Konsentrasi minyak sawit yang ditambahkan menjadikan edible coating yang digunakan
pada penelitian ini memiliki sifat hidrofobik sehingga mampu menahan air.
4.2. Kekerasan
Setelah di-coating dan disimpan selama 15 hari pada suhu ruang, nilai kekerasan buah
yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 0,5333 kg/(10x10mm)- 0,8689
kg/(10x10mm).
Pada Contour dan 3D Surface (a) dan (b) (Gambar 7) terlihat warna biru muda menuju
oranye artinya semakin besar konstentrasi tapioka, gliserol dan minyak sawit maka nilai
kekerasan jambu kristal semakin baik. Hal tersebut artinya pelapisan edible coating pada
jambu kristal dapat mempertahankan nilai kekerasan pada buah jambu kristal.
Menurut Ahmad (2013), perubahan tekstur yang terjadi akibat proses kelayuan yang
disebabkan respirasi dan transpirasi yang menyebabkan hilangnya air pada buah serta
perombakan pati menjadi gula sederhana.
Menurut Genevois et al.,(2016) berkurangnya nilai kekerasan buah terjadi karena
penurunan tekanan turgor sel pada buah karena adanya proses perubahan pektin tidak
larut air (protopektin) menjadi pektin yang larut air sebanyak lebih dari 40% (Hartanto
dan Sianturi, 2008).
Telepta et al.,(2019) menyatakan buah tomat yang di-coating dengan perlakuan pati
sagu, pati ubi kayu dan pati pisang tongka langit menunjukkan penurunan nilai kekerasan
yang kecil
edible coating dengan perlakuan jenis pati efektif dalam mempertahankan mutu
kekerasan buah tomat hingga hari ke-15.
Edible coating berbahan dasar polisakarida berfungsi sebagai penghalang terhadap gas
sehingga CO2 menjadi tinggi dan O2 rendah dalam buah. Adanya kontrol aktivitas
enzim dapat mempertahankan kekerasan buah yang di-coating selama penyimpanan.
Selain itu minyak sawit yang ditambahkan menyebabkan edible coating memiliki sifat
hidrofobik sehingga sedikit uap air yang keluar dari dalam bahan dan tekanan turgor sel
pada buah jambu kristal dapat dipertahankan.
Sifat hidrofobik dari senyawa lipid digunakan sebagai lapisan pelindung untuk mencegah
pertukaran kelembaban antara produk makanan dan media sekitarnya.
Vitamin C dalam buah jambu kristal semakin berkurang selama penyimpanan akibat
proses respirasi dan oksidasi vitamin C.
Hal ini dikarenakan meskipun pelapisan edible coating dapat menghambat respirasi dan
transpirasi, namun selama proses penyimpanan tetap terjadi proses respirasi dan
transpirasi serta pertukaran gas sehingga penurunan nilai kadar vitamin C tetap terjadi.
Vitamin C disebut juga asam askorbat, merupakan vitamin yang paling sederhana dan
mudah berubah akibat oksidasi. Asam askorbat dengan adanya O2 dan enzim asam
askorbat oksidase akan teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat dan mengalami
perubahan lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak lagi memiliki
keaktifan sebagai vitamin C.
Menurut Mulyadi et al.,(2013) Edible coating pada jambu kristal berfungsi sebagai
barrier yang menghambat masuknya O2 ke dalam buah sehingga respirasi terhambat.
Selain itu bahan dasar edible coating yang bersifat hidrofobik memiliki sifat penghalang
yang baik terhadap oksigen dan karbondioksida. Lapisan edible coating dapat
menghambat masuknya oksigen kedalam buah yang menjadi penyebab rusaknya vitamin
C lewat reaksi oksidasi (Donhowe dan Fennema,1994)
4.4. Warna
Setelah di-coating dan disimpan selama 15 hari pada suhu ruang buah jambu kristal pada
penelitian ini memiliki indeks warna hijau berkisar antara 0,4500 – 0,5265.
Pada Contour dan 3D Surface (a) dan (b) (Gambar 9) terlihat gradasi warna biru menuju
orange hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar konstentrasi tapioka, gliserol dan
minyak sawit semakin besar nilai indeks warna hijau pada jambu kristal.
Warna pada buah merupakan salah satu penentu mutu dan kualitas dari suatu produk
hortikultura yang dapat meningkatkan daya tarik konsumen. Perubahan warna
merupakan perubahan yang paling menonjol pada waktu pemasakan yang dipengaruhi
oleh proses respirasi (Aini et al.,2019).
Menurut Linardi (2019), selama penyimpanan buah jambu kristal mengalami penurunan
nilai indeks warna hijau yang berarti bahwa tingkat kesegaran buah berkurang. Aktifitas
metabolisme yang terjadi pada jambu kristal mempengaruhi warna jambu kristal.
Iglesias et al.,(2007) menyatakan, perubahan warna jambu biji dari hijau menjadi
kekuningan sampai dengan kecoklatan disebabkan oleh pigmen klorofil yang mengalami
degradasi tanpa atau dengan sedikit pembentukan zat karotenoid, selanjtnya pigmen ini
akan dirombak kembali hingga berubah menjadi kecoklatan.
Menurut Donhwe dan Fennema (1994), penambahan minyak sawit pada edible coating
penelitian ini menyebabkan lapisan edible coating memiliki sifat hidrofobik sehingga
dapat menjadi penghalang yang baik terhadap oksigen, sehingga dapat menghambat
proses respirasi yang dapat menyebabkan berkurangnya nilai indeks hijau pada buah
jambu biji berlangsung lambat.
Tujuannya untuk mengetahui layak tidaknya jambu kristal untuk dikonsumsi apabila
dilihat secara visual menggunakan mata.
standar mutu jambu biji (SNI 7418-2009) ketentuan minimum buah jambu biji yang
harus dipenuhi antara lain adalah: utuh; penampilan segar; padat; layak dikonsumsi;
bersih, bebas dari benda-benda asing; bebas dari memar yang menyebabkan perubahan
rasa dan penampilan; bebas dari hama dan penyakit; bebas dari kelembaban eksternal
yang abnormal, kecuali pengembunan sesaat setelah pemindahan dari tempat
penyimpanan dingin; bebas dari aroma dan rasa asing; serta bebas dari memar.
Pada penelitian ini, jambu kristal dengan konsentrasi tapioka 3,5%, gliserol 3%, dan
minyak sawit 0,6% Gambar 10 (a) memiliki penampakan visual paling baik dan layak
konsumsi, dengan penampakan yang masih sangat segar, tidak keriput, dan tidak
berjamur.
jambu kontrol tanpa edible coating Gambar 20 (b) memiliki penampakan paling buruk
dan sangat tidak layak dikonsumsi yaitu sangat layu, sangat keriput, sangat lunak dan
berjamur.
4.6. Optimasi
Nilai desirability yang mendekati satu dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai
ketepatan optimasi, kisaran nilai desirability yaitu 0-1 (Christi, 2015)
Nilai respon yang diperoleh dari optimasi formula edible coating pada jambu kristal
selanjutnya dicocokkan degan nilai aktualnya apakah hasil yang didapat masih berada
didalam kisaran Prediction Interval (PI) 95%.
Menurut Christi (2015), definisi 95% pada selang prediksi menunjukkan nilai
kepercayaan dari pengamatan individual sebesar 95%.
Hasil nilai aktual yang masih berada pada kisaran PI dapat disimpulkan bahwa model
yang didapat sudah sesuai dengan prediksi solusi optimasi dan dapat diaplikasikan pada
real produksi di lapangan (Prabudi et al., 2018).
Menurut Madamba dan Yabes (2005), model akan dinilai baik dan memadai jika nilai
prediksi respon yang dihasilkan mendekati nilai pada kondisi aktual.
Nilai aktual masih berkisar pada PI, maka dapat disimpulkan bahwa model yang didapat
sudah sesuai dengan yang ditunjukan oleh software (nilai prediksi) (Purwoto dan Christi,
2017).