan amarah

Kemarahan dapat merusak hubungan serta kesehatan. Untuk itu cobalah


belajar untuk mengatur dan mengendalikan amarah. Jangan biarkan
kemarahan mengendalikan dan menghancurkan hidup Anda.

4. Mengontrol dan menurunkan stres

Stres dapat menghancurkan kebahagiaan. Oleh karena itu, buatlah


prioritas, mendelegasikan tugas, serta hal-hal lain yang dapat membantu
Anda mengurangi stres. Memiliki hobi, adalah hal yang cukup banyak
membantu.

5. Menjaga hubungan baik

Banyak riset telah menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki


hubungan baik baik dan harmonis dalam jangka panjang, lebih sehat dan
bahagia.

6. Ambil waktu untuk bersenang-senang


Keluarlah dari rutinitas dan lakukan hal-hal yang Anda senangi. Tertawa,
melakukan perjalanan, menghabiskan waktu bersama teman, bermain,
serta lakukan hal apapun yang membuat Anda bahagia.

7. Melakukan apapun dengan rasa percaya diri

Kepercayaan diri yang rendah, berhubungan erat dengan kesehatan mental


yang rendah pula. Selain itu juga ternyata berkaitan dengan gangguan dan
hilangnya selera makan, menarik diri dari pergaulan, mengisolasi diri dan
sebagainya.

8. Berpikir positif

Selalulah berpikir, dan jangan menganggap segala sesuatunya secara


serius. Berpikir bahwa gelas itu setengah penuh, bukannya setengah
kosong, adalah melulu tentang perspektif dan cara Anda memandang
sesuatu.

Selalu ada sisi positif dalam setiap hal, carilah hal positif tersebut, sambil
tetap mengupayakan solusi untuk keluar dari masalah.

9. Tidur yang cukup dan berkualitas

Tidur yang kurang, diketahui adalah salah satu faktor yang meningkatkan
resiko penurunan kesehatan, baik fisik maupun kesehatan mental. Karena
itu, pastikan tidur yang cukup. Beristirahatlah. Dengan tidur, tubuh
menjadi lebih siap lagi menghadapi tantangan berikutnya.

10. Jangan malu mencari bantuan

Jika segala sesuatunya terasa begitu berat, dan Anda menemukan diri Anda
sendiri berada pada kondisi yang tidak menguntungkan, carilah bantuan.
BAB 3. Asuhan Keperawatan

KASUS
Sdr. A berusia 25 tahun datang ke RSJ bersama ibunya. Ibu Sdr. A
mengatakan ingin anaknya cepat sembuh. Klien adalah seorang mahasiswa yang
senang sekali dengan karate. Namun semenjak dia sering kalah dalam lomba besar
sekitar 5 tahun yang lalu saat masih kuliah, klien begitu frustasi, selalu murung
dan tidak berinteraksi dengan teman-temannya hingga keadaannya memburuk
sampai saat ini. Klien sudah 3x keluar masuk RSJ dan yang sekarang adalah yang
keempat kalinya. Klien datang dalam keadaan marah-marah, mengamuk dan
selalu ingin melempar barang-barang yang ada disekitarnya, namun klien tampak
malu-malu saat bercerita, frekuensi bicaranya cepat seraya menggerak-gerakkan
tangannya. Ibu klien mengatakan kadang-kadang klien kembali normal seperti
biasa namun kadang-kadang suka berbicara, tertawa sendiri dan menggerak-
gerakkan tangannya sendiri sambil mengoceh yang tidak jelas. Pengobatan
sebelumnya tidak berhasil karena klien tidak mau meminum setiap obat yang
diberikan. Klien didiagnosa Skizofrenia oleh dokter nya yang pertama dahulu.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, hasilnya TD 110/80mmHg, Suhu 36oC, nadi
82x/menit, RR 21x/menit, BB 60 kg, TB 166 cm, kesadaran compos mentis.
3.1 Pengkajian

1. Identitas
Nama : Sdr. A
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Tidak ada
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Saat MRS : Klien marah-marah, mengamuk dan selalu ingin
melempar barang-barang yang ada disekitarnya.
Saat dikaji :
- Klien mengatakan mendengar suara atau bisikan yang mendorongnya
untuk latihan karate namun terkadang suara itu mengejeknya.
- Klien banyak bicara, suka tertawa dan berbicara sendiri serta bercerita
dengan menggerak-gerakkan tangannya sendiri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu klien mengatakan kadang-kadang klien suka berbicara, tertawa sendiri
dan terkadang menggerak-gerakkan tangannya sendiri sambil mengoceh yang
tidak jelas.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien pernah frustasi 5 tahun yang lalu dan selalu murung hingga
keadaannya memburuk sampai saat ini.Klien sudah 3x keluar masuk RSJ dan
yang sekarang adalah yang keempat kalinya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Anggota keluarga tidak ada yang mempunyai riwayat seperti yang dialami
oleh klien.
3 . Pola Pemenuhan Kesehatan
a . Aktivitas/kesehatan
Pasien terlihat sering tertawa sendiri dan perilakunya tidak stabil. Klien
tidak mampu diajak berkomunikasi secara baik dan perhatiannya menurun
dalam melakukan aktivitas. Keluarga klien mengatakan klien sering
melakukan aktivitas yang membahayakan dengan melempar barang-barang
disekitarnya.
b. Makanan/cairan
Keluarga pasien mengatakan pasien makan sehari 2x-3x sehari, dengan
bantuan keluarga pasien.
c. Konsep diri
- Citra tubuh
Klien mengatakan menyukai semua bagian tubuhnya, saat ditanya
bagian tubuh yang disukai adalah tangan.
- Identitas
Klien dapat menyebutkan identitas dirinya, klien mengatakan bahwa
dirinya adalah seorang laki-laki.
- Peran
Sebelum sakit dirumah klien mempunyai tanggung jawab sebagai anak
dan mahasiswa, klien dapat melakukan pekerjaan dirumah. Klien rajin
mengikuti kegiatan ibadah. Tetapi setelah sakit klien dirawat dirumah sakit
jiwa. Klien mengatakan bahwa dirumah sakit klien adalah seorang pasien
yang mendapat pengobatan.
- Ideal diri
Klien berharap dapat segera pulang dirumah,membantu org tua dan
latihan karate
- Harga diri
Klien mengatakan jika sudah pulang ke rumah klien ingin bergaul
dengan teman-temannya.
d. Hubungan social
- Orang terdekat : ibu kandung klien
- Peran serta dalam masyarakat : Sebelum sakit klien sering mengikuti
kegiatan masyarakat seperti kerja bakti dan kegiatan pemuda. Setelah
di rumah sakit, klien jarang mengikuti kegitan dalam masyarakat.klien
hanya mengikuti kegiatan dalam rumah sakit dan itu pun jika klien
suka.
e. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain
Setelah sakit klien banyak bicara, frekuensi bicara cepat.saat dirumah
sakit. Klien suka menyendiri dan tidak mau berbicara dengan teman-teman
diruangan.
4. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Baik
Tingkat kesadaran : compos mentis
GCS : 15 ( E4 M6 V5)
Tanda-tanda vital :
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Respirasi Rate : 21 x/menit
o
Suhu : 36 C
BB : 60 kg
TB : 166 cm
a. Kepala
Warna kulit sawo matang, tidak ada jejas, tidak ada nyeri tekan.
b. Mata-Telinga-Hidung
Penglihatan : Baik
Pendengaran : Baik
Hidung, pembau : Baik
Leher
Simetris, normal, tidak ada jejas, tidak ada benjolan
c. Dada
Dada dan punggung : Normal
Paru-paru : Normal
Jantung, abdomen, pinggang : Normal
d. Sistem pencernaan : Normal
e. Sistem Genitourinaria : Normal
f. Ekstremitas atas dan bawah : Normal
3.2 Analisa Data

No. Data Penyebab Masalah


1. Ds : Halusinasi Gangguan persepsi
Klien mengatakan mendengar pendengaran
suara atau bisikan yang
mendorongnya untuk latihan karate
namun terkadang suara itu
mengejeknya.
Do :
- Klien suka bicara sendiri,
tertawa dan senyum sendiri
- Klien banyak bicara

2. Ds : Sikap Resiko
Keluarga mengatakan klien suka membahayakan mencederai orang
marah-marah, melempar barang orang lain lain
disekitarnya
Do :
- Klien bicara cepat.
- Saat bercerita klien suka
menggerak-gerakkan tangan
- Ekspresi wajah serius saat
bercerita
3. Ds : Menarik diri Isolasi social
Keluarga mengatakan klien
suka mengurung diri dirumah
dan bicara sendiri
Do :
- Klien suka berdiam diri
dalam kamar
- Klien tidak suka berbicara
dengan teman-temannya
dalam ruangan
- Klien tampak malu-malu
saat bercerita dengan
perawat

3.3 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan persepsi berhubungan dengan gangguan otak.


2. Resiko mencederai orang lain berhubungan dengan disorientasi
3. Isolasi social berhubungan dengan menarik diri
3.4 Intervensi

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Keperawatan hasil

1. Gangguan Setelah diberikan 1. Kembangkan lingkungan yang


proses pikir tindakan keperawatan mendukung dan hubungan
berhubungan diharapkan klien klien-perawat yang terapeutik
dengan mampu mengenali 2. Kaji derajat gangguan
gangguan otak perubahan dalam kognitif, seperti perubahan
berpikir dengan Kriteria orientasi, rentang perhatian,
Hasil: kemampuan berpikir.
 Mampu Bicarakan dengan keluarga
memperlihatkan mengenai perubahan perilaku
kemampuan 3. Pertahankan lingkungan yang
kognitifuntuk menyenangkan dan tenang
menjalani 4. Lakukan pendekatan dengan
konsekuensi cara perlahan dan tenang
kejadian yang 5. Panggil klien dengan
menegangkan namanya dan tatap wajahnya
terhadap emosi dan ketika berbicara
pikiran tentang diri 6. Gunakan suara yang agak
 Mampu rendah dan berbicara dengan
mengembangkan perlahan pada klien
strategi untuk 7. Gunakan kata-kata pendek,
mengatasi anggapan kalimat dan Ulangi instruksi
diri yang negative tersebut sesuai kebutuhan
 Mampu mengenali 8. Dengarkan dengan penuh
perubahan dalam perhatian pembicaraan klien.
berpikir atau tingkah Interpretasikan pertanyaan,
laku dan factor arti, dan kata. Beri kata yang
penyebab benar
 Mampu 9. Hindari kritikan, argumentasi,
memperlihatkan dan konfrontasi negative
penurunan tingkah 10. Gunakan distraksi. Bicarakan
laku yang tidak tentang kejadian yang
diinginkan, sebenarnya saat klien
ancaman, dan mengungkapkan ide yang
kebingungan salah, jika tidak meningkatkan
kecemasan
11. Hindari klien dari aktivitas dan
komunikasi yang dipaksakan
12. Gunakan hal yang humoris saat
berinteraksi pada klien
13. Mengurangi kecemasan dan
emosional, seperti kemarahan,
meningkatkan pengembangan
evaluasi diri yang positif dan
mengurangi konflik
psikologis
14. Memberikan dasar perbandingan
yang akan datang dan memengaruhi
rencan intervensi. Catatan: evaluasi
orientasi secara berulang dapat
meningkatkan respon yang
negative/tingkat frustasi

a. Kebisingan merupakan sensori


berlebihan yang meningkatkan
gangguan neuron
b. Pendekatan terburu-buru
menyebabkan klien bingung,
kesalahan persepsi/perasaan,
terancam
c. Menimbulkan perhatian,
terutama pada klien dengan
gangguan perceptual
d. Nama adalah bentuk identitas diri
dan menimbulkan pengenalan
terhadap realita dan klien
e. Meningkatkan pemahaman.
Ucapan tinggi dank eras
menimbulkan stress/marah yang
mencetuskan konfrontasi dan
respons marah
f. Seiring perkembangan
penyakit, pusat komunikasi dalam
otak terganggu sehingga
menghilangkan kemampuan klien
dalam respons penerimaan pesan
dan percakapan secara
keseluruhan
g. Menimbulkan respons verbal,
meningkatkan pemahaman.
Isyarat menstimulasi komunikasi,
memberi pengalaman positif
h. Mengarahkan perhatian dan
penghargaan. Membantu klien
dengan alat bantu proses kata
dalam menurunkan frustasi
i. Provokasi menurunkan harga diri
dan merupakan ancaman yang
mencetuskan agitasi yang tidak
sesuai
j. Lamunan membantu dalam
meningkatkan disorientasi.
Orientasi pada realita
meningkatkan perasaan
realita klien, penghargaan diri
dan kemuliaan (kebahagiaan)
personal
k. Keterpaksaan
menurunkan
keikutsertaan dan
meningkatkan
kecurigaan, delusi
l. Tertawa membantu dalam
komunikasi dan meningkatkan
kestabilan emosi
2. Resiko tinggi Setelah dilakukan 1. Kaji derajat gangguan
tindakan keperawatan kemampuan,tingkah laku
terhadap diharapkan Risiko impulsive dan penurunan
cedera cedera tidak terjadi persepsi visual. Bantu
berhubungan dengan Kriteria Hasil: keluarga mengidentifikasi
dengan  Meningkatkan risiko terjadinya bahaya yang
disorientasi tingkat aktivitas mungkin timbul
 Dapat beradaptasi 2. Hilangkan sumber bahaya
dengan lingkungan lingkungan
untuk mengurangi 3. Alihkan perhatian saat
risiko trauma/cedera perilaku teragitasi
 Tidak mengalami 4. Gunakan pakaian sesuai
trauma/cedera dengan lingkungan
 Keluarga mengenali fisik/kebutuhan klien
potensial di 5. Kaji efek samping obat,
lingkungan dan tanda keracunan (tanda
mengidentifikasi ekstrapiramidal,hipotensi
tahap-tahap untuk ortostatik,gangguan
memperbaikinya penglihatan, gangguan
gastrointestinal)
6. Hindari penggunaan restrain
terus-menerus. Berikan
kesempatan keluarga tinggal
bersama klien selama periode
agitasi akut
3. Isolasi social Setelah 2 X interaksi klien 1. Bina hubungan saling percaya
berhubungan menunjukan tanda-tanda dengan :
dengan menarik percaya kepada atau - beri salam setiap berinteraksi
diri terhadap perawat : - Perkenalkan nama, nama
 Wajah cerah, panggilan perawat, dan tujuan
tersenyum perawat berkrnalan
 Mau berkenalan - Tanyakan dan panggil nama
 Ada kontak mata kesukaan klien
 Bersedia menceritakan - Tunjukan sikap jujur dan menepati
perasaan janji setiap kali berinteraksi
 Berseddia - Tanyakan perasaan dan masalah
mengungkapkan yang dihadapi klien
masalahnya - Buat kontrak interaksi yang jelas
- Dengarkan dengan penuh
perhatian ekspresi perasaan klien

3.5 Implementasi

No Diagnosa Implementasi
. Keperawatan
1 Gangguan 1. Mengembangkan lingkungan yang mendukung
proses pikir dan hubungan klien-perawat yang terapeutik
berhubungan 2. Mengkaji derajat gangguan kognitif, seperti
dengan gangguan perubahan orientasi, rentang perhatian,
otak kemampuan berpikir. Bicarakan dengan keluarga
mengenai perubahan perilaku
3. Mempertahankan lingkungan yang
menyenangkan dan tenang
4. Melakukan pendekatan dengan cara perlahan dan
tenang
5. Memanggil klien dengan namanya dan tatap
wajahnya ketika berbicara
6. Menggunakan suara yang agak rendah dan
berbicara dengan perlahan pada klien
7. Menggunakan kata-kata pendek, kalimat dan
Ulangi instruksi tersebut sesuai kebutuhan
8. Mendengarkan dengan penuh perhatian
pembicaraan klien.
9. Menghindari kritikan, argumentasi, dan
konfrontasi negatif
10. Menggunakan distraksi. Membicarakan tentang
kejadian yang sebenarnya saat klien
mengungkapkan ide yang salah, jika tidak
meningkatkan kecemasan
11. Menghindari klien dari aktivitas dan komunikasi
yang dipaksakan
12. Menggunakan hal yang humoris saat berinteraksi
pada klien
2 Resiko tinggi 1. Mengkaji derajat gangguan kemampuan, tingkah
terhadap cedera laku impulsive dan penurunan persepsi visual.
berhubungan Membantu keluarga mengidentifikasi risiko
dengan terjadinya bahaya yang mungkin timbul
disorientasi 2. Menghilangkan sumber bahaya lingkungan
3. Mengalihkan perhatian saat perilaku teragitasi
4. Menggunakan pakaian sesuai dengan lingkungan
fisik atau kebutuhan klien
5. Mengkaji efek samping obat, tanda keracunan
(tanda ekstrapiramidal, hipotensi ortostatik,
gangguan gastrointestinal)
3 Isolasi sosial Membina hubungan saling percaya dengan :
berhubungan
dengan menarik a) Memberi salam setiap berinteraks
diri b) Memperkenalkan nama, nama panggilan
perawat, dan tujuan perawat berkrnala
c) Menanyakan dan panggil nama kesukaan klien
d) Menunjukan sikap jujur dan menepati janji
setiap kali berinteraksi
e) Menanyakan perasaan dan masalah yang
dihadapi klien
f) Membuat kontrak interaksi yang jelas
g) Mendengarkan dengan penuh perhatian
ekspresi perasaan klien

3.6 Evaluasi

No Diagnosa Evaluasi
. Keperawatan
1 Gangguan proses S: klien mengatakan jarang mendengar suara lagi
pikir
O: klien masih terlihat sering berbicara sendiri
berhubungan
dengan gangguan A: masalah teratasi sebagian
otak P: intervensi dilanjutkan
2 Resiko tinggi S: keluarga klien mengatakan klien tampak lebih tenang
terhadap cedera
O: saat bercerita ekspresi klien tampak serius
berhubungan
dengan A: masalah teratasi sebagian

disorientasi P: intervensi dilanjutkan

3 Isolasi sosial S: Keluarga klien mengatakan klien mulai bercerita


berhubungan tentang suara-suara yang didengarnya
dengan menarik O: Klien tampak malu-malu saat bercerita dengan
diri perawat

A: masalah teratasi sebagian

P: intervensi dilanjutkan

BAB 4. Penutup

4.1 Kesimpulan
gangguan mental dimaknakan sebagai adanya penyimpangan dari
norma-norma perilaku, yang mencakup pikiran, perasaan, dan tindakan.
Gangguan mental atau penyakit kejiwaan adalah pola psikologis atau perilaku
yang pada umumnya terkait dengan stres atau kelainan mental yang tidak
dianggap sebagai bagian dari perkembangan normal manusia. 26 juta
penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa, dimana panik dan cemas
adalah gejala paling ringan. Empat jenis penyakit langsung yang dapat
ditimbulkan yaitu depresi, penggunaan alkohol, gangguan bipolar, dan
skizofrenia. Penanganan pada gangguan mental dengan farmakologi,
psikoterapi, psikoreligius, dan rehabilitasi.

4.2 Saran

Kesehatan jiwa masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Hal ini


diperburuk dengan minimnya pelayanan dan fasilitas kesehatan jiwa di
berbagai daerah Indonesia sehingga banyak penderita gangguan kesehatan
mental yang belum tertangani dengan baik. Saran sebagai tenaga kesehatan
harus lebih memeperhatikan masalah kesehatan jiwa, dan bagi pemerintah
lebih memperbanyak fasilitas kesehatan bagi seseorang dengan gangguan
mental.

DAFTAR PUSTAKA

Perry and Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : konsep,


proses, dan praktik / Patricia A. Potter, Anne Griffin Perry ; alih bahsa,
Yasmin Asih [ et all]; editor edisi bahasa Indonesia, Devi Yulianti, Monica
Ester.— Ed.4.—Jakarta : EGC

Stuart Gail W dan Sandra J. Sundeen. 1995. Buku Saku. Keperawatan Jiwa.
Edisi 3. Jakarta: EGC. Buku Kedokteran.

Sundari, Siti. 2005. Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Jakarta : PT.


Rineka Cipta.

Videbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Alih bahasa ,

Renata Komalasari, Alfrina Hany; Editor edisi bahasa Indonesia, Pemilih Eko
Karyuni, Jakarta: EGC.

Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Editor: Aep Gunarsa. Bandung. PT.
Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai